Professional Documents
Culture Documents
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa
waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat
kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama
sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini dimulai
ketika tarik ulur kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah melalui kebijakan
revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai banyak kalangan
kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya, UU ini mampu menjawab
berbagai masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari
elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya, memasukan komponen Pemilihan
kepala daerah langsung ternyata membawa ketidakpuasan beberapa pihak sehingga
sampai tulisan ini dibuat, permohonan uji materiil (judicial review) telah dikeluarkan
hasilnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005) yang
mengabulkan sebagian dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan sejumlah
LSM dan 15 KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara
sederhana dari UU pemerintahan daerah ini antara lain:
Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan
kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan
pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18
UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-
daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap
Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap
regional yang menjadi wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap
dalam UU pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya
disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten
kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep
“kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak kabupaten/kota
yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang.
Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative heavy), yang dikuatirkan
banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat
bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya
aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh
laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur
terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Beberapa hal lain yang niscaya merupakan implikasi positif dari UU yang menurut versi
pemerintah “menyempurnakan” ini. Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat
antara lain mekanisme pengawasan kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya
presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala
daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31).
Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktu-
waktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).
Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap anggota
DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi sekurang-
kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan bagi partai
politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi
anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk
fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa
membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan
tidak.
Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan keadilan, yang
dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari suasana yang
terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan keadilan bagi partai
politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal
demi pasal, namun acapkali aturan main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan,
terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang dimuat
dalam UU No.32 tahun 2004 ini.
Gugatan uji materil terhadap UU Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons positif
oleh Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya, meskipun masih
ada ketidakpuasan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan mereka.
Adapun pasal-pasal yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat (1), pasal 66 ayat
(3) huruf e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal 59 ayat (1) hanya
menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut Smita Notosusanto
dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha menyenangkan semua pihak,
apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab kepada siapa setelah KPUD
diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.
Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun kekecewaan
beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat dalam Berita Negara
paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun yang terjadi, kita akhirnya
harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena pelaksanaan pilkada kini tinggal
menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat bekerja keras dan penuh komitmen
untuk menjamin pilkada secara adil, demokratis, meskipun peraturannya, seperti kata
Sarundajang (2001) bahwa karena posisinya yang strategis, kepala daerah tidak pernah
luput dari pengaruh politik. Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan begitu banyak
kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi dengan pelaksanaan
yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini. Demikian pula Riewanto
(2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan menunjuk bahwa walaupun
pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan tidak jelas bertanggung jawab
kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah bertanggung jawab kepada
“publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi tuntutan demokratisasi.
Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang melaksanakan proses
Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD digugat. Akhirnya putusan
Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung jawab kepada “publik”.
Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya
pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD
bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang kekuasaan yang dominan di bidang
legislatif itu tetap gubernur atau bupati/walikota. Bahkan dalam UU No.32 Tahun 2004
gubernur dan bupati/walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan
menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal 25). Artinya,
DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat
menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-
perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan
rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat melakukan
“intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum terpilih, DPRD
tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol yang dapat dilakukan
terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian yang diharapkan para
pemohon judicial review pada saat itu.
Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah Konstitusi. Kerelaan
semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut merupakan suatu keharusan.
Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh salah satu hakim Mahkamah
Konsitusi, amar putusan tersebut tetap menunjukkan keputusan kolektif lembaga tinggi
ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu menjadi sasaran kritik di era reformasi ini.
Budiman (2000) mencatat bahwa selain kodifikasi yang buruk, sistem hukum itu juga
tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan kerapkali
menjadi subyek suap atau intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi negara
hukum jika tidak konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Ditegaskan
olehnya bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar dari setiap
demokrasi.”