You are on page 1of 3

ANALISIS UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN (UU NO.

13
TAHUN 2003) TERHADAP BUDAYA HUKUM MASYAKARAT LOKAL

Sebuah peraturan yang secara eksplisit tertuang di dalam undang-undang


pada dasarnya merupakan ide dasar atau nilai-nilai yang berangkat dari
masyarakat apakah peraturan ini bisa atau layak diterima oleh masyarakat atau
tidak sekalipun melihat proses pembentukan regulasinya diliputi oleh berbagai
faktor non hukum.
Fuller mengatakan untuk dapat menciptakan hukum, tentunya para
pembuat hukum itu mengikuti beberapa persyaratan yang harus ditempuh oleh
para legislator di DPR dengan sebutan “delapan prinsip legalitas”. Lalu, terkait
dengan ini, bagaimana masyarakat itu dapat mengerti sekaligus memahami isi dari
peraturan itu, dan apakah penyampaian isi dari hukum itu telah dilakukan.
Disini yang sangat menarik untuk di analisis yaitu undang-undang tenaga
kerja. Sebab, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja sebagai buruh
perusahaan. Dahulu ketika di awal-awal pengesahan undang-undang tenaga kerja
ini, banyak mengundang reaksi keras berupa penolakan dari berbagai elemen
masyarakat yang tergabung dalam aliansi buruh. Peraturan Alasan mendasar
penolakan tersebut adalah pemberlakuan UU Ketenagakerjaan itu bakal
melegalisasi perbudakan modern di Indonesia dengan menjadikan buruh
Indonesia sebagai buruh kontrak, yaitu ketentuan seumur hidupnya dengan upah
yang murah alias tanpa kesejahteraan yang layak.
Secara teknis hukum, terdapat deretan panjang catatan mereka. Yaitu, UU
Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural
penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut. Persisnya, karena
undang-undang ini dibahas dan disahkan dengan ketiadaan naskah akademis
yang memberi dasar pertimbangan ilmiah. Padahal sebuah naskah akademis itu
penting agar tidak terjadi salah perhitungan dan kesalahan logika terhadap
dampak keberadaan sebuah undang-undang.
Selanjutnya, UU Ketenagakerjaan dibuat semata lantaran tekanan
kepentingan modal asing ketimbang kebutuhan nyata buruh Indonesia. Yaitu,
hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal internasional yang

1
melihat buruh melulu sebagai hambatan bagi investasi dan pembangunan
ekonomi.
Inilah yang terjadi dengan dilegalkannya sistem outsourcing (pekerja
lepas).
Peletakan buruh hanya selaku faktor produksi juga membuat hak buruh untuk
mogok dibatasi.
Kalau melihat di dalam Pasal 137 dinyatakan bahwa mogok kerja sebagai
hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah
dan tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Pasal ini yang
diasumsikan sebagai pasal pelanggaran standar perburuhan internasional. Sebab
membatasi alasan mogok hanya sebagai akibat gagalnya suatu perundingan.
Sekarang, realitas di lapangan mengatakan adanya perbedaan undang-
undang yang mengatur permasalahan ketenagakerjaan mengakibatkan kasus
kekerasan terhadap TKI sering terjadi, dan tidak mendapatkan penanganan sesuai
dengan yang diharapkan masyarakat Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam mewujudkan harapan-harapan dari
masyarakat dengan munculnya undang-undang tenaga kerja ini terabaikan. Sebab
nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat lokal, itu terjadi jurang pemisah dengan
nilai-nilai yang berlaku secara keseluruhan dalam lingkup NKRI. Padahal, budaya
hukum itu tumbuh dari ekspektasi masyarakat, khususnya di pedesaan. Karena
konteksnya ini adalah tenaga kerja yang secara kuantitas sebagai penghidupan
sehari-hari.
Kalau beberapa item-item di dalam pasal undang-undang perburuhan ini
tidak digubris pemerintah yang menurut Fuller, para legislator tidak bisa
memenuhi salah satu dari delapan prinsip legalitas, maka para buruh tetap
mengikuti institusi ini, sehingga keadilan yang dicapai bukan keadilan substantif,
melainkan menjadi keadilan keadilan prosedural. Keadilan prosedural ini
merupakan output dari tipe hukum yang represif (memaksa). Padahal, di
masyarakat menghendaki antara pembuat undang-undang dengan masyarakat
adanya harmonisasi dalam hal kesejahteraan hidup (dalam hal ini buruh) yang
tertuang di dalam undang-undang perburuhan ini.

2
Kelemahan dari undang-undang perburuhan ini adalah dengan masih
diberlakukannya outsourching (buruh kontrak) yang dianggap merugikan pekerja
dalam hal-hal tertentu, kemudian juga tunjangan yang tidak menentu sebagai
akibat dari pekerja yang telah mogok kerja, masih marak terjadinya PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak, karena faktor-faktor internal dari
pekerja sendiri, salah satunya kondisi yang masih sakit, lalu juga upah sifatnya
sesuai dengan kondisi (baik perusahaan maupun kondisi perekonomian pasar).
Hal-hal inilah yang nantinya dampak jangka panjang akan mengakibatkan
pemutusan hubungan kerja dengan sebab yang bervariasi hanya dengan alasan-
alasan yang tidak memenuhi di dalam undang-undang perburuhan.
Kelebihannya dari undang-undang tenaga kerja ini antara lain tersaringnya
pada tenaga kerja lokal yang hidupnya masih menggantung, karena sebagai
penghidupan kebutuhan keluarga, selain itu angka pengangguran di Indonesia
dapat diminimalisir, terutama usia SMA yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi. Sekalipun melihat faktor person-nya itu kurang memiliki skill
atau ketrampilan yang cukup.
Disini, walaupun dalam realitasnya lebih banyak kelemahan, karena
beberapa hal. Namun budaya hukum yang secara lokal atau kearifan lokal, itu
semestinya juga di dengar oleh para wakil rakyat dan diperhatikan hak-haknya.
Karena pada masyarakat lokal inilah, nilai-nilai, budaya-budaya atau harapan-
harapan yang sangat tinggi itu mampu menyentuh perundang-undangan di
Indonesia (dalam konteks ini undang-undang perburuhan) sebagai feetback dari
grassroot (akar rumput). Inilah yang terpenting.
Karena menurut Daniel S. Lev, ekstrak atau saripati dari budaya hukum itu
adalah nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Jadi, kedua
nilai itu sudah seyogyanya benar-benar terimplementasi dalam undang-undang
perburuhan secara menyeluruh agar mencapai keadilan yang prosedural (secara
represif) dan juga keadilan substantif (secara responsif). Yang responsif-lah itu
merupakan sebuah harapan dari masyarakat lokal (terutama di pedesaan) yang
mayoritas bermatapencaharian tenaga kerja (buruh) perusahaan. Inilah sebenarnya
hakekat dari budaya hukum, yang berorientasi kepada kearifan lokal.

You might also like