You are on page 1of 31

Kelompok 3

BAB I

PENDAHULUAN

Sejauh ini pengertian In Vivo adalah dalam tubuh dari dalam, sedangkan In Vitro adalah
dari luar. Secara tidak langsug uji in vivo adalah tes yang dilakukan dengan cara mencobakan
ke dalam bagian tubuh, sedangkan uji in vitro adalah proses mencobakan bukan didalam bagian
tubuh-dipermukaan kulit. Adapun uji in vivo akan mengalami ADME dan adanya penggunaan
uji in vitro pada beberapa pengujian ditujukan untuk mengamati efek yang lebih sempurna dari
bahan cobaan.

Uji-uji ini nampak lebih efektif disertakan dalam proses pengujian sediaan semisolid,
disebabkan beberapa sediaan semisolid berupa sediaan pakai topikal. Pastinya setiap produsen
obat melakukan serangkaian uji untuk memastikan mana bentuk sediaan yang tepat bagi bahan
aktif obatnya. Uji ini dicobakan pada hewan uji berupa mencit, kelinci, bahkan kera, namun
secara umum dilakukan pada mencit karena mudah diperoleh untuk jadi hewan percobaan.
Pemilihan bentuk sediaan yang tepat bagi bahan aktif obat dapat membantu kecepatan ADME
zat aktif dalam tubuh untuk menjangkau daerah sumber sakit, selain itu sesuai tuntutan
perkembangan pengobatan saat ini diharapkan obat dengan tipe sediaan yang tepat memiliki sifat
toksisitas selektif yang baik. Dimana sifat ini mampu menekan penyakit tanpa menimbulkan efek
samping merugikan, walau pun hingga saat ini pasti akan ada efek sampingan yang timbul yang
secara tidak langsung kadang tidak diinginkan konsumen. Karena ada pula beberapa sediaan
obat yang diminum buka untuk mendapatkan efek utama obat melainkan efek sampingnya
seperti mengkonsumsi CTM sebagai obat tidur, yang dasarnya obat tersebut sebagi obat
antialergi.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 1


1.1 LATAR BELAKANG

Peran farmasis dalam dunia kesehatan telah berkembang dengan cepat dan luas seiring
dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Farmasis diharapakan dapat meningkatkan kualitas
pharmaceutical care yang berbasis patient oriented.

Untuk mewujudkan hal itu, sebelum membuat sediaan, farmasis harus memiliki pengetahuan
tentang manfaat dan efek samping dari suatu sediaan tersebut. Sebelum sediaan dipasarkan,
sediaan tersebut halus lulus serangkaian uji evaluasi sediaan fisik, kimia dan biologis agar
sediaan yang dibuat dapat memiliki efek teurapetik zat aktif yang diharapkan. Salah satu uji
evaluasi sediaan tersebut adalah uji invitro dan invivo. Uji ini diperlukan untuk mengetahui
farmakokinetik dan farmakodinamik dari suatu sediaan.

1.2 TUJUAN

Dengan tujuan untuk mencoba memahami pengaplikasian teknologi pada formulasi sediaan
semisolid dan liquid khususnya uji invitro dan invivo maka makalah ini penyusun buat.
Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk mempelajari secara khusus mengenai mekanisme dalam
pembuatan sediaan sampai sediaan tersebut layak untuk dipasarkan.

1.3 RUANG LINGKUP MATERI

Beberapa ilmu yang dipakai dalam penjabaran mengenai uji invitro atau invivo sediaan
semisolid dan liquid, yaitu :
 Farmasetika
 Farmakologi
 Farmakokinetik
 Farmakodinamik
 Farmasi fisik

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 2


 Anatomi fisiologi

BAB II

SEDIAAN SEMISOLID DAN LIQUID

2.1 SEDIAAN LIQUID

2.1.1 SUSPENSI ORAL

Suspensi didefinisikan sebagai preparat yang mengandung partikel obat yang terbagi secara
halus disebarkan secara merata dalam pembawa dimana obat menunjukkan kelarutan yang
sangat minimum. Beberapa suspensi resmi yang diperdagangkan telah disebarkan dalam cairan
pembawa dengan atau tanpa penstabil dan bahan tambahan farmasetik lainnya.

Preparat lain yang tersedia adalah serbuk kering yang dimaksudkan untuk disuspensikan
dalam cairan pembawa. Jenis produk ini umunya campuran serbuk yang mengadung obat dan
bahan pensuspensi maupun pendispersi, yang dengan melarutkan dan pengocokan dengan
sejumlah cairan pembawa (biasanya air murni) menghasilkan bentuk suspensi yang cocok untuk
diberikan. Obat seperti ini tidak stabil untuk disimpan dalam periode waktu tertentu dengan
adanya cairan pembawa air lebih sering diberikan sebagai campuran serbuk kering unutk dibuat
suspensi pada waktu akan diberikan.

Alasan Pembuatan Suspensi Oral

Salah satu alasan pembuatan suspensi oral adalah karena obat-obat tertentu tidak stabil
secara kimia bila ada dalam larutan tapi stabil bila disuspensikan. Dalam hal ini suspensi oral
menjamin stabilitas kimia dan memungkinkan terapi dengan cairan. Umumnya bentuk cair lebih
disukai dibandingkan bentuk padat, karena mudahnya menelan cairan dan keluwesan dalam
pemberian dosis, pemberian lebih mudah, serta lebih mudah untuk memberikan dosis yang
relative sangat besar, aman , mudah diberikan untuk anak-anak, juga mudah diatur penyesuaian
dosisnya untuk anak.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 3


Kerugian dari obat tertentu yang mempunyai rasa tidak enak bila diberikan dalam bentuk
larutan akan tidak terasa bila diberikan sebagai partikel yang tidak larut dalam suspensi. Dengan
membuat sediaan dalam bentuk-bentuk yang tidak larut untuk digunakan dalam suspensi
mengurangi kesulitan ahli farmasi unutk menutupi rasa obat yang tidak enak dan pemilihan zat
pemberi rasa dapat lebih disesuaikan dengan rasa yang diinginkan, bukan untuk menutupi rasa
yang tidak enak dari suatu obat. Kebanyakan suspensi oral berupa sediaan air dengan pembawa
yang diharumkan dan dimaniskan untuk memenuhi selera pasien.

Sifat-sifat yang diinginkan dalam suatu suspensi farmasi:

1. Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat mengendap secara lambat dan harus rata lagi
bila dikocok

2. Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel dari suspensinoid tetap
agak konstan untuk yang lama pada penyimpanan.

3. Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen.

2.1.2 EMULSI

Suatu emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang mengandung
paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, di mana satu di antaranya didispersikan
sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat stabil dengan adanya suatu zat pengemulsi.

Tipe Emulsi.

Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (sebagai contoh: air),
sedangkan lainnya relative nonpolar (sebagai contoh: minyak). Bila fase minyak didispersikan
sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu air, sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi
minyak dalam air (o/w). Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal
sebagai produk air dalam minyak (w/o). Emulsi obat untuk pemberian oral biasanya dari tipe o/w
dan membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi o/w. Zat pengemulsi tipe ini termasuk zat
sintetik yang aktif pada permukaan dan bersifat nonionic, akasia, (gom), tragacanth, dan gelatin.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 4


Tetapi tidak semua emulsi yang dipergunakan termasuk tipe o/w. Makanan tertentu seperti
mentega dan beberapa saus salad merupakan emulsi tipe w/o.

Mekanisme Pemisahan Zat Pada Emulsi

Pemisahan zat pada emulsi disebabkan karena kurangnya stabilitas emulsi. Umumnya suatu
emulsi dianggap tidak stabil jika :

a. Fase dalam atau fase terdispersi pada jika didiamkan cenderung membentuk agregat dari
bulatan-bulatan.
b. Jika bulatan-bulatan atau agregat naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi, maka
akan membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam.
c. Jika semua atau sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu
lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar emulsi , yang merupakan hasil dari
bergabungnya bulatan-bulatan fase dalam.
Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke
permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi tersebut. Terjadinya bulatan-bulatan seperti itu
disebut creaming dari emulsi tersebut dan apabila tidak terjadi penggabungan maka akan
merupakan proses yang bolak-balik. Bagian yang membentuk cream dari suatu emulsi dapat
didistribusikan kembali secara merata dengan cara mengocoknya, tetapi jika agregat tersebut
sukar untuk dipecahkan atau pengocokan tidak mencukupi, maka akan diperoleh pemberian
dosis dari zat menjadi tidak tepat.

Menurut persamaan Stokes, laju pemisahan dari fase terdispers dari suatu emulsi dapat
dihubungkan dengan faktor-faktor seperti ukuran partikel dari fase terdispersi, perbedaan dalam
kerapatan antar fase, dan viskositas fase luar. Laju pemisahan meningkat dengan makin besarnya
ukuran partikel fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antar kedua fase dan
berkurangnya viskositas dari fase luar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan stabilitas suatu
emulsi, bulatan atau ukuran paertikel harus dibuat sehalus mungkin, perbedaan fase tersdispers
dan fase luar harus sekecil mungkin dan viskositas fase luar harus cukup tinggi. Creaming ke
arah atas terjadi dalam suatu emlusi tipe a/m atau m/a yang tidak stabil dimana fase terdispersi
mempunyai kerapatan yang lebih kecil daripaa kerapatan fase luar. Creaming ke arah bawah
dalam emulsi yang tidak stabil dimana kerapatan fase dalam lebih besar dari kerapatan fase luar.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 5


Kerusakan yang lebih besar daripada creaming pada suatu emulsi adalah penggabungan
bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Pemisahan fase
dalam dari emulsi tersebut disebut pemecahan (breaking) emulsi dan emulsinya disebut pecah
atau retak (cracked). Hal ini bersifat reversible karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-
bulatan fase terdispersi tidak ada lagi. Usaha untuk menstabilkan kembali emulsi tersebut dengan
pengocokan, dari dua lapisan yang memisah umumnya gagal. Biasanya diperlukan zat
pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali dengan mesin yang sesuai untuk dapat
memproduksi emulsi kembali.

Kondisi lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan kontaminasi mikroorganisme, dapat
memberikan efek yang mengubah stabilitas emulsi, formulasi dan tindakan pengemasan yang
sesuai harus dilakukan guna mengurangi kerusakan stabilitas produk menjadi sekecil mungkin.
Untuk emulsi yang peka terhadap cahaya, dipakai wadah tahan cahaya. Untuk emulsi yang rusak
karena oksidasi, dapat ditambah antioksidan dalam formulasinya dan dicantumkan label
peringatan yang jelas untuk memastikan bahwa wadahnya tertutup rapat. Untuk mencegah
adanya jamur, umumnya pada fase cair dari emulsi m/a ditambahkan pengawet, karena jamur
(jamur dan ragi) lebih banyak kemungkinan mengkontaminasi emulsi daripada bakteri. Suatu
kombinasi dari metal paraben dan propil paraben sering digunakan utnuk tujuan ini. Alkohol
dalam jumlah 12-15% yang dihitung dari volume fase luar sering ditambahkan pada emulsi m/a
yang diberikan secara oral sebagai pengawet.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 6


2.2 SEDIAAN SEMISOLID

Katz telah merancang “dunia pengobatan topikal”. Dengan gambar tersebut, seseorang dapat
mempertimbangkan berbagai pengobatan topikal sepereti pasta, dasar salep pengabsorpsi,
produk-produk teremulsi, lotio dan suspensi. Komponen dasar dari prparat dermatologis adalah
serbuk, air, minyak dan pengemulsi. Mulai dari serbuk (A) pada ”roda dunia” dalam gambar 20-
14, seseorang diharapkan dengan pengobatan serbuk biasa yang digunakan sebagai pelindung,
zat pengering dan pelumas serta sebagai pembawa untuk obat yang digunakan secara lokal.
Mengikuti arah berlawanan dengan jarum jam mengelilingi roda tersebut, kita sampai pada pasta,
B, yang merupakan suatu kombinasi serbuk dari bagian A dan bahan-bahan yang bersifat minyak
seperi minyak atau petrolatum. Suatu salep yang bersifat minyak atau pelumas dan pelunak dan
tidak mengandung serbuk terlihat pada bagian salep, C.Selanjut bagian basis
pengabsorpsimerupakan suatu basis salep pengabsorpsi yang tidak mengandung air, terdiri dari
fase minyak dan pengemulsi w/o serta mampu mengabsorpsi larutan obat dalam air. Begitu pula
seterusnya.

2.2.1 SALEP

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 7


Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Dasar salep digolongkan ke
dalam empat golongan besar:

1. dasar salep hidrokarbon


2. dasar salep absorpsi
3. dasar salep yang dapat dicuci dengan air
4. dasar salep yang larut dalam air.
Pemilihan dasar salep yang tepat untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada
pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk:

 laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep


 keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat
 kelayakan melindungi kelembapan kulit oleh dasar salep
 janka lama dan pendeknya obat stabil dalam dasar salep
 pengaruh obat terhadap kekentalan dasar salep.

Salep dibuat dengan dua metode umum yaitu:

1. Pencampuran
Dalam metode pencampuran komponen dari salep dicampur bersama-sama dengan
segala cara sampai sediaan yang rata tercapai.

Dalam pencampuran bahan padat, dasar salep dibuat dengan menggerus, meratakan
dan mengumpulkan komponen-komponennya pada permukaan yang kasar dengan
bantuan spatula hingga hasilnya lembut dan rata. Komponen serbuk dihaluskan
terlebih dahulu dengan mengggunakan mortir yang telah bersih. Lalu sebagian dari
serbuk dicampur dengan dasar salep sampai merata dan kemudian semua bahan
pengisi salep dicampurkan dan digerus homogen.

2. Peleburan
Dengan metode peleburan semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan
dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai
mengental.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 8


Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada cairan
biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan
dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir, bila
temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau
penguapan dari komponen. Penambahan serbuk yang tidak larut biasanya digerus
dengan sebagian dasar salep.

Basis salep yang tidak mengandung air terdiri dari fase minyak dan pengemulsi w/o,
serta mampu mengabsorpsi larutan obat dalam air.

2.2.2 KRIM

Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari
60 %, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Dibedakan dua tipe, krim tipe minyak air-minyak.
Krim tipe air-minyak mudah menjadi kering dan mudah rusak.

Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan anion, kation,
atau nonion. Pemilihan surfaktan didasarkan atas jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk
krim tipe minyak-air digunakan zat pengemulsi seperti trietanolaminil stearat dan golongan
sorbitol, polisorbat, poliglikol,sabun. Untuk membuat krim tipe air-minyak digunakan zat
pengemulsi seperti lemak bulu domba,setilalkohol,stearilalkohol, setaseum, dan emulgida.

Pembuatan krim

Bagian lemak dilebur diatas tangas air kemudian tambahkan air dan zat pengemulsi dalam
keadaan sama-sama panas, aduk sampai terjadi suatu campuran bentuk krim.

2.2.3 GEL

Gel adalah sediaan bermassa lembek, berupa suspense yang dibuat dari zarah kecil senyawaan
organic atau makromolekul senyawa organic, masing masing terbungkus dan saling terserap oleh
cairan. Jika massa gel terdiri dari gumpalan zarah kecil, gel digolongkan dalam system dua fasa;

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 9


massanya bersifat tiksotropik, artinya, massanya akan mengental jika dibiarkan dan akan
mencair kembali jika dikocok. Gel demikian disebut magma. Jika massa gel mengandung banyak
cairan, umumnya air, gel disebut jelli.

Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul yang terdispersi merata ke seluruh cairan
sedemikian rupa hingga tidak menunjukkan batas antara makromolekul yang terdispersi dengan
cairannya.

2.2.4 SUPPOSITORIA

Suppositorium adalah sediaan padat, melunak, melumer, dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo.

Suppositorium dibuat dengan mencampur obat atau campuran beberapa jenis obat dengan
suppositorium yang melumer hingga merata, tuangkan campuran pada suhu yang cocok kedalam
cetakan yang telah diolesi zat pelican. Dapat juga dibuat dengan mencampurkan obat dengan
suppositorium dasar hingga merata dan dibentuk menggunakan cetakan kempa dingin atau
dengan mesin.

Jika tidak dinyatakan lain, sebagai suppositorium dasar digunakan lemak coklat dan untuk
memperoleh massa suppositorium yang baik, sebagian lemak coklat dapat diganti dengan malam
putih dalam jumlah yang sesuai.

Suppositorium yang dibuat menggunakan suppositorium dasar lemak coklat berbobot antara 1
g sampai 2 g.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 10


Tabel Bentuk Sediaan Obat

Bentuk Sediaan Keterangan


Sediaan Obat Oral  
Kapsul
Pembungkus terbuat dari gelatin yang berisi bubuk atau cairan obat
Eliksir Sediaan obat cair dengan pelarut alcohol
Emulsi Obat dalam bentuk suspensi / larutan kental
Pelapis enteral Pelapis khusus yang hanya larut ketika berada di usus dan tidak
dilambung karena sifatnya mengiritasi lambung
Lozenge (troche) / Tablet yang dapat dilarut dimulut (dihisap)
tablet hisap
Bubuk Bentuk dasar obat, dilarutkan dengan air sebelum digunakan
Suspensi / Larutan Bentuk obat cair yang harus dikocok sebelum digunakan karena
biasanya terpisah dari larutannya
Sirup Obat dalam bentuk larutan air dan gula
Tablet Bentuk padat bubuk obat (bulat, elips) yang dapat dibelah menjadi 2
bagian. Dapat dilapisi gula atau lapisan tipis untuk membantu daya
 
kohesi

Tincture Larutan sangat kental yang larut dalam alcohol, biasanya berasal dari
tumbuhan dan dalam dosis kecil
Sediaan Obat Topikal  
Krim
Sediaan obat dalam bentuk semisolid, tidak lengket / berminyak
Gel atau jelly Sediaan semisolid yang transparan / bening yang mencair saat
mengenai kulit
Liniment Cairan mengandung minyak yang digosokkan pada kulit
Lotion Suspensi cair atau kental, digunakan pada kulit
Salep Obat yang dikombinasikan dengan larutan minyak
Pasta Cairan / salep yang kental untuk kulit
Obat yang mengandung gelatin (dibuat agar mudah diserap tubuh),
Suppositoria
hancur sesuai dengan suhu tubuh dan perlahan diserap oleh tubuh.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 11


Transdermal patch Obat dalam bentuk sediaan  plester, digunakan pada kulit untuk secara
bertahap mengontrol penyerapan obat pada kulit.

BAB III
UJI INVITRO

3.1. PENGERTIAN

Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan terhadap laju
disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk menyelidiki
pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan pelepasan diperlambat terhadap disolusi
sulfadiazin dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Sebuah prosedur dilakukan in vitro ( bahasa Latin : dalam kaca) dilakukan tidak dalam
hidup organisme tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan
Petri . Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi
pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat mengakibatkan
hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil
eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in vivo.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada
subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ ,
jaringan , sel , komponen sel, protein , dan atau biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang lebih
cocok dibandingkan in vivo penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan.
Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil
yang umumnya lebih jelas.

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk menduga aktivitas
terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari percobaan in vitro sangat

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 12


berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi telah banyak hasil-hasil penelitian yang
membuktikan adanya hubungan yang baik antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo,
seperti pada penelitian-penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan
Bazex,1982).

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan pergeseran dari
in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan dengan mitra molekulnya. Saat
ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan sangat produktif.
Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari
yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in
vitro biasanya diikuti oleh studi vivo. Contohnya termasuk:

 Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan enzim


dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin tampak
memiliki tata-nama, salah.
 DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
 Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain dan ada
sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang bergerombol dan tidak
membantu.

Uji in vitro  untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang
dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji
pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel),
sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-
lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk menduga aktivitas
terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari percobaan in vitro sangat
berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi telah banyak hasil-hasil penelitian yang
membuktikan adanya hubungan yang baik antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo,
seperti pada penelitian-penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan
Bazex, 1982).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 13


Pengujian in vitro memungkinkan preparat percobaan dievaluasi dengan pembandingan
berbagai profil pelepasan yang berlainan dan juga suatu klasifikasi. Jika percobaan klinik
menyatakan bahwa sediaan obat yang dikembangkan menunjukkan kerja optimal, maka
pengujian in vitro berlaku untuk control produksi {Voigt, 1995}.

Kemampuan bahan obat untuk berpenetrasi ke dalam kulit dan mencapai efek yang
diharapkan ditentukan oleh dua proses yang berurutan yaitu bahan obat harus dapat terbebaskan
dari sediaan untuk mencapai permukaan kulit, kemudian bahan obat harus dapat berpenetrasi ke
dalam kulit menuju saluran sistemik (Ostrcnga, Steinoetz dan Poulsen, 1971).

Bila suatu obat diberikan secara topikal maka obat akan lepas dari pembawanya, kemudian
berdifusi pasif nenuju ke epidermis dan dermis. Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal
secara langsung tergantung pada sifat fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan.
Ketersediaan biologis obat yang digunakan tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa
dan permeabilitas obat melewati kulit (Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa (Delonca et
al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi juga parameter-parameter
percobaan. Seperti percobaan yang telah dilakukan oleh Walkow dan McGinity (f 987), Itoh et al
(199O), Taro Ogiso dan Masako Shintani (1990) dan Harada et al 11992) menunjukkan bahwa
tipe membran dan komposisi cairan penerima {Walkow dan McGinity, 1987) dapat
mempengaruhi profil difusi. Difusi metil salisilat sangat tergantung pada tipe membran yang
dipakai (Walkow dan McGinity, 1987).

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu metode pelepasan
tanpa suatu membrane pembatas kecepatan dan metode difusi dengan suatu membrane pengatur
kecepatan yang menggunakan membran kulit tiruan (seperti selulosa acetat, polidimetilsiloksan,
membrane kulit alamiah {dapat digunakan kulit bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci,
ular), sel difusi orde nol dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 14


DISOLUSI

Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut.
Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan
kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang
melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan
penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan
degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi
obat dari sediaan.

Kecepatan Pelarutan

Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari
bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai
kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil
pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal
tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan
larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah
dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hukum
difusi dari Fick :

dc = DAK (Cs-C)

dt h

dimana :

dc/ct : laju pelarutan obat

D : tetapan laju difusi

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 15


A : luas permukaan partikel

Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”

C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

K : koefisien partisi munyak/air

h : tebal “stagnant layer”

Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia, formulasi, dan pelarut.

Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain
persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut :

1. Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang
kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya
menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik
terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

2. Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah
kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi
berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

Y100.t

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 16


Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang
terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

a. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE


b. dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena
penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh


persamaan wagner

Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :

a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>C

b. proses pelarutan mengikuti orde I

c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu

d. kondisi proes pelarutannya non reaktif

Alat Uji Disolusi Farmakope

Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama.
Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing farmakope,
seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk
monografi individu obat dan masing-masing farmakope.

Alat Uji Disolusi 1 dan 2

Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang
menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang
menggunakan pengaduk

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 17


Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah
satu model atau gabungan dari model-model tersebut.

a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat
satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah
yang berlawanan dengan permukaan padat (Banakar, 1992)Reaksi pada permukaan padat-cair
berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk
film”,pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu
kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film

(Banakar, 1992).

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini
terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti (Banakar, 1992).Sebagai hasilnya, tidak
dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam
membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan
ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan
tipis statis (stagnant)

(Banakar, 1992).

c. Model Dankwert (Dankwert model)

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 18


Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui
cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran difusi
secara acak (Banakar, 1992).

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

1. Sifat fisika kimia obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan
efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar
karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam
maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal
secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,
kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal
(Shargel dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium
tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.
Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan
tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat
terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi
(Shargel dan Yu, 1999).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 19


3. Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan
kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat,
semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat
menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium,
serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan
Boyland, 1994b; Parrott, 1971)

Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan

(1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %

(2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch
yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et al., 1994).

3.2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal secara langsung tergantung pada sifat
fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan. Ketersediaan biologis obat yang digunakan
tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa dan permeabilitas obat melewati kulit
(Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa (Delonca et
al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi juga parameter-parameter
percobaan. Selain itu, bentuk sediaan juga kurang lebih membawa pengaruh yang cukup banyak
terhadap uji in vitro ini.

Faktor Fisika yang Berpengaruh pada Uji Pelarutan In Vitro

a) Pengadukan, kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan disolusi yang
dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi berbanding terbalik pada kecepatan putaran

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 20


pengadukan. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi
(Shargel et al, 2005).

b) Suhu, umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat aktif yang terlarut.
Suhu medium dalam percobaan harus dikendalikan pada keadaan yang konstan umumnya
dilakukan pada suhu 37oC, sesuai dengan suhu tubuh manusia. Adanya kenaikan suhu selain
dapat meningkatkan gradien konsentrasi juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan
menaikkan kecepatan disolusi (Shargel et al., 2005).

c) Medium Kelarutan, sifat medium larutan akan mempengaruhi uji pelarutan. Medium larutan
hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang terbaik merupakan persoalan tersendiri dalam
penelitian. Beberapa peneliti telah menggunakan cairan lambung yang diencerkan, HCL 0,1 N,
dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung dari sifat produk obat
dan lokasi dalam saluran pencernaan dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel et al., 2005).

d) Wadah, ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan. Untuk mengamati
kemaknaan dari obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin perlu wadah berkapasitas besar
(Shargel et al., 2005).

3.3. METODE UJI INVITRO

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu :

 Metode pelepasan tanpa suatu membrane pembatas kecepatan


 Metode difusi dengan suatu membrane pengatur kecepatan yang menggunakan membran
kulit tiruan (seperti selulosa acetat, polidimetilsiloksan,membrane kulit alamiah {dapat
digunakan kulit bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci, ular), sel difusi orde nol
dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

Uji Penetrasi Secara In Vitro Menggunakan sel difusi Franz

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 21


A = kompartemen donor
B = kompartemenreseptor
C = membran
D = O-ring
E = water jacket
F = pengaduk magnetik
G = tempat pengambilan sampel

Kecepatan penetrasi zat aktif pada steady state ( fluks, J, μg cm-2jam-1) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:

J=Q/A·t
J = D A K / h (C2 – C1)

J = kecepatan penetrasi zat aktif (μg cm-2jam-1)


Q = jumlah zat aktif yang terpenetrasi (μg)
A = luas membran (cm2)
t = waktu (jam)
D = koefisien difusi
K = koefisien partisi
h = tebal membran
(C2 – C1) = gradien konsentrasi

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 22


Pengujian ini dilakukan diluar tubuh ternak dengan menggunakan simulasi/tiruan yang mirip
dengan proses-proses yang terjadi dalam tubuh.

3.4. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Kondisi percobaan in vitro mempunyai beberapa keuntungan antara lain :

 Kondisi percobaan dapat dikontrol


 Faktor individual yang dapat mempengaruhi percobaan dapat dihilangkan
 Metode in vitro dapat digunakan untuk percobaan fisika kimia seperti koefesien partisi
dan koefesien difusi.

Kejelekan dari metode ini adalah kondisi percobaan tidak sama dengan kondisi jaringan kulit
yang asli, terutama mengenai pengadaan aliran darah (Barry, 1983).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 23


BAB IV
UJI IN VIVO

4.1 PENGERTIAN

In vivo ( bahasa Latin untuk "dalam hidup") adalah eksperimen dengan menggunakan
keseluruhan, hidup organisme sebagai lawan dari sebagian organisme atau mati, atau in vitro
dalam lingkungan yang terkendali. Hewan pengujian dan uji klinis dua bentuk dalam penelitian
in vivo. Dalam vivo pengujian sering mempekerjakan lebih in vitro karena lebih cocok untuk
mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup. Hal ini sering dijelaskan oleh pepatah
di veritas vivo.

Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk pada eksperimen
dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh organisme, misalnya, berasal dari sel-sel kultur
biopsi. Dalam situasi ini, istilah yang lebih spesifik adalah ex vivo . Setelah sel terganggu dan
bagian individu yang diuji atau dianalisis, ini dikenal sebagai in vitro. dalam percobaan vivo
dalam hidup; dalam studi in vitro dalam tabung reaksi.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian terhadap
bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 24


menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetik menggunakan data
konsentrasi obat dalam darah.

Penelitian penetrasi sistem transdermal secara in vivo dapat dilakukan pada binatang atau
langsung pada manusia. Pada model binatang, sebagai media percobaan telah memberikan
sumbangan dalam mempelajari anatomi, fisiologi dan biokimia dari kulit (Barry, 1983).

Percobaan pada manusia sudah pasti memberikan informasi yartg paling akurat. Akan
tetapi jika ditinjau dari sisi metodenya, cara inipun nasih baoyak permasalahannya. Seringkali
dijumpai adanya tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendeteksi bahan obat yang diabsorpsi
dalam darah, akibat sangat rendahnya konsentrasi. Kesulitan selanjutnya adalah dalam
menentukan seberapa jauh keterkaitan antara harga kadar darah dengan kerja klinik obat. Oleh
karena itu aktifitas farmakologis juga sulit dipastikan, apalagi jika zat aktif tidak lagi dapat
dideteksi dalem darah atau jaringan. Juga penetuan bahan obat atau metabolitnya dalam urin
serta evaluasi hasilnya banyak dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian. Pada dasarnya dengan
cara in vivo hendaknya diperhatikan hubungan kuantitatif, antara absorbsi, kadar serum dan
eliminasi (Voigt, 1995).

Uji invivo.

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan
antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari
positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen
obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis
sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai.
Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 25


anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko
bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap
obat.

Bioavailabilitas

Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu
pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertamakali
adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah
bioavailabilitas.Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah
bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat,adanya keluhan dari pasien
dan dokter di mana obat yangsama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan
adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep
dengan obat merek lainnya.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas
adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang
perlu dipertimbangkan,yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan
toksisitas yang minimal.Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya
definisi tentang bioavailabilitas.

Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua
faktor di atas adalah :

Definisi 1:

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 26


Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat
tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Definisi 2 :

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat
tersebut yang diabsorpsi.

Metode penilaian availabilitas menurut FDA meliputi :

a. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah absorpsi produk,
sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan parameter-parameter terukur (misal konsentrasi
bahan obat aktif dalam darah, laju ekskresi urin dan efek farmakologik), tidak berbeda secara
bermakna dengan bahan pembanding.

b. Teknik analisis statistik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan perbedaan
laju dan jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan subjek.

c. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju absorpsi, tetapi tidak
berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada dalam sistematik jika perbedaan laju
absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan tepat dalam label dan atau laju absorpsi tidak
mengganggu keamanan dan efektifitas produk obat (Shargel et al, 2005).

Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta yang diperoleh secara
in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama dengan bioavailabilitas obat.
Idealnya, disolusi obat in vitro berkorelasi dengan bioavailabilitas obat in vivo (Shargel et al.,
2005).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 27


Pelepasan obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavailabilitas in vivo. Namun
karena beberapa alasan, penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu: lamanya waktu yang
diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan menginterpretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan
pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian subjek manusia bagi penelitian yang
“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia
yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Akibatnya uji disolusi secara in vitro
dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai sebagai pengukur
availabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan
berbagai metode pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavailabilitas (Lachman et
al., 1994).

4.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Pada penelitian in vivo juga terdapat faktor yang mempengaruhi penyerapan bahan obat pada
permukaan kulit, yaitu :

 kondisi fisiologis kulit yang meliputi antara lain keadaan dan umur kulit
 aliran darah
 tempat pengolesan
 kelembaban dan suhu kulit (Devissaquet dan Aiache, 1993),

4.3 METODE IN VIVO

Uji invivo.

• Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik

• Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 28


• Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin,
antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja.

4.4 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Keuntungan dari uji in vivo ini adalah hasil yang diperoleh lebih akurat karena langsung
mengacu pada efek farmakodiamik dari sediaan tersebut.

Kerugian dari uji in vivo ini, adalah :

 Tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendetekdi bahan obat yang diabsorpsi dalam darah
 Sulit menentukan seberapa jauh keterkaitan antara harga kadar darah dengan kerja klinik
obat
 Apabila zat aktif tidak lagi dapat dideteksi di dalam darah atau jaringan, efek farmakologi
sulit ditentukan

Contoh cara pengujian absorpsi obat secara in vivo dan in vitro:

Kelinci dicukur punggungnya dengan luas 25 cm 2 (5x5 cm2), lalu sediaan (contoh salep) seberat
4 gram dioleskan pada daerah yang dicukur tersebut, ditutup punggungnya dengan alumunium
foil dan dibalut. Pengambilan sampel darah dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7;
24; 28; 32. Sampel darah 1 ml diberi EDTA, diambil TCA 1 ml, disentrifus selama 15 menit, lalu
campuran diambil 1.0 ml ditambah aquadest 2.0 ml selanjutnya dibaca absorbansinya pada
spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 276 nm. Dengan uji in vitro akan diperoleh
harga DE sedangkan uji in vivo akan diperoleh harga Kel dan Ka zat aktif dari beberapa basis.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 29


BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan terhadap laju
disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk menyelidiki
pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan pelepasan diperlambat terhadap disolusi
sulfadiazin dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian terhadap
bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk
menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetik menggunakan data
konsentrasi obat dalam darah.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada
subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ ,
jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang
lebih cocok dibandingkan in vivo penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 30


Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil
yang umumnya lebih jelas.

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan pergeseran dari
in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan dengan mitra molekulnya. Saat
ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan sangat produktif.

Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari
yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in
vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.

5.2 USUL DAN SARAN

Berikut ini penyusun memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengujian
sediaan selanjutnya. Adapun saran tersebut :

 Pengujian in vivo pada mencit atau tikus seharusnya dilakukan secara terkontrol, jangan
sampai mencit dan tikus dijadikan bahan percobaan dengan semena-mena.
 Saat formulasi sediaan hendaknya mempertimbangkan segala macam efek teurapetik
yang diharapkan dengan seksama.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 31

You might also like