You are on page 1of 3

Selayang Pandang Konsep Rumah Islami

Apakah rumah Islami itu berarti rumah dengan arsitektur keArab-araban?


Ataukah sebuah rumah dengan interior yang menampilkan hiasan kaligrafi ayat
suci Al Qur'an? Pembahasan tentang rumah tinggal Islami selalu menyisakan
pertanyaan rumit yang tak pernah tuntas terutama tentang kata Islami itu sendiri.
Banyak ahli dalam dan luar negeri yang telah menyumbangkan pemikirannya
tentang masalah ini, dari yang menyampaikan sisi praktisnya hingga aspek
filosofisnya yang cukup membuat pikiran kita melayang ke mana-mana. Beberapa
tokoh arsitektur dalam negeri yang ikut memberikan sumbangan pemikiran
diantaranya Zein Mudjiono (Arsitektur ITS ), Bambang Setyo Budi (Arsitektur
ITB ), dan Budi A. Sukada (Arsitektur UI). Sedangkan dari luar negeri terdapat
tulisan-tulisan menarik tentang ruang Islami dalam format estetika ( keindahan )
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu semisal Islamic
Aesthetic karya Oliver Leaman. Selain itu, pembaca juga dapat memperoleh
pemahaman yang total dari arsitektur Islam dari pemikiran suami istri Ismail dan
Lamya Faruqi dalam karyanya The Cultural Atlas of Islam.
Adalah Bambang Setyo Budi yang juga telah memelopori munculnya blog
dan meramaikan milis arsitektur islam di dunia maya. Ia memberikan perhatian
khusus secara tekstual pada kata rumah yang disebut oleh Allah SWT dalam
AlQur’an. Dijelaskannya bahwa terdapat tiga macam kata yang dipakai dalam
wahyuNya yang berkaitan dengan rumah, yaitu al bait, al maskan, dan ad dar.
Al-bait disebut dalam QS.17:93, 66:11, 8:5, 14:37, 4:100, 12:23, 71:28, 2:189,
4:15, 29:41, 24:36, 33:53, 7:74, 15:82, 16:68, 26:149, 10:87, 16:80, 24:27, 29,61,
3:49, 154, 10:87, 16:80, 33:13, 33,34, 27:52, 59:2, 43:33, 34, 65:1. Al Maskan
disebut dalam QS. 34:15, 9:24, 9:72, 61:12, 14:45, 21:13, 27:18, 20:128,32:26,
28:58, 29:38, 46:25, 24:29. Ad Dar disebut dalam QS. 6:127, 10:25. Ketiga kata
tersebut ini diartikan sebagai rumah tinggal dalam arti sempit maupun luas.
Zein Mujiono memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk konsep
praktis bagaimana membangun rumah yang Islami. Menurutnya rumah Islami
harus mampu menjadi sarana meraih 2 (dua) tujuan hidup. Pertama, kesejahteraan
dunia, yang meliputi: rasa kasih sayang (mawadah warahmah), terjaminnya
pendidikan anak, berlangsungnya siklus biologis, ukhuwah Islamiyah,
silaturahmi, pembentukan pribadi muslim, karier yang sukses, dan kesehatan yang
terpelihara. Kedua, kesejahteraan akhirat yang meliputi: termudahkannya
pelaksanaan ibadah mahdah, proses muamalah, dan mampu menjauhkan
penghuninya dari hal-hal yang haram maupun makruh. Ia juga mengajukan
konsep praktis sebuah rumah dengan arsitektur Islami yang terjabarkan secara
detail dan teknis dalam 41 karakter rumah Islami.
Berlainan dengan Bambang dan Zein, arsitek kenamaan Budi Sukada
memberikan pandangan yang agak berbeda. Menurutnya rumah yang Islami
bukanlah rumah yang desain arsitekturnya seperti masjid atau rumah yang di
dalamnya penuh dengan ornamen-ornamen Islam, seperti kaligrafi, dan lainnya.
Rumah yang Islami, katanya, adalah rumah yang efisien, bisa untuk sarana dzikir
kepada Allah, dan mengingat akan mati, serta tidak dibuat-buat. ''Rumah yang
Islami itu bukan yang menghadap kiblat atau yang WC-nya tidak menghadap
kiblat. Rumah yang Islami adalah rumah yang memungkinkan penghuninya untuk
saling bersilaturahmi dan berinteraksi. Sementara itu, privasi masing-masing
orang juga bisa terjaga di dalamnya. ''Kalau kriteria-kriteria tersebut terpenuhi,
baru menjadi tugas arsitek untuk mewujudkan itu dalam desainnya,'' ungkapnya.
''Rumah yang Islami juga rumah yang bisa sebagai tempat kumpul seluruh
anggota keluarga atau penghuninya,'' terangnya. Namun, yang lebih penting
rumah yang Islami adalah rumah yang tidak menutup diri dari dunia luar. Tapi,
tetap memungkinkan interaksi dan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar dan
para tetangga bisa berlangsung dengan baik. Soal ornamen-ornamen yang
bercorak Islami seperti kaligrafi, tutur Budi, boleh-boleh saja dipasang di rumah.
Agak berbeda dengan pemikiran Budi Sukada, Oliver Leaman justru
menengarai bahwa di kebanyakan masyarakat Muslim, rumah yang Islami adalah
rumah dengan tingkat privacy yang sangat tinggi. Keindahan rumah hanya
diwujudkan pada bagian dalamnya. Taman-taman misalnya, dibangun sebagai
bagian dari keindahan interiornya, bukan eksteriornya. Bagian luar rumah cukup
diberi pagar atau dinding yang tinggi dan sederhana sehingga aktivitas di dalam
tidak terlalu mencolok. Ia beralasan bahwa dalam Islam dilarang dengan keras
adanya tindakan pamer atau riya’.
Ismail Faruqi berupaya lepas dari dimensi wujud dan mencoba memberikan
landasan pemikiran yang lebih abstrak dan spiritual. Menurutnya, keindahan yang
Islami adalah keindahan yang berlandaskan intisari dienul Islam itu sendiri. Jadi
semua yang ada harus ditujukan demi meraih intisari Islam yaitu tauhidullah atau
mengesakan Allah SWT. Berarti desain rumah yang Islami adalah wujud aplikasi
pola pikir tauhid. Berarti juga sebuah rumah tidak boleh ditujukan untuk
membanggakan diri, melebihkan diri, memperkaya diri, karena yang berhak untuk
itu hanyalah Allah SWT.
Upaya merangkum dan meringkas pemikiran para ahli ternyata membawa
kita pada kesimpulan bahwa memandang rumah Islami ibarat memandang sebuah
benda terbungkus rapi. Yang dibungkus lebih esensi dari pembungkusnya atau
isinya lebih penting dari kulitnya, entah pembungkus itu adalah rumah petak
3mX3m atau rumah mewah bak istana yang lengkap fasilitasnya. Artinya pola
pikir dan tingkah laku yang Islami dari penghuninya, itulah yang lebih penting
dari pada desain atau arsitektur rumahnya. Dengan demikian umat Islam dari
semua kalangan dapat mewujudkan rumah Islami mulai dari hatinya, jika sudah,
barulah memperindah tempat tinggalnya. Kalaupun ada keluarga yang mampu
justru dari desain rumahnya yang Islami agar dapat membentuk kepribadian
penghuninya, juga silakan. Jika dapat mencapai kebaikan di keduanya, kenapa
tidak? Akhirat tercapai, dunia tidak tertinggal.

Mulyadi, S.Sn
Pengajar Desain Interior FSSR UNS

You might also like