You are on page 1of 13

1

PERKEMBANGAN TASAWUF MASA DAULAH ABBASIYAH


Oleh: Diki Hermawan

A. Pendahuluan

Embrio Tasawuf dalam Sejarah Islam (Asketisme)

Sejak zaman sahabat sudah dikenal beberapa sahabat yang dikenal memiliki

kepribadian mengagumkan. Mereka menganut secara ketat konsep-konsep kesalehan dan

wara’, yang paling terkenal adalah Ibnu Umar dengan cerita ruku’-nya yang terkenal

yaitu saking lamanya ia ruku’ burung pun menganggapnya sebagai dahan pohon, Ali pun

dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesalehan yang luar biasa, begitu juga Abu Dzar

al-Ghifari yang diterima periwayatan hadisnya oleh syi’ah. Umar, Khalifah kedua dalam

sejarah Islam juga dikenal sebagai orang yang secara ketat dari kepemilikan harta, hingga

tersebut bahwa ia hanya mempunyai dua baju, salah satunya mempunyai 70 tambalan.

Disamping mereka, sungguh masih banyak lagi kisah-kisah mengagumkan dari para

sahabat Nabi dalam Islam.

Kesalehan tersebut disandarkan pada prilaku Nabi Muhammad yang selalu

hidup sederhana dan penuh dengan sifat-sifat mulia, yang dalam pandangan

Aisyah,”akhlaquhu ka al-Qur’an yajri fi al-ard.” prilakunya bagaikan al-Qur’an yang

berjalan di atas bumi. Sebuah ungkapan tentang contoh hidup (teladan) dari sebuah

idealisme Islam. Sehingga wajar tatkala Muhammad wafat, banyak para sahabat yang

yang merasa sedih kehilangan beliau, bahkan ketika haji wada’ (haji perpisahan) para

sahabat telah banyak yang menangis karena kata-kata Nabi telah menandakan bahwa

beliau akan meninggal.


2

Pada saat Tabi’in hidup pada abad pertengahan awal hijriah, memang telah ada

sekelompok orang yang menyerahkan hidupnya hanya untuk Allah, di antaranya yang

hidup pada 21-110 H/728 M adalah Hasan al-Bashri, dari kalangan Tabi’in Madinah tapi

kemudian menetap di Bashrah, ia mengenalkan konsep zuhud menolak segala kesenangan

dunia, khauf (takut) akan segala bentuk dosa, dan raja’ yaitu pengharapan akan

mardlotillah, Hasan melihat bahwa umat Islam pada saat itu telah banyak terjebak pada

kesenangan duniawi, kesenangan yang banyak didapat karena dunia Islam telah berada

pada masa kemakmuran, para pejabatnya banyak terbuai, mereka menghiasi dirinya

dengan kemegahan dan kemewahan yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ia membentuk sebuah majlis dan mewariskan ajaran-ajarannya pada murid-

murid dalam majlisnya yang terletak di Bahsrah. Jadi wajar jika kemudian Bashrah

menjadi cluster perkembangan tasawuf tahap awal.

Selain Hasan al-Basri, tokoh sufi terkenal lainnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah

yang lahir pada 95H/713M di Basrah, ia terkenal dengan Hubb Allah-nya, sufi

perempuan pertama yang terkenal ini mengenalkan konsep hub allah dalam pengertian

yang kuat dan emosional. Memang istilah hubb bisa kita temukan dari hadis-hadis Nabi,

tapi konsep hubb dalam Rabi’ah al-Adawiyah telah mengantarkannya pada esoteric cinta.

Ia meninggal pada 185H/801M dalam kesendiriannya di dalam gua yang selama ini

menjadi tempatnya berasyik masyuk dengan Sang Tuhan.

Tidak dijelaskan apakah Rabi’ah pernah berguru pada Hasan al-Bashri, tapi

beberapa sejarawan ada yang mencatatnya telah pernah bertemu dengan Hasan al-Bashri,

tapi tentu saat itu usia Rabiah masihlah sangat muda. Jika ia bertemu pada tahun 110

pada akhir masa al-Bashri tentu Rabiah masih berusia 15 tahun. Tapi yang jelas menurut
3

sejarah ia berguru pada Sufyan al-Tsauri (97-161 H), yang juga salah seorang zahid

generasi awal.

Tapi yang perlu dicatat pada masa di atas penggunaan nama sufi masih belum

ditemukan kecuali pendapat Abd al-Rahman al Jami yang mengatakan bahwa pada masa

ini telah ada seorang zahid bernama abu Hasyim al-Kufi (w.776 M) yang hidup di kufah

telah disebut sebagai sufi.1 Tapi pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan

pengamat sejarah Islam, jadi wajar jika sebagian sarjana Islam mengistilahkan masa

dibatas sebagai masa asketisme dan prilakunya disebut dengan zahid atau apa yang

penulis sebut periode ini sebagai periode embrio tasawuf.

B. Pembahasan

Pada mulanya tasawuf berkembang sebagai gaya hidup asketis, lebih khas lagi

kontempelatif seperti yang dipraktekan oleh pendeta-pendeta Nasrani. Pada abad kedua

Hijriah dan seterusnya tasawuf berkembang menjadi gerakan sinkretis yang menyerap

dari berbagai elemen dari Kristen, Neo-Platonik, Gnotisisme, dan Budhisme dan

berkembang melalui tahap-tahap mistis, teosofis dan panteistis.2Dari sisi mistisme

spekulatif, tasawuf berkembang ke arah teosofi.

Dalam sejarah aliran zuhud muncul pada akhir abad ke-1 dan permulaan abad

ke-2 Hijriah sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta

pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari harta kekayaan yang diperoleh setelah

Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.3 Di antara para zahid pada masa
1
Abd al-Rahman, al-Jami, Nafahat al-Uns min Hadarat al-Quds:Pancaran Kaum Sufi, Terj. Kamran As’ad
Irsyady,ed. Bioer R. Soenardi,Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, hlm. 3
2
Philip K. Hitti, History of Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi
Ilmu, 2006. Hlm. 547
3
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media,
2004, hlm. 69
4

itu adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) yang terletak

di Basrah.

Karakteristik Zuhud pada Abad Pertama dan Kedua Hijriah

Jika diklasifikasikan karakteristik zuhud yang berkembang pada abad ke-I dan

ke-II Hijriah yang terdapat di madrasah-madrasah seperti Madman, Basrah, Kufah,

Mesir, dan Khurasan, maka kezuhudan tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:4

1. Kezuhudan dilandaskan pada pemikiran menjauhkan diri dari dunia demi

mengumpulkan pahala di akhirat dan selamat dari siksa neraka. Yang semuanya itu

adalah dipengaruhi oleh nilai-nilai Al-Qur’an, Sunnah, dan kondisi social politik

dalam peradaban Islam waktu itu.

2. Kezuhudan bernuansakan amaliah. Para penganutnya tidak memperhatikan kaidah-

kaidah teoritis terhadapnya. Sebagai contoh adalah amaliah hidup dengan ketenangan

dan keserdahanaan secara sempurna, serta meminimalisir makan dan minum,

memperbanyak ibadah, serta dibarengi dengan perasaan yang berlebihan akan adanya

kesalahan, dan kepatuhan secara mutlak terhadap kehendak Allah dan tawakal

kepada-Nya. Artinya kezuhudan pada pandangan ini berorientasikan etika.

3. Pendorong dan kezuhudan tersebut adalah rasa takut terhadap Allah. Sebuah

ketakutan yang membangkitkan amaliah keagamaan secara baik. Namun muncul

dipenghujung abad kedua hijriah yang berasal dari Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu

kecintaannya kepada Allah, dengan disucikannya perasaan takut akan siksa-Nya dan

mengharap pahala-Nya secara bersamaan.

4. Ahli zuhud masa terakhir terutama yang di Khurasan, lebih tertentu lagi pada diri

Rabi’ah al-Adawiyah yang identik sangat detail dalam menganalisis, merupakan


4
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2008, hlm. 107-108.
5

sebuah pengantar terbentuknya tasawuf. Namun para zahid walaupun dekat dengan

tasawuf tidak bisa dianggap sebagai seorang sufi dengan arti sebenarnya. Namum

mereka bisa dianggap sebagai pioner-pioner bagi sufi-sufi yang datang setelahnya

pada kurun ketiga dan keempat hijriah.

Dalam hal ini, Nicholson pada kajiannya menyatakan, bahwa zuhud sebagai

model paling klasik dalam tasawuf Islam dan menamakan ahli zuhud sebagai sufi-sufi

pertama.5Namun demikian, karakteristik zuhud dalam Islam hingga akhir kurun kedua

tidak bisa dinamakan sebagai seorang sufi.

Perkembangan Tasawuf Daulah Abbasiyah pada kurun Ketiga dan Keempat

Hijriah

Pada masa Abbasiyah, ilmu tasawuf merupakan salah satu ilmu yang

berkembang dan matang, di mana esensi ajarannya adalah tekun beribadah dengan

menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kesenangan dan perhiasan

dunia dan bersunyi diri dari beribadah.6

Beberapa tokoh Pada masa Abbasiyah di antaranya hadir Dzu al-Nun al-Mishri,

ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli

hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan

duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai

menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist

membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-

Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak

Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang
5
Ibid
6
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 270.
6

mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas

oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan

ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir.

Secara umum para sufi memandang bahwa Dzu al-Nun al-Misri adalah sumber ajaran-

ajaran mereka, dan memasukannya ke dalam Wali Qutub utama.7

Setelah al-Misri, datang seorang sufi bernama Sirri al-Saqathi pada 253 H yang

dianggap sebagai pemilik madrasah tasawuf. Ia memmpunyai murid-murid yang

membawa obor bendera tasawuf mazhab Baghdad ke penjuru dunia Islam.8 Sirri al-

Saqathi mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan

menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah

yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun

kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada

masa-masa di atas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan

bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih

untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak

dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).9

Sirri al-Saqathi juga dinamakan sebagai al-Muhasibi karena kontrolnya terhadap

jiwanya sendiri. Ia mempunyai beberapa risalah tentang tasawuf yang berbicara seputar

analisis terhadap kehidupan ruhani yang kemudian menghasilkan karya kitab yang

7
Philip K. Hitti, hlm. 549
8
Lihat Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembanganny. “ bahwa di
antara murid-muridnya itu adalah Musa al-Ansari yang membawa obor tasawuf ke Khurasan, Abu Ali Rusbari
yang membawa ke Mesir,, dan Abu Zaed al-Adami yang membawa menuju jazirah Arab”. Hlm. 127
9
Kata uzlah juga dikenal di kalangan tasawuf falsafi, uzlah dalam pandangan ini mengandung pengertian sebuah
usaha untuk mencapai nalar rasional. Uzlah tipe ini dikemukakan oleh Ibnu Bajjah.Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam jilid.5, Ikhtiar Baru Van Houve, 1997, hlm. 154
7

berjudul Ar-Riayah li Hukukil Insan yang diklaim oleh Massignon sebagai kitab terindah

tentang kehidupan batin yang dimunculkan oleh Islam.10

Seorang sufi Persia pada masa Abbasiyah yang mulai mengenalkan konsep

ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bistami pada 260

H/873 M. Penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’

dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami

dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul

wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani.11

Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus

hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan

pertentangan dengan Ulama’ Hadis, sehingga mereka mengecam pandangan-pandangan

pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat.

Pasca al-Bishtami, al- Junaid pada 297 H/909 M hadir dengan mencoba

mengkompromikan tasawuf dengan syariat,12 hal ini ia lakukan setelah melihat

banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadits13 di masanya, lagi pula al-Junaid juga

mempunyai basic sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-

Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum

yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang

kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277

H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.

10
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, hlm. 125
11
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 33
12
H.Lammens, Islam Beliefs and Institutions, New Delhi: Oriental Bokks, 1979, hlm. 126
13
Istilah ahli Hadits pada masa itu tidak hanya dipakai untuk mereka yang memang punya spesifikasi hadits tapi
juga para ulama fiqh, yang menyandarkan pendapatnya pada teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits.
8

Al-Hallaj, murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan

lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di Bashra ini

hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-

Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-

hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan

cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-

inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul, dan seterusnya. Al-Hallaj

tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam

khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus

ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan

Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah

ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan

melakukan hal ini”.14

Dengan demikian para sufi-sufi di atas kemudian diklasifikasikan sebagai sufi

falsafi dan sufi amali akhlaqi, di antara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-

Farabi, dan al-Bistami, dan di antara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan

al-Kharraj.15 Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan

isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya dikenal dengan

konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.

Daulah Abbasiyah Kurun ke-5 dan ke-6 H: Tasawuf Masa Kematangan

14
Al-Hallaj dipasung oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada tahun 923 M atas tuduhan paham sesat dan
atas tuduhan terlibat dengan aliran Syi’ah Qaramiyah yang menentang Dinasti Abbasiyah. Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid.5, Ikhtiar Baru Van Houve, 1997 hlm. 74. Lihat. Ira M. Lapidus,
Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hlm 172
15
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 69-141
9

Di antara ulama dan ahli-ahli tasawuf bersamaan dengan perkembangannya pada

masa Abbasiyah adalah:

1. Al-Qusyairy (w. 465 H), beliau alim dalam ilmu fiqh, hadits, ushul, adab, terutama

tasawuf. Kitabnya yang terkenal adalah al-Risalah Qusyairiyah. Nama lengkapnya

adalah Abdul Karim bin Hazin yang lahir di Istiwa salah satu kawasan di Naisamburi

tahun 276 H. Karena ia pernah belajar kepada para gurunya diberbagai bidang, oleh

karena itu tertanam dalam dirinya aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Pada masanya,

ia mengkritisi sufi-sufi yang senantiasa mengenakan pakaian-pakaian orang miskin

dan pakaina bulu, sedangkan perbuatannya bertentangan dengan pakaian yang

dikenakannya. Tampak jelas bahwa perbaikan tasawuf menurut Qusyairy tak lain

adalah mengembalikan kembali pada akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan mensuri

tauladani sufi-sufi Sunni yang telah disebutkan dalam risalahnya sebagai sufi-sufi

kurun ketiga dan keempat hijriah.16 Dalam hal ini jika dicermati bahwa Qusyairi

merupakan pengantar terbentuknya tasawuf al-Ghazali yang juga bergabung dengan

madrasah Asy’ariyah, dan juga mempunyai oriebtasi yang sama dengan al-Muhasibi,

Junaid, dan pendahulu-pendahulunya, serta menentang keras penganut paham

Syatahat dalam tasawuf.

2. Syahabuddin Sahrowardi, nama lengkapnya adalah Abu Hafas Umar bin Muhammad

Syahabuddin Sahrowardi wafat di Baghdad 632 H. Salah satu kitab karangannya

dalam tasawuf adalah Awariffu Ma’arif.17

3. Imam al-Ghazali, yaitu Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lahir di Thus pada

abad ke-5 H dan wafat 502 H. Dalam fikih beliau menganut madzhab Syafi’I dan

16
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, hlm. 178-179
17
Musyrifah Sunanto, hlm. 71
10

embawa aliran baru dalam dunia tasawuf dengan kitab Ihya Ulum ad-Diin di mana

belia mempertemukan ajaran tasawuf dengan ajaran hidup bermasyarakat, sehingga

ilmu tasawuf menjadi suatu ilmu yang dibukukan setelah sebelumnya hanya sebagai

system dalam ibadah saja.18

Pada masa al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), istilah-istilah tasawuf telah

mendapatkan definisinya, ketika seorang sufi menyebut satu istilah, maka yang

lainnya akan segera paham dengan apa yang dimaksud. Masa ini adalah masa titik

puncak dimana tasawuf telah menemukan bentuknya. Menjadi seorang sufi pada

masa ini tidaklah semudah menjadi sufi pada masa awal. Menjadi sufi pada masa ini

haruslah melalui prasyarat-prasyarat yang telah dibangun oleh ulama-ulama

sebelumnya, terutama hal ini nampak pada tradisi tasawuf amali yang banyak

berlaku di kalangan sunni, sedangkan di kalangan syi’i pengaruh itu dapat ditemui

hanya pada tataran pemikiran mulai dari neo-platonisme hingga menjadi theosofi

pancaran atau pencahayaan.

Al-Ghazali hadir menawan siapa saja yang melihatnya, ia menyerang budaya

theosofi falsafi yang dianut oleh banyak para Filosuf dan sufi falsafi. Seperti halnya

al-Junaid ia juga mencoba menarik kembali budaya-budaya sufistik ke dalam

ortodoksi Islam, ia mengenalkan konsep ma’rifah sebagai jalan tengah pantheisme

yang terjadi pada kaum falsafi. Banyak buku yang dilahirkannya, tapi petunjuk

besarnya adalah kitab ihya’ ulum al-din yang ditulis mendekati akhir hidupnya di

kota Makkah, karyanya yang paling tebal dan memuat apa saja yang harus dilakukan

oleh seorang pencari Tuhan. Al-Ghazali menandai dimana era tasawuf dapat diterima

18
Musyrifah Sunanto, hlm. 71
11

secara luas di kalangan sunni tanpa rasa takut dihukum penguasa.19 Tasawuf

dianggap sebagai jalan alternative yang begitu digandrungi.

Tapi pada saat itu pelembagaan amaliah-amaliah dalam pengajaran tasawuf

belumlah terjadi. Amaliah dilakukan dengan fleksibel dan lebih berorientasi pada

makna. Karangan-karangan Ulama masih diangap sebagai sebuah teori dalam ilmu

sosial dan belum dianggap sebagai hukum layaknya dalam ilmu fisika.

Para murid yang berpindah-pindah guru setelah menyelesaikan suatu disiplin

ilmu masih sesuatu yang lazim dilakukan. Tapi pada saat banyak tertariknya

masyarakat luas akan dunia tasawuf dengan berbagai faktornya membuat para guru

sufi merasa perlu untuk tetap memperhatikan perkembangan para murid yang berada

dalam bimbingannya. Murid bimbingan yang awalnya hanya beberapa atau beberapa

puluh, pada masa ini telah mekar menjadi beberapa ratus bahkan ribu hingga

membuat para masayikh mengutus dan mempercayakannya menjabat sebagai wakil

dirinya di beberapa kesempatan dan tempat. Dari sini kemudian berlanjut pada

mazhab tasawuf guru yang dianut.

Dengan demikian, perkembangan tasawuf masa Daulah Abbasiyah pada kurun

kelima dan keenam hijriyah memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan yang

sebelumnya. Hal ini diungkapkan Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani,20 ada

dua corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni,

di mana para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan Alquran dan as-Sunnah

serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Kedua, corak

tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan

19
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid .2, Ikhtiar Baru Van Houve, 1997, hlm. 28
20
Abu al-Wafa al-Ganimi Taftazani, hlm. 4
12

ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya

penyatuan atau hulul.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Simuh dengan menggunakan istilah

yang berbeda.21 Simuh menyatakan bahwa pada dua corak tasawuf yaitu union mistik dan

personal atau transendentalis mistik. Union mistik yaitu suatu corak tasawuf yang

memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan

kembali dengan Tuhannya. Sedangkan personal atau transendentalis mistik yaitu suatu

corak tasawuf yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham ini

hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara makhluk dengan

al-Khaliq.

Dari dua corak tasawuf tersebut, al-Gazali masuk pada kelompok yang memiliki

corak tasawuf sunni, bahkan di tangan al-Gazali lah tasawuf sunni mencpai

kematangannya.

21
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 15
13

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jami Abd al-Rahman, Nafahat al-Uns min Hadarat al-Quds:Pancaran Kaum Sufi, Terj. Kamran

As’ad Irsyady, ed. Bioer R. Soenardi,Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Al-Taftazani Abu Wafa’ al-Ghanimi, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya, Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2008

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid .2, Ikhtiar Baru Van Houve, 1997.

------------------------------------------, Ensiklopedi Islam jilid .5

Hasjmy A, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Hitti Philip K, History of Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta:

Serambi Ilmu, 2006.

Lammens H, Islam Beliefs and Institutions, New Delhi: Oriental Bokks, 1979.

Lapidus Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1996.

Siregar Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000.

Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada

Media, 2004.

Syukur Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

You might also like