You are on page 1of 3

Tunjuki Kami Jalan Pulang

Oleh Herman RN

“Tajak u pasi tatarek pukat, ladom bak lamat, ladom bak punca. Putéh tuleueng
lon di dalam jeurat, mantong teuingat keu guna gata.”

SUDAH fitrahnya menyongsong bulan Ramadan dan hari raya, banyak orang
mudik. Mereka butuh jalan untuk pulang ke kampung masing-masing.
Tentunya jalan yang aman dan nyaman dilalui, baik perjalanan siang maupun
malam.
Alangkah miris hati saya membaca berita di sejumlah media, jalan lintas
Geumpang-Meulaboh mulai ada perampokan. Satu keluarga dirampok saat
melintas jalan tersebut. Para korban diminta terjun ke jurang (Serambi, 19
Agustus).
Ini adalah berita menarik sejak dibukanya jalan Geumpang menuju
Meubaloh, pasca-tsunami lalu. Karena itu, saya terus menunggu-nunggu
kelanjutan berita yang dimuat di halaman depan oleh media ini. Sayangnya,
entah wartawan sengaja tidak mem-follow-up beritanya atau memang polisi
tidak mau berkomentar tentang itu karena perampoknya bawa senjata, sampai
sekarang soal perampokan dan jaminan kenyaman jalan lintas Geumpang
belum ada.

Jalur Calang
Jalan lain menuju belahan Bumi Teuku Umat dan Bumi Teuku Cut Ali
adalah jalur Calang, Aceh Jaya. Jalan ini, sebelumnya penuh rakit sehingga
barangsiapa yang hendak bepergian semisal Banda Aceh-Meulaboh dan
sebaliknya, harus menaiki banyak rakit. Akan tetapi, lintasan tersebut menjadi
lebih baik masa pemerintahan Prof. Ibrahim Hasan, MBA. menjabat sebagai
gubernur. Semua rakit ‘disulap’ menjadi jembatan. Nyamanlah pengguna jalan.
Seperti diketahui, musibah mahadahsyat gempa disusul tsunami akhir
2004 lalu telah meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh. Terparah pesisir
barat. Jalan lintasan Banda Aceh-Calang menjadi ‘laut’ seketika. Hal ini
membuat mata dunia terpaku pada Aceh. Bantuan mengalir, termasuk untuk
pembangunan jalan lintasan Calang tersebut.
Tentu saja dana untuk membangun jalan itu tidak sedikit. Akan tetapi,
lihainya pembangunan masa Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias
meyakinkan masyarakat bahwa pembangunan jalan itu tuntas pada 2010.
Bahkan, menjelang berakhir tugas BRR, media sering memberitakan komitmen
para penguasa, baik BRR maupun pemerintah, bahwa pembangunan jalan itu
tuntas dan dapat dinikmati oleh masyarakat sebelum BRR ‘hengkang’ dari Aceh.
Buktinya?
Ditinggal pergi oleh BRR, kendali rehab-rekon dipegang oleh Pemerintah
Aceh. Sejak itu, jalan lintas Calang dapat dikatakan tidak tersentuh sama sekali.
Bahkan, Pemerintah Aceh malah sibuk dengan urusan tetek bengek seperti
penjualan besi jembatan dan penjualan hutan. Semua tahu bahwa para pejabat
itu dapat menggunakan kendaraan udara ke mana mereka mau pergi, termasuk
ke pesisir barat-selatan yang paling terpencil. Namun, bagi masyarakat kecil,
pedagang, dan mahasiswa, jalan darat dianggap paling efektif dan sesuai
‘kantong’. Alangkah malang nasib rakyat kecil terlebih lagi mahasiswa yang
kuliah di Banda Aceh. Setahun sekali hendak mencium lutut orantuanya atau
untuk melihat kubur orangtua mereka di kampung, tapi mereka tidak tahu
harus pulang jalan mana. Lewat Calang hancur-hancuran, lewat Geumpang ada
perampokan.
Tahun lalu, saya sendiri sempat melihat dan mengalami langsung macet
di lumpur Calang hingga hampir dua jam. Mobil-mobil tak tentu arah lagi. Ada
yang dari Banda Aceh, tapi kepala mobil malah sudah berbalik ke Banda Aceh
lagi, demikian juga yang dari wilayah barat-selatan. Lumpur lebih tinggi
daripada ban mobil L-300, kala itu.
Baru-baru ini saya kembali melewati lintasan tersebut. Karena cuaca
sedang bagus (cerah), pengguna jalan jadi makan debu. Demikian juga dengan
masyarakat kawasan tersebut. Dapat dibayangkan doa dan rutukan mereka
untuk para pemimpin negeri ini saban hari oleh sebab musim hujan mereka
‘mandi lumpur’ dan musim panas ‘makan debu’. Saya khawatir, karena doa itu
sudah dilisankan setiap hari oleh banyak orang bahkan orang teraniaya pula,
suatu saat azab Tuhan benar-benar mengenai para pemimpin tanah ini, tidak
terkecuali anggota dewan yang katanya pembawa aspirasi rakyat. Semoga tidak
ada yang mengamini kalimat ini.
Betapa ketakutan akan jalan itu tidak dibangun semakin nyata dengan
pemberitaan Serambi (Senin, 23 Agustus) kemarin. Pembangunan ruas jalan di
Aceh dengan sistem multiyears berakhir, demikian kata berita. Sehari
sebelumnya diberitakan pula bahwa Pemerintah Aceh sedang menggalakkan
hubungan bilateral untuk pembangunan jalan lintas timur, Banda Aceh-Medan.
Semakin mafhum saya bahwa pembangunan jalan lintas Calang itu
sengaja diperlambat—jika tak mau disebut memang tidak diopen—agar dapat
dikapling-kapling sebagai proyek tahunan. Anehnya, anggota dewan diam saat
pemerintah berdalih. Lembaga yang dianggap sebagai kontrol pemerintah
ternyata malah dikontrol oleh pemerintah.
Pembangunan jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh memang sudah
dibangun, tetapi hanya sampai kawasan Aceh Besar. Sejak selesai jalan di
kawasan Aceh Besar itu, tidak ada lagi kelanjutan pembangunan jalan ke arah
sana. Lagi-lagi untuk wilayah peisir barat, mulai Lamno, Aceh Jaya, sampai ke
Aceh Selatan, mungkin juga Singkil, jadi marginalisasi pemerintah periode kini.
‘Peng-anaktiri-an’ barat-selatan semakin nyata dengan sudah selesainya
pembangunan jalan lintas Gunung Seulawah dan beberapa ruas lainnya di
wilayah timur padahal pembangunan jalan wilayah Calang lebih dahulu
dikerjakan. Bukan berarti saya tidak menyetujui pembangunan jalan lintasan
timur/utara Aceh. Saya sangat sepakat. Akan tetapi, berlaku adillah, karena adil
mendekatkan diri pada taqwa (firman Allah swt.) dan menjauhkan diri dari
sumpah serapah rakyat jelata.
Kejanggalan atas nama pembangunan jalan kian menyesakkan dada.
Belum tuntas di wilayah Calang, kini sudah dibangun pula jalan tembus Aceh
Barat melalui Pidie. Jalan lintas tersebut berujung di Gunung Aneuk Manyak,
sudah selesai diaspal hotmix sekitar 15 kilometer. Bukankah ini lucu, karena
jalan lintas Geumpang masih dapat digunakan. Memang jalan Geumpang itu
pangkalnya ada di Beureunuen, Pidie Jaya. Namun, Pidie Jaya dan Pidie itu
masih ‘sejengkal’. Hemat saya, lebih baik pembangunan jalan lintas
Beureunuen-Gempang-Meulaboh yang diperbaiki, bukan malah menebang
hutan untuk membuka jalan lain, yang masih tumpang tindih ujungnya dengan
jalan dari Beureunuen.
Tunjukkan kami jalan pulang yang sebenarnya untuk wilayah barat-
selatan. Hanya ini yang dapat diungkapkan oleh masyarakat, karena doa belum
jadi kata. Padahal, jika gubernur dan wakilnya sekarang mau menyelesaikan
pembangunan jalan Calang tahun ini, modal kampanye untuk Pilkada ke depan
sudah ada. Bukankah kearifan indatu mengajarkan rakyat Aceh untuk selalu
ingat kepada yang berjasa? Ibaratnya, “Tajak u pasie tatarek pukat, ladom bak
lamat, ladom bak punca. Putéh tuleueng lon di dalam jeurat, mantong teuingat
keu guna gata.”

Penulis berasal dari barat-selatan Aceh. Domisili di Banda Aceh

You might also like