You are on page 1of 143

PROFIL KETENAGAKERJAAN

PROVINSI PAPUA BARAT

LABOR PROFILE of PAPUA BARAT PROVINCE

2009

BPS PROVINSI PAPUA BARAT


STATISTICS of PAPUA BARAT PROVINCE
PROFIL KETENAGAKERJAAN
PROVINSI PAPUA BARAT
2009
LABOR PROFILE of PAPUA BARAT PROVINCE
2009

ISSN:
No. Publikasi/Publication Number: 91521.10.16
Katalog BPS/BPS Catalogue :2303004.9100
Ukuran Buku/Book Size: 16,5 x 21 cm
Jumlah Halaman / Total Pages : viii + 133 = 141 hal/pages

Naskah/Manuscript :
Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Papua Barat

Gambar Kulit/ Cover :


Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Data
BPS Provinsi Papua Barat

Diterbitkan oleh / Published by :


Kata Pengantar

Tiga sasaran utama dalam rencana pembangunan pada


pemerintahan Indonesia Bersatu adalah mengurangi jumlah
penduduk miskin, menurunkan tingkat pengangguran dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga sasaran tersebut
ditargetkan pemerintah utamanya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Salah satu isu penting tersebut adalah mengenai masalah
pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi tidak hanya
berimplikasi pada terjadinya berbagai permasalahan ekonomi,
melainkan juga akan menimbulkan masalah dibidang sosial seperti
kemiskinan dan kerawanan sosial.
Dibutuhkan data yang lengkap, relevan, mutakhir,
representatif, dan berkesinambungan untuk dapat memberikan
gambaran situasi dan permasalahan ketenagakerjaan sehingga
pemerintah dapat menciptakan sebuah kondisi dimana tersedia
lapangan kerja atau usaha yang layak dan peningkatan produktivitas
kerja bagi tenaga kerja dengan mendapatkan imbalan yang memadai
untuk dapat hidup sejahtera.
Melalui publikasi Profil Ketenagakerjaan Provinsi Papua Barat
2009 diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi
ketenagakerjaan secara umum dan indikator-indikator
ketenagakerjaan yang dapat membantu menjelaskan permasalahan
ketenagakerjaan dalam lingkup yang lebih sempit.

i
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
publikasi ini diucapkan terimakasih. Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat dan dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang
membutuhkan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
penyempurnaan pembuatan publikasi pada masa yang akan datang.

Manokwari, November 2010

Kepala Badan Pusat Statistik


Provinsi Papua Barat,

Ir. Tanda Sirait, MM


NIP. 195507211978011002

ii
DAFTAR ISI

Hal.
Kata Pengantar………………………………………………………….. i
Daftar Isi………………………………………………………………... iii
Daftar Tabel...…………………………………………………………... v
Daftar Gambar………………………………………………………….. viii

I. Pendahuluan……………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………. 1
1.2 Ruang Lingkup……………………………………………. 5
1.3 Tujuan…………………………………………………….. 6
1.4 Sistematika Penulisan…………………………………….. 6

II. Metodologi………………………………………………………. 7
2.1 Sumber Data……………………………………………… 7
2.2 Metode Pengumpulan Data……………………………… 8
2.3 Metode Analisis…………………………………………... 9
2.4 Bagan Ketenagakerjaan…………………………………. 10
2.5 Konsep dan Definisi……………………………………… 12

III. Ketenagakerjaan………………………………………………… 24
3.1 Penduduk Usia Kerja……………………………………. 25
3.2 Angkatan Kerja…………………………………………... 33
3.2.1 Penduduk Bekerja……………………………… 35
3.2.1.1 Bekerja Menurut Pekerjaan Utama…… 39
3.2.1.2 Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Utama 47
3.2.1.3 Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Utama 49
3.2.1.4 Bekerja Menurut Pendidikan…………... 53
3.2.1.5 Bekerja Menurut Jam Kerja…………… 63
3.2.1.6 Bekerja Menurut Sektor Informal……... 73
3.3 Bukan Angkatan Kerja…………………………………... 85
3.4 Indikator Ketenagakerjaan................................................... 87
3.4.1 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)…………. 88
3.4.2 Setengah Pengangguran………………………… 101
3.4.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja……………. 110
3.4.4 Tingkat Kesempatan Kerja…………………….. 114
3.4.5 Laju Pertumbuhan Kesempatan Kerja………... 117
3.4.6 Elastisitas Kesempatan Kerja………………….. 119
3.4.7 Produktivitas Pekerja…………………………… 123

iii
IV Kesimpulan……………………………………............................. 126
Daftar Pustaka…………………………………………………… 157
Lampiran

iv
DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal.

2.1. Batasan Kegiatan Formal/Informal………….......................................... 23


3.1. Dependency ratio, youth DR, dan Old DR Papua Barat 2005-
2009............................................................................................................... 29
3.2. Penduduk Papua Barat Berusia 15 Tahun ke atas menurut
Kabupaten/Kota dan Kelompok Umur Tahun 2009……………........ 31
3.3. Jumlah Angkatan Kerja menurut Kabupaten/Kota dan Jenis
Kelamin Tahun 2009................................................................................. 35
3.4. Jumlah Penduduk yang Bekerja Didalam Angkatan Kerja Tahun
2009…………………........................................................................................ 37
3.5. Persentase Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Papua Barat
Tahun 2009…………….................................................................................. 40
3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Papua Barat
Tahun2006 – 2009 ................................................................................... 42
3.7. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Kabupaten/Kota dan
Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun 2009…………................... 43
3.8. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Kabupaten/Kota, Jenis
Kelamin dan Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun 2009…... 45
3.9. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Status Pekerjaan
Utama dan Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun 2009.......... 46
3.10. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Jenis Pekerjaan Utama
Tahun 2009…………………........................................................................... 48
3.11. Persentase Penduduk Bekerja menurut Kabupaten/kota dan
Status Pekerjaan Utama Tahun 2009……………………………………..... 50
3.12. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Status Pekerjaan
Utama dan Jenis Kelamin Tahun 2009…………………………………….. 52
3.13. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Kabupten/Kota
dan Pendidikan Tahun 2009................................................................... 54
3.14. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Kelompok Umur
dan Pendidikan Tahun 2009................................................................... 57
3.15. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan
Tertinggi dan Jenis Kelamin Tahun 2009……………………………….... 58
3.16. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan
Tertinggi dan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009……………. 60

v
3.17. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan
Tertinggi dan Status Pekerjaan Utama Tahun 2009………………..... 62
3.18. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Kabupten/Kota
dan Jam Kerja Tahun 2009….................................................................... 64
3.19. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Jam kerja dan
Jenis kelamin Tahun 2009……................................................................. 66
3.20. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Jam Kerja dan
Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009……………………………........ 67
3.21 Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Status pekerjaan
Utama dan Jam Kerja Tahun 2009…………………………………….......... 69
3.22. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan dan
Jam Kerja Tahun 2009………..................................................................... 71
3.23. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Formal-Informal
menurut Kabupaten/Kota…...................................................................... 75
3.24. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal menurut
Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2009…………………....... 77
3.25. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal menurut
Kabupaten/Kota dan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009… 78
3.26. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal menurut
Kabupaten/Kota dan Status Pekerjaan Utama..................................... 80
3.27. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal menurut
Kabupaten/Kota dan Pendidikan Tahun 2009.................................... 82
3.28. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal menurut
Kabupaten/Kota dan jam Kerja Tahun 2009......................................... 84
3.29. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kabupaten/Kota dan
Jenis Kelamin Tahun 2009....................................................................... 92
3.30. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kabupaten/Kota dan
Perkotaan/Perdesaan Tahun 2009........................................................... 93
3.31. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kelompok Umur
Tahun 2009.................................................................................................. 95
3.32. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kabupaten/Kota dan
Pendidikan Tahun 2009............................................................................ 97
3.33. Persentase Setengah Pengangguran terhadap Total Pekerja
menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun
2009……………………………………………....................................................... 104
3.34. Setengah Pengangguran Menurut Kabupaten/Kota dan Ktiteria
Setengah Penganggur Tahun 2009........................................................ 108

vi
3.35. Persentase Setengah Pengangguran Terpaksa dan Sukarela
menurut Kabupaten/Kota dan Lapangan Pekerjaan Utama
Tahun 2009……………………………............................................................. 109
3.36. Elastisitas Kesempatan Kerja Provinsi Papua Barat Tahun
2008-2009………………………….................................................................. 122
3.37. Produktivitas Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Tahun 2009 (Juta rupiah per pekerja per tahun)…………………....... 124

vii
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Hal.

2.1. Diagram Ketenagakerjaan……………………........................................... 11


3.1. Penduduk Usia Kerja menurut Kelompok Umur Provinsi
Papua Barat 2009……………....................................................................... 26
3.2. Jumlah Angkatan Kerja menurut Jenis Kelamin dan
Kabupaten /Kota Tahun 2007-2009……….......................................... 33
3.3. Persentase Penduduk Bukan Angkatan Kerja menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2009……….................................................... 86
3.4. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Nasional dan Provinsi
Papua Barat Tahun 2006-2009……………………………………............. 91
3.5. Persentase Setengah Pengangguran Provinsi Papua Barat
Tahun 2007-2009………………................................................................... 103
3.7. Jumlah Setengah Pengangguran di Provinsi Papua Barat
Tahun 2007-2009………………................................................................... 111
3.8. TPAK menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 ................................ 113
3.9. TPAK menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun
2009…………………………................................................................................. 114
3.10. Tingkat Kesempatan Kerja menurut Kabupaten/Kota Tahun
2009............................................................................................................ 116
3.11. Laju Pertumbuhan TKK dan Laju Pertumbuhan Angkatan
Kerja 2006-2009...................................................................................... 118

viii
Page |1

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi diarahkan untuk membawa rakyat


pada peningkatan kesejahteraan yang lebih baik, dan hal ini
bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Pembangunan
ekonomi adalah salah satu pilar penting untuk mencapai
peningkatan kesejahteraan rakyat (Harmadi, 2007). Ekonomi
sendiri bicara mengenai 3 konsep penting yang saling terkait, yaitu
keterbatasan sumberdaya, pilihan, dan pengambilan keputusan
ekonomi, yang dapat menghantarkan kita pada tercapainya
kesejahteraan rakyat yang optimal. Seperti kita ketahui
pembangunan menjadikan rakyat sebagai subjek sekaligus juga

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |2

sebagai objek dari pembangunan itu sendiri. Pembangunan tidak


akan ada artinya tanpa rakyat karena tidak mungkin dilaksanakan
tanpa rakyat. Di samping itu pembangunan memang ditujukan
untuk rakyat.
Sudah jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam
pembangunan. Kini proses pembangunan suatu bangsa tidak lagi
dapat dipahami secara terbatas pada pertumbuhan ekonomi
semata, namun harus pula memuat di dalamnya proses
pembangunan manusia yang mencakup tiga aspek: pendidikan,
kesehatan dan ekonomi.
Ukuran yang dipergunakan dalam mengevaluasi
perkembangan pembangunan manusia suatu bangsa ialah
kemiskinan. Jika pembangunan manusia dipahami sebagai
kumpulan berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia, maka kemiskinan justru dipahami harus diturunkan.
Salah satu tujuan dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Papua Barat adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kesejahteraan sendiri diukur dari seberapa banyak rakyat
yang dapat hidup layak. Mereka yang tidak dapat hidup layak akan
masuk ke dalam kemiskinan. Secara absolut, penduduk dikatakan
miskin ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya (basic
needs) seperti pangan, sandang, papan dan tidak mempunyai
kemampuan untuk mengakses berbagai pelayanan dasar seperti air
bersih, sanitasi, transportasi umum, fasilitas kesehatan, dan
pendidikan. Ketidakmampuan yang menjerumuskan penduduk ke

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |3

dalam kemiskinan tersebut disebabkan oleh kemampuan daya beli


yang tidak memadai.
Secara ekonomi, daya beli penduduk sangat tergantung pada
keterlibatan secara aktif penduduk di pasar kerja. Penduduk yang
aktif bekerja memproduksi barang/jasa akan memperoleh imbal
balik dari perusahaan tempatnya bekerja berupa upah/gaji.
Sebaliknya mereka yang tidak aktif bekerja dalam angkatan kerja
akan menjadi pengangguran yang akan menjadi beban bagi diri dan
keluarganya.
Salah satu tantangan besar bangsa ini adalah menciptakan
lapangan kerja atau usaha yang layak (decent work) bagi angkatan
kerja yang besar dan cenderung terus meningkat karena perubahan
struktur umur penduduk. Tantangan tersebut mencakup dua hal
sekaligus, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi angkatan
kerja yang belum bekerja dan peningkatan produktivitas kerja bagi
mereka yang sudah bekerja sehingga memperoleh imbalan kerja
yang memadai untuk dapat hidup layak (decent living).
Tantangan itu sangat besar untuk dihadapi oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Walaupun demikian, peran yang
dimainkan pihak pemerintah dapat sangat menentukan melalui
pembangunan yang secara sadar dan konsisten dirancang berbasis
ketenagakerjaan, serta dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi
investasi.
Pengangguran dapat dilihat sebagai akibat dari tidak
bekerjanya pasar tenaga kerja dengan baik. Dari sisi penawaran,
secara umum di Indonesa mengalami masalah labor market

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |4

missmatch. Sedangkan dari sisi permintaan, ada keterbatasan daya


serap pasar tenaga kerja. Pengangguran senantiasa bertambah
setiap tahun seiring dengan laju pertumbuhan penduduk usia kerja.
Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah-
masalah dibidang ekonomi saja, melainkan juga menimbulkan
berbagai masalah dibidang sosial seperti kemiskinan dan
kerawanan sosial.
Papua Barat masuk dalam daftar kedua tertinggi persentase
penduduk miskin pada tingkat nasional. Ini menandakan tidak
sedikit penduduk Papua Barat yang miskin dibandingkan total
penduduknya. Akibat banyak pengangguran maka banyak pula
yang kemampuan daya belinya tidak memadai sehingga memaksa
mereka jatuh dalam jurang kemiskinan.
Selain dihadapkan pada masalah pengangguran, keadaan
ketenagakerjaan juga dihadapkan pada masalah setengah
pengangguran, yang secara ekonomi tergolong bekerja namun jam
kerjanya berada dibawah jam kerja normal. Hal ini tentunya juga
terkait dengan masalah produktivitas tenaga kerja dalam
mewujudkan decent living.
Dalam menjawab tantangan untuk mewujudkan decent work
dan decent living, agar upaya penurunan tingkat pengangguran pada
khususnya, dan pemantauan situasi ketenagakerjaan yang lebih
baik pada umumnya, dalam koridor pembangunan berbasis
ketenagakerjaan, pemerintah sangat memerlukan data yang
lengkap, akurat, relevan, mutakhir, dan berkesinambungan. Untuk
memenuhi kebutuhan data tersebut BPS telah melaksanakan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |5

sebuah survei yang khusus dirancang untuk mengumpulkan data


ketenagakerjaan dengan pendekatan rumah tangga melalui Survei
Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS).
Melalui buku publikasi “Profil Ketenagakerjaan Provinsi
Papua Barat Tahun 2009”, hasil pendataan Sakernas
diaktualisasikan untuk dapat dimanfaatkan lebih luas kepada para
pengguna data dari berbagai kalangan, terutama pemerintah daerah
untuk mendapatkan gambaran ketenagakerjaan di Provinsi Papua
Barat untuk bisa merealisasikan decent work dan decent living bagi
kesejahteraan masyarakat.

2. Ruang Lingkup

Pembahasan pada tulisan ini terbatas pada variabel-variabel


yang terdapat pada kuesioner Sakernas dan indikator-indikator
ketenagakerjaan yang dibentuk dari pengembangan variabel-
variabel tersebut. Hal-hal yang dibahas didasarkan pada bagan
ketenagakerjaan untuk lebih memudahkan bagi para pengguna
informasi dalam memahami gambaran dan permasalahan
ketenagakerjaan, seperti penduduk usia kerja, angkatan kerja,
pengangguran terbuka, sektor informal, sektor usaha/lapangan
pekerjaan utama dan lain sebagainya. Selain itu dibahas juga
mengenai indikator-indikator terkait ketenagakerjaan seperti TPT,
TPAK, TKK, setengah pengangguran, elastisitas kesempatan kerja
dan produktivitas pekerja.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |6

3. Tujuan

Tujuan secara umum dalam tulisan ini adalah memberikan


gambaran mengenai keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Papua
Barat tahun 2009. Sedangkan tujuan yang lebih khusus adalah:
a. Untuk mengetahui karakteristik keadaan penduduk usia kerja,
angkatan kerja, dan bukan angkatan kerja di Provinsi Papua
Barat.
b. Untuk mengetahui berbagai permasalahan yang terjadi dalam
ketenagakerjaan di Provinsi Papua Barat.
c. Untuk mengetahui karakteristik ketenagakerjaan yang lebih
spesifik di Provinsi Papua Barat melalui indikator-indikator
ketenagakerjaan.

4. Sistematika Penulisan

Penyajian penulisan Profil Ketenagakerjaan Provinsi Papua


Barat diorganisasikan sebagai berikut: Bab I adalah bagian
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup, tujuan
dan sistematika penulisan. Bab II membahas mengenai metodologi,
berisi sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis,
bagan ketenagakerjaan, dan konsep dan definisi. Pada bab III
dibahas mengenai keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Papua
Barat, kemudian bab terakhir berisi kesimpulan dari pembahasan
sebelumnya.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |7

BAB II
METODOLOGI

A. Sumber Data
Sejauh ini sumber data makro mengenai situasi
ketenagakerjaan yang secara luas dianggap paling kredibel adalah
berasal dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Suatu
survei yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik secara rutin
dalam mengintegrasikan data ketenagakerjaan yang mempunyai
peran penting, karena dirancang khusus untuk mengumpulkan data
yang menggambarkan keadaan umum ketenagakerjaan antar
periode survei.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |8

Semula data Sakernas yang memiliki jumlah total sampel


sekitar 60.000 rumah tangga hanya dapat dipakai untuk estimasi
level propinsi, tetapi mulai Sakernas Semester II yang dilaksanakan
bulan Agustus 2007, data ketenagakerjaan yang dihasilkan
mempunyai ketercukupan sampel untuk dapat dipergunakan
mengestimasi sampai pada level kabupaten/kota.
Dengan semakin besar jumlah sampel Sakernas menjadikan
Sakernas lebih representatif dan lebih memungkinkan untuk dibuat
analisis yang lebih komprehensif dengan cakupan tentang
gambaran umum ketenagakerjaan yang lebih tajam, sehingga
cerminan situasi ketenagakerjaan yang sebenarnya dapat
teraktualisasikan.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana disajikan
sebelumnya, data hasil pengolahan Sakernas Agustus 2009 ini
digunakan sebagai sumber data dalam menggambarkan situasi
tenaga kerja dalam publikasi Profil Ketenagakerjaaan Provinsi
Papua Barat 2009.

B. Metode Pengumpulan Data

Sejarah pengumpulan data ketenagakerjaan melalui Sakernas


mengalami berbagai perubahan-perubahan sejak pertama kali
diselenggarakan pada tahun 1976, baik dalam periode pencacahan
maupun cakupan sampel wilayah dan rumah tangga. Sakernas
diselenggarakan dua kali dalam satu tahun (semesteran) mulai
tahun 2005. Pada tahun 2007, pelaksanaan semester pertama di

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Page |9

bulan Februari dan semester kedua pada bulan Agustus. Untuk


Sakernas Februari, level estimasi hanya sampai tingkat provinsi dan
jenis survei yang digunakan adalah panel survey, dengan memakai
sampel rumah tangga yang sama untuk periode survei semester
pertama. Sedangkan pada Sakernas semester kedua, jenis survei
yang digunakan adalah cross sectional survey.
Jumlah sampel Sakernas Agustus 2007 di Provinsi Papua
Barat adalah sekitar 2.354 rumah tangga dari total 69.824 rumah
tangga diseluruh Indonesia. Rumah tangga korps diplomatik, rumah
tangga dalam blok sensus khusus dan rumah tangga khusus yang
tinggal dalam blok sensus biasa tidak tercakup dalam sampel
Sakernas 2007.
Data dan informasi yang dikumpulkan melalui Sakernas 2007
dilakukan dengan wawancara langsung kepada rumah tangga
sampel terpilih. Jumlah rumah tangga sampel terpilih dari setiap
blok sensus terpilih adalah 16 rumahtangga dengan metode
systematic sampling dari daftar listing rumah tangga.

C. Metode Analisis

Interpretasi mengenai gambaran keadaan ketenagakerjaan


Provinsi Papua Barat dari hasil pengolahan data mentah dan
tabulasi, dipaparkan melalui analisis dekriptif sederhana dengan
menampilkan grafik dan tabel-tabel yang lebih mudah ditangkap
secara visual dan praktis sehingga akan memudahkan konsumen
dalam memperoleh informasi, mengidentifikasi kondisi sebuah

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 10

indikator, membandingkan indikator baik antar periode maupun


antar wilayah.

D. Bagan Ketenagakerjaan

Pemahaman mengenai konsep ketenagakerjaan sangat


penting untuk dapat mengidentifikasi penduduk yang termasuk
kedalam kelompok angkatan kerja, bukan angkatan kerja, berkerja
atau pengangguran.
Indikator-indikator ketenagakerjaan harus mempunyai
konsep yang jelas dan tidak ambigu. Diperlukan suatu konsep dan
definisi yang dapat membedakan antar indikator dengan indikator
lainnya dengan batasan-batasan yang logis, bisa diterima secara
umum dan berlaku untuk cakupan wilayah yang luas.
Dalam rangka memudahkan pemahaman konsep dan definisi,
diagram ketenagakerjaan akan membantu mengidentifikasikan
indikator-indikator ketenagakerjaan seperti terlihat pada gambar 1.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 11

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 12

E. Konsep dan Definisi


Konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data
ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik mengacu pada The
Labour Force Concept yang disarankan oleh International Labour
Organization (ILO).
Berdasarkan bagan ketenagakerjaan, penduduk dibagi
menjadi dua dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan
penduduk bukan usia kerja. Selanjutnya usia kerja dibedakan pula
menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang
dilakukannya. Kelompok tersebut adalah Angkatan Kerja dan Bukan
Angkatan Kerja.

Penduduk Usia Kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan


lebih.

Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia


kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan
namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.

Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah


penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah,
mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya.

Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang


dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus)

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 13

dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula


kegiatan tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan
ekonomi.

Pengangguran Terbuka adalah Angkatan kerja yang tidak


bekerja/tidak mempunyai pekerjaan, yang mencakup angkatan
kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan dan yang punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

Punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja (have a job in


future start) adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai
pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena
berbagai sebab, seperti: sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan
sebagainya, termasuk mereka yang sudah diterima bekerja tetapi
selama seminggu yang lalu belum mulai bekerja.
Contoh :
 Pekerja tetap/pegawai pemerintah/swasta yang sedang
tidak masuk bekerja karena cuti, sakit, mogok, mangkir,
mesin/peralatan perusahaan mengalami kerusakan dan
sebagainya.
 Petani yang mengusahakan tanah pertanian dan sedang
tidak bekerja karena alasan sakit atau menunggu pekerjaan
berikutnya (menunggu panen atau menunggu hujan untuk
menggarap sawah).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 14

 Orang-orang yang bekerja atas tanggungan/resiko sendiri


dalam suatu bidang keahlian (pekerja
profesional/mempunyai keahlian khusus), yang sedang
tidak bekerja karena sakit, menunggu pesanan dan
sebagainya.

Mencari pekerjaan (looking for work) adalah kegiatan seseorang


yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang
mencari pekerjaan, seperti:
 Yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan.
 Yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau
diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan
pekerjaan.
 Yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, tetapi karena sesuatu
hal masih berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain.
Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu
sebelum pencacahan saja, tetapi bisa dilakukan beberapa waktu
yang lalu asalkan seminggu yang lalu masih menunggu jawaban.
apabila sedang bekerja /dibebastugaskan baik akan dipanggil
kembali ataupun tidak, dan berusaha umtuk mendapatkan
pekerjaan, tidak dapat disebut sebagai pengangguran.

Mempersiapkan Usaha (establishing a new bussiness/firm) adalah


suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka
mempersiapkan suatu usaha yang ”baru”, yang bertujuan untuk

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 15

memperoleh penghasilan/keuntungan atas resiko sendiri, baik


dengan atau tanpa mempekerjakan buruh/karyawan/pegawai
dibayar maupun tidak dibayar. Mempersiapkan suatu usaha yang
dimaksud adalah apabila ”tindakan nyata”, seperti mengumpulkan
modal, perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus izin
usaha dan sebagainya telah/sedang dilakukan.

Setengah Penganggur adalah orang yang bekerja dibawah jam


kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah penganggur
dibagi menjadi dua, yaitu:
 Setengah penganggur terpaksa adalah orang yang bekerja
dibawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu),
dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia
menerima pekerjaan.
 Setengah penganggur sukarela adalah orang yang bekerja
dibawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu),
tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia
menerima pekerjaan lain (sebagian pihak menyebutnya
sebagai pekerja paruh waktu/part time worker).

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah perbandingan


antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja dan
biasanya dinyatakan dalam persen.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 16

Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) adalah perbandingan antara


jumlah penduduk yang bekerja dengan jumlah penduduk angkatan
kerja, biasanya dinyatakan dalam persen.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah perbandingan


antara jumlah angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) dengan
jumlah penduduk usia kerja, dan biasanya dinyatakan dalam persen.

Sekolah adalah kegiatan seseorang untuk bersekolah disekolah


formal, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan
tinggi selama seminggu yang lalu sebelum pencacahan. Termasuk
pula kegiatan dari mereka yang sedang libur sekolah.

Mengurus rumahtangga adalah kegiatan seseorang yang


mengurus rumahtangga tanpa mendapatkan upah, misalnya: ibu-
ibu rumahtangga dan anaknya yang membantu mengurus
rumahtangga. Sebaliknya pembantu rumahtangga yang
mendapatkan upah walaupun pekerjaannya mengurus
rumahtangga dianggap bekerja.

Kegiatan lainnya adalah kegiatan seseorang selain bekerja,


sekolah, dan mengurus rumah tangga, termasuk didalamnya
mereka yang tidak mampu melakukan kegiatan seperti orang lanjut
usia, cacat jasmani (buta, bisu dan sebagainya) dan penerima
pendapatan/pensiun yang tidak bekerja lagi selama seminggu yang
lalu.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 17

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan


yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas
tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat
(ijazah).

Jumlah jam kerja seluruh pekerjaan adalah jumlah jam kerja yang
dilakukan oleh seseorang (tidak termasuk jam kerja istirahat resmi
dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal diluar pekerjaan)
selama seminggu yang lalu. Bagi pedagang keliling, jumlah jam kerja
dihitung mulai berangkat dari rumah sampai tiba kembali di rumah
dikurangi waktu yang tidak merupakan jam kerja, seperti mampir
ke rumah famili/kawan dan sebagainya. Untuk pembantu
rumahtangga yang melakukan pekerjaan yang terus menerus
didalam rumahtangga dihitung banyaknya jam kerja sehari rata-
rata 12 jam.

Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan / tempat


bekerja / perusahaan / kantor dimana seseorang bekerja.
Klasifikasi baku yang digunakan dalam penggolongan lapangan
pekerjaan/lapangan usaha adalah Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) 2000. Dalam pengumpulan datanya menggunakan
18 kategori tetapi dalam penyajian data/publikasinya menggunakan
sembilan kategori/sektor yaitu:
1. Pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan
2. Pertambangan dan penggalian

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 18

3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas dan air
5. Bangunan/konstruksi
6. Pedagang besar, eceran, rumah makan dan hotel
7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi
8. Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan
jasa perusahaan.
9. Jasa kemasyarakatan.

Jenis pekerjaan/jabatan adalah macam pekerjaan yang sedang


dilakukan oleh orang-orang yang termasuk golongan bekerja atau
orang-orang yang sementara tidak bekerja.
Jenis/jabatan pekerjaan dibagi dalam 8 golongan besar, yaitu:
1. Tenaga professional, teknisi dan yang sejenisnya.
2. Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan.
3. Tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis.
4. Tenaga usaha penjualan.
5. Tenaga usaha jasa.
6. Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan.
7. Tenaga produksi, operator alat angkut, pekerja kasar.
8. Lainnya.

Upah/gaji bersih adalah penerimaan buruh/karyawan yang


biasanya diterima selama sebulan, berupa uang atau barang, yang
dibayarkan melalui perusahaan/kantor/majikan. Penerimaan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 19

bersih yang dimaksud tersebut adalah setelah dikurangi dengan


potongan-potongan iuran wajib, pajak penghasilan dan lainnya.

Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam


melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Mulai tahun
2001 status pekerjaan dibedakan menjadi 7 kategori, yaitu:
a. Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan
menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak
kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam
rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja
tidak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya
memerlukan teknologi atau keahlian khusus.
Contoh:
- Tukang becak yang membawa becak atas resikonya
sendiri.
- Sopir taksi yang membawa mobil atas resiko sendiri.
- Kuli-kuli di pasar, stasiun, atau tempat-tempat
lainnya yang tidak mempunyai majikan tertentu.

b. Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak


dibayar, adalah berusaha atas resiko sendiri dan
menggunakan buruh/karyawan/pegawai tak dibayar dan
atau buruh/karyawan/pegawai tidak tetap.
Contoh:

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 20

- Pengusaha warung yang dibantu oleh anggota


rumahtangganya atau orang lain yang diberi upah
tidak tetap.
- Penjaja keliling yang dibantu anggota
rumahtangganya atau seseorang yang diberi upah
hanya pada saat membantu saja.
- Petani yang mengusahakan tanah pertaniannya
dengan dibantu anggota rumahtangga atau orang
lain. Walaupun pada waktu panen, petani
memberikan bagi panen (bawon, paro, dan
sebagainya). Pembantu pemanen tidak dianggap
sebagai buruh tetap, sehingga petani digolongkan
sebagai berusaha dengan bantuan anggota
rumahtangga/buruh tidak tetap.
c. Berusaha dengan buruh tetap, adalah berusaha atas resiko
sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu orang
buruh/karyawan/pegaawai tetap yang dibayar.

Contoh:
- Pemilik toko mempekerjakan satu atau lebih buruh
tetap.
- Pengusaha sepatu yang memakai buruh tetap.

d. Buruh/Karyawan/Pegawai, adalah seseorang yang bekerja


pada orang lain atau instansi (baik pemerintah atau swasta)
dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 21

barang. Buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak


digolongkan sebagai buruh/karyawan/pegawai, tetapi
sebagai pekerja bebas. Seseorang dianggap memiliki
majikan tetap jika mempunyai 1 (satu) majikan
(orang/rumah tangga) yang sama dalam sebulan terakhir,
khusus pada sektor bangunan/konstruksi batasannya tiga
bulan. Apabila majikannya instansi/kantor/perusahaan,
boleh lebih dari satu.

e. Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja


pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih
dari satu majikan dalam sebulan terakhir) di usaha
pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan
usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima
upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan
baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.
Usaha pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan
perburuan, termasuk pertanian.

f. Pekerja bebas di non pertanian, adalah seseorang yang


bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap
(lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir), di usaha
non pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik
berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem
pembayaran harian maupun borongan.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 22

Usaha non pertanian meliputi: usaha sektor pertambangan,


industri, listrik, gas dan air, sektor konstruksi/bangunan,
sektor perdagangan, sektor angkutan, pergudangan dan
komunikasi, sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan
bangunan, tanah dan jasa perusahaan, sektor jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan.

g. Pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja


membantu orang lain yang berusaha, dengan tidak
mendapatkan upah/gaji, baik berupa uang maupun barang.
Penjelasan:
Pekerja tak dibayar tersebut dapat:
- Sebagai anggota rumahtangga dari orang yang
dibantu, seperti istri/anak yang membantu
suaminya/ayahnya bekerja di sawah.
- Bukan sebagai anggota rumahtangga tetapi keluarga
dari orang yang dibantunya, seperti famili yang
membantu melayani penjualan di warung.
- Bukan sebagai anggota rumahtangga dan bukan
keluarga dari orang yang dibantunya, seperti orang
yang membantu menganyam topi pada industri
rumah tangga tetangganya.

Kegiatan Informal diambil dari kombinasi antara jenis pekerjaan


utama dan status pekerjaan utama. Batas kegiatan informal dapat
dilihat seperti pada tabel sebagai berikut:

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 23

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 24

BAB III
KETENAGAKERJAAN

Pada bab ini akan digambarkan keadaan ketenagakerjaan


Provinsi Papua Barat pada tahun 2009. Bab ini akan membahas
mengenai situasi ketenagakerjaan melalui indikator-indikator seperti
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK), Tingkat Kesempatan Kerja (TKK), laju pertumbuhan
angkatan kerja, laju pertumbuhan kesempatan kerja, elastisitas
tenaga kerja, produktifitas pekerja, pekerja sektor informal, jenis
pengangguran yang menarik untuk dibahas.
Melalui publikasi Profil Ketenagakerjaan Provinsi Papua
Barat 2009, penulis mencoba untuk mengulas keadaan
ketenagakerjaan di provinsi kepala burung ini dengan menggunakan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 25

konsep-konsep ketenagakerjaaan yang lazim digunakan baik secara


nasional maupun internasional.

1. Penduduk Usia Kerja

Untuk bisa dibandingkan antar wilayah atau negara maka


konsep ketenagakerjaan yang digunakan adalah konsep Labour Force
Framework sesuai yang telah direkomendasikan International Labour
Organization (ILO). Penduduk dikelompokkan menjadi beberapa
bagian. Kelompok-kelompok tersebut digambarkan dalam bagan
ketenagakerjaan (lihat bab II).
Penduduk dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
penduduk usia kerja dan bukan usia kerja. Indonesia dalam
memberikan batasan umur pada penduduk usia kerja, menggunakan
batas bawah usia kerja (economically active population) 15 tahun
(meskipun dalam survei Sakernas dikumpulkan informasi mulai dari
penduduk usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja.
Pemberian batas bawah dan batas atas bervariasi dari setiap
negara sesuai dengan kebutuhan dan situasi. Sebagai contoh
penggunaan batas bawah: Mesir (6 tahun), Brazil (10 tahun), Swedia,
USA (16 tahun), Canada (14 dan 15 tahun), India (5 dan 15 Tahun),
dan Venezuela (10 dan 15 tahun), sementara penggunaan batas atas
penduduk usia kerja contohnya: Denmark, Swedia, Norwegia,
Finlandia (74 tahun), Mesir, Malaysia, Mexico (65 tahun), banyak
negara termasuk Indonesia tidak menggunakan batas atas.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 26

Dalam Profil Ketenagakerjaan ini digunakan batasan


penduduk usia kerja dengan batas bawah 15 tahun dan tanpa batas
atas menganut pada konsep yang selama ini dipakai oleh BPS.
Distribusi dan komposisi penduduk usia kerja digolongkan
menurut kelompok umur dengan interval 5 tahun untuk
memudahkan dalam menginterpretasikan dan menganalisis data
ketenagakerjaan.

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.1 Penduduk Usia Kerja menurut Kelompok Umur


Provinsi Papua Barat 2009

Pada gambar 3.2. menyajikan kondisi sebaran penduduk usia


kerja di Provinsi Papua Barat. Papua Barat yang tergolong dalam
piramida penduduk muda sangat mempunyai potensi yang besar
sebagai pemasok angkatan kerja dan juga bisa menjadi pemasok
bukan angkatan kerja. Porsi penduduk usia 15-19 tahun merupakan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 27

yang paling tinggi dan umumnya mereka berada pada usia sekolah.
Secara umum penduduk usia tersebut berpartisipasi dalam kegiatan
sekolah sehingga mereka akan menyumbang porsi besar pada
kelompok bukan angkatan kerja dan sebaliknya akan mengurangi
porsi kelompok angkatan kerja.
Dalam struktur penduduk muda, porsi penduduk usia 20-24
tahun juga menyumbang porsi yang besar pada penduduk usia kerja.
Ketika hanya sebagian kecil saja yang terlibat dalam kegiatan sekolah
maka penduduk usia ini akan menjadi penyumbang yang besar pada
kelompok angkatan kerja walaupun tidak semua terserap dalam
lapangan pekerjaan. Penduduk yang lebih banyak terdistribusi pada
umur-umur muda memaksa Provinsi Papua Barat harus bersiap
untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Dalam
grafik terlihat bahwa jumlah penduduk usia kerja yang berada pada
interval umur 20-24 dan 25-29 tahun memiliki proporsi tinggi. Pada
interval umur tersebut biasanya banyak terdapat new entrance pada
dunia kerja. Setelah lulus dari SLTA atau pendidikan tinggi, lapangan
kerja siap diperebutkan oleh para pencari kerja. Dengan besarnya
komposisi penduduk pada usia tersebut tidak dapat dihindari bahwa
penyediaan lapangan pekerjaan harus sebanding dengan penduduk
usia kerja yang siap masuk angkatan kerja.
Para pendatang baru di pasar kerja yang jumlahnya tidak
sedikit ini akan mendatangkan masalah baru jika lapangan pekerjaan
yang tersedia tidak mampu menyerap mereka semua. Meskipun
mereka berperan sebagai penyebab meningkatnya partisipasi

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 28

angkatan kerja, namun bila mereka tidak bekerja maka mereka akan
masuk ke dalam kelompok para pencari kerja atau pengangguran.
Pada kenyataannya, pertambahan jumlah angkatan kerja tidak
secepat pertambahan persediaan lapangan pekerjaan. Akibatnya
jumlah lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah
pencari kerja yang jumlahnya terus meningkat. Lapangan pekerjaan
semakin menjadi rebutan sekian banyak para pencari kerja yang
yang terdapat di pasar kerja. Mereka yang kalah bersaing harus
tersingkir dari lapangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
Semakin lebar gap antara jumlah lapangan pekerjaan yang
tersedia dengan jumlah para pencari kerja, maka semakin lama
jumlah pengangguran juga akan terakumulasi sehingga beban pasar
kerja untuk menyediakan lapangan pekerjaan akan semakin berat.
Sebuah indikator digunakan untuk melihat ketergantungan
suatu kelompok umur tertentu terhadap suatu kelompok yang secara
ekonomi dapat dikatakan produktif. Dependency Ratio (rasio
ketergantungan/beban tanggungan) dipakai untuk mengetahui
berapa besar beban tanggungan penduduk yang produktif (umur 15-
64 tahun) terhadap penduduk yang tidak produktif yaitu penduduk
muda (kurang dari 15 tahun) dan penduduk tua (65 tahun ke atas).
Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi
yang penting. Keuntungan-keuntungan ekonomi dari demografi
dapat diperoleh dengan memanfaatkan kondisi dependency ratio.
Semakin tinggi persentase dependency ratio menunjukkan semakin
tinggi beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk
membiayai hidup penduduk yang tidak produktif. Sedangkan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 29

persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan


semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif
untuk membiayai penduduk yang tidak produktif.

Tabel 3.1 Dependecy ratio, youth DR dan Old DR Papua Barat


2005-2009
Dependency Ratio 2005 2006 2007 2008 2009

Youth DR 51,03 49,77 48,12 47,05 46,12


Old DR 2,07 2,30 2,27 2,15 2,27
Dependency Ratio 53,10 52,07 50,39 49,19 48,39

Sumber: Proyeksi SP2000 dan SUPAS2005

Semakin lama dependency ratio Papua Barat semakin


menurun. Pada tahun 2005 tercatat sebesar 53,10 persen dan terus
menurun hingga mencapai 48,39 persen pada tahun 2009. Dari sudut
ekonomi kondisi ini sangat menguntungkan karena setiap 1 orang
penduduk tidak produktif ditanggung oleh 2 orang yang produktif.
Ditambah lagi ketergantungan penduduk muda (youth DR) lambat
laun menurun yang artinya pengeluaran tinggi untuk menghidupi
penduduk usia muda semakin berkurang. Konsumsi kelompok ini
merupakan yang paling tinggi.
Limpahan penduduk yang produktif ini akan memberikan
output maksimal apabila mereka semua dapat terserap dalam
lapangan pekerjaan yang akan berdampak positif pada
perkembangan ekonomi di Papua Barat.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 30

Didalam tabel 3.2, dapat diperoleh informasi persebaran


penduduk menurut kelompok umur dari masing-masing
kabupaten/kota. Betapa mantapnya kekuatan potensial yang
meskinya dapat dihasilkan dengan jumlah penduduk usia kerja yang
besar untuk menggerakkan roda perekonomian bila penduduk usia
kerja tersebut mampu bersaing dalam dunia kerja. Dengan catatan
man power sebanyak itu mendapatkan tempat untuk berusaha dan
bekerja. Namun bila tidak tertampung dalam pasar kerja justru
potensi negatiflah yang nantinya akan dihasilkan.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


Tabel 3.2 Penduduk Papua Barat Berusia 15 tahun ke atas yang Masuk Angkatan Kerja menurut Kabupaten/Kota, 2009

Golongan Umur / Age Group


Kabupaten /Kota
Jumlah/ Total
( Regency/Municipality) 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

Fakfak 711 3,127 2,863 3,321 3,892 3,228 2,323 2,153 1,318 253 114 23,303
Kaimana 2,271 2,760 2,449 2,571 2,502 2,102 1,676 849 802 487 198 18,667
Teluk Wondama 666 1,886 1,388 1,336 1,694 1,509 1,208 747 289 104 256 11,083
Teluk Bintuni 924 4,010 5,103 3,262 3,660 3,166 2,168 1,556 787 359 316 25,311
Manokwari 8,264 17,664 12,911 15,836 10,587 10,137 7,014 8,125 3,652 1,861 1,542 97,593
Sorong Selatan 1,356 4,519 4,860 5,257 6,123 3,924 2,206 3,167 1,136 200 516 33,264
Sorong 2,620 5,045 5,127 4,659 7,669 6,912 5,291 5,733 3,030 1,154 866 48,106
Raja Ampat 1,900 3,074 1,946 1,857 2,776 1,452 3,141 1,888 912 873 612 20,431
Kota Sorong 4,055 9,703 13,783 9,543 11,087 9,910 8,481 2,840 3,600 1,065 560 74,627

Jumlah/Total 22,767 51,788 50,430 47,642 49,990 42,340 33,508 27,058 15,526 6,356 4,980 352,385
P a g e | 31

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 32

Sekilas tampak komposisi jumlah penduduk usia kerja di


Provinsi Papua Barat terkonsentrasi di kelompok umur muda.
Kondisi ini memungkinkan banyak terdapat angkatan kerja baru
yang siap bersaing di pasar tenaga kerja. Persaingan dalam
mendapatkan pekerjaan terjadi bukan hanya terbatas pada para new
comers yang baru lulus dari jenjang peendidikan, tetapi juga para
pencari kerja yang sebelumnya pernah bekerja maupun yang masih
bekerja tetapi kurang puas dengan pekerjaan yang dijalaninya
sekarang, sehingga masih berusaha untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik.
Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari adalah dua kota yang
paling padat penduduknya di Provinsi Papua Barat. Kabupaten
Manokwari sebagai ibukota provinsi yang sedang membangun dan
Kota Sorong sebagai pusat industri dan perdagangan di Papua Barat,
menarik setiap orang untuk bekerja dan menetap, menjadikan kedua
wilayah tersebut mempunyai jumlah penduduk yang paling besar di
Papua Barat, demikian pula dengan jumlah penduduk usia kerja
tentu saja berkorelasi positif dengan jumlah penduduknya. Besarnya
jumlah penduduk usia kerja bagaikan pedang bermata dua, ada sisi
positif dan negatif, tergantung pada pemerintah daerah dalam
mengelola wilayahnya apakah dapat mengasah potensi sumber daya
manusianya untuk mendulang permata atau bisa jadi akan menuai
bencana yang ditimbulkan dari sampah masyarakat yang salah
kelola.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 33

2. Angkatan Kerja

Angkatan kerja (labour force) adalah Penduduk usia kerja


yang bekerja atau memiliki pekerjaan namun sementara tidak
bekerja dan termasuk didalamnya pengangguran. Dalam kurun
waktu sejak Agustus 2007 sampai dengan keadaan Agustus 2009,
jumlah angkatan kerja terus mengalami peningkatan. Pada Agustus
2007 jumlah angkatan kerja mencapai 296.146 orang dan terus
bertambah menjadi 352.385 pada Agustus 2009.
Peningkatan penduduk usia kerja yang diikuti dengan
bertambahnya jumlah angkatan kerja merupakan suatu kondisi
ekonomi positif yang menunjukkan adanya peningkatan peran serta
penduduk usia kerja dalam pasar kerja.

Sumber: Sakernas Agustus 2007-2009, Papua Barat

Gambar 3.2. Jumlah Angkatan Kerja menurut Jenis Kelamin


Tahun 2007-2009

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 34

Berdasarkan jenis kelamin, meskipun jumlah laki-laki hampir


dua kali lipatnya perempuan, keduanya sama-sama mengalami
peningkatan dalam hal jumlah angkatan kerja sejak 2007 hingga
2009.
Peran serta aktif penduduk usia kerja dalam pasar kerja
ditunjukkan oleh semakin banyaknya penduduk usia kerja yang
terserap dalam lapangan kerja. Ketika jumlah angkatan kerja terus
bertambah, pertambahan tersebut lebih banyak menyumbang
besaran jumlah penduduk yang bekerja atau terserap pada lapangan
pekerjaan. Sebaliknya jumlah yang menganggur dari 2007-2009
terus mengalami penurunan. Keadan ini menunjukkan pasar kerja
Papua Barat selang 2007 hingga 2009 bersifat positif dalam hal
mengurangi pengangguran.
Tabel 3.3 menginformasikan bahwa total dari angkatan kerja
di Provinsi Papua Barat adalah sebanyak 352.385 orang dengan
komposisi 229.006 orang berjenis kelamin laki-laki dan 123.379
orang berjenis kelamin perempuan. Artinya bahwa angkatan kerja di
Papua Barat pada tahun 2009 sebagian besarnya adalah laki-laki.
Perbandingan angkatan kerja laki-laki terhadap angkatan kerja
perempuan hampir 6:4.
Kabupaten Manokwari mempunyai labour force yang paling
besar diantara kabupaten/kota lainnya, yaitu sebesar 97.593 orang,
sedangkan Kabupaten Teluk Wondama jumlah angkatan kerjanya
yang paling kecil, yaitu 11.083 orang.
Terkait dengan isu gender, komposisi angkatan kerja disetiap
kabupaten/kota didominasi oleh laki-laki Sedangkan untuk

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 35

Kabupaten Manokwari dan Sorong Selatan gap antara laki-laki dan


perempuan tidak terlalu jauh, berarti kesetaraan gendernya lebih
baik dari kabupaten lainnya.

Tabel 3.3. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Kabupaten/ Kota dan


Jenis Kelamin, 2009

Jenis Kelamin
Kabupaten/Kota Total
Laki-laki Perempuan

(1) (2) (3) (4)


Fakfak 17,156 6,147 23,303
Kaimana 13,669 4,998 18,667
Teluk Wondama 7,962 3,121 11,083
Teluk Bintuni 18,033 7,278 25,311
Manokwari 54,744 42,849 97,593
Sorong Selatan 18,845 14,419 33,264
Sorong 33,481 14,625 48,106
Raja Ampat 14,723 5,708 20,431
Kota Sorong 50,393 24,234 74,627
Papua Barat 229,006 123,379 352,385
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

2.1 Penduduk Bekerja

Angkatan kerja, dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu


penduduk yang bekerja dan pengangguran. Penduduk yang bekerja
juga dibagi menjadi dua, penduduk yang sedang bekerja dan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 36

penduduk yang bekerja tetapi selama referensi survei seminggu yang


lalu sementara tidak bekerja (cuti, sakit, mogok, dll). Dalam tulisan
ini sementara tidak bekerja tidak diulas karena persentasenya sangat
kecil.
Pengelompokan lapangan pekerjaan yang dilaksanakan
dalam Sakernas Agustus 2009 berdasarkan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005. Penyusunan KBLI juga
berpedoman pada International Standard Industrial Classification of
All Economic Activities (ISIC) revisi 3 tahun 1990. Namun pada
penyajian datanya hanya dikelompokkan menjadi sembilan sektor
besar dan atau berdasarkan sektor primer, sekunder dan tersier
tergantung dari keperluan analisis.
Sembilan sektor yang dimaksud adalah sektor pertanian,
pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik/gas/air,
sektor konstruksi/bangunan, perdagangan,
angkutan/pergudangan/komunikasi, lembaga keuangan & jasa
perusahaan, dan jasa kemasyarakatan. Namun kadangkala untuk
keperluan analisis global, sektor-sektor tersebut disederhanakan lagi
menjadi sektor primer (agriculture), sektor sekunder (manufacture),
dan sektor tersier (sevices).
Berdasarkan argument teknis, seperti yang telah
direkomendasikan oleh International labour Organization (ILO)
sebagaimana tercantum dalam buku “Surveys of Economically Avtive
Population, Employment, Unemployment and Underemployment” an
ILO Manual Concept and Methods. ILO 1992, untuk memperhatikan
the one hour criterion, yaitu digunakannya konsep/definisi satu jam

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 37

dalam referensi tertentu untuk menentukan seseorang dikategorikan


sebagai (employed) bekerja.
Berdasarkan hal dimaksud, maka dalam pelaksanaan
Sakernas digunakan konsep/definisi “bekerja paling sedikit 1 jam
dalam seminggu yang lalu (refensi survei)” untuk mengkategorikan
seseorang (currently economically active population) sebagai bekerja,
tanpa melihat lapangan usaha, jabatan, maupun status pekerjaannya.
Konsep bekerja satu jam selama seminggu yang lalu juga
digunakan oleh banyak Negara antara lain Pakistan, Filipina,
Bulgaria, Hungaria, Polandia, Rumania, Federasi Negara-negara Rusia
dan yang lainnya.

Tabel 3.4. Jumlah Penduduk yang Bekerja Didalam Angkatan Kerja


Tahun 2009
Jenis Kelamin
Kabupaten/Kota Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Fakfak 15,039 4,517 19,556
Kaimana 12,673 4,145 16,818
Teluk Wondama 7,523 2,982 10,505
Teluk Bintuni 16,768 6,288 23,056
Manokwari 53,685 41,877 95,562
Sorong Selatan 18,198 13,917 32,115
Sorong 31,845 13,872 45,717
Raja Ampat 14,292 5,040 19,332
Kota Sorong 43,074 20,024 63,098
Papua Barat 213,097 112,662 325,759
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 38

Jumlah penduduk yang bekerja didalam angkatan kerja di


Provinsi Papua Barat berjumlah 325.759 orang dengan proporsi
213.097 berjenis kelamin laki-laki (65,42 persen) dan jumlah
penduduk perempuan yang bekerja sebanyak 112.662 orang (33,21
persen). Perbandingan pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di
Papua Barat pada tahun 2009 adalah 7:3. Artinya adalah dari 7
pekerja laki-laki terdapat 3 pekerja perempuan. Kondisi serupa
berlaku untuk sebagian kabupaten/kota kecuali Fakfak dan Kaimana
berbanding 8:2, dan Manokwari dan Sorong Selatan berbanding 6:4.
Di era emansipasi wanita, kesetaraan gender menuntut
persamaan antara laki-laki dan perempuan disegala bidang, baik itu
pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal memperoleh pekerjaan.
Dari tabel 3.4. belum tampak adanya keseimbangan antara
penduduk laki-laki dan penduduk perempuan yang bekerja. Peran
perempuan yang bekerja yang paling menonjol terdapat di
Kabupaten Manokwari dan Sorong Selatan yang ditunjukkan dengan
perbandingan seperti diuraikan sebelumnya. Manokwari dan Sorong
Selatan memiliki porsi pekerja perempuan yang paling besar
diantara kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua Barat. Angka ini
cukup menunjukkan bahwa perempuan Kabupaten Manokwari dan
Sorong Selatan mampu bersaing dengan penduduk laki-laki dalam
hal memperoleh pekerjaan.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 39

2.1.1 Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama

Penduduk bekerja memasuki berbagai variasi lapangan


pekerjaan yang macamnya sangat banyak. Variasi lapangan
pekerjaan ini tetap diakomodir sesuai dengan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sampai dengan lima digit (meliputi
18 kategori/sektor) sehingga dapat menangkap lapangan pekerjaan
dengan detail. Namun dalam penyajian datanya tidak memungkinkan
untuk menampilkan seluruh lapangan pekerjaan lima digit kode
KBLI. Kemudian lapangan-lapangan pekerjaan tersebut
dikelompokkan dalam sembilan sektor lapangan pekerjaan utama.
Pada keadaan Agustus 2009, sektor pertanian merupakan
sektor yang paling banyak digeluti oleh sebagian besar penduduk di
Papua Barat, yang menjadikan sektor ini menempati peringkat
pertama dengan 56,60 persen. Sedangkan sektor jasa
kemasyarakatan dan perdagangan berada pada peringkat kedua dan
ketiga dengan besar masing-masing 15,89 persen dan 10,39 persen.
Sementara itu sektor keuangan-jasa perusahaan dan
listrik/air/gas menjadi sektor yang jumlah pekerjanya paling sedikit
diantara sektor Listrik, Gas dan Air yaitu masing-masing sebesar 0,53
persen dan 0,25 persen. Kedua sektor ini juga perkembangannya
sangat fluktuatif dari 2006 hingga 2009
Tabel 3.5. mengilustrasikan bahwa pertanian adalah
lapangan pekerjaan yang mayoritas dilakukan oleh penduduk
Provinsi Papua Barat. Dominasi sektor pertanian dari periode

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 40

Agustus 2006 bertahan sampai dengan keadaan agustus 2009


dengan persentase yang terbesar.
Tabel 3.5. Persentase Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Papua Barat
Tahun 2006-2009
Lapangan Pekerjaan
2006 2007 2008 2009
Utama
(1) (2) (3) (4) (5)
Pertanian 63.68 55.69 58.79 56.6
Pertambangan 1.28 2.94 3.08 3.02
Industri 2.09 3.69 3.59 3.74
Listrik, Gas & Air 0.07 0.48 0.10 0.25
Bangunan 6.68 4.35 4.22 4.77
Perdagangan 6.04 11.94 9.7 10.39
Angkutan dan
8.82 6.97 5.74 4.82
Pergudangan
Keuangan & Jasa
0.14 0.53 0.84 0.53
Perusahaan

Jasa Kemasyarakatan 11.2 13.41 13.94 15.89

Total 100 100 100 100


Sumber: Sakernas Agustus 2006-2009, Papua Barat

Kebanyakan sektor bergerak fluktuatif kecuali sektor Jasa


Kemasyarakatan, Pertanian, dan Angkutan. Pertanian dan Angkutan
semakin lama semakin merosot persentasenya. Ini menunjukkan
sektor ini semakin tidak diminati. Pekerja yang jumlahnya terus
merangkak naik tidak meningkat persentase pekerja di kedua sektor
ini.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 41

Sebaliknya dengan jasa kemasyarakatan yang secara pasti


persentasenya semakin menanjak tinggi sepanjang tahun 2006-2009.
Penggambaran ini menguatkan asumsi bahwa pekerjaan di sektor ini
dianggap pilihan terakhir terbaik dan menjadi incaran angkatan kerja
di Papua Barat. Stabilitas pekerja di sektor ini sangat tinggi.
Jika Pertanian, Angkutan dan Jasa Kemasyarakatan
mengalami pergerakan yang konsisten, lain halnya dengan beberapa
sektor lainnya. Pergerakannya berfluktuatif, kadang naik kadang
turun. Dapat disimpulkan bahwa pekerja pada sektor-sektor ini
mudah keluar dan masuk. Masih banyak yang berkeinginan
berpindah ke sektor lainnya.
Ada fakta menarik dari fenomena diatas, yaitu sektor
pertanian yang berangsur menurun, dan sektor jasa kemasyarakatan
yang terus mengalami perkembangan. Benang merah yang dapat
ditarik dari fenomena ini adalah bahwa di Papua Barat ada
kecenderungan sedang terjadi transisi atau pergeseran dari sektor
primer (agriculture) ke sektor sekunder (manufacture) dan sektor
tersier (services).
Pola persebaran penduduk di sektor Agriculture, Manufacture
dan Services atau biasa disingkat dengan sektor A, M dan S
digambarkan pada tabel 3.6. dibawah ini. Namun, perlu dijelaskan
terlebih dahulu bahwa sektor A (agriculture) termasuk didalamnya
adalah sektor pertanian. Sektor M (manufactures) meliputi sektor
pertambangan, industri, listrik, air, gas, dan bangunan/konstruksi.
Sedangkan sektor S (services), yang termasuk didalamnya adalah

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 42

sektor perdagangan, angkutan, pergudangan, keuangan, jasa


perusahaan, dan jasa kemasyarakatan.
Tabel 3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Papua
Barat Tahun 2006-2009
Lapangan Pekerjaan
2006 2007 2008 2009
Utama
(1) (2) (3) (4) (5)
Agriculuture 63.68 55.69 58.79 56.59
Manufacture 10.12 11.46 10.99 11.78
Services 26.2 32.85 30.22 31.63
Total 100 100 100 100
Sumber: Sakernas Agustus 2006-2009, Papua Barat

Sepanjang tahun 2006-2009 tampak bahwa dominasi sektor


Agriculture semakin menurun, dan pada dasarnya sektor
Manufacture dan Services semakin meningkat. Pergeseran struktur
pekerjaan dan perekonomian di Papua Barat sedang berlangsung.
Gambaran modernisasi dan kemajuan masyarakat di Papua Barat
sedang merebak. Penduduk yang mulanya mayoritas adalah para
pekerja pertanian bergeser ke sektor modern seperti industri dan
jasa-jasa. Transisi ini tidak mungkin dihindari karena tuntutan
globalisasi. Tetapi tidak serta merta kita mengiyakan proses ini
terjadi karena masih banyak faktor yang harus dihubung-hubungkan
agar bisa ditinjau secara menyeluruh.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 43

Tabel 3.7. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Kabupaten/Kota


dan Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun 2009
Lapangan Pekerjaan Utama
Kabupaten/Kota Total
A M S
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 8,516 2,599 8,441 19,556
Kaimana 11,535 618 4,665 16,818
Teluk Wondama 5,754 952 3,799 10,505
Teluk Bintuni 13,459 3,841 5,756 23,056
Manokwari 71,528 6,160 17,874 95,562
Sorong Selatan 23,704 1056 7,355 32,115
Sorong 26,166 9,917 9,634 45,717
Raja Ampat 17,618 229 1,485 19,332
Kota Sorong 6,088 12,993 44,017 63,098
PAPUA BARAT 184,368 38,365 103,026 325,759
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Sektor agriculture begitu mendominasi lapangan pekerjaan


utama di semua kabupaten di Provinsi Papua Barat kecuali Kota
Sorong yang merupakan satu-satunya wilayah administrasi di
Provinsi Papua Barat yang berstatus kota (dulu kotamadya). Pola
yang ada di Kota Sorong menggambarkan keadaan mirip dengan
karakteristik perkotaan pada kota-kota lainnya di Indonesia. Pada
wilayah perkotaan memang sektor pertanian porsinya sangat kecil,
justru sektor services yang paling berkembang untuk daerah ini.
Sedangkan untuk kabupaten lainnya, lapangan pekerjaan utamanya
mempunyai pola yang sama satu sama lain, yaitu didominasi oleh

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 44

sektor pertanian (A), kemudian sektor services berada diurutan


kedua dan disusul oleh sektor manufacture berada ditempat terakhir.
Rendahnya sektor manufacture di Papua Barat diduga karena
masih sedikitnya investasi yang masuk ke daerah yang jumlah
sumber daya alamnya sangat melimpah ini. Infrastruktur yang ada
sekarang ini belum mampu menarik investor untuk membuka usaha
industri baru di Papua Barat. Aksesibilitas yang sulit dan mahal
sangat mempengaruhi sisi marketing hasil produksi sehingga akan
menghalangi iklim investasi. Proses pembebasan tanah, hak ulayat
adat dan tipologi geografi Papua Barat belum kondusif dan belum
mampu mendukung investasi manufaktur.
Sama halnya dengan penduduk yang bekerja menurut
lapangan pekerjaan secara total, komposisi penduduk yang bekerja
menurut jenis kelamin juga mempunyai komposisi yang hampir
sama. Pada kabupaten lainnya kecuali Kota Sorong dan Kabupaten
Fakfak, sektor pertanian (Agrikultur) dan yang non pertanian
(Manufaktur dan Service) proporsinya nyaris seimbang (Teluk
Wondama, Teluk Bintuni, Sorong), sedangkan di Raja Ampat, Sorong
Selatan, Manokwari, dan Kaimana sektor Pertanian (Agrikultur)
masih mendominasi dengan kisaran yaitu 70 persen lebih.
Sebaliknya di Kota Sorong dan Kabupaten Fakfak sektor Non
Pertanian (Manufaktur dan Service) melebihi sektor pertanian,
bahkan di Kota Sorong sangat dominan (hampir 90 persen).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 45

Tabel 3.8. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Kabupaten/Kota, Jenis


Kelamin dan Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun 2009
Kabupaten/ Laki-Laki Perempuan
Total Total
Kota A M S A M S
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Fakfak 47.18 16.43 36.39 100 31.46 2.83 65.71 100
Kaimana 68.45 4.88 26.67 100 69.00 0.00 31.00 100
Teluk
53.86 12.65 33.48 100 57.08 0.00 42.92 100
Wondama
Teluk
52.50 22.33 25.17 100 74.05 1.54 24.41 100
Bintuni
Manokwari 72.40 10.86 16.74 100 77.99 0.79 21.22 100
Sorong
73.35 5.40 21.24 100 74.41 0.52 25.07 100
Selatan
Sorong 55.53 26.88 17.59 100 61.15 9.78 29.07 100
Raja Ampat 94.53 1.60 3.87 100 81.51 0.00 18.49 100
Kota Sorong 10.46 25.26 64.27 100 7.90 10.54 81.56 100
PAPUA
54.69 16.08 29.23 100 60.20 3.64 36.16 100
BARAT

Analisis berdasarkan status pekerjaan pekerja sangat


berguna untuk melihat bagaimana pola antar sektor pekerjaan
(AMS). Ternyata pekerja dengan status berusaha sendiri paling
besar persentasenya ada pada sektor S dibandingkan dengan sektor
A dan sektor M.
Menurut status berusaha dibantu buruh tidak tetap tercatat
persentase paling banyak ada pada sektor A. Budaya rumahtangga
pertanian di pedesaan melibatkan pekerja keluarga tanpa dibayar
menjadi penyebab besarnya persentase pekerja pada status ini.
Persentase pekerja dengan status pekerja tak dibayar jika

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 46

dibandingkan dengan sektor M dan S paling tinggi persentasenya


yaitu 36.80 persen.

Tabel 3.9. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Status


Pekerjaan Utama dan Lapangan Pekerjaan Utama (AMS) Tahun
2009
Lapangan Pekerjaan
Status Pekerjaan utama Total
A M S
(1) (2) (3) (4) (5)
Berusaha sendiri 16.62 15.33 23.73 18.72
Berusaha dibantu buruh tidak
39.39 12.99 7.85 26.31
tetap/buruh tdk dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap/buruh
0.53 4.10 3.04 1.74
dibayar
Buruh/karyawan/pegawai 4.03 56.17 57.36 27.03
Pek bebas pertanian 2.64 0.00 0.00 1.49
Pekerja bebas non pertanian 0.00 9.67 1.79 1.71
Pek tak dibayar 36.80 1.74 6.22 23.00
Papua Barat 100 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Pada status pekerjaan dibantu oleh buruh tetap/buruh


dibayar, persentase tertinggi ada disektor M dan hampir sebanding
dengan sektor S, yaitu pada kisaran 4,10 dan 3,04 persen. Pekerja
sektor A yang berstatus ini persentasenya jauh lebih kecil.
Jika melihat status pekerja sebagai
buruh/karyawan/pegawai, tampak bahwa persentase terbesarnya

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 47

ada pada sektor S dan M. Nilainya sangat berbanding jauh dengan


sektor A, yaitu 14:1.
Pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap/dibayar
dan status buruh/karyawan/pegawai dikelompokkan ke dalam
pekerja sektor formal. Dari tabel di atas terbukti bahwa sektor
informal paling dominan berada pada sektor A (95,44 persen),
sebaliknya sektor M dan S paling banyak pada sektor Formal (60,27
dan 60,40 persen).

2.1.2 Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengakomodir


jenis pekerjaan utama dari Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia
(KBJI) 2002 yang mengacu pada ISCO 1988 dengan uraian jenis
pekerjaan yang lebih rinci. Agar bisa dibandingkan dengan data-data
sebelumnya, dalam penyajian ini klasifikasi tersebut dikonversikan
ke Klasifikasi Jenis Pekerjaan Indonesia (KJI) 1982. Dalam KBJI, jenis
pekerjaan dikelompokkan menjadi 10 golongan pokok, yaitu:
golongan 1 terdiri dari pejabat lembaga legislatif, pejabat tinggi, dan
manager; golongan 2: tenaga profesional; golongan 3: teknisi dan
asisten tenaga profesional; golongan 4: tenaga tata usaha; golongan
5: teanga usaha jasa dan tenaga penjualan; golongan 6: tenaga usaha
pertanian dan peternakan; golongan 7: tenaga pengolahan dan
kerajinan; golongan 8: operator dan perakit mesin; golongan 9:
tenaga kasar dan tenaga kebersihan; dan golongan 10: anggota TNI
dan POLRI.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 48

Tabel 3.10. Jumlah Penduduk yang Bekerja menurut Jenis Pekerjaan


Utama Tahun 2009

Jenis Pekerjaan Utama Jumlah Persentase

(1) (2) (3)


Tenaga Profesional, Teknisi Dan
22,648 6.95
Tenaga Lain Ybdi
Tenaga Kepemimpinan Dan
4,291 1.32
Ketatalaksanaan
Pejabat Pelaksana, Tenaga Tata
15,526 4.77
Usaha Dan Tenaga Ybdi
Tenaga Usaha Penjualan 30,531 9.37
Tenaga Usaha Jasa 9,820 3.01
T U Tani, Kebun, Ternak, Ikan, Hutan
181,011 55.57
Dan Perburuan
Lainnya 56,879 17.46
Tenaga Produksi Op Alat Angkutan
5,053 1.55
Dan Pekerja Kasar
Papua Barat 325,759 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Sesuai dengan mayoritas penduduknya yang berprofesi di


kegiatan pertanian, maka sudah bisa dipastikan bahwa komposisi
jenis pekerjaan utama di Provinsi Papua Barat sebagian besar adalah
sebagai tenaga usaha tani, kebun, ternak, ikan, hutan dan perburuan
dengan persentase mencapai 55,57 persen. Kondisi ini konsisten
dengan keadaan penduduk yang bekerja mayoritas pada lapangan
pekerjaan utama pada sektor pertanian yang mencapai 56,60 persen.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 49

Sedangkan tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan


adalah jenis pekerjaan yang paling sedikit di Papua Barat, yaitu
sebesar 1,32 persen. Namun kecilnya persentase pada jenis
pekerjaan ini masih dinilai relevan, karena dalam piramida sebuah
organisasi maka semakin tinggi level pimpinan maka jumlahnya akan
semakin sedikit.

2.1.3 Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama

Dalam bekerja, seseorang mempunyai status masing-masing


sesuai dengan pekerjaan apa yang sedang dijalani. Status pekerjaan
utama adalah jenis kedudukan seseorang dalam melakukan
pekerjaan pada suatu unit usaha/kegiatan. Status pekerjaan utama
dibedakan menjadi tujuh kelompok pada saat proses pengumpulan
data, namun kadang-kadang dalam melakukan analisis status usaha
yang mempunyai karakteristik yang hampir sama dapat digabungkan
sesuai kebutuhan penyajian dan analisis data. Bila penduduk yang
bekerja menurut status pekerjaan utama dikombinasikan dengan
jenis pekerjaan utama maka akan diperoleh kategori apakah
seseorang tergolong bekerja di sektor formal atau informal. (lihat
pembahasan bab II).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 50

Tabel 3.11. Persentase Penduduk Bekerja menurut Kabupaten/ Kota dan


Status Pekerjaan Utama Tahun 2009
Status Pekerjaan Utama
Ber Buruh Pek
Kabupaten/Kota Ber Pek Total
usaha /Kary Tak
usaha
dibantu Dibaya
sendiri /Peg Bebas
buruh r
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Fakfak 48.13 6.26 38.68 0.49 6.44 100
Kaimana 26.36 31.18 17.38 2.19 22.89 100
Teluk Wondama 41.55 18.58 23.68 0.44 15.74 100
Teluk Bintuni 18.86 24.78 31.38 7.16 17.82 100
Manokwari 8.35 34.28 15.42 4.29 37.66 100
Sorong Selatan 10.77 42.72 16.93 1.01 28.57 100
Sorong 12.06 42.96 18.51 4.50 21.97 100
Raja Ampat 28.80 31.91 13.91 0.24 25.14 100
Kota Sorong 25.19 7.85 57.89 2.75 6.32 100
PAPUA BARAT 18.72 28.05 27.03 3.20 23.00 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Status pekerja berusaha dibantu buruh (tetap maupun tidak


tetap) menduduki posisi paling tinggi yaitu mencapai 28,05 persen.
Dan hampir sepertiga pekerja di Papua Barat berstatus sebagai
buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan yang berstatus berusaha
sendiri tidak mencapai seperlima pekerja yang ada. Yang cukup
memprihatinkan dan perlu diperhatikan adalah persentase pekerja
yang berstatus sebagai pekerja tak dibayar yang mencapai nilai
hampir setara dengan buruh/karyawan/pegawai. Berarti hampir
seperempat dari pekerja yang ada di Papua Barat pada tahun 2009

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 51

bekerja tanpa memperoleh penghasilan. Mereka hanya membantu


keluarga untuk memperoleh penghasilan tanpa dibayar.
Bila diperhatikan menurut kabupaten/kota, nampak variasi
besaran persentase status pekerjaan utama disetiap daerah. Untuk
status pekerjaan berusaha sendiri, Kabupaten Fakfak mempunyai
persentase paling besar yaitu 48,13 persen. Hampir separuh pekerja
di Fakfak berstatus berusaha sendiri. Sebaliknya, di kabupaten
tersebut jumlah pekerja keluarga yang berstatus tidak dibayar
menduduku posisi dua terbawah dengan capaian 6,44 persen.
Kabupaten Sorong merupakan penyumbang terbanyak pada
status pekerjaan berusaha dibantu buruh (tetap/tidak tetap atau
dibayar/tidak dibayar) dengan persentase sekitar 42,96 persen.
Sedangkan Fakfak sebagai penyumbang terkecil pada status
pekerjaan ini dengan persentase hanya 6,26 persen.
Persentase terbesar pekerja dengan status pekerjaan utama
sebagai buruh/pegawai/karyawan terletak di Kota Sorong yang
masih menjadi pusat perekonomian di Provinsi Papua Barat. Kota
Sorong memberikan share yang paling besar pada status pekerjaan
ini sebesar 57,89 persen. Separuh lebih pekerja Kota Sorong
berstatus buruh/karyawan/pegawai. Tingginya persentase pada
status pekerjaan sebagai buruh/pegawai/karyawan karena di Kota
Sorong adalah sebagai ‘pintu masuk utama’ pulau Papua. Investasi
di Kota Sorong sangat banyak sehingga berdiri berbagai perusahaan
dengan kapasitas besar, baik perusahaan industri dan pertambangan.
Keadaan Kota Sorong mengundang investor menanamkan
investasinya di daerah produsen minyak bumi dan eksportir hasil

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 52

laut beserta olahannya. Skala besar ataupun sedang pada perusahaan


yang ada di Kota Sorong menarik banyak pekerja yang terserap
sebagai buruh/karyawan/pegawai.
Yang perlu dicermati adalah pekerja dengan status pekerja
keluarga yang tak dibayar ternyata paling besar persentasenya ada di
ibukota provinsi Papua Barat, Manokwari. Mendekati empat puluh
persen pekerja di Kabupaten Manokwari pada tahun 2009 tak
berpenghasilan meskipun mereka melakukan usaha/kerja
Tabel 3.12. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Status
Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin
Tahun 2009
Jenis Kelamin
Status Pekerjaan Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Berusaha sendiri 21.56 13.34 18.72
Berusaha dibantu buruh 36.50 12.06 28.05
Buruh/Karyawan/Pegawai 30.07 21.30 27.03
Pekerja Bebas 4.41 0.91 3.20
Pekerja Tak Dibayar 7.46 52.39 23.00
Papua Barat 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Penduduk laki-laki masih lebih tinggi persentasenya untuk


status pekerjaan utama. Hal ini terlihat pada tabel 3.12 untuk semua
status pekerjaan utama kecuali pekerja tidak dibayar.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 53

Sementara untuk pekerja tidak dibayar, persentase pekerja


perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja laki-laki yaitu
52,39 persen. Partisipasi dalam lapangan pekerjaan terimbas oleh
status hubungan mereka dengan salah-satu keluarga yang bekerja.
Mereka berasal dari keluarga sendiri dan umumnya adalah berjenis
kelamin perempuan (istri atau anak perempuan) yang masih
memiliki hubungan famili.

2.1.4 Bekerja Menurut Pendidikan

Kualitas ketenagakerjaan diukur berdasarkan partisipasi


angkatan kerja, tingkat pengangguran, tingkat pendidikan pekerja,
produktifitas tenaga kerja, dan tingkat upah. Gambaran pekerja
menurut tingkat pendidikan dapat digunakan untuk melihat kondisi
ketenagakerjaan saat kini bahkan prediksi di masa yang akan datang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik kualitas
ketenagakerjaan.
Tingkat pendidikan berbanding lurus dengan produktifitas
dan tingkat upah. Pendidikan yang semakin tinggi berbanding lurus
dengan kemampuan dan keterampilan kerja. Namun dibalik itu
semua, tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh pada pilihan-
pilihan pekerjaan. Tenaga kerja dengan pendidikan tinggi tidak akan
sembarangan menentukan jenis pekerjaan. Dengan tingkat
pendidikannya mereka berharap mendapat pekerjaan dengan tingkat
penghasilan yang lebih baik. Akibatnya, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin besar pula persentase yang menganggur.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 54

Artinya banyak yang masih mencari kerja terkait dengan pilihan-


pilihan mereka pada pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Tabel 3.13. Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Kabupten/Kota


dan Pendidikan Tahun 2009
Pendidikan
Kabupaten/Kot Diplo
ma/ Total
a <SD SD SLTP SLTA
Sarjan
a
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Fakfak 15.61 25.65 16.43 28.28 14.03 100
Kaimana 32.69 25.63 20.58 17.89 3.21 100
Teluk Wondama 35.88 23.42 15.97 20.18 4.55 100
Teluk Bintuni 24.84 27.24 18.54 24.97 4.41 100
Manokwari 49.18 19.21 13.22 13.32 5.08 100
Sorong Selatan 27.91 19.42 24.71 15.96 11.99 100
Sorong 29.62 24.04 20.32 19.89 6.14 100
Raja Ampat 44.66 31.84 12.42 9.57 1.51 100
Kota Sorong 6.35 10.31 14.68 50.50 18.16 100
PAPUA BARAT 30.76 20.36 16.62 23.66 8.61 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja di Provinsi Papua


Barat digambarkan dalam tabel 3.13. . Kualitas ketenagakerjaan di
Papua Barat pada tahun 2009 sama dengan kondisi Nasional. Secara
global, tingkat pendidikan penduduk yang bekerja di Provinsi Papua
Barat masih tergolong rendah, separuh lebih pekerja berpendidikan
SD ke bawah. Jika dilihat dari pendidikan dasar 9 tahun, tercatat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 55

67,73 persen pekerja berpendidikan SLTP ke bawah. Pekerja terdidik


(SLTA keatas) hanya 32,27 persen.
Keadaan ini secara umum berlaku di kabupaten/kota se
Papua Barat kecuali untuk Kota Sorong. Separuh lebih pekerja di
Kabupaten Kaimana, Teluk wondama, Teluk Bintuni, Manokwari,
Sorong Selatan, Sorong, dan Raja Ampat adalah pekerja dengan
pendidikan sangat rendah yaitu tamatan SD ke bawah, bahkan
separuh dari pekerja itu tidak tamat SD/tidak pernah sekolah. Yang
paling parah lagi adalah Kabupaten Manokwari dan Raja Ampat,
keduanya memiliki persentase pekerja berpendidikan SD ke bawah
tertinggi yaitu masing-masing sebesar 68,39 persen dan 76,50
persen (tiga perempat lebih).
Jika membahas keadaan ketenagakerjaan di Papua Barat
maka bisa diketahui yang lebih baik kondisinya adalah Kabupaten
Fakfak dan Kota Sorong. Di Fakfak pada tahun 2009 tercatat pekerja
yang berpendidikan SD ke bawah hanya sebesar 41,26 persen
sedangkan di Kota Sorong jauh lebih kecil lagi yaitu sekitar 16,66
persen saja. Kecilnya persentase pekerja dengan pendidikan rendah
berbanding terbalik dengan persentase pekerja terdidik (SMA ke
atas) di kedua wilayah ini. Fakfak mencatat pekerja terdidiknya
sebesar 42,31 persen dan Kota Sorong jauh lebih tinggi lagi yaitu
sebesar 68,66 persen.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa perbedaan tenagakerja
terdidik dan tak terdidik adalah dalam hal penentuan pekerjaannya.
Tenagakerja tak terdidik tidak mempermasalahkan jenis dan status
pekerjaan yang akan digelutinya. Minimnya keterampilan dan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 56

keahlian memaksa mereka bekerja pada lapangan pekerjaan apapun


tanpa memperhitungkan besaran upah/penghasilan yang akan
diperolehnya. Akhirnya mereka masuk pada lapangan pekerjaan
yang tidak menuntut kualifikasi tertentu yang memberikan
penghasilan tidak optimal. Tidak sama halnya dengan tenaga kerja-
tenaga kerja terdidik, karena berbekal kemampuan dan keahlian
yang dimilikinya mereka tidak sembarangan menentukan jenis dan
status pekerjaannya. Perhitungan rate of return dari masa
pendidikan yang telah dikeluarkannya harus lebih tinggi. Harapan
akan tingkat penghasilan/pendapatan yang tinggi harus sesuai
dengan tingkat pendidikan/keterampilan/keahlian yang dimiliki.
Bisa disimpulkan bahwa di Papua Barat separuh lebih
pekerja masuk dalam pasar kerja dan bekerja pada lapangan
pekerjaan karena ketiadaan pilihan atas pendidikan rendah yang
melekat pada diri mereka. Keterpaksaan ini berdampak pada tingkat
penghasilan yang diperoleh pekerja-pekerja ini yaitu terletak pada
tingkat yang rendah.
Tingginya persentase pekerja dengan pendidikan rendah
harus perlu diperhatikan keberadaannya pada pasar kerja Papua
Barat. Pekerja ini ada di setiap kelompok umur. Besarannya
bervariasi dan membesar pada kelompok umur 45 tahun ke atas.
Dengan demikian jika selama 15 tahun ke depan mereka tetap
berada pasar kerja maka mereka ini akan tetap menjadi penyumbang
besarnya persentase pekerja Papua Barat yang berpendidikan
rendah.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 57

Tabel 3.14. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Kelompok


Umur dan Pendidikan Tahun 2009
Pendidikan
Kelompok Umur Diplo Total
<SD SD SLTP SLTA ma/Sa
rjana
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
15 - 19 38.89 24.92 20.02 16.02 0.14 100
20 - 24 23.42 19.39 22.32 31.05 3.83 100
25 - 29 20.33 19.01 21.47 29.89 9.29 100
30 - 34 27.12 19.85 20.03 23.85 9.14 100
35 - 39 21.34 20.04 18.55 27.36 12.72 100
40 - 44 29.92 15.47 13.65 27.14 13.82 100
45 - 49 41.59 22.76 10.82 15.82 9.01 100
50 - 54 48.75 24.83 8.90 12.36 5.15 100
55 - 59 40.83 21.18 9.11 18.80 10.08 100
60 - 64 54.72 25.74 6.39 9.93 3.23 100
65 + 58.21 22.59 3.78 11.81 3.61 100
PAPUA BARAT 30.76 20.36 16.62 23.66 8.61 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Persentase penduduk yang bekerja bila dibandingkan secara


gender, akan diperoleh bagaimana tingkat kesetaraan gender dalam
dunia kerja di Provinsi Papua Barat berdasarkan tingkat pendidikan
yang telah ditamatkan. Misalnya dengan membandingkan secara
gender dari sisi tenaga kerja terdidik dan dari sisi tenaga kerja yang
berpendidikan rendah (SD kebawah).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 58

Tabel 3.15. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut


Pendidikan Tertinggi dan Jenis Kelamin Tahun 2009
Jenis Kelamin
Pendidikan Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Tdk/blm prnh sekolah,
24.43 42.73 30.76
tdk/blm tamat SD
SD 20.49 20.11 20.36
SLTP 18.94 12.23 16.62
SLTA 27.74 15.95 23.66
Diploma/Sarjana 8.41 8.98 8.61
Papua Barat 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Kesenjangan masih terjadi di pasar kerja Papua Barat pada


tahun 2009. Belum ada pemerataan kesempatan antara pekerja laki-
laki dan perempuan. Menurut tingkat pendidikan tertentu,
kesempatan tenaga kerja perempuan untuk maasuk dalam lapangan
pekerjaan belum setara dengan laki-laki. Tabel di atas
mempelihatkan bahwa persentase pekerja laki-laki untuk tingkat
pendidikan terdidik yaitu SMA masih terdapat selisih yang cukup
besar. Tercatat pekerja laki-laki berpendidikan SMA sebanyak 27,74
persen dan pekerja perempuan pada tingkat pendidikan yang sama
hanya berkisar 15,95 persen. Namun demikian ada dua hal yang
cukup membanggakan yang menunjukkan kesamaan peran yaitu
pada tingkat pendidikan tinggi (Diploma/Sarjana) dan tingkat
pendidikan rendah (tamtan SD) di mana persentase pekerja laki-laki

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 59

dan pekerja perempuan nyaris sama dan bahkan perempuan


memiliki persentase yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pekerja
laki-laki. Masing-masing sebesar 8,41 persen untuk laki-laki dan 8,98
persen untuk perempuan pada tingkat pendidikan Diploma/Sarjana.
Sedangkan pada tingkat pendidikan SD baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama berkisar pada angka 20 persen, laki-laki
sebesar 20,49 persen dan perempuan sebesar 20,11 persen.
Meskipun separuh lebih pekerja Papua Barat berpendidikan
rendah (SD ke bawah) dan separuh dari mereka adalah yang tidak
pernah sekolah/tidak tamat SD, ternyata justru berlangsung
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang sangat besar.
Persentase pekerja dengan pendidikan ini yang berjenis kelamin
perempuan hampir dua kali lipatnya laki-laki. Pasar kerja Papua
Barat masih dipenuhi oleh pekerja-pekerja tidak terampil dan ahli.
Jika dipilah-pilah menurut lapangan pekerjaan utama, sesuai
dengan tabel 3.16. tingkat pendidikan tenaga kerja dari sektor
services mempunyai sumber daya manusia dengan tingkat
pendidikan paling baik diantara sektor lainnya. Pada sektor services
persentase tenaga kerja terdidiknya mencapai 66,90 persen.
disamping itu pada sektor ini persentase tenaga kerja dengan
pendidikan SD kebawah juga paling kecil, yaitu sebesar 18,88 persen,
paling rendah diantara sektor lainnya.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 60

Tabel 3.16. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan


Tertinggi dan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009
Lapangan Pekerjaan
Utama Papua
Pendidikan
Barat
A M S
(1) (2) (3) (4) (5)

Tdk/blm prnh sekolah, tdk/blm


48.73 12.88 5.24 30.76
tamat SD

SD 25.21 15.06 13.64 20.36


SLTP 15.17 24.72 16.21 16.62
SLTA 9.47 41.57 42.38 23.66
Diploma/Sarjana 1.42 5.78 22.52 8.61
Total 100 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Pertanian adalah sektor subsisten yang tidak menuntut


kualifikasi pendidikan/keterampilan bagi para pekerjanya. Sektor ini
sangat mudah dimasuki. Ketika pencari kerja tidak mungkin
bersaing dengan para pencari kerja lainnya yang berlatar belakang
pendidikan lebih tinggi, ketika dengan latar belakang pendidikan
yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor
M atau S, maka mereka tidak punya pilihan selain bergelut di sektor
A. Bukan hal yang perlu ditanyakan kenapa sektor ini memiliki
persentase pekerja yang tidak/belum pernah sekolah/tidak/belum
tamat SD jauh lebih besar dan berlipat-lipat dibandingkan sektor M
atau S. Kondisi yang sama untuk tingkat pendidikan SD.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 61

Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin kecil


persentase pekerja pada sektor Agriculture. Ini menunjukkan bahwa
pertanian semakin ditinggalkan oleh para tenaga kerja terdidik.
Pertanian hanya dilirik oleh tenaga kerja berpendidikan rendah.
Tingkat penghasilan yang rendah dan pekerjaan yang dianggap kotor
karena selalu bergelut dengan lahan dan menguras energi fisik
menjadi penyebab rendahnya persentase pekerja terdidik di sektor
ini.
Justru sebaliknya, sektor M atau S merupakan sektor yang
paling banyak dilirik oleh pekerja terdidik (SMA ke atas). Setara
dengan kualifikasi pendidikan yang disyaratkan sektor ini bagi para
pekerjanya, maka tidak salah jika ke dua sektor ini memiliki
persentase paling besar untuk pekerja dengan tingkat pendidikan
tinggi. Dan nilainya sangat jauh lebih besar dibandingkan sektor A
dengan tingkat pendidikan sama. Apabila membandingkan antara M
dan S, maka pada tingkat pendidikan tinggi, sektor S memiliki
persentase lebih tinggi dibandingkan sektor M.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 62

Tabel 3.17. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan


Tertinggi dan Status Pekerjaan Utama Tahun 2009
Status Pekerjaan Utama

Berusaha Buruh/ Pek. Pek. Papua


Pendidikan Usaha
dibantu Kary. Bebas Tak Barat
Sendiri
Buruh /Peg. dibayar

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


Tdk/blm prnh
sekolah,
24.74 38.62 5.69 30.52 55.56 30.76
tdk/blm tamat
SD
SD 24.89 25.79 9.60 24.12 22.16 20.36
SLTP 20.01 18.18 15.03 23.77 12.84 16.62
SLTA 28.74 14.29 43.73 21.59 7.66 23.66
Diploma/
1.63 3.13 25.94 0.00 1.79 8.61
Sarjana
Total 100 100 100 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Setelah dicermati, pekerja yang status pekerjaan utamanya


sebagai pekerja tidak dibayar mempunyai sumber daya manusia
dengan tingkat pendidikan yang paling buruk diantara status
pekerjaan lainnya. Bagaimana tidak, pada status pekerjaan ini
persentase tenaga kerja terdidiknya paling rendah, hanya sebesar
9,45 persen dan persentase penduduk yang bekerja dengan tingkat
pendidikan SD kebawah sangat besar, mencapai 77,72 persen.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 63

Persentase pekerja dengan pendidikan SLTA dan


Diploma/Sarjana yang berstatus buruh/karyawan/pegawai
merupakan yang tertinggi dibandingkan status pekerjaan lainnya.

2.1.5 Bekerja Menurut Jam Kerja

Dalam mengukur produktivitas tenaga kerja, variabel jam


kerja seringkali digunakan sebagai tolok ukurnya. Idealnya semakin
banyak jam kerja yang digunakan maka diharapkan output
(produktivitas) yang dihasilkan juga semakin banyak.
Dalam konsep yang dipakai BPS dalam Sakernas, jam kerja
juga digunakan sebagai penentu lapangan pekerjaan utama bila
seseorang mempunyai lebih dari satu jenis pekerjaan. Maksudnya,
bila seseorang bekerja pada lebih dari satu lapangan pekerjaan yang
berbeda (berlainan kode KBLI), maka yang dianggap sebagai
lapangan pekerjaan utama adalah lapangan pekerjaan yang jam
kerjanya lebih banyak dari lapangan pekerjaan lainnya. Sedangkan
untuk lapangan pekerjaan yang jam kerjanya lebih kecil dianggap
sebagai pekerjaan tambahan/pekerjaan sampingan.
Dalam menentukan jam kerja normal, BPS berpatokan pada
jumlah jam kerja minimal 35 jam dalam seminggu. Bila seorang
pekerja bekerja dibawah jam kerja normal, maka dikategorikan
sebagai setengah pengangguran, karena dengan jam kerja yang
kurang dari jam kerja normal, produktivitasnya dianggap rendah
tidak seperti tenaga kerja yang menggunakan jam kerja secara
penuh.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 64

Sedangkan bila seorang pekerja dalam seminggu yang lalu


(dalam periode survei) sementara tidak bekerja, atau jam kerjanya
nol jam, maka tidak dikategorikan sebagai setengah pengangguran
atau pengangguran terbuka. Pengecualian ini berlaku karena
sebenarnya statusnya adalah sebagai pekerja, tetapi karena selama
pencacahan sedang cuti, sakit, menunggu panen dan sebagainya,
maka yang bersangkutan sementara tidak bekerja. Perlu dicatat,
sementara tidak bekerja selama seminggu yang lalu pada kasus ini
dalam bagan ketenagakerjaan masih masuk kedalam angkatan kerja.

Tabel 3.18. Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut


Kabupten/Kota dan Jam Kerja Tahun 2009

Jam Kerja
Kabupaten/Kota Total
0 1-34 35+
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 1.61 39.71 58.69 100
Kaimana 1.80 40.07 58.13 100
Teluk Wondama 5.14 43.57 51.29 100
Teluk Bintuni 0.21 31.43 68.36 100
Manokwari 0.22 27.04 72.74 100
Sorong Selatan 9.03 48.34 42.63 100
Sorong 5.70 22.39 71.92 100
Raja Ampat 0.00 42.87 57.13 100
Kota Sorong 0.99 14.01 84.99 100
PAPUA BARAT 2.32 29.18 68.50 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 65

Distribusi penduduk yang bekerja berdasarkan kelompok jam


kerja digambarkan dalam tabel 3.18. Secara global, bila
dikelompokkan dalam jam kerja, pekerja di Provinsi Papua Barat
sebagian besar bekerja diatas jam kerja normal (35 jam seminggu),
tepatnya sebanyak 68,50 persen memiliki jam kerja diatas 35 jam
seminggu. Dapat dikatakan bahwa produktivitas penduduk yang
bekerja di Papua Barat sudah baik dari segi penggunaan jam kerja.
Namun masih terdapat 29,18 persen yang bekerja di bawah jam kerja
normal, yang merupakan setengah pengangguran Papua Barat tahun
2009.
Diantara kabupaten/kota di Papua Barat, tenaga kerja di Kota
Sorong telah menggunakan jam kerja secara maksimal, hal ini terlihat
dari persentase penduduk yang bekerja diatas jam kerja normalnya
sangat tinggi. Tenaga kerja Kota Sorong yang bekerja diatas 35 jam
seminggu sebanyak 84,99 persen. Jadi hanya sekitar 15,01 persen
sisanya adalah tergolong sebagai setengah pengangguran (14,01
persen) dan dalam kategori sementara tidak bekerja (0,99 persen).
Sementara itu, Sorong Selatan menjadi kabupaten yang
penggunaan jam kerja tenaga kerjanya paling tidak maksimal, karena
tidak mencapai separuh pekerja di kabupaten Sorong Selatan (42,63
persen) tidak bekerja dengan jam kerja diatas 35 jam seminggu,
bahkan justru sebaliknya yang setengah pengangguran melebihi
persentase yang bekerja di atas jam kerja normal yaitu sebesar 48,34
persen.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 66

Tabel 3.19. Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Jam kerja


dan Jenis kelamin Tahun 2009

Jenis Kelamin
Jam Kerja Papua Barat
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
0 2.56 1.86 2.32
1-34 23.35 40.21 29.18
35+ 74.09 57.94 68.50
Total 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Jam kerja pekerja laki-laki dan perempuan bila dilihat


perbandingannya, menunjukkan bahwa pekerja laki-laki mempunyai
jam kerja yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pekerja
perempuan. Persentase pekerja laki-laki yang bekerja 35 jam ke atas
perminggu melebihi persentasenya pekerja perempuan. Masing-
masing sebesar 74,09 persen dan 57,94 persen. Hal serupa berlaku
untuk yang sementara tidak bekerja seminggu yang lalu. Kemudian,
lebih sedikitnya jam kerja pekerja perempuan dibandingkan pekerja
laki-laki terlihat dari persentase yang bekerja antara 1-34 jam
seminggu di mana pekerja perempuan persentasenya melebihi
persentase pekerja laki-laki.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 67

Dengan begitu bisa diketahui bahwa di pasar kerja Papua


Barat pada tahun 2009 terdapat 29,18 persen pekerja yang tergolong
sebagai setengah pengangguran. Setengah pengangguran laki-laki
mencapai 23,35 persen dari total penduduk laki-laki yang bekerja
dan setengengah penganggur perempuan sebanyak 40,21 persen dari
total penduduk perempuan yang bekerja. Pembahasan yang lebih
rinci mengenai setengah pengangguran akan dijelaskan pada subbab
berikutnya.

Tabel 3.20. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Jam Kerja


dan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009
Lapangan Pekerjaan Utama Papua
Kelompok Umur
A M S Barat
(1) (2) (3) (4) (5)
0 2.49 3.37 1.62 2.32
1-34 38.85 10.62 18.78 29.18
35+ 58.66 86.02 79.60 68.50
Total 100 100 100 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Berdasarkan tabel 3.20. diperoleh informasi pekerja di


sektor agriculture, manufacture dan services mempunyai proporsi
yang lebih besar pada penggunaan jam kerja diatas 35 jam seminggu.
Dari ketiga sektor tadi, manufacture memiliki persentase paling besar
dibandingkan services dan agriculture dengan besaran masing-
masing adalah 86,02 (M) 79,60 (S) dan 58,66 (A). Jika ingin melihat
perbandingan setengah pengangguran pada ketiga sektor ini, tampak

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 68

bahwa agriculture lah yang memiliki persentase setengah


pengangguran paling besar dibandingkan lainnya. Tercatat sektor
agriculture sebesar 38,85 persen, service sebesar 18,78 persen, dan
manufacture sebesar 10,62 persen.
Seperti telah disinggung sebelumnya, jam kerja yang
digunakan oleh tenaga kerja berkaitan dengan produktivitas dari
output yang dihasilkan. Dari hasil tabulasi silang antara jam kerja
dengan lapangan pekerjaan utama/sektor usaha, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi jam kerja yang digunakan maka semakin tinggi
produktivitas kerjanya. Diperoleh hasil bahwa jam kerja pada sektor
manufacture merupakan sektor yang tenaga kerjanya memiliki jam
kerja yang relatif maksimal dibandingkan dengan sektor lain. Disusul
oleh sektor services dan sektor agriculture.
Penggunaan jam kerja pada status pekerjaan utama pekerja
digunakan untuk melihat sebaran keefektifan penggunaan jam kerja
pada masing-masing status pekerjaan utama, atau untuk mengamati
pada status pekerjaan utama yang manakah penduduk yang bekerja
tergolong sebagai setengah pengangguran atau sebagai tenaga kerja
yang sepenuhnya produktif.
Informasi dari tabel 3.21. diperoleh gambaran bahwa
hampir di seluruh status pekerjaan utama penggunaan waktu kerja
35 jam ke atas per minggu lebih banyak persentasenya dibandingkan
yang kurang dari 35 jam kerja. Yang paling tinggi adalah status
buruh/karyawan/pegawai. Secara otomatis persentase pada status
ini akan besar karena sektor ini merupakan sektor formal yang
secara resmi mengatur jumlah jam kerja minimal pegawai setiap

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 69

harinya. Aturan resmi masuk kerja minimal 8 jam kerja sehari


berdampak pada tingginya jam kerja pekerja berstatus ini. Tercatat
persentase pekerja pada status ini yang bekerja di atas 35 jam
perminggu sebesar 82,36 persen. Pola serupa juga berlaku pada
status lainnya kecuali pekerja tak dibayar. Persentase pekerja
dengan status sebagai pekerja tak dibayar besarannya lebih kecil
dibandingkan yang bekerja di bawah jam kerja normal (46,05
persen). Tingginya persentase pekerja tak dibayar yang bekerja di
bawah jam kerja normal kemungkinan besar karena pekerja-pekerja
ini hanya merupakan pelengkap yang bekerja sekedar membantu
keluarga. Sehingga tidak dipatok harus bekerja selama 8 jam sehari.
Ketika kegiatan utamanya telah selesai, para pekerja ini baru
meluangkan waktunya untuk ikut bekerja membantu keluarganya
untuk memperoleh penghasilan. Walaupun secara ekonomi
sesungguhnya harus dicatat sebagai kegiatan produktif yang yang
menghasilkan.
Tabel 3.21. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Status
Pekerjaan Utama dan Jam Kerja Tahun 2009
Jam Kerja
Status Pekerjaan Total
0 1-34 35+
(1) (2) (3) (4) (5)
Berusaha sendiri 4.47 26.33 69.21 100

Berusaha dibantu buruh 3.58 24.80 71.61 100

Buruh/Karyawan/Pegawai 11.08 15.88 82.36 100

Pekerja Bebas 0.00 18.52 81.48 100

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 70

Pekerja Tak Dibayar 0.00 53.95 46.05 100

Papua Barat 7.94 29.18 68.50 100


Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Penggunaan jam kerja yang paling efektif diantara status


pekerjaan utama adalah penduduk yang bekerja sebagai
buruh/karyawan/pegawai dengan persentase penduduk yang
bekerja diatas 35 jam seminggu sebesar 82,36 persen. Pada status
pekerjaan utama ini untuk penduduk yang bekerja dibawah jam kerja
normal juga relatif paling rendah, sehingga produktivitas pada status
pekerjaan ini juga baik.
Dalam tabel diatas status pekerjaan utama berusaha dibantu
buruh adalah penggabungan dari berusaha dibantu oleh buruh
dibayar/buruh tetap dan dibantu oleh buruh tidak tetap/buruh tidak
dibayar. Demikian pula dengan pekerja bebas yang merupakan
penggabungan antara pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas
di nonpertanian.
Penduduk yang bekerja menurut kelompok jam kerja dan
tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan memiliki model yang
terpola, semakin tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi
persentase pekerja yang bekerja 35 jam ke atas perminggu.
Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja maka semakin
rendah persentase pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menentukan
produktifitas pekerja jika ditilik dari lamanya jam kerja selama

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 71

seminggu. Para pekerja terdidik lebih produktif terutama karena


mereka paling banyak terserap di pekerjaan-pekerjaan formal non
pertanian sehingga menuntut disiplin terhadap waktu kerja yang
sudah ditentukan oleh perusahaan atau tempat mereka bekerja.
Namun tidak sama halnya dengan pekerja berpendidikan rendah,
meskipun persentase yang bekerja di atas jam kerja normal melebihi
persentase yang bekerja di bawah jam kerja normal, jika
dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka
persentasenya lebih kecil.

Tabel 3.22. Persentase Penduduk yang Bekerja menurut Pendidikan


dan Jam Kerja Tahun 2009

Jam Kerja
Pendidikan Total
0 1-34 35+
(1) (2) (3) (4) (5)

Tdk/blm prnh sekolah,


2.39 37.32 60.29 100
tdk/blm tamat SD

SD 1.64 35.90 62.46 100


SLTP 3.47 27.09 69.44 100
SLTA 1.79 15.83 82.37 100
Diploma/Sarjana 2.86 24.92 72.22 100
Total 2.32 29.18 68.50 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Persentase yang semakin meningkat menurut tingkat


pendidikan terbatas hingga tingkat pendidikan SLTA. Ketika

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 72

mencapai pendidikan diploma/sarjana maka persentase pekerja


yang bekerja 35 jam lebih mengalami penurunan dan sebaliknya
persentase yang bekerja di bawah jam kerja normal semakin
berkurang. Kemungkinan karena level managerial kebanyakan diisi
oleh pekerja dengan kapasitas ini. Padahal manager/pimpinan
seringkali tidak berada di kantor karena urusan perjalan bisnis/dinas
dan lain-lain yang mengurangi jam kerja perminggunya.
Tingkat pendidikan pekerja di Provinsi Papua Barat yang
sebagian besar (47,97 persen) adalah berpendidikan rendah (SD
kebawah), dan tidak sedikit yang jam kerjanya dibawah jam kerja
normal. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja yang rendah
ditambah masih tingginya angka pengangguran di Papua Barat akan
menjadi pemicu masih tingginya angka kemiskinan di Provinsi Papua
Barat. Kemiskinan merupakan lingkaran setan. Rendahnya
pendapatan perkapita rumahtangga berpengaruh pada kemampuan
pemenuhan kebutuhan dasarnya. Ketidakcukupan pemenuhan
kebutuhan dasar seperti makanan bergizi akan berpengaruh pada
gizi dan derajat kesehatan para pekerja yang ada di rumahtangga
tersebut. Dampaknya secara langsung akan berpengaruh pada
produktifitas dari pekerja tersebut. Disamping itu, dengan
pendapatan yang hanya pas-pasan untuk kebutuhan pokok
menyulitkan bagi para pekerja untuk menyisihkan pendapatannya
untuk kebutuhan non makanan seperti investasi pendidikan. Bisa
dibayangkan bagaimana rumahtangga-rumahtangga miskin akan
menciptakan individu-individu yang miskin pula. Ketiadaan kualitas
sumber daya manusia pada akhirnya pasti mendorong mereka

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 73

masuk ke jurang kemiskinan. Sehingga ketika harus bersaing di


pasar kerja untuk merebut lapangan-lapangan pekerjaan dengan
tingkat output yang lebih baik, karena harus memiliki kualifikasi
pendidikan tertentu memaksa mereka harus tersingkir dari
kesempatan-kesempatan kerja pada lapangan pekerjaan ini. Mau
tidak mau akhirnya karena tidak mampu bersaing kerja, dengan
ketidaaan pilihan lain mereka masuk ke dalam lapangan kerja
subsisten seperti pertanian yang dengan mudah dimasuki oleh
pekerja tak terdidik tanpa keahlian dan kemampuan.

2.1.6 Bekerja Menurut Sektor Informal

Salah satu dimensi penting terkait dengan hal


ketenagakerjaan adalah kebutuhan akan lapangan pekerjaan yang
semakin meningkat. Namun, kesempatan kerja di sektor formal
dirasakan tidak sesuai jumlah yang diminta dengan jumlah tenaga
kerja yang ditawarkan oleh para pencari kerja. Jangankan
pertambahan angkatan kerja dapat terserap dalam lapangan kerja,
pengangguran yang cukup banyak saja belum tertampung.
Pengangguran maupun pertambahan angkatan kerja lebih cepat
dibandingkan pertumbuhan kesempatan kerja yang ada.
Akibatnya, sektor informal dianggap sebagai jawaban yang
tepat dan mudah atas masalah ketenagakerjaan. Sektor informal
tampaknya memainkan peranan cukup penting di dunia, meskipun
terkesan diabaikan atau bahkan dianaktirikan. Di beberapa kota
besar di negara berkembang peranan sektor informal dalam
menyerap angkatan kerja cukup besar (www.unchs.org), yaitu di

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 74

New Delhi, India, 61,4 persen; di Dhaka, Bangladesh, 60 persen. Di


Surabaya sektor informal diperkirakan menyerap tidak kurang dari
35 persen jumlah angkatan kerja yang ada (www.undp.org).
Fakta menarik dari sektor informal adalah sektor ini terbukti
memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, bahkan
hampir tidak mempunyai titik jenuh. Sektor ini juga menjadi saluran
urbanisasi penduduk desa ke kota yang paling mudah, murah serta
bersifat massal. Sektor ini berperan cukup besar dalam menyangga
sektor formal. Studi menunjukkan, lebih dari 75 persen pekerja
sektor formal di Jakarta bergantung pada keberadaan sektor
informal. Baik untuk konsumsi keseharian (melalui warteg, pasar
tradisional), transportasi (ojek), maupun permukiman (pembantu
rumah tangga). Keberadaan sektor informal memberikan peran
cukup berarti bagi distribusi produk pertanian, pabrik maupun
rumah tangga. Kegiatan ini mendukung semangat kewirausahaan
dan merupakan potensi sumber pemasukan bagi pemerintah lokal.
Sektor informal bahkan dapat menjadi katup penyeimbang
perekonomian bangsa ketika Indonesia diterpa krisis moneter
1997/1998. Sektor ini terbukti fleksibel dengan tidak terlalu
terpengaruh oleh krisis tersebut. Bahkan pasca krisis sektor ini
menjadi semakin berkembang karena untuk terjun ke sektor
informal tidak membutuhkan modal yang besar dan tidak melalui
prosedur yang berbelit-belit sehingga mudah dalam memulainya.
Ada sesuatu yang luar biasa dibalik peran sektor informal di
Indonesia. Menurut Mantan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, di Negara

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 75

berkembang seperti Indonesia, sektor informal memang lebih banyak


menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor formal. Sektor
ini bahkan menjadi pendorong menurunnya angka kemiskinan.
Angka kemiskinan (sesuai hasil survei BPS Maret 2008), turun
menjadi 34,96 juta orang (15 persen dari total penduduk Indonesia)
dari 37,17 juta orang pada tahun 2007. Menurunnya angka
kemiskinan tersebut sebagian besar diserap oleh sektor informal
(www.indonesia.go.id).

Tabel 3.23. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Formal-


Informal menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Kabupaten/Kota Informal Formal Total


-1 -2 -3 -4
Fakfak 46.49 53.51 100
Kaimana 64.91 35.09 100
Teluk Wondama 71.76 28.24 100
Teluk Bintuni 56.64 43.36 100
Manokwari 80.39 19.61 100
Sorong Selatan 76.38 23.62 100
Sorong 68.58 31.42 100
Raja Ampat 84.99 15.01 100
Kota Sorong 0.70 99.30 100
PAPUA BARAT 58.38 41.62 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Bagaimana dengan kondisi penduduk yang bekerja pada


sektor formal-informal di Provinsi Papua Barat?. Berdasarkan tabel

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 76

3.23. dapat diperoleh informasi bahwa ternyata proporsi sektor


informal sangat dominan, sekitar 58,38 persen pekerja bekerja di
sektor informal. Sedangkan sisanya hanya 41,62 persen yang bekerja
di sektor formal. Begitu juga ketika dilihat di level kabupaten/kota
hanya Kota Sorong yang hampir seluruh pekerjanya bekerja di sektor
Formal (99,30 persen) dan sisanya kurang dari 1 persen yang
bekerja pada sektor informal. Tidak mengherankan karena Kota
Sorong sementara ini masih menjadi pusat perekonomian yang ada
di Papua Barat. Disana banyak tempat-tempat usaha, perusahaan,
industri dan jasa-jasa.
Sementara itu, untuk kabupaten lain, terutama kabupaten
pemekaran yang masih relatif baru, sektor formal belum banyak
diciptakan dan dibuka. Masyarakat masih cenderung bekerja
disektor informal. Selain mudah diciptakan, modal yang dibutuhkan
juga relatif kecil dibandingkan sektor formal. Selain itu sektor formal
mudah untuk berpindah sektor usaha karena pengelolaannya tidak
terlalu kompleks sehingga lebih fleksibel. Diantara delapan
kabupaten lainnya, Raja Ampat merupakan kabupaten yang
kontribusi terbesar penduduknya bekerja di sektor informal, yaitu
84,99 persen. Kabupaten ini, masyarakatnya masih bergantung pada
sektor Agriculture (perikanan).
Komposisi jenis kelamin penduduk yang bekerja disektor
informal di Provinsi Papua Barat adalah 61,90 persen laki-laki dan
38,10 persen adalah perempuan. Pola serupa berlaku untuk seluruh
kabupaten/kota se Papua Barat. Ternyata proporsi laki-laki yang
bekerja di sektor Informal jauh lebih besar dibandingkan perempuan.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 77

Gap paling jauh adalah di Kabupaten Fakfak, Kaimana dan Raja


Ampat. Sedangkan yang nyaris seimbang ada di kabupaten
Manokwari dan Sorong Selatan meskipun pekerja laki-laki sedikit
lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Di kabupaten
Manokwari tercatat proporsi pekerja laki-laki dan perempuan di
sektor informal adalah 53,99 persen dan 46,01. Sedangkan di Sorong
Selatan perbandingannya adalah 53,87 persen dan 46,13 persen.

Tabel 3.24. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor


Informal menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun
2009
Jenis Kelamin
Kabupaten/Kota Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Fakfak 76.57 23.43 100
Kaimana 75.29 24.71 100
Teluk Wondama 66.09 33.91 100
Teluk Bintuni 65.50 34.50 100
Manokwari 53.99 46.01 100
Sorong Selatan 53.87 46.13 100
Sorong 65.65 34.35 100
Raja Ampat 73.98 26.02 100
Kota Sorong 65.05 34.95 100
PAPUA BARAT 61.90 38.10 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 78

Tabel 3.25. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal


menurut Kabupaten/Kota dan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun
2009
Lapangan Pekerjaan Utama
Kabupaten/Kota Total
A M S
(1) (2) (3) (4) (5)
Fakfak 74.40 5.38 20.21 100
Kaimana 87.52 0.85 11.63 100
Teluk Wondama 74.83 4.95 20.22 100
Teluk Bintuni 78.35 10.47 11.18 100
Manokwari 90.08 1.90 8.03 100
Sorong Selatan 93.12 1.05 5.83 100
Sorong 80.08 8.70 11.22 100
Raja Ampat 96.63 0.00 3.37 100
Kota Sorong 23.39 14.23 62.38 100
PAPUA BARAT 80.41 4.69 14.90 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Para pekerja sektor-sektor informal mayoritas berada pada


sektor pertanian. Dari delapan kabupaten yang ada di Provinsi Papua
Barat seluruhnya berpola serupa yaitu mayoritas pekerja informal
adalah pekerja sektor agriculture. Keadaan ini tidak berlaku bagi
Kota Sorong karena persentase pekerja sektor ini sangat kecil,
apalagi jika dibedakan menurut formal atau informal, maka
persentasenya pun akan sama.
Pada sektor informal pertanian, yang mendominasi delapan
kabupaten di Provinsi Papua Barat, persentase terbesarnya berada di

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 79

Kabupaten Raja Ampat sekitar 96,63 persen dari total penduduk


yang bekerja.
Sektor informal merupakan sektor yang paling mampu
bertahan dari gejolak inflasi, krisis moneter bahkan krisis global
selain paling mudah menyerap tenaga kerja bahkan mengurangi
angka pengangguran. Pada tingkat nasional sumbangan sektor
informal cukup berpengaruh pada perekonomian bangsa. Namun
demikian jika dilihat di Papua Barat, ketika hanya memperhitungkan
sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Papua Barat
maka tercatat bahwa kontribusinya hanya mencapai 25 persen saja.
Padahal pertanian di Papua Barat merupakan penyerap tenaga kerja
paling banyak dan di antara pekerja sektor pertanian tersebut pada
mayoritas berada di sektor informal. Sektor informal pertanian
memberikan kontribusi PDRB yang paling kecil dibandingkan dengan
sektor manufacture dan sektor services. Kecilnya kontribusi sektor
informal, terutama sektor informal pertanian pada PDRB berarti
membuktikan walaupun dapat menyerap banyak tenaga kerja
banyak dengan output rendah membuktikan bahwa
produktivitasnya masih rendah.
Dengan begitu bisa dibenarkan pernyataan bahwa pertanian
bukan lah sektor pilihan utama para pencari kerja. Ketiadaan
kemampuan atas pilihan akan pekerjaan yang lebih baik memaksa
banyak tenaga kerja Papua Barat yang terperosok dalam sektor
pertanian subsisten dengan output dan penghasilan apa adanya. Dari
pada tidak produktif lebih baik bekerja untuk memperoleh
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 80

Tabel 3.26. juga menunjukkan bahwa posisi kedua dan ketiga


sektor informal di setiap kabupaten ada pada lapangan pekerjaan
utama sektor services dan manufacture.

Tabel 3.26. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal


menurut Kabupaten/Kota dan Status Pekerjaan Utama

Status Pekerjaan Utama

Kabupaten
/Kota Berusaha Total
Ber Pekerja
dibantu Pekerja
usaha Tak
buruh tdk Bebas
Sendiri dibayar
dibayar

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


Fakfak 83.3 4.72 0.84 11.14 100
Kaimana 33.84 33.97 2.82 29.38 100
Teluk Wondama 57.91 19.54 0.61 21.94 100
Teluk Bintuni 29.64 31.12 11.24 28 100
Manokwari 10.34 37.71 5.32 46.64 100

Sorong Selatan 13.85 48.12 1.3 36.73 100


Sorong 17.59 43.81 6.56 32.03 100
Raja Ampat 33.88 36.25 0.29 29.58 100

Kota Sorong 71.2 3.54 7.38 17.88 100

PAPUA BARAT 27.86 33.18 4.72 34.24 100

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 81

Sektor informal bila dilihat dari sisi status pekerjaan utama,


secara umum di Provinsi Papua Barat persentase status yang nyaris
sebanding adalah pekerja tak dibayar, berusaha dibantu buruh tak
dibayar, dan berusaha sendiri dengan besaran masing-masing
berturut-turut adalah 34,24 persen, 33,18 persen dan 27,86 persen.
Persentase terkeceil adalah status pekerja bebas yaitu sebesar 4,72
persen yang menunjukkan bahwa pada sektor informal sangat sedikit
pekerja yang berstatus ini.
Variasi pekerja informal menurut status pekerjaannya di
maing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 3.26. Tidak
semua kabupaten/kota memiliki pola serupa. Kabupaten yang
memiliki persentase tertinggi pekerja informal berstatus pekerja tak
dibayar hanya Manokwari. Kabupaten/kota lainnya masuk dalam 2
kelompok berbeda lainnya yaitu kabupaten/kota yang persentase
tertingginya pada status berusaha sendiri ( Fakfak, Kota Sorong, dan
Teluk Wondama) dan status berusaha dibantu buruh tak dibayar
(Sorong Selatan, Sorong, Manokwari, Raja Ampat, Kaimana dan Teluk
Bintuni).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 82

Tabe 3.27. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Informal


menurut Kabupaten/Kota dan Pendidikan Tahun 2009

Pendidikan
Kabupaten/K
Diploma Total
ota < SD SD SLTP SLTA
/Sarjana
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Fakfak 22.52 38.63 19.04 18.68 1.13 100
Kaimana 40.81 29.38 21.15 8.50 0.17 100
Teluk
47.02 29.74 13.98 9.26 0.00 100
Wondama
Teluk Bintuni 36.44 31.47 15.88 15.15 1.06 100
Manokwari 59.22 18.38 12.18 9.41 0.80 100
Sorong Selatan 33.25 21.76 30.43 11.66 2.90 100
Sorong 37.60 28.34 19.77 12.15 2.14 100
Raja Ampat 47.66 34.82 11.27 5.97 0.27 100
Kota Sorong 9.28 18.76 19.46 48.10 4.39 100
PAPUA
42.25 24.44 17.23 14.55 1.53 100
BARAT
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Tenaga kerja disektor informal pada umumnya memiliki


tingkat pendidikan yang lebih rendah dari pada tenaga kerja disektor
formal. Kondisi tingkat pendidikan tenaga kerja disektor informal
Provinsi Papua Barat juga menunjukkan gejala yang demikian.
Sebesar 66,69 persen dari penduduk yang bekerja disektor informal
mempunyai pendidikan rendah atau SD kebawah, dan hanya sekitar
16,03 persen merupakan tenaga kerja terdidik (pendidikan tertinggi
yang ditamatkan SLTA atau lebih).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 83

Situasi tingkat pendidikan tenaga kerja sektor informal


dilevel kabupaten/kota rata-rata mempunyai kecenderungan
distribusi yang hampir sama dengan kondisi Provinsi Papua Barat
secara umum. Tingkat pendidikan yang rendah disektor informal
masih tampak nyata di sebagian besar kabupaten. Hanya Kota Sorong
yang mempunyai kecenderungan pola yang agak berbeda. Disana
justru penduduk yang bekerja disektor informal sebagian besar
adalah tenaga kerja terdidik, yaitu sekitar 52,49 persen. Besarnya
tenaga kerja terdidik yang bekerja disektor informal di Kota Sorong
diduga karena tingkat pendidikan yang sudah baik tidak didukung
oleh ketersediaan lapangan pekerjaan disektor formal, akibatnya
sebagian dari tenaga kerja yang kalah bersaing disektor formal
tersebut terpaksa memilih bekerja disektor informal dari pada
menjadi penganggur. Selain itu, tenaga kerja disektor informal Kota
Sorong mempunyai persentase paling kecil pada penduduk yang
bekerja disektor informal dengan tingkat pendidikan rendah.
Selain Kota Sorong, persentase penduduk yang bekerja
disektor informal dengan tenaga kerja terdidik relatif tinggi juga
terjadi di Kabupaten Fakfak. Sekitar 37,72 persen pekerja informal
berpendidikan SLTA keatas. Sedangkan Kabupaten Raja Ampat
memiliki persentase terkecil pada pekerja sektor informal, dengan
tingkat pendidikan SMA ke atas yaitu sebesar 6,24 persen. Sementara
untuk persentase penduduk yang bekerja disektor informal dengan
pendidikan rendah , Kabupaten Raja Ampat memiliki persentase
tertinggi yaitu sebesar 82,48 persen.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 84

Tabel 3.28. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor


Informal menurut Kabupaten/Kota dan jam Kerja Tahun 2009

Jam Kerja
Kabupaten/Kota Total
< 35 35+
(1) (2) (3) (4)
Fakfak 48.40 51.60 100
Kaimana 46.70 53.30 100
Teluk Wondama 53.54 46.46 100
Teluk Bintuni 41.24 58.76 100
Manokwari 30.95 69.05 100
Sorong Selatan 62.36 37.64 100
Sorong 33.19 66.81 100
Raja Ampat 49.16 50.84 100
Kota Sorong 22.18 77.82 100
PAPUA BARAT 38.64 61.36 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Di Provinsi Papua Barat, penggunaan jam kerja penduduk


yang bekerja disektor informal sebagian besar bekerja diatas 35 jam
seminggu, atau sekitar 61,36 persen dari total pekerja disektor
informal. Sedangkan sisanya, sebesar 38,64 persen tergolong sebagai
setengah pengangguran disektor informal. Jadi wajar bila
produktivitas tenaga kerja di Provinsi Papua Barat masih termasuk
rendah.
Penggunaan jam kerja pada sektor informal ternyata
mayoritas kabupaten/kota dari tenaga kerja bekerja diatas jam kerja

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 85

normal, kecuali di Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Teluk


Wondama. Kedua kabupaten ini memiliki pekerja disektor informal
yang bekerja diatas 35 jam seminggu kurang dari 50 persen, jadi
sebagian besar bekerja dibawah jam kerja normal atau boleh
dikatakan pekerja ini termasuk setengah pengangguran disektor
informal.
Diantara pekerja yang bekerja dibawah jam kerja 35 jam
seminggu, setengah pengangguran disektor informal terbanyak
berada di Kabupaten Sorong Selatan dengan persentase sebesar
62,36 persen dari total tenaga kerja informal di kabupaten tersebut.
Dengan demikian Teluk Wondama memiliki persentase terbesar
sebagai pekerja informal yang tergolong setengah pengangguran.

3. Bukan Angkatan kerja

Penduduk usia kerja yang dibatasi pada umur 15 tahun


keatas dibagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Penduduk bukan angkatan kerja ini diantaranya dirinci menjadi tiga
kelompok besar kegiatan, yaitu penduduk yang sedang sekolah,
penduduk yang sedang mengurus rumah tangga, dan penduduk yang
sedang melakukan kegiatan lainnya.
Jumlah penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja
kondisi Agustus 2009 adalah 161.908 orang (31,48 persen dari total
penduduk usia kerja) dengan rincian 55.476 orang (34,26 persen)
sedang sekolah, 89.446 orang (55,24 persen) sedang mengurus

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 86

rumahtangga, dan 16.986 orang (10,49 persen) sedang melakukan


kegiatan lainnya.
Jumlah penduduk bukan angkatan kerja mengalami kenaikan
dari Agustus 2008 ke kondisi Agustus 2009 dari keadaan semula
160.018 orang menjadi 161.908 orang.

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.3. Persentase Penduduk Bukan Angkatan Kerja


menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Sebaran proporsi penduduk yang termasuk bukan angkatan


kerja, seperti yang dijelaskan pada gambar 3.3. memiliki pola yang
seragam diseluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat kecuali
Sorong Selatan dan Manokwari.. Mayoritas penduduk bukan
angkatan kerja adalah kegiatan mengurus rumah tangga, kemudian
kegiatan sedang bersekolah berada diposisi berikutnya dan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 87

selanjutnya adalah kegiatan lainnya menjadi kontributor terkecil


dalam proporsi penduduk bukan angkatan kerja. Sedangkan di
Sorong Selatan dan Manokwari persentase bukan angkatan kerja
yang tertinggi adalah mereka yang bersekolah.

4. Indikator Ketenagakerjaan

Dalam dunia ketenagakerjaan selain indikator-indikator yang


telah disinggung pada bahasan sebelumnya, masih terdapat beberapa
indikator ketenagakerjaan penting lainnya yang dihasilkan dari
SAKERNAS. Beberapa indikator ini bahkan menjadi primadona dari
sekian banyak output yang dikeluarkan BPS dari berbagai jenis
survei.
Isu penting yang selalu hangat diperbincangkan adalah
mengenai pengangguran. Angka pengangguran yang secara rutin
dirilis (setelah kegitan survei selesai) mendapatkan perhatian penuh
dari pemerintah, pengamat ekonomi, peneliti dan para pengguna
data khususnya data-data sosial. Mengapa angka pengangguran
selalu menjadi bahan pembicaraan banyak pihak?, karena angka
tersebut merupakan nilai raport bagi pemerintah untuk mengukur
sejauh mana keberhasilan penerapan kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan dalam menyelesaikan masalah pengangguran dan
penciptaan lapangan pekerjaan.
Tentu saja bukan hanya pemerintah pusat yang mendapatkan
penilaian atas kinerjanya, tetapi juga pemerintah daerah, baik itu
provinsi dan kabupaten/kota yang secara administratif telah

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 88

diberikan kewenangan untuk secara otonom mengelola


pemerintahannya sendiri.
Sebagai provinsi yang relatif baru di Indonesia, Provinsi
Papua Barat mempunyai kesempatan yang bagus untuk melakukan
perencanaan pembangunan ketenagakerjaan dengan mendasarkan
kebijakan ketenagakerjaan dengan data statistik sebelum
permasalahan ketenagakerjaan, khususnya pengangguran dan
penciptaan lapangan pekerjaan semakin kompleks.

4.1 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk


ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang
tersedia, antara lain seperti: jumlah lapangan kerja yang tersedia
lebih kecil dibandingkan jumlah pencari kerjanya, kompetensi
pencari kerja tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, dan kurang
lengkapnya informasi pasar kerja bagi pencari kerja. Selain itu,
pengangguran juga dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang terjadi karena perusahaan menutup/mengurangi
bidang usahanya sebagai akibat dari krisis ekonomi, keamanan yang
kurang kondusif, peraturan yang menghambat investasi, dan lain-
lain.
Pengangguran akibat dari ketidakmampuan pasar kerja
dalam menyerap para pencari kerja, senantiasa bertambah setiap
tahunnya seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Tidak
seimbangnya antara demand dan supply tenaga kerja menyebabkan
angka pengangguran bergerak fluktuatif. Bila jumlah demand

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 89

(permintaan) tenaga kerja lebih besar dari jumlah tenaga kerja yang
tersedia di pasar tenaga kerja, maka yang terjadi adalah tenaga kerja
akan memiliki pilihan yang lebih banyak untuk menentukan kemana
akan bekerja. Namun pada kenyataannya, disetiap negara
mempunyai kecenderungan bahwa jumlah demand tenaga kerja lebih
kecil dari pada ketersediaan tenaga kerja (supply) yang ada di pasar
tenaga kerja, dengan kata lain jumlah lapangan pekerjaan yang
diperebutkan para pencari kerja kurang sebanding dengan jumlah
pencari kerja.
Implikasi dari lebih kecilnya jumlah lapangan pekerjaan
dibandingkan dengan jumlah pencari kerja tidak lain adalah
terlahirnya pengangguran. Dengan terbatasnya ketersediaan
lapangan pekerjaan tersebut maka jumlah tenaga kerja yang
tersediapun tidak akan mampu terserap seluruhnya di pasar tenaga
kerja. Semakin besar gap antara jumlah para pencari kerja dengan
jumlah lapangan pekerjaan yang diciptakan, maka semakin besar
pula jumlah pengangguran.
Jumlah pengangguran senantiasa akan bertambah seiring
dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahun. Semakin lama,
jumlah penduduk yang menganggur akan terakumulasi bila tidak
segera diatasi. Padahal tingginya angka pengangguran tidak hanya
akan menimbulkan masalah-masalah ekonomi saja, melainkan juga
berbagai masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan kerawanan
sosial.
Dalam konsep lama yang termasuk pengangguran adalah
mereka yang mencari pekerjaan (looking for work) dan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 90

mempersiapkan usaha (establishing a new bussiness/firm), namun


sekarang konsep tersebut telah diperbaharui dengan menambahkan
kategori termasuk yang merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan (hopless of job) dan yang sudah mempunyai pekerjaan
tetapi belum mulai bekerja (have a job in a future start). Bila salah
satu dari syarat tersebut terpenuhi maka seorang dapat
dikategorikan sebagai pengangguran.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) biasa dipakai untuk
mengukur persentase jumlah orang yang menanggur dalam angkatan
kerja. Tidak termasuk didalamnya penduduk usia kerja tetapi bukan
angkatan kerja seperti siswa yang sedang sekolah/kuliah, sedang
mengurus rumah tangga dan sedang melakukan kegiatan lainnya
selain bekerja. Secara matematis cara penghitungan TPT adalah:

TPT = (Jumlah penganggur / Jumlah angkatan kerja) x 100%

Nilai TPT inilah yang sering kali disebut-sebut berkaitan


dengan tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam mengatasi
masalah pengangguran. Semakin rendah angka TPT maka jumlah
penganggur dalam angkatan kerja semakin sedikit, yang berarti daya
serap lapangan pekerjaan terhadap pencari kerja semakin baik.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 91

TPT Provinsi Papua Barat 2006-2009

Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2006 – 2009, BPS Papua Barat

Gambar 3.4. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi


Papua Barat Tahun 2006-2009

Bila diperhatikan dengan cermat pola pada grafik di atas,


Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat
memiliki tren yang cenderung semakin menurun. Di Provinsi Papua
Barat nilai TPT mangalami penurunan dari kondisi Agustus 2006 ke
kondisi Agustus 2009 sebanyak 2,61 poin dari 10,17 persen menjadi
7,56 persen. Penurunan cukup tajam berlangsung sepanjang 2006
hingga 2008, namun ketika menuju 2009 penurunannya melambat.
Sakernas dapat digunakan untuk estimasi sampai dengan level
kabupaten/kota karena output yang dihasilkan, terutama angka
pengangguran sudah mulai diperhitungkan seiring dengan semakin
bertambahnya jumlah penganggur. Hal ini memungkinkan untuk

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 92

melihat bagaimana sebaran TPT di setiap kabupaten/kota di Provinsi


Papua Barat.

Tabel 3.29. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut


Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2009
Jenis Kelamin
Kabupaten/Kota Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Fakfak 12.34 26.52 16.08
Kaimana 7.29 17.07 9.91
Teluk Wondama 5.51 4.45 5.22
Teluk Bintuni 7.01 13.60 8.91
Manokwari 1.93 2.27 2.08
Sorong Selatan 3.43 3.48 3.45
Sorong 4.89 5.15 4.97
Raja Ampat 2.93 11.70 5.38
Kota Sorong 14.52 17.37 15.45
PAPUA BARAT 6.95 8.69 7.56
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat
Dari delapan kabupaten dan satu kota di Provinsi Papua
Barat, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi terdapat di
Kabupaten Fakfak yaitu sebesar 16,08, disusul Kota Sorong dengan
TPT sebesar 15,45 persen. Kedua kabupaten/kota tersebut memiliki
TPT sampai dengan level dua digit, sebuah besaran tingkat
pengangguran yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari
pemerintah daerah setempat.
Bila dicermati lebih dalam, bahwa angka TPT yang tinggi
tersebut kontribusi terbesarnya disumbang dari penduduk yang

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 93

berjenis kelamin perempuan. Selain dari kedua daerah tersebut,


Kabupaten Kaimana, Teluk Bintuni dan Raja Ampat pengangguran
perempuan juga memberikan share yang cukup besar terhadap
angka TPT diwilayah tersebut. TPT perempuan tertinggi adalah TPT
perempuan Kabupaten Fakfak senilai 26,52 persen yang
menunjukkan bahwa di wilayah ini hampir sepertiga angkatan kerja
perempuan adalah pengangguran.

Tabel 3.30. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut


Kabupaten / Kota dan Perkotaan/Perdesaan Tahun 2009

Perkotaan +
Kabupaten/Kota Perkotaan Perdesaan
Perdesaan

(1) (2) (3) (4)


Fakfak 13.51 17.74 16.08
Kaimana 14.20 8.06 9.91
Teluk Wondama *) - 5.22 5.22
Teluk Bintuni 9.33 8.82 8.91
Manokwari 9.50 1.97 2.08
Sorong Selatan 21.95 1.07 3.45
Sorong *) - 4.97 4.97
Raja Ampat *) - 5.38 5.38
Kota Sorong 15.22 26.24 15.45
PAPUA BARAT 14.91 4.75 7.56
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat
*) cakupan sampel hanya didaerah perdesaan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 94

Berdasarkan tabel 3.30. tampak bahwa TPT perkotaan lebih tinggi


dibandingkan TPT perdesaan. Daerah perkotaan merupakan daerah
tujuan mobilitas penduduk. Dengan fasilitas publik yang lebih
banyak dibandingkan perdesaan menjadi penarik para pencari kerja
berduyun-duyun pindah ke perkotaan. Harapan mendapatkan
tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan bekerja di
perdesaan menarik semakin banyak para pencari kerja menaruh
harapannya di perkotaan dan rela bersaing dengan para pencari
kerja lainnya dalam pasar kerja meraih lapangan-lapangan pekerjaan
yang ada. Namun pada kenyataannya, banyaknya tenaga kerja yang
mencari kerja dalam pasar kerja di perkotaan jumlahnya tidak
sebanding dengan lapangan pekerjaan yang ada. Selisih inilah yang
menyebabkan tingginya TPT daerah perkotaan.
Beda dengan wilayah perkotaan, kebanyakan penduduk yang
tetap tinggal di perdesaan paling banyak adalah mereka yang
berpendidikan rendah. Kualifikasi mereka yang tidak menjadi syarat
ketika mereka terjun dalam lapangan pekerjaan yang ada di
perdesaan menjadi penyebab tingkat penyerapan tenaga kerja dalam
pasar kerja perdesaan sangat tinggi. Seperti pernah diuraikan
sebelumnya, tipe lapangan pekerjaan di perdesaan adalah sektor
pertanian subsisten dimana akses keluar atau masuk pada lapangan
pekerjaan ini sangat mudah dilakukan. Jadi wajar saja ketika nilai
TPT perdesaan jauh lebih rendah dibandingkan TPT perkotaan.
Untuk melihat dikelompok umur manakah pengangguran
paling banyak berkumpul. Komposisi jumlah penganggur menurut
kelompok umur terlihat pada tabel 3.31. terjadi penumpukan pada

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 95

kelompok umur 25-29 ke bawah. Mereka adalah angkatan kerja-


angkatan kerja muda yang secara usia masuk ke dalam kelompok
usia sekolah. Bisa ditarik kesimpulan bahwa pada kelompok-
kelompok inilah terisi lulusan-lulusan sekolah atau perguruan tinggi
yang masuk ke dalam pasar kerja untuk mencari kerja. Dengan
berbekal kemampuan yang di peroleh selama mengenyam
pendidikan, kelompok ini secara aktif terlibat mencari kerja. Karena
posisi mereka di pasar kerja sebagai new entrance tanpa kepemilikan
pengalaman kerja bisa menjadi penyebab tidak semua bisa langsung
terserap dalam lapangan kerja.

Tabel 3.31. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut


Kelompok Umur Tahun 2009

Kelompok Umur TPT


91) (2)
15-19 19.89
20-24 19.13
25-29 11.20
30-34 6.57
35-39 2.32
40-44 2.76
45-49 1.29
50-54 1.39
55+ 1.76
Papua Barat 7.56
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 96

Di samping itu, keterbatasan lapangan kerja yang ada tidak


mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja yang lebih cepat
tiap tahunnya. Para new entrance harus bersaing juga dengan para
tenagakerja-tenaga kerja yang sudah terjun lebih lama di pasar kerja.
Tidak mengherankan bila pada kelompok umur ini angka TPT-nya
paling tinggi diantara kelompok umur lainnya.
Penumpukan jumlah penganggur pada kelompok umur 15-
19, 20-24, dan 25-29 biasa terjadi karena di kelompok umur
tersebut tahun-tahun lulusan dari masing-masing tingkatan
pendidikan SLTP, SLTA dan diploma/perguruan tinggi. Ada diantara
para lulusan yang tidak lagi meneruskan sekolahnya baik karena
motif ekonomi maupun nonekonomi, namun ada pula yang berniat
untuk mencari pekerjaan. Bila diperhatikan dari sisi angkatan kerja,
pada kelompok umur 25-29 memiliki jumlah angkatan kerja terbesar
diantara kelompok umur lainnya, namun jumlah penganggurnya
lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok umur 20-24, dimana
jumlah angkatan kerja pada kelompok umur tersebut lebih kecil.
Fenomena ini diduga sebagian dari angkatan kerja yang sebelumnya
berada pada masa tunggu mencari pekerjaan, pada kelompok umur
berikutnya telah mendapatkan pekerjaan.
Secara agregrat, di Provinsi Papua Barat bila ditinjau
menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, terjadi
sebuah fenomena mengkhawatirkan dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi pula TPTnya. TPT terendah terdapat pada
tingkat pendidikan SD ke bawah. Sebaliknya TPT pendidikan SMA ke
atas tercatat sebesar 27,76 persen. Kondisi ini memberikan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 97

gambaran bahwa lapangan pekerjaan paling banyak menyerap


pekerja berpendidikan rendah. Lapangan pekerjaan masih begitu
sulit di keluti oleh para pencari kerja berpendidikan SMA ke atas.
Apakah lapangan pekerjaan yang ada sudah tersedia untuk angkatan
kerja dengan pendidikan tinggi? Ketika melihat TPT pendidikan SMA
ke atas bisa disimpulkan bahwa belum tersedia banyak lapangan
pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan tinggi.

Tabel 3.32. TPT Menurut Kabupaten/Kota dan Pendidikan Tahun


2009
Pendidikan
Kabupaten/Kota Diploma/ Total
≤ SD SLTP SLTA
Sarjana
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Fakfak 6.30 13.30 28.02 22.80 16.08
Kaimana 13.16 11.60 15.74 17.30 9.91
Teluk Wondama 6.25 3.29 12.58 7.00 5.22
Teluk Bintuni 5.19 16.42 14.89 8.05 8.91
Manokwari 0.37 1.64 8.72 8.49 2.08
Sorong Selatan 3.72 2.01 2.62 13.61 3.45
Sorong 4.67 5.82 8.41 11.83 4.97
Raja Ampat 6.34 14.59 12.45 0.00 5.38
Kota Sorong 19.66 10.73 19.93 10.50 15.45
PAPUA BARAT 5.07 7.38 15.75 12.01 7.56
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Dengan mencermati lebih dalam, dari masing-masing


kabupaten/kota kota terdapat kecenderungan yang sama yaitu TPT

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 98

yang pendidikan tertinggi (SLTA atau lebih) besarannya lebih tinggi


dibandingkan TPT pendidikan rendah (SD ke bawah). Bisa dikatakan
bahwa angkatan kerja berpendidikan rendah lebih mudah terserap
oleh lapangan pekerjaan dibandingkan dengan mereka yang terdidik.
Jika ingin membandingkan antar kabupaten maka kita bisa
mengatakan bahwa pada tahun 2009, Fakfak merupakan daerah yang
TPT terdidiknya yang paling tinggi. Kemudian disusul oleh Kota
Sorong, Kaimana dan Teluk Bintuni. Tingginya TPT total Fakfak dan
Kota Sorong ternyata disumbang oleh besarnya TPT terdidik (SMA ke
atas).
Keadaan yang cukup menarik perhatian adalah kondisi TPT
Manokwari. Manokwari merupakan daerah dengan TPT terendah se
Papua Barat. Rendahnya TPT hampir di semua tingkat pendidikan,
baik TPT pendidikan rendah maupun pendidikan tinggi. Di sini
tercatat keduanya memiliki nilai yang rendah terutama yang
berpendidikan SD ke bawah. Ini bisa diartikan bahwa pada tahun
2009 di Manokwari penyerapan angkatan kerja dalam lapangan kerja
jauh lebih baik dibandingkan kabupaten/kota lain tanpa
memperhatikan sektor dominannya.
Fenomena lainnya adalah kondisi TPT Kota Sorong. Sebagai
satu-satunya kota di Papua Barat yang merupakan pusat bisnis,
industri, tujuan migrasi, menjadikan TPT di daerah ini termasuk
yang tinggi di Papua Barat. Sesuai dengan ciri-ciri yang dimilikinya
seperti keberadaan fasilitas publik dan sosial yang lebih lengkap,
tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih banyak, perekonomian
yang lebih maju, menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk untuk

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 99

bermigrasi ke Kota Sorong. Semakin banyak penduduk luar yang


bermigrasi masuk semakin banyak pula stock jumlah angkatan kerja.
Persaingan semakin ketat memperebutkan kursi-kursi pekerjaan.
Ditilik dari sisi pengalaman bekerja sebelumnya dari
karakteristik penganggur, pada kelompok umur 15-29 tahun
sebanyak 90,34 persen pengangguran belum pernah mempunyai
pengalaman untuk bekerja sebelumnya. Jumlah ini setara dengan
71,86 persen dari seluruh pengangguran, dan berada pada interval
kelompok umur 15-29 tahun. Bila dikaitkan antara tingginya
persentase pengangguran terdidik dengan tingginya persentase
penduduk yang belum mempunyai pengalaman untuk bekerja
sebelumnya didalam kelompok umur 15-29 tahun, hal ini
menggambarkan bahwa pada interval kelompok umur tersebut
umumnya seseorang tamat dari pendidikan baik SLTP, SLTA maupun
diploma/sarjana. Terdapat kecenderungan bahwa dimasa tersebut
sedang menjalani masa tunggu (job search period) sembari mencari
pekerjaan setelah lulus dari pendidikan.
Tingginya persentase pengangguran tenaga kerja terdidik di
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah terdapat
pergeseran dari sektor tradisional ke sektor modern yang bersifat
remuneratif, sangat terbatas jumlahnya, sehingga tenaga terdidik
yang berjumlah besar dan muncul dalam waktu yang bersamaan
sering tidak dapat ditampung dalam pasar kerja pada sektor
tersebut. Atau kemungkinan lain, yaitu ketidaksiapan lulusan
pendidikan untuk bekerja sesuai dengan harapan lapangan kerja,

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 100

sehingga banyak dunia usaha/industri yang harus melatih tenaga


kerja tersebut dalam waktu yang relatif lama agar mereka siap kerja,
sehingga akan memunculkan perspektif yang menyatakan asumsi
bahwa pendidikan formal mampu menyediakan tenaga kerja
terampil dan mampu bekerja tidak sepenuhnya benar.
Spekulasi lainnya adalah tidak berimbangnya antara laju
pertumbuhan penduduk usia kerja dengan laju pertumbuhan
tersedianya lapangan pekerjaan. Bila laju pertumbuhan penduduk
usia kerja lebih tinggi atau jumlah angkatan kerja lebih besar dari
ketersediaan lapangan pekerjaan maka jumlah pengangguran akan
terjadi dan semakin lama akan terakumulasi seiring dengan
pertumbuhan penduduk setiap tahun, sehingga akan menjadi bom
waktu yang setiap saat bisa meledak dengan berdampak pada tingkat
kemiskinan dan kerawanan sosial.
Tingginya angka pengangguran terdidik dapat juga
disebabkan oleh kurang berkualitasnya lulusan yang dihasilkan dari
lembaga pendidikan yang ada. Sehingga pasar kerja tidak dapat
menyerap para pencari kerja tersebut karena tidak memenuhi
kualifikasi standar yang ditetapkan oleh perusahaan atau pasar kerja.
Atau dapat juga terjadi lulusan yang dihasilkan sudah jenuh atau
melimpah pada jurusan pendidikan tertentu. Misalnya tidak
berimbangnya lulusan dari berbagai macam jurusan, seperti terlalu
banyak lulusan yang berasal dari jurusan ekonomi membuat
persaingan pada jurusan ini menjadi ketat, padahal lapangan
pekerjaan yang dibutuhkan pasar untuk jurusan tersebut juga
terbatas.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 101

Kemungkinan terakhir yang paling berbahaya terhadap


sustainable development adalah sinkronisasi kebijakan dari pusat
hingga ke daerah (terutama pada otonomi, di mana otoritas
kebijakan ada di level kabupaten/kota) dalam mengatasi masalah
ketenagakerjaan, terutama penurunan jumlah pengangguran pada
batas yang wajar.
Salah satu solusi untuk memecahkan permasalahan
terakumulasinya pengangguran adalah menciptakan lapangan kerja
yang padat karya. Namun, kalangan terdidik cenderung menghindari
pilihan pekerjaan ini karena preferensi mereka terhadap pekerjaan
kantoran lebih tinggi. Preferensi yang lebih tinggi didasarkan pada
perhitungan biaya yang telah mereka keluarkan selama menempuh
pendidikan dan mengharapkan tingkat pengembalian (rate of return)
yang sebanding. Pilihan status pekerjaan utama para lulusan
perguruan tinggi adalah sebagai karyawan atau pegawai, dalam
artian bekerja pada orang lain atau instansi atau perusahaan secara
tetap dengan menerima upah atau gaji rutin.

4.2 Setengah Pengangguran

Selain dihadapkan pada masalah pengangguran, Provinsi


Papua Barat juga dihadapkan pada masalah setengah pengangguran,
yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam
per minggu, namun tidak termasuk yang mempunyai pekerjaan
tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja (jam kerja nol).
Sementara tidak bekerja memang masuk kedalam kategori angkatan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 102

kerja dan masih dikategorikan sebagai bekerja, tetapi walaupun jam


kerjanya selama seminggu yang lalu adalah nol jam, mereka tidak
termasuk sebagai setengah pengangguran. Sebagian dari setengah
pengangguran adalah yang terpaksa bekerja walaupun jabatannya
lebih rendah dari tingkat pendidikannya, upah yang diterima rendah,
yang mengakibatkan produktivitasnya pun menjadi rendah.
Semakin tinggi tingkat setengah pengangguran maka semakin
rendah tingkat utilisasi pekerja dan produktivitasnya. Akibatnya,
pendapatan pekerja pun rendah dan tidak ada jaminan sosial atas
pekerja. Hal ini sering terjadi di sektor informal yang rentan
terhadap kelangsungan pekerja, pendapatan dan tidak tersedianya
jaminan sosial. Sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan untuk
meningkatkan kemampuan bekerja mereka seperti penambahan
balai latihan kerja.
Ada sebuah kecenderungan mengapa seseorang masuk
sebagai setengah pengangguran, sebabnya adalah tingkat
kesempatan kerja yang semakin lama semakin kecil membuat para
pekerja menerima untuk bekerja atau melakukan pekerjaan
walaupun berada dibawah jam kerja normal dari pada menganggur
dan tidak mempunyai penghasilan, lebih baik pekerjaan tersebut
mereka lakukan. Setengah pengangguran termasuk didalamnya
pekerja paruh waktu (part time).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 103

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.5. Persentase Setengah Pengangguran Provinsi Papua


Barat Tahun 2006-2009

Di Provinsi Papua Barat jumlah setengah pengangguran


mencapai 121.256 orang pada kondisi Agustus 2006 atau sekitar
43,20 persen dari total penduduk yang bekerja, walaupun angka ini
turun secara jumlah menjadi 82.508 orang di periode Agustus 2007,
tetapi pada Agustus 2007 persentase setengah penganggur terhadap
penduduk yang bekerja lebih rendah dari keadaan Agustus 2006,
yaitu sebesar 30,77 persen. Kondisi ini meningkat lagi pada Agustus
2008 menjadi 33,28 persen dan kemudian menurun kembali pada
Agustus 2009 menjadi 29,18 persen.(gambar 3.5.)

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 104

Tabel 3.33. Persentase Setengah Pengangguran terhadap


Total Pekerja Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin
Tahun 2009

Jenis Kelamin
Kabupaten/Kota Total
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Fakfak 35.73 52.96 39.71
Kaimana 36.19 51.94 40.07
Teluk Wondama 41.09 49.83 43.57
Teluk Bintuni 25.36 47.60 31.43
Manokwari 19.06 37.26 27.04
Sorong Selatan 38.31 61.44 48.34
Sorong 17.89 32.72 22.39
Raja Ampat 34.22 67.40 42.87
Kota Sorong 10.82 20.88 14.01
PAPUA BARAT 23.35 40.21 29.18
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Tanpa memperhatikan jenis kelaminnya, secara total di tiap


kabupaten/kota persentase setengah pengangguran nilainya
bervariasi. Kota Sorong memiliki persentase setengah pengangguran
terkecil di Papua Barat yaitu 14,01 persen. Dan daerah dengan
persentase tertinggi berada di Sorong Selatan.
Dari sisi gender terungkap bahwa di Provinsi Papua Barat
persentase setengah pengangguran perempuan lebih tinggi
dibandingkan setengah pengangguran laki-laki, dan ini berlaku untuk

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 105

semua kabupaten/kota. Hampir secara umum persentase setengah


pengangguran perempuan bernilai separuh lebih total pekerja
perempuan kecuali Manokwari, Sorong dan Kota Sorong. Persentase
tertinggi setengah pengangguran perempuan adalah Raja Ampat.
Sedangkan yang terendah adalah Kota Sorong. Dominasi perempuan
setengah penganggur kemungkinan karena pekerjaan tersebut
dilakukan untuk mengisi waktu luang sambil mengurus rumah
tangga, disamping untuk menambah penghasilan rumah tangga.
Menurut konsep dari BPS, setengah pengangguran terdiri
dari setengah pengangguran terpaksa dan setengah pengangguran
sukarela. Keduanya sama-sama bekerja dibawah jam kerja normal
(35 jam seminggu), namun terdapat sedikit perbedaan diantara
keduanya. Pada setengah pengangguran terpaksa walaupun bekerja
kurang dari 35 jam seminggu namun masih mencari pekerjaan lain
dan masih bersedia menerima pekerjaan, sedangkan pada setengah
pengangguran sukarela, walaupun bekerja dibawah 35 jam seminggu
tetapi sudah tidak mencari pekerjaan lagi dan tidak bersedia untuk
menerima pekerjaan lain (atau biasanya disebut dengan pekerjaan
paruh waktu/part time worker).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 106

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.6. Jumlah Setengah Pengangguran di Provinsi Papua


Barat Tahun 2007-2009

Dari waktu ke waktu selama periode tahun 2007-2008 di


Provinsi Papua Barat proporsi banyaknya setengah pengangguran
terpaksa selalu lebih besar dibandingkan dengan setengah
pengangguran sukarela. Kondisi ini dapat dilihat pada gambar 3.6. .
Pada periode Agustus 2007 dan Agustus 2008 jumlah antara
setengah pengangguran terpaksa dan setengah pengangguran
sukarela menunjukkan peningkatan. Namun pada periode Agustus
2008 dan Agustus 2009 kecenderungan tersebut sudah mulai tidak
kelihatan. Jumlah setengah penangangguran terpaksa menurun dan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 107

jumlahnya juga terpaut relatif jauh dengan setengah penganggur


sukarela yang masih relatif tinggi.
Menurunnya jumlah setengah penganggur terpaksa pada
periode Agustus 2009 kemungkinan disebabkan mereka sudah mulai
menerima keadaan bahwa semakin sulitnya untuk mencari
pekerjaan memaksa untuk tidak lagi mencari pekerjaan lain.
Disamping itu, latar belakang pendidikan setengah pengangguran
yang rata-rata berpendidikan rendah membuat mereka menyadari
bahwa kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki sudah cocok
dengan pekerjaan yang sedang dijalani.
Kondisi setengah pengangguran pada periode Agustus 2009
memang menurun dari periode sebelumnya pada Agustus 2008.
Tetapi dengan persentase setengah pengangguran mencapai 29,18
persen dapat dikatakan bahwa angka ini masih relatif besar karena
berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja di Provinsi Papua Barat.
Secara global, proporsi antara setengah penganggur terpaksa
dan setengah penganggur sukarela di Provinsi Papua Barat adalah
hampir sebanding. Masing-masing tercatat sebesar 50,71 persen dan
49,29 persen. Pola setengah pengangguran kabupaten/kota
bervariasi dan terbagi dalam 2 kelompok, yaitu yang proporsi
setengah pengangguran terpaksa melebihi yang sukarela terdiri dari
kabupaten Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Manokwari, Sorong. Dan
Kota Sorong. Sebaliknya daerah yang proporsi setengah
pengangguran terpaksa lebih rendah dibanding yang terpaksa adalah
Fakfak, Raja Ampat, Teluk Wondama, Kaimana,

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 108

Tabel 3.34. Setengah Pengangguran Menurut


Kabupaten/Kota dan Kriteria Setengah Penganggur Tahun
2009

Penganggur Penganggur
Kabupaten/Kota Total
Terpaksa Sukarela

(1) (2) (3) (4)


Fakfak 15.43 84.57 100
Kaimana 46.84 53.16 100
Teluk Wondama 41.48 58.52 100
Teluk Bintuni 62.71 37.29 100
Manokwari 57.78 42.22 100
Sorong Selatan 66.48 33.52 100
Sorong 61.18 38.82 100
Raja Ampat 38.77 61.23 100
Kota Sorong 50.94 49.06 100
PAPUA BARAT 50.71 49.29 100
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Diantara kabupaten/kota yang mempunyai proporsi


setengah penganggur sukarela tertinggi adalah Fakfak, sebesar 84,57
persen. Sementara proporsi setengah penganggur sukarela yang
terkecil berada di Kabupaten Sorong Selatan, yaitu sebesar 33,52
persen. Rendahnya angka setengah pengangguran sukarela di
kabupaten tersebut menandakan bahwa penduduk yang bekerja
tetapi masih berstatus sebagai setengah penganggur belum
sepenuhnya puas dengan pekerjaan yang sekarang dijalani, sehingga

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 109

masih berkeinginan untuk merubah keadaan dengan mau mencari


pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan lain.
Setengah pengangguran pada lapangan pekerjaan utama
ditinjau dari sisi sektor primer, sekunder dan tersier menunjukkan
kondisi pada sektor-sektor tersebut masih didominasi oleh setengah
pengangguran sukarela. Dominasi pada sektor primer paling besar
diantara sektor lainnya. Sebanyak 73,70 persen setengah
pengangguran pada sektor services adalah setengah penganggur
sukarela.

Tabel 3.35. Persentase Setengah Pengangguran Terpaksa dan


Sukarela menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun2009

Lapangan Pekerjaan
Kabupaten/Kota Utama Total
A M S
(1) (2) (3) (4) (5)

Setengah Pengangguran Terpaksa 74.55 7.27 18.18 100

Setengah Pengangguran Sukarela 75.99 1.97 22.05 100

PAPUA BARAT 75.36 4.28 20.36 100


Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 110

Untuk sektor sekunder dan tersier, meskipun sebagian besar


setengah penganggur tergolong setengah penganggur sukarela,
namun besarnya persentase tidak terpaut jauh, sehingga masih dapat
dikatakan agak berimbang proporsinya. Besarnya persentase
setengah pengangguran sukarela pada sektor primer dan sekunder
masing-masing adalah 1,97 persen dan 22,05 persen.
Melihat kondisi dan pola yang seragam dari besarnya
persentase setengah pengangguran yang mayoritas berada pada
setengah penganggur sukarela, berarti bahwa tidak ada perbedaan
preferensi pada sektor pekerjaan utama tertentu.

4.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan


indikator untuk melihat perbandingan jumlah angkatan kerja
terhadap jumlah penduduk usia kerja. Secara umum, apabila
tingginya TPAK disebabkan oleh tingginya penduduk yang bekerja,
maka TPAK tersebut menunjukkan kinerja partisipasi angkatan kerja
yang baik. Namun bila tingginya diiringi dengan rendahnya tingkat
kesempatan kerja (persentase penduduk yang bekerja), hal ini cukup
mengkhawatirkan, karena berarti penduduk yang mencari pekerjaan
meningkat yang selanjutnya dapat memicu tingginya angka
pengangguran.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 111

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.7. TPAK Provinsi Papua Barat menurut Jenis Kelamin


Tahun 2007-2009

TPAK di Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan sejak


Agustus 2007 hingga Agustus 2009. TPAK bertambah dari 66,52
persen menjadi 68,52 persen. Ini menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan partisipasi tenagakerja dalam pasar kerja. Keterlibatan
tenaga kerja secara aktif dalam perekonomian semakin membesar.
Jumlah penduduk usia kerja (tenaga kerja) yang semakin meningkat
akan membawa beberapa konsekuensi dalam ketenagakerjaan.
Sebagian penduduk usia kerja akan masuk dalam angkatan kerja dan
sebagian lainnya masuk dalam kategori bukan angkatan kerja.
Penduduk usia kerja yang masuk ke dalam kelompok angkatan kerja
bila tidak terserap pada pasar kerja maka menjadi pengangguran.
Padahal kemampuan pasar kerja dalam menyediakan lapangan
pekerjaan sangat terbatas. Bila semakin banyak angkatan kerja yang

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 112

tidak terserap pasar kerja, jumlah penganggur terbuka otomatis juga


akan semakin bertambah. Jika pasar kerja bisa menyerap semua
angkatan kerja dalam lapangan kerja, peningkatan TPAK yang terjadi
di Papua Barat ini akan memberikan nilai positif bagi perekonomian
dan pembangunan di wilayah ini.
Pada keadaan Agustus 2009 besarnya angka TPAK Provinsi
Papua Barat sekitar 68,52 persen, artinya dari total jumlah penduduk
yang termasuk usia kerja atau tenaga kerja, sebesar 68,52 persen
masuk sebagai angkatan kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan
perekonomian. Jadi hanya sekitar sepertiga dari penduduk usia kerja
yang bukan angkatan kerja. Bila ingin dilihat menurut jenis kelamin,
sangat jelas sekali bahwa partisipasi tenaga kerja laki-laki dalam
pasar kerja jauh lebih banyak dibandingkan partisipasi tenaga kerja
perempuan. Masih kuatnya norma-norma sosial dan adat yang
menempatkan perempuan pada posisinya sebagai pengurus
rumahtangga dan anak-anaknya menjadi alasan kuat kecilnya
partisipasi mereka dalam pasar kerja.
Besarnya angka TPAK tahun 2009 dirinci menurut
kabupaten/kota diterangkan dalam gambar. 3.8 . Angka TPAK
tertinggi berada di Kabupaten Manokwari yaitu sebesar 79,26 persen
dan TPAK terendah berada di Fakfak yakni sekitar 55,78 persen.
Rendahnya TPAK Fakfak terutama disebabkan oleh terlalu
rendahnya TPAK perempuan di Fakfak.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 113

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.8. TPAK menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Bila dilihat secara gender, besarnya angka TPAK laki-laki


dibandingkan dengan TPAK perempuan sangat besar gap-nya
(gambar 3.9. ). TPAK laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih
besar dari pada TPAK perempuan. Besarnya perbedaan yang paling
nyata berada di Kabupaten Kaimana. Selisih angka TPAK
dikabupaten tersebut paling besar diantara daerah lainnya, gap-nya
mencapai 56,32 persen (dengan rincian TPAK laki-laki sebesar 91,82
persen dan TPAK perempuan sebesar 35,49 persen). Daerah dengan
gap terkecil adalah Manokwari dan Sorong Selatan, masing-masing
sebesar 12,29 persen dan 17,64 persen. Peran serta tenaga kerja

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 114

perempuan di daerah ini dalam pasar kerja hampir mendekati


partisipasi tenaga kerja laki-laki.

Sumber: Sakernas 2007, Papua Barat

Gambar 3.9. TPAK menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin


Tahun 2009

4.4 TKK

Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) adalah perbandingan antara


jumlah penduduk yang bekerja dengan jumlah penduduk yang
termasuk dalam angkatan kerja. indikator ini mengindikasikan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 115

besarnya penduduk usia kerja yang bekerja atau sementara tidak


bekerja di suatu wilayah.

TKK mencerminkan daya serap tenaga kerja pada suatu


angkatan kerja. Artinya seberapa banyak angkatan kerja yang
terserap masuk dalam lapangan kerja. Sementara angkatan kerja
yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan tergolong sebagai
pengangguran terbuka. Perbandingan antara banyaknya
pengangguran terbuka terhadap angkatan kerja disebut Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT).
Besarnya daya serap angkatan kerja yang masuk dalam
lapangan kerja berbanding terbalik dengan besarnya pengangguran
terbuka. Semakin tinggi daya serap angkatan kerja maka proporsi
pengangguran terbuka semakin kecil nilainya dan sebaliknya.
Pada gambar 3.10 , dapat diperoleh informasi bahwa tingkat
kesempatan kerja di Provinsi Papua Barat adalah sebesar 92,44
persen (tanda garis kuning). Sementara 7,56 persen sisanya
merupakan angka tingkat pengangguran terbuka (TPT). Bila
dibedakan menurut wilayah administrasi, Kabupaten Manokwari
tercatat memiliki angka tingkat kesempatan kerja yang paling tinggi,
yakni sebesar 97,92 persen. Hal ini berarti bahwa dari total angkatan
kerja didaerah tersebut, sebesar 97,92 persen terserap menjadi
pekerja. Atau dengan kata lain dari 100 orang angkatan kerja,
sebanyak 96 orang diantaranya terserap menjadi pekerja. Sehingga
secara otomatis kabupaten tersebut mempunyai angka tingkat
pengangguran terbuka yang paling kecil.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 116

Daerah yang memiliki TPT di bawah 6-7 persen dikatakan


daerah yang penganggurannya normal dan bisa disebut daerah
fullemployment. Pada tahun 2009, daerah yang nilai TPTnya di
bawah 6-7 persen adalah berturut-turut Manokwari, Sorong Selatan,
Sorong, Teluk Wondama, dan Raja Ampat. Ke lima kabupaten ini
tingkat penganggurannya dianggap normal, dan bisa disebut
fullemployement. Dengan klasifikasi ini maka Papua Barat pada tahun
2009 tingkat penganggurannya belum normal, dan provinsi ini belum
bisa disebut fullemployement.

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.10. Tingkat Kesempatan Kerja menurut


Kabupaten/Kota Tahun 2009

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 117

Di lain pihak, Fakfak dan Kota Sorong merupakan daerah


yang memiliki tingkat kesempatan kerja yang paling rendah diantara
kabupaten lainnya. TKK Fakfak hanya mencapai angka sebesar 83,92
persen atau banyaknya angkatan kerja yang dapat terserap menjadi
pekerja hanya sebesar 83,92 persen saja. Sedangkan TKK Kota
Sorong hanya mencapai 84,55 persen. Dapat dibayangkan, berarti
tingkat pengangguran Fakfak dan Kota Sorong termasuk tinggi, yaitu
mencapai 16,08 persen dan 15,45 persen.

4.5 Laju Pertumbuhan Kesempatan Kerja

Laju pertumbuhan kesempatan kerja adalah perbandingan


antara selisih jumlah kesempatan kerja dalam dua periode waktu
terhadap jumlah kesempatan kerja pada periode waktu awal.
Indikator ini untuk menyajikan laju pertumbuhan penduduk yang
bekerja.
Laju pertumbuhan kesempatan kerja di Papua Barat
mengalami peningkatan sangat signifikan pada periode Agustus
(2007-2008) dibandingkan (2006-2007), yaitu dari pertumbuhan
sebesar -4,48 persen menjadi 17,93 persen. Tanda negatif pada
pertumbuhan TKK periode 2006-2007 berarti pada Agustus 2007
nilainya lebih kecil dibandingkan Agustus 2006. Sebaliknya pada
periode Agustus 2008 nilainya jauh lebih besar dibandingkan
dengan Agustus 2007 yaitu meningkat 17,93 persen. Pada periode
2007-2008 terjadi penyerapan besar-besaran tenaga kerja pada
lapangan kerja. Namun ketika memasuki periode Agustus (2008-

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 118

2009) terjadi penurunan laju pertumbuhan kesempatan kerja,


meskipun penyerapan 2009 lebih besar dibandingkan 2008.

Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Gambar 3.11. Laju Pertumbuhan TKK dan Laju Pertumbuhan


Angkatan Kerja 2006-2009

Akan lebih menarik bila membandingkan laju pertumbuhan


kesempatan kerja dengan laju pertumbuhan angkatan kerja. Seperti
ditampilkan pada gambar 3.11 , laju pertumbuhan TKK dan laju
pertumbuhan angkatan kerja menunjukkan gejala pola yang sama
dalam periode yang sama. Namun yang perlu diperhatikan adalah
selama garis pada laju pertumbuhan TKK dalam gambar masih
berada diatas garis laju pertumbuhan angkatan kerja, maka tingkat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 119

pengangguran terbuka akan mengalami penurunan. Semakin lebar


gap pada kedua garis laju pertumbuhan diatas maka akan semakin
besar kenaikan atau penurunan tingkat pengangguran terbuka.
Seperti yang diterangkan pada gambar diatas, pada periode
Agustus (2006-2007) garis laju pertumbuhan TKK berada diatas
garis laju pertumbuhan angkatan kerja, konsekuensinya angka
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan pada
periode tersebut (10,17 persen menjadi 9,46 persen). Bahkan pada
periode selanjutnya, Agustus (2007-2008) semakin lebih baik, pada
periode ini garis laju pertumbuhan TKK berada jauh di atas garis laju
pertumbuhan angkatan kerja, sebagai akibatnya angka TPT
mengalami penurunan lebih nyata dari 9,46 persen menjadi 7,65
persen. Karena gap pada periode ini lebih besar maka perubahan
nilai TPT-nya menjadi sangat berarti.
Selanjutnya pada periode Agustus (2008-2009) kembali garis
laju pertumbuhan TKK berada diatas (nilainya lebih besar) garis laju
pertumbuhan angkatan kerja, maka pada periode ini angka TPT
kembali mengalami penurunan, yaitu dari 7,65 persen manjadi 7,56
persen. Penurunan yang cukup sedikit, dan dapat terlihat dari
pendeknya gap pada gambar 3.11.

4.6 Elastisitas Kesempatan Kerja

Perlu diketahui bahwa tidak selamanya kenaikan output


suatu sektor ekonomi selalu diikuti dengan kenaikan kesempatan
kerja pada sektor yang bersangkutan. Hal ini dapat disebabkan
perkembangan teknologi yang ditandai dengan terciptanya alat-alat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 120

industri yang lebih efisien dan efektif sehingga mampu menghasilkan


output yang lebih banyak dibandingkan dengan tenaga manusia, atau
dengan kata lain sektor tersebut lebih terfokus pada usaha yang
padat modal bukan padat karya.
Namun apakah sektor yang ada sekarang pro terhadap tenaga
kerja yang tersedia? Artinya penyerapan lapangan pekerjaan masih
rendah atau sudah tinggi. Harus dilihat juga siapa penyumbang
pertumbuhan ekonomi terbesar yaitu sektor pertanian, industri atau
service. Jika perekonomian disumbang oleh sektor –sektor modern
yang tidak membutuhkan banyak tenaga kerja, maka kesempatan
kerja tidak akan terbuka lebar. Mau setinggi apapun pertumbuhan
ekonomi maka pengangguran akan tetap tinggi.
Besarnya pengaruh dari pergeseran peran sektor ekonomi
terhadap kesempatan kerja dapat diukur dengan tingkat elastisitas.
Tingkat elastisitas kesempatan kerja dapat dihitung dengan cara
membandingkan antara laju pertumbuhan kesempatan kerja dengan
laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Berdasarkan hasil perhitungan PDRB Provinsi Papua Barat,
pertumbuhan PDRB dari tahun 2008-2009 adalah sebesar 6,26
persen. Sementara pertumbuhan kesempatan kerja pada periode
yang sama adalah sekitar 3,03 persen. Sehingga tingkat elastisitas
kesempatan kerja di Provinsi Papua Barat tahun 2009 adalah 0,48
persen, artinya setiap kenaikan PDRB sebanyak satu persen akan
menciptakan kesempatan kerja sebanyak 0,48 persen artinya setiap
kenaikan PDRB sebanyak 1 persen mampu menyerap sekitar 1.528
pekerja. Jika diasumsikan elastisitas kesempatan kerja tahun depan

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 121

sama, dengan jumlah pengangguran sebanyak 26.626 jiwa pada


tahun 2009 maka untuk bisa menyerap pengangguran pada tahun
2009 ini dibutuhkan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sekitar 17
persen. Suatu hal mustahil yang tidak mungkin dicapai jika rata-rata
pertumbuhan ekonomi per tahun berkisar 6-7 persen.
Pengangguran akan selalu muncul karena secara alami tidak
mungkin ada suatu bangsa yang fullemployement. Mengapa
demikian? Pertama, penduduk terus bertambah sehingga otomatis
melahirkan para pencari kerja baru yaitu mereka yang telah
menuntaskan pendidikan dan memutuskan tidak melanjutkan
sekolah dengan alasan ingin berpartisipasi aktif dalam kegiatan
ekonomi yaitu mencari kerja.
Kedua, tingkat UMP(Upah Minimum Provinsi) yang
bervariasi yang mempengaruhi keputusan tenaga kerja untuk terlibat
dalam lapangan pekerjaan atau tidak. Tingkat upah yang rendah
akan menjadi alasan kuat bagi tenaga kerja untuk tetap mencari kerja
hingga mendapatkan upah yang sesuai. Ini berlaku terutama bagi
tenaga kerja berpendidikan.
Dengan demikian, kebijakan yang paling nyata bagi
pemerintah adalah bagaimana menciptakan lapangan-lapangan kerja
yang berkualitas yang mampu memberikan upah/penghasilan yang
lebih baik sehingga bisa meningkatkan pendapatan perkapita
penduduk yang secara otomatis akan mampu meningkatkan daya
beli penduduk. Ketika pendapatan perkapita semakin tinggi maka
konsumsi perkapita penduduk juga akan semakin meningkat. Pada

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 122

akhirnya semakin banyak penduduk yang jauh dari garis kemiskinan


dan semakin sedikit penduduk yang jatuh di jurang kemiskinan.
Tabel 3.36. Elastisitas Kesempatan Kerja Prov. Papua Barat
Tahun 2008-2009

Laju Rata-rata Laju Elastisitas


Lapangan
Pertumbuhan Pertumbuhan Kesempatan
Pekerjaan
PDRB (%) TKK (%) Kerja

(1) (2) (3) (4)


Agriculture 3.36 -0.82 -0.24
Manufacture 6.68 10.42 1.56
Services 8.39 7.82 0.93
Papua Barat 6.26 3.03 0.48
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Pada sektor pertanian (agriculture) yang terdiri dari


subsektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan mencatat
nilai elastisitas yang negatif, yaitu sebesar -0,24 persen. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sektor pertanian inelastis, karena pertumbuhan
nilai tambah (PDRB) justru akan mengurangi tingkat kesempatan
kerja sebesar 0,24 persen.
Sementara itu, sektor manufacture mencatat sebagai sektor
yang paling tinggi nilai elastisitasnya. Sektor manufacture yang
terdiri dari sektor pertambangan dan penggalian, industri
pengolahan, listrik/gas/air, dan bangunan/konstruksi. Sektor ini
mencatat elastisitas yang positif, yaitu sebesar 1,56 persen. Berarti
untuk setiap kenaikan nilai tambah PDRB sebanyak satu persen dari

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 123

gabungan empat lapangan pekerjaan utama tadi maka akan


menambah kesempatan kerja sebanyak 1,56 persen.

Disektor services, yang terdiri dari sektor perdagangan


besar/eceran, rumah makan dan hotel; angkutan, pergudangan dan
komunikasi; keuangan, asuransi, usaha persewaan, jasa perusahaan;
dan jasa kemasyarakatan, dimana pertumbuhan PDRB-nya yang
paling tinggi diantara sektor lainnya (10,70 persen), mencatat
adanya inelastisitas kesempatan kerja sebesar 0,93 persen. Jadi
setiap kenaikan satu persen PDRB dari sektor services akan
menciptakan kesempatan kerja sebanyak 0,93 persen.

4.7 Produktivitas Pekerja

Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan


dan pertumbuhan ekonomi, asalkan tenaga kerja tersebut sebagai
sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Peningkatan produksi dan produktivitas kerja sangat ditentukan oleh
kemampuan pekerja, baik di tingkat bawah maupun di level
pimpinan yang mampu menjadi penggerak tenaga kerja yang ada
dibawahnya untuk bekerja secara produktif. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan produktivitas seseorang diantaranya melalui
pendidikan, pelatihan, pengalaman, ketrampilan dan lain-lain.
Salah satu cara untuk mengukur produktivitas pekerja adalah
membuat rasio antara PDRB dengan jumlah penduduk yang bekerja.
Produktivitas pekerja dapat digolongkan menurut lapangan
pekerjaan utama atau menurut kabupaten/kota. Atau dapat juga

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 124

PDRB dibedakan antara PDRB dengan minyak dan gas (migas) dan
PDRB tanpa minyak dan gas (nonmigas). Satuan dari produktivitas
pekerja disini adalah juta rupiah per pekerja per tahun.
Produktivitas secara umum di Provinsi Papua Barat dengan
migas lebih besar dari pada produktivitas pekerja tanpa minyak dan
gas (nonmigas) dengan selisih 13,3 juta rupiah pada tahun 2009. Hal
ini dapat diartikan bahwa nilai output yang dihasilkan pekerja pada
sektor migas lebih tinggi dibandingkan dengan sektor nonmigas.

Tabel 3.37. Produktivitas Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan


Utama Tahun 2009
(Juta rupiah per pekerja per tahun)
PDRB
Lapangan Penduduk Produktivitas
Pekerjaan (Juta Rupiah) Bekerja Pekerja

(1) (2) (3) (4)


Agriculture 3,567,520.90 184,368 19.35
Manufacture 2,638,746.73 38,365 68.78
Services 4,004,614.97 103,026 38.87
Papua Barat 10,210,882.60 325,759 31.34
Sumber: Sakernas 2009, Papua Barat

Provinsi Papua Barat yang sebagian besar tenaga kerja bergerak


disektor pertanian ternyata mencatat produktivitas yang paling
rendah diantara sektor lainnya. Produktivitas pada sektor ini hanya
mencapai 19,35 juta rupiah. Hal ini sebagai bukti pada pembahasan
sebelumnya bahwa sektor partanian yang menjadi penyumbang

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 125

terbesar tenaga kerja di Papua Barat (56,60 persen), serta sebagai


penyumbang terbesar penduduk yang bekerja disektor informal dan
setengah pengangguran mempunyai produktivitas pekerja yang
paling rendah diantara lapangan pekerjaan utama lainnya.
Pada sektor manufacture, produktivitas pekerjanya tercatat
sebagai yang paling tinggi yaitu sebesar 68,78 juta rupiah, artinya
setiap pekerja menghasilkan produktivitas sebesar 68,78 juta rupiah
dalam setahun. Secara jumlah tenaga kerja, sektor ini mempunyai
tenaga kerja yang paling kecil, namun output PDRB-nya merupakan
yang paling besar diantara sektor lainnya, sehingga produktivitas
yang dihasilkan juga paling tinggi. Sedangkan pada sektor services
dengan jumlah pekerja sekitar 103.026 orang mampu menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi dari pada sektor pertanian, yaitu
sebesar 38,87 juta rupiah per pekerja.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 126

BAB IV
KESIMPULAN

 Struktur Penduduk Provinsi Papua Barat termasuk dalam


kategori penduduk muda. Jumlah penduduk usia kerja
terbanyak berada pada kelompok umur 20-24 tahun.
 Beban tanggungan penduduk usia produktif (dependency ratio)
terhadap penduduk yang belum produktif (0-14 tahun) dan
penduduk yang tidak lagi produktif (65+ tahun) adalah sebesar
48,39 persen. artinya setiap 100 orang yang berusia kerja
(dianggap produktif) mempunyai tanggungan sebanyak 48

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 127

orang yang belum produktif dan atau tidak produktif lagi. Dari
sudut ekonomi kondisi ini sangat menguntungkan karena
setiap 1 orang penduduk tidak produktif ditanggung oleh 2
orang yang produktif. Ditambah lagi ketergantungan penduduk
muda (youth DR) lambat laun menurun yang artinya
pengeluaran tinggi untuk menghidupi penduduk usia muda
semakin berkurang. Konsumsi kelompok ini merupakan yang
paling tinggi.
 Angkatan kerja di Provinsi Papua Barat adalah sebanyak
352.385 orang dengan komposisi 229.006 orang berjenis
kelamin laki-laki dan 123.379 orang berjenis kelamin
perempuan. Artinya bahwa angkatan kerja di Papua Barat pada
tahun 2009 sebagian besarnya adalah laki-laki. Perbandingan
angkatan kerja laki-laki terhadap angkatan kerja perempuan
hampir 6:4.
 Konsep bekerja yang digunakan oleh BPS menggunakan rujukan
dari ILO dengan memakai pendekatan the one hour criterion
atau konsep bekerja paling sedikit satu jam yang lalu dalam
periode survei. Persentase penduduk yang bekerja didalam
angkatan kerja sebesar 92,44 persen.
 Sebagian besar penduduk usia kerja Papua Barat bekerja
disektor pertanian, dengan persentase sebesar 56,60 persen.
Meskipun dominasi sektor pertanian masih begitu kuat, namun
sektor pertanian sebagai sektor primer menunjukkan tren yang
terus menurun dilihat dari segi jumlah tenaga kerja. Di sisi lain,
sektor industri (sektor sekunder) dan sektor jasa-jasa (sektor

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 128

tersier) terus menanjak naik dengan perkembangan yang cukup


signifikan. Hal ini menggambarkan bahwa sedang terjadi
transisi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier.
 Menurut jenis pekerjaan utama, sebagian besar penduduk yang
bekerja mempunyai jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha tani,
kebun, ternak, ikan, hutan dan perburuan, yaitu sebesar 55,57
persen. Hal ini berkaitan erat dengan mayoritas penduduk yang
bekerja disektor pertanian.
 Secara global, tingkat pendidikan penduduk yang bekerja di
Provinsi Papua Barat masih tergolong rendah, separuh lebih
pekerja berpendidikan SD ke bawah. Jika dilihat dari
pendidikan dasar 9 tahun, tercatat 67,73 persen pekerja
berpendidikan SLTP ke bawah. Pekerja terdidik (SLTA keatas)
hanya 32,27 persen.
 Provinsi Papua Barat sebagian besar bekerja diatas jam kerja
normal (35 jam seminggu), tepatnya sebanyak 68,50 persen
memiliki jam kerja diatas 35 jam seminggu. Dapat dikatakan
bahwa produktivitas penduduk yang bekerja di Papua Barat
sudah baik dari segi penggunaan jam kerja. Namun masih
terdapat 29,18 persen yang bekerja di bawah jam kerja normal.
Sebanyak itu merupakan setengah pengangguran Papua Barat
tahun 2009.
 Ternyata proporsi sektor informal sangat dominan, sekitar
58,38 persen pekerja bekerja di sektor informal. Sedangkan
sisanya hanya 41,62 persen yang bekerja di sektor formal.
Pekerja disektor informal pada umumnya memiliki tingkat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 129

pendidikan yang lebih rendah dari pada tenaga kerja di sektor


formal. Kondisi tingkat pendidikan tenaga kerja disektor
informal Provinsi Papua Barat juga menunjukkan gejala yang
demikian. Sebesar 66,69 persen dari penduduk yang bekerja
disektor informal mempunyai pendidikan rendah atau SD
kebawah
 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat
memiliki tren yang cenderung semakin menurun. Di Provinsi
Papua Barat nilai TPT mangalami penurunan dari kondisi
Agustus 2006 ke kondisi Agustus 2009 sebanyak 2,61 poin dari
10,17 persen menjadi 7,56 persen. Penurunan cukup tajam
berlangsung sepanjang 2006 hingga 2008, namun ketika
menuju 2009 penurunannya melambat.
 TPT yang tinggi tersebut kontribusi terbesarnya disumbang dari
penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Selain dari kedua
daerah tersebut, Kabupaten Kaimana, Teluk Bintuni dan Raja
Ampat pengangguran perempuan juga memberikan share yang
cukup besar terhadap angka TPT diwilayah tersebut. TPT
perempuan tertinggi adalah TPT perempuan kabupaten Fakfak
senilai 26,52 persen yang menunjukkan bahwa di wilayah ini
hampir sepertiga angkatan kerja perempuan adalah
pengangguran.
 Secara agregrat, di Provinsi Papua Barat bila ditinjau menurut
tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, terjadi sebuah
fenomena mengkhawatirkan dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi pula TPTnya. TPT terendah terdapat

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 130

pada tingkat pendidikan SD ke bawah. Sebaliknya TPT


pendidikan SMA ke atas tercatat sebesar 27,76 persen. Kondisi
ini memberikan gambaran bahwa lapangan pekerjaan paling
banyak menyerap pekerja berpendidikan rendah. Lapangan
pekerjaan masih begitu sulit dikeluti oleh para pencari kerja
berpendidikan SMA ke atas.
 Di Provinsi Papua Barat jumlah setengah pengangguran
mencapai 121.256 orang pada kondisi Agustus 2006 atau
sekitar 43,20 persen dari total penduduk yang bekerja,
walaupun angka ini turun secara jumlah menjadi 82.508 orang
di periode Agustus 2007, tetapi pada Agustus 2007 persentase
setengah penganggur terhadap penduduk yang bekerja lebih
rendah dari keadaan Agustus 2006, yaitu sebesar 30,77 persen.
Kondisi ini meningkat lagi pada Agustus 2008 menjadi 33,28
persen dan kemudian menurun kembali pada Agustus 2009
menjadi 29,18 persen.
 TPAK di Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan sejak
Agustus 2007 hingga Agustus 2009. TPAK bertambah dari
66,52 persen menjadi 68,52 persen. Ini menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan partisipasi tenagakerja dalam pasar kerja.
Keterlibatan tenaga kerja secara aktif dalam perekonomian
semakin membesar.
 Tingkat kesempatan kerja di Provinsi Papua Barat adalah
sebesar 92,44 persen (tanda garis kuning). Sementara 7,56
persen sisanya merupakan angka tingkat pengangguran terbuka
(TPT).

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 131

 Laju pertumbuhan kesempatan kerja di Papua Barat mengalami


peningkatan sangat signifikan pada periode Agustus (2007-
2008) dibandingkan (2006-2007), yaitu dari pertumbuhan
sebesar -4,48 persen menjadi 17,93 persen. Tanda negatif pada
pertumbuhan TKK periode 2006-2007 berarti pada Agustus
2007 nilainya lebih kecil dibandingkan Agustus 2006.
Sebaliknya pada periode Agustus nilainya jauh lebih besar
Agustus 2008 dibandingkan dengan Agustus 2007 yaitu
meningkat 17,93 persen. Pada periode 2007-2008 terjadi
penyerapan besar-besaran tenaga kerja pada lapangan kerja.
Namun ketika memasuki periode Agustus (2008-2009) terjadi
penurunan laju pertumbuhan kesempatan kerja, meskipun
penyerapan 2009 lebih besar dibandingkan 2008.
 Berdasarkan hasil perhitungan PDRB Provinsi Papua Barat,
pertumbuhan PDRB dari tahun 2008-2009 adalah sebesar 6,26
persen. Sementara pertumbuhan kesempatan kerja pada
periode yang sama adalah sekitar 3,03 persen. Sehingga tingkat
elastisitas kesempatan kerja di Provinsi Papua Barat tahun 2009
adalah 0,48 persen, artinya setiap kenaikan output (PDRB)
sebanyak satu persen akan menciptakan kesempatan kerja
sebanyak 0,48 persen artinya setiap kenaikan PDRB sebanyak 1
persen mampu menyerap sekitar 1.528 pekerja. Jika
diasumsikan elastisitas kesempatan kerja tahun depan sama,
dengan jumlah pengangguran sebanyak 26.626 jiwa pada tahun
2009 maka untuk bisa menyerap pengangguran pada tahun
2009 ini dibutuhkan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sekitar

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 132

17 persen. Suatu hal mustahil yang tidak mungkin dicapai jika


rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun berkisar 6-7 persen.
 Produktivitas secara umum di Provinsi Papua Barat dengan
migas lebih besar dari pada produktivitas pekerja tanpa minyak
dan gas (nonmigas) dengan selisih 13,3 juta rupiah pada tahun
2009. Hal ini dapat diartikan bahwa nilai output yang dihasilkan
pekerja pada sektor migas lebih tinggi dibandingkan dengan
sektor nonmigas
 Provinsi Papua Barat yang sebagian besar tenaga kerja
bergerak disektor pertanian ternyata mencatat produktivitas
yang paling rendah diantara sektor lainnya. Produktivitas pada
sektor ini hanya mencapai 19,35 juta rupiah. Hal ini sebagai
bukti pada pembahasan sebelumnya bahwa sektor partanian
yang menjadi penyumbang terbesar tenaga kerja di Papua Barat
(56,60 persen), serta sebagai penyumbang terbesar penduduk
yang bekerja disektor informal dan setengah pengangguran
mempunyai produktivitas pekerja yang paling rendah diantara
lapangan pekerjaan utama lainnya.
 Pada sektor manufacture, produktivitas pekerjanya tercatat
sebagai yang paling tinggi yaitu sebesar 68,78 juta rupiah,
artinya setiap pekerja menghasilkan produktivitas sebesar
68,78 juta rupiah dalam setahun. Secara jumlah tenaga kerja,
sektor ini mempunyai tenaga kerja yang paling kecil, namun
output PDRB-nya merupakan yang paling besar diantara sektor
lainnya, sehingga produktivitas yang dihasilkan juga paling
tinggi. Sedangkan pada sektor services dengan jumlah pekerja

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat


P a g e | 133

sekitar 103.026 orang mampu menghasilkan produktivitas yang


lebih tinggi dari pada sektor pertanian, yaitu sebesar 38,87 juta
rupiah per pekerja.

Profil Ketenagakerjaan Papua Barat 2009 | BPS Prov Papua Barat

You might also like