Professional Documents
Culture Documents
ULAMA
PEWARIS PARA NABI
Agama adalah suatu yang sakral dalam kehidupan manusia secara umum
dan kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran
wahyu dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang
penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka
bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak
agama.
Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan
kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit
bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada
gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan
kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-
sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya
mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan
ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-
disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu
pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau
mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam
dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk
menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab,
pent.) dan perselisihannya.
Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi
bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-
ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah
yang tertera didalamnya.
Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan
dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan
musnadnya, masyhur dan gharibnya.
Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
Wara’.
Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
Jujur.
Terpercaya.
Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Hal. 1 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan
perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
وان النبياء لم يور ثوا دينارا ول د رهما وانماورثوا,وان العلماء ورثة ال نبياء
{ ابن ما جه وا بن حبا ن5 العلم فمن أخز به أخز بحظ وافر } روا
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan
uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang
siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi
seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh
alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang
hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal
syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama
pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul
utusan Allah.
Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau
berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul
Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
1. Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud(3641.3642), At-Turmudzi(2682), Ahmad(5/196), Ibnu Majah(223), Ad-
Darimi(1/98), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/39, Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya (1/398).
Hadits ini hasan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari (1/160) menukil kepastian penghasanannya dari Hamzah Al-
Kinani. Lihat penjelasan ini dalam buku Al-ilmu fadluhu wa Syarafuhu karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid hal.57.
cetakan Majmu’at Tuhafin Nafais Ad-Dauliyah, tahun 1416H(1996M)
2. Musnad: Buku-buku hadits yang dikarang dengan bersandar kepada nama-nama shahabat di mana pengarang
mengumpulkan hadits-hadits setiap shahabat dalam batasan tertentu.(Ushulut Takhrij, Mahmud Thanan, hal.40. cetakan
Maktabatul Ma’arif, Riyadl)
3. Majma’: Buku-buku hadits yang dikarang dengan mengumpulkan hadits-hadits dari beberapa karya tulis lalu disusun
menurut susunan beberapa karya tulis yang dikumpulkan padanya.(Ushulut Takhrij, hal.103)
4. Mushanaf: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh. Buku-buku hadits jenis ini bermuatan hadits-hadits Nabi,
ucapan-ucapan shahabat, fatwa-fatwa tabi’in dan terkadang fatwa-fatwa at-tabi’ut tabi’in.(Ushulut Takhrij, hal.118)
5. Sunan: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh dan hanya mencakup hadits-hadits yang sampai sanadnya
kepada Nabi(hadits marfu’).(Ushulut Takhrij, hal.115)
6. Muwaththa’: Buku-buku hadits yang dikarang menurut bab-bab fiqh. Buku hadits jenis ini berisi hadits-hadits
marfu’(hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi), hadits mauquf (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai kepada
shahabat dan tidak sampai kepada Nabi), dan hadits maqthu’ (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in atau
orang yang di bawahnya). Gaya penyusunan kitab-kitab muwatha’ sangat mirip dengan gaya penyusunan kitab-kitab
mushanaf. (Ushulut Takhrij hal.119)
7. Az-Zawaid: Buku-buku hadits yang mengumpulkan tambahan yang termaktub pada sebagian kitab hadits terhadap hadits-
hadits yang tertera didalam kitab-kitab hadits yang lainnya. (Ushulut Takhrij hal.104)
8. Mu’jam: Buku-buku hadits yang memuat hadits-hadits menurut urutan shahabat, para syaikh, negeri-negeri atau yang
selainnya. Mayoritas buku-buku hadits jenis ini menyusun urutan nama-nama yang ada padanya menurut urutan huruf-huruf
mu’jam.(Ushulut Takhrij hal.45)
Hal. 2 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang
mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang
harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka
mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan
para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut)
ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi
hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat
dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri
Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan
antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11,
mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan
sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam
cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar
mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh
bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka
telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang
duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka
tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak
perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul
bid’ah dan yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam
banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan
dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani,
Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka
seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang
kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar
tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang
menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-
babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan
hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an,
As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan
kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian
(permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu
ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan)
hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang
cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud,
raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di
berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil
Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais
Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
9. Tadlis: adalah menyembunyikan yang ada pada sanad hadits dan menampakkan baik pada dhahirnya (Taisir Musthalahil
Hadits karya Mahmud Thanan, hal.79, cetakan Maktabatul Ma’arif)
10. Karena kadang-kadang satu perawi hadits diterima riwayatnya kalau ia meriwayatkan dari penduduk Syam. Tetapi ditolak
kalau menerima dari penduduk Iran.
11. Ini yang disitlahkan dengan ikhtilat dan mukhtalat dalam Musthalahul Hadits, yaitu satu perawi yang hapalannya berubah.
Awalnya dia pengahapal yang baik, kemudian pikun misalnya. Atau seorang perawi yang asalnya dia meriwayatkan dari
buku catatannya, kemudian hilang catatannya.
Dari masa ke masa para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-
bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:
Hal. 3 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
Hal. 4 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
Hal. 5 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
Hal. 6 dari 7
ULAMA PEWARIS PARA NABI
pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin
menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan
menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia
Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari
Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah,
para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada
para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para
pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi
dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah
keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu
Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang
bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni
berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda
mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang
keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan
“orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah
dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita
berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin
dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-
Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridla di sisi-
Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.
∞∞ ∞∞ ∞∞
Hal. 7 dari 7