You are on page 1of 28

Reportase

MANAJEMEN SUPLAI OBAT

HARI I
Rabu, 6 Agustus 2008

Pengantar
Oleh: dr. Jarir At Thobari, PhD
Perkenalan course director, narasumber dan peserta

Dr. Jarir selaku course director pelatihan manajemen obat memberikan pengantar
dalam pembukaan pelatihan manajemen obat. Pelatihan ini diselenggarakan selama
dua hari. Hari pertama pelatihan diisi dengan kuliah dari berbagai narasumber dengan
topic yang berbeda, mulai dari manajemen suplai obat sampai dengan surveilans obat.
Para narasumber yang memberikan materi
adalah narasumber yang kompeten dalam
bidang farmakoepidemiologi, manajemen obat,
praktisi dari rumahsakit, BPOM maupun
Kasubdit pengelolaan obat public dan
perbekalan kesehatan. Peserta pelatihan terdiri
dari 29 orang yang berasal dari berbagai instansi
seperti Depkes, DinKes kabupaten/kota,
puskesmas, rumahsakit, Bapelkes, Jamsostek
  dan lain-lain.
Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari
seminar yang adakan pada bulan Juni yang lalu mengenai manajemen obat pada era
desentralisasi. Obat merupakan salah satu komponen utama upaya pelayanan
kesehatan. Hal ini tidak saja berlaku di pusat pelayanan kesehatan primer tetapi juga di
tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, obat perlu dikelola
secara efektif dan efisien agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Dengan
berdasar pada Peraturan Pemerintah RI No.38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah
RI No.41 Tahun 2007, maka diperlukan suatu upaya restrukturisasi yang menyeluruh
dalam hal pengelolaan obat. Sehingga perlu diupayakan pelatihan guna meningkatkan
kemampuan para pengelola obat di tingkat kabupaten/ kota dalam hal manajemen
obat.
Pada pelatihan ini diharapkan para peserta mengaplikasikan manajemen obat di
berbagai institusi asal, baik Dinas Kesehatan, universitas, rumahsakit maupun Bapelkes.
Sebelum pelatihan dimulai para peserta diberikan soal pretest yang memuat pengetahuan
manajemen obat seperti, seleksi, pengadaan, penyimpanan dan distribusi. Soal pretest ini
berfungsi mengukur kemampuan awal peserta. Keberhasilan pelatihan dilihat dari
peningkatan hasil posttest pada akhir pelatihan.
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 1 
 
 

SESI I

SISTEM MANAJEMEN SUPLAI OBAT DI KABUPATEN/KOTA


Oleh : Prof Iwan Dwi Prahasto, MMedSc, PhD

Pengantar

Burning question :
Mengapa diperlukan suplai obat?
1. Menjamin mutu dan keamanan obat.
Apakah bapak/ibu berani menjamin
mutu? Belum (tidak berani ada yang
menjamin)
2. Efisiensi biaya, sangat mahal apabila
Puskesmas merencanakan dan
mengadakan obat sendiri. Sudahkah
efisien? Belum. Mengapa? Ada obat-
obat tertentu yang tersedia dengan
tidak efisien  

Logistik adalah ilmu manajemen suplai yang besar, sesuai dengan jadwal ke orang
banyak besar yang berlokasi di tempat yang berbeda.
 

Dalam era desentralisasi, berbagai isu manajemen obat muncul antara lain mengenai
struktur organisasi, sumber-sumber pembiayaan obat public, pengadaan obat,
tingkat kecukupan obat, ketersediaan obat berdasarkan jumlah, jaminan mutu dan
monitoring dan supervise pengelolaan obat.
Struktur organisasi setelah desentralisasi terjadi overlapping jabatan fungsional,
operator sekaligus sebagai regulator. Kepala gudang juga merangkap sebagai kepala
seksi pelayanan farmasi. Sebelum desentralisasi pengelolaan obat dilakukan oleh
Gudang Farmasi Kabupaten. Dari segi pembiayaan obat publik hampir sama
sebelum/sesudah desentralisasi (ada beberapa yang sama). Sebelum desentralisasi:
Inpres/DPD, APBD I, APBD II, Askes, Program Transmigrasi (beberapa) dan Bantuan
Luar Negeri (BLN). Setelah desentralisasi: DAU II, DAU I, Askes, Program dan
Transmigrasi (beberapa). Masing-masing daerah mempunyai dana pembiayaan untuk
obat yang berbeda-beda. Pada daerah kaya, anggaran untuk obat belum tentu besar.
Masalah lain yang sering terjadi adalah berkaitan dengan mutu obat yang
beredar. Sebelum desentralisasi dilakukan review, sebagian besar sekarang tidak. Tim
review berasal dari akademisi, ikatan profesi, ditjen Binkesmas, ditjen POM dan para
ahli di bidang klinis. Sekarang, review jarang atau tidak pernah dilakukan sama sekali
sehingga jaminan terhadap keamanan obat diragukan. Banyak kasus tejadi

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 2 
 
penyimpangan item obat diluar DOEN seperti keberadaan ciprofloxacin di puskesmas.
Terdapat perbedaan alur pengadaan obat sebelum dan setelah desentralisasi

Alur pengadaan obat era sentralisasi :


Puskesmas (LPLPO) kemudian direkap ke kabupaten kemudian dilanjutkan ke
propinsi diteruskan dirjen POM. BPOM mengadakan kontrak dengan perusahaan
farmasi yang men-supply obat. Obat kemudian siap didistribusikan ke propinsi

Alur pengadaan obat era desentralisasi desentralisasi :


Puskesmas (LPLPO) direkap di tingkat kabupaten. Kabupaten mengadakan
perencanaan dan kontrak dengan perusahaan farmasi/PBF untuk pengadaan. Obat
siap didistribusikan ke tingkat puskesmas. Alur ini lebih pendek dibandingkan era
sentralisasi.

Masalah lain yang berkembang dengan adanya desentralisasi. Setelah desentralisasi


tingkat kecukupan obat berkurang menjadi 12 bulan dari 12- 30 bulan sebelum
desentralisasi. Obat program dan Askes memunculkan duplikasi dalam era
desentralisasi. Era desentralisasi memunculkan peningkatan penggunaan obat terutama
obat branded. The only essensial drugs in primary health care is generic (dulu),
sekarang obat branded banyak ditemukan. Era desentralisasi memberikan keuntungan
resiko stock out lebih besar dibandingkan era sentralisasi. Akhirnya banyak ditemukan
obat-oba trivial. Dari tahun 1998 sampai dengan 2002 terjadi penurunan prosentase
kesesuaian obat yang tersedia dengan DOEN.
Penjaminan mutu terhadap obat dilakukan dengan mereview certificate of analysis
(CoA). Pada era sentralisasi, jaminan mutu dilakukan oleh Badan POM sedangkan pada
era desentralisasi jaminan mutu menjadi tanggung jawab Balai POM. Penjaminan mutu
oleh Balai POM ditingkat kabupaten/kota belum sepenuhnya dilakukan.
Monitoring dan supervisi pengelolaan obat dilakukan oled dinas kesehatan
kabupaten/kota. Dinkes berperan ganda sebagai regulator dan operatorpengelolaan
obat sehingga monitoringnya belum sepenuhnya dilakukan.

Diskusi

Pemaparan dari Prof. Iwan memicu munculnya tanggapan dari peserta mengenai
seleksi obat dan peningkatan branded drugs. Setiap berapa bulan sekali pihak puskesmas
memberikan laporan terhadap dinas daftar penyakit yang terbesar yang terdapat di
masyarakat sebagai dasar penyusunan daftar obat. Pada kenyataannya, beberapa obat
untuk penyakit tersebut tidak tersedia. Hal tersebut terjadi disebabkan karena alasan
dana/anggaran dan proses untuk pengadaan. Tidak pernah ada daerah kaya sekalipun
yang membebaskan anggaran untuk kesehatan, khususnya obat. Proses pengadaan

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 3 
 
juga tidak bebas karena ada peraturan yang membatasi pengadaan terutama mengenai
jumlah dan waktu. Masalah peningkatan branded drug, pada dasarnya disebabkan sadar
atau tidak struktur organisasi UPTD men-drive kita untuk konsumerisme sehingga
terjadi peningkatan pemakaian obat-obat branded. Obat sebaiknya diseleksi supaya
suplai obat di puskesmas. Harusnya ada tim reviewer dengan melibatkan akademisi
dan epidemiologist. Proses ini tentunya memerlukan waktu yang lebih lama.

Problem pada ongkos kirim Medan-Nias tinggi, sehingga penyediaan obat menjadi
tidak baik. Hal ini menjadi permasalahan yang dirasa paling sulit diatasi. Efeknya obat-
obat yang “laku” menjadi sangat mudah mengalami kekosongan. Kondisi yang
demikian mengakibatkan posisi dari para supplier menjadi lebih tinggi.

Resume

Suplai obat diperlukan untuk menjamin mutu dan keamanan obat serta efisiensi biaya

SESI II

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN OBAT


BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU
Oleh : Drs. M.Taufik,S., MM, Apt

Pengantar

Obat merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling nyata dan paling
dirasakan oleh pasien yang berkunjung ke fasilitas kesehatan. Obat generic lebih dipilih
karena harganya yang lebih terjangkau dengan tingkat keamanan, efikasi, kualitas
yang terjamin. Undang-undang kesehatan No.23 tahun 1992 mengatur berbagai definisi
dan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang lain sperti yang tertuang dalam
Pasal 61 yang berbunyi perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya
(sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik). Pasal 61 ayat
1 memuat pengelolaan perbekalan kesehatan, yaitu “pengelolaan perbekalan kesehatan
dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
perbekalan lainnya yang terjangkau masyarakat”.

Pembicara mengulas lebih lanjut mengenai pengelolaan perbekalan kesehatan seperti


yang tertuang dalam pasal 61 ayat 1 dan 2, yang berisi antara lain: pasal 61 ayat
pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 4 
 
faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan. Pasal 61
ayat 3, pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang menurut
pertimbangan diperlukan oleh sarana kesehatan. Selain UU No.23 tahun 1992,
selanjutnya pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan juga diatur lebih
lanjut dalam PP No.78 tahun 1998 yang berisi ayat 1: Sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan.

Materi

M. Taufik, Apt menjelaskan lebih lanjut mengenai sasaran program obat dan
perbekalan kesehatan, antara lain: Ketersediaan Obat Esensial Generik dan Alkes Dasar
di Sarana Pelayanan Kesehatan (95%) dan Anggaran Obat Esensial Generik di Sektor
Publik setara US$ 1,00 (Rp 9.000,-) perkapita pertahun. Pelaksanaan program obat dan
perbekalan kesehatan tahun 2009 mempunyai beberapa indikator, yaitu: 1) tersedianya
Obat dan Alkes Dasar dlm jumlah yg cukup, aman & bermutu di Puskesmas &
jaringannya 2) Pemda yg alokasi dana obat < Rp 5.000,- perkapita pertahun
berkomitmen untuk meningkatkan alokasi dana penyediaan obat di Kabupaten/Kota.
Pemerintah baik pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat, dalam hal ini
Departemen Kesehatan mempunyai tanggung jawab antara lain: menyediakan dana
obat untuk masyarakat miskin, obat untuk buffer stock nasional (bencana alam, darurat),
obat untuk program kesehatan, mengendalikan harga dan melatih tenaga untuk
peningkatan advokasi. Tanggung jawab Dinas Kesehatan tingkat propinsi, antara lain:
menyediakan buffer stock propinsi berupa obat sangat esensial, mengelola obat buffer
program kesehatan, memfasilatasi advokasi dan melatih tenaga Kabupaten/ Kota.
Tanggung jawab yang lebih khusus dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota,
yaitu menyediakan dana alokasi obat berasal dari anggaran APBD II, mengelola obat
yang ada, memanfaatkan data yang tersedia utk advokasi, menyediakan dana
operasional, membentuk tim perencanaan obat terpadu dan menyelenggarakan
elatihan petugas pengelolaan obat di Puskesmas.
Kriteria Distribusi Urusan Pmerintahan Antar Tingkat Pemerintahan terdapat 3, yaitu
eksternalitas (spill-over), akuntabilitas dan efisiensi. Eksternalitas menyangkut siapa
kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Yang berwenang mengurus adalah
tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak tersebut (sesuai prinsip
demokrasi). Otonomi Daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien
dan mencegah High Cost Economy. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of
scale) pelayanan publik Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 5 
 
(catchment area) yang optimal. Siklus pengelolaan obat dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.

Grafik 1. Siklus pengelolaan obat

Pengelolaan obat diawali dengan perencanaan yang berupa seleksi obat, kemudian
dilanjutkan dengan pengadaan dan penyimpanan. Obat yang disimpan didistribusikan
ke puasat-pusat pelayanan kesehatan untuk digunakan oleh pengguna, yaitu pasien.

Penjelasan dari pembicara membuat salah seorang peserta memberikan pertanyaan


mengenai banyaknya obat-obat yang ED atau mendekati ED yang dialokasikan dari
DinKes kabupaten/kota ke puskesmas. Hal tersebut terjadi karena buffer stock dirasakan
tidak cukup membantu. Menanggapi hal tersebut, pembicara yang juga menjabat
sebagai Kasubdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan bahwa dari
pihaknya sudah merencanakan pengadaan yang terpadu dari bawah, alokasi anggaran
selalu ada perubahan karena ada propinsi yang tidak butuh kemudian dialokasikan ke
prop yang butuh. Data yang digunakan acuan adalah data dari BPS mengenai
pendapatan per kapita. Data buffer stock pusat kita informasikan expired date yang ada di
pusat. M.Taufik, Apt berharapkan hal tersebut dapat kurangi untuk masa mendatang
dan sebagai bahan pembelajaran

Resume

Ketersediaan obat mutlak dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu, obat
harus dikelola dengan benar. Pemerintah tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota
mempunyai tanggung jawab masing-masing sehingga eksternalitas (spill-over),
akuntabilitas dan efisiensi distribusi selalu terjaga.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 6 
 
SESI III.

PENGAWASAN UNTUK JAMINAN MUTU OBAT PUBLIK


Oleh: Drs. Fanani, Apt

Pengantar

Presentasi oleh Drs. Fanani, Apt diawali dengan menyampaikan tujuan pengawasan
Badan POM dan alasan mengapa Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM)
dilaksanakan, serta disampaikan pula mengenai visi dan misi Badan POM.

Materi

Sistem pengawasan Badan POM

Sistem pengawasan Badan POM dilakukan bersama-sama antara Produsen, Pemerintah


dan Masyarakat. Saat ini masyarakat kian dilatih untuk berpikir dan bersikap kritis
dalam mengawasi obat dan makanan. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
dilaksanakan dalam rangka menjamin agar obat dan makanan aman, bermutu dan
bermanfaat. Pengawasan itu sendiri bertujuan untuk mencapai suatu perlindungan
masyarakat yang optimal.

Sistem pengawasan dilakukan meliputi tahapan kegiatan pre-market maupun post-


market. Pengawasan pada kedua tahap ini akan menghasilkan suatu output berupa izin
edar yang akan diberikan kepada setiap perusahaan farmasi/pabrik obat. Pengawasan
post market dilakukan oleh Badan POM secara periodik, meliputi semua tahap dalam
pengawasan.

Good Distribution Practice (GDP) / Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) :

Pada kesempatan ini dijelaskan mengenai Good Distribution Practice (GDP) / Cara
Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Standar distribusi obat yang baik diterapkan guna
memastikan bahwa kualitas produk yang dicapai
melalui CPOB dipertahankan sepanjang jalur
distribusi. Drs. Fanani, Apt juga menyampaikan
beberapa prinsip dasar GDP yang harus
diperhatikan, yakni personalia haruslah seorang
yang professional, memiliki pengetahuan
ketrampilan dan kemampuan. Selain dari aspek
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 7 
 
manusianya, jaga mutu perlu pula dilakukan. Sistem jaga-mutu meliputi: kondisi
penyimpanan barang yang sesuai, upaya untuk menghindari kontaminasi dengan
produk lain, jaminan produk diserahkan pada pengguna dalam waktu yang tepat,
system penelusuran/dokumentasi yang baik bila terjadi kesalahan pada pengelolaan,
serta prosedur penarikan yang efektif.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan GDP, yang
meliputi Tempat Penyimpanan Obat dan Penyimpanan. Tempat penyimpanan obat
harus sesuai dengan tujuannya, sehingga risiko terjadinya kerusakan obat dapat
ditekan seminimal mungkin. Luas tempat penyimpanan cukup memadai/aman, serta
perlengkapan yang tersedia harus pula memadai. Dari aspek penyimpanan, “Pemetaan
dan Pemantauan Suhu” cukup mendapat perhatian serius dari para peserta. Pada
kesempatan ini Drs. Fanani, Apt menjelaskan dengan sangat detail teknis pelaksanaan
pemetaan suhu. Beliau mengatakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam
penyimpanan obat adalah pemetaan suhu, karena hal ini akan menentukan baik atau
tidaknya kualitas obat yang disimpan. Dalam hal ini perlu ditentukan satu titik dalam
ruangan yang paling panas yang disebut dengan “titik kritis”. Cara menentukannya
adalah dengan melakukan serial pengukuran suhu pada pagi-siang-sore hari selama
beberapa hari. Dari data inilah akan diperoleh suatu pemetaan suhu terpanas dalam
ruangan yang akan menjadi patokan suhu pada tempat penyimpanan obat. Drs. Fanani
menekankan pula bahwa cahaya dan ventilasi ruangan tempat menyimpan obat
haruslah cukup, diterapkannya Sistem FEFO dan FIFO, tumpukan karton tidak boleh
terlalu tinggi, rak dan pallet hendaknya tersedia dalam jumlah yang memadai,
kebersihan ruangan terjaga dengan baik, dan hal yang sering terabaikan yakni obat
yang disimpan hendaknya tidak menempel pada dinding.

Sempat disinggung pula beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai
tujuan GDP, yang meliputi prosedur operasional yang mantap untuk dapat menjamin
pelaksanaan pengelolaan obat sesuai peraturan, menjamin penyediaan data yang
akurat, menjaga tingkat stok, dan melaksanakan dokumentasi/administrasi yang baik.
Idealnya dokumentasi/administrasi harus selalu tersedia bila diperlukan, dokumentasi
ini termasuk di dalamnya adalah dokumen pengadaan, penjualan, penyimpanan resep,
dan recall. Selain dua hal tersebut, inspeksi diri perlu dilakukan untuk memantau
pemenuhan terhadap peraturan yang ada. Sedangkan faktor lain yang juga berperan
dan perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan GDP adalah pengangkutan. Dalam
Pengangkutan kita perlu memperhatikan pengawasan terhadap peralatan dan
lokasinya, melakukan catatan pengawasan suhu, kontrol penggunan bahan-bahan
dingin, membuat alur pemetaan suhu, serta melakukan kontrak transport dan audit.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 8 
 
Pada sesi ini, sebenarnya banyak sekali materi yang ingin disampaikan oleh pembicara,
namun oleh karena terbatasnya waktu, maka tidak semua slide dalam presentasi beliau
dibahas secara mendetail. Drs. Fanani, Apt sempat mengulas sepintas mengenai
pengelolaan vaksin, mengingat vaksin memiliki tingkat kepentingan yang tinggi serta
rentan akan penurunan kualitas apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara tepat.
Sebagaimana telah diketahui, obat harus mendapatkan penanganan kondisi sesuai
dengan yang disyaratkan bagi obat tersebut sejak dibuat sampai dengan berada di
tangan pasien. Cold chain adalah persyaratan agar vaksin selalu memenuhi persyaratan
mutu. Kekurangan cold chain yang seringkali dijumpai adalah ditemukannya vaksin
yang mengendap. Penelitian menunjukkan bahwa kemasan vial tidak disegel, sehingga
vaksin membeku karena bersentuhan langsung dengan es pada saat pengiriman.

Resume

Sistem pengawasan Badan POM dilakukan bersama-sama antara Produsen, Pemerintah


dan Masyarakat. Dengan menerapkan Good Distribution Practice (GDP) / Cara
Distribusi Obat yang Baik (CDOB) diharapkan kualitas produk yang dicapai melalui
CPOB dapat dipertahankan sepanjang jalur distribusi.

SESI IV

SELEKSI, ESTIMASI KEBUTUHAN DAN PENGADAAN OBAT


Oleh : Dr.Erna Kristin, M.Si, Apt

Pengantar
Seleksi obat perlu dilakukan karena terlalu banyak obat yang beredar, sehingga untuk
menentukan obat mana yang digunakan mutlak diperlukan seleksi. Seleksi obat
memerlukan trik supaya tidak mengalami kerugian dan memberikan keuntungan bagi
proses pelayanan kesehatan. Proses seleksi yang biasanya dilakukan oleh para peserta
pelatihan adalah berdasarkan prevalensi penyakit dan buffer stock yang ada. Pada
tingkat puskesmas, tingkat kebutuhan obat diprioritaskan pada 10 besar penyakit di
puskesmas.

Materi

Jumlah obat yang diseleksi tergantung


kebutuhan dan besar-kecilnya pelayanan
kesehatan. Daftar obat yang ada di

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 9 
 
puskesmas jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan RS daerah dan daftar obat di
RS daerah jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan DOEN. Seleksi obat yang akan
digunakan di suatu UPK harus dilakukan berdasarkan DOEN, komite DOEN, jumlah
item dan generik. Penyimpangan yang sering terjadi bahwa puskesmas seringkali
meminta obat diluar DOEN. Contoh obat diluar DOEN: antibiotik, obat anti kolesterol,
obat asma, obat gastrointestinal dan suplemen makanan.
Dr. Erna menambahkan bahwa dalam seleksi obat paling penting adalah pertimbangan
mengenai keamanan. Sebaiknya dibuat list daftar obat yang paling aman dengan
urutan nomor dengan urutan pertama adalah obat yang paling aman. Misalnya, dibuat
daftar NSAID berdasarkan keamanannya. Apabila ada obat baru, sebaiknya jangan
dipilih terlabih dahulu. Studi mengenai obat baru belum sebanyak obat lama sehingga
sangat beresiko apabila digunakan untuk pelayanan kesehatan. Tidak semua DOEN
bisa digunakan untuk semua UPK, DOEN yang digunakan di RS tentunya berbeda
dengan DOEN puskesmas.

Hal yang tidak kalah menarik yang disampaikan Dr.Erna adalah estimasi kebutuhan.
Estimasi kebutuhan melalui metode perhitungan mutlak diperlukan supaya obat
diadakan dalam jumlah yang tepat. Apabila persediaan terlalu banyak, maka biaya
yang dikeluarkan untuk penyimpanan, resiko kerusakan atau pemusnahan jumlahnya
jauh lebih besar. Kasus inilah yang terjadi di Aceh pada saat pasca tsunami. Banyak
donor luar negeri yang memberikan bantuan dalam bentuk obat. Sebagian besar obat
tersebut tidak memenuhi syarat untuk pelayanan kesehatan sehingga harus
dimusnahkan. Metode yang digunakan untuk perhitungan kebutuhan obat, antara lain:
Population based, Consumption based dan Service based. Diantara ketiganya, yang paling
feasible adalah consumption based. Population based masih sulit karena surveillance masih
sulit, jumlah obat per package masih sulit. Metode consumption sekarang menjadi sulit
karena terjadi pergeseran musim. Metode ini biasanya memperkirakan dari kebutuhan
sebelumnya. Contohnya: obat B permintaannya tinggi karena digunakan untuk
subtitusi obat A, maka pola konsumsi obat B biasanya meningkat pada permintaan
periode berikutnya.
Kasus yang saat ini sedang hangat di tengah dunia kesehatan di Indonesia adalah
meningkatnya penggunaan obat branded dan suplemen makanan. Food supplement lebih
berbahaya karena studi masih terbatas sedangkan vitamin perlu review yang baik.

  Inventori maksimum

   

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 10 
 
    stok kerja 12 bln, stok
1  Pusat
pengaman 2 bl

         

stok kerja 3 bln, stok


2    GFK  
pengaman 2 bln

         

Unit
RS. stok kerja 3 bln, stok
3      Puskesmas   pelayanan  
Kabupaten pengaman 2 bln
lain

             

4    Pustu       stok kerja 1 bln

Diagram diatas merupakan metode suplai obat pipeline. Pemaparan lebih lanjut adalah
mengenai lead time yang sangat bervariasi antara kabupaten satu dengan kabupaten
yang lain. Lead time pada umumnya berkisar antara 3-4 bulan tetapi ada juga yang
mencapai 9 bulan tergantung kondisi geografis dan sarana transportasi untuk mencapai
daerah tersebut. Lama tidaknya lead time dipengaruhi juga oleh stok nasional. Biaya
untuk pengadaan obat bisa menjadi lebih besar apabila terdapat hidden cost. Hidden cost
bisa berasal dari obat yang kedaluarsa, packing yang tidak kuat. Packing yg kecil lebih
boros dibandingkan dengan yang besar tetapi perlu diperhatikan jumlah maksimal
yang diperbolehkan.

Materi yang disampaikan oleh Dr.Erna membuat para peserta menjadi antusias dengan
memberikan berbagai tanggapan. Kunci pengadaan obat adalah seleksi dan
penghitungan kebutuhan obat dengan berbagai metode. Mana metode penghitungan
kebutuhan yang paling  tepat?    Menanggapi hal tersebut Dr.Erna menjawab dengan
idealis bahwa pertama, yang anda harus tahu adalah 10 besar daftar penyakit, studi
surveillance, pedoman pengobatan yang harus ditaati dalam UPK (1 buku dengan
berbagai drug of choice). Pedoman pengobatan ini dijadikan bahan pemikiran untuk
penyusunan rencana pengadaan. Misal: penggunaan antibiotik tinggi, dikemudian hari
harus ada kebijakan yang berkaitan dengan ini.
Kasus pengobatan ISPA yang diberi obat kotrimoxazol, bukan amoxicillin juga
membuat peserta memberikan tanggapan lebih lanjut.  Setelah diagnosis ditegakkan,
maka dilakukan pengobatan berdasarkan standard yang ada. Pada kasus ISPA, drug of
choice yang dapat digunakan adalah Amoxicillin, Kotrimoxazol, Azithromisin dsb. Pada
kasus tersebut dibenarkan apabila tidak ada Amoxicillin. Review dilakukan dengan
cross check kebutuhan obat paling banyak dengan drug of choice untuk penyakit yang
dibutuhkan. Di Negara kita, satu penyakit mempunyai drug of choice lebih dari 1
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 11 
 
sedangkan di Negara Eropa kecil, pedoman dibuat hanya 1 obat saja sehingga lebih
mudah.

Resume

Prinsip dasar seleksi adalah harus menjamin bahwa obat yang diseleksi atau dipilih
benar-benar memiliki manfaat terapi yang jauh lebih besar dibandingkan risikonya, serta
merupakan obat terbaik diantara kompetitornya.
 

SESI V

DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN OBAT


Oleh : dr.Sulanto Danu Saleh R, SpFK

Pengantar

Problem yang bisa dilihat dari desentralisasi dalam penerimaan. Masalah penerimaan
Obat dan Logistik Medis (OLM) yang sering dihadapi antara lain : ketidak sesuaian
barang yang diterima dan diadakan, batas
kedaluwarsa yang pendek ( < 1 tahun ),
waktu tunggu yang molor, tidak disertai
dokumen barang (serifikat analisa; syarat
penyimpanan dll). Kita harus bisa
menentukan permasalahan kemudian
mencoba memecahkan masalahnya. Obat
merupakan komoditi yang unik dan spesifik
yang memerlukan perlakuan khusus yang
berbeda dengan komoditi lain.
Pada sesi ini akan disampaikan tentang
bagaimana manajemen OLM agar “pasukan
tempur kesehatan” terdukung dengan OLM  
yang mencukupi dan memadai sehingga
berhasil mengatasi serangan penyakit serta melindungi masyarakat dari penyakit.
dr. Sulanto memaparkan bahwa pelatihan ini mempunyai dengan tujuan para peserta
dapat menerapkan dalam lingkungan kerja mereka dalam bidang, antara lain:
1. Proses penerimaan Obat dan Logistik Medik
2. Infrastruktur, sarana & prasarana pergudangan OLM
3. Sistem penyimpanan dan penempatan OLM digudang

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 12 
 
4. Pendistribusian OLM ke Unit-Unit Pelayanan Kesehatan
5. Pencatatan dan laporan OLM yang teratur.
Disamping hal diatas, diharapkan peserta pelatihan juga dapat :
1. Menyusun rencana kegiatan pemecahan permasalahan yang dihadapi
2. Kegiatan pemecahan permasalahan
3. Melakukan monitoring dan evaluasi selama melaksanakan kegiatan pemecahan
permasalahan pada storaging dan distribusi OLM.

Materi

dr.Sulanto memaparkan fungsi penerimaan-penyimpanan dan Distribusi mempunyai


berbagai fungsi penting, antara lain:
1. Menerima OLM sesuai dengan yang diadakan dalam keadaan utuh, tidak rusak
sesuai dengan yang ditulis pada Surat Perintah kerja (SPK)
2. Menempatkan OLM sesuai dengan tempat dan persyaratannya
3. Memelihara dan mengamankan OLM yang ada digudang
4. Menyalurkan OLM keunit-unit pelayanan diwilayah tersebut
5. Melakukan pencatatan dan pelaporan periodik
Untuk memberikan memberikan penjelasan mengenai alur penerimaan-penyimpanan
dan distribusi OLM dapat dilihat pada gambar 1 dibawah.

Setelah OLM diterima, tentunya logistic tersebut harus disimpan dengan standar dan
metode tertentu. Pembicara menjelaskan bahwa saat ni terdapat 4 metode, yaitu FIFO
(First In First Out), FEFO (First Expired First Out), Pergerakan Barang (Fast / Slow
moving), Farmakologik – Alfabetik. Metode alfabetik sebaiknya jangan dilakukan, lebih
baik dilakukan farmakologis. Apabila terjadi kesalahan pengambilan obat tidak fatal
akibatnya. Metode FIFO dilakukan untuk obat yang tidak ada ED-nya, FEFO untuk
yang ada ED-nya. Pencatatan terhadap obat yang disimpan harus senantiasa dilakukan
dengan teliti. Seringkali obat sisa tidak dicatat di gudang RS/kabupaten sehingga
mengakibatkan obat yang disimpan tidak sama dengan yang dilaporkan. Apabila
laporan digunakan untuk perencanaan maka berakibat terjadi overstock.

Distribusi OLM harus senantiasa memperhatikan hal-hal sebagai berikut: sistem


distribusi : push atau pull
1. peta wilayah yang menjadi yang yang harus diliput.
2. route / jalan dan alternatifnya yang akan dilalui
3. alat transport yang akan digunakan
4. keamanan selama perjalanan
5. persyaratan OLM yang diangkut (suhu, kelembaban, dll)

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 13 
 
MANAJEMEN OBAT & LOGISTIK MEDIS ( OLM )

PEMILIHAN /
SELEKSI OBAT - BF

PENGGUNAAN / PENYEDIAAN /
DRUG USE PENGADAAN

PENYIMPANAN &
DISTRIBUSI
MANAJEMEN
SUPPORT:
-organisasi & mekanisme
-sumber daya manusia
-SIM
-financing

Hal yang penting dari materi ini, menurut dr.Sulanto adalah identifikasi terhadap
permasalahan penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat. Setelah permasalahan
jelas, dibuat Plan of Action (POA) untuk mengatasi permasalahan tersebut. POA ini
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.

SESI VI.

PENGGUNAAN OBAT

Oleh: Dr. Jarir At Thobari, Ph.D

Pengantar

Sesi kuliah dengan topik “Penggunaan Obat” diawali dengan burning questions:
‐ Bagaimanakah penggunaan obat di daerah anda? Rasional atau tidak?
‐ Biasanya, pada aspek apa penggunaan obat di daerah yang anda temui menjadi
tidak rasional?
‐ Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan penggunaan obat yang tidak
rasional?

Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Data menunjukkan bahwa insidensi kematian di
Amerika oleh karena Peresepan Obat dibandingkan dengan insidensi kematian akibat
kecelakaan oleh karena alat transportasi apapun menunjukkan hasil lebih tinggi angka
kematian karena peresepan yang tidak rasional. Kondisi yang demikian mungkin pula

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 14 
 
terjadi di Indonesia, namun oleh karena ketidaktersediaan data yang baik maka hal ini
seolah-olah tidak dijumpai. Oleh karena alasan inilah banyak para praktisi medis baik
di tingkat Puskesmas maupun Rumah Sakit tidak menyadari pentingnya suatu
penggunaan obat yang rasional.

Beberapa contoh penggunaan obat yang tidak rasional adalah “shot gun therapy”.
“Shot gun therapy” mendasarkan terapi berdasar symptom yang dijumpai pada pasien,
tanpa mempertimbangkan kausa apa yang mengakibatkan keadaan tersebut. Hal ini
mengakibatkan adanya suatu polifarmasi. Saat dr. Jarir menyampaikan bahasan “shot
gun therapy” muncul satu diskusi menarik dari peserta. Salah satu peserta pelatihan
menyampaikan kondisi nyata di Nias. Ada
seorang dokter spesialis penyakit dalam
memberikan terapi selalu polifarmasi, padahal
dia adalah seorang ahli dalam bidangnya,
bagaimana hal semacam itu bisa terjadi?
Kondisi ini ditanggapi oleh pembicara dengan
menyampaikan secara bijak bahwasanya
bukan berarti seorang ahli akan selalu benar
dalam peresepan. Hal semacam inilah yang
menjadi stimulan bagi Fakultas Kedokteran di
seluruh Indonesia untuk mencetak dokter-dokter baru dengan nilai lebih “mampu
memberikan peresepan yang rasional”.

Contoh lain dari penggunaan obat yang tidak rasional adalah pemberian obat yang
keliru untuk indikasi spesifik, misalnya pemberian antiinflamasi non steroid untuk
demam (ibuprofen untuk mengobati campak akan menimbulkan efek samping
perdarahan yang justru lebih potensial menyebabkan keadaan bahaya bila
dibandingkan dengan penyakit campak itu sendiri). Pemberian dosis, cara, frekuensi,
dan lama pemberian yang tidak tepat juga merupakan bentuk lain dari penggunaan
obat yang tidak rasional, contohnya adalah pemberian antibiotika selama 3 hari tanpa
memperhatikan jenis antibiotikanya. Satu hal yang sangat penting diperhatikan oleh
kalangan medis maupun non-medis adalah pemberian informasi mengenai obat secara
tepat kepada pasien. Sebagian besar pasien memahami bahwa pemberian obat 3x sehari
berarti obat diminum saat pagi, siang dan sore hari. Padahal bila dilihat dari
farmakokinetik obat, hal ini tidaklah benar. Sehingga pemberian informasi kepada
pasien merupakan satu mata rantai peresepan yang tidak boleh dilupakan.

Beberapa contoh lain penggunaan obat yang tidak rasional adalah pemberian obat
dengan risiko yang lebih besar daripada manfaat, misalnya kortikosteroid untuk
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 15 
 
faringitis, peresepan obat mahal, misal Sefalosporin untuk ISPA, serta pemberian
injeksi yang tidak perlu. Harus selalu diingat apa sajakah indikasi pemberian obat
secara injeksi.

Obat-obat yang sering digunakan secara tidak rasional di Puskesmas adalah antibiotika,
steroid, injeksi, antihistamin, luminal, ekspektoran. Sedangkan penyakit-penyakit yang
sering diobati secara tidak rasional di Puskesmas antara lain adalah ISPA, diare,
myalgia, gastrointestinal, penyakit kulit

Adapun beberapa dampak negatif yang muncul akibat penggunaan obat secara tidak
rasional adalah pemborosan dari segi biaya, ketidaksembuhan pasien, risiko terjadinya
efek samping obat, ketidakpatuhan, adanya resistensi terhadap obat, serta mutu
pelayanan kesehatan yang menurun. Disampaikan pula oleh dr. Jarir Atthobari, Ph.D
beberapa alasan yang mengakibatkan suatu
pengobatan menjadi tidak rasional, antara
lain karena training yang tidak adekuat,
kurangnya suatu pendidikan berkelanjutan
dan supervisi, adanya aktivitas promosi
dari perusahaan-perusahaan farmasi,
kurangnya waktu yang dimiliki oleh dokter
karena banyaknya pasien yang harus
ditangani, tekanan dari pasien, serta
kurangnya manajemen.

Dalam melakukan manajemen pengobatan


terhadap pasien ada suatu Standard Operating Procedure yang harus diikuti oleh
seorang dokter. Standard Operating Procedures ini bagaikan sebuah mata rantai yang
saling terhubung satu sama lainNamun mata rantai ini seringkali terputus pada
Pemberian Informasi kepada pasien. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya miss-
perception pasien mengenai aturan, cara, ataupun dosis minum obat.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 16 
 
STANDARD OPERATING PROCEDURE
Anamnesis

Pemeriksaan

Penegakan diagnosis

Pemilihan intervensi pengobatan

Penulisan resep

Pemberian informasi

Tindak lanjut pengobatan

Suatu pengobatan yang rasional harus selalu berupaya tepat dalam diagnosis, pasien,
indikasi, pemilihan obat, dosis, rute, lama pemberian obat, tindak lanjut, serta dalam
hal pemberian informasi. Bila semua hal ini dapat tepat sasaran maka penggunaan obat
secara rasional dapat dicapai. Lalu, bagaimanakah cara meminimalkan risiko
penggunaan obat yang tidak rasional?

1. Cari selalu informasi yang up-date: obat manakah yang paling efikaseus
2. Buat daftar obat sederhana yang tidak duplikatif
3. Penggunaan obat baru harus mempertimbangkan bukti-bukti yang cukup
4. Penggunaan obat kombinasi hanya diberikan bila 2 jenis obat memang terbukti
lebih baik daripada obat tunggal
5. Pilih obat yang merupakan drug of choice untuk penyakit tersebut
6. Pilih obat yang mudah didapat, terjangkau, dan compliance
7. Gunakan selalu pedoman pengobatan

Dalam membawakan materinya, dr. Jarir Atthobari, Ph.D lebih banyak mengajak para
peserta pelatihan untuk secara aktif berdiskusi. Pertanyaan berikutnya yang kemudian
dilemparkan pemateri dalam diskusi yang membahas Penggunaan Obat Rasional ini
adalah “Mengapa Pedoman Pengobatan diperlukan?”. Disini pemateri menjelaskan
bahwa oleh karena setiap diagnosis memiliki alternatif terapi, maka perlu dibuat suatu
pedoman yang mengatur hal ini. Selain itu, adanya individual preference dalam
peresepan mengakibatkan perlunya suatu pedoman pengobatan, dan setiap penyakit
mempunyai drug of choice-nya sendiri-sendiri. Selain itu, adanya perbedaan dalam
pola peresepan juga menyebabkan suatu Pedoman Pengobatan menjadi sangat
diperlukan. Tujuan dari dibuatnya suatu pedoman pengobatan adalah antara lain

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 17 
 
adalah untuk mempertahankan mutu pelayanan pengobatan, sebagai standard profesi,
pengaman hukum, logistik, langkah dalam kebijakan obat serta dalam pengelolaan
obat. Adapun kriteria dari Pedoman Pengobatan harus meliputi hal-hal berikut,
memuat hal pokok (diagnosis, terapi), isi dapat diandalkan, jelas, praktis, sederhana,
berisi penyakit-penyakit utama, sesuai dengan tingkat pelayanan, tidak saling
bertentangan, memiliki format yang praktis, dinamis, dan dapat dimasyarakatkan.

Pada saat sesi pertanyaan dibuka, cukup banyak peserta pelatihan yang tampak
antusias untuk bertanya atau sekedar memberikan tanggapannya. Pertanyaan yang
diajukan yakni mengenai cara praktis mengendalikan dan memantau penggunaan obat
yang rasional. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pesrta dari NTB ini dr.
Jarir mempersilahkan peserta dari Kotamadya Yogyakarta untuk membagi kiat yang
dimiliki oleh Kotamadya Yogyakarta. Di Yogyakarta dilakukan MTP di tingkat
Puskesmas, dan monitoring terhadap penyakit terbanyak disejajarkan dengan
penggunan obat terbanyak, dianalisis apakah sudah sesuai atau belum. Kemudian
dilakukan pula pendataan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas. Pertanyaan kedua
yang diajukan oleh peserta pelatihan adalah cara melakukan sosialisasi penggunaan
obat yang rasional. Salah satu alternatif yang diajukan adalah melalui ajang pertemuan
rutin. Dalam pertemuan rutin ini dilakukan sosialisasi program penggunaan obat
rasional. Perlu pula dibuat suatu buku penggunaan obat rasional serta edukasi pada
Puskesmas berdasar angka insidensi penyakit tertinggi di Puskesmas (misal: kasus DM
merupakan kasus dengan angka kejadian tertinggi, maka Puskesmas diajak berdiskusi
dengan para pakar DM untuk mengetahui bagaimanakah terapi rasional pada DM).

Diskusi selanjutnya mendiskusikan resep yang dibuat berdasarkan resep nyata yang
pernah diketahui oleh salah satu peserta untuk diagnosis Ulkus Peptikum, yang berupa
pemberian Cimetidine 10 tablet dengan pemberian 3 kali sehari, Amoxicilin 10 tablet
pemberian 3 kali sehari dan Metronidazole 10 tablet dengan pemberian 3 kali sehari .
Dalam diskusi ini para peserta cukup antusias membahas rasional/tidaknya resep yang
dituliskan.

SESI VII.

MANAJEMEN OBAT BENCANA

Oleh: Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt

Pengantar

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 18 
 
“Start berawal dari pola penyakit”, itulah hal pertama yang disampaikan oleh Dra.
Endang Budhiarti, MPhar, Apt dalam presentasinya. Sebagaimana kita ketahui
bersama, setiap bencana mempunyai karakteristik dan akibat yang berbeda, sehingga
hal ini akan sangat mempengaruhi manajemen obat selama terjadinya bencana.

Bencana mempunyai makna yang sangat luas, antara lain berakibat fungsi normal dan
kehidupan masyarakat yang terganggu. Umumnya bencana melampaui kemampuan
mekanisme masyarakat untuk dapat mengatasinya, sehingga untuk dapat kembali
menjadi normal diperlukan bantuan dari semua pihak.

Materi

Dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berdasarkan Kepmenkes RI


No.1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang
Kesehatan, disebutkan bahwa pengelolaan obat bencana pada dasarnya tidak akan
membentuk sarana dan prasarana khusus, melainkan memberdayakan sarana-
prasarana pemerintah daerah sampai propinsi dan masyarakat termasuk swasta. Dalam
kesempatan ini Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt juga menjelaskan mengenai aspek
legal lain yang mengatur manajemen obat saat terjadi bencana, yakni SK Menkes dan
Kesos 979/Menkes/IX/2001 yang kutipannya menyebutkan “….tidak akan
membentuk sarana dan prasarana khusus, ……memberdayakan pemerintah,
masyarakat, swasta”

Sebelum menentukan obat (use) saat disaster tetap diperlukan suatu pola untuk
mengetahui jenis penyakit. Pada titik inilah diperlukan suatu rapid assessment untuk
mendapatkan semua data awal yang diperlukan, meliputi realita karakter masing-
masing bencana, luas dan dalamnya dampak yang ditimbulkan (sehingga menjadi
pedoman untuk pengelolaan obat dari penetapan pola penggunaan, seleksi, pengadaan,
penyimpanan, dan juga distribusi). Disampaikan pula oleh Dra. Endang Budhiarti,
MPhar, Apt bahwa saat ini telah disusun suatu Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2007.

Organisasi yang terkait dalam manajemen obat bencana, sesuai dengan tahap-tahap
bencana yang terjadi itu sendiri. Organisasi ini meliputi Perencana yang dalam hal ini
adalah Depkes, Dinkes cq pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan kab kota,
serta Pelayanan yakni pos kesm Pustu, Puskesmas, RS, sarana kesehatan (swasta, TNI,
POLRI). Dijelaskan lebih lanjut oleh pemateri bahwa dalam manajemen bencana,
pendekatan yang dilakukan mengikuti tahapan acute response, rehabilitation,
reconstruction, risk reduction. Manajemen obat yang meliputi langkah-langkah sistematis
pada keadaan bencana dilakukan sesuai dengan tahap-tahap bencana yang terjadi,
yang meliputi 3 tahapan yakni tahap persiapan, tahap terjadinya bencana, dan tahap
pasca bencana dan rehabilitasi. Pada tahap persiapan dilakukan penyusunan dan
penyebarluasan pedoman, koordinasi sektor terkait , serta pengalokasian buffer stok
dengan rincian 20-30% rutin/bukan rawan bencana dab 100% di daerah rawan
bencana. Pada tahap terjadinya bencana dilakukan penilaian kebutuhan secara cepat
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 19 
 
(jumlah pengungsi, jenis kelamin, usia), serta penyediaan obat dan perbekalan
kesehatan. Sedangkan pada tahap pasca bencana dan rehabilitasi tugas manajemen
merupakan tugas dari pemerintah kabupaten/kota di tempat bencana tersebut terjadi.

Pengelolaan Obat Saat Bencana

Pengelolaan obat saat bencana meliputi tahapan-tahapan berikut, penggunaan obat,


seleksi obat, pengadaan obat, penyimpanan obat, distribusi obat, serta pencatatan dan
pelaporan. Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt menjelaskan bahwa ketika bencana
terjadi, pada 1x24 jam pertama permintaan untuk obat seharusnya telah mulai
dilakukan, dalam hal ini sangat penting untuk memperhatikan titik kritis yakni
waktu/saat-saat kritis obat sangat diperlukan, dan pada 1x24 jam berikutnya distribusi
harus sudah dilakukan. Pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan menggunakan
formulir dan kartu (formulir kebutuhan dan kartu stok). Nomor Batch harus
diperhatikan, bila nomor Batch tidak ada, maka dianggap membahayakan masyarakat.

Distribusi
Depkes

Dinkes
Propinsi

Depkes Kab/Kota
(UPOPPK)

PKM RSU Yankes Yankes


Swasta TNI/Polri

Jalur pengiriman
Posko Pustu Jalur permintaan
Kes

Penanganan Obat dari Donor

Pengetahuan dan kewaspadaan seorang Apoteker sangat diperlukan untuk melakukan


seleksi pada saat menerima bantuan obat dan perbekalan kesehatan pada saat bencana.
Dalam hal penanganan obat dari donor, seringkali muncul masalah-masalah antara lain
berupa ketidaksesuaian obat yang tersedia dengan situasi yang ada, baik dari sisi pola
penyakit, nama obat yang asing, serta adanya perbedaan standar obat. Selain itu
masalah lain yang terjadi adalah adanya gap bahasa, kualitas obat yang di bawah
standar : ED, donor tidak ikut prosedur, permasalahan mengenai nilai obat vs pajak
impor, dan juga jumlah yang tidak sesuai yang tentu saja akan menimbulkan biaya
untuk pemusnahan obat.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 20 
 
Pada sesi diskusi dibahas mengenai buffer stock
daerah-daerah rawan bencana. Buffer stock tidak
hanya dilakukan pada daerah-daerah rawan
bencana, daerah yang tidak pun perlu memahami
buffer stock. Dalam sesi ini muncul pula berbagai
pertanyaan menarik yang diajukan oleh para peserta
pelatihan, antara lain bagaimana kontrak dengan
lembaga non-pemerintah dan bagaimana sistem
pembayarannya, apakah sebelum kejadian atau
setelah kejadian (obat terpakai). Ada pula peserta
yang meminta tanggapan dari Dra. Endang
Budhiarti, MPhar, Apt mengenai menolak obat dari donor dengan alasan tidak darurat.

HARI II
Kamis, 7 Agustus 2008

SESI I.

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN OBAT

Oleh: Anis Fuad, S.Ked, DEA

Pengantar :

Sesi I pada Pelatihan Manajemen Suplai Obat hari kedua diawali dengan burning
question “Mengapa Sistem Informasi Obat diperlukan?”. Para peserta kemudian
memberikan jawabanya yang sedikit banyak menyiratkan alasan perlunya suatu Sistem
Informasi Obat yang selanjutnya disampaikan oleh Anis Fuad, S.Ked, DEA selaku
pemateri pada sesi tersebut. Ada tiga alasan mengapa suatu Sistem Informasi Obat
diperlukan, yakni untuk kepentingan pengawasan terhadap penggunaan obat,
mencegah ketidaktersediaan obat, serta untuk mendukung mutu pelayanan.

Materi :

Sistem Informasi merupakan gabungan dari berbagai subsistem yang saling terkait
dengan tujuan yang sama untuk mengolah data menjadi informasi guna mendukung
pengambilan keputusan. Aktivitas dalam manajemen informasi meliputi pengumpulan
data, pengiriman data, pengolahan data, serta analisis data yang akhirnya nanti akan
bermanfaat dalam penggunaan informasi dalam perencanaan dan manajemen. Dalam
Sistem Informasi dikenal suatu istilah Piramida Sistem Informasi. Piramida ini
menunjukkan stratifikasi kegiatan dalam sistem informasi. Pada level bawah lebih
banyak kegiatan transaksi, di level atasnya lebih mengarah pada level manajerial, level

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 21 
 
atasnya lagi adalah untuk pengambilan keputusan. Pengembangan sistem informasi
obat haruslah dilakukan secara komprehensif yang meliputi semua level.

Adapun komponen-komponen yang terlibat dalam sistem informasi adalah Sumber


Daya Manusia, data, prosedur, sistem yang ada serta teknologi informasi yang meliputi
perangkat keras dan juga perangkat lunak. Dari sisi data, kendala yang dijumpai
adalah sistem koding masih berbeda-beda antar tempat. Sistem koding untuk penyakit
telah ada satu baku aturan yakni dengan menggunakan ICD-10, namun koding untuk
obat masih belum seragam. Bila menilik negara tetangga kita Malaysia, di negara
tersebut telah dijumpai keseragaman untuk pengkodean obat. Sistem Informasi Obat
merupakan suatu subsistem dari Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem Informasi Obat
diupayakan terintegrasi dengan sistem-sistem yang lain dalam Sistem Pelayanan
Kesehatan. Sistem obat berbeda fungsi di setiap level dan dapat saja berbeda sesuai
penggunanya.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 22 
 
Beberapa kalangan seringkali mempertanyakan apakah penyimpanan data dengan
sistem komputerisasi tidak bertentangan dengan UU Praktek Kedokteran. Ditilik dari
substansinya, sistem penyimpanan data dengan secara terkomputerisasi tidak
bertentangan dengan UU Praktek Kedokteran, meskipun hingga saat ini aturan
pelaksanaannya belum ada.

Dalam presentasinya, pemateri pada kesempatan ini Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA
menyampaikan bahwa bagimana Sistem Informasi Obat telah berjalan di Kabupaten
Wonosobo Jawa Tengah. Di Kabupaten ini telah tersedia jaringan koneksi antara Dinkes
dengan Puskesmas yang menghubungkan secara real time 20 Puskesmas dengan
Dinkes, dimana dalam 15 menit data pasien yang masuk ke Puskesmas dapat
terintegrasi langsung di Dinkes.

Pada kesempatan ini dijelaskan pula oleh Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA mengenai
teknologi penyimpanan data dengan menggunakan Smart Card yang relatif memiliki
harga yang murah, yakni 10.000 rupiah untuk setiap itemnya, teknologi lain yang juga
sempat disinggung adalah dengan menggunakan barrcode yang telah lebih banyak
digunakan bila dibandingkan dengan smart card.

Dalam akhir presentasinya, pemateri


menyampaikan bahwa secara umum fungsi
SIM Obat adalah meliputi fungsi
transaksional berupa elayanan pasien dan
inventory, serta fungsi manajemen/taktis.
Dalam melaksanakan sistem ini, sangatlah
mungkin dijumpai suatu sistem yang
gagal/tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Beberapa penyebab dari sistem
informasi yang gagal ini antara lain adalah
software yang tidak lengkap serta SDM
tidak memadai.

Pada sesi diskusi, ada usulan dari peserta pelatihan untuk meminta bantuan dari
Perguruan Tinggi dalam hal ini adalah PMPK untuk dapat disediakan software SIM.
Hal ini ditanggapi dengan baik oleh Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA selaku pemateri,
PMPK menyediakan satu CD demo untuk dapat dibawa pulang oleh masing-masing
peserta pelatihan. Ada pula peserta pelatihan yang mengajukan pertanyaan terkait
dengan sistem billing yang menggunakan teknologi informasi. Untuk Puskesmas
mungkin tidak masalah, namun bagaimana bila di RS yang lebih crowded. Pertanyaan
ini ditanggapi oleh pemateri bahwa pada prinsipnya tidak ada perbedaan dalam
penggunaan TI antara Puskesmas maupun rumah sakit. Dalam akhir diskusi Bapak
Anis Fuad, S.Ked, DEA mengingatkan bahwa pengembangan sistem informasi harus
disertai dengan upaya-upaya preventif terhadap kemungkinan dari kendala-kendala
yang ada.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 23 
 
Resume

SIM obat merupakan komponen pendukung, meski demikian tetap diperlukan suatu
manajemen yang terintegrasi guna mendukung terlaksananya suatu Sistem Pelayanan
Kesehatan yang baik.

SESI II.

SURVEILANS EFEK SAMPING OBAT

Oleh: dr. Jarir At Thobari, Ph.D

Pengantar

Tidak jauh berbeda dengan sesi-sesi sebelumnya, pada sesi terakhir dari rangkaian
materi yang disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Obat tanggal 6-7 Agustus 2008
ini diawali dengan suatu burning question dari dr. Jarir Atthobari, Ph.D “Mengapa efek
samping obat harus diperhatikan?”. Seperti yang telah diketahui, setiap obat memilki
efek klinik dan adverse efek, baik yang ringan maupun berat, yang diketahui ataupun
tidak diketahui. Efek samping ini sangat mungkin baru akan muncul pada
karakteristik-karakteristik tertentu (misalnya ketika kondisi gagal ginjal maka adverse
effect baru muncul).

Adapun tujuan dari disampaikannya materi mengenai Surveilans Efek Samping Obat
adalah agar para peserta pelatihan memahami pentingnya surveilans (post marketing)
obat, memahami metode dalam surveilans efek samping obat, dan mampu menerapkan
metode surveilans obat di kabupaten/kota.

Materi

Mengawali presentasinya dr. Jarir Atthobari, Ph.D menyampaikan bahwa Surveilans


Keamanan Produk Terapeutik Pasca Pemasaran bertujuan untuk membandingkan
antara Risk dan Benefit. Tentu saja selalu diupayakan agar benefit yang diperoleh jauh
lebih besar daripada risk yang ada. Lalu mengapa kita harus tahu melakukan survey
setelah obat dipasarkan? Sebelum suatu obat diizinkan untuk diedarkan atau
dipasarkan, maka obat tersebut sudah harus melalui tahap yang disebut dengan pre-
marketing study yang meliputi aspek efficacy, safety, dan quality dari obat. Perlu
dipahami bersama bahwa uji pre-klinik obat pada hewan maupun uji klinik pada
manusia yang dilakukan sebelum obat tersebut diedarkan belum sepenuhnya dapat
mengungkap semua aspek mengenai efek samping dari obat tersebut. Hal inilah yang
menjadi kelemahan premarketing trial. Kelemahan-kelemahan lain dari premarketing
trial diantaranya adalah subyek pada uji klinik yang terbatas, kondisi subyek yang
cenderung homogen, durasi uji klinik sangat terbatas, informasi tentang reaksi efek
samping yang serius, efek samping obat pada penggunaan yang kronik, atau efek

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 24 
 
penggunaan obat pada special grup seperti anak-anak, orang tua dan wanita hamil
umumnya tidak diketahui, serta informasi tentang interaksi dengan obat lain yang
sangat terbatas.

Terdapat 4 sistem surveilans


yang dapat digunakan untuk
mengetahui efek samping
obat, yakni spontaneus
reporting system, prescription
event monitoring, signal
generation, dan yang terakhir
adalah record linkage. Dalam
presentasinya dr. Jarir
Atthobari, Ph.D mencoba
menyampaikan masing-
masing metode ini melalui
suatu diskusi interaktif
bersama dengan para peserta. Pada sistem surveilans yang pertama, yakni spontaneus
reporting system, digunakan lembar kuning yang dikirimkan ke Balai POM. Dijelaskan
bahwa siapapun tenaga kesehatan dapat berpartisipasi dalam sistem ini. Spontaneus
reporting system merupakan pelaporan efek samping obat yang dilakukan bersifat
spontaneus-reporting (sukarela) oleh tenaga kesehatan. Sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya, spontaneus-reporting ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan
menggunakan formulir kuning yang disediakan oleh Badan POM RI. Formulir ini
sudah disirkulasikan ke hampir seluruh sarana pelayanan kesehatan di Indonesia
(Puskesmas dan Rumah Sakit).

Sistem yang kedua adalah Prescription Event Monitoring. Metode ini menggabungkan
metode public health surveillance dan spontaneous reporting. Metode ini dilakukan
terutama untuk obat-obat yang baru atau obat yang penggunaannya berada dalam
pengawasan BPOM, atau obat-obat yang bisa menimbulkan efek samping yang berat.
Adapun sistem surveilans yang ketiga ialah Signal Generation, dengan metode ini data
dapat dikumpulkan dengan melakukan survellance kesehatan melalui pencatatan dan
pelaporan yang ada, misalnya dari pencatatan kematian, registrasi kanker, catatan
kelainan kongenital bayi, kemudian menghubungkannya dengan penggunaan obat
yang pernah diberikan. Sedangkan sisten surveilans yang terakhir adalah Record
Linkage. Sistem ini merupakan linkage dari informasi yang spesifik dari pasien
mengenai data obat dan penyakit yang disimpan dalam dua dokumen yang berbeda.

Resume

Setiap obat memilki efek klinik dan adverse efek, baik yang ringan maupun berat, yang
diketahui ataupun tidak diketahui, sehingga diperlukan suatu Surveilans Keamanan
Produk Terapeutik Pasca Pemasaran yang bertujuan untuk membandingkan antara

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 25 
 
Risk dan Benefit. Tentu saja selalu diupayakan agar benefit yang diperoleh jauh lebih
besar daripada risk yang ada.

DISKUSI
Sesi yang penting di hari kedua pelatihan ini adalah sesi diskusi yang membahas
permasalahan-permasalahan yang ada dalam manajemen obat dan pemecahan
permasalahan tersebut. Peserta dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I terdiri dari
peserta yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, Jamsostek dan Bapelkes
sedangkan kelompok II terdiri peserta dari universitas.

Setelah sesi diskusi selesai, 1 jam kemudian para peserta diminta memperesentasikan
hasil diskusi masing-masing kelompoknya. Permasalahan yang ada dalam manajemen
obat antara lain kebijakan/regulasi, struktur organisasi, sumber daya manusia (SDM)
dan anggaran/pendanaan.

Penggalian lebih lanjut mengenai kebijakan/regulasi menemukan bahwa terdapat


beberapa masalah, yaitu harga obat, perijinan dan pedoman pengobatan. Pedoman
pengobatan disosialisasikan sampai ke tingkat Puskesmas. Sebaiknya, kesesuaian
pengobatan dengan pedoman pengobatan senantiasa diawasi. Reward atau punishment
diberikan pada pihak yang mematuhi atau melanggar pedoman tersebut. Badan POM
selain sebagai pembuat kebijakan juga sebagai pelaksana. Policy dari pusat ketika
pengadaan obat tertentu, formularium tekadang tidak match dengan obat yang ada.
Meskipun ada SK generic dan branded tetapi banyak juga yang melanggar. Pengalaman
di kabupaten Bantul tahun 2007, obat generik kosong. Pada waktu itu, Dinas Kesehatan
kabupaten mengganti obat generik dengan obat lain dengan harga tidak lebih dari 3
kali harga obat generik. Ketika pemeriksaan BPK, kita dianggap melakukan kesalahan.
Masalah perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat (Menteri Kesehatan) selaku
lembaga pemerintah departemen juga seringkali menjadi masalah. Pencabutan
sementara ijin edar obat dari PBF dilakukan oleh Badan POM sedangkan yang
memberikan ijin edar adalah BinFar, DeKes RI.

Peserta training juga berpendapat bahwa struktur organisasi juga bermasalah dan
sangat bervariasi. Variasi terjadi mulai dari pusat sampai dengan tingkat kabupaten,
bahkan fungsi pengelola obat sangat berbeda, ada yang merangkap. Seksi yang
melakukan pengelolaan obat juga merangkap sebagai pengawas juga. Seksi yang
melakukan operasional dan pengawasan terhadap dirinya sendiri. Bentuknya ada yang
UPTD Farmasi, seksi Farmakmin, Sie Instalasi Farmasi, sie Yankes. Di dinas kesehatan
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 26 
 
kabupaten/kota melakukan pengawasan obat karena POM tidak bekerja hingga tingkat
kabupaten/kota. 

Sumber daya manusia pengelolaan obat yang kompeten mengelola obat kurang, karena
banyak SDM yang background-nya berbeda. Overlapping tugas pengelola obat dimana
operator juga berfungsi sebagai regulator. SDM non farmasist menjadi kendala karena
memerlukan training khusus dan terkadang dijumpai di puskesmas adah duplikasi
obat. Petugas memberikan obat yang kandungan zat aktifnya sama. Anggaran untuk
obat juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Sekarang ini, target anggaran obat rata-
rata 1 US$ sedangkan WHO 2 US$ sedangkan anggaran riil masih kurang. Jumlah
kunjungan pasien digunakan sebagai tolok ukur alokasi anggaran belanja obat,
sehingga sering terjadi pengobatan tidak rasional. Teknis penyimpanan obat tidak
dianjurkan kabupaten/kota secara alfabetis, akan tetapi hal ini yang paling banyak
ditemukan di gudang kabupaten/kota. Teknis pemetaan gudang dan peralatan/sarana
penyimpanan belum memadahi untuk mengontrol kualitas obat, seperti thermometer
yang otomatis mengukur suhu apabila pemadaman listrik terjadi.

Dalam forum ini, juga membahas pemecahan untuk berbagai permasalahan dalam
diskusi. Sebaiknya Departemen Kesehatan membuat standar/pedoman pengobatan
didalamnya tercantum obat dan harganya. Pedoman pengobatan ini seharusnya di-up
date setiap tahun sehingga selalu sesuai dengan perkembangan pengobatan dan harga
obat. Pusat sebaiknya membuat keputusan untuk mengalokasikan biaya realokasi obat
dari satu propinsi ke propinsi lain. Hal ini untuk pemecahan masalah apabila salah satu
propinsi mengalami stock out obat sedangkan propinsi lain kelebihan stock. Biaya
realokasi memungkinkan terjadinya subsidi silang antar propinsi. Masalah perijinan
seharusnya dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan Perpres mengenai pengadaan
agar ditegaskan dengan SK Menkes, supaya pelaksanaan di daerah bisa lebih mudah.

Strukur pengelolaan obat dapat bervariasi, tetapi fungsinya harus khusus tidak boleh
OVERLAPPING. Fungsional operator merangkap sebagai regulator akan mengurangi
kontrol terhadap kualitas obat. Beban petugas pengelola obat tidak ditambah dengan
tugas lain yang tidak menunjang pengelolaan obat. Dari sisi kuantitas, SDM perlu
ditambah sesuai dengan kompetensinya. SDM yang mengelola obat mempunyai latar
belakang pendidikan farmasi. Selain itu, juga diperlukan pelatihan dan bimbingan
teknis bagi semua tenaga yang mengelola obat.

Anggaran untuk pembelian obat yang dinilai terlalu kecil sebaiknya memerlukan
pembahasan. Sebaiknya pada saat pembahasan anggaran dilakukan advokasi yang

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 27 
 
didukung data. Ditingkat pusat, antara Menkes-Mendagri sebaiknya duduk bersama
membahas anggaran kesehatan.

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 28 
 

You might also like