Professional Documents
Culture Documents
1 ISSN 1907-9605
Juni 2006
ANALISA
- Pascagempa, Intensitas Gotong Royong Semakin Tinggi
- Mengembangkan Budaya Lokal (Jawa) Dalam Meredam Konflik Sosial
TOPIK
- Sekilas Tentang Pathok Nagara
- Pawon Dalam Budaya Jawa
- Nilai-Nilai Kesatuan Dalam Keragaman Sukubangsa
- Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia
ULASAN
- Permainan Tradisional Anak, Salah Satu Khasanah Budaya yang Perlu Dilestarikan
- Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan
Yogyakarta ISSN
Jantra Vol. I No. 1 Hal. 1 - 60 Juni 2006 1907 - 9605
Jantra dapat diartikan sebagai roda berputar, yang bersifat dinamis, seperti halnya kehidupan
manusia yang selalu bergerak menuju ke arah kemajuan. Jurnal Jantra merupakan wadah
penyebarluasan tentang dinamika kehidupan manusia dari aspek sejarah dan budaya. Artikel
dalam Jurnal Jantra bisa berupa hasil penelitian, tanggapan, opini, maupun ide atau pemikiran
penulis. Artikel dalam Jantra maksimal 20 halaman kuarto, dengan huruf Times New Romans,
font 12, spasi 2, disertai catatan kaki dan menggunakan bahasa populer namun tidak
mengabaikan segi keilmiahan. Dewan Redaksi Jantra berhak mengubah kalimat dan format
penulisan, tanpa mengurangi maksud dan isi artikel. Tulisan artikel disampaikan dalam bentuk
file Microsoft Word (disket, CD), dialamatkan kepada: Dewan Redaksi Jantra, Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Jalan Brigjen Katamso 139, Yogyakarta 55152,
Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555 E-mail: jantra@bksnt-jogja.com
Alamat Redaksi :
BALAI KAJIAN SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL YOGYAKARTA
Jalan Brigjen Katamso 139, Yogyakarta 55152
Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555
E-mail : jantra@bksnt-jogja.com
Website : www.bksnt-jogja.com
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, karena atas perkenan-Nya, Edisi
Perdana Jurnal Jantra dapat hadir di tengah para pembaca. Melalui proses panjang, Jantra
mencoba menyajikan berbagai peristiwa serta topik kesejarahan dan kebudayaan Jawa
yang sedang berkembang saat ini.
Tulisan Siti Munawaroh dan Christriyati Ariani, menganalisa gotong royong, gugur
gunung, kerukunan serta kebersamaan yang semakin tumbuh subur di kalangan warga
masyarakat DIY pascagempa. Adanya rasa senasib sepenanggungan sesama korban gempa,
secara spontanitas warga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Jawa seperti kerukunan,
kegotongroyongan, keselarasan dan keharmonisan yang di era globalisasi saat ini menjadi
nilai yang sangat “berharga”.
Topik lain yang juga cukup menarik dalam edisi kali ini, adalah tulisan Sumintarsih
serta Samrotul Ilmi Albiladiyah. Kedua penulis ini masing-masing menelaah salah satu
bangunan Jawa yang cukup penting. Sumintarsih mengkaji bagaimana peran pawon dalam
budaya Jawa, sedangkan Ilmi Albiladiyah mengkaji peran Pathok Nagara, salah satu
masjid milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Walaupun seringkali pawon ditempatkan
dalam kategori bangunan rumah orang Jawa yang “diremehkan”, karena letaknya yang
selalu di bagian belakang, namun filosofi pawon bisa menggambarkan bagaimana struktur
sosial yang terjadi di masyarakat Jawa. Sementara tulisan Samrotul Ilmi Albiladiyah mengulas
tentang Pathok Nagara berserta seluk beluk bangunan masjid milik Sultan yang terletak di
empat penjuru, serta hubungannya dengan fungsinya sebagai pengadilan surambi. Kini
peran dan fungsi masjid Pathok Nagara telah berubah.
Kajian kesejarahan, tulisan Tashadi mencoba melihat kembali bagaimana semangat
nasionalisme tumbuh di kalangan pemuda tahun 1928, dalam rangka Sumpah Pemuda.
Semangat nasionalisme yang dibangun saat itu kemungkinan bisa ditumbuhkembangkan
kembali terutama untuk membangun persatuan dan kesatuan di masa sekarang. Tulisan
Dwi Ratna Nurhajarini berbicara tentang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), yang
menunjukkan bahwa krisis moneter pernah terjadi di masa lalu. Dengan demikian peristiwa
sejarah selalu mengikuti pola tertentu dan berulang, benar adanya.
Topik lain yang juga berhubungan dengan nilai budaya Jawa, adalah tulisan Suyami
serta Ernawati. Suyami mengulas bagaimana peran seni pertunjukkan wayang bagi
kehidupan masyarakat Jawa. Hingga saat ini, wayang masih bisa eksis di tengah masyarakat
Jawa, sebagai tontonan, tuntunan, serta tatanan tersendiri. Banyak nilai filosofis yang
dapat diserap dari seni tradisi wayang ini. Sementara Ernawati Purwaningsih mengulas
tentang permainan tradisional anak, menunjukkan bahwa dalam permainan tradisional anak
sarat dengan nilai budaya yang dibutuhkan bagi perkembangan mental anak, melalui nilai
kebersamaan, kepemimpinan, kerukunan, pendidikan, yang merupakan nilai-nilai budaya
yang mungkin tidak ada di dalam permainan modern.
Kedelapan tulisan dalam Jantra, edisi perdana ini, semoga bisa menambah wawasan
pembaca terutama berkaitan dengan khasanah kesejarahan dan kebudayaan. Namun
demikian, Dewan Redaksi Jantra sangat mengharapkan saran, kritik, serta masukan dari
para pembaca, dalam upaya kesempurnaan Jantra di masa mendatang.
Redaksi
ii
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar Redaksi ii
Permainan Tradisional Anak: Salah Satu Khasanah Budaya yang Perlu Dilestarikan 40
Ernawati Purwaningsih
Biodata Penulis 58
iii
Pascagempa Intensitas Gotong Royong Semakin Tinggi (Siti Munawaroh)
Abstrak
Pendahuluan
Setiap manusia mempunyai keinginan Oleh karena itu, manusia harus saling
untuk mempertahankan hidup dan mengejar bergotongroyong, tolong menolong dan
kehidupan yang lebih baik, hal ini merupakan bekerja sama dengan orang lain dalam hidup
naluri yang paling kuat dalam diri manusia. bermasyarakat, berbangsa maupun
Sehingga kita harus selalu berusaha untuk bernegara. Manusia sangat memerlukan
meningkatkan corak dan kualitas baik sebagai pengertian, kasih sayang, harga diri,
makhluk pribadi, individu maupun sebagai pengakuan dan tanggapan emosional, yang
makhluk sosial yang harus dikembangkan sangat penting artinya dalam pergaulan dan
secara selaras, seimbang dan serasi agar kesejahteraan hidup yang sehat. Tanggapan
dapat menjadi seorang manusia yang utuh. emosional tersebut hanya dapat diperoleh
Kekuatan manusia pada hakekatnya dalam hubungannya dengan manusia lain dan
tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau dalam hidup bermasyarakat. Dengan
kemampuan psikisnya semata-mata, tetapi demikian gotong royong, tolong menolong dan
kekuatan manusia terletak pada kemam- bekerja sama merupakan nilai atau adat
puannya untuk bekerja sama dengan manusia istiadat dari keadaan tata laku kelompok
lainnya. Disadari, bahwa sebagai manusia masyarakat.
akan mempunyai arti dalam kaitannya Departemen Pendidikan dan
dengan manusia lain apabila hidup di Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti Tradisional (1981) menjelaskan adat istiadat
dan dapat hidup di antara manusia lainnya, adalah merupakan sistem nilai dari suatu
tanpa ada manusia lain dalam hidup pranata sosial yang tumbuh dan berkembang
bermasyarakat seseorang tidak akan dapat dalam masyarakat. Dijelaskan lebih lanjut,
berbuat banyak, dalam mempertahankan bahwa salah satu unsur adat istiadat yang
hidup dan usaha mengejar kehidupan yang penting ialah gotong royong. Di samping itu
lebih baik. gotong royong dapat juga dimanfaatkan
1
Kusumabrata, Nilai Tolong Menolong, Musyawarah dan Manfaat Sebagai Faktor Penunjang Kerekatan
Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta: Proyek P2NB, Tahun 2001, hal. 2
1
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
sebagai faktor penunjang kerekatan untuk hidup sendiri, perlu gotong royong, tolong
berbangsa dan bernegara. menolong, perlu bantuan orang lain, perlu
Ada beberapa nilai yang terkandung mengadakan kerja sama dalam hidup
dalam hakekat gotong royong, tolong bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
menolong, dan kerja sama antara lain1: Menurut Dep. P&K, Direktorat Sejarah dan
1. Menciptakan suasana kekeluargaan dan Nilai Tradisional (1981) menyatakan bahwa
kegotongroyongan. gotong royong, tolong menolong adalah suatu
2. Suka memberi pertolongan kepada orang bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan
lain dengan sikap tanpa pamrih. tertentu dengan asas timbal balik yang
3. Saling hormat menghormati dan dapat mewujudkan adanya keterikatan sosial dalam
bekerja sama dengan orang lain. masyarakat.
4. Saling bantu membantu dalam hidup Gotong royong atau tolong menolong
bermasyarakat. adalah bentuk kerja sama yang spontan yang
5. Mengembangkan sikap tenggang rasa, sudah membudaya, serta mengundang unsur-
saling mencintai sesama dan tidak unsur timbal balik yang bersifat sukarela
semena-mena terhadap orang lain. untuk memenuhui kebutuhan insidentil
6. Rela berkorban untuk kepentingan maupun yang berkelangsungan dalam rangka
bersama demi kesatuan dan persatuan meningkatkan kesejahteraan bersama, baik
dalam bermasyarakat. material maupun spiritual2. Dalam difinisi
7. Merasa ikut memiliki, ikut bertanggung- tersebut di atas tampak bahwa gotong royong
jawab dan tidak memaksakan kehendak tolong menolong merupakan suatu kegiatan
dalam hidup bermasyarakat. yang dilakukan bersama-sama oleh beberapa
8. Menjaga keseimbangan antara hak dan orang dalam suatu kelompok masyarakat.
kewajiban serta menghormati hak-hak Hal ini sesuai dengan yang dikembangkan
orang lain. oleh Bintarto (1980) bahwa dalam artian yang
sebenarnya gotong royong dilaksanakan oleh
Pembahasan sekelompok penduduk di suatu daerah yang
Kodrat manusia adalah sebagai datang membantu atau menawarkan tenaga
makhluk pribadi dan sekaligus sebagai tanpa pamrih, atau dengan lain perkataan
makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi secara sukarela menolong secara bersama.3
manusia memiliki ciri dan sifat yang khusus Kegiatan gotong royong atau tolong
untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan menolong semacam itu sebetulnya sudah
potensi yang dimiliki, sedangkan sebagai melembaga dalam masyarakat Indonesia
makhuk sosial, manusia tidak dapat hidup, sejak jaman kejayaan kerajaan Hindu di Jawa
tidak dapat berkembang tanpa bantuan orang seperti kerajaan Mataram Kuno dan juga
lain. Kerajaan Majapahit. Kegiatan gotong royong
Kekuatan manusia pada hakekatnya atau tolong menolong yang terjadi di
tidak terletak pada kemampuan jasmani atau Karangtengah, Imogiri, Bantul, DIY, ternyata
kemampuan jiwanya semata namun telah mengalami perubahan. Perubahan saat
dipengaruhi pula pada kemampuan untuk ini ditunjukkan dengan terkikisnya sifat-sifat
bekerja sama dengan manusia lainnya dalam gotong royong yang terjadi di beberapa desa.
hidup bermasyarakat. Manusia tidak dapat Masuknya pengaruh budaya materialisme
2
Ibnu Syamsi. 1986. Studi Tentang Gotong Royong dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di Desa
Sinduadi, Mlati, Sleman. Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM
3
Bintarto. Gotong Royong Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980, hal. 13
2
Pascagempa Intensitas Gotong Royong Semakin Tinggi (Siti Munawaroh)
yang kini menguasai pola dan cara berpikir warga dan ternyata warga masyarakat
masyarakat desa mengakibatkan lunturnya antusias dan bersemangat sekali.4
gotong royong itu. Oleh karena sistem gotong Meningkatnya intensitas sistem gotong
royong itu merupakan salah satu dari royong, tolong menolong dan kebersamaan
manifestasi kebudayaan yang sejak nenek di Desa Karangtengah, hal ini di samping
moyang telah dikenal, maka dalam masyarakatnya telah memiliki jiwa gotong
kesempatan ini dilakukan pengamatan royong yang cukup kental dan tinggi juga
bagaimana gotong royong, tolong menolong, karena memiliki kondisi dan situasi yang sama
dan kebersamaan warga setelah adanya dalam beberapa hal bidang kehidupan dan
gempa pada tanggal 27 Mei 2006 lalu yang juga saling membutuhkan. Contoh ada
melanda Daerah Istimewa Yogyakarta dan masyarakat yang keset (malas) dan hampir
Jawa Tengah. tidak pernah terlihat dalam perkumpulan atau
Sebagian besar mata pencaharian kegiatan apa saja yang dilakukan warga,
masyarakat Desa Karangtengah dominan di setelah adanya gempa bumi mereka malahan
bidang pertanian baik sebagai pemilik maupun sangat aktif dan selalu tergabung bersama.
buruh. Kemudian diikuti kegiatan bidang Selain itu, ada kegiatan yang biasanya tidak
perdagangan dan jasa, sehingga kehidupan pernah dilakukan gotong royong sekarang
gotong royong masih nampak. Kegiatan lebih diintensifkan. Yang lebih bagus dan
masyarakat tentang gotong royong atau bersifat positif lagi, sebelum gempa bumi
tolong menolong lebih terlihat nyata dan terjadi bahkan ada beberapa masyarakat
semakin tinggi intensitasnya semenjak yang neng-nengan atau jothakan setelah
adanya gempa. Gempa bumi yang menimpa adanya gempa bumi semakin baik
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa interaksinya sehingga terlihat suasana
Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 telah kehidupan masyarakat yang rukun, guyup,
memporakporandakan berbagai bangunan adem ayem dan tentrem.
seperti rumah, sekolah, perkantoran dan Dengan demikian dibalik peristiwa
bangunan lainnya. bencana alam yakni gempa bumi yang telah
Kabupaten Bantul keadaan per tanggal dialami oleh masyarakat Karangtengah ada
6 Juni 2006 jam 11.00 WIB, rumah kondisi hikmah yang mereka ambil. Hal ini karena
rusak total sebanyak 71.763 bangunan, rusak mereka terus merenungkan, dan kemudian
berat 71.372 bangunan, dan rusak ringan dijadikan suatu pelajaran. Selain itu, adanya
sebanyak 66.359 bangunan. Sementara untuk musibah bencana alam juga mengakibatkan
Desa Karangtengah menurut data kelurahan, adanya perubahan yang terjadi dalam diri
dari sebanyak 1.306 rumah, teperinci rumah manusia maupun masyarakat, baik
rusak total 749 bangunan (57,36%), rusak menyangkut sistem pengetahuan, perilaku
berat 308 bangunan (23,57%), dan rusak maupun tindakan. Di dalam budaya Jawa,
ringan 249 bangunan (19,07%). Dengan dengan terjadinya bencana lebih dimaknai
kerusakan sedemikian parahnya tersebut, sebagai suatu “peringatan”, teguran atau
warga masyarakat Karangtengah berinisiatif sapaan terhadap perilaku dan perbuatan, yang
melakukan kegiatan gotong royong atau selama ini mungkin tidak lagi sesuai dengan
tolong menolong dan bekerja sama di antara budayanya.5
4
Situs www. Rekap Data Korban Jiwa dan Rumah Bencana Alam Gempa Bumi di Kabupaten Bantul.
Bantul: 7 Juni, 2006, hal. 2
5
Christriyati Ariani. Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial. Makalah Seminar
“Sosialisasi Penanganan Korban Bencana” Dinas Sosial Propinsi DIY, September 2006
3
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
4
Pascagempa Intensitas Gotong Royong Semakin Tinggi (Siti Munawaroh)
dilakukan secara insaf, akan tetapi memang Mengingat nilai-nilai sikap gotong
telah berakar dalam khasanah budaya leluhur royong dan tolong menolong tersebut bisa
mereka. Gotong royong, tolong menolong dan dijadikan sebagai faktor penunjang kerekatan
kebersamaan merupakan perwujudan di antara warga masyarakat dan merupakan
solidaritas, kesetiakawanan sosial, dan senjata ampuh guna menanggulangi berbagai
pancaran kekeluargaan. permasalahan yang sedang dihadapi ini.
Daftar Pustaka
Bintarto. 1980. Gotong Royong Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Surabaya, Bina
Ilmu.
Christriyati Ariani. 2006. “Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial”.
Yogyakarta, Makalah Seminar. Dinas Sosial Pemerintah DIY.
Depdikbud, Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional. 1981. Sistem Gotong Royong Dalam
Masyarakat Desa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.
Ibnu Samsi. 1986. Studi Tentang Gotong Royong dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Desa Sinduadi Mlati Sleman. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
5
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
Pengantar
Sekitar dua bulan yang lalu di dalam musibah. Mereka saling tolong menolong,
tajuk rencana Kedaulatan Rakyat 1 bahu membahu, dukung mendukung,
diberitakan tentang bagaimana kondisi warga bergotong royong mengedepankan
masyarakat Bantul yang tertimpa musibah kebersamaan, keluhuran budi, serta
gempa bumi dan memporakporandakan mengesampingkan kepentingan diri dan
wilayahnya. Saat itu warga merasakan kelompok untuk mementingkan kepentingan
kesedihan, keguncangan batin, bahkan masih masyarakat. Indah nian kehidupan
menyisakan rasa trauma. Namun setelah masyarakat Bantul khususnya dalam suasana
hampir 20 hari dari peristiwa gempa bumi 27 duka dan derita, masih tersisa ceria anak
Mei 2006, warga mulai bangkit. Mereka manusia yang masih mau berbagi kasih, setia
begitu bersemangat melihat para relawan dari dalam aksi solidaritas antar sesama negara,
berbagai daerah maupun negara yang tanpa mementingkan diri sendiri.
berdatangan membantunya. Tanpa ada Uraian di atas ini sebenarnya
halangan perbedaan kulit, ras, golongan, menggambarkan bagaimana hubungan antar
agama maupun suku, bersatu padu membantu manusia, antar sukubangsa, bahkan antar
“saudara-saudaranya” yang sedang ditimpa negara sekalipun yang tercermin dalam
1
Dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2006, hal. 10
6
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)
kegiatan kemanusiaan yang sangat luhur. manakala pemerintah mulai mengumumkan
Barangkali di saat ini yang seringkali adanya bantuan jaminan hidup (jadup)
dikonotasikan dengan zaman “modern”, nilai- maupun dana rekonstruksi yang akan
nilai seperti itu mungkin merupakan sebuah diberikan kepada para korban gempa. Jalinan
nilai yang mahal harganya. Gaya modernitas keharmonisan yang sempat terjalin beberapa
yang selalu ditandai dengan individualitas, waktu mulai mengendur. Apalagi banyak
egoisme serta kehidupan yang penuh disinyalir bahwa penyaluran bantuan tersebut
dengan”kepura-puraan”, semuanya selalu banyak mengalami kendala, ketidakadilan
mengandung pamrih yang diharapkan. serta penerimaan yang tidak serentak dan
Apalagi tidak sedikit dari Lembaga Swadaya merata. Dari situlah mulai tumbuh konflik-
Masyarakat (LSM), yayasan sosial, instansi konflik sosial di antara sesama korban, di
pemerintah dengan berbagai atribut serta antara sesama tetangga korban, bahkan di
“pakaian” nya seakan-akan turut serta antara sesama dusun maupun desa yang
berlomba-lomba ingin berpartisapasi dalam menjadi korban gempa. Bantuan materiil
penanganan korban gempa, baik selama (baca uang) ternyata telah mampu
masa tanggap darurat hingga masa menghapuskan nilai-nilai budaya lokal yang
rekonstruksi maupun rehabilitasi. selama ini sebenarnya masih mereka miliki.
Di sisi lain, warga korban gempa pun
dengan kerendahan hati dan ketulus- Batasan Konsep: Budaya Lokal,
ihklasannya menerima dengan senang hati Konflik Sosial
berbagai bantuan baik moril maupun materiil Di dalam dunia ilmu antropologi, budaya
yang diberikan dari para dermawan maupun atau kebudayaan mempunyai batasan yang
relawan. Bahkan hal yang sangat menarik, sangat kompleks dan tidak terhingga,
di masa rekonstruksi masih ada sekelompok tergantung dari perspektif mana yang akan
manusia yang dengan tulus ikhlas kita gunakan. Sejalan dengan permasalahan
memberikan sumbangan berupa tenaga. serta topik dari judul artikel ini, maka saya
Mereka adalah kaum pekerja yang berasal menempatkan budaya (baca kebudayaan)
dari daerah sekitar Sawangan, Kaliangkrik dalam dua hal. Pertama, kebudayaan
(Magelang), serta daerah-daerah lainnya merupakan suatu sistem ideasional, suatu
yang secara rutin setiap hari minggu, turut konsep gagasan yang dimiliki oleh setiap
serta membantu warga Bantul dalam individu yang menjadi pedoman dalam
membongkar, serta membersihkan puing- hidupnya. Kebudayaan sebagai sistem
puing bangunan rumah mereka yang roboh ideasional ini berada di dalam sistem kognitif
akibat gempa. Mereka berdatangan dengan setiap individu, berada di dalam alam pikiran
menggunakan truk-truk terbuka, di pagi hari (mind) individu yang dimiliki secara bersama
dan akan kembali di sore hari. Selama dalam suatu komunitas.2 Di sini, budaya
mengerjakan pembersihan puing-puing digunakan untuk mengacu pada pola
bangunan yang hancur karena gempa, kehidupan suatu masyarakat - kegiatan dan
mereka tidak mau merepotkan si pemilik pengaturan materiil dan sosial yang berulang
rumah, karena mereka membawa bekal serta secara teratur.
kebutuhannya sendiri. Dengan demikian, budaya dalam
Akan tetapi, kerukunan, kebersamaan, pengertian tersebut, dapat dilihat sebagai
rasa senasib sepenanggungan, serta sikap sistem pengetahuan yang akan memberikan
kegotongroyongan, tiba-tiba mulai terusik patokan guna menentukan apa…; guna
2
Keesing, Roger dan Godenough, Antropologi Budaya, Suatu Perspekstif Kontemporer, Penerbit Erlangga,
1999, hal. 68
7
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
menentukan bisa jadi apa…; guna Bahkan seperti tanda-tanda alam sekali pun,
menentukan bagaimana kita merasakannya; sering dihubung-hubungkan dengan sesuatu
guna menentukan apa yang harus diperbuat peristiwa yang akan terjadi. Kepiawaian
tentang hal itu, dan…..guna menentukan manusia Jawa dalam niteni suatu fenomena
bagaimana cara melakukannya. Atau, dengan alam yang terjadi dalam hidupnya memang
kata lain kebudayaan merupakan suatu “alat” tidak perlu diragukan.
yang digunakan dalam pemenuhan Sementara itu, Kuper dan Kuper 4
kehidupannya. Di dalam sistem gagasan mendefinisikan konflik sosial dalam dua hal.
budaya Jawa, hal-hal seperti itu dapat ditemui Pertama, konflik sosial merupakan suatu
di dalam berbagai adat-istiadat, tradisi, perspektif atau sudut pandang tertentu, di
ungkapan-ungkapan tradisional, norma, mana konflik dianggap selalu ada dalam
aturan, pandangan hidup (ways of life), setiap bentuk interaksi manusia di dalam
kearifan lokal, dan sebagainya. struktur sosialnya. Kedua, konflik sosial dapat
Kedua, kebudayaan atau budaya diartikan secara eksplisit sebagai suatu
merupakan suatu sistem makna, yaitu hal- bentuk pertikaian terbuka seperti perang,
hal yang selalu berhubungan dengan simbol- revolusi, pemogokan dan gerakan
simbol tertentu, dikenal dan diketahui dan perlawanan. Asal mula terjadinya konflik
disebarkan oleh masyarakat yang sebenarnya dapat ditelusuri dari tingkat
bersangkutan. Mengingat budaya kejadiannya. Pihak-pihak yang berkonflik
(kebudayaan) dianggap sebagai simbol, yang dapat dibedakan atas dasar tingkat organisasi
mengandung makna-makna tertentu, berarti serta kekompakannya. Konflik sosial juga
ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu dapat terjadi akibat adanya pertentangan
dibaca, kemudian ditangkap dan ditafsir tujuan, mulai dari pertikaian yang bersifat
maknanya, sehingga pada gilirannya hasil sederhana yang dianggap bernilai tinggi,
pemaknaan dan penafsiran tersebut akan hingga kasus-kasus tertentu yang bersifat
diketahui dan dibagikan oleh dan kepada kompleks seperti penguasaan tanah,
masyarakat, serta diwariskan kepada perebutan harta benda dan sebagainya.
generasi berikutnya. 3 Dengan demikian Konflik sosial juga bisa terjadi atas dasar
kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil cara yang digunakan, misalnya melalui
pemaknaan dari sebuah masyarakat yang pemaksaan secara terang-terangan;
bersangkutan dalam melihat peristiwa- ancaman, hingga berupa bujukan yang
peristiwa atau gejala sosial budaya yang bersifat halus.
sedang terjadi. Di dalam kehidupan sosial masyarakat
Sejalan dengan konsep tersebut, maka Jawa, pada intinya mereka sangat
di dalam budaya Jawa secara luas telah menghindari terjadinya konflik. Walaupun bila
dikenal dengan berbagai makna dan terpaksa konflik itu harus terjadi, maka
simbolisasi budaya yang hampir melingkupi diupayakan untuk tidak dilakukan secara
seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. terang-terangan dan eksplisit. Pedoman hidup
Segala perilaku, tindakan, perbuatan maupun manusia Jawa yang selalu mengutamakan
peristiwa-peristiwa tertentu yang melingkupi kerukunan, keharmonisan serta keselarasan,
hidup manusia Jawa, selalu dikaitkan dengan berusaha selalu tetap menjaga kondisi damai,
simbol serta makna tertentu, yang seringkali harmoni dan selaras di dalam tatanan sosial,
dihubungkan dengan kondisi masyarakatnya. sampai kapan pun dan dimana pun. Oleh
3
Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan (terjemahan), Kanisius, 1992, hal. 15
4
Adam Kuper and Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Press, 2000, hal. 155
8
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)
karenanya, bagi manusia Jawa istilah-istilah dilakukannya. Perilaku tersebut mencermin-
seperti padu, kerengan, neng-nengan kan bagaimana ulah manusia yang tidak
diusahakan untuk dihindari, dijauhi bahkan memperhatikan kelestarian alam. Nafsu serta
sedapat mungkin dicegah. keinginan sesaat untuk mewujudkan
Akan tetapi, konflik seringkali muncul, kepentingan pribadi jauh lebih menonjol, tanpa
terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, mempedulikan kepentingan bersama, serta
manakala harga diri dan martabat mereka kelangsungan kehidupan lingkungan.
mulai diusik. Konflik bisa juga muncul akibat Sebenarnya, di balik semua peristiwa
perseteruan yang dipicu oleh hadirnya pihak bencana yang kita alami ada hikmah
lain, terutama yang berkaitan dengan ketidak- tersendiri yang sangat perlu untuk
adilan dalam pembagian materi. Walaupun direnungkan, ada sesuatu yang perlu
dalam sistem budaya Jawa kondisi seperti itu dimaknai, kemudian dijadikan pelajaran
merupakan hal yang “tabu” dan “saru” untuk berharga. Hikmah dari peristiwa inilah
diperbincangkan dan dipermasalahkan, kemudian dapat dijadikan pedoman dalam
namun realitas yang terjadi saat ini sering menapaki hidup yang lebih baik. Selain
terjadi. Sejalan dengan banyaknya mengakibatkan traumatis serta membentuk
permasalahan sosial yang muncul pasca memori kolektif yang mungkin sulit untuk
bencana saat ini, maka seakan-akan dihilangkan dalam beberapa waktu, di sisi lain
masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilai- musibah bencana alam juga menimbulkan
nilai budayanya yang telah melekat dalam adanya perubahan yang terjadi dalam diri
dirinya. Mereka mulai menjauhi prinsip hidup manusia maupun masyarakat, baik
yang berpijak kepada hubungan keselarasan, menyangkut sistem pengetahuan, perilaku
keharmonisan, serta kerukunan, yang selama maupun tindakan. Di dalam budaya Jawa,
ini telah menjadi ciri khasnya. Masyarakat dengan terjadinya bencana lebih dimaknai
Jawa mulai meninggalkan nilai-nilai sebagai suatu “peringatan”, teguran atau
budayanya, mulai menjauhi nilai-nilai kearifan sapaan terhadap perilaku dan perbuatan
lokal yang mereka miliki. manusia Jawa, yang selama ini mungkin tidak
lagi sesuai dengan nilai-nilai budayanya.
Keberadaan Budaya Lokal (Jawa): Sejalan dengan hal itu, maka hikmah lain
Perlukah Dikembangkan dan yang saat ini mulai muncul dalam kehidupan
Dilestarikan? masyarakat Jawa khususnya (terutama bagi
Semenjak berbagai bencana yang daerah bencana), adalah tumbuhnya kembali
melanda negeri ini secara bertubi-tubi bentuk-bentuk budaya lokal. Ketakutan
(tsunami Aceh dan Nias 2004, gempa bumi warga masyarakat akan terjadinya bencana
Nias 2005, banjir bandang Jatim dan Sumut alam secara tidak langsung sebagai media
2005 serta gempa bumi DIY, Jateng, bencana untuk berintrospeksi diri, menggugah serta
Merapi dan tsunami Jabar 2006) perlu menanyakan kembali, kesalahan apa yang
disadari atau tidak bahwa negeri ini telah diperbuat, perilaku apa yang harus
merupakan negeri yang rawan akan diubah dan ditinggalkan. Adanya benturan-
bencana. Selain secara geologis Indonesia benturan batin yang mereka rasakan itulah,
sebagian besar berada di daerah yang rawan pada akhirnya manusia Jawa mulai mencari
gempa karena berada di atas pertemuan tiga semua jawaban dalam budaya yang
lempeng benua, berbagai bencana yang melingkupi hidupnya. Mereka mulai mau
terjadi pun tidak luput akibat ulah manusia. mengenali kembali berbagai nilai-nilai budaya
Mulai dari pembabatan hutan yang ditandai lokal, yang saat ini cenderung ditinggalkan,
dengan penebangan liar (pembalakan) hingga yang justru nilai-nilai budaya tersebut
eksploitasi alam secara besar-besaran yang sebenarnya telah mengakar di dalam dirinya.
9
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
10
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)
telah menjadi tuntunan kehidupannya, kiranya kembali modal sosial yang pernah tersimpan
jangan berhenti sebatas ekspresi budaya selama ini. Mungkin di antara kita bisa
semata, hanya sebatas seremonial belaka. mengenali kembali modal sosial yang ada di
Namun, semangat atau spirit yang dalam keluarga kita, di dalam kehidupan
terkandung di dalam ritus budaya Jawa warga masyarakat, yayasan/lembaga, hingga
hendaknya harus dipegang dan diterjemahkan kepada hal yang paling besar dan kompleks
untuk selanjutnya diaplikasikan dan seperti institusi negara. Di sinilah saatnya
diimplementasikan di dalam kehidupan mulai tumbuh rasa solidaritas sosial yang
sehari-hari. Oleh karenanya, kegiatan nyata selama ini mungkin sempat hilang dan
pemulihan pascabencana harus didasari tenggelam akibat sikap egosentrisme
dalam kerangka kearifan dalam kelompok, pertikaian politik maupun konflik
melaksanakan sebuah ritual. Hubungan sosial yang marak terjadi selama ini. Kini
manusia dengan alam harus diselaraskan, saatnya kita memiliki peluang emas untuk
hubungan manusia dengan Tuhan (Pencipta) merajut kembali ikatan persaudaraan yang
harus diseimbangkan, serta hubungan sempat mengendur, dengan menumbuhkan
manusia dengan manusia harus diperbaiki kembali kegotongroyongan, kebersamaan,
kembali. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan kerukunan serta kejujuran.
membangun suatu tatanan kehidupan yang Setelah melihat realita yang terjadi di
seimbang, rukun, selaras serta harmoni. masyarakat saat ini dengan munculnya
Melalui ritual budaya lokal, manusia berbagai ritus budaya Jawa pascabencana,
Jawa diajak kembali untuk berpijak kepada pertanyaan yang muncul kemudian adalah
tradisi, melihat kembali kearifan lokal yang apakah semangat tradisi budaya itu benar-
pernah hidup dan diwarisi dari para leluhur, benar telah merasuk dalam kehidupan
nenek moyang serta para sesepuh mereka. masyarakat Jawa. Atau, apakah ritual budaya
Kesadaran kolektif manusia Jawa muncul tersebut hanya sekedar ‘etalase’ budaya
kembali, sehingga mereka sadar bahwa yang marak dalam waktu sesaat dan akan
perilaku manusia Jawa, sesungguhnya sangat hilang dalam waktu sekejap saja? Kiranya
berkaitan erat dengan perilaku alam jawaban pertanyaan ini berpulang kepada diri
lingkungan yang telah memberikan kita masing-masing sebagai penyangga serta
penghidupan baginya. Pada dasarnya, ritus pemilik identitas sebagai manusia Jawa,
budaya Jawa merupakan penyatuan antara sehingga apakah nilai-nilai budaya Jawa perlu
harapan, doa, dan niat mulia manusia untuk untuk tetap dilestarikan dan diwariskan
mencapai kebaikan bersama. Kondisi korban kepada pewarisnya?.
pascabencana yang cenderung menjadi lebih
sensitif karena kondisi yang dialami, kiranya Penutup
semangat kebersamaan harus terus Dengan maraknya berbagai ekspresi
ditumbuhkan, dipupuk dan dilestarikan untuk budaya lokal yang tercermin dalam beberapa
mencegah terjadinya konflik sosial. ritual yang dilakukan warga masyarakat Jawa
Dengan terjadinya berbagai bencana pascagempa, sedikitnya telah mengingatkan
yang melanda negeri ini ternyata telah kita kepada bentuk-bentuk nilai-nilai luhur
menunjukkan bahwa di antara warga budaya Jawa, ternyata sangat penting bagi
masyarakat maupun bangsa Indonesia kehidupan kita. Rasa kebersamaan,
secara umum sebenarnya memiliki modal kegotongroyongan, saling bantu membantu,
sosial yang sangat besar dan kuat. Dalam kerukunan, serta tolong menolong, kiranya
skala nasional, dengan terjadinya bencana merupakan “senjata ampuh” guna
ternyata telah membangkitkan kesadaran menanggulangi berbagai permasalahan yang
kolektif warga bangsa, untuk mengenyam sedang dihadapi saat ini.
11
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali
Press.
12
Sekilas Tentang Pathok Nagara (Samrotul Ilmi Albiladiyah)
Abstrak
13
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
1
KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2,
bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66
2
G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105
3
W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-
Batavia, 1939, hal. 479
14
Sekilas Tentang Pathok Nagara (Samrotul Ilmi Albiladiyah)
Menurut catatan arsip Kawedanan Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan
Reh Pangulon, pathok nagara merupakan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman
jabataan (abdi dalem) rendah di suatu (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman
lembaga peradilan yang diberikan oleh raja (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul
(Sultan) kepada seseorang yang dipercaya (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur).
mampu menguasai bidang hukum agama Pada masa pendudukan Balatentara Jepang
Islam atau syariah. Tidak diketahui secara (1942 – 1945), Babadan ini pernah
pasti kenapa sebutan jabatan tersebut direncanakan akan dijadikan tempat amunisi
demikian. Penulis hanya dapat menduga untuk keperluan perang Jepang, sehingga
bahwa hal itu berkaitan dengan banyak penduduk yang pindah ke arah utara,
keberadaannya di lembaga hukum (agama) kampung Kentungan, demikian juga
yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak
masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai jadi dan penduduk kembali ke Babadan
kepanjangan aturan raja yang memerintah semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di
negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun tempat-tempat ini pathok nagara yang
jabatan rendah, namun abdi dalem pathok termasuk abdi dalem Reh Kawedanan
nagara mempunyai peranan penting dalam Pangulon bertanggung jawab atas
pemerintahan saat itu, karena langsung kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan
berhadapan dengan masyarakat yang penuh kemakmuran masjid ‘milik raja’ (masjid
dengan berbagai macam permasalahan. kagungan dalem) yang ditanganinya.
Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang Walaupun jumlah masjid kagungan dalem
menyangkut kehidupan masyarakat banyak, namun hanya empat masjid itulah
kasultanan berdasarkan agama pada masa yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam
itu, maka sebagai abdi dalem pathok memakmurkan masjid, ia dibantu oleh
nagara pembantu penghulu hakim, harus khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan
membekali dirinya dengan pengetahuan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan
agama. Ia mempunyai kewajiban yang pasti kenapa keempat abdi dalem
mencerdaskan masyarakat di bidang pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi,
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Plosokuning, Dongkelan dan Babadan.
Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat
penjajahan Belanda, sehingga raja perlu desa itu berada di barat, utara, selatan dan
membentengi rakyatnya secara jiwani, timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid
supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar Agung sebagai masjid kerajaan yang
agama Islam ini maka di berbagai daerah di berdekatan dengan bangunan kraton.
wilayah didirikanlah masjid-masjid yang Ada kebiasaan orang Jawa, menurut
kemudian disebut masjid kagungan dalem imajinasinya bahwa jumlah 4 (empat)
yang berarti masjid milik raja atau sering letaknya di dalam sebuah ruang, masing-
disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan masing menempati mata angin utama yang
Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga
(1981), masjid kagungan dalem di Daerah terungkap dalam susunan lembaga
Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di pemerintahan, satu ada di tengah-tengah
dalam kota maupun yang tersebar di daerah- sebagai kepala ditambah 4 (empat) berada
daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, di sekelilingnya sebagai pembantu utama.
Kulonprogo dan Bantul. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa
Dalam arsip kraton yang tersimpan di kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk
Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara di singgasana, dihadap para pegawainya
abdi dalem Kawedanan Pangulon (abdi dalem) duduk membentuk lingkaran-
15
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia
Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV. Rajawali.
Nitipradja, KRT. 1941. Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana
Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Jogjakarta: Dwara Warta (Krapid).
Rouffaer, G.P. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D.
4
Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara
(Terjemahan Deliar Noer), CV. Rajawali, 1972, hal. 11-12
16
Pawon Dalam Budaya Jawa (Sumintarsih)
Sumintarsih
Abstrak
Pawon atau dapur tradisional dalam budaya Jawa merupakan representasi dari
tata kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik dari tata letaknya, fungsinya, dan
isinya. Pawon atau dapur tradisional juga menegaskan adanya deskriminasi seks
dalam pembagian kerja.
Pendahuluan
Dalam hidup orang Jawa dikenal Bagi orang Jawa, karena rumah
adanya tiga ungkapan yang sangat penting dianggap sangat penting, maka ruang-ruang
yaitu sandang, pangan, dan papan. Artinya, di dalam rumah ditata sedemikian rupa,
dalam hidup manusia Jawa memerlukan tiga sehingga ada bagian-bagian yang terbuka bagi
hal yang sangat penting yaitu: sandang orang luar atau tamu-tamu, dan ada pula
(pakaian) untuk membalut tubuh supaya bagian-bagian yang tabu atau harus
terlindung dari kedinginan, kepanasan, dan disembunyikan dari orang luar.
untuk estetika; pangan (makan) adalah Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan
makanan yang harus ada untuk dimakan berikut ini akan memokuskan diri pada salah
sebagai syarat untuk bertahan hidup; dan satu unsur budaya Jawa, yaitu bagian dari
papan (rumah atau omah) sebagai tempat papan, atau omah (rumah) yang disebut
berteduh atau tempat tinggal. Ketiga unsur pawon atau dapur. Dapur, atau pawon ini
budaya tersebut (sandang, pangan, dan mempunyai arti dan fungsi yang sangat
papan) merupakan simbol penting dalam penting dalam penyelenggaraan penyiapan
kehidupan orang Jawa. kebutuhan makanan, maupun penyimpanan-
Di dalam budaya Jawa terdapat nya, serta kegiatan lainnya. Masalah yang
anggapan bahwa antara rumah, tanah, dan muncul adalah sampai sejauh mana manusia
penghuninya merupakan satu kesatuan yang Jawa memaknai dan memperlakukan dapur,
tak terpisahkan. Orang merasa bersatu atau pawon guna memenuhi kebutuhan akan
dengan rumah dan tanah tempat tinggalnya, makan, minum, dan kebutuhan lainnya.
sekaligus merasa bersatu dengan desa tempat Seiring dengan perkembangan
menetapnya. Perasaan bersatu yang demikian kehidupan manusia, berubahnya lingkungan
itu menyebabkan rasa aman dan tenteram bagi alam, dan kemajuan teknologi, dapur atau
orang yang menghuni rumah tersebut. pawon juga mengalami perkembangan
Dengan adanya perasaan demikian itu, maka bentuk, arti dan fungsi.
rumah merupakan bagian penting bagi
kehidupan manusia1. Karena dapur adalah Arti Pawon atau Dapur dan Tata
bagian dari rumah, dengan sendirinya juga Letaknya
memiliki hubungan yang tak terpisahkan Kata pawon merupakan sebutan untuk
dengan penghuni rumah tersebut. dapur dalam masyarakat Jawa pada
1
Djoko Surjo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya.
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1985.
17
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
umumnya. Dapur, dalam bahasa Jawa pokok atau penting, dan konstruksi bangunan
disebut pawon, mengandung dua pengertian: dapur sangat sederhana. Oleh karena itu
pertama, bangunan rumah yang khusus untuk membuat dapur tidak diperlukan
disediakan untuk kegiatan masak-memasak persyaratan yang rumit seperti akan membuat
dan; kedua, dapat diartikan tungku. Kata rumah induk yang memerlukan perhitungan
pawon berasal dari kata dasar awu yang waktu (primbon).
berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran Dalam kehidupan tradisional Jawa,
an, yang berarti tempat. Dengan demikian, makan tidaklah mendapatkan perhatian
pawon (pa+awu+an) yang berarti tempat penting. Dalam Kitab Wulangreh karya Paku
awu atau abu. Kenyataannya memanglah Buwana IV mengatakan ‘aja pijer mangan
demikian, dapur atau pawon memang tempat nendra’ (jangan selalu makan dan tidur), dan
abu (bekas pembakaran kayu/arang di ‘sudanen dhahar lan guling” (kurangilah
tungku), sehingga dianggap sebagai tempat makan dan tidur) menduduki tempat utama
yang kotor. Dapur dalam kehidupan tradisional di dalam kepustakaan orang Jawa 3 .
orang Jawa, memang tempat abu, di sana- Pandangan hidup orang Jawa menandaskan
sini nampak bergelantungan sawang (jelaga) bahwa kekuatan seseorang bukanlah
yang hitam oleh asap api. Demikian juga tergantung pada banyaknya makanan yang
peralatan memasak berwarna kehitaman masuk ke dalam tubuh, melainkan kepada
karena jelaga. Kemungkinan disebabkan oleh tekat dan batin. Orang tidak akan menjadi
keadaan seperti itulah (penampilan yang seba lemah tubuhnya hanya karena sedikit makan,
hitam dan kotor), maka di dalam susunan bahkan sebaliknya, orang akan memperoleh
rumah tradisional Jawa, dapur pada umumnya ‘kekuatan’ karena sering melaksanakan
terletak di bagian belakang. ‘ngurang-ngurangi makan dan tidur
Dalam budaya Jawa menurut Parsudi (tirakat atau asketis).
Suparlan, konsep tentang sistem klasifikasi Karena terpengaruh oleh pandangan
mengenai alam semesta dan isinya terdapat hidup demikian itulah, maka dalam susunan
konsep dikotomi antara yang baik dan buruk, arsitektur rumah Jawa, dapur atau pawon
bersih dan kotor2. Oleh karena itu dalam serta kegiatan memasak tidak mendapat
sistem klasifikasi itu maka kakus (jamban perhatian khusus. Namun demikian di dalam
atau kamar kecil) maupun dapur letaknya pola pikir orang Jawa, makan diartikan
selalu di belakang. Oleh karena dapur menerima berkah dari Dewi Sri yang dianggap
dianggap tempat kotor, maka dalam hal sebagai sumber rejeki 4 . Penghormatan
membuat bangunan dapur tidak begitu terhadap Dewi Sri oleh orang Jawa semata-
diperhatikan seperti halnya kalau membuat mata bukan diwujudkan dalam makan dan
rumah induk. Menurut Daldjoeni (1985) pada kegiatan memasak, tetapi penanganan secara
umumnya bangunan dapur adalah bangunan serius dalam pengolahan lahan pertanian sejak
tambahan, dan biasanya bangunan dapur awal sampai pascapanen.
dibuat sesudah bangunan rumah selesai.
Dapur atau pawon sebagai bangunan Perempuan dan Dapur
tambahan, tidak dianggap sebagai bangunan Di dalam kehidupan tradisional Jawa,
2
Parsudi Suparlan, “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi, dan Perubahan”.
Seminar Arsitektur Tradisional di Surabaya. Jakarta: Proyek IDKD, 1986.
3
Pakubuwono IV, Wulangreh Winardi. R.M Sutarto Hardjowahono, Surakarta, 1953.
4
Soepanto, “Peranan Ngantenan Dalam Upacara Wiwit di Kalangan Masyarakat Petani Jawa” Bunga
Rampai Adat Istiadat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1977.
18
Pawon Dalam Budaya Jawa (Sumintarsih)
dapur merupakan ranah dan wewenang kaum Arti kata liyu, dalam Bausastra Jawa-
perempuan. Oleh sebab itulah maka isteri Indonesia (1980), dapat diartikan capai atau
dalam kehidupan budaya Jawa disebut lelah. Dari arti kata ini dapat dimaknai
sebagai kanca wingking (teman yang bahwa bekerja di dapur akan capai/lelah.
berada dan/atau bekerja di belakang). Dalam membuat dapur atau pawon ada
Belakang di sini berarti di dapur. Istilah ini yang masih menggunakan perhitungan-
dinilai merendahkan martabat perempuan, perhitungan Jawa. Misalnya, oleh karena
seakan-akan wewenang perempuan hanya di dapur dianggap sebagai tempat perempuan
dapur saja, tidak ada kemampuan untuk maka untuk membangun dapur harus dimulai
tampil di depan. saat neptune nyaine (hari pasaran
Bahwa dapur identik dengan perempuan kelahiran istri), misalnya Senin Pon, Selasa
dan menjadi ranah dan wewenang Wage dan sebagainya. Supaya dalam
perempuan, juga tercermin misalnya kalau menggunakan dapur diberi keselamatan, ada
seorang suami yang sering ke dapur ada juga yang menggunakan perhitungan yaitu
anggapan dalam budaya Jawa bahwa suami jatuh tiba lara ( tiba = jatuh, lara = mati),
tersebut dinilai kurang mempercayai istri di jadi dapur atau pawon diartikan sebagai
dalam mengelola dapur atau ekonomi rumah tempat barang mati, atau tempat buangan.
tangga. Laki-Laki atau suami seperti itu Di dalam studi perumahan tradisional,
disebut dengan istilah kethuk atau cupar. pembuatan dapur Jawa ada yang dimulai
Jadi dapur merupakan dunia perempuan, dan dengan perhitungan yang jatuh pada urutan
sebagai ciri pengenal khusus, dapur dalam liyu yang berarti lumbung. Seperti diketahui
kehidupan tradisional Jawa ditekankan pada bahwa lumbung adalah tempat persediaan
kendhil dan asap. Hal ini dikuatkan dengan makan, sedangkan pawon atau dapur adalah
adanya cerita rakyat Jaka Tarub5. Cerita ini tempat mengolah atau memasak. Jadi
melambangkan bagaimana peranan diharapkan dengan perhitungan jatuh pada
perempuan di dapur, dan dapat dimaknai urutan liyu, supaya pawon atau dapur tidak
suami harus percaya terhadap apapun yang pernah berhenti atau kehabisan bahan
dilakukan istri dalam kaitannya dengan dapur. masakan. Namun pada umumnya yang dianut
Sesuai dengan kedudukan perempuan adalah menghindari hari geblag (hari
di dapur dan hubungan perempuan dengan meninggalnya) keluarga dekat misalnya or-
dapur, maka dalam pembuatan dapur pun ang tua, suami/istri, atau anak.
secara tradisional ada perhitungan-
perhitungan yang berkaitan dengan Pawon dan Peralatan Dapur
perempuan. Menurut Koentjaraningrat6, Dapur tradisional atau pawon tidak
terdapat kepercayaan pada orang Jawa terlepas dengan peralatan yang digunakan
bahwa dapur adalah bagian rumah yang pal- dalam dapur tersebut, yaitu tungku tradisional
ing lemah disebabkan dapur merupakan yang memiliki berbagai sebutan lokal di
tempat perempuan, dan perempuan dianggap antaranya pawon, keren, dhingkel, luweng,
mahkluk yang paling lemah atau disebut liyu. atau anglo. Tungku yang disebut dhingkel
5
Dalam cerita Jaka Tarub dikisahkan Jaka Tarub memperistri seorang bidadari bernama Dewi Nawangwulan.
Jaka Tarub heran kenapa beras yang ada di dalam lumbung tidak habis-habisnya. Didorong karena keingintahuannya
maka Jaka Tarub melanggar pesan istrinya agar tidak masuk ke dapur. Tetapi keingintahuan Jaka Tarub tersebut
harus dibayar mahal. Karena sesudah itu beras atau padinya menjadi cepat habis dan isterinya dapat menemukan
selendang yang disembunyikan di dalam lumbung ditimbuni padi. Isterinya kemudian pulang ke kayangan
meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya.
6
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N Balai Pustaka, 1984.
19
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
terbuat dari susunan batu bata yang berlubang memasak yang pada umumnya digunakan
satu atau sama sekali terbuka. Bentuk lain adalah peralatan yang terbuat dari tanah liat
seperti dhingkel adalah yang disebut dan anyaman bambu. Peralatan memasak dari
luweng, tetapi luweng lebih panjang dan tanah liat misalnya kuali 7, pengaron 8,
memiliki lubang tiga sampai empat dan kendhil atau jemblukan9, cowek10, kekep11,
terdapat sebutan untuk masing-masing bagian genthong12. Selain peralatan dari tanah liat
yang berfungsi misal yang disebut cangkem juga banyak yang mengunakan peralatan dari
luweng tempat untuk memasukkan kayu tembaga, besi, aluminium, seng, misalnya
bakar, bolongan luweng atau slowongan dandang, kenceng, wajan, ketel, ceret,
untuk tempat meletakkan peralatan masak, panci. Peralatan lainnya terbuat dari
tumang atau bibir dhingkel, dan lawih anyaman bambu seperti kukusan 13 ,
sebagai penopang (ganjel) yang diletakkan salang 14, kalo, cething, tenggok trinil,
pada bibir. Peralatan tungku lainnya yang tampah, selon15 dan dari tempurung kelapa
pada umumnya digunakan oleh sebagian misalnya irus, enthong, siwur; peralatan dari
penduduk di daerah pedesaan adalah keren. kayu misalnya munthu, parut, enthong,
Alat tungku yang disebut keren juga memiliki gledheg atau grobog. Tempat untuk
bagian-bagian yang berfungsi yaitu cangkem menyimpan peralatan dapur tersebut pada
keren untuk meletakkan bahan bakar, dan umumnya diletakkan pada sebuah rak kayu,
pada bagian atas bolongan keren untuk atau rak bambu, atau ada yang disebut paga,
meletakkan peralatan memasak. Baik bethekan atau pranjen.
dhingkel, luweng, maupun keren Dilihat dari peralatan tungku yaitu
menggunakan bahan bakar kayu, sepet, dhingkel, luweng, keren, serta perabot
bambu, atau sampah-sampah kering. pawon yang sebagian besar terbuat dari tanah
Tungku lainnya yang juga masih liat, anyaman bambu, maupun tempat
digunakan adalah anglo, yang bahan menyimpan peralatan tersebut, hampir
bakarnya menggunakan arang. Anglo juga semuanya dengan memanfaatkan bahan-
mempunyai bagian-bagian yang masing- bahan yang terdapat di lingkungannya.
masing memiliki fungsi yang berbeda yaitu
sarangan anglo untuk tempat arang, Dapur Tradisional dan Lingkungan
cangkem anglo (mulut anglo) adalah tempat Hidup
kita mengipaskan kipas agar api menyala Dapur mempunyai peranan yang
lebih besar. Alat lain yang sekarang sudah penting, yaitu menjadi pusat kegiatan sehari-
mulai banyak digunakan adalah kompor. hari untuk penyediakan makan-minum
Di dalam dapur tradisional peralatan keluarga. Meskipun dapur atau pawon
7
Kuali biasanya untuk memasak sayur.
8
Pengaron untuk tempat air, atau untuk ngaru nasi (memasak nasi sebelum di dang).
9
Kendhil atau jemblukan untuk memasak air, atau merebus jamu.
10
Cowek peralatan untuk membuat sambal atau menghaluskan bumbu.
11
Kekep kecil untuk tutup kendhil atau kuali, kekep besar untuk tutup adang (menanak nasi).
12
Genthong tempat untuk tandhon air bersih (menyimpan air).
13
Kukusan untuk adang nasi (memasak nasi dengan cara dikukus).
14
Salang adalah gantungan terbuat dari siratan kulit bambu atau dari tampar untuk tempat menyimpan
makanan.
15
Selon terbuat dari bambu untuk tempat menyimpan munthu, irus.
20
Pawon Dalam Budaya Jawa (Sumintarsih)
menjadi pusat kegiatan, tetapi masalah dapur merupakan satu kesatuan yang
kebersihan lingkungan kurang diperhatikan. mempunyai fungsi sosial. Pekarangan
Tempat pembuangan limbah air dapur biasanya digunakan untuk menanam tanaman
biasanya berada di samping atau di belakang produktif yang dapat dimanfaatkan untuk
dapur, dan itu biasanya tidak secara khusus kebutuhan jangka panjang maupun jangka
dibuat untuk itu. Jadi limbah dapur yang pendek. Untuk kebutuhan jangka panjang
dialirkan ke belakang rumah langsung ke misalnya tanaman keras, sedangkan tanaman
kebun atau tegalan di belakang rumah atau jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari,
dialirkan ke tempat kolam ikan. Namun ada misalnya tanaman yang disebut cepakan
juga yang dialirkan ke sebuah lubang yaitu tanaman sayuran, atau dedaunan
(jugangan) yang dibuat secara khusus di lainnya yang langsung dapat dimanfaatkan.
belakang rumah. Pembuangan air limbah di Pawon atau dapur menjadi tempat
daerah pedesaan kebanyakan berpola seperti menyimpan makanan mentah dan masak
itu. Memang terkesan tidak ada perhatian (mentah mateng), dan bumbu-bumbu dapur
terhadap kebersihan lingkungan akan tetapi lainnya.
dari tindakan-tindakan mereka tersembunyi Dalam hubungan ketetanggaan, masuk
kearifan-kearifan lingkungan. Seperti ke pekarangan, atau dapur untuk sekedar
misalnya di daerah tertentu ada yang air bertandang atau untuk meminta sayuran atau
limbah dapur ditampung ke dalam ember dan bumbu, merupakan hal yang biasa. Bahkan
dimanfaatkan untuk menyiram tanaman di daerah pegunungan yang berhawa dingin,
kebun atau tegalan yang ada di belakang dan masih ada kebiasaan (walaupun sekarang
samping rumah. Bahkan ada yang sebagian sudah jarang dilakukan) untuk bertandang ke
ditampung untuk minum ternaknya. Pola tetangga pada malam hari, sambil membakar
seperti ini pada umumnya terdapat di daerah ketela atau jagung di dapur sambil mengobrol
yang tidak tersedia cukup air atau di daerah bersama.
kering16. Sedangkan dalam hal pembuangan Dengan berkembangnya teknologi
sampah ada yang dibuatkan lubang untuk (terutama di kota) tata ruang dapur sekarang
menampung kemudian dibakar, apabila sudah dibangun sedemikian rupa dan menggunakan
penuh kemudian diaduk dengan tanah yang peralatan yang bukan dari tanah liat atau
ada untuk dijadikan sebagai pupuk17, atau ada anyaman bambu, tetapi peralatan modern
yang dibiarkan sampai kering untuk bahan serba elektronik. Demikian juga pawon atau
bakar18, ada pula yang dikumpulkan sebagian dapur (khusus di kota) letaknya tidak di
untuk pupuk pohon pisang. belakang tetapi menjadi satu sebagai bagian
Pemanfaatan limbah dapur maupun dari tata ruang rumah. Apabila ini dikaitkan
sampah yang ada di sekitarnya menunjukkan dengan kata pawon, maka konotasi dari kata
bahwa sebenarnya ada praktik-praktik daur pawon dengan dapur menjadi tidak tepat,
ulang, dalam arti bahwa limbah tersebut karena pada dapur yang modern tersebut
diproses dan dimanfaatkan untuk kebutuhan tidak akan dijumpai timbunan abu seperti yang
lainnya baik untuk kelestarian lingkungan dijumpai pada dapur tradisional. Bergesernya
maupun kebutuhan manusia itu sendiri. pengertian pawon tersebut, tentunya akan
Rumah, pekarangan, serta pawon atau memberikan gambaran pula kepada kita
16
Pola seperti itu terdapat di daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo.
17
Terutama di daerah tandus Gunung Kidul.
18
Terdapat di daerah Bantul, sampah ada yang digunakan untuk penyubur pohon pisang , dan sampah
kering digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak gula Jawa.
21
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
mengenai tata ruang dapur di masa akan maknanya sangat mengena dalam kehidupan
datang, dan tidak akan ada lagi diskriminasi masyarakat sehari-hari. Ungkapan ora
seks yang berperan di dapur. mambu enthong irus, artinya untuk
menyatakan bahwa orang lain yang tidak ada
Ungkapan-Ungkapan hubungan keluarga, demikian juga ungkapan
Di dalam kehidupan sehari-hari orang ora mambu sega jangan20.
Jawa, banyak kejadian-kejadian, atau Sebaliknya ada ungkapan yang
peristiwa yang dinyatakan dengan ungkapan- dinyatakan dengan hasil masakan yaitu
ungkapan yang sebagian menggunakan dapur mambu-mambu yen sega mengibaratkan
dan peralatannya. Pawon atau dapur dan orang yang masih memiliki pertalian keluarga;
kegiatannya, ternyata menduduki tempat yang ungkapan lain bacin-bacin yen iwak, untuk
penting. Ungkapan ‘aja nganti nggoling mengungkapkan bahwa pada umumnya
kendhile‘ (kendhil jangan sampai terguling) orang itu mengutamakan keluarga sendiri .
mengandung maksud agar bersikap hati-hati, Ungkapan adang-ngliwet, me-
hemat, cermat di dalam mengelola ekonomi ngandung makna melaksanakan kerjasama
rumah tangga; di samping itu untuk untuk mendapatkan imbalan, dan dalam
menyatakan kondisi perekonomiannya yang pembagiannya disesuaikan dengan
sedang mengalami kemunduran. Di sini kedudukan masing-masing dalam pekerjaan
kendhil dimaknai sebagai simbol ekonomi tersebut. Ungkapan ini juga mengandung
rumah tangga. Kehidupan perekonomian makna kecaman terhadap ketidakadilan, mis-
suatu rumah tangga bisa dihubungkan dengan sal sama-sama melakukan tugas yang sama
kendhil. Misalnya, seorang istri yang bekerja tetapi masing-masing imbalan berbeda.
nencari nafkah dikatakan kanggo jejegke Ungkapan yang ada hubungannya
kendhil, maksudnya untuk menambah dengan tungku adalah lambe satumang kari
penghasilan supaya dapat memasak untuk semerang, artinya bibir setebal tumang
keluarga. Orang yang bekerja apapun untuk tinggal setebal merang. Maksudnya adalah
mendapatkan uang atau bekerja keras nasehat yang tidak dihiraukan sama sekali,
dinyatakan dengan kata ‘demi kendhil’. ibarat bibir sampai tipis karena banyaknya
Kecuali dengan istilah kendhil, memberi nasehat, namun tak ada hasilnya.
kesatuan perekonomian rumah tangga juga Ungkapan tumbu oleh tutup, artinya
dinyatakan dengan istilah pawon. Suatu mendapat jodoh yang sesuai, atau mendapat
keluarga yang terpisah karena pekerjaan, sahabat yang mempunyai persamaan watak.
yang masing-masing memerlukan pengelolaan Ungkapan yang ada hubungan dengan alat
perekonomian sendiri-sendiri, sering dapur yaitu jenang sak layah, artinya buah
dikatakan mikir pawon loro. Dengan pemikiran yang sudah bulat.
demikian istilah pawon bukan hanya Dalam percakapan sehari-hari,
mengandung pengertian bangunan khusus hubungan saudara yang diperoleh karena
untuk melaksanakan kegiatan memasak, perkawinan disebut munthu katutan sambel.
melainkan juga merupakan lambang rumah Demikian juga hubungan saudara sekerabat
tangga 19 dari keturunan enam dan tujuh disebut udheg-
Peralatan dapur juga digunakan untuk udheg gantung siwur. Seseorang yang
menyampaikan ungkapan-ungkapan yang pantatnya besar dinyatakan dengan ungkapan
19
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1981.
20
Dalil Prawirodihardjo, Paribasan. Yogyakarta: Spring, tt.
22
Pawon Dalam Budaya Jawa (Sumintarsih)
bokonge sak tampah; seseorang yang tidak pembuangan, dan sebagainya, ternyata ada
bisa duduk, jalan ke sana ke mari dinyatakan yang bersifat daur ulang, dan tersembunyi
bokong kukusan. kearifan-kearifan di dalam memanfaatkan
limbah dapur dan sampah di lingkungannya.
Penutup Pawon atau dapur beserta peralatan-
Dalam budaya Jawa pawon atau dapur nya mewarnai dalam tatacara kehidupan
selain berfungsi untuk tempat menye- sehari-hari, yang tercermin dari ungkapan-
lenggarakan makan minum bagi keluarga juga ungkapan yang terkait dengan dapur dan
berfungsi sebagai arena untuk mempererat isinya.
hubungan keluarga, dan tempat pertemuan Oleh berjalannya waktu, serta ber-
bagi tetangga kembangnya teknologi, pawon atau dapur
Ciri-ciri pawon atau dapur tradisional mungkin akan mengalami perubahan fisik
adalah pemakaian tungku tradisional dan maupun isinya seperti di kota. Dengan
menggunakan bahan bakar kayu, serta peralat demikian pengertian pawon, arti dan
an memasak dari tanah liat atau gerabah, dari fungsinya juga akan mengalami pergeseran.
anyaman bambu, dan kayu. Bila itu terjadi maka fungsi dan makna filosofi
Pembuangan limbah dapur, dan sampah pawon akan lepas dari tata kehidupan orang
di sekitar lingkungan rumah pada umumnya Jawa.
dialirkan begitu saja atau dibuatkan lubang
Daftar Pustaka
.
Dalil Prawirodihardjo, tt. Paribasan. Yogyakarta: Spring.
Djoko Suryo, 1985. Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial
Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (Javanologi).
Koentjaraningrat, 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N Balai Pustaka.
Parsudi Suparlan, 1986. “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi,
dan Perubahan”. Seminar Arsitektur Tradisional di Surabaya. Jakarta: Proyek
IDKD.
Soepanto, 1977. “Peranan Ngantenan Dalam Upacara Wiwit di Kalangan Masyarakat
Petani Jawa” Bunga Rampai Adat Istiadat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya.
Sutarto Hardjowahono, R.M. 1953. Pakubuwono IV Wulangreh Winardi. Surakarta.
23
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
1
Sudiro, 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Penerbit Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah, 1974, hal. 69
24
Nilai-Nilai Kesatuan Dalam Keragaman Sukubangsa (Tashadi)
tersebut yakni Jong Java, Jong Sumatranen persatuan adalah di atas segalanya. Kondisi
Bond (Pemuda Sumatera), Pemuda ini adalah merupakan suatu nilai dasar yang
Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten telah disepakati oleh bangsa Indonesia sejak
Bond (Pemuda Islam), Jong Celebes, Jong dari awal. Kebangsaan yang kita bangun tidak
Batak, Pemuda Betawi, dan Perhimpunan tegak di atas landasan dan kepentingan suku
Pelajar-Pelajar Indonesia.2 bangsa, agama, ras, dan ikatan-ikatan
Keputusan Kongres Pemuda Tahun primordial, melainkan persatuan nasional itu
1928 tersbut merupakan tonggak sejarah kita bangun dan tegakkan justru di atas
yang sangat penting dan telah mengajarkan landasan sukubangsa berangkat dari
pada kita, bahwa mendahulukan kesukuan kesadaran untuk memperbaiki nasib sebagai
dan kedaerahan dari pada kepentingan satu bangsa.
nasional dan persatuan adalah suatu tindakan Selanjutnya kedudukan Warga Negara
yang sia-sia. Terbukti bahwa dalam berbagai Indonesia telah diatur sesuai hak dan
perjuangan yang dilakukan oleh bangsa kita kewajiban yang tercantum dalam pasal-pasal
secara kedaerahan tanpa persatuan UUD 1945 seperti Pasal 27, Ayat 1 yang
senantiasa gagal dan mendatangkan berbunyi: ‘Segala warga negara bersamaan
kesengsaraan. Sehingga kita dijajah oleh kedudukannya di dalam hukum dan
bangsa Belanda, Portugal, Inggris dan bangsa pemerintahan dengan tidak ada kecualinya’3
Jepang. Sungguh suatu penderitaan yang Di samping itu hak warga negara dalam
sangat pahit dan menyedihkan. mendapat pekerjaan telah dijelaskan dengan
Oleh karena itu ‘ikrar’ atau ‘Sumpah tegas tanpa membedakan dari golongan
Pemuda’ yang diputuskan dalam Kongres mana, seperti tercakup dalam pasal 27 Ayat
Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh organisasi- 2 yang berbunyi: ‘ Tiap warga negara berhak
organisasi pemuda adalah sangat tepat dan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak’.
strategis dalam memperkokoh persatuan dan Sedang hak memeluk agama sesuai
kesatuan untuk melawan penjajah. Akhirnya keyakinan tercakup dalam Pasal 29, Ayat 2,
dengan mengkristalnya persatuan dan dan hak memperoleh pendidikan tercakup
kesatuan bangsa, kemerdekaan dapat direbut dalam Pasal 31, Ayat 2.
dari penjajah Jepang dan berkumandanglah Dari kenyataan tersebut, jelaslah bahwa
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 negara sama sekali tidak membedakan antara
Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh satu warga dengan warga lainnya. Semua
Soekarno - Hatta. warga negara mempunyai hak yang sama.
Sementara itu dalam rangka Akan tetapi di samping hak tersebut tentunya
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa kita mempunyai tanggung jawab terhadap
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 kewajiban, yaitu untuk mempertahankan
telah menegaskan bahwa melindungi segenap negara seperti tercantum pada UUD 1945
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Pasal 30, Ayat 1. Pembelaan di sini bukan
Indonesia dengan berdasar atas persatuan berarti dalam pengertian sempit hanya
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi semata-mata terhadap serangan musuh,
seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan tetapi dalam pengertian yang lebih luas yaitu
tersebut menegaskan bahwa negara telah memelihara negara dengan menjaga
menghindari segala paham golongan dan keserasian dan keselarasan hidup di
menghindari segala paham perseorangan masyarakat dengan aneka ragam suku
yang dapat memecah belah negara. Prinsip bangsa, agama, ras dan budaya.
2
Ibid.
3
UUD Tahun 1945.
25
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
26
Nilai-Nilai Kesatuan Dalam Keragaman Sukubangsa (Tashadi)
suatu perbedaan yang sangat berarti yakni sukses dalam dunia bisnis. Kesuksesan
antara kondisi daerah Indonesia bagian timur tersebut menyebabkan timbulnya suatu
dan bagian barat. Untuk Indonesia bagian kesenjangan yang tajam dengan
timur tanahnya berawa dan kurang subur. penduduk asli. Lebih menyakitkan apabila
Sedangkan untuk Indonesia bagian barat warga sukubangsa Cina atau suku
keadaan tanahnya relatif subur dengan tanah bangsa keturunan yang sukses dalam
humus yang tebal. Hal ini mengharuskan ekonomi sangat egois, sombong dan tidak
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terus mampu beradaptasi dengan lingkungan-
menerus dibina agar dapat saling mengisi nya. Akibatnya akan terjadi
sehingga pemerataan hasil pembangunan di kecemburuan sosial, perbuatan anarki
Indonesia dapat diwujudkan. Dengan latar dan sebagainya terhadap suku bangsa
belakang tersebut, maka memancing keturunan.
timbulnya berbagai kerawanan dan 3. Perbedaan persepsi yang disebabkan
permasalahan yang dapat menghambat perbedaan agama.
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena Indonesia secara resmi mengakui
itu dalam naskah ini akan disajikan berbagai keberadaan dan kehidupan agama-
contoh permasalahan yang sering agama resmi, dan hak kemerdekaan
menghambat integrasi nasional yang memeluk agama sesuai keyakinannya
disebabkan ketertutupan sukubangsa baik telah diatur dalam Undang Undang
lokasi, politik maupun kurangnya pergaulan Dasar 1945 Pasal 29, Ayat 2. Namun bagi
antar sukubangsa: masyarakat majemuk seperti Indonesia
1. Adanya perbedaan persepsi yang hubungan antar umat beragama sering
disebabkan perbedaan suku bangsa. menyulut timbulnya konflik. Timbulnya
Dalam pergaulan antar sukubangsa di istilah seperti Kristenisasi dan Islamisasi,
Indonesia, kita masih sering memakai misalnya mewujudkan adanya
sudut pandang stereotipe sukubangsa kecurigaan antara umat beragama.
yang sebenarnya merupakan produk Akibatnya hubungan antar umat
penjajah, guna memecah belah bangsa beragama cenderung tidak harmonis
kita. Penilaian subyektif antara warga bahkan kadang-kadang dapat terjadi
satu sukubangsa terhadap sukubangsa tindakan-tindakan kriminal yang
yang lain, misalnya orang Batak kasar, bertentangan dengan hukum dan
orang Madura suka berkelahi, orang Pancasila, seperti pengrusakan rumah
Jawa itu lamban, ternyata masih sering ibadah agama lain, peculikan atau
mengemuka dalam pergaulan antar suku pembunuhan terhadap penganut agama
bangsa. Sehingga berbagai pemikiran lain, perbuatan anarkisme, dan isu-isu
subyektif tersebut akan sangat yang mendiskreditkan penganut agama
menghambat persatuan, kesatuan dan lain dan seterusnya.
integrasi bangsa. 4. Adanya perbedaan persepsi yang
2. Perbedaan persepsi yang disebabkan disebabkan letak geografis.
perbedaan ekonomi. Wilayah Indonesia yang terdiri dari
Perbedaan ini biasanya akan sangat beribu-ribu pulau dengan kekayaannya
tajam antara sukubangsa asli dan yang melimpah ruah dari Sabang sampai
golongan suku bangsa keturunan seperti Merauke, dalam kenyataannya sering
Cina, Arab dan lain-lain. Pada umumnya terjadi konflik. Hal ini disebabkan
golongan sukubangsa keturunan terutama kesuburan tanah antara daerah satu
sukubangsa Cina yang tinggal di kota- dengan lainnya berbeda, seperti tanah di
kota besar adalah orang-orang yang Indonesia bagian timur keadaannya
27
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
relatif tidak subur, dan bahkan ada yang bangsa di Indonesia. Kondisi seperti ini
berawa-rawa, misalnya di Irian Jaya dibuktikan dengan keadaan yang damai,
(sekarang Papua). Sedangkan keadaan tenteram dan hubungan yang harmonis di
tanah di Indonesia bagian barat antara sukubangsa pada masa lalu. Keadaan
mempunyai potensi yang lebih baik dan baru berubah, ketika penjajah datang di bumi
subur. Keadaan yang demikian itu akan nusantara ini. Nilai-nilai kerukunan, persatuan
menimbulkan kesulitan dalam dan kesatuan cenderung dikaburkan agar
pembangunan. Sehingga pembangunan di bangsa Indonesia terpecah belah, lemah dan
Indonesia bagian barat akan relatif mudah dijajah. Politik yang sangat terkenal
mudah dan lebih murah, sedangkan di yang digunakan penjajah adalah ‘Politik De
Indonesia bagian timur relatif lebih sulit Vide et Impera’10. Akibatnya berbagai ajaran
dan lebih mahal. Akibatnya pembangunan yang mengandung nilai-nilai persatuan dan
di Indonesia bagian timur belum dapat kesatuan yang dimiliki oleh sukubangsa yang
dilaksanakan secara maksimal. ada di Indonesia merupakan barang langka
Kenyataan yang demikian ini telah dan kurang dikenal oleh generasi muda
menimbulkan kesenjangan di antara khususnya dan masyarakat pada umumnya.
penduduk di dua daerah tersebut. Oleh karena itu nilai-nilai persatuan dan
Kesenjangan ini makin bertambah tajam kesatuan perlu terus digali, dikembangkan,
dengan adanya anggapan dan persepsi dan disosialisasikan agar integrasi nasional
yang salah seperti pembangunan hanya dapat diwujudkan. Adapun nilai-nilai itu
diprioritaskan di Jawa. Keadaan ini antara lain:
akhirnya akan dapat menghambat 1. Nilai yang terkait pada ajaran ‘Desa
persatuan dan kesatuan bangsa serta mawa cara negara mawa tata’.11
pelaksanaan integrasi nasional. Ajaran ini terdapat pada sukubangsa
Segala permasalahan yang terkait Jawa yang mengandung petunjuk bagi
dengan kebhinekaan atau keragaman suku kearifan pola hubungan antara suku
bangsa tersebut di samping mempunyai bangsa maupun antar wilayah atau
potensi-poteni yang negatif, juga mengandung negara, dengan kesadaran bahwa orang
potensi-potensi yang positif. Oleh karena itu dari daerah masing-masing mempunyai
masing-masing sukubangsa yang merupakan adat kebiasaan dan kebudayaan yang
bagian dari masyarakat Indonesia akan berbeda. Kesadaran akan adanya nilai
berusaha menyadari dan memahami latar yang berbeda tersebut menyebabkan
belakang timbulnya konflik-konflik tersebut. setiap orang Jawa telah mempunyai
Selanjutnya kita tidak boleh terlena dalam pedoman dalam berinteraksi dengan
masalah-masalah yang dapat mengganggu orang di luar sukubangsa untuk tidak
persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu saling menyinggung perasaan atau saling
perlu kita perhatikan dan kita lihat berbagai menyakiti. Oleh sebab itu hubungan
hal yang dapat mewujudkan persatuan dan dibuat agar harmonis dengan melalui
kesaatuan serta integrasi bangsa. unggah-ungguh atau subasita atau tata
krama dalam berhadapan dengan orang
Nilai-Nilai Persatuan dan Kesatuan lain baik sesama sukubangsa, maupun
Nilai-nilai budaya asli tentang persatuan antara atasan dengan bawahan atau
dan kesatuan sebenarnya telah dimiliki dan orang tua dengan yang lebih muda.
dijunjung tinggi oleh masing-masing suku Semua itu diarahkan pada suasana
10
Politik pecah belah atau politik adu domba.
11
N.N. Mengungkap Budaya Kerja Bangsa Kita. Jakarta: Depdikbud, 1994/1995
28
Nilai-Nilai Kesatuan Dalam Keragaman Sukubangsa (Tashadi)
selaras dan serasi yang digambarkan mendapatkan kekuatan yang tinggi guna
pada semboyan ‘ Leladi sesameng pembangunan bangsa.
dumadi memayu hayuning sesami’ 3. Nilai menjunjung persatuan dengan
yang berarti mengabdikan diri kepada mengembangkan sikap toleransi.
masyarakat guna mencapai kebahagiaan Bangsa Indonesia yang terdiri dari
sesama hidup. banyak sukubangsa, dapat bersatu dalam
2. Pada suku bangsa Bali terdapat satu wadah kesatuan berbangsa dan
sebuah ungkapan yang mengandung bernegara. Ini adalah berkat sikap dari
nilai persatuan yakni ‘kiwa tengen masyarakat bangsa Indonesia sendiri
mula matunggalan’ (kiri kanan yang menjunjung persatuan dan
memang bersatu) 12. kesatuan. Kendatipun mereka berasal
‘Kiwa’ dikiaskan dengan golongan lemah, dari latar belakang sukubangsa yang
dan dimaksudkan kaum wanita memiliki kebudayaan berbeda-beda, akan
sedangkan kata ‘tengen’ adalah tetapi mereka sepakat untuk bersatu
golongan kuat, maksudnya adalah kaum membentuk bangsa yang besar yakni
pria. Oleh karena itu untuk mencapai bangsa Indonesia. Keadaan ini menjadi
suatu hasil yang baik atau yang dicita- ciri kepribadian bangsa Indonesia yang
citakan maka kaum yang lemah dan kuat memberikan citra pada perwujudan
harus dipersatukan atau yang dicita- kebudayaan Indonesia dengan budaya
citakan maka kaum yang lemah dan kuat persatuannya.Nilai-nilai persatuan dan
harus dipersatukan atau dapat bekerja- kesatuan ini ditunjang dengan
sama. Dalam ungkapan tersebut mengembangkan sikap toleransi. Hal ini
terkandung nilai pentingnya persatuan telah dibuktikan dalam sejarah yakni
antar kelompok mayoritas dan minoritas dengan dikumandangkan-nya Sumpah
atau antar kelompok lemah dan kelompok Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang
kuat, meliputi antar sukubangsa, antar mengikrarkan Satu Nusa, Satu Bangsa
agama, kaya dan miskin dan lain dan satu Bahasa, yaitu Indonesia.
sebagainya, agar dapat mencapai suatu 4. Nilai menjunjung tinggi masyarakat
kondisi yang ideal dalam masyarakat. dan kegotongroyongan.
Adanya nilai-nilai persatuan ini juga Perbedaan-perbedaan pendapat adalah
didasari akan pengetahuan bahwa setiap biasa, akan tetapi perbedaan pendapat itu
daerah itu mempunyai adat istiadat bukan untuk dipertentangkan, melainkan
sendiri. Hal ini terdapat dalam ungkapan untuk dicapai suatu kesepakatan. Itulah
yakni ’len tongosno len suksesmanne’. arti musyawarah yang sesuai dengan
Maksudnya adanya pengakuan terhadap kepribadian bangsa. Dalam menghadapi
budaya orang lain, sehingga masalah-masalah yang menyangkut
menyebabkan masyarakat Bali cepat kehidupan bersama, kita senantiasa
beradaptasi dengan orang lain, yang tidak menyelesaikan secara bersama-sama
satu suku ataupun satu paham demi pula. Hal ini tercermin dalam ungkapan
integrasinya hubungan yang baik. yang berbunyi ‘berat sama dipikul
Bervariasinya segala kekuatan yang ada ringan sama dijinjing’. Ungkapam ini
didasari bahwa bila dipersatukan akan mencerminkan nilai-nilai kegotong-
12
Sigit Widiyanto, Anto Akhadiyat, Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh. Jakarta: Depdikbud,
1994/1995.
29
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
30
Nilai-Nilai Kesatuan Dalam Keragaman Sukubangsa (Tashadi)
didambakan bersama. Akhirnya dalam nilai dan norma yang menyubur-
kesempatan ini pula akan kami kutibkan kan persatuan dan kesatuan
pemikiran Jenderal Wiranto13 tentang ‘lima bangsa secara struktural dan
langkah strategis’ yang dapat memper- kultural.
kukuh persatuan dan kesatuan, sebagai Keempat : Merumuskan kebijakan dan
berikut: regulasi yang konkrit, tegas dan
Pertama : Membangun dan menghidupkan tepat dalam segala aspek
terus komitmen dan kehendak kehidupan dan pembangunan
untuk bersatu. Upaya ini antara bangsa, yang menjamin
lain bisa diintensifkan melalui terwujudnya keadilan bagi semua
jalur-jalur pendidikan dan forum- wilayah dan kelompok-kelompok
forum sosialisasi. masyarakat.
Kedua : Menciptakan mekanisme Kelima : Pengembangan karakter dan
penyelesaian konflik dan perilaku kepemimpinan pada
membangun berbagai kese- semua level interaksi dan bidang
pakatan nilai yang akan kehidupan yang mengedepankan
memudahkan pencapaian kearifan, keterbukaan, sensitif
konsensus. Kompromi dan terhadap aspirasi masyarakat dan
kesepakatan adalah jiwa responsif terhadap segala
musyawarah dan sesungguhnya permasalahan yang dihadapi.
juga merupakan napas Semoga dengan dilandasi persatuan dan
demokrasi. kesatuan yang kokoh, Negara Kesatuan
Ketiga : Membangun kelembagaan Republik Indonesia tetap jaya, eksis dan lestari
(pranata) yang berakarkan pada sepanjang masa. Amin.
Daftar Pustaka
Jenderal Wiranto. 1999. Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa di Era Reformasi
dalam Makalah Sarasehan Kebudayaan Taman Siswa XI.
N.N.,1994/1995. Mengungkap Budaya Kerja Bangsa Kita. Jakarta: Depdikbud.
Sigit Widiyanto, Anto Akhadiyat.1994/1995. Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh.
Jakarta: Depdikbud.
Sudiro, 1974. 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Penerbit Yayasan Gedung-Gedung
Bersejarah.
Undang-Undang Dasar 1945.
Yunus Melalatoa, M. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa, dua jilid. Jakarta: Depdikbud.
13
Jenderal Wiranto. Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa di Era Reformasi dalam Makalah
Sarasehan Kebudayaan Taman Siswa XI , Tahun 1999.
31
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup
parah. Jumlah uang Jepang yang beredar di masyarakat sangat banyak, ditambah
lagi dengan uang NICA. Untuk mengatasi masalah inflasi dan juga untuk melengkapi
atribut negara yang merdeka, Indonesia pada tahun 1946 tanggal 30 Oktober
mengeluarkan uang sendiri yakni Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Sejak tanggal
itu pula ORI dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah dengan dasar hukum
Undang Undang No. 17 Tahun 1946 dan Undang Undang No. 19 tahun 1946. secara
politis keluarnya ORI adalah merupakan tanda kemerdekaan dan secara ekonomis
sebagai usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian negara.
Beredar sekitar 4 tahun saja karena keberadaan ORI berakhir tatkala pemerintah
RIS mengeluarkan mata uang yang baru.
Pengantar
Sudah sejak lama uang dikenal orang Diawali dengan barang-barang yang
sebagai alat pembayaran yang sah. Uang digunakan sebagai alat tukar (untuk barter)
mempunyai arti penting dalam setiap roda sampai digunakannya lembaran, kepingan
perekonomian suatu bangsa. Rasanya tidak ataupun alat elektronik yang berfungsi
mungkin membicarakan perkembangan sebagai alat tukar ataupun alat pembayaran.
perekonomian suatu negara tanpa Mengingat panjangnya rentang sejarah uang
memasukkan kata atau besaran uang, di Indonesia, salah satu fenomena menarik
Walaupun dalam kenyataannya sampai saat tentang uang adalah saat Indonesia mampu
ini barter dan media lain juga digunakan mengeluarkan mata uang sendiri yakni
sebagai media transaksi atau sebagai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada
substitusi uang. Berbicara mengenai definisi bulan Oktober tahun 1946.
uang, ternyata sampai saat ini definisi yang
paling banyak diterima adalah uang Mata Uang Pada Awal Kemerdekaan
berdasarkan fungsinya yakni sebagai alat Pada hari-hari pertama sesudah
pembayaran. Jika kita mendasarkan fungsi proklamasi, ekonomi Indonesia sangat kacau.
uang sebagai alat bayar, kenyataannya Inflasi yang cukup tinggi menimpa republik
sampai saat ini banyak sekali media yang yang baru berdiri. Mata uang Jepang yang
dapat digunakan sebagai alat bayar, antara beredar di masyarakat sangat banyak,
lain kartu kredit, rekening giro, cek, transfer diperkirakan mata uang pendudukan Jepang
dana dengan alat elektronik dan lainnya, yang yang beredar mencapai lebih dari 4 milyar
semuanya dapat digunakan sebagai alat rupiah.1 Sampai bulan Agustus 1945 diduga
pembayaran. Oleh karena itu, sejarah uang di Pulau Jawa saja beredar sekitar 1,6 milyar
mempunyai kaitan yang erat dengan sejarah rupiah. Jumlah itu makin bertambah setelah
suatu bangsa, termasuk sejarah uang pasukan Sekutu menduduki beberapa kota
Republik Indonesia dan bangsa Indonesia. besar dan menguasai bank-bank. Dari bank-
1
Intisari. No. 210, 9 Januari 1981, hal. 8
32
Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia (Dwi Ratna Nurhajarini)
bank dikeluarkan lagi uang cadangan Dengan masuknya tentara Sekutu
sebanyak 2,3 milyar untuk biaya operasional dalam rangka melucuti balatentara Jepang,
dan membayar pegawai. Kas pemerintah RI pada tanggal 6 Maret 1946, Letnan Jenderal
boleh dikatakan kosong sedang penerimaan Sir Philip Christison, panglima AFNEI (Allied
dari pajak dan bea lain masih belum berjalan. Forces in Netherlands Indie) menyatakan
Sebaliknya pengeluaran semakin bertambah. berlakunya Uang NICA (Netherlands
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indies Civil Administration). Uang yang
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, bergambar Ratu Wilhelmina tersebut dipakai
di Indonesia beredar beberapa jenis mata sebagai alat pembayaran yang sah bagi
uang, yakni: semua pihak (Indonesia, Belanda, dan juga
1. Mata uang pemerintah Hindia Belanda Sekutu). keluarnya mata uang ini cukup
2. Mata uang De Javasche Bank menyulitkan perekonomian Indonesia saat itu.
3. Mata uang Pendudukan Jepang. Akibatnya adalah naiknya harga barang-
Mata uang Pendudukan Jepang, ada barang sehingga semakin meningkatkan
tiga macam, yakni: terjadinya inflasi di Indonesia. Kurs
Pertama mata uang yang sudah penukaran ditetapkan 3%, artinya setiap
dipersiapkan sebelum menguasai Indonesia. rupiah Jepang dapat ditukar dengan 3 sen
Uang ini menggunakan Bahasa Belanda, De uang Nica.4
Japansche Regeering, dengan satuan Sutan Sahrir selaku perdana menteri,
Gulden, emisi tahun 1942 berkode “S”.2 memprotes tindakan Sekutu, karena
Kedua, yang menggunakan bahasa Indonesia, pengeluaran uang tersebut berarti melanggar
Pemerintah Dai Nippon, emisi tahun 1943 hak kedaulatan RI, dan juga melanggar
dengan satuan rupiah, dalam pecahan bernilai persetujuan yang telah disepakati.
100 rupiah, bergambar pohon palem dan Persetujuan tersebut adalah selama situasi
disebaliknya gambar petani dua ekor kerbau. politik belum mantap, tidak akan dikeluarkan
Ketiga menggunakan Bahasa Jepang, Dai mata uang baru untuk menghindarkan
Nippon Teikoku Seibu, emisi tahun 1943, kekacauan di bidang ekonomi dan keuangan.
satuannya pun menggunakan rupiah. Seri Pemerintah menganjurkan pada seluruh
yang keluar kebanyakan bergambar rakyatnya agar menolak uang NICA sebagai
lingkungan alam di Indonesia dan juga budaya alat pembayaran.
Indonesia, seperti pada pecahan 5 rupiah
bergambar rumah adat Minangkabau yakni Persiapan Menjelang Keluarnya ORI
Rumah Gadang dan disebaliknya Perjuangan bangsa Indonesia pada
bergambar Wanita Minang yang memakai masa perang kemerdekaan tidak saja
baju adat daerahnya. Juga pada pecahan 100 membutuhkan tenaga, taktik dan strategi
rupiah bergambar tokoh wayang orang perjuangan, melainkan juga membutuhkan
Arjuna dan ukiran Bali di gambar sebaliknya, dana untuk mendukung perjuangan itu. Oleh
sedang tokoh Gatutkaca tertera pada karena itu, uang menjadi salah satu kunci
pecahan 5 rupiah dengan gambar stupa dan dalam perjuangan.
Budha di sisi satunya.3
2
Uang pendudukan Jepang di Semenanjung Malaya berkode “M” dengan satuan dollar; di Pilipina
berkode “P” dengan satuan pesos; di Birma atau Myanmar berkode “B” dengan satuan rupee, dan di Oceania
berkode “O” dengan satuan sbilling. Semua bentuk dan ukurannya relatif sama.
3
Wiratsongko (ed). Bank Notes and Coins From Indonesia. Jakarta: Perum Peruri dan Yayasan Serangan
Umum 1 Maret 1949, 1991. hal. 2 dan 254 - 260
4
Intisari, No. 210, 9 Januari 1981, hal. 6
33
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
5
Wiratsongko, Ibid. hal. 4
6
Wawancara dengan Surono tahun 1996
7
Dwi Ratna Nurhajarini. Oeang Repoeblik Indonesia Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa 1946 –
1950. Yogyakarta: BKSNT, Depdikbud, 1999, hal. 38-42
34
Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia (Dwi Ratna Nurhajarini)
tahun 1948 – 1949, percetakan ORI dilakukan Undang itu dikeluarkan tanggal 1 Oktober
di daerah pengungsian, yakni di daerah 1946, namun pengeluaran ORI dan juga
Selopamioro, Imogiri, Bantul.7 berlakunya ORI sebagai alat pembayaran
Persiapan lain dalam rangka yang sah tergantung keputusan Menteri
penyehatan keuangan nasional juga dilakukan, Keuangan. Lewat Surat Keputusan Menteri
yakni dengan Pinjaman Nasional yang Keuangan No. SS/1/35 tanggal 29 Oktober
berlangsung dari tanggal 15 Mei – 15 Juni 1946 pukul 24.00, ORI dinyatakan berlaku
1946. Pinjaman nasional mempunyai dua arti sebagai alat tukar yang sah pada tanggal 30
penting, pertama untuk menarik sebagian Oktober 1946. Pengeluaran ORI ditandai
uang pendudukan Jepang yang ada di dengan pidato radio Wakil Presiden
masyarakat dan kedua untuk membuktikan Mohammad Hatta pada tanggal 29 Oktober
pada dunia luar bahwa pemerintah Indonesia 1946. pidato tersebut antara lain berbunyi.
dipercaya dan didukung oleh rakyatnya.8 “.... besok pada tanggal 30 Oktober
Usaha menyehatkan keuangan setelah 1946, suatu hari yang mengandoeng sedjarah
diadakan pinjaman nasional kemudian diikuti bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi
oleh kegiatan yang lebih tegas, yakni penghidoepan baroe. Besok moelai beredar
“kewajiban menyimpan uang dalam bank”. Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-
Tindakan ini sebagai persiapan langsung dari satoenya alat pembajaran yang sah...”.10
pengeluaran uang republik. Kegiatan ini Penerbitan atau pengeluaran ORI
dilakukan beberapa kali, sampai beberapa hari dimaksudkan untuk mengganti uang
menjelang keluarnya uang republik. Dan Pendudukan Jepang dan uang Hindia
sampai batas akhir kewajiban menyimpan Belanda. Dasar hukum penerbitan ORI selain
uang dalam bank, setiap orang hanya Undang-Undang No. 17/ 1946 juga
diperbolehkan memiliki uang tunai sebesar 50 dipertegas dengan Undang-Undang no. 19/
rupiah uang Jepang. 1946 tentang pengeluaran uang Republik
Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 19/
Oeang Repoeblik Indonesia 1946 antara lain ditetapkan tentang nilai tukar
Uang adalah tanda kemerdekaan ORI dengan uang Pendudukan Jepang dan
negara. Dengan ada pencetakan dan juga dengan standar emas yang digunakan
mempunyai uang sendiri merupakan tindakan untuk penukaran dengan mata uang asing.
politis guna memantapkan identitas bangsa Sepuluh rupiah ORI ditetapkan sama dengan
dan negara. Suatu negara merdeka tidak emas murni seberat 5 gram. Penetapan itu
hanya cukup dengan proklamasi, punya dimaksudkan untuk memberi dasar harga
pemerintahan, tanah air, dan rakyat. akan yang tetap atas ORI, dan sekaligus digunakan
tetapi, juga harus mempunyai mata uang sebagai dasar perhitungan yang pasti
sendiri. Pernyataan Mohammad Hatta itu terhadap mata uang asing.11 Terhadap uang
kemudian menjadi dasar pemikiran bagi Jepang, dasar penukaran ORI ditetapkan
pencetakan uang republik.9 sebesar 50 rupiah uang Jepang sama dengan
Pemerintah Indonesia baru bisa 1 rupiah ORI, untuk wilayah Jawa dan
mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun Madura. Sedangkan untuk wilayah Sumatra,
1946 melalui Undang-Undang No. 17/1946 100 rupiah Jepang sama dengan 1 rupiah
tanggal 1 Oktober 1946. Walaupun Undang- ORI.
8
Revue Indonesia, No. 15, 9 Mei 1996
9
Kedaulatan Rakyat, 22 Maret 1946
10
Kedaulatan Rakyat 30 Oktober 1946
11
Biro Hukum dan Humas Depkeu dan PT. Asuransi Jasa Raharja, 1986
35
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
14
Muhammad Hatta. Kumpulan Pidato. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hal. 105
15
Wiratsongko, Op.cit. hal. 10
16
George Mc, Kahin. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: UNS Press bekerjasama
dengan Sinar Harapan, 1995, hal. 501
37
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
apabila tentara Belanda mengetahui rakyat Dengan adanya instruksi tersebut rakyat
mempunyai ORI, maka uang tersebut Yogyakarta baik yang ada di desa maupun di
dirampas dan disobek-sobek. kota banyak mentaatinya. Bahkan di Pasar
Adanya berbagai tekanan dan paksaan Ngasem rakyat dengan gigih memper-
yang dilakukan oleh pihak Belanda, tahankan uang ORI. Sultan juga berhasil
menyebabkan rakyat terutama para mempengaruhi pedagang Thionghoa,
pedagang secara diam-diam mau juga sehingga golongan tersebut tidak ragu-ragu
menerima uang NICA, di samping tetap menerima ORI.18
menggunakan ORI. Para pedagang Pihak Belanda dalam usahanya untuk
umumnya mencari amannya saja, bila menyebarkan uang NICA antara lain dengan
diketahui ada tentara Republik Indonesia cara menggaji para pegawai yang ada di
datang maka yang memiliki uang NICA daerah pendudukan dengan uang NICA.
segera menyebunyikan. Sedangkan bila ada Sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari
patroli dari Belanda, mereka segera hanya dapat dibeli dengan ORI, maka para
menyimpan uang ORI. Kenyataannya uang pegawai di daerah pendudukan harus
NICA hanya beredar di dalam kota, untuk menukarkan uang NICA dengan ORI. Uang
luar kota rakyat tetap menggunakan uang NICA hanya dapat dibelanjakan untuk
Republk (ORI). Namun para pedagang yang membeli benda-benda atau barang-barang
ada di kota terutama golongan Tionghoa, lebih seperti sabun, teh, makanan kalengan atau
senang menerima ORI daripada menerima benda-benda pos.19
uang NICA. Sebab dengan ORI mereka bisa Keberadaan ORI yang lahir dalam
membeli beras dari petani. suasana revolusi harus berakhir tatkala
Berkaitan dengan politik perjuangan di Pemerintah RIS mengeluarkan mata uang
Yogyakarta yang ada kaitannya dengan ORI, baru. Walaupun ORI mempunyai masa edar
Sultan Hamengkubuwana IX menegaskan yang relatif pendek namun keberadaannya
sebagai berikut: telah menandai sebuah era baru dalam sistem
“... agar rakjat dan semua instansi moneter di Indonesia. Di samping itu ORI
perdjoengan menolak beredarnja wang juga berperan dalam perjuangan melawan
Federal dan ambil tindakan dimana perlu. Belanda, dan fungsi utama sebagai alat
Sebaliknja Wang ORI harus dipakai sebagai pembayaran dan alat tukar tentunya tetap
suatu mata wang jang berlaku dan harus melekat pada ORI.
dihargai.17.
Daftar Pustaka
Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT. Jakarta: Inti
Idayu Press.
17
Arsip Daerah No. 89
18
P.J. Suwarno. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942 – 1974:
Sebuah Tinjauan Historie. Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 250 -25
19
Intisari. Loc.cit
38
Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia (Dwi Ratna Nurhajarini)
Iswardono Sp, 1981. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE.
Kahin, George Mc.T., 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: UNS Press
bekerja sama dengan Sinar Harapan.
Wiratsongko (ed). Bank Notes and Coins from Indonesia. Jakarta: Perum Peruri dan
Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.
39
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Ernawati Purwaningsih
Abstrak
Pengantar
Dunia anak yang sering diidentifi- baik lagi jika permainan tradisonal anak dapat
kasikan dengan dunia bermain merupakan berkembang. Artinya selain permainan
suatu masa yang sangat membahagiakan tradisional anak tetap hidup di masyarakat
bagi anak. Dari bermain terbentuk proses pendukungnya, juga adanya upaya agar
sosialisasi secara dini. Sebab dalam bermain permainan tersebut tidak statis, namun dapat
anak belajar mengenal nilai-nilai budaya dan berkembang sesusai dengan perkembangan
norma-norma sosial yang diperlukan sebagai jaman. Hilangnya permainan tradisional anak
pedoman untuk pergaulan sosial dan selain akibat pengaruh globalisasi juga
memainkan peran-peran sesuai dengan diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
kedudukan sosial yang nantinya mereka historis, faktor kebijaksanaan dalam
lakukan. Kehidupan anak identik dengan dunia pendidikan formal, faktor hilangnya
bermain, sehingga secara tidak langsung prasarana, serta terdesaknya permainan
permainan anak dapat digunakan sebagai tradisional dengan permainan impor yang lebih
penentu jalan hidupnya serta pembentuk modern.
kepribadiannya.1 Melihat kendala yang dihadapi di atas,
Permainan tradisional anak atau yang perlu kiranya adanya upaya agar permainan
disebut dengan dolanan anak-anak anak tradisional tetap diakui, terutama oleh
merupakan salah satu aset budaya bangsa masyarakat pendukungnya. Permainan
yang harus tetap dilestarikan. Maksud dari tradisional anak mempunyai arti yang sangat
pelestarian adalah menjaga agar permainan penting dalam pendidikan budaya bangsa,
tradisional anak tetap ada, dan akan lebih terutama untuk menanamkan nilai-nilai
1
Christriyati Ariani dkk. Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat DIY. Yogyakarta:
Proyek P3NB, 1977
40
Permainan Tradisional Anak (Ernawati Purwaningsih)
budaya, norma sosial serta pandangan hidup berpegang teguh pada norma dan adat
dalam masyarakat dalam arti luas. kebiasaan yang ada secara turun temurun”.
Sehubungan dengan pengertian di atas,
Sejarah Permainan Tradisional maka yang dimaksud dengan “permainan
Kata “permainan” berasal dari kata tradisional” adalah segala bentuk permainan
dasar “main” yang antara lain berarti yang sudah ada sejak jaman dahulu dan
melakukan perbuatan untuk bersenang- diwariskan secara turun temurun dari
senang.2 Berdasarkan pengertian tersebut generasi ke generasi.
berarti suatu permainan harus bisa Orang tidak dapat mengetahui dengan
menciptakan atau menimbulkan rasa senang pasti bilamana mulai tumbuh dan
bagi pelakunya. Apabila suatu permainan berkembangnya permainan tradisional anak
tidak bisa memberikan rasa senang bagi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila
pemainnya, tidak lagi disebut sebagai dipertanyakan lebih lanjut tentang siapa
permainan. penciptanya, juga tidak dapat diketahui.
Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Demikian juga tentang macam, jumlah,
yang berjudul Tentang Frobel dan maksud semula dari permainan, semuanya
Methodenya, beliau menganjurkan adanya tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi
syarat-syarat yang diperlukan dalam dari cerita-cerita, data-data, serta sisa-sisa
permainan, khususnya permainan anak yang berbagai macam jenis permainan tradisional
bertujuan untuk pendidikan. Adapun syarat- anak yang dapat diketahui pada akhir abad
syarat untuk permainan anak adalah: 19 dan permulaan abad 20 dapatlah ditelusuri
1. Permainan harus menggembirakan anak tentang macam, jenis, cara, peraturan, lagu
karena kegembiraan adalah pupuk bagi yang dipergunakan untuk mengiringi dan lain
tumbuhnya jiwa; sebagainya.4
2. Permainan harus memberi kesempatan Dari jaman Mataram misalnya, dikenal
pada anak untuk berfantasi;. Permainan cerita atau dongeng Raden Rangga yang
harus mengandung semacam tantangan suka bermain gatheng dengan menggunakan
sehingga merangsang daya kreativitas batu yang berukuran agak besar. Peninggalan
anak; batu gatheng sebagai alat bermain Raden
3. Permainan hendaknya mengandung Rangga hingga sekarang masih tersimpan
unsur keindahan atau nilai seni; dan di Kotagede. Soal kebenaran bahwa batu itu
4. Permainan anak harus mengandung isi betul-betul alat bermain gatheng tidak dapat
yang dapat mendidik anak ke arah dipastikan.
ketertiban, kedisplinan, sportifitas, Selain itu dikenal juga cerita permainan
kebersamaan. watangan jaman Mataram seperti yang
Adapun yang dimaksud dengan dikisahkan oleh pengarang Yasawidagda
“tradisional” menurut Kamus Besar Bahasa dalam bukunya yang berjudul Sangkan
Indonesia3 berasal dari kata dasar “tradisi” Paran. Dalam buku tersebut ditulis bahwa
yang artinya antara lain “adat kebiasaan turun setiap hari Sabtu para pemuda jaman
temurun yang masih dijalankan”. Sedangkan Mataram suka bermain watang dengan
kata “tradisional” sendiri berarti “sikap dan mengendarai kuda dan mengambil tempat di
cara berpikir serta bertindak yang selalu alun-alun. Permainan ini berunsur latihan
2
Tim Penyusun Kamus PPPB. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka, 1995,
hal. 614
3
Ibid. hal. 1069
4
Sukirman Dharma Mulya. Transformasi Nilai Budaya Melalui Permainan Anak DIY. Yogyakarta:
Proyek P3NB, 1992.
41
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
5
Ibid.
42
Permainan Tradisional Anak (Ernawati Purwaningsih)
9. Untuk menentukan urutan yang bermain Permainan tradisional merupakan hasil
terlebih dahulu misalnya dengan sut, penggalian dari budaya kita sendiri.6
kacen, hompimpah; Apabila dikaji lebih mendalam lagi,
10. Tempat bermain bermacam-macam sebenarnya dalam permainan tradisional
tergantung jenis permainannya. terdapat atau mengandung unsur-unsur nilai
Selain penggolongan permainan anak budaya. Kadang unsur-unsur nilai budaya itu
tradisional di atas, ada juga yang berpendapat tidak terpikirkan oleh kita. Namun
bahwa aneka ragam dan bentuk permainan sebenarnya apabila kita amati dan rasakan,
dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu ternyata dalam permainan tradisional banyak
permainan strategi, permainan yang lebih unsur-unsur nilai budaya yang umumnya
mengutamakan kemampuan fisik, dan yang bersifat positif, sehingga dapat untuk
ketiga permainan yang dilakukan secara membentuk kepribadian anak untuk menjadi
bermain sambil belajar. generasi bangsa yang berbudi luhur.
Menurut Ki Hadisukatno, permainan Menurut Dharmamulya7, unsur-unsur
tradisional anak dapat dikelompokkan dalam nilai budaya yang terkandung dalam
lima macam, yaitu: permainan tradional yaitu:
1. Permainan yang bersifat menirukan - Nilai kesenangan atau kegembiraan,
perbuatan orang dewasa, misalnya dunia anak adalah dunia bermain dan
pasaran, manten-mantenan, dhayoh- anak akan merasakan senang apabila
dhayohan; diajak bermain. Rasa senang yang ada
2. Permainan untuk mencoba kekuatan dan pada si anak mewujudkan pula suatu fase
kecakapan, misalnya gobag sodor, menuju pada kemajuan.
gobag bunder, benthik uncal, - Nilai kebebasan, seseorang yang
genukan, bengkat; mempunyai kesempatan untuk bermain
3. Permainan untuk melatih panca indera, tentunya merasa bebas dari tekanan,
misalnya gatheng, dakon, macanan, sehingga ia akan merasa senang dan
sumbar suru, pathon, dhekepan; gembira. Dalam keadaan yang gembira
4. Permainan dengan latihan bahasa, dan hati yang senang, tentunya lebih
misalnya permainan anak dengan mudah untuk memasukkan hal-hal baru
percakapan/cerita, permainan tebak- yang positif dan bersifat mendidik.
tebakan; dan - Rasa berteman, seorang anak yang
5. Permainan dengan lagu dan irama, mempunyai teman bermain tentunya
misalnya: jamuran, cublak-cublak akan merasa senang, bebas, tidak bosan
suweng, ancak-ancak alis, tokung- dan dapat saling bertukar pikiran dengan
tokung, blarak-blarak sempal; sesama teman. Selain itu, dengan
mempunyai teman berarti anak akan
Nilai-nilai Budaya dan Manfaat belajar untuk saling mengerti pribadi
Permainan Tradisional Anak masing-masing teman, menghargai teman
Pada dasarnya permainan tradisional dan belajar bersosialisasi.
lebih banyak bersifat mengelompok yang - Nilai demokrasi, artinya dalam suatu
dimainkan minimal dua orang anak, permainan setiap pemain mempunyai
menggunakan alat permainan yang relatif kedudukan yang sama, tidak memandang
sederhana serta mudah dicari, serta apakah anak orang kaya atau anak orang
mencerminkan kepribadian bangsa sendiri. miskin, tidak memandang anak pandai
6
Loc.cit.
7
Ibid.
43
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
atau bodoh. Jadi, apabila dalam suatu bas-basan, para pelaku secara terus
permainan undiannya dengan cara sut, menerus dilatih untuk berpikir pada skala
hompimpah atau yang lain untuk luas atau sempit, gerak langkah sekarang
menentukan siapa yang menang dan dan selanjutnya baik diri sendiri atau
siapa yang kalah, maka semua pemain lawannya dan untuk mendapatkan suatu
harus mematuhi peraturan itu. kemenangan maka harus cermat dan jeli.
- Nilai kepemimpinan, biasanya terdapat - Nilai kejujuran dan sportivitas. Dalam
pada permainan yang sifatnya bermain dituntut kejujuran dan sportivitas.
berkelompok. Setiap kelompok memilih Pemain yang tidak jujur akan
pemimpin kelompok mereka masing- mendapatkan sangsi, seperti dikucilkan
masing. Anggota kelompok tentunya teman-temannya, atau mendapat
akan mematuhi pimpinannya. hukuman kekalahan.
- Rasa tanggung jawab, dalam Permainan tradisional anak selain
permainan yang bertujuan untuk mempunyai unsur-unsur nilai budaya yang
memperoleh kemenangan, biasanya sedemikian banyak, juga mempunyai manfaat
pelaku memiliki rasa tanggung jawab atau guna. Seperti apa yang dikatakan Ki
penuh, sebab mereka akan berusaha Hajar Dewantara dalam tulisannya di majalah
untuk memperoleh kemenangan. Apabila Pusara bahwa:
menang berarti suatu prestasi yang Mudahlah bagi kita untuk menetapkan
tentunya menimbulkan rasa bangga yang guna dan faedah permainan kanak-kanak itu
pada akhirnya berpengaruh juga pada bagi kemajuan jasmani dan rohani kanak-
pertumbuhan dan perkembangan jiwa kanak. Tubuh badannya menjadi sehat dan
anak. kuat, serta hilanglah kekakuan bagian-bagian
- Nilai kebersamaan dan saling tubuh, hingga gampang dan lancar anak-anak
membantu. Dalam permainan yang melakukan segala sepak terjang atau langkah
bersifat kelompok, nilai kebersamaan dan laku dengan segala tubuh badannya. Seluruh
saling membantu nampak sekali. pancainderanya dapat dipergunakannya
Kelompok akan bekerjasama dan saling dengan sebaik-baiknya, lancar, lembut dan
membantu untuk meraih kemenangan. cekatan. Selain itu permainan anak juga
Apabila antaranggota kelompok tidak berpengaruh pada timbulnya ketajaman
saling membantu, maka kekalahanlah berpikir, kehalusan rasa serta kekuatan
yang akan diperoleh. kemauan.8
- Nilai kepatuhan. Dalam setiap Permainan anak melatih anak-anak
permainan tentunya ada syarat atau untuk bisa menguasai diri sendiri, menghargai
peraturan permainan di mana peraturan atau mengakui kekuatan orang lain, berlatih
itu ada yang umum atau yang disepakati untuk bersiasat atau bersikap yang tepat dan
bersama. Setiap pemain harus mematuhi bijaksana. Dengan demikian, permainan
peraturan itu. Jadi dengan bermain maka anak sungguh bermanfaat untuk mendidik
secara tidak langsung anak dilatih untuk perasaan diri dan sosial, berdisiplin, tertib,
mematuhi suatu peraturan yang berlaku. bersikap awas dan waspada serta siap
- Melatih cakap dalam berhitung, yaitu menghadapi semua keadaan.
pada permainan dhakon. Setiap pemain Permainan anak yang secara langsung
harus cakap menghitung. akan diterima dengan senang hati bagi anak
- Melatih kecakapan berpikir, seperti itu sendiri. Mereka dapat bermain,
dalam permainan mul-mulan, macanan, berekspresi dan bebas merdeka. Jadi anak-
8
Majalah Pusara. Mei 1941 Jilid XI No. 5
44
Permainan Tradisional Anak (Ernawati Purwaningsih)
anak bermain dengan rasa kemerdekaan maka tak sayang. Demikian juga dengan
tanpa ada paksaan dan ini akan menjadikan permainan tradisional, karena anak-anak
anak-anak mempunyai rasa percaya diri. sekarang tidak dikenalkan dengan permainan
tradisional, maka mereka pun tidak sayang.
Permainan Tradisional Anak di Era Apalagi sarana dan prasarana dari beberapa
Global permainan tradisonal tersebut sulit didapat
Kalau kita bicara tentang permainan atau dikenali. Misalnya permainan gobag
maka tidak bisa lepas dari anak-anak. sodor yang memerlukan arena yang agak
Bermain adalah dunia anak-anak. Anak-anak luas, dan untuk masa sekarang agak sulit
dari lahir pun sudah menunjukkan bahwa diperoleh, Demikian juga dengan permainan
dunia yang paling mereka senangi adalah egrang yang membutuhkan sarana bambu
bermain. Sebagai contoh, ketika anak yang untuk bermainnya, juga sulit diperoleh.
baru berumur 3 bulan, maka ia sudah bisa Tersisihnya permainan tradisional
tertawa apabila diajak bermain cilukba. sebenarnya tidak bisa ditolak. Kemajuan
Permainan bermacam-macam jenisnya, teknologi di era global yang cukup pesat
tergantung usia sang anak. Dengan bermain membawa konsekuensi pada kemajuan di
anak akan merasa senang dan gembira. berbagai hal, termasuk jenis dan macam
Pada era globalisasi ini ketika teknologi permainan anak. Oleh karena itu, masyarakat
tumbuh pesat, permainan tradisional semakin pendukung kebudayaan perlu menjaga atau
tersingkir. Permainan anak-anak sekarang melestarikan serta mengembangkannya.
(terutama yang hidup di ibukota negara, Artinya, meski banyak permainan ‘modern’
propinsi, dan bahkan kabupaten) pada yang ditawarkan, hal ini menjadi tantangan
umumnya cenderung bersifat individual dan bagi kita, terutama masyarakat pendukung
ditinjau dari aspek finansial juga relatif mahal kebudayaan tersebut. Paling tidak, permainan
dibandingkan dengan permainan tradisional. tradisional yang sarat dengan nilai-nilai luhur
Sebagai contoh, permainan yang banyak perlu dikenali, selanjutnya permainan tersebut
digemari anak-anak sekarang adalah PS dapat diimprovisasi dengan keadaan
(Play Station). Permainan ini menggunakan sekarang, sehingga permainan tradisional
teknologi tinggi, anak-anak dapat bermain akan diminati anak-anak dan tidak kalah
sendiri atau juga dengan teman, tetapi dengan permainan ‘modern’.
biasanya mereka bermain sendiri. Kalau Guna mengembangkan permainan
sudah menghadap Play Station, anak-anak tradisional sebagai salah satu aset budaya
sudah asyik sekali. Bahkan, sampai malas bangsa, maka perlu kiranya mendapatkan
untuk melakukan aktivitas lainnya seperti pehatian dari berbagai pihak. Tanpa adanya
makan, mandi, dan apalagi belajar. Permainan perhatian dan campur tangan pemerintah
mobil remote, barbie, dan permainan untuk terus melestarikan dan mengembang-
‘modern’ lainnya selain harganya relatif lebih kan permainan traadisional, maka permainan
mahal juga lebih bersifat individual. tradisional tersebut akan hilang ditelan waktu.
Tidak dikenalnya permainan tradisional Demikian juga apabila pelestarian dan
oleh anak-anak jaman sekarang ini bukan pengembangan permainan tradisional tidak
karena kesalahan dari anak itu, akan tetapi didukung oleh masyarakat, juga akan hilang
karena dipengaruhi oleh berbagai hal antara dengan sendirinya. Sebagai contoh usaha
lain, penyampaian materi. Karena permainan pelestarian permainan tradisional yaitu
tradisional tidak dikenalkan oleh generasi dengan memperkenalkan kepada siswa di
sebelumnya, maka anak pun tidak sekolah. Cara ini cukup efektif karena selain
mengenalnya. Seperti kata pepatah, tak kenal anak dalam kegiatan belajar, pendukung atau
45
pemain juga banyak, bila permainan dan dikembangkan. Tentunya ini semua tidak
membutuhkan arena yang agak luas juga lepas dari usaha untuk membentuk
memungkinkan. kepribadian anak-anak yang nantinya akan
Permainan tradisional yang merupakan menjadi penerus perjuangan bangsa, menjadi
salah salah khasanah budaya bangsa dan manusia yang berbudi luhur dan bisa
menjadi aset bangsa, perlu terus dilestarikan membawa bangsa ini pada kemakmuran.
Daftar Pustaka
Ariani, Christriyati dkk. 1997. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek P2NB.
Tim Penyusun Kamus PPPB. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta:
Balai Pustaka.
46
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
Abstrak
1
Djoko Surjo.Gaya Hidup Masyarakat Jawa Di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial, Ekonomi dan
Budaya. Yogyakarta: Proyek P3KN, Depdikbud, 1983, hal. 53
47
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
Berkaitan dengan banyaknya jenis seni wayang klithik, wayang Rama, wayang
pertunjukan wayang, maka dalam kaper, wayang tasripin, wayang tambun,
pembicaraan ini dibatasi, khususnya akan wayang golek purwa, wayang ukur, wayang
mengupas mengenai seni pertunjukan batu atau wayang candi, wayang sandosa,
wayang kulit. dan wayang orang.2
Berbicara tentang seni pertunjukan Wayang madya adalah kombinasi
wayang, khususnya wayang kulit tentunya perwujudan wayang purwa dengan wayang
tidak bisa lepas dari jenis-jenis wayang yang gedhog yang ceritanya menyambungkan
sudah ada sebelumnya.Wayang sudah antara cerita zaman purwa (Ramayana dan
mengalami perjalanan sejarah yang cukup Mahabarata) dengan zaman Jenggala yang
panjang. Dalam dunia wayang, dikenal menceritakan cerita-cerita Panji. Menurut
adanya wayang purwa, wayang madya, KGPAA Mangkunegara IV, wayang madya
wayang gedhog, wayang menak, wayang menceritakan kisah pada masa Prabu
babad, wayang modern, dan wayang Jayalengkara, yaitu pada tahu 785-1052 çaka
topeng. (tahun 863-1130 M), yang pada umumnya
Wayang purwa adalah pertunjukan bersumber pada Serat Anglingdarma.3
wayang yang pementasan ceritanya Wayang gedhog adalah pertunjukan
bersumber pada kitab Mahabarata atau wayang yang ceritanya bersumber dari cerita
Ramayana. Wayang tersebut dapat berupa Panji, maupun kisah kepahlawanan pada
wayang kulit, wayang golek, ataupun masa kerajaan Kediri, Singasari, dan
wayang orang. Ada yang berpendapat bahwa Majapahit. Wayang gedhog juga sering
kata purwa berasal dari kata parwa yang disebut dengan wayang Panji. Bentuk
berarti bagian dari cerita Mahabarata atau wayang yang dipergunakan dalam
Ramayana. Namun ada pula yang pertunjukan wayang gedhog ada yang
berpendapat bahwa kata purwa sama terbuat dari kulit seperti halnya wayang kulit
dengan kata ‘purba’ yang berarti zaman purwa, ada yang berupa wayang beber, dan
dahulu, sehingga wayang purwa diartikan ada pula yang badannya terbuat dari kayu
sebagai pertunjukan wayang yang pipih yang diukir dan disungging seperti
menyajikan cerita-cerita pada zaman dahulu. halnya wayang kulit purwa namun tangannya
Menurut KGPAA Mangkunegara IV, yang terbuat dari kulit, yang disebut wayang
termasuk dalam cerita wayang purwa adalah klithik. 4
cerita pada masa kedatangan Prabu Isaka Wayang menak adalah pertunjukan
(Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja wayang yang ceritanya bersumber pada
Yudayana di Kerajaan Astina, yaitu dari tahun cerita menak, dan wujud wayangnya terbuat
1-785 çaka (tahun 78-863 M). Yang termasuk dari kulit yang ditatah dan disungging
dalam wayang purwa meliputi wayang seperti halnya wayang kulit purwa. Cerita
rontal, wayang kertas, wayang beber purwa, menak yang ditampilkan dengan wayang
wayang Demak, wayang keling, wayang yang terbuat dari kayu dan merupakan
jengglong, wayang kidang kencana, wayang golek disebut wayang thengul.5
wayang purwa gedhog, wayang kulit Wayang babad adalah pertunjukan
purwa, wayang golek, wayang krucil atau wayang yang ceritanya bersumber pada
2
Haryanto, S, Patiwimba Adiluhung. Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Jambatan, 1988, hal
41 - 95
3
Ibid. hal. 95 - 97
4
Ibid. hal. 97 - 100
5
Ibid, hal. 107
48
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
cerita-cerita babad (sejarah) setelah cerita dalam agama Budha; wayang
masuknya agama Islam di Indonesia, antara jemblung, yaitu penyajian cerita wayang
lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa dengan Bahasa Jawa tapi tanpa
kerajaan Demak dan Pajang. Yang termasuk menggunakan alat peraga; dhalang
dalam wayang babad adalah wayang jemblung, yaitu penyajian cerita dengan
kuluk, yaitu wayang yang ceritanya khusus tanpa alat peraga, yang dilakukan oleh
mengambil cerita-cerita sejarah Kraton sekelompok orang (4-5 orang) yang sekaligus
Yogyakarta (Mataram); wayang dupara, sebagai pemain dan pengiring, yang
yang ceritanya mengambil dari babad disampaikan dalam Bahasa Jawa-
Demak, Pajang, Mataram, hingga Kartasura; Banyumas; dalang kentrung, yaitu penyajian
dan wayang Jawa, yang keseluruhan cerita wayang (biasanya cerita babad atau
wayangnya memakai baju lurik.6 . cerita Panji) dengan tanpa alat peraga, dan
Wayang modern adalah pertunjukan sang dalang sekaligus sebagai pengiring. Jadi
wayang yang dimaksudkan dengan tujuan- bercerita dan menembang sambil tangannnya
tujuan tertentu. Yang termasuk dalam wayang asyik memukul kentrung dan terbang
ini adalah wayang wahana, yaitu sebagai pengiringnya; dan wayang sadat,
pertunjukan wayang yang ceritanya yaitu pertujukan wayang yang ditampilkan
bersumber pada cerita-cerita jaman sekarang, dalam warna Islam, dengan cerita pada
sehingga juga disebut wayang sandiwara; zaman Kerajaan Demak hingga Pajang.
wayang suluh, yaitu pertunjukan wayang Bentuk wayangnya seperti halnya dalam
yang dimanfaatkan sebagai sarana wayang wahyu maupun dalam wayang
penerangan; wayang kancil, yaitu suluh, namun dengan busana Islam. 7
pertunjukan wayang yang ceritanya Wayang topeng, adalah pertunjukan wayang
bersumber pada cerita kancil atau cerita yang para peraganya mengenakan topeng.8
binatang, sehingga wujud wayangnya juga Menurut Rasser (dalam Soedarsono
berupa gambar binatang; wayang wahyu, dan Bakdi Sumanto), pertunjukan wayang
yaitu pertunjukan wayang yang ceritanya kulit Jawa sebelumnya merupakan suatu
bersumber dari kitab Injil; wayang dobel, pertunjukan ritual untuk mengundang roh
yaitu pertunjukan wayang yang ceritanya nenek moyang turun ke bumi agar menolong
bersumber dari kitab suci Al Qur’an; wayang keturunannya yang masih hidup di dunia.
Pancasila, yaitu pertunjukan wayang yang Sebagaimana diungkapkan oleh
bertujuan untuk memberi penerangan Haryono (1999), pertunjukan wayang sudah
mengenai falsafah Pancasila, UUD’45, dan ada sejak abad VIII M, yang dalam prasasti
GBHN dengan mempergelarkan cerita-cerita Kuti (840 M.) disebut dengan kata haringgit.
yang berhubungan dengan perjuangan bangsa Ketika itu pertunjukan wayang masih bersifat
Indonesia melawan penjajah Belanda serta sakral, yaitu disebutkan mawayang buatt
peristiwa-peristiwa Kemerdekaan RI; hyang. Hal itu sebagaimana terungkap dalam
wayang sejati, yaitu pertunjukan wayang prasasti Wukajaya dari masa Balitung, di
dengan semangat kebangsaan yang mana tertulis si galigî mawayang buatt
penyampaiannya dengan menggunakan hyang (si Galigi memainkan wayang untuk
Bahasa Indonesia; wayang Budha, adalah Hyang). Dari ungkapan tersebut dapat
pertunjukan wayang yang berkaitan dengan ditafsirkan bahwa orang memainkan wayang
6
Ibid. hal. 114 - 116
7
Ibid. hal. 117 - 129
8
Ibid. hal. 129 - 143
49
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
9
Djelantik, A.A.M. Seni Pertunjukan Ritual dan Politik dalam Gelar: Jurnal Ilmu dan Seni. Surakarta:
STSI, 1999, hal. 12
10
Timbul Haryono. Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Refleksi dari Sumber-Sumber
Arkeologis dalam JAWA Majalah Ilmiah Kebudayaan Vol. I. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa, 1999, hal 105
11
Opcit. Haryanto. Hal 29
12
Ibid. hal. 31 dan 49
50
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
Sesuai dengan adegan-adegannya, suatu masa di mana manusia sudah mulai
tahapan patet nem melambangkan kehidupan mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.
manusia pada masa kanak-kanak. Pada Adegan perang kembang adalah perang
adegan kedhaton, di mana raja yang selesai antara raksasa melawan seorang ksatria yang
bersidang diterima oleh permaisuri untuk diiringi punakawan. Adegan perang
bersantap bersama diartikan sebagai kembang melambangkan suatu tataran di
lambang bayi yang baru lahir untuk disambut mana manusia sudah mulai mampu dan
di pangkuan sang ibu. Adegan paseban jawi berani memenangkan atau mengalahkan
diartikan melambangkan kehidupan seorang nafsu-nafsu angkaramurka. Adegan sintren
anak yang mulai mengenal dunia luar. Adegan adalah adegan yang menggambarkan seorang
jaranan yang ditampilkan dengan pasukan ksatria sudah menetapkan pilihannya dalam
binatang diartikan melambangkan watak menempuh hidupnya. Adegan tersebut
anak, bahwa anak yang belum dewasa melambangkan tataran di mana manusia
memiliki sifat-sifat seperti binatang. Adegan sudah mampu menentukan pilihan dalam
perang ampyak diartikan melambangkan hidupnya.14
perjalanan kehidupan seorang anak yang Adegan pada patet manyura terdiri dari
sudah beranjak dewasa, mulai menghadapi jejer manyura, perang brubuh, dan tancep
banyak kesulitan dan hambatan. Akhir dari kayon. Dalam jejer manyura diceritakan
perang ampyak menunjukkan semua bahwa tokoh utama di dalam lakon sudah
kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang
baik. Adegan sabrangan (adegan raksasa) tujuan hidupnya. Adegan ini melambangkan
diartikan melambangkan seorang anak yang tataran kehidupan manusia, di mana manusia
sudah dewasa namun masih mempunyai setelah berhasil menentukan pilihan dalam
watak-watak yang dominan dalam hidupnya, lalu bertekat untuk menggapai
keangkaramurkaan, emosional, dan nafsu. tujuan hidupnya tersebut. Adegan perang
Adegan terakhir dalam patet nem adalah brubuh disebut pula adegan perang ageng
perang gagal, yaitu suatu perang yang (perang besar) karena merupakan perang
belum berakhir dengan suatu kemenangan. yang paling besar, dengan banyak korban
Adegan ini melambangkan suatu tataran yang berjatuhan. Perang ini diakhiri dengan
hidup yang belum mantap, karena belum kemenangan di pihak ksatria. Adegan ini
mempunyai tujuan yang pasti.13 melambangkan bahwa di sini manusia sudah
Adegan pada patet sanga terdiri dari dapat menyingkirkan segala rintangan dan
adegan goro-goro, adegan pertapaan atau berhasil menumpas segala hambatan guna
pandhita, adegan perang kembang, dan mencapai tujuan yang diinginkan. Setelah
adegan sintren. Adegan goro-goro adalah adegan ini kemudian dilanjutkan dengan
adegan yang paling meriah dan tancep kayon sebagai penutup bagi
menyenangkan. Adegan ini diartikan bahwa pergelaran wayang tersebut, yaitu kayon
ketika manusia menginjak dewasa, hidup ini ditancapkan di tengah-tengah kelir lagi
terasa sangat indah dan menyenangkan. sebagaimana halnya ketika pergelaran
Adegan pandhita adalah adegan pertemuan wayang belum dimulai. Adegan tancep
antara seorang pendeta di pertapaan dengan kayon ini melambangkan proses maut, yaitu
seorang ksatriya. Adegan ini melambangkan manusia sudah meninggalkan alam fana,
13
Kanti Waluya, Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2000, hal. 37 - 41
14
Ibid. hal 41 - 44
15
Ibid. hal 45 - 46
51
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
menuju ke alam baka yang kekal dan abadi.15 penceritaannya menggambarkan cermin
Pada akhir pertunjukan wayang kulit purwa kehidupan rohani manusia. Perangkat
sering kali dimainkan tarian wayang golek pergelarannya merupakan cermin gambaran
wanita (wayang boneka dari kayu yang kehidupan di alam semesta. Harmonisasi
dalam Bahasa Jawa disebut ‘golek’) yang bunyi gamelan dan pengiringnya merupakan
menyiratkan suatu anjuran agar para gambaran keharmonisan kehidupan manusia
penonton nggoleki (mencari) makna atau di alam semesta, walaupun berbeda-beda
ajaran dari pergelaran wayang tersebut. Ada bentuk dan sifat bunyinya, jika dibunyikan
pula yang tidak memainkan boneka kayu, sesuai dengan aturan akan terdengar
melainkan menarikan tokoh ksatria kombinasi bunyi yang sangat harmonis dan
pemenang, biasanya tokoh Werkudara, yang damai. Begitu halnya dengan manusia, bahwa
disebut tayungan. dengan perbedaan dan keanekaragamannya,
jika semuanya menjalankan hidup sesuai
Tontonan, Tuntunan dan Tatanan dengan aturan yang berlaku, pasti kehidupan
Wayang adalah refleksi dari budaya ini akan terasa damai dan menyenangkan.
Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan Suara dalang dalam pocapan maupun
kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, perlakuannya terhadap para tokoh wayang
moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan merupakan gambaran takdir kehidupan
orang Jawa. Melalui cerita wayang manusia, sehingga dalam budaya Jawa
masyarakat Jawa memberi gambaran dikenal pepatah “urip mung saderma
kehidupan mengenai bagaimana hidup nglakoni, manungsa mung kinarya ringgit
sesungguhnya dan bagaimana hidup itu kang winayangake dening Hyang kang
seharusnya. Cerita wayang dan karakter murbeng dumadi” (hidup hanya sekedar
tokoh-tokoh wayang mencerminkan sebagian menjalani, manusia hanya sebagai wayang
dari situasi konkret dalam kenyataan hidup yang dimainkan oleh Tuhan sang pencipta),
masyarakat Jawa.16 yang mengandung makna ajaran religius
Berdasarkan uraian seperti tersebut di bahwa manusia harus senantiasa berserah
atas, di sini dapat dikatakan bahwa seni diri pada kekuasaan Tuhan. Di samping itu,
pertunjukan wayang merupakan tontonan dalam pergelaran pertunjukan wayang juga
yang sekaligus juga berfungsi sebagai terkandung ajaran bagi hidup manusia untuk
tuntunan. Wayang mengandung tuntunan bersikap santun terhadap sesama,
yang sangat tinggi, yang bisa menuntun dan menghormati kepada yang pantas dihormati,
membentuk jiwa manusia untuk menjadi arif dan bertindak serta bersikap sebagaimana
dan berakhlak mulia. Misalnya dari lakonnya, mestinya.
apapun lakon wayang yang dimainkan, pihak
yang baik dan benar pasti akan bisa Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam
mengalahkan pihak yang jahat. Hal itu bisa Seni Pertunjukan Wayang
mendorong manusia untuk menghindari niat Pada dasarnya, kehidupan di alam
dan sifat jahat, karena akhirnya kejahatan semesta ini berkembang dari daya tarik dua
akan dikalahkan oleh kebenaran dan kutub yang saling bertentangan namun juga
kebaikan. Berbagai tokoh wayang saling tarik menarik, yaitu kutub kebaikan
menggambarkan sifat dan perwatakan atau kebenaran dan kutub keburukan atau
manusia tertentu, yang bisa menjadi cermin kejahatan. Hal ini sebagaimana kita ketahui,
bagi sifat dan perwatakan manusia. Tahapan bahwa manusia tercipta sebagai makhluk
16
Ibid. hal. 6 - 7
52
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
yang paling sempurna di antara semua agar bisa menjadi manusia yang manusiawi,
makhluk ciptaan Tuhan karena dilengkapi yaitu bisa mewujudkan keberadaannya
dengan akal pikiran sekaligus nafsu. sebagai makhluk Tuhan yang paling
Oleh karena itu, dalam diri manusia sempurna, yang antara akal, pikiran, dan
terjadi saling tarik menarik antara keinginan nafsunya bisa berkembang dan terkendali
akal pikiran dan keinginan nafsu, sehingga secara seimbang.
membentuk dorongan yang saling bertolak Nilai-nilai yang terkandung dalam seni
belakang. Dorongan tersebut mengakibatkan pertunjukan wayang meliputi nilai kerohanian
terjadinya benturan-benturan di dalam diri atau nilai religius, etika, moral, mental,
manusia, yaitu di satu sisi ingin memenuhi maupun sosial.
keinginan akal pikiran, di sisi lain keinginan
nafsunya juga ingin dipenuhi. Benturan- Religius
benturan tersebut menghasilkan sebuah sikap Kata “religius” berarti ‘bersifat religi;
yang terwujud dalam bentuk perilaku. Orang bersifat keagamaan; yang bersangkut paut
yang mengutamakan keinginan nafsu dengan religi’. Sedangkan “religi” adalah
perilakunya akan berbeda dengan orang yang ‘kepercayaan akan adanya kekuatan
mengutamakan keinginan akal pikiran dan adikodrati di atas manusia; kepercayaan
hati nurani. (animisme, dinamisme, dan agama).17 Nilai
Hal tersebut tampak jelas dalam religius yang terkandung dalam wayang
wayang, di mana dalam lakon apapun yang tampak pada peran dalang dalam memainkan
dimainkan dalam pertunjukan wayang selalu wayang. Dalam pertunjukan wayang, dalang
mengkonfrontasikan antara kelompok akan memainkan tokoh wayang sesuai
karakter yang mengutamakan akal pikiran dan dengan perannya. Misalnya dalam lakon
hati nurani (golongan ksatria) melawan “Petruk dadi Ratu”, dalang pasti akan
kelompok karakter yang mengutamakan memainkan tokoh Petruk sebagai raja,
keinginan nafsu (golongan angkaramurka). walaupun tokoh Petruk itu sebenarnya hanya
Golongan ksatria berjuang untuk menegakkan abdi dari golongan ksatria. Dalam hal ini, para
kebajikan dan kebenaran sedangkan golongan tokoh ksatria tidak boleh protes walaupun
angkaramurka memperjuangkan kekuasaan Petruk hanyalah abdi mereka. Sehubungan
dan kepuasan. Pada akhir cerita pihak yang dengan hal tersebut maka dalam budaya
benar pasti menang sedangkan pihak yang Jawa sering ada ungkapan “E, ya karang
salah pasti kalah. lagi dadi lakon” (E, dasar memang sedang
Gambaran lakon dalam wayang menjadi pelaku cerita) atau “urip mung
tersebut bisa dimaknai sebagai gambaran saderma nglakoni, manungsa mung
konfrontasi antara kebaikan melawan kinarya ringgit kang winayangake
keburukan, atau kebenaran melawan dening Hyang kang murbeng dumadi”
kejahatan, dalam kehidupan antarmanusia (hidup hanya sekedar menjalani, manusia
dengan manusia yang lain sebagai makhluk hanya sebagai wayang yang dimainkan oleh
sosial, maupun peperangan dalam diri/batin Tuhan Sang Pencipta). Ungkapan tersebut
manusia antara dorongan hati nurani dan akal biasanya muncul apabila seseorang sedang
pikiran melawan dorongan nafsu. mengalami nasib yang kurang beruntung.
Oleh karena itu, dalam pertunjukan Dengan ungkapan tersebut manusia
wayang terkandung nilai-nilai yang sangat berusaha menetralisir dan menenangkan jiwa
bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia untuk menerima dan menghadapi dengan
17
Tim Penyusun Kamus PPPB, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Balai Pustaka, 1995,
hal. 830
53
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
tabah dan lapang dada, atas segala nasib sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak;
yang sedang menimpa dirinya, dengan budi pekerti; susila’.19
mengakui bahwa di atas kekuatan dan Dalam wayang, nilai etika dan moral
kekuasaan manusia ada kekuatan dan dapat dipetik dalam unsur cerita, bahwa
kekuasaan adikodrati yang berkuasa pertunjukan wayang selalu dikonfrontasikan
menentukan nasib manusia. Dengan begitu antara kebaikan melawan keburukan atau
manusia akan menghindari sifat takabur dan kebenaran melawan kejahatan. Dalam
sombong sebab betapa pun hebat, kuat dan pertunjukan wayang berbagai karakter baik
berkuasa, niscaya di atas manusia ada dan karakter buruk atau perbuatan baik dan
kekuatan yang lebih hebat, lebih kuat, dan perbuatan jahat selalu dimunculkan untuk
lebih berkuasa, yaitu kekuatan Tuhan Yang dipertentangkan, dan dalam akhir cerita/
Maha Kuasa. pertunjukan, pihak yang benar atau baik pasti
Di samping itu, tahap-tahap penceritaan menang, sedangkan pihak yang salah atau
dalam pertunjukan wayang mengajarkan buruk pasti kalah.
fase-fase perjalanan hidup manusia, yaitu dari Gambaran tersebut dapat menyadarkan
keduniawian menuju kerokhanian. Dalam manusia untuk selalu berusaha berbuat baik
pertunjukan wayang yang mula-mula dan benar, menghindari perbuatan buruk dan
digambarkan adalah keadaan keduniawian, jahat, karena pada akhirnya perbuatan baik
seperti kekuasaan, kemewahan, kepuasan, dan benar pasti akan keluar sebagai
dan lain sebagainya. Tahap berikutnya terjadi pemenang, sebaliknya perbuatan yang buruk
peperangan antara golongan angkaramurka atau jahat pasti akan berada pada pihak yang
(keserakahan dan kejahatan) melawan kalah.
golongan ksatria (kebenaran dan kebajikan).
Tahap akhir, golongan ksatria berhasil Mental
melenyapkan golongan angkaramurka Mental manusia akan mempengaruhi
sehingga keadaan menjadi damai dan mentalitasnya, yang selanjutnya akan
sejahtera. terwujud dalam perilakunya. “Mental” adalah
Tahapan penceritaan dalam per- ‘batin dan watak; bersangkutan dengan batin
tunjukan wayang tersebut akan menuntun dan watak manusia, yang bukan bersifat
manusia agar dapat mencapai kebahagiaan, badan atau tenaga’. Adapun “mentalitas”
kesejahteraan dan kedamaian yang abadi, adalah ‘keadaan dan aktifitas jiwa (batin),
yaitu harus meninggalkan nafsu keduniawian cara berfikir, dan berperasaan’.20
dan mengenyahkan dorongan keangkara- Ajaran mental dalam wayang dapat
murkaan, yang dalam istilah Jawa disebut dipetik dari gambaran karakter tokoh-
“mungkur kadonyan”. tokohnya. Tokoh-tokoh dalam wayang
menggambarkan karakter dari berbagai sifat
Etika dan Moral manusia, yaitu sifat serakah, licik, pengecut,
“Etika” adalah ‘ilmu tentang apa yang bijaksana, pemberani, dan lain sebagainya.
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan Pendek kata, segala sifat dan karakter
kewajiban moral (akhlak). 18 Sedangkan manusia tergambar dalam karakter tokoh-
“moral” adalah ‘ajaran tentang baik buruk tokoh wayang.
yang diterima umum mengenai perbuatan,
18
Ibid. hal. 271
19
Ibid. hal. 665
20
Ibid. hal. 646
54
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
Dalam pertunjukan wayang, karakter adalah bahwa penceritaan sebuah lakon
masing-masing tokoh digambarkan dalam dalam pergelaran wayang tidak akan berhasil
wujud cara bicara, cara berfikir, dan cara jika unsur-unsur pembentuk cerita tidak saling
berperilaku beserta hasilnya, yaitu berupa mendukung dan saling menunjang.
nasib yang dialami pada akhir cerita. Orang Maksudnya, dalam sebuah lakon pasti ada
yang berkarakter baik akan mendapatkan unsur tokoh dari karakter baik, karakter
hasil berupa kebaikan. Sebaliknya orang yang buruk, karakter lucu, ada unsur perusak,
berkarakter buruk akan mendapatkan hasil pembangun, pemelihara, pembantu,
berupa kehancuran. pengganggu, dan lain sebagainya. Semua
Orang yang mengenal wayang biasanya unsur tersebut harus memerankan
akan mengidolakan diri pada karakter tokoh- peranannya sebagaimana mestinya. Jika
tokoh wayang tertentu yang sesuai dengan tidak, lakon tersebut tidak akan berhasil
pandangan dan idaman hatinya. Selanjutnya, dengan baik. Hal tersebut mengisyaratkan
karakter tokoh tersebut akan direfleksikan bahwa di alam semesta ini terdapat berbagai
dalam bersikap dan berperilaku, baik dalam macam unsur yang masing-masing memiliki
cara bicara, cara berfikir, maupun dalam peran dan fungsinya sendiri. Agar kehidupan
bertutur kata.. di alam semesta bisa berjalan dengan baik
Dalam hal ini, mentalitas dan cara dan lancar, masing-masing unsur harus
pandang seseorang terhadap karakter atau berlaku dan bertindak sesuai dengan peran
tokoh wayang tertentu akan berbeda antara dan fungsinya.
satu orang dengan orang lain. Nilai sosial dari unsur sarana dan
prasarana dari pertunjukan wayang antara
Sosial lain dapat dilihat dari gamelan yang mengiringi
“Sosial” artinya ‘berkenaan dengan pertunjukan wayang. Gamelan menggambar-
masyarakat atau kepentingan umum’.21 Nilai kan keanekaragaman elemen dan komponen
sosial yang terkandung dalam wayang dapat dalam kehidupan di alam semesta, yang terdiri
dipetik dari beberapa unsur, baik dari unsur dari berbagai macam wujud dan sifatnya.
cerita maupun dari unsur sarana dan Keharmonisan bunyi gamelan menggambar-
prasarana dalam pertunjukan wayang. kan idealisme keharmonisan kehidupan
Nilai sosial dalam unsur cerita antara manusia, yaitu walau perangkat gamelan
lain dapat dipetik dari isi cerita maupun dari berbeda-beda bentuk dan sifat bunyinya,
keharmonisan seluruh unsur pembentuk namun jika dibunyikan sesuai dengan aturan
cerita yang mendukung keberhasilan akan terdengar kombinasi bunyi yang sangat
penceritaan lakon yang dipergelarkan. Nilai harmonis dan damai. Begitu pula halnya
sosial dari unsur isi cerita misalnya berupa dengan manusia. Keanekaragaman manusia
penggambaran kerja sama, kegotong- jika semua menjalankan hidup sesuai dengan
royongan, tolong menolong dan persatuan irama kehidupan manusia akan senantiasa
tekad, terutama dari golongan ksatria, untuk damai dan tenteram.
mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian.
Hal tersebut dapat menjadi teladan bagi siapa Wayang Pada Masa Kini.
saja yang menginginkan terwujudnya Namun dalam perkembangannya,
kesejahteraan dan kedamaian demi tampaknya seni pertunjukan wayang semakin
kepentingan bersama. kehilangan jati-diri sebagai tuntunan,
Sedangkan nilai sosial dari kehar- melainkan lebih ditonjolkan sebagai
monisan seluruh unsur pembentuk cerita tontonan. Terutama dalam perkembangan-
21
Ibid. hal. 958
55
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
nya, banyak dalang yang sengaja meng- penerang, sebagai juru dakwah, sebagai juru
komersialkan nilai-nilai yang terkandung hibur, sebagai komunikator sosial, di samping
dalam filosofi wayang. Namun ironisnya juga sebagai pelestari budaya.24 Menurut
justru dengan begitu dalang bisa Emha Ainun Najib dalang sebaiknya
mendapatkan keuntungan dari pertunjukan memerankan dirinya sebagai pemimpin moral
yang bernilai tinggi. Ada dalang yang merasa atau guru moral, yang melalui garap
laku karena keberaniannya untuk misuh pakelirannya menyampaikan nilai-nilai
(berkata jorok). Ada dalang yang merasa laku moral dan kebenaran sebagaimana
karena keberaniannya nyebal pakem “begawan”. 25
(menyimpang dari aturan). Ada dalang yang Sebenarnya ‘kemerosotan’ seni
merasa laku karena bisa membuat suasana pedalangan ini bukan baru terjadi pada masa
meriah dalam pergelaran, misalnya sekarang. Hal ini sebagaimana diungkapkan
menyertakan campur sari, pelawak, bintang Rustopo, bahwa dalam “Konggres
tamu, atau orkes melayu untuk ikut aktif Pedalangan Indonesia” pada tahun 1958
berperan dalam pergelaran, dan sebagainya. sudah terjadi sorotan negatif terhadap praktik-
Bahayanya, jika kondisi seperti itu dibiarkan praktik dalang yang mengutamakan pasar.
terus berkembang, kelak generasi penerus Kemudian dalam “Seminar Kesenian” tahun
kita tidak akan lagi mengenal wayang sebagai 1972 Humardani menyatakan bahwa
tontonan yang penuh tuntunan, melainkan pakeliran sapunika saweg gawat kawon-
tuntunan yang ‘begitulah’ yang mereka tenanipun (keadaan seni pedalangan sedang
dapatkan dari wayang. dalam keadaan gawat). Dalang yang paling
Kondisi seperti ini cukup membuat laku dengan honorarium tinggi adalah dalang
banyak pihak merasa prihatin. Hal itu yang merubah pergelaran wayang kulit
sebagaimana diungkapkan Ki Warsino menjadi gubahan dagelan yang membuat
Gunasukasno bahwa seni pedalangan penonton gaduh, ger-geran, sejak jejer
sekarang dalam kondisi memprihatinkan. sampai tancep kayon. Pakeliran yang
Para dalang dhoyong adeg-adege (hampir diminati masyarakat adalah yang berupa
kehilangan dasar etika dan estetikanya) dan adegan-adegan seru, adegan lucu yang
mengesampingkan tata krama atau tata disajikan, serta alunan irama gamelan yang
susila. 22. Ungkapan yang hampir sama dapat diperdengarkan. Dalang-dalang muda
disampaikan oleh Ki Darman Ganda Darsana yang berbakat dan mulai mendapatkan
(almarhum) dengan menyatakan “saiki wis perhatian sewajarnya dari penggemar dan
angel golek dhalang, sing ana wong publik mencoba mengukuhkan kedudukan-
buruh mayang” (sekarang sulit menemukan nya di pasaran dengan meniru dan menge-
dalang sebab yang ada hanyalah tukang trapkan resep mendagel. Humardani
mayang).23 Karena dalang bukanlah hanya menganggap model tersebut sebagai pelopor
sekedar orang yang bisa memainkan wayang, gaya “murah” sehingga muncul pencipta dari
di samping sebagai seniman, dalang juga masyarakat lebih baik mendengar irama
berfungsi sebagai juru didik, sebagai ahli musik gamelan yang berkualitas seperti yang
falsafah dan kerohanian, sebagai juru selama ini dilakukan oleh Ki Nartosabda26.
22
Rustopo. Peran Dalang di Era Reformasi. Surakarta: Gelar No.I, Th. 1998, hal. 45
23
Ibid.
24
Haryanto. Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan, 1998,
hal. 9 - 18
25
Rustopo. Ibid. hal. 50 - 51
26
Ibid. hal. 48 - 49
56
Wayang Sebagai Tontonan, Tuntunan dan Tatanan (Suyami)
Ungkapan tersebut membuktikan bahwa luhung dan banyak mengandung nilai luhur
kondisi kehidupan seni pedalangan sejak 30 yang sangat bermanfaat dalam kehidupan
tahun yang lalu hingga sekarang tetap saja manusia. Oleh karena itu, keberadaan
memprihatinkan. Yang lebih menyedihkan, wayang perlu terus dilestarikan dan
konon kondisinya sekarang lebih parah dari dikembangkan untuk diwariskan dari generasi
30 tahun yang lalu. Hal ini sebagaimana ke generasi, agar tetap eksis sepanjang
diungkapkan banyak pengamat dan para zaman.
dalang sendiri yang menyatakan bahwa Dewasa ini, keberadaan seni per-
pakeliran gaya Ki Nartasabda masih lebih tunjukan wayang tampak kurang dikenal oleh
baik ketimbang gaya pakeliran dalang- generasi muda. Untuk itu, melalui media ini
dalang “laris” sekarang.27 diharapkan semoga ada usaha dan tindakan
nyata untuk memperkenalkan dan memasya-
Penutup rakatkan wayang kepada generasi penerus.
Demikian uraian sekilas mengenai Ibarat pepatah “tak kenal maka tak sayang”,
makna estetik dari seni pertunjukan wayang bagaimana mungkin generasi muda
sebagai tontonan yang mengandung diharapkan untuk mencintai dan melestarikan
tuntunan untuk mengerti tatanan wayang jika mereka tidak mengenalnya
(kehidupan). Sebagaimana kita ketahui, dengan baik.
wayang adalah hasil budaya bangsa yang adi
Daftar Pustaka
Djelantik, A.A.M., 1999 “Seni Pertunjukan Ritual dan Politik” dalam Gelar: Jurnal Ilmu
dan Seni STSI Surakarta. Volume 2 No. 1 Oktober 1999.
Gelar,1999. “Pengantar Redaksi Seni Pertunjukan, Ritual, dan Politik” dalam Gelar Vol.2
No.1 Oktober.
Haryono, Timbul, 1999. “Sekilas tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuno: Refleksi dari
Sumber-sumber Arkeologis” dalam JAWA: Majalah Ilmiah Kebudayaan. Volume 1
tahun 1999. Halaman 92-110. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa.
Kanti-Waluya, 2000. Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas, dan Ajaran Hidup.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kayam, Umar, 1999. “Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan” dalam Gelar Vol.2 No.1
Oktober 1999.
Mulyono, Sri, 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
Rustopo, 1998. “Peran Dalang di Era Reformasi” dalam Gelar Nomor 1 tahun 1/1998.
Tim Penysun Kamus PPPB, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
27
Ibid. hal. 50
57
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
BIODATA PENULIS
SITI MUNAWAROH, lahir di Bantul 26 April 1961. Sarjana Geografi manusia, UGM tahun
1991. Sejak tahun 1992 berstatus sebagai PNS, di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
– Yogyakarta. Sebagai peneliti sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan bidang
keilmuannya. Aktif mengikuti berbagai seminar kebudayaan. Beberapa hasil penelitian yang
telah dipublikasikan antara lain: Kehidupan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pembuat
Gula Jawa di Desa Karangtengah Imogiri (1993/1004); Pergeseran Tatanan Tradisional
Sebagai Akibat Modernisasi di Desa Palbapang Bantul (1994/1995); Pengaruh Program
IDT Terhadap Kehidupan Rumah Tangga di Desa Girirejo, Imogiri (1996/1997);
Manifestasi Gotongroyong Pada Masyarakat Tengger (2000); Masyarakat Using di
Banyuwangi Studi Tentang Kehidupan Sosial Budaya (2001); Masyarakat Cina: Studi
Tentang Interaksi Sosial Budaya di Surabaya (2002).
SAMROTUL ILMI ALBILADIYAH (59 tahun), sarjana jurusan Arkeologi pada Fakultas
Sastra (FIB, sekarang) UGM. Bekerja sebagai tenaga fungsional peneliti, kelompok sejarah,
di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional - Yogyakarta, dengan jabatan sekarang Peneliti
Muda Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional. Melaksanakan kegiatan-kegiatan ilmiah, penelitian,
pengkajian di bidang sejarah dan budaya. Hasil-hasil penelitian antara lain Puro Pakualaman
Selayang Pandang, Ragam Hias Pendapa Mangkunegaran, dan sebagainya.
SUMINTARSIH, memperoleh gelar sarjana Antropologi, dari UGM tahun 1983, dan magister
Antropologi UGM pada tahun 1998. Pernah bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian
Kependudukan (PPK) UGM pada tahun 1974 – 1982. Sejak tahun 1983 menjadi PNS di
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional - Yogyakarta, hingga sekarang. Hasil-hasil penelitian
yang telah dipublikasikan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional antara lain: Strategi
Adaptasi Penduduk Rawapening; Perajin Batik Wukirsari, Imogiri; Wanita Perajin
Tenun Gedog, Tuban; Eksistensi Perajin Tenun Kulon Progo; Sumbang Menyumbang
di Lingkungan Masyarakat Perajin Akik Pacitan; Sistem Pengetahuan Aktifitas
Nelayan Bonang; Strategi Adaptasi Masyarakat di Daerah Rawan Penggenangan di
Daerah Demak; Aspirasi di Lingkungan Generasi Muda Pedesaan. Selain itu beberapa
hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh penerbit profesional antara lain: Khasanah Budaya
Lokal (Adicita, 2000) dan Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil
di Jawa: Esai-Esai Antropologi Ekonomi (Keppel Press, 2003).
58
Biodata Penulis
DWI RATNA NURHAJARINI, lahir di Yogyakarta 1966, sarjana Sejarah UGM, memperoleh
gelar Magister Humaniora Ilmu Sejarah UGM tahun 2003. Sebagai Staf Peneliti di Balai
Kajian Jarahnitra Yogyakarta, aktif melakukan penelitian kesejarahan serta duduk sebagai
sekretaris I di dalam organisasi profesi kesejarahan Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI)
cabang Yogyakarta tahun 2006 – 2010. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain: ORI,
Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa (1946 – 1950); Sanering Uang Tahun 1950:
Studi Kasus “Gunting Syafrudin” Akibatnya dalam Bidang Sosial Ekonomi di
Indonesia (1997/1998); Peranan Masyarakat Sumbertirto Pada Masa Perjuangan
Kemerdekaan 1948 – 1949 (1998/1999); Pertanian dan Ekonomi Petani: Studi Ekonomi
Pedesaan di Yogyakarta 1920 -1935 (1999/2000); Dinamika Industri Batik Pekalongan
1930 -1970 (2001); Diversifikasi Pakaian Perempuan: Studi Tentang Perubahan Sosial
di Yogyakarta 1940 – 1950 (2002); Batik Belanda: Wanita Indo Belanda dan Bisnis
“Malam” di Pekalongan 1900 – 1942 (2003); Petani Versus Perkebunan Pada Masa
Reorganisasi Agraria: Studi Kasus di Klaten (2004).
SUYAMI, kelahiran Magelang 1 Januari 1965. Lulusan Jurusan Sastra Jawa UNS –
Surakarta (1988). Magister Humaniora – UGM (1999). Sejak tahun 1990 hingga kini aktif
melakukan penelitian kebudayaan, terutama mengkaji naskah kuna. Sebagai Peneliti Madya,
aktif menulis dan mengisi artikel pada berbagai jurnal dan terbitan ilmiah, serta aktif sebagai
pemrasaran dalam berbagai pertemuan ilmiah. Sejak tahun 1990 mengabdi sebagai PNS di
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Hasil-hasil penelitian yang telah
59
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
diterbitkan antara lain: Serat Cariyos Dewi Sri Dalam Perbandingan (Keppel-Press-
2000); Tinjauan Historis Serat Babad Kediri (Direktorat Jarahnitra, Jakarta); Kajian
Mitos Dalam Kitab Tantu Panggelaran; Makna Filosof Dalam Aksara Jawa; Mistik
Islam Dalam Kitab Kanjeng Kyai Suryorojo (YKII – Yogyakarta); Mistik Islam Dalam
Primbon (YKII – Yogyakarta); Pembinaan Budi Pekerti Melalui Permainan Anak
Tradisional, dalam Jurnal TONIL (ISI – Yogyakarta).
60