Professional Documents
Culture Documents
Tugas Akhir
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2006
Lembar Persetujuan
Pembimbing I Pembimbing II
Penguji I Penguji II
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena berkat dan penyertaan-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih yang tak ter-
hingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta dan segenap keluar-
ga atas dukungan yang diberikan selama penyelesaian tugas akhir ini. Topik
yang di-kerjakan pada tugas akhir ini menurut penulis sangat menarik, karena
merupakan suatu pendekatan yang baru dalam dinamika fluida. Dinamika fluida
yang biasanya diselesaikan dengan mekanika klasik, diformulasikan dengan teori
medan gauge dan untuk menghitung energi dilakukan dengan menggunakan Lat-
tice Gauge Theory, tool yang biasa dipakai dalam fisika partikel. Penulis secara
khusus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelasaian tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara
lain:
2. Dr. Terry Mart selaku pembimbing II dan ketua peminatan Fisika Nuklir
dan Partikel atas bimbingan dan dukungan yang diberikan baik itu selama
kuliah maupun pengerjaan tugas akhir ini.
3. Rekan-rekan di Lab Teori, khususnya grup diskusi Lattice: Nowo dan Juju,
Beriya, Popo, Handhika, Arum, Ardy, Nita, Harykin, Chandi, Pak Ayung,
Pak Sulaiman, Mas Parada.
iii
5. Special gift from God, Melvi, untuk dukungan dalam setiap langkah penulis,
dalam senang maupun sedih.
6. Juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini atas dukungan dan
doa kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perkembangan
riset di Fisika UI.
Heribertus Bayu
iv
Abstrak
Dinamika fluida berbasis teori medan diformulasikan dalam kisi ruang waktu
diskrit. Dengan formulasi tersebut dihitung selisih energi eksitasi (∆E) dari in-
teraksi antara materi dengan fluida dengan menggunakan simulasi Metropolis
Monte Carlo. Berdasarkan simulasi tersebut, diperoleh bahwa hubungan ∆E de-
ngan kecepatan fluida dari interaksi materi dengan fluida tidak bergantung pada
besarnya konstanta kopling interaksi g. Formulasi ini memberikan pemahaman
dasar untuk perhitungan bermacam-macam observable dari fenomena yang di-
modelkan dengan Lagrangian dinamika fluida dimana tidak ada jaminan teori
perturbasi berlaku.
Abstract
Fluid dynamics based on the gauge field theory is formulated on a discrete space-
time lattice. Using this formulation, the difference of excitation energy (∆E)
from the interaction of fluids and matter is calculated using Metropolis Monte
Carlo simulation. From the simulation, it is found that relation between ∆E
with the velocity of fluid from the interaction of fluid and matter is not depend
on the interaction coupling constant g. This formulation provides basic knowledge
to calculate some observables for phenomenon modeled with the fluid dynamics
Lagrangian where the pertubation theory cannot be guaranteed.
v
Daftar Isi
Abstrak v
Daftar Isi vi
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.4 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
5 Kesimpulan 34
vi
Daftar Acuan 35
B Pemrograman 40
vii
Daftar Gambar
viii
Bab 1
Pendahuluan
1
1.2 Perumusan Masalah
Pendekatan alternatif untuk formulasi dinamika fluida dari first principle telah
dilakukan dengan menggunakan mekanika analitik. Persamaan Navier-Stokes di-
turunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian terhadap
transformasi gauge dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange. Interaksi
antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan lagrangian
medan boson yang merepresentasikan materi dengan medan gauge yang merep-
resentasikan fluida. Perhitungan observable dari interaksi antara materi dengan
fluida dapat dilakukan dengan mengevaluasi path integral. Namun besarnya kon-
stanta kopling interaksi g antara fluida dan materi tidak diketahui, sehingga path
integral tidak dapat dihitung secara perturbatif.
2
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik dasar perhitungan Lattice
Gauge Theory dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo dan im-
plementasinya pada pemrograman serta menghitung observable dari dinamika
fluida berbasis teori medan dengan menggunakan Lattice Gauge Theory. Peneli-
tian difokuskan pada formulasi teori gauge untuk fluida pada kisi ruang waktu
diskrit dan perhitungan energi dari interaksi fluida dengan materi.
3
Bab 2
Pada bab ini penulis akan membahas secara singkat teori mengenai dinamika
fluida baik itu secara klasik maupun dengan pendekatan berbasis teori medan.
4
dengan menggunakan teorema Gauss diperoleh,
∂
Z Z
~
∇ · (ρ~v )dV = − ρdV
V ∂t V
Z
∂ρ ~
+ ∇ · (ρ~v ) dV = 0
V ∂t
∂ρ ~
+ ∇ · (ρ~v ) = 0 (2.3)
∂t
Hukum II Newton tidak lain merupakan bentuk kekekalan momentum yang memi-
liki bentuk
2
d ~x
F~ = m 2 (2.4)
dt
Gaya yang dialami oleh fluida yang bergerak ialah
1. Gaya badan, yang bekerja secara langsung pada volume massa dari elemen
fluida. Contohnya ialah gaya gravitasi, listrik dan magnet.
5
dengan P tekanan dan σik ialah tensor viskositas. Tensor viskositas secara umum
merupakan tensor asimetrik. Tensor viskositas dapat ditulis [3],
∂vi ∂vk 2 ~ ~ · ~v ,
σij = η + − δij ∇ · ~v + νδik ∇ (2.8)
∂xk ∂xi 3
dimana η dan ν merupakan koefisien viskositas kinematik dan dinamik. Sub-
stitusi persamaan (2.6), (2.7) dan (2.8) ke hukum II Newton untuk fluida pada
persamaan (2.5),
∂~v ~ v = −∇P
~ + η∇ 1
~ ~v + ν + η ∇(
2 ~ ∇
~ · ~v ).
ρ + (~v · ∇)~ (2.9)
∂t 3
6
demikian dapat digunakan metode pada teori medan relativistik yang memper-
lakukan ruang dan waktu dalam dimensi yang sama. Persamaan Navier-Stokes
diturunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian ter-
hadap transformasi gauge dan transformasi Lorentz melalui persamaan Euler-
Lagrange.
Lagrangian untuk medan boson yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
ialah
L = (∂µ φ∗ )(∂ µ φ) + V (φ) + LA (2.11)
dimana
1
LA = − Fµν F µν + gJµ Aµ + g 2 Aµ Aµ φ∗ φ (2.12)
4
dengan kuat tensor Fµν ≡ ∂µ Aν − ∂ν Aµ , sementara arus vektor empatnya,
~ → ~l = ω
E ~ × ~v
~ → ω
B ~ × ~v
~ =∇
~ · ~l = ρ̃
∇
~ × ~l = − ∂~
∇
ω
∂t
~
∇·ω~ = 0
~ ×ω ∂~l
∇ ~ = α~j + α
∂t
7
dengan α = 1/~v 2 . Hasil ini memberi petunjuk bahwa kita dapat mengkonstruksi
lagrangian yang bentuknya mirip dengan lagrangian elektrodinamika kuantum
yaitu LA pada persamaan (2.12). Klaim ini telah dibuktikan dengan mengambil
bentuk spesifik dari medan gauge,
Aµ = Φ, A ~
1 2
= |~v | + V, −~v (2.16)
2
dengan ~v ialah kecepatan fluida dan V ialah potensial yang diakibatkan oleh
gaya konservatif. Pemilihan bentuk medan gauge tersebut jelas tidak memenuhi
transformasi Lorentz secara eksplisit. Di sisi lain, pemilihan ini menunjukkan
bahwa pada dinamika fluida, potensial skalar merupakan energi total per satu-
an massa yang terdiri dari rapat energi kinetik dan rapat potensial eksternal,
sementara potensial vektor menggambarkan dinamika dalam suku kecepatan.
Dengan demikian, LA pada persamaan (2.12) tidak lain ialah lagrangian yang
menghasilkan persamaan Navier-Stokes dengan pemilihan medan gauge di atas,
LA = L N S .
∂ν (∂ µ Aν ) − ∂ 2 Aµ + gJµ = 0. (2.18)
8
berikut [4],
s
2 |~v |2
Φ = −c 1 − 2 + Vrel , (2.19)
c
~ = −~v ,
A (2.20)
dengan Vrel menyatakan potensial relativistik eksternal. Suku pertama pada per-
samaan (2.19) menunjukkan versi relativistik energi kinetik persatuan massa.
Substitusi persamaan (2.19) dan (2.20) ke persamaan (2.18), diperoleh persamaan
Navier-Stokes relativistik,
s
2
∂~v ~ 1 − |~v | = −∇V
~ rel + g J~˜
− c2 ∇ (2.21)
∂t c2
dengan J˜i ≡ dxi J0 = − dtJi . Kita dapat memperoleh bentuk nonrelativistik
R R
~ tekanan = 1 ∇P
∇V ~
ρ
~ viskositas = η ∇(
∇V ~ ∇~ · ~v ) + µ(∇
~ 2~v ) + µ(∇
~ ×∇
~ × ~v )
9
dan memasukkan keduanya pada persamaan (2.22), maka akan diperoleh,
∂~v ~ v = − 1 ∇P
~ − η ∇(
~ ∇ ~ · ~v ) + µ(∇
~ 2~v )
+ (~v · ∇)~
∂t ρ
+µ(∇ ~ ×∇
~ × ~v ) − ~v × (∇ ~˜
~ × ~v ) + g J. (2.23)
∂~v ~ v = − 1 ∇P
~ + µ(∇ ~˜
~ 2~v ) + g J.
+ (~v · ∇)~ (2.24)
∂t ρ
Persamaan di atas tidak lain ialah merupakan persamaan Navier-Stokes untuk flu-
ida irotasional inkompresibel seperti pada persamaan (2.10). Persamaan Navier
Stokes relativistik (2.21) invarian terhadap transformasi Lorentz,
xi − v i t t − xi /vi
xi → x0i = p , t → t0 = p
1 − |~v |2 /c2 1 − |~v |2 /c2
Dari model yang dibuat untuk dinamika fluida dengan menggunakan teori medan
gauge, kita dapat melihat interaksi antara fluida (Aµ )dan materi di dalamnya (φ).
Potensial yang terdapat pada potensial skalar muncul akibat gaya konservatif ek-
sternal yang hanya bekerja pada medan fluida (Aµ ). Sebaliknya, potensial pada
lagrangian menggambarkan interaksi antar medan boson. Pada dinamika fluida
klasik, arus vektor empat Jµ = (ρ, ρ~v ) menggambarkan distribusi makroskopik
dari kerapatan dan vektor rapat arus. Sementara dalam pendekatan ini, Jµ
menggambarkan fungsi distribusi dari materi di dalam fluida. Hal ini analog
dengan arus pada persamaan Maxwell dan elektrodinamika kuantum yang meru-
pakan hasil dari interaksi pasangan fermion. Konsekuensi dari hasil ini, arus
fluida muncul akibat interaksi dari medan fluida dengan mediumnya. Jadi kita
dapat menginvestigasi dinamika fluida biarpun Jµ = 0. Dengan menggunakan
lagrangian Navier-Stokes, kita juga dapat mempelajari interaksi antara fluida
dengan medium lainnya. Seperti contohnya, potensial pada persamaan (2.11)
disubstitusi dengan
1 λ
V (φ) = − m2 φ2 + φ4
2 4!
10
dapat menggambarkan interaksi fluida dengan medium soliton, karena persamaan
gerak terhadap φ yang dihasilkan dari lagrangian ini memenuhi persamaan Klein-
Gordon nonlinear dengan solusi soliton.
dimana T a merupakan generator dari grup Lie dan memenuhi relasi komutasi
[T a , T b ] = if abc T c dengan f abc merupakan konstanta struktur antisimetrik. La-
grangian untuk sistem multi fluida dapat dituliskan
dimana
1 a aµν i
LA = − Fµν F + gJµa Aaµ + f abc g 2 (φ† T a φ)Abµ Acµ (2.27)
4 2
a
dengan kuat tensor Fµν ≡ ∂µ Aaν − ∂ν Aaµ − gf abc Abµ Acν , sementara arus vektor
empatnya,
Jµa = i (∂µ φ)† T a φ − φ† T a (∂µ φ)
(2.28)
11
berbentuk [5]
Ltotal = LaN S + LbN S + Lab
int (2.31)
dengan Lab
int merupakan lagrangian interaksi antara dua fluida. Dari model yang
dibuat untuk sistem multi fluida, kita dapat melihat interaksi antara fluida (Aaµ )
dan materi di dalamnya (φ) berdasarkan grup simetri SU (N ) untuk n × 1 medan
φ dan n × n generator T a secara umum.
12
Bab 3
Sejak diperkenalkan oleh Feynman pada tahun 1948, metode path integral telah
menjadi alat yang penting untuk fisikawan partikel elementer. Banyak pengem-
bangan modern pada fisika partikel elementer teoritik dibuat berdasarkan metode
ini. Salah satunya ialah formulasi lattice dari teori medan kuantum yang mem-
berikan langkah baru untuk melakukan studi nonperturbatif pada suatu teori
seperti Quantum Chromodynamics[6].
13
Gambar 3.1: Interval waktu diskrit
interval potongan waktu dan q(t) = qn serta memasukkan n−1 relasi kelengkapan
Z
1 = dq | qi hq | (3.4)
14
Gambar 3.2: Lintasan partikel
pada n → ∞ atau ∆t → 0,
Z Z T nm o
0 0
hq | U (t , t) |qi = Dq exp i dt q̇ 2 − V (q)
0 2
Z
= DqeiS (3.10)
dengan
m n2
Dq ≡ dq1 . . . dqn−1 (3.11)
2πi∆t
Di sini, S merupakan aksi fungsional dari suatu sistem,
Z t0
S(q) = dtL(q(t), q̇(t)), (3.12)
t
R
dan Dq menunjukkan integrasi terhadap semua fungsi q(t). Path integral meru-
pakan penjumlahan terhadap semua lintasan q(t). Lintasan klasik, yang memenuhi
persamaan gerak δS(q) = 0 atau
∂L ∂ ∂L
− =0 (3.13)
∂q ∂t ∂ q̇
hanya merupakan satu dari banyak kemungkinan lintasan yang tak berhingga.
Setiap lintasan memiliki bobot exp(iS) [7].
15
3.2 Teori Medan Kuantum dengan Path Inte-
gral
Teori medan kuantum memiliki formulasi lagrangian, dengan demikian kita dapat
melakukan kuantisasi dengan path integral. Pembahasan pada mekanika kuantum
sebelumnya merupakan contoh teori medan pada dimensi ruang 0 dan dimensi
waktu 1: q(t) → φ(t) → φ(x). Untuk mendapatkan formulasi path integral dari
teori medan, dapat dilakukan dengan penggantian variabel dasar q(t) menjadi
medan skalar φ(x, t). Penggantian variabel tersebut antara lain [8]
q(t) ↔ φ(x, t)
Y Y
dq(t) ↔ dφ(x, t) ≡ Dφ
t t,x
Z Z
S= dtL ↔ S = d4 xL
Besaran yang penting di teori medan ialah nilai ekspektasi vakum dari produk
time-ordered operator medan, yaitu fungsi Green:
Dengan analogi path integral mekanika kuantum kita dapat menuliskan represen-
tasi fungsi Green dalam integral fungsional [9],
1
Z
h0| φ(x1 )φ(x2 ) . . . φ(xn ) | 0i = Dφ φ(x1 )φ(x2 ) . . . φ(xn )eiS (3.16)
Z
dengan Z
Z= DφeiS (3.17)
Agar path integral dapat dihitung secara numerik, maka dilakukan kontinuasi
analitik ke waktu imajiner. Hal ini dilakukan karena path integral pada pers.(3.17)
terdapat integran yang berosilasi akibat eksponen yang imajiner. Dengan melaku-
kan substitusi waktu imajiner ini kita bekerja dalam ruang waktu Euclidean di-
mana sebelumnya ialah ruang waktu Minkowski. Teori medan dalam ruang waktu
16
Euclidean disebut dengan teori medan Euclidean atau Euclidean Field Theory.
Kontinuasi dilakukan dengan melakukan substitusi
t = x0 → −ix4 (3.18)
Sebagai contoh, kita akan lakukan kontinuasi ini pada medan skalar. Perhatikan
aksi untuk medan skalar
m2 2
1
Z
S= d x (∂µ φ)(∂ µ φ) −
4
φ (3.19)
2 2
Aksi tersebut dapat ditulis dalam bentuk
1
Z
d4 xφ −∂ 2 − m2 φ
S= (3.20)
2
bila kita melakukan kontinuasi ke waktu imajiner maka,
dengan
1
Z
d4 xE φ −∂E2 + m2 φ
SE = (3.21)
2
merupakan aksi medan skalar pada ruang waktu Euclidean. Kemudian fungsi
Green versi Euclidean
1
Z
h0 | φ(x1 )φ(x2 ) . . . φ(xn ) |0i E = Dφ φ(x1 )φ(x2 ) . . . φ(xn )e−SE (3.22)
Z
17
Gambar 3.3: Lattice atau kisi 3 dimensi
dengan Z
Z= Dφe−SE (3.23)
3.3 Diskritisasi
Setelah melakukan formulasi ruang-waktu Euclidean, selanjutnya kita akan mela-
kukan diskritisasi ruang waktu. Dengan demikian teori medan yang kita miliki
disusun pada ruang waktu diskrit. Diskritisasi dilakukan dengan membentuk
ruang waktu menjadi kisi hiperkubik empat dimensi dengan jarak antar tiap titik
kisi ialah a. Dengan demikian pada, medan hanya memiliki nilai pada titik-titik
kisi
xµ = mµ a, mµ = 0, 1, . . . , N − 1. (3.24)
18
Untuk fungsi di limit kontinu,
X Z L
f (x) → d4 xf (x), N → ∞, a → 0, L tetap (3.26)
x 0
Turunan atau derivatif diganti dengan perbedaan atau selisih medan antara dua
titik kisi,
1
∂ µ φx = (φx+aµ̂ − φx ), (3.27)
a
1
∂µ0 φx = (φx − φx−aµ̂ ), (3.28)
a
dengan µ̂ merupakan vektor satuan pada arah µ. Untuk fungsi pada limit kontinu,
∂
∂µ f (x), ∂µ0 f (x) → f (x), a → 0. (3.29)
∂xµ
Sedangkan operator d’Alambertian,
φx = ∂ µ ∂µ0 φx
1
= 2 (φx+aµ̂ + φx−aµ̂ − 2φx ) . (3.30)
a
Medan-medan pada kisi juga memenuhi periodisitas
Dari kondisi periodisitas, operator turunan ∂µ dan ∂µ0 dihubungkan oleh sumasi
parsial (analog dengan integrasi parsial)
X X
φ1x ∂µ φ2x = − ∂µ0 φ1x φ2x (3.32)
x x
19
dimana ∆p = 2π/N a.
Dengan diskritisasi yang telah dijelaskan maka kita dapat menulis aksi untuk
medan skalar pada persamaan (3.21) dalam bentuk diskrit
X1
φx+aµ̂ + φx−aµ̂ − 2φx
4 2 2
S=a −φx 2
+ m φx (3.37)
m,µ
2 a
φx → φ0x = Ωφx
φ†x → φ†0 † †
x = φx Ω
dengan Ω = e−iθ merupakan elemen dari grup U (1). Kemudian, aksi tersebut
harus invarian terhadap transformasi gauge lokal U (1), dengan elemen grup Ω
bergantung pada titik kisi, Ω = Ωx . Sehingga medan φx bertansformasi sebagai
berikut,
φx → φ0x = Ωx φx (3.39)
φ†x → φ†0 † †
x = φ x Ωx . (3.40)
Dari transformasi tersebut, perhatikan besaran φ†x φx+aµ̂ dan φ†x φx−aµ̂ . Besaran
tersebut tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal yang didefinisikan pada
persamaan (3.39) dan (3.40)
Agar besaran tersebut invarian, maka kita membutuhkan suatu besaran Uµx yang
bertransformasi sebagai berikut,
20
Gambar 3.4: Lintasan C antara x dan y
Uµx merupakan besaran yang menghubungkan titik kisi yang satu dengan titik kisi
lainnya pada lattice, dan disebut dengan variabel ”link ”. Di dalam variabel link
terdapat medan gauge Aµ agar besaran pada persamaan (3.38) invarian terhadap
transformasi gauge lokal. Variabel link didefinisikan sebagai
Sehingga kita memiliki bentuk yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
pada lattice
dimana
†
U−µx = Ux−aµ̂,x = Ux,x−aµ̂ = e−igaAµx−aµ̂ (3.47)
Pada teori kontinum Uµx tidak lain merupakan parallel transporter yang analog
dengan obyek yang sama pada geometri diferensial, yang memetakan vektor dari
titik yang satu ke titik lainnya sepanjang kurva.
Rx
U (x, y; C) = eig y Aµ (z)dzµ
. (3.48)
Parallel transporter tidak hanya bergantung pada titik x dan y tetapi juga kurva
C yang dipilih.
21
Gambar 3.5: Uµνx pada sebuah Plaquette
Sementara itu kontribusi medan gauge pada aksi yang berbentuk 14 Fµν F µν da-
pat dituliskan dalam variabel link Uµx sehingga invarian terhadap transformasi
gauge pada lattice. Sekarang perhatikan produk dari variabel link terhadap su-
atu plaquette seperti pada gambar (3.5). Plaquette ini berada pada bidang µ − ν.
Kemudian didefinisikan
† †
Uµνx = Uµx Uνx+aµ̂ Uµx+aν̂ Uνx (3.50)
22
Sehingga aksi medan gauge pada lattice dapat ditulis,
1 X 1 †
SG [U ] = 2 Re 1 − (UP + UP ) (3.53)
2g P 2
dimana P merupakan produk dari variabel link terhadap suatu plaquette P de-
ngan arah berlawanan dengan putaran jarum jam.
23
Bab 4
Interaksi antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan la-
grangian pada persamaan (2.11) untuk kasus Abelian. Dalam persamaan tersebut
terdapat suku boson yang merepresentasikan materi dan suku medan gauge yang
merepresentasikan fluida, dimana telah dibahas sebelumnya, lagrangian untuk
medan gauge bila dimasukkan ke persamaan Euler-Lagrange dan memasukkan
bentuk Aµ pada persamaan (2.16) akan menghasilkan persamaan Navier Stokes.
Lagrangian pada persamaan (2.11) dapat ditulis dalam bentuk
1
L = (Dµ φ∗ )(D µ φ) − m2 φ∗ φ − Fµν F µν (4.1)
4
dengan Dµ ialah turunan kovarian yang didefinisikan sebagai berikut,
Dµ = ∂µ + igAµ (4.2)
24
Untuk menghitung path integral secara nonperturbatif, dapat dilakukan dengan
menyusun aksi pada persamaan (4.1) dalam ruang waktu diskrit seperti yang
dijelaskan pada bab 3. Sebelum melakukan diskritisasi, perhatikan lagrangian
untuk medan skalar kompleks
Dengan menggunakan skema diskritisasi yang telah dijelaskan pada bab 3, yaitu
dengan terlebih dahulu melakukan rotasi ke waktu imajiner maka lagrangian pada
persamaan (4.4) dapat ditulis dalam bentuk diskrit
X
φx+aµ̂ + φx−aµ̂ − 2φx
4 ∗ 2 ∗
S=a Re −φx 2
+ m φx φx (4.6)
m,µ
a
Aksi di atas jelas tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal pada per-
samaan (3.39) dan (3.40). Bentuk yang invarian diperoleh dengan memperke-
nalkan variabel link Uµx yang di dalamnya terdapat medan gauge Aµ , sehingga
diperoleh aksi medan skalar kompleks yang invarian
∗
X Ux,x+aµ̂ φx+aµ̂ + Ux−aµ̂,x φx−aµ̂ − 2φx
4 ∗ 2 ∗
S=a Re −φx 2
+ m φx φx (4.7)
m,µ
a
Kita dapat memeriksa apakah aksi lattice di atas dapat kembali ke bentuk aksi
kontinu bila kita ambil jarak antar kisi a → 0. Dengan melakukan ekspansi Uµ
pada persamaan (3.50) menjadi
Ux,x+aµ̂ = eigaAµx
g 2 a2 2
≈ 1 + igaAµx − Aµx + O(a3 ) (4.8)
2
dan
∗
Ux−aµ̂,x = e−igaAµx−aµ̂
g 2 a2 2
≈ 1 − igaAµx−aµ̂ − A + O(a3 ) (4.9)
2 µx−aµ̂
25
dimana,
Aµx−aµ̂ = Aµx − a∂µ Aµx + O(a2 ) (4.10)
Maka aksi yang akan digunakan pada simulasi tugas akhir ini ialah aksi boson
pada persamaan (4.7) dan aksi dari medan gauge pada persamaan (3.53),
dengan
∗
Ux,x+aµ̂ φx+aµ̂ + Ux−aµ̂,x φx−aµ̂ − 2φx
X
4 ∗ 2 ∗
Sboson [φ] = a Re −φx 2
+ m φx φx
m,µ
a
(4.15)
1 X
SG [U ] = − 2 Re (UP + UP∗ ) . (4.16)
2g P
Berikutnya, kita dapat menghitung selisih energi ∆E dengan terlebih dahulu
menghitung propagator pada suatu titik dan waktu tertentu. Dari definisi pro-
pagator dalam ruang waktu Euclidean pada persamaan (3.15),
26
diperoleh
X
G(τ ) = h0| φ∗ (~x, 0) |ni e−(En −E0 )τ hn | φ(~x, 0) |0i
n
X
= | h0 | φ(~x, 0) |ni |2 e−(En −E0 )τ . (4.18)
n
τ besar
X
G(τ ) −→ |h0 | φ(~x, 0) |1i|2 e−(E1 −E0 )τ . (4.19)
n
P [φα ] ∝ e−S[φ,U ]
Simulasi dilakukan pada lattice 4 dimensi dengan jumlah titik kisi 83 × 32 dengan
jarak antar titik kisi a = 0, 5 fm, yang berarti volume lattice yang digunakan
27
15
10
∆E (x 0,197 GeV)
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
28
15
10
∆E (x 0,197 GeV)
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
29
15
Ncf = 100
Ncf = 10
Ncf = 50
10
∆E (x 0,197 GeV)
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
Hasil simulasi untuk jumlah konfigurasi (Ncf ) yang berbeda-beda dapat dilihat
pada Gambar (4.3). Grafik tersebut dihasilkan dari simulasi dengan jarak antar
titik kisi a = at = 0, 5 fm dan konstanta kopling interaksi g = 1 dengan jum-
lah konfigurasi yang digunakan ialah 10, 50 dan 100. Dari hasil yang diperoleh
terlihat bahwa perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan memberikan hasil
yang sama untuk masing-masing konfigurasi. Bila kita lihat pada persamaan
(A.6) perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap
besarnya kesalahan statistik dari estimasi Monte Carlo yang dihasilkan, dimana
bila Ncf semakin besar maka kesalahan statistiknya akan semakin kecil.
hhΓ2 ii − hhΓii2
σΓ2 =
Ncf
Namun pada Gambar (4.3), error bar untuk ketiga jumlah konfigurasi, tidak
menunjukkan perbedaan satu sama lainnya. Nilai kesalahan statistik yang kecil
pada simulasi ini disebabkan karena konfigurasi ∆E yang didapat memiliki ni-
lai yang hampir sama, atau dengan kata lain konfigurasi yang dihasilkan sudah
stabil. Hal ini disebabkan karena banyaknya update yang dilakukan pada saat
30
15
Ncf = 100
Ncf = 100, bootstrap
10
∆E (x 0,197 GeV)
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
Gambar 4.4: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk Ncf = 100 dengan dan
tanpa bootstrap.
Gambar (4.5) merupakan hasil simulasi dengan jarak antar titik kisi a yang
bervariasi. Dengan berubahnya a, maka jumlah titik kisi yang harus di-update
juga berubah karena volume kisi hiperkubik yang digunakan harus tetap. Peng-
gunaan nilai a yang semakin kecil mengakibatkan jumlah titik kisi yang digu-
nakan semakin banyak, sebaliknya bila a makin besar, jumlah titik kisi semakin
sedikit. Hal ini sangat berpengaruh pada lamanya waktu yang dibutuhkan un-
31
30
a = at = 0,5
25 a = 0,4; at = 0,2
a = at = 0,8
20
∆E (x 0,197 GeV)
15
10
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
tuk mengeksekusi program. Pada tugas akhir ini dilakukan 3 variasi a dengan
g = 1 dan digunakan 100 konfigurasi. Yang pertama ialah a = at = 0, 5 fm.
Kedua, digunakan a yang lebih kecil yaitu sebesar 0,8 fm dan yang terakhir a
dibedakan antara kisi temporal dan spasial, a = 0, 4 fm dan at = 0, 2 fm. Hasil
yang diperoleh ternyata menunjukkan nilai ∆E terhadap v yang berbeda untuk
ketiga konfigurasi. Terlihat bahwa semakin kecil a yang digunakan maka ∆E
yang dihasilkan akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan persamaan (4.21) un-
tuk ∆E dimana ∆E berbanding terbalik dengan a.
Pada Gambar (4.6) dan (4.7) dapat dilihat hubungan ∆E terhadap kecepatan flu-
ida v bila parameter massa yang digunakan diperbesar, yaitu 500 GeV, dan pada
besar konstanta kopling interaksi yang berbeda, yaitu g = 1 dan g = 0, 01. Terli-
hat bahwa nilai ∆E cenderung konstan pada kedua grafik, dan dengan ataupun
tanpa bootstrap sampling. Hal ini berarti kontribusi dari interaksi fluida dan
materi tidak tampak dan kontribusi yang dominan datang dari massa materi
tersebut.
32
20
tanpa bootstrap
bootstrap
15
∆E (x 0,197 GeV)
10
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
20
dengan bootstrap
tanpa boostrap
15
∆E (x 0,197 GeV)
10
0
0 50 100 150 200
v (m/s)
33
Bab 5
Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan analisa yang dilakukan pada pemodelan interaksi an-
tara fluida dengan materi dengan menggunakan dinamika fluida berbasis teori
medan, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara energi eksitasi ∆E dengan
kecepatan v tidak bergantung secara signifikan pada besarnya konstanta kopling
interaksi yang digunakan. Penggunaan jumlah konfigurasi yang berbeda, begitu
pula dengan atau tanpa teknik bootstrap sampling, tidak memberikan perbedaan
yang signifikan karena update yang dilakukan saat termalisasi jumlahnya cukup
banyak sehingga menghasilkan konfigurasi yang stabil. Sementara itu apabila
jarak antar titik kisi a diubah, hubungan ∆E dengan v juga berubah dimana se-
makin kecil a maka nilai ∆E yang dihasilkan semakin besar. Untuk massa materi
yang besar, didapatkan bahwa hubungan ∆E terhadap v cenderung konstan dan
sama untuk konstanta kopling interaksi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bah-
wa interaksi materi dan fluida tidak dominan dibandingkan dengan massa materi.
34
Daftar Acuan
[3] http://scienceworld.wolfram.com/physics/Navier-StokesEquation.html
[9] Ryder, L.H. Quantum Field Theory. Cambridge University Press. (1996).
35
Lampiran A
Berikut ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk mengevaluasi path in-
tegral secara numerik. Banyaknya integrasi yang harus dilakukan untuk meng-
evaluasi path integral, menyebabkan kita harus menggunakan metode statistik
untuk menyelesaikannya. Sebagai ilustrasi, misalkan kita melakukan simulasi pa-
da lattice dengan 40 titik kisi pada setiap arah. Kita mempunyai variabel link
sebanyak 4 · 404 . Untuk grup gauge SU(3) memberikan variabel real sebanyak
81.920.000.
Secara prinsip, rata-rata path integral hhΓ[x]ii dari sembarang fungsional Γ[x]
dapat digunakan untuk menghitung bermacam-macam sifat fisis dari keadaan
tereksitasi di teori kuantum. Besaran
R
Dx(t)Γ[x]e−S[x]
hhΓ[x]ii = R (A.1)
Dx(t)e−S[x]
merupakan rata-rata berbobot terhadap konfigurasi dengan bobot e−S[x] . Kon-
figurasi acak dibangkitkan dalam jumlah yang banyak, Ncf ,
36
seragam:
Ncf
1 X
hhΓ[x]ii ≈ Γ ≡ Γ[x(α) ]. (A.4)
Ncf α=1
hhΓ2 ii − hhΓii2
σΓ2 = (A.6)
Ncf
untuk Ncf yang besar. Karena pembilang pada persamaan di atas tidak bergan-
tung pada jumlah konfigurasi, ketidakpastian statistik berkurang sesuai dengan
√
1/ Ncf ketika Ncf bertambah.
• Metode Metropolis
• Algoritma Langevin
• Algoritma Heatbath
Simulasi yang dilakukan pada tugas akhir ini menggunakan algoritma Metropolis.
Prosedur ini merupakan prosedur yang paling sederhana walaupun bukan yang
paling baik. Prosedur ini dimulai dengan sembarang konfigurasi x(0) dan memo-
difikasinya dengan mendatangi setiap titik kisi pada lattice, dan membangkitkan
bilangan acak untuk xj pada titik kisi tersebut, dengan cara yang akan dijelaskan
37
berikutnya. Di sini dibangkitkan konfigurasi acak yang baru dari konfigurasi se-
belumnya: x(0) → x(1) . Cara ini disebut dengan meng-update konfigurasi. De-
ngan menerapkan algoritma tersebut ke x(1) kita mendapatkan konfigurasi x(2) ,
dan seterusnya sampai terdapat Ncf konfigurasi. Himpunan konfigurasi ini mem-
punyai distribusi yang benar bila Ncf cukup besar.
Algoritma untuk membangkitkan bilangan acak untuk xj pada titik kisi j ialah
sebagai berikut [10]:
• Bila aksi berkurang, ∆S < 0, ambil nilai baru untuk xj dan lanjutkan
proses ke titik kisi berikutnya.
Ada beberapa hal penting sehubungan dengan penggunaan algoritma ini. Perta-
ma, secara umum, beberapa atau benyak nilai xj akan sama pada dua konfigurasi.
Jumlah overlap ini ditentukan oleh parameter : ketika sangat besar, perubahan
pada xj biasanya besar dan kebanyakan akan ditolak; ketika sangat kecil, pe-
rubahannya akan kecil, perubahannya kecil dan kebanyakan akan diterima, tetapi
nilai xj yang baru akan mendekati atau sama dengan nilai yang lama. Parameter
harus di sesuaikan sehingga 40%-60% xj akan berubah untuk tiap update pada
titik kisi. Berapapun , konfigurasi yang suksesif akan mirip (berkorelasi ting-
gi) dan mengandung informasi yang mirip pula. Kemudian bila konfigurasi x(α)
diakumulasi untuk estimasi Monte Carlo, kita hanya mengambil tiap Ncor konfig-
urasi, memberikan kita konfigurasi yang tidak bergantung secara statistik. Nilai
optimal dari Ncor bergantung dari teori dan bisa diperoleh dengan eksperimentasi.
38
Ncor juga bergantung pada jarak antar titik kisi a,
1
Ncor ∝ (A.7)
a2
Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah prosedur untuk memulai algoritma. Kon-
figurasi paling pertama yang digunakan untuk mengawali seluruh proses biasanya
kurang beraturan. Konsekuensinya kita harus mengabaikan sejumlah konfigurasi
di awal, sebelum memulai mengumpulkan x(α) . Dengan mengabaikan 5Ncor sam-
pai 10Ncor konfigurasi biasanya cukup. Ini disebut dengan ”termalisasi lattice”.
Sebagai ringkasan perhitungan Monte Carlo yang lengkap untuk hhΓ[x]ii untuk
suatu Γ[x] dari konfigurasi x terdiri dari beberapa langkah berikut:
• Update konfigurasi Ncor kali, kemudian hitung Γ[x] dan simpan, ulangi se-
banyak Ncf kali.
• Rata-ratakan Ncf nilai dari Γ[x] yang disimpan pada langkah sebelumnya
untuk memperoleh Monte Carlo estimator Γ untuk hhΓ[x]ii.
39
Lampiran B
Pemrograman
#include <iostream>
#include <time.h>
#include <stdlib.h>
#include <cmath>
#include <iomanip>
#include <fstream>
using namespace std;
/*===================================================================*/
/* Deklarasi konstanta dan variabel */
/*===================================================================*/
int N1 = N-1;
int Nt1 = Nt-1;
int m[4];
float phi[N*N*N*Nt][2];
float U[N*N*N*Nt][4][2];
float old_U_re[4];
float old_U_im[4];
float dE[Ncf];
float rdE_a[imaks];
float sdev_a[imaks];
float rdE2_a[imaks];
float rdE_b[imaks];
float sdev_b[imaks];
40
float rdE2_b[imaks];
float rdE_c[imaks];
float sdev_c[imaks];
float rdE2_c[imaks];
float rdE_boot_a[imaks];
float rdE2_boot_a[imaks];
float boot_sdev_a[imaks];
float rdE_boot_b[imaks];
float rdE2_boot_b[imaks];
float boot_sdev_b[imaks];
float rdE_boot_c[imaks];
float rdE2_boot_c[imaks];
float boot_sdev_c[imaks];
/*===================================================================*/
/* Prototipe fungsi */
/*===================================================================*/
void inisialisasi();
int kurangi(int m[], int d);
float S(int m[]);
void hitungstaple(int m[]);
void update();
float computeG(int n0, int n1, int n2, int n3);
void MCavg();
void rata2dE();
void rata2dE2();
void sdevdE();
void bootstrap();
/*===================================================================*/
/* MAIN PROGRAM */
/*===================================================================*/
int main(){
srand(time(0));
ofstream keluar_a;
ofstream keluar_b;
41
ofstream keluar_c;
ofstream keluar_d;
ofstream keluar_e;
ofstream keluar_f;
keluar_a.open("r_1a.dat");
keluar_b.open("r_g1b.dat");
keluar_c.open("r_g1c.dat");
keluar_d.open("r_g1d.dat");
keluar_e.open("r_g1e.dat");
keluar_f.open("r_g1f.dat");
for (i=0;i<imaks;i++){
v = i*10;
keluar_a << "v = " << v << endl;
keluar_b << "v = " << v << endl;
keluar_c << "v = " << v << endl;
keluar_d << "v = " << v << endl;
keluar_e << "v = " << v << endl;
keluar_f << "v = " << v << endl;
int aaa = Nt/2;
for (int n0=0;n0<aaa;n0++)
{
MCavg();
keluar_a << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_a[i] << setw(15)
<< sdev_a[i] << endl;
keluar_b << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_b[i] << setw(15)
<< sdev_b[i] << endl;
keluar_c << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_c[i] << setw(15)
<< sdev_c[i] << endl;
keluar_d << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_a[i] << setw(15)
<< boot_sdev_a[i] << endl;
keluar_e << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_b[i] << setw(15)
<< boot_sdev_b[i] << endl;
keluar_f << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_c[i] << setw(15)
<< boot_sdev_c[i] << endl;
}
}
keluar_a.close();
keluar_b.close();
keluar_c.close();
keluar_d.close();
keluar_e.close();
keluar_f.close();
}
42
U[s][0][0]=exp(-1.5*g2*at*v*v);
U[s][0][1]=0;
U[s][1][0]=cos(g2*v*a);
U[s][1][1]=-sin(g2*v*a);
U[s][2][0]=cos(g2*v*a);
U[s][2][1]=-sin(g2*v*a);
U[s][3][0]=cos(g2*v*a);
U[s][3][1]=-sin(g2*v*a);
}
}
}
}
}
/*********************************************************************/
int kurangi(int m[], int d){
if (d==0){
kk =m[d]-1;
if (kk < 0){
kk+=Nt1;
}
}
else{
kk = m[d]-1;
if (kk<0){
kk+=N1;
}
}
return kk;
}
/*===================================================================*/
/* Program menghitung aksi */
/*===================================================================*/
43
float del1re=(U[s][1][0]*phi[s1p][0]-U[s][1][1]*phi[s1p][1]+
U[s1m][1][0]*phi[s1m][0]+U[s1m][1][1]*phi[s1m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del1im=(U[s][1][0]*phi[s1p][1]+U[s][1][1]*phi[s1p][0]+
U[s1m][1][0]*phi[s1m][1]-U[s1m][1][1]*phi[s1m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//arah y
float del2re=(U[s][2][0]*phi[s2p][0]-U[s][2][1]*phi[s2p][1]+
U[s2m][2][0]*phi[s2m][0]+U[s2m][2][1]*phi[s2m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del2im=(U[s][2][0]*phi[s2p][2]+U[s][2][1]*phi[s2p][0]+
U[s2m][2][0]*phi[s2m][1]-U[s2m][2][1]*phi[s2m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//arah z
float del3re=(U[s][3][0]*phi[s3p][0]-U[s][3][1]*phi[s3p][1]+
U[s3m][3][0]*phi[s3m][0]+U[s3m][3][1]*phi[s3m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del3im=(U[s][3][0]*phi[s3p][1]+U[s][3][1]*phi[s3p][0]+
U[s3m][3][0]*phi[s3m][1]-U[s3m][3][1]*phi[s3m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//total
float Sre = del0re + del1re + del2re + del3re;
float Sim = del0im + del1im + del2im + del3im;
float Sreal=a*a*a*at*(-phi[s][0]*Sre - phi[s][1]*Sim +
mass*mass*(phi[s][0]*phi[s][0]+phi[s][1]*phi[s][1]));
return Sreal;
}
/*===================================================================*/
/* Program untuk meng-update dengan algoritma Metropolis */
/*===================================================================*/
void update(){
for (m[0]=0;m[0]<Nt;m[0]++){
for (m[1]=0;m[1]<N;m[1]++){
for (m[2]=0;m[2]<N;m[2]++){
for (m[3]=0;m[3]<N;m[3]++){
s=m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
float old_p_real = phi[s][0];
float old_p_imag = phi[s][1];
float old_S_real = S(m);
phi[s][0] = phi[s][0] +
(2.0*epsilon*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-epsilon);
phi[s][1] = phi[s][1] +
(2.0*epsilon*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-epsilon);
float dS0 = S(m) - old_S_real;
float u = rand()/(RAND_MAX+1.0);
if (dS0 >0 && exp(-dS0)< u){
phi[s][0] = old_p_real;
phi[s][1] = old_p_imag;
}
}
}
}
44
}
}
/*===================================================================*/
/* Program menghitung propagator */
/*===================================================================*/
/*===================================================================*/
/* Program menghitung Monte Carlo estimator */
/*===================================================================*/
void MCavg(){
inisialisasi();
/* termalisasi */
for (j=0;j<200*Ncor;j++){
update();
}
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++){
for (j=0;j<Ncor;j++){
update();
}
dE[alpha]=(log(abs(computeG(n0,0,0,0)/computeG(n0+1,0,0,0))))/at;
}
rata2dE();
rata2dE2();
sdevdE();
bootstrap();
}
void rata2dE(){
// Ncf1
float avgdE_a = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf1;alpha++){
avgdE_a = avgdE_a + dE[alpha];
}
45
float ratadE_a = avgdE_a/Ncf1;
rdE_a[i] = ratadE_a;
// Ncf2
float avgdE_b = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf2;alpha++){
avgdE_b = avgdE_b + dE[alpha];
}
float ratadE_b = avgdE_b/Ncf2;
rdE_b[i] = ratadE_b;
// Ncf
float avgdE_c = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++){
avgdE_c = avgdE_c + dE[alpha];
}
float ratadE_c = avgdE_c/Ncf;
rdE_c[i] = ratadE_c;
}
void rata2dE2(){
// Ncf1
float avgdE2_a = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf1;alpha++){
avgdE2_a = avgdE2_a + dE[alpha]*dE[alpha];
}
float ratadE2_a = avgdE2_a/Ncf1;
rdE2_a[i] = ratadE2_a;
// Ncf2
float avgdE2_b = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf2;alpha++){
avgdE2_b = avgdE2_b + dE[alpha]*dE[alpha];
}
float ratadE2_b = avgdE2_b/Ncf2;
rdE2_b[i] = ratadE2_b;
// Ncf
float avgdE2_c = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++){
avgdE2_c = avgdE2_c + dE[alpha]*dE[alpha];
}
float ratadE2_c = avgdE2_c/Ncf;
rdE2_c[i] = ratadE2_c;
}
void sdevdE(){
// Ncf1
float sdev2_a = 0;
float sdevl_a = 0;
sdev2_a = (abs(rdE2_a[i]-(rdE_a[i]*rdE_a[i])))/Ncf1;
sdevl_a = sqrt(sdev2_a);
sdev_a[i]=sdevl_a;
// Ncf2
float sdev2_b = 0;
46
float sdevl_b = 0;
sdev2_b = (abs(rdE2_b[i]-(rdE_b[i]*rdE_b[i])))/Ncf2;
sdevl_b = sqrt(sdev2_b);
sdev_b[i]=sdevl_b;
// Ncf
float sdev2_c = 0;
float sdevl_c = 0;
sdev2_c = (abs(rdE2_c[i]-(rdE_c[i]*rdE_c[i])))/Ncf;
sdevl_c = sqrt(sdev2_c);
sdev_c[i]=sdevl_c;
}
/*===================================================================*/
/* Program menghitung Monte Carlo estimator dgn bootstrap sampling */
/*===================================================================*/
void bootstrap(){
// Ncf1
float dE_boot_a = 0;
float dE2_boot_a = 0;
for (int j=0;j<Ncf1;j++){
int alpha2 = int(Ncf1*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_a = dE_boot_a + dE[alpha2];
dE2_boot_a = dE2_boot_a + dE[alpha2]*dE[alpha2];
}
float avg_dE_boot_a = dE_boot_a/Ncf1;
rdE_boot_a[i]=avg_dE_boot_a;
float avg_dE2_boot_a = dE2_boot_a/Ncf1;
rdE2_boot_a[i]=avg_dE2_boot_a;
float boot_sdev2_a = 0;
float boot_sdevl_a = 0;
boot_sdev2_a = (abs(rdE2_boot_a[i]-(rdE_boot_a[i]*rdE_boot_a[i])))/Ncf1;
boot_sdevl_a = sqrt(boot_sdev2_a);
boot_sdev_a[i]=boot_sdevl_a;
// Ncf2
float dE_boot_b = 0;
float dE2_boot_b = 0;
for (int j=0;j<Ncf2;j++){
int alpha2 = int(Ncf2*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_b = dE_boot_b + dE[alpha2];
dE2_boot_b = dE2_boot_b + dE[alpha2]*dE[alpha2];
}
float avg_dE_boot_b = dE_boot_b/Ncf2;
rdE_boot_b[i]=avg_dE_boot_b;
float avg_dE2_boot_b = dE2_boot_b/Ncf2;
rdE2_boot_b[i]=avg_dE2_boot_b;
float boot_sdev2_b = 0;
float boot_sdevl_b = 0;
boot_sdev2_b = (abs(rdE2_boot_b[i]-(rdE_boot_b[i]*rdE_boot_b[i])))/Ncf2;
boot_sdevl_b = sqrt(boot_sdev2_b);
boot_sdev_b[i]=boot_sdevl_b;
// Ncf
float dE_boot_c = 0;
47
float dE2_boot_c = 0;
for (int j=0;j<Ncf;j++){
int alpha2 = int(Ncf*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_c = dE_boot_c + dE[alpha2];
dE2_boot_c = dE2_boot_c + dE[alpha2]*dE[alpha2];
}
float avg_dE_boot_c = dE_boot_c/Ncf;
rdE_boot_c[i]=avg_dE_boot_c;
float avg_dE2_boot_c = dE2_boot_c/Ncf;
rdE2_boot_c[i]=avg_dE2_boot_c;
float boot_sdev2_c = 0;
float boot_sdevl_c = 0;
boot_sdev2_c = (abs(rdE2_boot_c[i]-(rdE_boot_c[i]*rdE_boot_c[i])))/Ncf;
boot_sdevl_c = sqrt(boot_sdev2_c);
boot_sdev_c[i]=boot_sdevl_c;
}
48