You are on page 1of 8

Oleh: AHMAD JAIS

1. Pendahuluan

Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota besar


semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah
rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan
penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini
dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab
penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis sehingga
limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999).

SAMPAH dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan
limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis
dan non klinis baik padat maupun cair. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan
berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

- Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung
atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum
hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua
benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan
atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah,
cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.

- Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut: Limbah yang berkaitan


dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah
laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang
perawatan/isolasi penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota
badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi
dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi
sitotoksik.Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang
terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang
terkontaminasi, obat- obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-
obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi bersangkutan dan limbah yang dihasilkan
selama produksi obat- obatan.

- Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam
tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.

- Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang
berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida.

(Arifin. M, 2008 ; (online).


Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah
non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal
dari kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah
dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa
makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit
mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa
mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit,
tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada
(laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang
bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung
bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan
uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, pH, mikrobiologik, dan lain-lain. (Arifin.
M, 2008 ; (online).

Pelayanan kesehatan dikembangkan dengan terus mendorong peranserta aktif masyarakat


termasuk dunia usaha. Usaha perbaikan kesehatan masyarakat terus dikembangkan antara
lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan
ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pencemaran dari manapun juga perlu
diberikan perhatian khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah rumah
sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan dirumah sakit juga mempunyai
tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit infeksi nosoknominal dilingkungan rumah sakit, perlu
diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
pelayanan rumah sakit. Unsur-unsur tersebut meliputi antara lain sebagai berikut :

- Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit

- Penanggung jasa pelayanan rumah sakit

- Para ahli pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran

- Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana fasilitas yang
diperlukan.

(Depkes RI, 2002)

Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan
perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-
kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah
sakit.

Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan


Departemen Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan
insilasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari
sumber bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit
pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk
disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu
ditingkatkan permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes
RI, 1992).

1. A. Permasalahan

Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh


rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian
terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi
sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi
sampah (Limbah Padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah
infeksius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah
Padat) Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar
48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi
Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan
serta penularan penyakit.

Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya
membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,5-
0,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup
besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori
untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda.
Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari
resiko kontaminasi antrauma (Injuri)

(KLMNH, 1995).

Limbah Rumah Sakit mengandung bahan beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya
menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi juga limbah infeksius yang
mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari keseluruhan limbah rumah sakit,
sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya merupakan limbah
infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen
lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makan, baik dari
pasien dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah
anorganik dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. Temuan ini merupakan
hasil penelitian Bapedalda Jabar bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai
tahun 1999. Keterbatasan dan mengakibatkan sampel yang diambil hanya dari dua rumah
sakit di Jawa Barat, satu di rumah sakit pemerintah dan satunya lagi di rumah sakit
swasta. Secara terpisah, mantan Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar
Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan
melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak
ditemukan di beberapa rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang
baik (Pristiyanto. D, 2000).

Biasanya orang mengaitkan limbah B3 dengan industri. Siapa yang menyangka ternyata
dirumah sakitpun menghasilkan limbah berbahaya dari limbah infeksius. Limbah
infeksius berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak
termasuk tabung infus), darah, dan sebagainya. Dalam penelitian itu, hampir di setiap
tempat sampah ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius,
dan limbah organik berupa botol bekas infus. (Anonimous, 2009)

Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan
baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran
tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.

Kepala Pusat Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo
Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia
mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan
benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah
nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi,
limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.

Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu
seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki
pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai
tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang
ke tangki pembuangan seperti itu.

Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang


tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah
yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan,
buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi
syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat
yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan
dengan benar.

Dampak Limbah Pada Kesehatan Masyarakat


Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat
gangguan karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke
Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah
Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan Kedua,
karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu
kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga,
pengunjung / pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit,
resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar. Keempat,
masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila
Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana
mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan
menjadi turun kualitasnya, dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya
derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut. Oleh karena itu,
rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang
baik dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit
(Kusnoputranto.H, 1993).

1. B. Jenis-jenis limbah

Jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian sebagai berikut ini :

- Limbah klinik

Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin pembedahan dan di unit-unit
resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi
kuman dan populasi umum dan staf Rumah Sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang
jelas sebagai resiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau
pembungkusyang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan
semprit bekas, kantung urine dan produk darah.

- Limbah patologi

Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diautoclaf sebelum keluar dari
unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.

- Limbah bukan klinik

Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak
berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah
tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan
menbuangnya.

- Limbah dapur

Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa,
kutu dan hewan pengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staf maupun pasien di
Rumah Sakit.

- Limbah radioaktif

Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit,
pembuangan secara aman perlu diatur dengan baik. Pemberian kode warna yang berbeda
untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah tersebut

(Prasojo. D, 2008).
Berikut adalah tabel yang menyajikan contoh sistem kondisifikasi limbah rumah sakit
dengan menggunakan warna :

JENIS LIMBAH WARNA


Bangsal/Unit
Klinik Kuning
Bukan klinik Hitam
Kamar Cuci Rumah Sakit
Kotor/Terinfeksi Merah
Habis dipakai Putih
Dari kamar operasi Hijau/Biru
Dapur
Sarung tangan dengan warna yang
berbeda untuk memasak dan
membersihkan badan.

Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik,


tempat limbah diseluruh rumh sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah
dapat dipisah-pisahkan ditempat sumbernya.

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk
limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik
2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah
klinik
3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah
klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).

1. C. Pengelolaan limbah

Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang


diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume,
penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan
pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000).

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan
kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :
1. Pemisahan Limbah

- Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

- Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas

- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan
kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto.
H, 1995).

1. Penyimpanan Limbah

Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat
digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat
diperloleh dengan mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna,
kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.

1. Penanganan Limbah

- Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas

- Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan

- Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang


sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai

- Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan
perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan.

1. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa
keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan
dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada
kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.

1. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang
pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
(Bambang Heruhadi, 2000).

Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih
tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk
kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan
tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit
yang lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara
lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk
benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai lagi.

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :

1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter


2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75 cm
3. Tambahkan lapisan kapur
4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai
ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah

(Setyo Sarwanto, 2003).

Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi (nonbiodegradable),
misalnya kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang
ditimbun dengan kapur ini dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam.

Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU
atau kontraktor swasta dan dibuang ditempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah
umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang pada tempat pembuangan
samapah umum.

Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan
mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau
kontaminasi badan. Semua petugas harus menggunakan pakaian pelindung yang
memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai
imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan dibagian kesehatan kerja (Moersidik. S.S, 1995).

You might also like