You are on page 1of 13

Etika Lingkungan dan Persfektif

Filsafat
Dirangkaikan kembali oleh Supli Effendi Rahim
Bandara KLIA 5 Desember 2008

Bismillah. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu di bumi secara


seimbang dan mencukupi. Ketika nabi Adam pertama kali diturunkan
ke bumi, ia terpisah dengan istrinya. Nabi Adam, menurut riwayat
terdampar di India, istrinya Hawa di Jeddah. Mereka dipertemukan di
jabal Rahmah Mekkah. Pada masa itu tentu lingkungan tidak ada
masalah. Semua ada dalam keadaan seimbang.

Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat terjadi jauh


sesudah nabi Adam tidak ada lagi di permukaan bumi. Manusia yang
bertambah banyak jumlah dan keahliannya menjadikan bumi ajang
untuk berbuat kerusakan. Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapi
di laut. Tidak saja di dataran rendah, kerusakan terjadi di bukit dan
gunung. Kerusakan bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek kata
kerusakan terjadi di utara, selatan, timur, barat dan bahkan di kutub-
kutub bumi. Kerusakan yang paling besar sebetulnya adalah akhlak
atau etika manusia. Manusia mulai menyembah selain Allah. Lebih dari
itu manusia menjadi rakus.

Banyak nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki akhlak manusia.


Tidak kurang dari 200.000 nabi dan rasul diturunkan dan diutus ke
seluruh bangsa dan kaum di seluruh dunia. Banyak ajaran nabi dan
rasul itu selain masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnya
adalah masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antara
ajaran nabi Muhammad tentang etika lingkungan adalah bahwa semua
makhluk hidup dan tidak hidup setiap saat tasbih kepada Allah. Jadi
menganggu atau merusaknya sesungguhnya menganggu hubungan
”mereka” kepada Allah. Al-qur’an melarang keras berbuat kerusakan
di bumi. Nabi melarang kencing di lubang semut dan air tergenang.
Tulisan ini memaparkan serba-serbi yang berhubungan dengan etika
lingkungan dan filsafat.

Apa itu Etika Lingkungan ?

Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang


rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui
sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi
pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak
pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau
manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah
sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara
menggunakannya?

Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan


tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang
akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi
alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari
bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak
bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara
khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi
mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut
utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang
dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita
lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut
memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan
kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya


dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika
ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi
sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian
adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam
untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan
dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk
kepentingan semua mahluk.

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap


lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai
keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur
mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki
prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan
dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena
harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya
adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia
dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih
luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang
dan tumbuhan serta alam.

Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap


lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk
kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi
dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan
humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti
dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli
lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Etika Ekologi Dangkal


Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris
yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris
yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi
dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh
dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut
mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan
manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika
antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus
mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan
untuk generasi penerus manusia.

Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan


sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak
menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan
manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk
khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi

Etika Ekologi Dalam


Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang
kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan
dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan
ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan
pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam
itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia
dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara
alam demi kepentingan bersama.

Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut


fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme
dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan
pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan
kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka
kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh
yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan
bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak
bermoral.

Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan


perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika
pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich.
Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati
kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah
dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang
dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut
The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang
dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan
binatang dengan penuh belas kasih.

Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih


menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh
penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa
senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan
senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup
atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus
dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang
saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut
Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat
dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup
mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.

Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang


menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam
ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu
dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan
etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan
organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling
memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi
bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan
haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan
mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan
mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam,
seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya,
John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam
ekosistem.

Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :


1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan
oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam
diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem
alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok


yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya
memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan
berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas
pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling
tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit
menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam
melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika
lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma
yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan.

Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat

Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan

Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa


masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan
sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika
lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang
menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam
sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan
Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam
sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa
segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi
terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari
segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles
mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air.
Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para
filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “
rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak
dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.

Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam.


Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada
dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata.
Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos
beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa,
sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu
merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu,
karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang
dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya
diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.

Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa


para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika
lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis,
melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan
menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit
dilakukan bahkan tidak mungkin.

Tantangan Perspektif ekologis


Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah
rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika
lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang
) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya
berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang
alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa
dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam
pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi
positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu
element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.

Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan
emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “
keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para
seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan
inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “
nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang
dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini,
tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya
bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai
keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut
berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato
– yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan
secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.

Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem


Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam
pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan
metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan,
abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan
antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf
sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam
memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “
alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat
keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di
tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini
memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan
alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam
pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu
campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.

Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat


Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri
para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika
lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada
Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat
sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya.
Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala
perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai
Nil di Mesir.

Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid


Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang
keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles -
gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada
manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos
tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika
lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia
hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
Tantangan Filsafat Modern

Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘


apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui
alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu
dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat
korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan
sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen
sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini
menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke
saat untuk memecahkan masalah dunia.

Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi


environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut
suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan
yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia,
membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol
manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori
Descartes ini cenderung ditinggalkan.

Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang


menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya
sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang
membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove,
idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya
menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru
G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi
pentingnya dunia eksternal.

Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas


mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas, science justru lebih
bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan
bersifat reduksionis. 1[5] Hume yang membagi obyek penelitian dalam
“ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada
terpisahnya nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan
dikategorikan pada secondary dan bukan menjadi urusan ilmu alam
yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak
tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan.
Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari
kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan
nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang
terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.

1
Sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan

Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak


Yunani sampai Modern memang tidak banyak memberi dasar pada
Etika Lingkungan, bahkan cenderung berseberangan dalam pandangan
terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik dan konsep
alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru
yang ingin ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi
estetis dari materi dan alam yang sedang berubah. Filsafat sosial dan
politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini, misalnya
pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai
guna ketika digunakan oleh negara untuk kepentingannya.

Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan


bahwa etika ini telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak
didukung oleh tradisi pemikiran sebelumnya. Justru, etika lingkungan
ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat yang tidak
pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum
environmentalis ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai
raja atas seluruh ekosistem yang secara menyedihkan telah
menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya, dan
melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika
Lingkungan memberikan sumbangannya dalam seluruh pemikiran
filsafat.

Pandangan Baru Terhadap Alam

Dalam kenyataannya manusia hanyalah bagian kecil dari alam


ini. Walaupun sejarah manusia diturunkan ke bumi dari syurga, tetapi
langit (tempat syurga itu berada) tidak berbeda dengan dunia ini.
Alasannya langit dan bumi diciptakan oleh satu pencipta, tentu satu
bahan dasar. Maka bila Adam diciptakan dari tanah maka tanah di
surga juga sama dengan tanah di bumi. Sejak lama tindakan manusia
yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap
tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai
kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya
mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara
ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya
dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk
memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki
kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa
merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk
menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya
adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan
penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang
penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota
dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai
anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan
bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan,
stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke
arah lain”2 [6] .

Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam


proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor
ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia,
dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam.
Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini
berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang
menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai
kebersamaan.

Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara


mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah
perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang
bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap
menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar
pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan
manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem
ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang
nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.

Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies


yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga
tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil
hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai
makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan
alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling
tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan,
tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan
membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan
manusia sendiri.

Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang


bertindak sesuai kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun
demikian anak cucu keturunan manusia yang nantinya mendiami bumi

2
ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika kita
mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak,
sebenarnya kita telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di
bumi sekarang ini”. Memang mereka belum mampu melakukan suatu
kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama yaitu
menjaga alam bagi keturunan mereka.

Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak,


meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban.
Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga
mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip
nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota
komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara
tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek
eksperimen tidak dapat dibenarkan.

Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan


manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara
membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu
dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa
merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk
menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya.
Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia.
Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang
dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan
konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala
sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam.
Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan
memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan
memperbarui.

Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini


diorganisasi dan dipakai bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup
tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan egoisme. Sudah
sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan
berbalik dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir
secara jangka panjang dan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri.
Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti sumber-sumber
alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar
sungguh maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan
alam. Mungkin kita harus kembali pada pemilihan prioritas mana yang
penting, mana yang sekadar berguna, mana yang artifisial dan
menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu
mendirikan pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
Pandangan Islam terhadap Alam

Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara


bertahap. Jumlah ayat kitab suci yang diturunkan kepada manusia ini
(hudalinnas) ini lebih dari 6000 ayat. Ini memberi indikator bahwa
persoalan kehidupan manusia itu – baik di dunia ini, di alam kubur
maupun di akhirat nanti tentu jumlahnya sangat banyak dan kompleks.
Ayat pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa
persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah persoalan keilmuan.
Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah dengan nama tuhan yang
Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus
dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang
menciptakan. Aayat itu dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan
manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini bermakna luas. Manusia
itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait.
Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah
sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia
berada di lingkungan yang beranekaragam –misalnya hayati.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna


bahwa manusia selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan
semua di sekitar dia selalu dalam keadaan berkait. Jadi dengan begitu
akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan
berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal
shaleh, saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun
tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia akan mewarisi surga
firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera – untuk
selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur
etika dengan tuhannya, dengan lingkungannya tidak saja manusia
tetapi alam secara menyeluruh. Sebagai contoh atau teladan telah
secara lengkap ada pada hadis-hadis soheh misalnya Buchari dan
Muslim.

Penutup

Perubahan dan perkembangan etika lingkungan, merupakan proses


intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar
maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena
mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi
ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat
sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas.
Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial
untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-
tindakan yang salah.

Strategi yang dapat digunakan melepas belenggu evolusi etika


lingkungan adalah : Lupakan berpikir tentang penggunakan alam
semata-mata sebagai masalah ekonomi. Uji setiap pernyataan
sehubungan dengan kelayakan ekonomi dalam terminologi kebenaran
etik dan estetis. Sesuatu adalah benar jika mempunyai kecenderungan
mempertahankan integritas, stabilitas dan komunitas biotik. Sesuatu
adalah salah jika condong ke arah sebaliknya. Kalau terpaksa harus
menggunakan alam seperti sumberdaya lahan dan air, gunakanlah
secara bijak. Penggunaan yang tepat ruang, dampaknya dapat dikelola
dengan baik dan terpantau secara berkala. Bertambahnya jumlah dan
kualitas yang mempunyai akidah yang benar dan berakhlak mulia
merupakan kunci sukses terbangunnya “surga firdaus” di bumi ini.
Tentu saja memerlukan kesungguhan dan kesabaran dari semua pihak
yang berkeinginan untuk menjadi khalifah, abdillah dan da’i ilallah.
Jumlah ketiga kelompok yang disebutkan belakangan ini semakin
berkurang dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Kecuali
semua mulai peduli bisa menjadi sebaliknya.

Daftar Bacaan

Alqur’anul karim. Departemen Agama RI. Jakarta.


Sahih Buchari dan Muslim.
Borrong, Robert, Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
Hargrove, Eugene C, Foundation of Environmental Ethics, Prentice
Hall, New Jersey, 1989
Mangunwijaya, YB, Lingkungan dalam pandangan Timur, makalah
Seminar Lingkungan dan Berbagai Masalahnya, Cibubur, November
1982
Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6
Desember 1982
Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus
2001
VanDeVeer, Donald dan Pierce Christine, People, Penguins, and Plastic
Trees, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 1986

You might also like