You are on page 1of 18

TUGAS HAKN

BADAN LAYANAN UMUM

KELOMPOK 9

1. APRILYA ARI PRATOMO / 06


2. ENDRA SULISTIAN / 17
3. KUKUH PERDANA / 23
4. NYOMAN ANDRI JUNIAWAN / 27
5. PUTUT WIDYA NUGRAHA / 30
6. YUSITA IKA PRASETYANI / 37
KONSEPSI DASAR BLU
Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola
pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan
praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Rencana Bisnis
dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah dokumen perencanaan bisnis dan
penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU. Standar
Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang
diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan
fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian
layanan yang bermutu dan berkesinambungan.

TUJUAN DAN ASAS


BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan
fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan
penerapan praktek bisnis yang sehat. Adapun asas-asas dalam BLU adalah :
(1) BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah
untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
(2) BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah
dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
(3) Menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas
pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya
kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
(4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/ walikota.
(5) BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
(6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan
disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran
serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah
daerah.
(7) BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang
sehat.

PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN


Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan
PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan
substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan
layanan umum yang berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b.   Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian
masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c.    Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada
masyarakat.
Persyaratan teknis terpenuhi apabila:
a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan
pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana
ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat
menyajikan seluruh dokumen berikut:
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat;
b. pola tata kelola;
c. rencana strategis bisnis;
d. laporan keuangan pokok;
e. standar pelayanan minimum; dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Dokumen tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk
mendapatkan persetujuan sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/
gubernur/bupati /walikota, sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan administratif diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Proses penetapan  PPK-BLU adalah sebagai berikut:
1.    Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang
memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PPK-BLU
kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
2.    Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang
telah memenuhi persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU.
3.    Penetapan tersebut dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau status BLU
bertahap.
4.    Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan telah dipenuhi dengan
memuaskan.
5.    Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi,
namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan.
6.    Status BLU-Bertahap berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
7.    Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, memberi
keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling
lambat 3 bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD.
Adapun penerapan PPK-BLU berakhir bila:
a.   dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya;
b.   dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan usul dari
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya; atau
c.    berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan.
Pencabutan penerapan PPK-BLU dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak
memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif.
Pencabutan status dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yaitu:
1. Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat
3 (tiga) bulan sejak tanggal usul diterima. Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan
terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.
2. Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan kembali
untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 PP No.23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
3. Dalam rangka menilai usulan penetapan dan pencabutan, Menteri Keuangan/gubernur/
bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, menunjuk suatu tim penilai.

STANDAR DAN TARIF LAYANAN


1.    Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum
yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai
dengan kewenangannya.
2.    Standar pelayanan minimum tersebut dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang
menerapkan PPK-BLU.
3.    Standar pelayanan minimum harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan
kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

Dalam hal tarif layanan, maka BLU:


1.    BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan
yang diberikan.
2.    Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
3.    Tarif layanan diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya.
4.    Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
5.    Tarif layanan harus mempertimbangkan:
a. kontinuitas dan pengembangan layanan;
b. daya beli masyarakat;
c. asas keadilan dan kepatutan; dan
d. kompetisi yang sehat.

PERENCANAAN BISNIS DAN PENGANGGARAN


Tata cara penyusunan, pengajuan, penetapan dan perubahan Rencana Bisnis dan
Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor 66/PMK.02/2006.
PERENCANAAN
Dalam hal perencanaan, BLU melakukan hal-hal  sebagai berikut:
1. BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana
Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
2. BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis tersebut.
3. RBA disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis
layanannya.
4. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang
diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.
5. RBA tersebut disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget)
dengan suatu persentase ambang batas tertentu.

PENGAJUAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN


Setelah RBA disusun, maka langkah selanjutnya  adalah pengajuan RBA sebagai berikut:
1.    BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas
sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
2.    RBA disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan
dihasilkan.
3.    RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD diajukan kepada
Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana
kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
4.   Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya
dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD,
atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan
APBN/APBD.
5.    BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap
RBA menjadi RBA definitif.

PENETAPAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN


1. Pengkajian kembali RBA dilakukanvoleh Direktorat Jenderal Anggaran.
2. Pengkajian kembali RBA tersebut  terutama mencakup standar biaya dan anggaran BLU,
kinerja keuangan BLU, serta besaran persentase ambang batas.
3. Adapun besaran persentase ambang batas ditentukan dengan mempertimbangkan
fluktuasi kegiatan operasional BLU.
4. Pengkajian dilakukan dalam rapat pembahasan bersama antara Direktorat Jenderal
Anggaran dengan unit yang berwenang pada kementerian/lembaga serta BLU yang
bersangkutan.
5. Hasil kajian atas RBA menjadi dasar dalam rangka pemrosesan RKA-KL sebagai bagian
dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN.
6. Setelah APBN ditetapkan, pimpinan BLU melakukan penyesuaian atas RBA menjadi RBA
definitif.

DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN


PENYUSUNAN DIPA BLU
1. RBA definitif sebagaimana dimaksud dalam poin (6) diatas digunakan sebagai acuan
dalam menyusun DIPA BLU untuk diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
2. DIPA BLU memuat seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, jumlah dan
kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan, rencana penarikan dana yang bersumber
dari APBN, serta besaran persentase ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam RBA
definitif.
3. DIPA BLU disampaikan oleh menteri/ pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan mengesahkan DIPA BLU
selambat-lambatnya tanggal 31 Desember dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
BLU (SP-DIPA BLU).
5. Format DIPA BLU diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.

PENARIKAN DAN PENGGUNAAN DANA


Dalam pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan nomor 66/PMK.02/2006, disebutkan mengenai
penarikan dana BLU, sebagai berikut:
1. DIPA BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perbedaharaan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN.
2. Berdasarkan DIPA BLU yang telah disahkan tersebut pimpinan BLU selaku kuasa
pengguna anggaran mengajukan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) kepada
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk:
1. belanja pegawai dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. belanja barang dilaksanakan setiap triwulan sebesar selisih (mismatch) antara
jumlah kas yang tersedia ditambah proyeksi arus kas masuk dikurangi proyeksi
arus kas keluar;
3. belanja modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Berdasarkan SPM-LS tersebut, KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun untuk pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada
masyarakat, hibah tidak terikat, serta hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil
usaha lainnya dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja operasional BLU sesuai dengan
RBA definitif. Sedangkan hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain harus
diperlakukan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006).
Dalam rangka pertanggungjawaban penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006, setiap triwulan BLU
membuat SPM Pengesahan dan disampaikan kepada KPPN selambat-lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja disertai kuitansi
pengeluaran kumulatif yang ditandatangani oleh pimpinan BLU.
Berdasarkan SPM Pengesahan tersebut, KPPN menerbitkan SP2D Pengesahan sebagai dasar
realisasi penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan pertanggungjawaban
penggunaan dana DIPA BLU diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
PERUBAHAN/REVISI TERHADAP RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
Perubahan/revisi terhadap RBA definitif dan DIPA dilakukan apabila:
1. terdapat penambahan atau pengurangan pagu anggaran yang berasal dari APBN; dan/
atau
2. belanja BLU melampaui ambang batas fleksibilitas.

PELAPORAN
Dalam hal pelaporan keuangan, maka:
1. Setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi
anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan
disertai laporan kinerja. Laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan
Lembaga dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan berakhir.
2. Setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap
yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus
kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja. Laporan tersebut
disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam
laporan keuangan Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode
pelaporan berakhir.
Kemudian Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan laporan kepada Menteri Keuangan
c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan keuangan dan laporan
kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan berakhir.
PENGELOLAAN KAS, UTANG DAN PIUTANG BLU
PENGELOLAAN KAS BLU
Sesuai dengan pasal 16 UU N0 23 Th 2005, pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan
praktek bisnis yang sehat. Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal
sebagai berikut:
1. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
2. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;
3. menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
4. melakukan pembayaran;
5. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
6. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Atau dengan kata lain memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek
untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Adapun rekening bank dimaksud, dibuka oleh pimpinan BLU pada bank umum. Sedangkan
pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud diatas  dilakukan sebagai investasi jangka
pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah.
Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah
Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENGELOLAAN PIUTANG
Dalam pasal 17 UU N0 23 Th 2005, mengenai  pengelolaan piutang BLU disebutkan
bahwa BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau
transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU
sepanjang  dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang
sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Piutang BLU yang sulit ditagih dapat dilimpahkan penagihannya kepada Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
Pada implementasi selanjutnya, piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh
pejabat yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.
Adapun kewenangan penghapusan piutang secara berjenjjang tersebut ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENGELOLAAN UTANG
Mengenai pengelolaan utang BLU, disebutkan dalam 18 UU N0 23 Th 2005 tentang
pengelolaan BLU, disebutkan BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan
operasional dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain sepanjang dikelola dan
diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai
denganpraktek bisnis yang sehat.
Terdapat dua jenis utang BLU, yaitu:
 Utang jangka pendek
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya
untuk belanja operasional.
 Utang jangka panjang
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya
untuk belanja modal.
Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan
nilai pinjaman. Sedangkan kewenangan peminjamannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
Pembayaran kembali utang tersebut merupakan tanggung jawab BLU. Namun hak tagih
atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo,
kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Adapun jatuh tempo dihitung sejak 1 Januari
tahun berikutnya.
PENGELOLAAN BARANG DAN INVESTASI
PENGELOLAAN BARANG
Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2005 pasal 20, tentang pengelolaan
keuangan BLU, pengadaan barang/ jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan
ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dimana kewenangan atas pengadaan
tersebut diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
Dengan kata lain, pengadaan barang/jasa BLU yang sumber dananya berasal dari
pendapatan operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama lainnya dapat dilaksanakan
berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan pimpinan BLU, tanpa
mengikuti ketentuan Keppres no. 80 tahun 2003 beserta seluruh perubahannya, dengan
mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil,/tidak diskriminatif, akuntabilitas, dan praktis bisnis
yang sehat. Sehingga dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan mengenai
pengadaan barang/jasa, dalam kaitannya dengan Kepres no. 80 tahun 2003, dengan alasan
efektivitas dan efisiensi.

INVESTASI
Dalam hal investasi, BLU mengenal dua jenis investasi dalam pengelolaan keuangannya, yaitu:
1. Investasi jangka panjang;
2. Investasi jangka pendek.

Dana/kas yang dimiliki suatu badan pemerintahan yang menggunakan sistem BLU dalam
pengelolaan keuangannya tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas
persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Segala keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan investasi jangka panjang merupakan
pendapatan BLU, sehingga diperuntukkan sesuai tujuan dibentuknya sistem pengelolaan
keuangan BLU yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat umum. Investasi jangka
panjang yang dimaksud antara lain:
1. Penyertaan modal;
2. Obligasi jangka panjang; dan
3. Investasi langsung (pembentukan perusahaan) atas nama Menteri Keuangan.

Pengelolaan kas BLU dapat pula dilakukan investasi jangka pendek, yang ketentuannya
sama seperti pengelolaan investasi jangka pendek pada umumnya. Hal ini dikarenakan
badan/instansi  pemerintahan yang menyelenggarakan sistem BLU sebagai asas pengelolaan
keuangannya diperkenankan untuk memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka
pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dengan demikian kas yang dimiliki oleh
badan/instansi pemerintahan yang telah menerapkan sistem BLU dapat berkembang jumlahnya
sehingga dengan jumlah kas yang bertambah diharapkan terjadi peningkatan layanan yang
lebih baik keadaan masyarakat umum.

AKUNTANSI DAN PELAPORAN


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU, sistem akuntansi BLU adalah sebagai berikut:
1. Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya
dikelola secara tertib.
2. Periode akuntansi BLU meliputi masa 1 (satu) tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember.
3. Sistem Akuntansi BLU terdiri dari:
1. Sistem Akuntansi Keuangan
Sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan laporan keuangan pokok untuk keperluan
akuntabilitas, manajemen, dan transparansi yang dirancang agar paling sedikit menyajikan:
 informasi tentang posisi keuangan secara akurat dan tepat waktu;
 informasi tentang kemampuan BLU untuk memperoleh sumber daya ekonomi berikut
beban yang terjadi selama suatu periode;
 informasi mengenai sumber dan penggunaan dana selama suatu periode;
 informasi tentang pelaksanaan anggaran secara akurat dan tepat waktu; dan informasi
tentang ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
Sistem akuntansi keuangan BLU memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:
 basis akuntansi yang digunakan pengelolaan keuangan BLU adalah basis akrual;
 sistem akuntansi dilaksanakan dengan sistem pembukuan berpasangan; dan
 sistem akuntansi BLU disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern
sesuai praktek bisnis yang sehat.
Dalam rangka pengintegrasian Laporan Keuangan BLU dengan Laporan Keuangan kementerian
negara/lembaga, BLU mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan
Laporan Keuangan sesuai dengan SAP.
BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi keuangan sesuai dengan jenis layanan
BLU dengan mengacu kepada standar akuntansi paling sedikit mencakup kebijakan akuntansi,
prosedur akuntansi, subsistem akuntansi, dan bagan akun standar
1. Sistem Akuntansi Aset Tetap
Sistem akuntansi aset tetap, yang menghasilkan laporan aset tetap untuk        keperluan
manajemen aset tetap yang paling sedikit mampu menghasilkan:
 informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap milik BLU; dan
 informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap bukan milik BLU
namun berada dalam pengelolaan BLU.
Dalam pelaksanaan sistem akuntansi aset tetap, BLU dapat menggunakan sistem akuntansi
barang milik negara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1. Sistem Akuntansi Biaya
Sistem akuntansi biaya, yang menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan,
pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial yang paling
sedikit mampu menghasilkan:
 informasi tentang harga pokok produksi;
 informasi tentang biaya satuan (unit cost) per unit layanan; dan
 informasi tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya
sesungguhnya).
Sistem akuntansi biaya menghasilkan informasi yang berguna dalam:
 perencanaan dan pengendalian kegiatan operasional BLU;
 pengambilan keputusan oleh Pimpinan BLU; dan
 perhitungan tarif layanan BLU.
1. BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi lain yang berguna untuk kepentingan
manajerial yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66/PMK.02/2006,
bahwa setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi
anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disertai
laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan kepada Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah
periode pelaporan berakhir.
Selain itu, setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara
lengkap yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus
kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan
Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dan
kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan
laporan keuangan dan laporan kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode
pelaporan berakhir.

SURPLUS DAN DEFISIT


Berdasarkan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum,
penggunaan surplus atau defisit adalah sebagai berikut:
Pasal 29:
“Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan
sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi
likuiditas BLU.”
Pasal 30:
(1) “Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya.
kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai
dengan kewenangannya.”
(2) “Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran
untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran
berikutnya.”
Namun dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan
ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada
kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat
mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang
ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai.
Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan
bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas
perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan
posisi likuiditas BLU”. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara
pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional
berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun
anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Padahal sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya
dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat
diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan
DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan
bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan
Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan
sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus
dipakai. Argumen tersebut adalah:
1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan
yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan
hukum yang lebih tinggi.
2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila
ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang
bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus
yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan
Layanan Umum.
Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat
keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di
kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini
tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan
dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.

You might also like