Professional Documents
Culture Documents
Oṁ Swastyastu
A. Pendahuluan
Upakāra dan Upacāra merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang sering disebut dengan
“Yajña”. Yajña berasal dari kata “Yaj” yang artinya ”korban suci atau persembahan suci”.
Korban suci yang dimaksud adalah suatu korban yang dilandasi pengabdian, cinta kasih dengan
niat hati yang suci dan tulus ikhlas. Yang dimaksudkan dengan tulus ikhlas dengan tidak
mengikatkan diri pada hasil. Sedangkan Upakāra itu sendiri berasal dari kata “Upa” yang
artinya berhubungan dengan, dan “Kara yang berarti perbuatan/pekerjaan/tangan. Jadi
pengertian Upakāra di sini berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
perbuatan/pekerjaan/tangan, yang pada umumnya berbentuk materi, seperti daun, bunga, buah-
buahan, air, dan api, sebagai kelengkapan dari suatu Upacāra. Kemudian Upacāra berasal dari
kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan kata “Car” yang berarti gerak, kemudian
mendapat akhiran “a”, merubah kata kerja menjadi kata sifat yang artinya gerakan. Jadi upacāra
adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu Yajña.
Upakāra dan Upacāra adalah salah satu bagian dari pelaksanaan Yajña sebagai dasar
pengembalian tiga hutang manusia (Tri Rna). Weda mengajarkan bahwa Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan alam semesta ini berdasarkan Yajña. Karena itu
manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha
Esa. Leluhur/Orang tua, dan Para Maharsi, yang telah memberikan kehidupan, tuntunan, dan
pengetahuan suci sehingga seseorang mampu untuk hidup, berbuat, dan berkarya di jalan
Tuhan.
Umat Hindu di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mengamalkan ajaran agamanya melalui
simbolisasi pemaknaan terhadap berbagai sarana prasarana sebagai kelengkapan dari suatu
upacāra keagamaan. Dan ini merupakan bentuk aktivitas keberagamaan yang dapat menjangkau
semua tingkat kemampuan umat untuk memahami akan nilai-nilai spiritualnya. Oleh karena itu
upakāra-upacāra (Yajña) memberikan wahana pendakian secara bertahap kepada setiap umat
Hindu yang melaksanakan upacāra Yajña tersebut. Pendakian bertahap yang dimaksud adalah
pendakian menuju tahapan kerohanian yang semakin hari semakin meningkat. Dalam kitab
Manawa Dharma Sastra menyatakan bahwa pelaksanaan Yajña itu harus disertai dengan
ketulusan hati dan keyakinan diri, sebab pada hakekatnya dengan berYajña seseorang dapat
menolong dirinya untk mencapai tingkat hidup yang lebih sempurna.
“Śraddhāyestam ca purtam ca, nityam kuryuda tandritah, Śraddhākrite hyaksaye te
bhawatah swagatairdhanaih”.
Artinya :
Ia hendaknya tanpa mengenal jerih payah, selalu menghaturkan Upacāra-Upacāra korban
serta melakukan pekerjaan-pekerjaan amal yang dilaksanakan penuh kepercayaan kepada
Tuhan, sebab persembahan dan pekerjaan amal dilakukan dengan kepercayaan dan dengan
uang yang didapat secara halal, mendapatkan pahala yang tak henti-hentinya.
Semua perbuatan tentu memiliki tujuan, tanpa tujuan semua perbuatan ibarat perahu tanpa
kendali sehingga terOṁ bang-ambing tidak menentu. Begitu pula halnya dengan kita
melakukan Yajña, sudah barang tentu memiliki tujuan, yang pasti disini adalah dalam rangka
menciptakan suatu kehidupan yang bahagia, dan sejahtera, lahir maupun bahtin. Dalam kitab
Manawa Dharma Sastra VI.35 menyebutkan bahwa pikiran (manah) baru dapat ditujukan
kepada kelepasan setelah manusia membayar hutang moral (rna), yakni kepada
Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, orang tua/leluhur, dan kepada para maharsi. Untuk membayar
hutang moral tersebut, manusia memiliki kewajiban moral pula untuk membayarnya melalui
korban suci (Yajña). Hutang moral kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa diwujudkan dalam
bentuk Dewa Yajña dan Bhūta Yajña, hutang moral kepada orang tua/leluhur di wujudkan
dalam bentuk Pitra Yajña dan Manusa Yajña, sedangkan hutang moral kepada para maharsi
diwujudkan dalam bentuk Rsi Yajña.
Disamping itu pula tujuan kita melaksanakan upakāra-upacāra (Yajña), pertama : sebagai
pengejawantahan ajaran agama, melalui bentuk simbol-simbol (niyasa) agar mudah dipahami,
dihayati, dan dilaksanakan oleh umat Hindu dalam rangka meningkatkan kemantapan diri
didalam pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri. Kedua, sebagai ungkapan rasa terima
kasih, karena pada hakikatnya manusia tidak dapat lepas dari ketergantungan dengan yang
lain. Ada tiga jenis ketergantungan manusia, yakni ketergantungan manusia dengan
Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa yang telah menciptakan kehidupan, memelihara, dan memberi
kebutuhan hidup. Kemudian ketergantungan kepada orang tua/leluhur yang telah melahirkan,
mengasuh, dan membesarkannya, selanjutnya ketergantungan yang ketiga adalah
ketergantungan kepada para maharsi yang telah memberikan ilmu pengetahuan suci untuk
membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan menuju suatu kehidupan yang
sejahtera dan bahagia lahir bathin. Kemudian tujuan yang ketiga kita melaksanakan upakāra-
upacāra (Yajña) adalah untuk meningkatkan kualitas diri melalui proses penyucian diri
dengan menumbuhkan rasa keikhlasan dengan mengurangi keakuan, dalam bentuk byakala,
prayascita, dan lain sebagainya. Dan tujuan keempat adalah meningkatkan kesucian Bhuwana
Agung dan Bhuwana Alit, melalui upacāra Caru, Tawur Agung dan Penglukatan.
a. Landasan Filosofis.
Banten atau bebantenan merupakan ciri khas yang unik bagi masyarakat Hindu di Bali, dan
ini dikaitkan dengan daya cipta masyarakat setempat, yang memiliki nilai religius, magis,
yang mengandung nilai budaya seni dan adat. Banten membuat orang menjadi terpesona
karena daya seni yang ditampilkannya dengan berbagai keindahan dalam penataan sebuah
karya spiritual, sebagai sarana untuk mendekatkan diri penyembah dengan yang disembah
yakni Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Bhagawad Gita
disebutkan bahwa dunia mengalir dari tubuhKu. Dunia Aku jadikan dengan pengorbanan
diriKu. Manusia Aku jadikan atas dasar hukum Yajña, karena itu manusia wajib melakukan
Yajña. Barang siapa tidak melakukan Yajña adalah dosa. Yajña yang paling mulia adalah
penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada-Ku.
Pernyataan inilah yang kemudian menggerakkan kegiatan keagamaan dalam bentuk Upakāra
bebantenan. Banten atau bebantenan sesungguhnya dalam penataannya merupakan
perwujudan Manu (manusia) yang dikorbankan kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa.
Karena itu pula, dalam mempersembahkan banten kehadapan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa,
disusun atas dasar konsep triangga, sehingga ada banten yang berkedudukan sebagai utama
angga atau hulu (kaja atau kangin), kemudian madya angga atau bagian badan (tengah) dan
nista angga atau bagian kaki yakni di teben (kelod kauh).
Dalam filsafat Samkhya disebutkan bahwa dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan
pradana (prakerti). Purusa merupakan jiwa alam semesta, sedangkan pradana atau prakerti
merupakan unsur jasmani yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhūtadan Panca Tan Matra.
Konsepsi ini pula yang melandasi dalam pembuatan banten khususnya dilihat dari unsur-
unsur banten, terutama untuk banten yang berfungsi sebagai hulu atau linggih Sanghyang
Widhi Wasa misalnya banten Suci, Catur atau Dewa-dewi, dan Daksina.
Mengingat banten merupakan perwujudan dari manusia, maka dengan demikian banten
memiliki makna sebagai simbol penyerahan diri manusia secara totalitas, yang didasari
ketulusan hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari tatuasannya (potongannya), yang
menunjukkan keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan perasaan cinta kasih dan bakti
yang demikian agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk
mempersembahkan yang terbaik dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang
Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini
tercipta karena adanya unsur purusa dan pradana (prakerti).
Pradana (prakerti) sebagai unsur jasmani terdiri dari unsur Panca Maha Bhūtayakni dari
unsur apah, teja, pretiwi, bayu dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur banten
terutama untuk banten hulu (lingga Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah
kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada
dua jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk hidup diair tawar misalnya ikan nyalian,
lele, yuyu, udang, kakul dan sebagainya, sedangkan yang hidup diair laut ikan teri (gerang),
teripang, ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi), misalnya kacang-
kacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan umbi-umbian tergolong jenis pala
bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa, adalah binatang buruan, sedangkan yang
mewakili unsur teja, adalah asap, dupa dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang
samar-samar menggambar Manu atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai
bahan banten tidak terlepas dari prinsip nama dan rupa.
Seperti telah diketahui bahwa Upakāra mempunyai bentuk dan nama yang sangat banyak
dengan susunannya cukup rumit jika dilihat secara sepintas, apalagi bila tidak dipahami secara
rinci yang akan membuat kita semakin bingung, Suatu contoh dalam hal membuat Upakāra
bebantenan canang, apakah itu canang genten, canang sari, canang gantal, canang pengraos
maupun lainnya. Begitupun halnya dengan Upakāra bebantenan sayut, ada sayut
pengambean, sayut sida karya, sida purna dan lain sebagainya. Yang patut untuk kita ketahui
dan perhatikan disini adalah bagaimana menyusunnya, jenis materinya dan kegunakan dari
Upakāra bebantenan tersebut serta tingat Upacāra yang akan dibuat.
Namun secara umum Upakāra bebantenan memiliki arti dan fungsinya dalam kita melakukan
bakti persembahan, antara lain :
a) Upakāra bebantenan merupakan cetusan hati, untuk menyatakan rasa terima kasih baik itu
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, maupun manifestasiNya.
b) Upakāra bebantenan adalah sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita untuk memuja
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai suatu contoh bilamana
seseorang tengah membuat atau menyusun Upakāra (bebantenan) maka ia akan
membayangkan kemana akan dibawa atau kepada siapa Upakāra bebantenan tersebut
akan dipersembahkan. Oleh karena itu wajar, bila orang tua menasehati agar pada waktu
membuat banten tidak melontarkan kata-kata yang tidak mengenakkan, marah-marah dan
lain sebagainya.
c) Sebagai perwujudan dari pada Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta
manifesatsiNya dan juga orang yang akan di-Upacārai, misalnya daksina palinggih,
kewangen, puspa (sekah) sanggah urip dan lain sebagainya.
d) Upakāra bebantenan dapat dipergunakan sebagai alat penyucian, misalnya dengan
mempergunakan banten prayascita, durmanggala, byakala, penyeneng dan pesucian serta
lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan Yajña, keikhlasan merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan
dan mendapatkan kepuasan rohani. Besar kecilnya Upacāra diatur dalam tingkatan-tingkatan
yang telah ditentukan dalam kitab Mpu Lutuk dan disesuaikan pula menurut tempat, waktu
dan keadaan serta kesucian (desa, kala, patra dan kesucian). Dalam kitab/lontar Mpu Lutuk
lebih menekankan mengenai besar kecilnya Upakāra bebantenan di Sanggah Surya,
sedangkan dalam kitab/lontarWraspati kalpa mengatur tentang banten ayaban di balai
pesambyangan dan Bhagawan Yogis Wara menjelaskan tentang Upakāra bebantenan
lembaran. Adapun mengenai tingkatan Upakāra/Upacāra.Yajña dibagi dalam tiga tingkatan
yakni :
a) Tingkat Nista/Kanistama (sederhana). Tingkat nista ini dibagi pula dalam tiga bagian.
c) Tingkat utama (yang paling besar/utama) juga dibagi dalam tiga bagian.
Kanistaning utama yakni Upacāra yang paling kecil dari tingkatan Upacāra yang
besar/utama. Disanggar pesaksi (Surya) sama dengan yang ada pada tingkatan Upacāra
Utamaning madya.
Madyaning utama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan
Upacāra yang tergolong madyaning utama. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur
Muka, sedangkan banten dibawah sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantara
memakai Kambing.
Utamaning utama yakni Upacāra yang lebih besar diantara Upacāra-Upacāra Yajña
lainnya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Kumba, sedangkan banten
dibawah/sor sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantaran memakai Kerbau.
Pada umumnya Upacāra apapun yang dilaksanakan oleh umat Hindu selalu berpedOṁ an pada
tingkatan-tingkatan Upacāra yang telah ditentukan. Besar atau kecil bukan berarti yang besar
dan utama itu yang baik, dan sebaliknya, akan tetapi Upakāra bebantenan yang besar itu
memerlukan materi yang banyak, sedangkan dalam Upacāra yang kecil memerlukan bahan
materi yang sedikit bahkan mungkin sangat sederhana, seperti hanya dengan dupa, bunga, dan
air. Dan juga bukan Upakāra bebantenan yang besar akan mendapatkan pahala yang besar, atau
sebaliknya akan tetapi semuanya tergantung dari keikhlasan, kesucian dan niat hati yang luhur,
yang terpenting baimana dapat menampilkan banten yang segar. Disamping itu pula tingkatan
Upacāra yang ada, dan tertuang dalam kitab/lontar Mpu Lutuk merupakan suatu ukuran yang
tentunya disesuai dengan kemampuan atau strata sosial dari masing-masing orang dalam
masyarakat.
Dalam tingkatan Upakāra dan Upacāra yang ada dan tertuang dalam lontar Mpu Lutuk tersebut
diatas maka batasan yang menjadi kewenangan para Pemangku (Pinandita) dalam menyelesaikan
Upacāra-Yajña, menurut Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama
Hindu, menyebutkan adalah sampai dengan medudus alit, sesuai dengan tingkat pewintenannya
dan juga atas penugrahan sang Nabe. Bila kita mengacu pada Keputusan Kesatuan Tafsir Maha
Saba PHDI, maka pengertian pedudusan alit adalah sampai tingkat Madyaning Nista, yakni
Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra terkecil dimana di Sanggar Pesaksi (Surya)
memakai Banten Suci. Dan ini sesuai yang tertuang dalam lontar Mpu Lutuk. Sedangkan
pengertian pedudusan agung adalah Upacāra tingkat Utamaning Nista, yakni Upacāra yang lebih
besar dari tingkat Madyaning Nista, dimana di Sanggar pesaksi (Surya) menggunakan banten
Dewa-Dewi, dan juga banten Catur. Pada tingkatan ini, dilaksanakan oleh para Sulinggih atau
Pandita.
D. Banten Pejati
a. Daksina
b. Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang
dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah,
rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah
jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)
Gambar :
d. Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen
dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya
sadripu sehingga ada keseimbangan.
f. Pasucian/ Pangresikan
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi
bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok
(kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan
minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir
terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan:
Oṁ asta sastra empu sarining visesa
Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel
Cuntakaning pebhaktyaning hulun
Oṁ sanut sang kala pegat
Pegat rampung sahananing visesa
Oṁ shri Devi bhatrimsa yogini ya namah
Oṁ gagana murcha ya namah svaha.
g. Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk
pauk bawang, jahe, garam.
l. Mantra Peras
m. Mantra Segehan
E. Penutup
Demikian kupasan banten (upakāra) baik cara membuat, kegunaan maupun kajian filosofisnya,
sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan
umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten dan melaksanakan ajaran agama Hindu
yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa
yang akan datang. Dan yang terpenting para Orang tua (sebagai Guru) dapat menjadi sumber
tauladan bagi angoota keluarga terutama anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara
konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta
dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir peserta didik yang
memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ
(kecerdasan spiritual), ESTQ (kecerdasan estetika) sehingga eksistensi kita sebagai manusia Hindu
tidak akan memudar.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan
bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu
Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang
kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai
Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk
mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang
tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung
simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi
mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan
kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten
pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi
dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
1. Daksina
2. Banten Peras,
3. Banten Ajuman/Soda
4. Ketupat Kelanan
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian Pesucian
7. Segehan alit
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk
pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan
adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa
meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah
menyatu.
“ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu,
ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang
tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada
kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga;
pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga;
tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan
yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang
kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah
Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak,
makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya
kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam
Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat
menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan
melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula
Reactions:
0 comments
Post a Comment
Create a Link
Search
Om Awighnam Astu
Labels
Blog Archive
• ▼ 2010 (237)
o ► December (12)
o ► November (5)
o ► August (20)
o ▼ July (29)
Kupasan Lontar Kanda Pat - Catur Sanak mantra
Kupasan Lontar Kanda Pat - Catur Sanak
Arti posisi kepala saat tidur
kumpulan mantra bali
Lontar Usada Kacacar 58a – 63a
Lontar Usada Kacacar 47b – 57b
BUDEE
Reiki practitioner since 2006, be next learn and training about it, like meditation etc related to esoteric.
VIEW MY COMPLETE PROFILE
My Blog List
6 days ago
2 months ago
Esoteric Worlds
1 year ago
Hindu-bali
1 year ago
1 year ago
• my Twitter