You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Resusitasi pada bayi yang baru lahir memperlihatkan perbedaan dengan resusitasi pada
orang dewasa. Terjadi perubahan fisiologis yang dramatis pada bayi dalam menit pertama
sampai beberapa jam setelah dilahirkan akibat transisi dari lingkungan intrauterine yang
berisi cairan menjadi pola pernafasan yang spontan di udara bebas1. Sekitar 90%
neonatus berhasil melewati transisi ini tanpa mendapat pertolongan. Sedangkan 10%nya
memerlukan bantuan untuk memulai bernafas, dan 1% atau lebih memerlukan resusitasi
yang intensif2.
Sekitar 5-10% bayi yang baru lahir memerlukan resusitasi aktif pada saat
dilahirkan (misalnya stimulasi untuk bernafas), dan sekitar 1-5% bayi yang dilahirkan di
rumah sakit memerlukan assisted ventilation. Lebih dari 5 juta neonatus meninggal setiap
tahunnya di seluruh dunia dan diperkirakan 19 % kematian pada neonatus tersebut
disebabkan oleh asfiksia pad saat bayi lahir1,2. Keberhasilan dalam melakukan resusitasi
dapat mencegah angka kematian yang tinggi2.
Resusitasi neonatus dimulai selama kehamilan. Asfiksia intrauterin selama
kehamilan merupakan penyebab paling sering dari asfiksia pada fetus. Monitoring fetus
selama kehamilan dapat membantu mengidentifikasi faktor risiko, mendeteksi fetal
distress, dan mengevaluasi efek dari intervensi akut. Hal ini mencakup mengoreksi
hipotensi dengan cairan atau vasopresor, suplementasi oksigen, dan menurunkan
kontraksi uterus (menghentikan pemberian oksitosin atau pemberian tokolitik)3.
Gagal nafas ataupu cardiac arrest merupakan suatu keadaan yang akut,
mengancam nyawa, dan memerlukan pertolongan segera4. Pada saat bayi lahir, terjadi
perubahan pada sistem kardiovaskular dan respirasi. Kegagalan dalam beradaptasi dapat
menyebabkan kematian dan trauma pada sistem saraf pusat. Akibat masalah yang timbul
ini, maka diperlukan resusitasi pada bayi baru lahir5.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisilogi Jantung Paru pada Bayi Baru Lahir


Peralihan dari janin menuju kehidupan ekstrauterin ditandai dengan peristiwa fisiologis
yang khas yaitu terjadi pertukaran isi paru dari cairan menjadi udara, peningkatan aliran
darah ke paru, dan menutupnya foramen ovale secara fungsionil6.
2.1.1 Fisiologi Paru
Pada janin aterm, paru-paru janin berisi kira-kira 90 ml (30 ml/kg) ultrafiltrat plasma.
Sekitar 50 sampai 150 ml/kg/hari cairan ini dihasilkan oleh paru dan dikeluarkan melalui
mulut, dibuang kedalam cairan amnion. Kira-kira dua per tiga cairan dikeluarkan dari
paru ketika vagina dan otot dinding pelvis menekan dada bayi selama proses persalinan.
Sisanya dikeluarkan melalui pembuluh darah, limpa dan saat bernapas. Bayi yang kecil,
preterm, lahir dengan cepat dan lahir melalui seksio cesarea tidak mendapatkan tekanan
vagina. Akibatnya bayi tersebut berusaha mengeluarkan cairan paru setelah lahir dan sulit
bernapas dibandingkan dengan bayi yang dadanya ditekan secara efektif selama proses
persalinan. Retensi cairan paru menyebabkan transien takipneu sehingga pengeluarannya
harus dibantu5.
Normalnya bayi baru lahir bernapas setelah 30 detik dengan frekuensi 40-60
kali/menit. Pernapasan yang cepat ini bertujuan untuk mengganti peningkatan CO2 yang
dihasilkan oleh tingginya metabolisme dan membantu memelihara kapasitas residual
fungsional yang normal5. Rangsangan untuk gerakan pernapasan pertama ialah 6:
1. Tekanan mekanis dari toraks sewaktu melalui jalan lahir.
2. Penurunan PaO2 dan kenaikan PaCO2 merangsang
kemoreseptor yang terletak di sinus karotikus
3. Rangsangan dingin di daerah muka dapat merngsang gerakan
pernapasan
4. Refleks deflasi Hering Breur.
2.1.2 Fisiologi Jantung
Sirkulasi pada janin adalah paralel, yaitu ventrikel kanan memompa duapertiga dari
output ventrikel dan ventrikel kiri memompa satupertiganya. Perbedaan output antara

2
kedua ventrikel janin terjadi karena janin mempunyai aliran intracardiac dan
ekstracardiac, yaitu foramen ovale dan duktus arteriosus. Darah yang balik dari plasenta
mengandung banyak oksigen. Sebagai fungsi anatomi, vena kava inferior dan foramen
ovale mengalirkan darah plasenta yang teroksigenasi masuk ke dalam atrium kiri. Darah
yang miskin oksigen dari vena kava superior langsung masuk ke ventrikel kanan dan ke
arteri pulmonalis. Dari semua darah yang masuk ke arteri pulmonalis, 95 % dialirkan
melalui duktus arteriosus masuk ke aorta desenden5.
Resistensi vaskuler pulmoner (Pulmonary Vascular Resistance: PVR) yang
meningkat dalam uterus, menurun secara dramatis sebagai respon terhadap perluasan
paru, pernapasan, peningkatan pH, dan peningkatan tekanan oksigen di alveoli yang
terjadi saat lahir5. Penurunan PVR akan mengurangi tekanan arteri pulmonalis dan
meningkatkan aliran darah ke paru. Peningkatan aliran darah paru meningkatkan volume
darah balik ke atriun kiri, yang meningkatkan tekanan atrium kiri melebihi tekanan
atrium kanan dan menutup foramen ovale. Penutupan foramen ovale mencegah aliran
darah dari kanan ke kiri melalui struktur ini5.

2.2 Penilaian pada Bayi Baru Lahir


Penilaian pada bayi baru lahir meliputi penilaian terhadap denyut jantung, pernafasan,
tonus otot, reflek, dan warna kulit5.
2.2.1 Denyut Jantung
Normalnya denyut jantung pada bayi baru lahir adalah 120 sampai 160 denyut/menit.
Walaupun banyak neonatus bertoleransi dengan denyut jantung diatas 220 denyut/menit
dengan sedikit pengaruh buruk, denyut jantung dibawah 100 denyut/menit sering sulit
ditoleransi sebab terjadi penurunan cardiac output dan perfusi jaringan.
Elektrokardiogram dan ekokardiogram dapat membantu mendiagnosa masalah tersebut
sebelum lahir. Jika hal tersebut terjadi, pertama harus dipersiapkan untuk menangani
keadaan bradikardinya5.
2.2.2 Pernapasan
Bayi biasanya mulai bernapas 30 detik setelah lahir dan perlu bantuan bila tidak bernafas
setelah 90 detik. Beberapa menit setelah lahir, frekuensi napas neonatus antara 30 sampai
60 kali/menit. Apneu dan bradipneu terjadi pada keadaan asidosis berat, asfiksia, infeksi

3
(meningitis, septikemia, pneumonia) dan kerusakan CNS. Takipneu (>60 kali/menit)
terjadi pada hipoksemia, hipovolemia, asidosis (metabolik dan respiratorik), perdarahan
CNS, kebocoran gas paru, kelainan paru ( hyalin membrane disease, sindrom aspirasi,
infeksi), udem paru, dan penggunaan obat-obatan oleh ibu (narkotik, alkohol,
magnesium, barbiturat)5.
2.2.3 Tonus Otot
Sebagian besar neonatus, termasuk yang preterm akan aktif saat lahir dan menggerakan
semua ekstremitas sebagai respon terhadap rangsangan. Asfiksia, penggunaan obat pada
ibu, kerusakan CNS, amiotonia kongenital, dan miastenia grafis akan menurunkan tonus
otot. Fleksi kontraktur serta tidak adanya lipatan sendi merupakan tanda kerusakan CNS
yang terjadi di dalam rahim5.
2.2.4 Reflek
Neonatus normal bergerak ketika salah satu ekstremitas digerakkan dan meringis atau
menangis ketika selang dimasukkan ke dalam hidungnya. Tidak adanya respon terjadi
pada bayi hipoksia, asidosis, penggunaan obat sedatif pada ibu, trauma CNS dan penyakit
otot kongenital5.
2.2.5 Warna Kulit
Pada umumnya semua kulit neonatus berwarna biru keunguan sesaat setelah lahir. Sekitar
60 detik, seluruh tubuhnya menjadi merah muda kecuali tangan dan kaki yang tetap biru
(sianosis sentral)5. Sianosis sentral diketahui dengan memeriksa wajah, punggung dan
membran mukosa.7. Jika sianosis sentral menetap sampai lebih dari 90 detik perlu
dipikirkan aspiksia, cardiac output rendah, udem paru, methemoglobinemia, polisitemia,
penyakit jantung kongenital, aritmia dan kelainan paru (distres pernapasan, obstruksi
jalan napas, hipoplastik paru, hernia diafragmatika), terutama bila bayi tetap sianosis
dibawah respirasi kendali dan oksigen ysng mencukupi5. Pucat menandakan penurunan
cardiac output, anemia berat, hipovolemia, hipotermia atau asidosis1.

2.3 Asfiksia
Asfiksia diartikan sebagai hipoksemia yang disertai dengan asidosis metabolik8. Dalam
uterus, asfiksia disebabkan oleh hipoksia maternal, penurunan aliran darah plasental-

4
umbilikal, dan gagal jantung fetal. Hipoksia maternal disebabkan oleh penyakit jantung
sianotik kongenital maternal, gagal jantung kongestif, atau gagal napas5.
Selama stadium awal dari asfiksia, cardiac output tetap stabil tetapi terjadi
perubahan distribusi. Aliran darah ke hati, ginjal, usus, kulit dan otot menurun, dimana
aliran darah ke jantung, otak, kelenjar adrenal dan plasenta dipertahankan tetap konstan
atau dinaikkan. Distribusi aliran darah ini membantu memelihara oksigenasi dan nutrisi
otak dan jantung, mengingat kandungan oksigen dalam darah arteri sangatlah rendah5,8.
Fungsi dari jantung yang hipoksemik dijaga oleh metabolisme glikogen
miokardial dan metabolisme asam laktat. Ketika sumber energi habis, dengan cepat
terjadi kegagalan miokardial, dan tekanan darah arteri dan cardiac output menurun.
Apabila denyut jantung menurun sampai kurang dari 100 denyut/menit selama asfiksia,
maka cardiac output akan menurun secara bermakna. Tekanan vena sentral meningkat
selama asfiksia karena pembuluh darah sistemik mengalami kontriksi dan volume darah
sentral meningkat akibatnya terjadi kegagalan jantung untuk memompa darah. Janin dan
bayi baru lahir bisa mengatasi hipoksia karena mempunyai sejumlah opiat endogen dalam
darahnya. Substansi tersebut, yang meningkat selama hipoksia dapat menurunkan
konsumsi oksigen. Respon normal terhadap katekolamin juga penting untuk
menyelamatkan dari asfiksia. Respon normal terhadap asfiksia meliputi peningkatan
hormon adrenokortikotropik plasma, glukokortikoid, katekolamin, faktor intrisik atrium,
renin, arginin vasopresin dan penurunan kadar insulin darah. Arginin vasopresin
mengakibatkan hipertensi, bradikardi dan redistribusi aliran darah sistemik.
Glikogenolisis mempertahankan kadar glukosa darah5.
Asfiksia dalam kehamilan dapat menyebabkan keadaan hipervolemik maupun
hipovolemik. Asfiksia selama proses persalinan biasanya menyebabkan hipervolemia
kecuali pada kondisi berikut ini5:
1. Tekanan tali pusat lebih besar pada vena umbilikalis
dibandingkan pada arteri umbilikalis (misalnya pada belitan tali pusat, tekanan
tali pusat akibat after coming head)
2. Terjadi perdarahan dari plasenta (misalnya pada abrupsio
plasenta, dan pemotongan plasenta selama seksio cesarea)

5
3. Terjadi hipotensi pada ibu (misalnya pada syok, trauma,
pengaruh obat anestesi

2.4 Peralatan Resusitasi


Untuk mengatasi kesulitan dalam resusitasi, semua fungsi peralatan resusitasi harus
dikenal oleh tiap petugas di kamar bersalin. Sebelum terjadi kelahiran, peralatan harus
diperiksa dan dikalibrasi untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik5.
Tempat tidur perlu dimiringkan dimana posisi kepala neonatus lebih rendah dari
posisi badannya. Hal ini bertujuan untuk mengalirkan cairan paru dan mencegah
terjadinya aspirasi cairan lambung. Alat pemanas dengan inframerah digunakan untuk
menjaga temperatur aksila neonatus antara 36 dan 37 derajat celsius. Alat pengisap harus
dimasukkan dan petugas yang melakukan resusitasi harus bisa mengatur tekanan dari alat
tersebut. Tekanan pengisap tidak boleh melebihi 100 mmHg. Ruangan resusitasi harus
terang untuk mempermudah memasukkan selang kedalam saluran tubuh5.
Beberapa alat yang digunakan untuk melakukan resusitasi meliputi5,9 :
1. Kanul hidung
Digunakan pada pasien yang membutuhkan tambahan oksigen minimal.
2. Sungkup O2 sederhana
Aliran oksigen > 6 liter/menit memberikan persentase oksigen sebanyak 30-60%.
3. Sungkup O2 dengan reservoir
Terdiri dari sungkup sederhana dipasang pada reservoir bag dan dihubungkan dengan
sumber O2. Aliran oksigen melebihi minute volume pasien (7 ml x BB x Frekuensi
Napas/menit).
4. Laringoskop
Diperlukan untuk melakukan intubasi meliputi laringoskop 0 dan 00 berbilah lurus.
5. Pipa endotrakeal
Yang bisa digunakan adalah pipa endotrakeal tipe magill dengan ukuran 2,5 , 3,0 dan
3,5 mm. Untuk bayi baru lahir digunakan ukuran 3,0 sampai 3,5 mm.
6. Selang penghisap

6
Selang pengisap dengan mudah bisa dimasukkan ke dalam tubuh sesuai dengan
ukuran pipa endotrakeal. Selang ukuran 5 Fr sesuai dengan pipa endotrakea ukuran
2,5 mm (untuk bayi prematur). Untuk bayi baru lahir digunakan ukuran 8 Fr.

7. Laringeal Mask Airway (LMA)


Sangat membantu pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas dengan sungkup
karen lidahnya besar, mulut kecil, atau retrognathic jaw. Pada bayi dengan berat
badan kurang dari 5 kg digunakan ukuran 1.
8. Umbilical Artery Catheters
Insersi Umbilical arteri catheters yang berisi elektrode PaO2 dan saturasi oksigen
memungkinkan pengukuran saturasi O2 dan PaO2 secara terus menerus selama
resusitasi.
Sistem ventilasi yang digunakan untuk resusitasi harus memiliki positive end-
expiratory pressure (PEEP) dan tingkat ventilasi minimal 150 kali/ menit. Di tempat
perawatan intensif, alat pengukur gas darah dan pH harus tersedia, dan hasilnya harus
selesai dalam 10 menit. Saturasi oksigen terus diukur selama resusitasi dengan pulse
oximeter pada tangan atau kaki5.

2.5 Prosedur Penilaian


Selain orang yang bertugas untuk menolong persalinan, diperlukan minimal 2 personel
tambahan untuk melakukan resusitasi pada bayi yang baru lahir. Satu orang bertugas
untuk mengontrol ventilasi dan memiliki kemampuan untuk melakukan resusitasi3,5.
Sedangkan yang lain bertugas untuk memasang kateter arteri umbilikalis, mengoreksi
asam basa dan abnomalitas volume darah5.
2.5.1 Evaluasi Awal
Pada saat kepala dikeluarkan, hidung, mulut dan faring dilakukan pengisapan. Setelah
badan dilahirkan, kulit dikeringkan dengan handuk3. Selama proses pemindahan,
neonatus diobservasi secara ketat5. Evaluasi dan pengobatan dilakukan secara simultan3.
Apabila bayi yang baru dilahirkan tersebut menunjukkan depresi nafas, maka tali pusat
diklem lebih awal dan resusitasi dimulai dengan segera. Pernafasan normalnya dimulai

7
dalam 30 detik dan maksimal dalam 90 detik. Sedangkan respirasi normalnya 30-60
kali/menit dan denyut jantung 120-160 kali/menit. Selain itu, juga perlu dievaluasi warna
kulit, tonus otot, dan reflek3.

2.5.2 Apgar Skor


Dengan apgar skor (tabel 2.1) memungkinkan dilakukan evaluasi kondisi bayi yang baru
lahir pada menit pertama dan kelima kehidupannya. Jika apgar skor pada menit ke-5
kurang dari 7, diperlukan penentuan skor tambahan setiap 5 menit selama 20 menit.
Apgar skor pada menit pertama merefleksikan kondisi bayi pada saat lahir dan
berhubungan dengan kemampuannya untuk bertahan hidup. Sedangkan apgar skor pada
menit ke-5 merefleksikan usaha resusitasi dan mungkin berhubungan dengan
neurological outcome10.

Tabel 2.1 APGAR SKOR8,11


TANDA 0 1 2
Appearance Biru, pucat Tubuh merah, Merah seluruh tubuh
(warna kulit) Ekstremitas biru ektremitas biru
Pulse/hearth rate Tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit
(denyut jantung)
Grimace Tidak ada Menyeringai Batuk, bersin,
(reflek) menangis
Activity Lemas Fleksi ekstremitas Gerakan aktif,
(tonus otot) lemah fleksi ekstremitas
Respiration Tidak ada Tidak teratur, Tangis kuat,
(pernafasan) dangkal teratur

Apgar skor 8-10. Apgar skor 8-10 umumnya dapat dicapai pada 90% neonatus. Dalam
hal ini, diperlukan suction oral dan nasal, mengeringkan kulit, dan menjaga temperatur
tubuh tetap normal. Reevaluasi kondisi neonatus dilakukan pada menit ke-5 pertama
kehidupan5.
Apgar skor 5-7 (asfiksia ringan). Neonatus ini akan merespon terhadap rangsangan dan
pemberian oksigen. Jika responnya lambat, maka dapat diberikan ventilasi dengan

8
pemberian oksigen 80-100% melalui bag and mask. Pada menit ke-5 biasanya
keadaannya akan membaik5.
Apgar skor 3-4 (asfiksia sedang). Neonatus biasanya sianotik dan usaha pernafasannya
berat, tetapi biasanya berespon terhadap bag and mask ventilation dan kulitnya menjadi
merah muda3,5. Apabila neonatus ini tidak bernafas spontan, maka ventilasi paru dengan
bag and mask akan menjadi sulit, karena terjadi resistensi jalan nafas pada saat melewati
esofagus. Apabila neonatus tidak bernafas atau pernafasannya tidak efektif, pemasangan
pipa endotrakea diperlukan sebelum dilakukan ventilasi paru. Hasil analisa gas darah
seringkali abnormal (PaO2 < 20 mmHg, PaCO2 > 60 mmHg, pHa 7,15). Apabila pH dan
defisit basa tidak berubah atau memburuk, diperlukan pemasangan kateter arteri
umbilikalis dan jika perlu dapat diberikan natrium bikarbonat5.
Apgar skor 0-2. Neonatus dengan apgar skor 5-7 disebut menderita asfiksia berat dan
memerlukan resusitasi segera5. Sebaiknya dilakukan intubasi dan kompresi dada dapat
dilakukan segera3.

2.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus terutama difokuskan pada saat bayi baru lahir, dan banyak prinsip-
prinsipnya yang dapat diterapkan selama masa neonatus dan bayi. Istilah bayi baru lahir
secara spesifik diartikan sebagai bayi pada menit pertama sampai jam pertama setelah
lahir. Istilah neonatus umumnya diartikan sebagai bayi selama 28 hari pertama.
Sedangkan istilah bayi meliputi masa neonatus sampai umur 12 bulan1.
Dalam proses resusitasi difokuskan dengan mengidentifikasi abnormalitas pada
oksigenasi dan perfusi. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengoreksi keadaan
tersebut dan mencegah pemburukan yang lebih lanjut4. Tehnik resusitasi neonatus dapat
dilihat pada algoritme pada gambar 2.11. Resusitasi neonatus dibagi menjadi 4 kategori,
yaitu:
1. Langkah dasar, mencakup penilaian secara cepat dan stabilisasi awal
2. Ventilasi, mencakup bag-mask atau bag-tube ventilation
3. Kompresi dada
4. Pemberian cairan atau obat-obatan
2.6.1 Prosedur Resusutasi10

9
1. Keringkan dan hangatkan (drying and warming)
a. Keringkan cairan amnion pada tubuh bayi
b. Letakkan bayi dibawah lampu penghangat (radiant warmer)13
c. Singkirkan kain basah yang kontak dengan tubuh bayi

Gambar 2.1 Algoritme Resusitasi pada Bayi Baru Lahir1

2. Jaga jalan nafas (airway positioning)


a. Bayi posisi terlentang (supine) dengan leher pada posisi yang normal

10
b. Posisi kepala sedikit direndahkan
c. Miringkan kepala dengan leher sedikit ekstensi jika sekretnya banyak
3. Airway suctioning
a. Mekonium Staining
Segera lakukan intubasi dan lakukan tracheal suction sebelum bayi
dikeringkan dan dirangsang. Suction hipofaring dan kemudian lambung
(dengan pipa orogastrik) dengan baik
b. Suction mulut sebelum hidung apabila mekonium tidak ada
c. Suction sebaiknya dibatasi selama 3-5 detik.
4. Berikan rangsangan (stimulation)
a. Rangsang bayi dengan mengeringkan, menghangatkan, dan suction
b. Rangsang taktil : dengan cara menyentil telapak kaki bayi, atau dengan
menepuk-nepuk punggung bayi
c. Hindari metode-metode yang berlebihan dalam memberikan rangsangan
kepada bayi
5. Berikan oksigen
Keadaan hipoksia selalu dijumpai pada bayi baru lahir yang memerlukan
resusitasi. Oleh karena itu, adanya sianosis, bradikardi, atau tanda lainnya dari
gagal nafas selama stabilisasi bayi baru lahir, mengindikasikan perlunya
pemberian oksigan 100%1. Pemberian oksigen sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati karena dapat membahayakan. Oksigen dapat diberikan melalui self-
inflating bag, sungkup muka, ataupun melalui kateter10. Tujuan dari pemberian
oksigen adalah keadaan normoksia. Pemberian oksigen yang cukup ditandai
dengan membran mukosa menjadi berwarna merah. Jika keadaan sianosis
terjadi secara berulang ketika pemberian oksigen telah dihentikan, maka
diperlukan perhatian post resusitasi mencakup monitoring konsentrasi oksigen
yang diberikan dan saturasi oksigen darah arteri1.
6. Ventilasi
Indikasi dilakukan positive pressure ventilation yaitu1,10 :
• Apneu atau gasping respiration
• Bradikardi : denyut jantung < 100 kali/menit

11
• Sianosis sentral persisten (walaupun telah diberikan oksigen 100%)
Ventilasi dilakukan melalui bag-valve-mask, pada ventilatory rate 40-60
kali/menit, dapat dilihat pada gambar 2.2. Kunci dari keberhasilan resusitasi
pada neonatus yaitu menjaga agar ventilasinya tetap adekuat1.

Gambar 2.2 Tehnik Ventilasi melalui Bag and Mask14

c. Intubasi endotrakeal dilakukan pada (gambar 2.3) :


• Ventilasi bag-valve-mask yang tidak efektif
• Tracheal suctioning apabila terjadi aspirasi mekonium yang banyak
• Intermittent positive pressure ventilation yang lama

Gambar 2.3 Intubasi pada Neonatus3

7. Kompresi dada
a. Bradikardi dan cardiac arrest biasanya dapat dicegah dengan oksigenasi dan
ventilasi secara efektif pada tahap awal

12
b. Kompresi dada sebaiknya dimulai jika denyut jantung < 60-80 kali/menit dan
tidak meningkat dengan cepat walaupun telah mendapatkan IPPV secara
efektif selama 30 detik
c. Pada sepertiga bawah sternum dilakukan kompresi ± ½ - ¾ inchi saat denyut
jantung 120 kali/menit
8. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume expander, ntrium
bikarbonat, nalokson1.
2.6.2 Penilaian Tindakan Resusitasi
Terdapat beberapa keadaan dimana resusiatsi tidak dilakukan dan tindakan resusitasi
dihentikan. Resusitasi tidak dilakukan pada keadaan berikut :
1. Bayi dengan masa gestasi < 23 minggu atau berat badan lahir
< 400 gram
2. Bayi anensefali
3. Bayi dengan trisomi 13 atau 18
Sedangkan pada bayi dengan extremely immature dan bayi dengan kelainan kongenital
masih menjadi perdebatan apakah perlu dilakukan tindakan resusitasi1.
Penghentian usaha resusitasi dilakukan apabila resusitasi yang dilakukan pada
bayi dengan kegagalan kardiorespirasi tidak memberikan respon sirkulasi yang normal
dalam 15 menit. Resusitasi pada bayi baru lahir setelah 10 menit mengalami asistol akan
sangat sulit bagi bayi tersebut untuk bisa bertahan hidup atau bayi tersebut bisa bertahan
hidup namun dengan severe disability1.
2.6.3 Resusitasi pada Neonatus yang Mengalami Depresi Nafas
Sekitar 6 % bayi yang baru lahir mengalami depresi nafas, dan sebagian basar dari bayi
tersebut memiliki berat badan kurang dari 1500 gram, memerlukan bantuan hidup lanjut.
Resusitasi pada neonatus yang mengalami depresi nafas memerlukan 2 atau lebih tenaga
penolong – satu orang bertugas menjaga jalan nafas dan ventilasi, sedangkan yang lain
melakukan kompresi dada jika diperlukan. Orang ketiga bertugas untuk memfasilitasi
pemasangan kateter intravaskuler dan pemberian cairan atau obat3.

13
Penyebab tersering dari depresi nafas pada neonatus adalah asfiksia intrauterin,
sehingga resusitasi difokuskan pada respirasi. Keadaan hipovolemia juga merupakan
faktor yang mendukung3.
Kegagalan neonatus dalam merespon usaha resusitasi secara cepat menandakan
diperlukan suatu vascular access dan analisa gas darah. Perlu dipikirkan adanya suatu
pneumothoraks (1% kasus) dan anomali kongenital pada jalan nafas, termasuk fistula
trakheoesofageal (1:3000-5000 lahir hidup) dan hernia diafragmatika kongenital (1:2000-
4000)3.

2.7 Resusitasi Kardiopulmoner


Tujuan dari resusitasi kardiopulmoner adalah untuk melindungi sistem saraf pusat selama
keadaan asfiksia. Tahap awal dari resusitasi kardiopulmoner adalah dengan melakukan
antisipasi. Hal ini mencakup pengetahuan mengenai riwayat obstetri dari ibu, riwayat
kehamilan termasuk riwayat persalinan, persiapan dalam proses pemindahan (peralatan,
material, dan obat), dan yang terpenting adalah adanya tim terlatih yang bertugas untuk
melakukan resusitasi 8,13.
Untuk melakukan resusitasi pulmoner, trakea sebaiknya diintubasi dengan segera
dan ventilasi tekanan positif sebaiknya dimulai pada frekuensi nafas 30-60 kali per menit.
Setiap nafas yang kelima, dilakukan nafas buatan selama 2-3 detik untuk
mengembangkan paru yang mengalami atelektasis dan membantu mengeluarkan cairan di
dalam paru. Bukti terakhir menunjukkan bahwa 6 nafas yang kuat pada saat lahir, secara
bermakna dapat meningkatkan trauma paru pada bayi prematur 30 menit sampai
beberapa jam kemudian dan respon terhadap surfaktan secara signifikan dibatasi pada
saat pernafasan yang panjang tersebut5.

2.8 Resusitasi Vaskular


Resusitasi vaskuler seringkali dilupakan dalam melakukan resusitasi pada neonatus5.
Beberapa neonatus dan 2/3 bayi prematur yang memerlukan resusitasi mengalami
hipovolemia pada saat lahir. Diagnosis ini ditegakkan dari pemeriksan fisik (rendahnya
tekanan darah dan pucat) dan respon yang buruk terhadap resusitasi. Tekanan darah
neonatus secara umum berhubungan dengan volume intravaskuler dan seharusnya

14
dilakukan pemeriksaaan secara rutin. Tekanan darah yang normal tergantung dari berat
badan lahir dan bervariasi dari 50/25 mmHg untuk neonatus dengan berat badan 1-2 kg
sampai 70/40 mmHg untuk berat badan lebih dari 3 kg. Rendahnya tekanan darah
menunjukkan keadaan hipovolemia. Selain itu, hipotensi juga dapat disebabkan oleh
hipokalsemia, hipermagnesemia, dan hipoglikemia3.
Apabila kondisi neonatus tidak membaik dengan rangsang taktil dan ventilasi,
maka sebaiknya pemasangan kateter arteri umbikalis untuk mengukur pH dan analisa gas
darah, mengukur tekanan arteri, menambah volume darah, dan untuk memberikan obat.
Sebagian besar neonatus preterm memiliki berat badan lahir < 1250 gram, dan 1-3 % dari
neonatus tersebut memerlukan kateter arteri umbilikalis selama resusitasi. Hal ini
mungkin juga berguna untuk menyediakan jalur intravena untuk menentukan
keadekuatan penggantian volume darah5.

2.9 Kompresi Dada


Indikasi dilakukannya kompresi dada yaitu apabila setelah 15-30 detik, denyut jantung <
60 kali/menit atau antara 60-80 kali/menit dan tidak meningkat setelah pemberian
positive pressure ventilation dengan FiO2 100% 5,7.
Kompresi dada dilakukan pada sternum 1/3 bawah. Tedapat 2 tehnik dari
kompresi dada yaitu1,3:
1. Menggunakan 2 ibu jari yang diletakkan pada sternum (sejajar
dengan 1 jari dibawah puting susu) dengan jari-jari tangan lainnya melingkari
dada (the two thumb-encircling hands technique).
2. Tehnik dengan dua jari tangan kanan(the two finger technique)
yang diletakkan di dada dengan tangan lainnya menyokong punggung.
Beberapa data menunjukkan bahwa the two thumb-encircling hands technique memiliki
beberapa keuntungan dalam mencapai puncak tekanan sistolik dan tekanan perfusi
koroner, sehingga lebih dipilih dibandingkan dengan the two finger technique1.
Dalamnya kompresi dada kurang lebih sepertiga dari diameter anterior-posterior dada1,3,7.
The pediatric basic live support guidelines merekomendasikan dalamnya kompresi dada
kurang lebih 1/3 -½ dari diameter anterior posterior dada. Tidak ada data yang spesifik
mengenai dalamnya kompresi dada yang ideal, namun direkomendasikan untuk

15
melakukan kompresi dada sekitar sepertiga dari dalamnya dada, tetapi kompresi ini harus
dapat untuk membuat denyut nadi yang teraba secara adekuat1. Tehnik kompresi dada ini
dapat dilihat pada gambar 2.414. Perbandingan antara kompresi dada dengan ventilasi
adalah 3:1, yaitu dengan melakukan 90 kali kompresi dan 30 kali ventilasi dalam satu
menit. Denyut jantung harus dievaluasi secara periodik yaitu setiap 30 detik12,21.
Kompresi dada dihentikan apabila denyut jantung terjadi secara spontan lebih dari 80
kali/menit3.

Gambar 2.4 Kompresi Dada14

2.10 Obat-Obat Resusitasi


Obat-obatan jarang diindikasikan pada resusitasi bayi baru lahir1. Obat-obatan diberikan
apabila denyut jantung < 80 kali/menit, walaupun telah mendapatkan ventilasi yang
adekuat dengan oksigen 100% dan telah dilakukan kompresi dada minimal selama 30
detik7,10. Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume expander, ntrium
bikarbonat, nalokson1. Secara lebih ringkas dapat dilihat pada tabel 2.2.
2.10.1 Epinefrin
Pemberian epinefrin diindikasikan apabila denyut jantung < 60 kali/menit setelah
ventilasi yang adekuat dan kompresi dada selama 30 detik. Epinefrin terutama
diindikasikan apabila terdapat asistol1.

16
Epinefrin memiliki efek stimulasi terhadap reseptor α dan β adrenergik. Pada
cardiac arrest, α adrenergik menyebabkan vasokonstriksi yang akan meningkatkan
tekanan perfusi selama kompresi dada, sehingga terjadi peningkatan hantaran oksigen ke
jantung dan otak. Epinefrin juga meningkatkan keadaan kontraktil jantung, menstinulasi
kontraksi spontan dan meningkatkan denyut jantung1.
Dosis intravena atau endotrakea adalah 0,1-0,3 mL/kg dengan pengenceran
1:10000 (0,01-0,03 mg/kg), dapat diulang setiap 3-5 menit. Pemakaian epinefrin dosis
tinggi pada binatang dapat menyebabkan hipertensi dengan curah jantung yang rendah.
Efek hipotensi yang diikuti dengan hipertensi dapat meningkatkan risiko perdarahan
intrakranial, terutama pada bayi preterm1.
2.10.2 Volume ekspander
Volume ekspander penting untuk melakukan resusitasi pada bayi baru lahir yang
mengalami hipovolemia. Kecurigaan terjadinya hipovolemia diketahui dengan kegagalan
dalam merespon resusitasi. Cairan yang dipilih kristaloid isotonik miosalnya normal salin
atau ringer laktat. Pemberian sel darah merah O-negatif dapat diindikasikan untuk
mengganti kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Solution yang menggandung
albumin jarang digunakan untuk ekspansi volume pada tahap awal karena
penggunaannya terbatas, risiko infeksi, dan pada observasi dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas1.
Dosis awal dari volume ekspander adalah 10 mL/kg yang diberikan secar
perlahan melalui jalur intravena selama 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang setelah
ditentukan kondisi klinis lebih lanjut dan diobservasi respon yang terjadi.pemberian bolus
dalam dosis yang besar dapat dilakukan pada bayi yang lebih besar. Akan tetapi, volume
overload atau komplikasi (misalnya perdarahan intrakranial) dapat terjadi akibat
pemberian volume ekspander intravaskuler yang tidak tepat pada bayi asfiksia dan bayi
preterm1.
2.10.3 Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat diberikan pada keadaan asidosis metabolik yang persisten ataupun
hiperkalemia.dosis yang diberikan yaitu 1-2 mEq/kg dari solution 0,5 mEq/mL yang
diberikan melalui jalur intravena secara perlahan (minimal dalm 2 menit) setelah ventilasi
dan perfusi adekuat1.

17
2.10.4 Nalokson
Nalokson hidroklorida merupakan antagonis narkotik yang tidak mempunyai efek depresi
respirasi. Secara spesifik diindikasikan untuk melawan efek depresi respirasi pada bayi
baru lahir, yang ibunya mendapat narkotik dalam 4 jam sebelum melahirkan.
Sebelumpemberian nalokson selalu dijaga keadekuatan ventilasi. Jangan memberikan
nalokson pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai menggunakan obat-obat narkotik
(drug abuse) karena dapat menyebabkan efek withdrawal1.
Dosis yang direkomendasikan yaitu 0,1 mg/kg dari 0,4 mg/mL atau solution 1
mg/mL yang diberikan secara intravena, endotrakea, atau apabila perfusinya adekuat
dapat diberikan intramuskular atau subkutan. Karena durasi dari narkotik lebih lama
dibandingkan nalokson, maka monitoring secara kontinyu merupakan hal yang penting,
dan pemberian nalokson dapat diulang untuk mencegah apneu rekuren1.
Tabel 2.2Obat-obatan yang Digunakan selama Resusitasi8,13
OBAT INDIKASI DOSIS CARA EFEK
PEMBERIAN
Epinefrin Asistol 0,01mg/kg ET, IV ↓ denyut jantung
(0,1 mL/kg) ↓ kontraktilitas
diencerkan miokard
1:10000 ↓ tekanan arteri
Natrium Asidosis 1-2 meq/kg IV Mengoreksi asodosis
bikarbonat metabolik diluted 1:2 metabolik
(sangat perlahan)  COP dan perfusi
perifer
Nalokson Ibunya 0,1 mg/kg ET, IV, SC, IM  ventilatory rate
menggunakan
opiat+bayi
apneu
Cairan (PRC, Hipovolemia 10-20 mL/kg IV secara  tekanan darah
albumin 5%, perlahan  perfusi perifer
normal salin)

Keterangan : ET: endotrakea; IM: intramuskular; IV: intravena; SC: subkutan; PRC:
Packed Red Cells; COP: cardiac output

18
BAB 3
RINGKASAN

Peralihan dari janin menuju kehidupan ekstrauterin ditandai dengan peristiwa fisiologis
yang khas yaitu pertukaran isi paru dari cairan menjadi udara, peningkatan aliran darah
ke paru, dan menutupnya foramen ovale secara fungsionil6. Penilaian pada bayi baru lahir
mencakup panilaian terhadap denyut jantung, pernafasan, tonus otot, reflek, dan warna
kulit5.
Asfiksia diartikan sebagai hipoksemia yang disertai dengan asidosis metabolik8.
Dalam uterus, asfiksia disebabkan oleh hipoksia maternal, penurunan aliran darah
plasental-umbilikal, dan gagal jantung fetal5. Asfiksia dalam kehamilan dapat
menyebabkan keadaan hipervolemik maupun hipovolemik. Asfiksia selama proses
persalinan biasanya menyebabkan hipervolemia kecuali pada kondisi berikut: tekanan tali
pusat lebih besar pada vena umbilikalis dibandingkan pada arteri umbilikalis, terjadi
perdarahan dari plasenta, dan hipotensi pada ibu (misalnya pada syok, trauma, pengaruh
obat anestesi5.
Beberapa alat yang digunakan untuk mendukung napas dan jalan napas meliputi :
kanul hidung, sungkup O2 sederhana, sungkup O2 dengan reservoir, laringoskop, pipa
endotrakeal, selang penghisap, Laringeal Mask Airway (LMA), Umbilical Artery
Catheters5,9.
Dengan apgar skor memungkinkan dilakukan evaluasi kondisi bayi yang baru lahir
pada menit pertama dan kelima kehidupannya. Apgar skor pada menit pertama
merefleksikan kondisi bayi pada saat lahir dan berhubungan dengan kemampuannya
untuk bertahan hidup. Sedangkan apgar skor pada menit ke-5 merefleksikan usaha
resusitasi dan mungkin berhubungan dengan neurological outcome11. Resusitasi neonatus
dibagi menjadi 4 kategori, yaitu1:
1. Langkah dasar, mencakup penilaian secara cepat dan stabilisasi awal
2. Ventilasi, mencakup bag-mask atau bag-tube ventilation
3. Kompresi dada
4. Pemberian cairan atau obat-obatan

19
Adapun prosedur resusutasi yaitu keringkan dan hangatkan (drying and warming), jaga
jalan nafas (airway positioning), airway suctioning, memberikan rangsangan
(stimulation), pemberian oksigen, ventilasi, kompresi dada, obat-obatan10.
Tujuan dari resusitasi kardiopulmoner adalah untuk melindungi sistem saraf pusat
selama keadaan asfiksia. Tahap awal dari resusitasi kardiopulmoner adalah dengan
melakukan antisipasi8,13.
Resusitasi vaskuler seringkali dilupakan dalam melakukan resusitasi pada
neonatus5. Beberapa neonatus dan 2/3 bayi prematur yang memerlukan resusitasi
mengalami hipovolemia pada saat lahir.
Indikasi dilakukannya kompresi dada yaitu apabila setelah 15-30 detik, denyut
jantung < 60 kali/menit atau antara 60-80 kali/menit dan tidak meningkat setelah
pemberian positive pressure ventilation dengan FiO2 100%5,7.
Obat-obatan jarang diindikasikan pada resusitasi bayi baru lahir11. Obat-obatan
diberikan apabila denyut jantung < 80 kali/menit, walaupun telah mendapatkan ventilasi
yang adekuat dengan oksigen 100% dan telah dilakukan kompresi dada minimal selama
30 detik7,10. Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume expander, natrium
bikarbonat, nalokson1.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. International Guidelines for Neonatal Resuscitation: An Excerpt From


the Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care: International Consensus on Science. In: American Academy
of Pediatrics. 15 Agustus 2006.
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/106/3/e29 (15 Agustus 2006)
2. Wiswell T E. Neonatal Resusitation. Respiratory Care March.2003; 48(3):288-
295
3. Morgan G E, Mikhail M S, Murray M J. a Lange Medical Book Clinical
Anesthesiology. 3th ed. International Edition: McGraw-Hill;2002
4. Latour J. Cardiopulmonary Resusitation in Infants and Children. In: Williams C,
Asquith J,eds. Pediatric Intensive Care Nursing. International Edition: Chuchill
Livingstone; 2000
5. Greogery G A. Resuscitation of The Newborn. In: Miller: Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone;2000
6. Hasan R, Alatas H. Fisiologi Neonatus. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Edisi IV.
Jakarta; 1985
7. Givens K. Neonatal Resusitation. In: som. 15 Agustus 2006.
http://www.som.tulane.edu/departments/peds_respcare/neores.htm (15 Agustus
2006)
8. Rudolph A M, Kamei R K, Overby K J. Rudolph’s Fundamentals of Pediatrics.
3rd ed. International Edition: McGraw-Hill; 2002
9. Seidel J, Smerling A, Saltzberg D. Resusitation. In: Crain E F, Gershel J C, eds.
Clinical Manual of Emergency pediatrics. 4th ed. International Edition: McGraw-
Hill;2003
10. Yee L C. Manual of Anaesthesia for Medical Officers. Kuala Lumpur. Sp-Muda
Printing Sdn. Bhd
11. Anonim. Noenatologi. In: Soetjiningsih, Suandi I K G, Utama D L. Petunjuk
Pemeriksaan Fisik pada Bayi dan Anak. Denpasar: Lab/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK UNUD; 2001

21
12. Latour J. Cardiopulmonary Resusitation in Infants and Children. In: Williams C,
Asquith J,eds. Pediatric Intensive Care Nursing. International Edition: Chuchill
Livingstone; 2000
13. Rudolph A M, Kamei R K. Rudolph’s Fundamentals of Pediatrics. 2nd ed. USA:
Appleton and Lange; 1998
14. Weinstein M. Neonatal Resusitation and Care of the Newborn at Risk. In:
DeCherney A H, Nathan L, eds. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis
and Treatment. 9th ed. International Edition: McGraw-Hill; 2003

22

You might also like