You are on page 1of 4

UPAYA MEMAHAMI PLURALISME AGAMA

Oleh. Hendra Manurung

-----------------------------------------------------------------------------------

Pluralism is precisely, because of the cultural diversity of the world that it is


necessary for different nations and peoples to agree on those basic human values, which
will act as a unifying factor (Aung San Suu Kyi, Burma, 1991).
Pluralitas agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa
Indonesia, jelas merupakan kekayaan spiritual yang tidak ternilai untuk terus dilestarikan
dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Namun, pluralitas ini sering kali dijustifikasi
sebagai faktor penghambat dan penghalang kita untuk dapat saling bekerja sama dan
berbagi kebahagiaan dengan mereka yang berbeda. Argumentasi perbedaan yang
merupakan keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebagian kelompok
masyarakat justru dianggap sebagai suatu ancaman serius bagi keberadaan dan
keberlangsungan hidup kelompoknya.
Dalam situasi demikian, tidak mustahil akan muncul budaya kekerasaan terhadap
kelompok yang dianggap berbeda tersebut. Kekerasan politik dan kebrutalan massa
dengan mengatasnamakan agama yang sering terjadi di negeri ini sesungguhnya
disebabkan oleh ketidakmampuan kita menghargai dan merasakan betapa pentingnya
kehadiran yang lain (the other) dalam kehidupan kita.
Dalam konteks ini, Derrida mengungkapkan jalinan yang cukup erat antara
gagasan tentang etika universal (universal ethics) dan kekerasan (violence) terhadap yang
lain. Menurut Derrida, upaya untuk menciptakan statu etika yang dilatarbelakangi konsep
universal pada akhirnya akan meniadakan “otherness” dan perbedaan. Kekerasan muncul
dikarenakan cara pandang kita yang cenderung masih dibatasi oleh pemikiran
“logosentris”. Salah satu ciri dari cara berpikir logosentris adalah adanya upaya dari
otoritas tertentu untuk mengubah keberagaman agama dan budaya menjadi kekuatan-
kekuatan untuk mengatur dan menyatukan perbedaan sedemikian rupa, sehingga alam
pemikiran kita dikuasai nalar dogmatis yang membenarkan dirinya sebagai Kebenaran
Abadi (Final Truth).
Logosentris juga cenderung menutup diri (isolated) dan sama sekali tidak melihat
faktor-faktor kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik masyarakat, sehingga pada akhirnya
menjadikan satu-satunya wacana yang harus dikuliti secara seragam dan memaksakan
tindakan peniruan buta. Disamping itu, logosentrisme juga lebih mengutamakan sebuah
wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah-
kaidah bahasa, dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Sedangkan, wacana
batin yang melampaui batas-batas logosentris melalui kekayaan spiritual cenderung
diabaikan (Arkoun, 1994).
Sehubungan dengan pluralitas bangsa Indonesia, menarik memerhatikan tesis
Partha Chatterjee (1986) yang menjelaskan bahwa nasionalisme dalam konteks kolonial
dihadapkan dengan persoalan yang memiliki karakter tertentu. Tidak seperti negara-
negara Eropa yang memiliki standar linguistik bagi adanya identitas nasional (national
identity) yang dapat dipergunakan untuk menetapkan batas-batas kedaulatan negaranya.
Sementara, dalam masa kolonial, batas-batas negara telah lama ditetapkan secara arbitrer
oleh kekuasaan kolonial.
Memasuki konteks pasca kolonial, di Indonesia saat ini, memiliki begitu banyak
keberagaman etnik, agama, bahasa, dan juga budaya. Oleh karena itu, upaya-upaya yang
dilakukan untuk membangun suatu identitas nasional dan mewujudkannya bersama-
sama, secara bersamaan akan menampilkan berbagai macam perbedaan persepsi dan
pemaknaan atas pembentukan identitas tersebut. Hal ini terjadi, karena identitas individu
atau kelompok selalu berhubungan dengan apa yang disebut sebagai “narrative identity”
(Paul Ricoeur, 1998). Menurutnya, individu maupun kelompok sosial membentuk
identitasnya dengan menceritakan berbagai kisah mengenai mereka, yang akhirnya
mengkristal menjadi sejarah.
Seperti halnya suatu cerita, identitas naratif ini memiliki komponen historis dan
komponen fiksional. Komponen historisnya terikat dengan argumen, verifikasi, dan
kesetiaan terhadap peristiwa (events); sedangkan komponen fiksional menggunakan
variasi-variasi imajinatif berhubungan dengan apa yang terjadi untuk menciptakan
pemahaman-pemahaman baru dan cara-cara baru untuk melihat segala hal. Karena itu,
dibutuhkan kesadaran baru bahwa kita tidak hidup sendirian (homo socious), dimana kita
hidup berdampingan dalam suasana keberagaman (plural) dalam segala bidang
kehidupan : agama, budaya, bahasa, politik, dan juga etnik.
Dunia dan lingkungan sosial yang kita huni sekarang jauh lebih plural
dibandingkan masa sebelumnya. Dunia sosial kita jelas terbagi oleh adanya perbedaan
politik, agama, etnisitas, nasionalitas, gender, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Kita
tidak akan pernah mampu menyepakati semua permasalahan, tetapi mungkin kita hanya
dapat sepakat dalam beberapa hal. Karena itu, dewasa ini kita memerlukan sosok
pemimpin dan pengelola negara yang memiliki kepekaan tinggi, itikad baik (good will)
dan juga kearifan dalam menyikapi perbedaan ini, serta mampu menggerakkan rakyat
dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang berbeda demi tujuan
kemaslahatan bersama sebagai suatu bangsa berdaulat.
Memposisikan Indonesia saat ini, kita menyaksikan bahwa pluralisme agama
masih menjadi persoalan yang sering kali memunculkan konflik dan pertikaian.
Dibutuhkan refleksi baru tentang agama, budaya, dan masyarakat dalam sudut pandang
pluralisme. Refleksi baru ini setidaknya dapat mewujud dalam tiga bentuk pemahaman
tentang pluralisme, yaitu : pertama, berhubungan dengan sikap personal, mengenai posisi
yang kita ambil vis-to-vis pluralitas itu sendiri. Di sini, persoalan-persoalan yang sering
muncul adalah hubungan kita dengan agama dan budaya lain. Penting menjadi
pertimbangan dalam upaya-upaya mencari cara yang tepat untuk mendamaikan klaim-
klaim kebenaran kita dengan klaim-klaim kebenaran orang lain, sehingga klaim-klaim
tersebut tidak mengkristal dalam wujud eksklusivisme dan fanatisme sesaat.
Perlu pula dikembangkan kesadaran tentang pluralitas agama sebagai isyarat
bahwa masing-masing agama nyata-nyata memiliki karakter yang tidak dapat direduksi
dan tidak bisa dijadikan bahan perbandingan. Di era millenium ini, kita memiliki tugas
untuk menemukan solusi yang dapat diterapkan dalam menuju pluralitas agama dan
mencari solusi untuk memahami kesadaran akan pentingnya keberadaan pluralitas agama,
supaya dapat didamaikan dengan bentuk-bentuk historis dan aktual yang berbeda.
Kedua, kepedulian terhadap koeksistensi dari agama-agama yang berbeda, dan
perhatian yang meningkat dalam menyikapi komunikasi antar agama (dialogis). Di sini,
persoalan yang sering dibicarakan adalah tujuan, prasyarat, dan modalitas-modalitas yang
dipergunakan untuk melakukan komunikasi antar umat beragama, harapan-harapan dari
terjadinya komunikasi antar umat beragama, dan konsekuensi-konsekuensi dari
komunikasi ini terhadap pemaknaan dan pemahaman agama masing-masing; Ketiga,
munculnya beberapa meta persoalan tentang pluralitas agama. Pada tingkatan ini,
perhatian umumnya diberikan untuk menjawab persoalan karakteristik dan batas-batas
dari dua konsep elementer yang berlaku dalam refleksi tentang pluralitas agama dan
pertemuan antar agama : “agama” dan “komunikasi”. Kemudian dirumuskan berbagai
upaya untuk melaksanakan konsep-konsep tersebut pada tataran praksis dalam konteks
hubungan antar agama yang dialogis.
Perhatian akan bahasa dan wacana bersama juga diperlukan pada tingkatan ini
untuk mewujudkan pertemuan antar agama yang harmonis dan jauh dari sikap curiga.
Komunikasi intensif juga dapat diupayakan dengan menempuh langkah-langkah
pembaruan dan pengkajian ulang atas pemahaman agama masing-masing yang selama ini
terbatas pada batas-batas sempit pengetahuan dan alam kesadaran kita. Dalam pencapaian
langkah-langkah tersebut, diperlukan juga refleksi ulang tentang keberadaan umat
beragama lain, partisipasi gender, dan dialog antar agama yang tidak hanya dibatasi oleh
lembaga keagamaan yang cenderung formalistis dan sempit pemahamannya.

You might also like