You are on page 1of 4

MENJADI GURU

DALAM SEKOLAH KEHIDUPAN


Oleh I Wayan Artika (Dosen Undiksha Singaraja-Bali; Pekerja Pendidikan di Program BSB-YGRP Desa Pacung-
Tejakula-Buleleng-Bali; Koordinator DesaBelajar Desa Batungsel-Pupuan-Tabanan)

Konsep belajar kita masih didominasi oleh “belajar formal” atau belajar dalam institusi/lembaga.

Konsep ini pula dianut oleh para guru; mereka hanya guru di suatu lembaga (baca sekolah, tempat kerja).

Di luar sekolah seorang guru sama sekali telah berhenti menjadi guru atau berperan sebagai guru.

Artinya, seorang guru bertugas sebatas jam mengajar di sekolah. Ada perkecualian bagi guru-guru yang

memiliki usaha kecil di bidang bimbingan belajar atau bagi guru-guru seni. Ia mengajar juga di luar jam

mengajar di sekolah sejauh itu diminta oleh “client-nya”. Benar-benar pekerjaan mekanis dan

berdasarkan hukum jual-beli.

Jarang sekali guru menjadi guru dalam kehidupan yang nyata dan peran itu dilakoninya

sepanjang hidup; tidak dibatasi oleh jam kerja di sekolah. Ambil satu contoh: di sebuah desa, tinggallah

lima orang guru. Mereka sama sekali tidak berperan sebagai guru di desa itu. Mereka kembali sebagai

warga desa biasa dan menutup diri dari segala persoalan desa dan masyarakat, yang sekiranya bisa diatasi

dengan ilmu keguruan dan ilmu mendidik. Tugas-tugas yang dilakukan oleh guru di masyarakat amat

jauh dengan bidang kerjanya (mengajar da mendidik). Mengajar dan mendidik bisa dilakukan di mana

saja. Guru-guru kini tidak memahami hal itu. Karena itu, rumah guru tidak lagi dikunjungi oleh warga

desa lainnya yang ingin meminta suatu pandangan atau ingin mengetahui suatu sumber informasi.

Di tengah hidup masyarakat, guru bisa berperan secara esensial sebagai guru, sebagai pendidik;

pendidik dan guru dalam kehidupan, di luar batas-batas formalitas lembaga. Seorang guru biologi, di

tengah lingkungan atau desanya bisa menjadi guru bagi sispa saja; dengan kesadaran bahwa ia harus

berperan sebagai guru biologi yang terpanggil untuk menerapkan teori-teori biologi bagi masyarakatnya.
Page3

Misalnya dengan mengembagkan suatu proyek percontohan tentang pertanian organik. Bisa pula yang
lain; mengembangkan manajemen sampah. Guru biologi tersebut mendidik siapa saja di desanya/di

lingkungan sekitarnya (melalui contoh dan hidup nyata) tentang pengelolaan sampah, yaitu dengan

memisahkan sampah plastik dengan sampah organik. Guru biologi bisa juga mengembangkan taman-

taman kecil di sudut desa, untuk memperindah desa. Di taman-taman kecil ini guru biologi dan sejumlah

“murid” belajar bersama: (1) mengenal berbagai jenis tumbuhan, (2) mengenali terbentuknya suatu

ekosistem, (3) mengamati pertumbuhan berbagai jenis tanaman, (4) melakukan pelestarian aneka

tanaman yang mungkin telah jarang dijumpai di desa tersebut. Peran lain seorang guru biologi di desa

adalah melakukan konservasi skala kecil di tingkat desa bersama warga desa setempat. Misalnya di suatu

desa ada hewan langka (trenggiling, landak, burung raja udang paruh merah). Terhadap keadaan ini, guru

bilogi menjadi pendidik masyarakat sekitarnya agar ikut menjaga hewan-hewan itu, menyayanginya,

memberinya ruang hidup, dan memberi rasa aman kepada landak, trenggiling, dan burung raja udang

paruh mereh. Hal itu dilakukan dengan nyata. Kegiatan ini memiliki dua dimensi: (1) guru bilogi dan

masyarakat berperan bersama menjalankan satu model konservasi hewan sesuai dengan kemampuan

mereka dan (2) kegiatan ini memiliki dimensi pendidikan yang sangat kuat.

Seorang guru matematika bisa berperan sebagai guru dalam kehidupan nyata dengan cara

mendidik masyarakat sekitarnya atau dikhususnya kepada anak-anak usia sekolah yang menganggap

matematika itu sulit/abstrak; dengan cara menjadikan matematika itu bagian dari hidup sehari-hari. Anak-

anak desa disadarkan bahwa rumah yang mereka tempati adalah sebuah bentuk/bangun geometri. Anak-

anak tinggal di suatu “kubus” atau “balok” besar. Luas “balok” atau “kubus” tersebut bisa dicari/dihitung

dengan rumus-rumus matematika. Perhitungan itu dilakukan secara nyata: (1) anak mengamati langsung

objeknya (rumah atau kamar) mereka, (2) anak-anak menyiapkan segala alat ukur yang diperlukan

(meteran, tali), (3) karena objeknya besar (nyata, tinggi, tiga dimensi), anak tidak bisa melakukannya
Page3

sendiri tetapi harus dilakukan dalam kerja sama dengan teman-temannya, (4) kegiatan ini dilakukan di
dalam kenyataan atau di dalam realitas anak. Dengan demikian mereka belajar matematika dalam

kehidupan nyata. Jika peran ini bisa dilakukan oleh guru matematika di desanya atau di lingkungan

tempat tinggalnya maka sungguh besar artinya karena ia bisa berperan sebagai guru dan pendidik dalam

kehidupan nyata; telah membawa matematika ke luar batas-batas tembok kelas yang formal.

Seorang guru bahasa Indonesia bisa berperan dalam hidup nyata di masyarakatnya. Mereka bisa

membangun perpustakaan kecil, mengenalkan Koran atau majalah, menyediakan arena

bercerita/mendongeng bagi anak-anak di desa tersebut. Guru geografi mengajari anak-anak desa di

lingkungan tempat tinggalnya membuat peta desa untuk membangun kesadaran ruang dan memetakan

ruang hidup mereka dengan menerapkan “skala”. Guru mata pelajaran apa saja bisa melakukan tugas

mulai ini: menjadi guru dalam sekolah kehidupan.

Guru-guru kita dewasa ini hanya berperan sebagai guru di ruang yang sempit (kelas sekolah) dan

dalam waktu hidup yang telah direkayasa (jam belajar di sekolah). Sudah waktunya guru menyadari

bahwa cara mereka menjalani pekerjaan sebagai guru sungguh tidak etis. Seorang guru harus mengenali

berbagai persoalan hidup nyata masyarakatnya. Dengan daya kritis dan keluasan wawasannya, guru

diharapkan melakukan satu kajian terhadap persoalan-persoalan di lingkungan terdekatnya, berdasarkan

bidang ilmunya (pendidikan), dicarikan solusinya. Jika guru sanggup melakukan hal itu, maka guru

benar-benar berperan dalam pembangunan masyarakat.

Guru harus mengubah pandangan yang telah terdegradasi atas kerja atau profesinya, dari hanya

menjadi guru/pendidik di dalam kelas yang sempit; ke menjadi guru/pendidik dalam kehidupan nyata

(ruang kelas mereka adalah kehidupan tersebut dan para siswa mereka adalah siapa saja yang menghuni

ruang kehidupan itu). Ini adalah suatu tantantangan bagi guru kita. Tantangan ini tidak ada lagi dalam diri

seorang guru. Mereka mengasingkan diri dari segala persoalan hidup nyata lingkungannya. Mereka tidak
Page3

memiliki kepedualian sosial. Rasa kemanusiaan guru nyaris tidak ada lagi. Eksistensi seorang guru,
sejauh ini, ditentukan oleh daftar administrasi pegawai negara. Jarang sekali seorang guru mendapatkan

eksistensinya/pengakuannya melalui karya nyata dalam kehidupan di masyarakatnya.

Sudah waktunya bagi seorang guru untuk melakukan koreksi atas pandangan mereka terhadap

profesinya; guru dalam batas sempit (tembok-tembok ruang kelas) dan hanya dalam durasi sepanjang jam

pelajaran (sesuai dengan daftar mengajar atau sebagaimana diisyaratkan bahwa guru hanya harus

mengajar sebanyak 24 jam per minggu). Kini guru harus mencoba menjadi guru dalam kehidupan itu

sendiri. Inilah satu eksistensi kemanusiaan dan eksistensi profesi yang sesungguhnya. Menjadi guru

dalam kehidupan dan berinteraksi dengan “murid-murid” abadi adalah pelatihan dan pembelajaran abadi

yang sangat tinggi nilainya. Hal ini akan membentuk karakter seorang guru yang sangat besar peranannya

ketika menjalankan profesi sebagai guru di dalam kelas formal. Merosotnya mutu guru kita (sertifikasi

guru belum memberi kita harapan dan hasil nyata) karena guru mengasingkan diri dalam satu peran yang

sempit (sekolah, kelas, dan jam mengajar). Cara itu adalah pembodohan dan menjadikan guru semakin

sempit pandangannya. Tidak disadari, karakter guru/pendidik semakin digerus oleh ulah tidak belajar dan

tidak melibatkan diri dalam persoalan hidup nyata lingkungannya.

Page3

You might also like