You are on page 1of 13

angklung

Kesenian Sunda yang semakin Punah

Devin Fortranansi Firdaus 3IPA1


SMA Plus MUTHAHHARI
Bandung

angklung
Kesenian Sunda yang semakin Punah

Nama : Devin Fortranansi Firdaus


No.Test : 21-111-009-8

Disusun
Untuk memenuhi Tugas
Ujian Sekolah
Mid Semester 2
2008-2009

SMA Plus MUTHAHHARI


2009

Daftar isi

Cover luar 1
Cover dalam 2
Daftar isi 3
Kata pengantar 4
Isi
Pendahuluan 5
Bab I : Asal-usul 5
Bab II : macam-macam angklung 7
Bab III : apakah angklung milik Malaysia? 9
Bab IV : contoh gambar angklung 11
Kesimpulan 12
Daftar pustaka 13

Kata Pengantar

Puji sinareng syukur, urang panjatkeun kahadirat gusti Allah s.w.t nu Maha Agung tur
Maha Welas anu parntos masihan kasempatan dugi ka ieu makalah tiasa rengse dina waktosna.
Teu hilap abdi haturkeun nuhun kanggo guru pembimbing Ibu Mikeu anu parantos
ngabantos abdi ngarengsekeun ieu makalah. Sareng pihak-pihak anu tos ngabantos dina
ngarengsekeun ieu makalah. Babaturan anu geus ngabantos abdi jeung merekeun semangatna ka
abdi.
Sim kuring nu teu lepas dina sagala kakurangan ngahapkeun kamakluman sadaya
kalepatan nu aya dina ieu makalah. Mugi ieu makalah tiasa masihan mangpaat sinareng berkat
kanggo sim kuring khususnya. Sinareng pembaca umumna hatur nuhun.

Penulis

Isi
Pendahuluan
Karawitan sunda telah mengakar dalam dan telah menjadi identitas masyarakat sunda,
namun dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang mengaku sunda tetapi tidak mengerti
kesenian sunda secara utuh. Oleh karena itu, dalam makalah ini saya berusaha mengembalikan
budaya sunda yang hampir punah ini. Saat ini, banyak Negara yang telah mengaku bahwa
kesenian sunda khususnya angklung adalah berasal dari negaranya. Saya sebagai warga Negara
Indonesia yang telah lama tinggal di daerah Jawa khususnya Jawa Barat merasa tidak setuju
dengan hal ini, karena memang dari dulu angklung merupakan ciri khas dari daerah Jawa Barat.
Dan juga masih banyak orang yang juga sependapat dengan saya. Tetapi tidak bisa melakukan
hal apapun. Sehingga saat ini saya akan memberikan sedikit sentuhan kepada masyarakat banyak
terutama masyarakat sunda asli yang belum mengenal musik angklung secara utuh.

Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dar Tanah Sunda, terbuat
dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan
pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4
nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai
musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

I. Asal-usul

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis
kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik
tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih).
Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di
Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat
Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat
masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda
sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat
popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang
Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di


sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan
persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam
mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring
bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian
lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan
selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari)
yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan
upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun),
juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa
Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan
angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat
menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke


Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke
Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.

II. Macam-macam Angklung :

1.Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan
terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang.
Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh
angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di
Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy
Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan,
misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan
dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak
boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup
angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

2.Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau


kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan
Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah
satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan
acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah
Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman
kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka
termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan
(prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka
akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap
ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog
lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog
lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini
mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan
inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

3. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah
berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam
padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami
musim paceklik.

4. Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat
musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu
berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah
digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan
dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak
Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding,
Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak
mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang
digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

III. Apakah seni angklung milik Malaysia?

Jadi, jika negara Malaysia mengklaim bahwa seni angklung merupakan produk nenek
moyang mereka di masa lalu, pertanyaannya adalah apakah di Malaysia ada upacara ritual atau
seni helaran semacam itu? Jika ada, lantas bunyi angklung tradisional mereka semacam apa? Jika
yang mereka akui itu adalah Angklung Daeng Soetigna yang diatonis itu, pengakuan tersebut
adalah pengakuan yang tidak bisa diterima akal sehat. Apa sebab? Jika benar seniman Malaysia
menemukan angklung diatonis jauh sebelum Daeng Soetigna, tentunya Konser Angklung Daeng
Soetigna yang digelar dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung sudah
diprotes habis oleh Malaysia. Kenyataan yang ada malah sebaliknya, para delegasi Konferensi
Asia Afrika merasa terheran-heran dengan alat musik angklung hasil kreasi Daeng Soetigna yang
secara fisik tampak tradisional, namun sekaligus kontemporer sebagaimana diakui oleh musikus
Slamet Abdul Syukur dalam sebuah esai yang ditulisnya, "Angklung, Dunia Kebetulan".

TAK bisa disangkal, kehidupan Ki Sunda di masa lalu maupun di masa kini sangat akrab dengan
permainan angklung pentatonis, yang antara lain digelar dalam helaran Seren Taun seperti dalam
pertunjukan Angguk Rengkong. Pertunjukan ini tidak hanya digelar di Kampung Adat Ciptarasa,
Kabupaten Sukabumi Selatan, tetapi juga digelar di beberapa daerah lainnya di Kabupaten
Bandung, seperti di Banjaran dan Ciwidey.

Seni helaran Angguk Rengkong itu sendiri pada satu sisi berkaitan dengan padi. Dan apa yang
disebut Angguk Rengkong adalah berupa alat pemikul padi, yang pikulan utamanya dibuat dari
leunjeuran awi guluntungan yang sudah dikeringkan.

Di dua ujung pikulan tersebut ada gantungan dari bilah bambu, yang di bawahnya ada
bergeugeus padi yang diikat dengan kuat ke bilah bambu tersebut. Pendeknya dalam upacara-
upacara helaran atau dalam upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan padi itu, selalu ada
iringan pertunjukan angklung pentatonis, yang dimainkan secara khusus.

Selain dalam pertunjukan seni Angguk Rengkong, hal semacam itu dalam tradisi Sunda bisa juga
dilihat dalam pertunjukan Angklung Badeng di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut,
dan dalam upacara menanam padi di Kanekes, Baduy, Banten.

Jadi, jika negara Malaysia mengklaim bahwa seni angklung merupakan produk nenek moyang
mereka di masa lalu, pertanyaannya adalah apakah di Malaysia ada upacara ritual atau seni
helaran semacam itu? Jika ada, lantas bunyi angklung tradisional mereka semacam apa?
Jika yang mereka akui itu adalah Angklung Daeng Soetigna yang diatonis itu, pengakuan
tersebut adalah pengakuan yang tidak bisa diterima akal sehat. Apa sebab? Jika benar seniman
Malaysia menemukan angklung diatonis jauh sebelum Daeng Soetigna, tentunya Konser
Angklung Daeng Soetigna yang digelar dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di
Bandung sudah diprotes habis oleh Malaysia.

Kenyataan yang ada malah sebaliknya, para delegasi Konferensi Asia Afrika merasa terheran-
heran dengan alat musik angklung hasil kreasi Daeng Soetigna yang secara fisik tampak
tradisional, namun sekaligus kontemporer sebagaimana diakui oleh musikus Slamet Abdul
Syukur dalam sebuah esai yang ditulisnya, "Angklung, Dunia Kebetulan".

Buka keran paten.Sementara itu, Kadisbudpar Jabar, Drs. H.I. Budhyana, M.Si. dalam sebuah
acara diskusi yang mengangkat tema "Perlindungan Seni Tradisi dan HaKI" di gedung AACC,
Jln. Braga, Bandung, baru-baru ini mengatakan, bahwa pemerintah c.q. Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata telah membuka keran selebar-selebarnya kepada para seniman untuk
mendaftarkan karya seni tradisi agar mendapat hak paten dan hak-hak lainnya.

"Keran ini dibuka lebar-lebar setelah ada pembicaraan khusus antara Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata serta Dirjen Hukum dan HAM di Jakarta. Disbudpar Jabar diberi tugas untuk mendata
sekaligus mencatat karya seni tradisional untuk dipatenkan," ujar Kadisbudpar Jabar, H.I.
Budhyana.

Lebih lanjut dikatakannya, apa yang dikreasi oleh almarhum Daeng Soetigna sudah selayaknya
mendapat perlindungan hukum, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan sudah pantas pula
mendapat royalty dari para perajin angklung diatonis. Lepas dari persoalan tersebut di atas,
lantas sejak kapan angklung ada dalam kehidupan nenek moyang kita di tatar Sunda? Dalam
Jurnal Ilmu Desain Vol. 2 No. 1/2007, Hari Nugraha, Dudy Wiyancoko, dan Yasraf Amir Piliang
dalam tulisannya yang diberi judul "Desain Angklung Tradisional dan Modern" mencatat bahwa
awal keberadaan angklung tidak terlepas dari keberadaan seni karawitan dalam masyarakat
Sunda.
Angklung telah ada sebelum awal Kerajaan Sunda berdiri pada tahun 952 Saka atau tahun 1030
Masehi. Data ini bersumber dari prasasti yang ditemukan di Daerah Cibadak, Kapupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Sementara itu ada juga yang mengatakan bahwa angklung sudah ada di
tatar Sunda sebelum Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pakuan Padjadjaran berdiri di Bogor. Selain
itu, informasi tentang angklung terdapat juga di dalam Kitab Negara Kertagama dalam pupuh 11:
7, yang berkisah tentang digunakannya angklung untuk menyambut kedatangan Raja Hayam
Wuruk.

Bunyi angklung sendiri dari zaman ke zamannya tampak mengalami perkembangan. Pada
angklung buhun, menurut sejumlah pakar musik hanya terdapat tiga nada yang disebut tritonik.
Selanjutnya, para seniman angklung pada zamannya mengembangkan tangga nada tersebut jadi
lima nada yang disebut pentatonik. Di lain pihak, Daeng Soetigna memperkaya khazanah
angklung Sunda, dengan cara meminjam tangga nada yang datangnya dari Barat sana ke dalam
angklung Sunda. Angklung dengan tangga nada diatonis itulah. yang kini diklaim Malaysia
sebagai bamboo Malay itu.

IV. Contoh gambar dari angklung :

Kesimpulan

Angklung merupakan kesenian khas Jawa Barat yang akan dikembangkan kembali oleh
pemerintah Indonesia dalam bentuk pameran-pameran di kancah Internasional. Supaya tidak di
klaim lagi oleh Negara-negara lain. Sampai saat ini, banyak masyarakat yang akan ikut serta
dalam upaya perebutan kembali hak kita sebagai warga Jawa Barat yang telah direbut oleh
Negara lain.

Daftar Pustaka

www.google.co.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Angklung.jpg
http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=164&Itemid=1

You might also like