You are on page 1of 33

40 BARISAN JALA SUTRA INDERAJAYA

BEGITU Kosim menjenakkan mata, wajah Sangaji terus saja dikenalnya. Ia heran
sampai beberapa saat membungkam. Teringatlah dia, sebentar tadi berada di
tengah kancah pertem-puran. Dua orang musuh mengejarnya. Lantas
mengurungnya rapat-rapat. Sekarang menga-pa berada di sini.

Ia menegakkan badan seraya melayangkan penglihatannya. Terang, ia berada di


pinggang Gunung Cibugis. Tetapi mengapa begitu herring? Dan apa sebab, tiba-tiba
berada di samping Sangaji.

"Kau anakku Sangaji benar-benar, bukan?" la mencari keyakinan.

Sangaji tersenyum. Menyahut sederhana. "Ya. Tadi Paman berada di tengah


pertempuran seru. Kebetulan aku berada di dekat medan itu dalam perjalanan ke
mari. Khawatir aku sesat jalan, maka Paman kubawa ke mari."

"Ah!" seru Kosim. Dengan sekaligus ia bisa menebak delapan bagian. "Kau tolong
aku dari bahaya maut. Dengan begitu aku berhutang budi untuk yang kedua kalinya
sebelum dapat membalas sesuatu kepa-damu. Rupanya aku ditakdirkan untuk
selalu akan berhutang kepadamu terus menerus sepanjang masa."

"Paman berkata berlebih-lebihan. Malam tadi, sebenarnya aku harus sudah berada
di Gunung Cibugis. Sekarang meskipun sudah berada di pinggang Gunung Cibugis
bukankah sudah kasep? Agaknya tiada guna lagi."

"O, tidak," sahut Kosim cepat. "Justru hari inilah yang setepat-tepatnya. Itulah
berhubung dengan datangnya beberapa begundal-begun-dal Ratu Fatimah sahabat
kompeni."

Dengan perlahan-lahan mereka melanjut-kan perjalanan mendaki Gunung Cibugis.


Sepanjang jalan Kosim membiqarakan tentang pertempuran semalam.

"Ratu Fatimah memang hebat. Tetapi lebih hebat adalah kompeni."

"Mengapa begitu?"

"Kalau semua yang bertempur semalam sampai habis ludes, bukankah yang
beruntung kompeni? Karena semenjak itu pastilah di bumi Jawa Barat takkan ada
lagi suatu perjuangan senjata melawan kekuasaan kompeni," sahut Kosim.

Kosim bukanlah seorang pendekar golong-an cerdik pandai. Kata-katanya


sederhana. Tapi justru sederhana, otak Sangaji dapat menangkap dengan terang.
Pikirnya, "Benar! Meskipun selama hidupku tak bakal melihat perwujudan Ratu
Fatimah, namun rupa-rupa-nya pintar luar biasa. Demi mempertahankan
kekuasaannya, ia membentuk suatu perguru-an. Kemudian mengadakan
persekutuan luas dengan para pendekar dan kompeni. Mereka diadu melawan para
pendekar Himpunan Sangkuriang. Menang dan kalah bukan soal. Kalau menang,
kekuasaan dan tahtanya dapat diwariskan turun temurun. Sebaliknya bila kalah,
setidak-tidaknya sendi kekuatan himpunan para pendekar tidaklah sekokoh se-
mula."

"Anakku Sangaji, apa sebab engkau tiba-tiba berada di dekat pertempuran


semalam?" Kosim minta keterangan.

"Itulah secara kebetulan sekali," sahut Sangaji. la seorang pemuda yang tak pandai
bercerita. Maka ia hanya mengisahkan penga-lamannya selintasan. Belum lagi
selesai, men-dadak saja Kosim memekik kaget.

Waktu itu, ilmu sakti Sangaji susah diukur tingginya. Meskipun lagi berbicara,
namun panca inderanya tetap bekerja secara wajar. Ia tak mendengar atau melihat
sesuatu. Maka ia heran, apa sebab tiba-tiba Kosim memekik kaget.

"Lihat!" kata Kosim sambil menunjuk suatu tanda pada sebatang pohon.

Sangaji melayangkan matanya. Pada se-batang pohon tertancap sebuah gambar


obor menyala dan kilat. Itulah tanda-tanda rahasia golongan tertentu. Siapa yang
memasang gambar tersebut, itulah soalnya.

Kosim yang terluka itu, memaksa diri untuk melangkah cepat. Ia hampiri pohon itu
dan berdiri tegak. Sangaji segera mendekati dan bertanya, "Apakah Paman kenal
tanda itu?"

Tanpa menoleh Kosim menyahut, "Semua anggota Himpunan Sangkuriang pasti


menge-nal tanda semacam ini." Ia nampak cemas dan berusaha menguasai diri.
Katanya lagi dengan suara bergetar, "Itulah tanda sandi adanya bahaya."

"Bahaya? Bahaya bagaimana?"

Kosim tidak segera menyahut. Ia ber-bimbang-bimbang sebentar. Setelah menatap


Sangaji dengan pandang menimbang-nimbang, akhirnya berkata: "Tidak mudah
orang memberi keterangan soal ini. Maksudku bahaya apa yang mengancam.
Sebab apabila hanya bahaya suatu ancaman pertempuran, tidaklah perlu
memasang tanda gambar be-gini."

"Siapa yang memasang tanda gambar ini?"

"Simuntang. Dia salah seorang anggota pucuk pimpinan."

Suatu ingatan berkelebat dalam otak Sangaji. "Pastilah dia seorang pendekar yang
cepat larinya."

"Benar. Dia Iaksana angin. Gerak geriknya sukar diduga," sahut Kosim.
"Ah. Kalau begitu dialah semalam yang mengocok habis Edoh Permanasari dan
anak-anak murid Mandalagiri," kata Sangaji. Kemudian ia mengabarkan tentang
orang berjubah usang yang memusingkan Edoh Per-manasari dengan membunuh
Nia Kurnia hanya dalam satu gebrakan.

"Jadi dia bemama Simuntang?" ia menegas.

"Ya, Simuntang," sahut Kosim. "Semasa pimpinan kami Gusti Ratu Bagus Boang
masih memegang pucuk pimpinan, Simuntang adalah satu-satunya anggota pucuk
pimpinan yang ditunjuk sebagai juru bicara. Tetapi... tetapi..." ia berhenti sambil
bercelingukan. Setelah yakin tiada orang, ia meneruskan dengan suara berbisik,
"Tetapi semenjak Gusti

Ratu Bagus Boang musna tiada kabar, sayap kiri dan sayap kanan pecah dan saling
bentrok. Entah apa alasannya, masing-masing anggota ingin menduduki kursi
pimpinan. Mula-mula saling merongrong kewibawaan masing-masing. Kemudian
saling tuduh-menuduh dan saling fitnah-memfitnah. Akhirnya mengadu pengaruh
dan saling membunuh. Harus kau ketahui, bahwa tiap anggota pucuk pimpinan
adalah pendekar-pendekar yang mempunyai daerah kekuasaan masing-masing.
Sudah barang tentu peristiwa itu melemahkan gerak juang kami. Meskipun
demikian, Simuntang belum pernah menulis sandi tanda bahaya. Sekarang sandi
tanda bahaya nampak tertan-cap di sini. Mustahil tiada terjadi suatu bahaya benar-
benar... Anakku Sangaji, bahaya per-pecahan? Bukankah bahaya kemusnahan?"

Sangaji belum mempunyai rasa senyawa tentang mati hidupnya Himpunan Sang-
kuriang. Walaupun demikian, hatinya tergetar mendengar bunyi pernyataan itu. la
melihat Kosim berdiri tegak dengan pandang terlo-ngong-longong. Wajahnya
berubah hebat pula dan sekujur badannya menggigil.

Semalam ia menyaksikan sendiri, betapa hebat jurang perpecahan di dalam per-


serikatan Himpunan Sangkuriang. Masingmasing bersikap tak tahu menahu,
meskipun berseragam panji-panji yang sama. Malahan saling menerjang tatkala lagi
berpapasan. Tetapi teringat betapa gagah mereka meng-hadapi tangan maut Edoh
Permanasari, ia merasa sayang terjadinya perpecahan itu. Coba mereka bersatu-
padu, pastilah musuh semacam gerombolan Edoh Permanasari bukan berarti lagi.
Sekalipun Edoh Permanasari menggenggam pedang mustika Sangga Buwana yang
tiada duanya di dunia ini.

"Paman! Menurut pendapatmu, bahaya apakah yang menyebabkan suatu kemus-


nahan?" ia mencoba mencari keyakinan. "Memang semalam secara kebetulan aku
melihat beberapa rombongan mengarah ke Gunung Cibugis. Namun aku tak yakin
rom-bongan kurcaci demikian bisa memusnahkan Himpunan Sangkuriang.
Batalyon-batalyon kompeni sendiri belum tentu mampu."

"Bagaimana aku tahu?" sahut Kosim de-ngan suara masih bergetar.


Tiba-tiba panca indera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap suara langkah
ringan di kejauhan. Tahulah Sangaji, bahwa itulah langkah orang yang berilmu.
Sekali berkelebat ia berdiri di atas batu menjenguk ngarai gunung. Ia melihat dua
orang berseragam putih turun dari balik gunduk. Dan begitu meli-hat Sangaji,
mereka tertegun sebentar. Kemudian berbalik kembali mendaki gunung dengan
gerakan gesit.

"Paman! Mereka anggota himpunan pula yang sedang turun gunung. Biarlah
kucoba mencari keterangan kepadanya," kata Sangaji.

"Gunung Cibugis dinyatakan dalam bahaya. Karena itu belum tentu mereka mau
mene-mui," ujar Kosim sambil beriari, menghampiri.

"Biarlah kucoba" kata Sangaji. Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah sambil
berseru nyaring, "Saudara berhenti dahulu! Aku ingin minta keterangan beberapa
patah kata!" Suaranya nyaring seperti genta dan mengaung tajam dari tebing ke
tebing.

Kedua pendekar Himpunan Sangkuriang kaget mendengar suara bergemuruh.


Sepatut-nya berhenti untuk memenuhi kehendak Sangaji. Sebaliknya bahkan
mempercepat lari-nya.

Melihat perbuatannya, Sangaji heran sam-pai ia mempunyai dugaan bahwa mereka


mungkin tuli. Maka ia mempercepat larinya. Dalam hal mengadu kecepatan beriari,
betapa mereka bisa melawan Sangaji. Sekalipun andaikata mereka iblis, takkan
menang. Dengan sekejap saja Sangaji sudah dapat mengubernya, terus
menghadap di depannya. Sambil membungkuk Sangaji berkata manis, "Selamat
bertemu. Perkenankan aku meng-ganggu sebentar."

Melihat gerakan Sangaji yang begitu gesit dan tiba-tiba membungkuk hormat,
mereka terkesiap. Cepat mereka meloncat ke samping sambil bersiaga.

"Kau mau apa?" bentak yang bercambang tebal.

"Apakah saudara anggota Himpunan Sang-kuriang?" tanya Sangaji dengan sopan.


Ia me-lihat tanda pedang bersilang dengan seekor Kuda Semberani menendang
udara.

"Kalau benar, kau mau apa?"

"Aku ini sahabat pendekar lnu Kertapati. Bila diperkenankan antarkan aku
menghadap padanya. Ingin kutahu, apa sebab kutemukan sebuah tanda kabar
bahaya. Apakah yang sudah terjadi di atas gunung?"

"Kalau engkau mempunyai keberanian, cobalah mendaki sendiri!" kata yang ber-
perawakan gemuk. Di luar dugaan setelah berkata demikian, ia tiba-tiba
menghantam.
Sangaji terpaksa mengelak. Tak tahunya, orang yang bercambang tebal memukul
pula dari samping. Dengan demikian ia kena gencet. Melihat pukulan mereka yang
mem-bawa kesiur angin, tahulah Sangaji bahwa pukulan itu dilepaskan dengan
sepenuh tena-ga. la sadar pula, perbuatan mereka terjadi oleh suatu dugaan buruk.
Kali ini Sangaji tidak mengelak. Dengan mengerahkan tenaga dua bagian, ia
membiarkan dirinya kena pukulan berbareng. Sebaliknya bukan Sangaji yang
mengaduh kesakitan, tetapi dengan berteriak kesakitan pukulan mereka terpental
dan menghantam dirinya sendiri. Mereka heran seraya memeriksa tangannya.
Ternyata ta-ngan mereka melepuh. Sebagai seorang pendekar yang sudah
berpengalaman, mereka kaget. Kemudian dengan membentak, mereka menendang
dada dan kempungan Sangaji cepat serta berantai.

Dada dan kempungan merupakan bagian tubuh yang berbahaya. Siapa yang kena
han-tam, pasti roboh seketika. Salah-salah bisa mati terjengkang. Sebaliknya
Sangaji tak ber-geming.

Ia seorang pemuda yang mempunyai kesabaran melebihi seorang pendeta. Diperla-


kukan demikian, ia tak menjadi marah. Hanya saja timbullah keheranannya,
mengapa mereka bertabiat kejam. Teringat kepada sepak ter-jang lnu Kertapati dan
Sidi Mantera serta rekan-rekan Kosim lainnya mereka ini berbeda jauh seumpama
langit dan bumi. Apakah di dalam Himpunan Sangkuriang terdapat be-berapa
paham dan aliran-aliran yang berdiri sendiri-sendiri?

Dalam pada itu mereka terus main tendang tanpa segan-segan lagi. Meskipun yang
diten-dang sama sekali tak membalas, lambat laun kaki mereka terasa nyeri.
Setelah diperiksa nampak menjadi bengkak seperti tangannya. Diam-diam mereka
berkata di dalam hati; "Dia ini manusia atau setan?"

Kosim yang terganggu lukanya, tidak dapat membantu Sangaji. la anggota


Himpunan Sangkuriang bertanda pedang silang dengan obor menyala. Walaupun
satu perserikatan dengan mereka, tapi dari golongan lain. Baik paham maupun
sepak terjangnya lain pula. Melihat Sangaji kena gebuk tanpa membalas, ia menjadi
gusar. Terus saja ia maju meng-hampiri seraya membentak, "Hai binatang kuda,
mengapa engkau menghajar orang tak bersalah?"

"Paman Kosim!" potong Sangaji. "Ajakiah mereka bersalaman!"

Dalam hati pemuda itu, sudahlah timbul hasratnya untuk mempersatukan mereka.
Sebaliknya melihat sikapnya yang luar biasa terhadap perselisihan itu, Kosim heran.

Sekonyong-konyong, mereka yang menen-dangi Sangaji mencabut pedangnya yang


di-simpan di balik pakaian seragamnya. Pendekar yang berjambang tebal dengan
gesit menikam Sangaji. Dan yang gemuk memba-bat kaki Kosim yang terlalu tak
enteng.
Melihat gerakan itu, Sangaji terkesiap. Serangan terhadap dirinya tidak begitu dihi-
raukan, tapi hatinya mendongkol terhadap si gemuk yang menyerang Kosim.
Mereka sesama anggota Himpunan Sangkuriang, mengapa begini kejam? la berkata
dalam hati.

Dengan mengerahkan tenaga sakti, ia mengibaskan tangan. Gagang pedang si


gemuk terdorong miring dan membentur pedang si jambang tebal, sehingga saling
ben-trok. ltulah kehebatan ilmu Mayangga Seta yang sudah mencapai puncaknya.
Jangan lagi menghadapi dua orang, meskipun dikerubut enam puluh orang masih
bisa Sangaji mementalkan pedang mereka ke udara dengan satu kali tepuk saja.

Mereka berdua berteriak kesakitan kena gempuran mendadak itu. Tangannya pedih
dan mereka berdua cepat-cepat meloncat mundur. Dengan mata menyala
berbareng kagum, mereka menatap Sangaji. Kemudian dengan menggerung,
mereka menyerang dah-syat. Pedang mereka bergulungan dengan membawa suara
mendengung.

Kosim memekik kaget. Ia mengenal jurus itu. ltulah jurus Angin Puyuh merabu
daratan. Sayang mereka belum mencapai taraf tinggi. Seumpama di tangan
seorang ahli, hebatnya tak tefkatakan. Meskipun demikian, bahaya-nya tak kurang-
kurang.

Sangaji mengkhawatirkan keselamatan Kosim. Gesit ia melompat melindungi Kosim


sambil memutuskan tenaga serangan. Sama sekali ia tak mau membalas.

"Aku adalah sahabat lnu Kertapati dan Sidi Mantera. Kuharap salah paham ini
berhenti sampai di sini saja," seru Sangaji dengan sabar.

"Andaikata engkau mengaku kenal Ki Tunjungbiru, jangan berharap mengecoh


kami," bentak yang berjambang tebal.

"Tapi benar-benar aku mengenal Ki Tunjungbiru. Akupun pernah menerima petun-


juk-petunjuk ilmu kepandaiannya," sahut Sangaji dengan bersungguh-sungguh.

"Omong kosong!" bentak yang gemuk. "Sebentar lagi engkau mengaku sebagai
murid Gusti Amat. Sungguh hebat!" Sambil mem-bentak ia menikam dada Sangaji
dengan pedangnya.

Sangaji benar-benar jadi tak mengerti. Pikirnya, di kaki gunung tadi sudah terdapat
gambar tanda bahaya. Melihat sepak tec-jangnya, mungkin sekali gambar tanda
bahaya sudah tertebar di tempat-tempat tertentu. Tak mengherankan mereka
bersikap galak dan mencurigai setiap orang. Baiklah kurampas-nya pedangnya.
Barangkali dapat kuajak berbicara.

Ilmu kepandaian Sangaji sudah mencapai puncak kesempurnaan. Meskipun pada


saat itu ia belum berhasil menciptakan corak ilmu saktinya yang khas seperti
pendekar Gagak Seta, Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati,
namun tingkatan ilmu saktinya berada di atas mereka. Gerakan kaki tangannya
adalah gerakan karsa-nya yang membersit secara wajar (otomatis). Tiap
gerakannya, selalu sesuai dengan getaran kemauannya. Tepat—persis—tak lebih
dan tak kurang.

Ia menggerakkan kedua jarinya dan men-jepit pedang si gemuk. Gagangnya


tergetar dan membentur pedang si jambang tebal. Begitu kena benturan, pundak
mereka terasa panas seperti terjilat besi membara. Kedua-duanya terkejut. Bahkan
si, gemuk sampai melepaskan genggamannya dan pedangnya runtuh di tanah.
Kemudian dengan menjejak tanah meloncat ke luar gelanggang.

"Jajang! Siluman ini luar biasa hebat. Lari!" seru yang gemuk. Ia bernama Zakaria.
Sedangkan yang berjambang bernama Jajang.

Seringkali Sangaji disebut siluman oleh Fatimah. Karena itu ia tak bersakit hati
mendengar hinaan Zakaria. Meskipun demi-kian ia merasa gagal hendak mengajak
me-reka berbicara. Setelah pedang mereka di-runtuhkan ke tanah, ternyata terus
lari. Melihat mereka lari, Sangaji dengan cepat menyambar tubuh Kosim. Dengan
mendu-kung Kosim ia melesat memburu. Sekali menggenjot kaki, tubuhnya terbang
melintasi mereka. Kemudian turun sepuluh langkah di depan mereka. Dengan sikap
menghadang mereka ia berkata, "Mengapa kalian meng-hindari. aku?"

Zakaria dan Jajang terkesiap menyaksikan kegagahan Sangaji. Tetapi seperti setiap
anggota Himpunan Sangkuriang lainnya, dalam keadaan terjepit masih berani
mereka menentang muka dengan pandang berapi-api.

Zakaria kemudian membentak, "Bukankah engkau yang meracun Gusti Amat?


Mengapa berlagak pilon?"

Sangaji tercengang benar-benar ia tak mengerti mengapa mereka menuduh de-


mikian. la mengenal nama Gusti Amat mula-mula lewat mulut Toha dan Kosim
sewaktu mereka berbicara di unggun batu Rababa Tapa. Pernah ia minta
keterangan kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera siapa dia sesungguhnya. Mereka
belum pula mem-beri keterangan. Sekarang apa sebab anggota Himpunan
Sangkuriang menuduhnya mera-cun Gusti Amat? Pastilah mereka mempunyai
alasannya sendiri.

Selagi ia disibukkan perkara itu, Zakaria dan Jajang telah kabur lagi.

Kosim yang selama itu berada dalam kem-pitan, menepuk tubuhnya sambil
berkata, "Anakku Sangaji! Mereka sudah kabur lagi."

Sangaji tersadar. Dengan meletakkan tubuh Kosim hati-hati di tanah, ia berkata,


"Paman! Mereka tadi berkata, bahwa aku meracun Gusti Amat. Sebenarnya
siapakah dia?"
"Siapa dia sesungguhnya, aku sendiri kurang terang," sahut Kosim dengan sung-
guh-sungguh. "Dahulu aku pernah meng-hadap seseorang yang bertubuh ramping.
Menurut kabar, dialah Gusti Amat. Tetapi kawan-kawan lain berkata, bahwa yang
berna-ma Gusti Amat adalah seorang yang berpe-rawakan tegap tinggi. Yang lain
mengabarkan berperawakan tinggi jangkung. Ada pula yang mengabarkan,
berperawakan gagah perkasa, gemuk pendek dan kurus tipis. Entah marra yang
benar, masing-masing mempunyai bukti alasan yang kuat."

"Apakah Gusti Amat dapat merubah diri?"

Kosim tertawa. Menjawab lancar, "Ilmu merubah diri, sering kudengar. Tapi demi
Tuhan aku belum pernah menyaksikan selama aku hidup melampaui setengah abad
ini. Entahlah kalau aku yang tolol."

Sangaji mengernyitkan dahi. Ia mencoba menebak. Tetapi dia bukan Titisari yang
mem-punyai otak cemerlang. Maka untuk sekian lamanya, ia tak berhasil
memperoleh suatu pe-gangan. Akhirnya dia berkata minta pertim-bangan,
"Bagaimana pendapat Paman?"

Kosim tidak segera menjawab. Ia memungut kedua pedang yang ditinggalkan


pemiliknya. Dengan seksama ia memeriksanya. Dekat gagangnya terdapat
gambaran ukiran Kuda Semberani dan sebuah Bintang. Melihat tanda bintang, ia
mengernyitkan dahi. Berkata seperti kepada dirinya sendiri:

"Pemiliknya ternyata bukan anggota sem-barangan. Melihat tandanya, mereka


termasuk pasukan pengawal panji-panji Otong Sura-wijaya.". Setelah berkata
demikian, ia merenung-renung. Kemudian berkata lagi seperti tersadar dari suatu
impian buruk. "Engkau tadi minta pendapatku tentang Gusti Amat. Sebenarnya ini
bukan pendapatku sendiri. Dahulu hari Gusti Ratu Bagus Boang, mem-bagi pusat
pemerintahan dalam dua bagian. ltulah yang disebut sayap kiri dan sayap kanan.
Anggota pucuk pimpinan sayap kiri terdiri dari tiga orang. Samalah halnya dengan
anggota pucuk pimpinan sayap kanan. Mereka ialah: Dadang Wiranata, Otong
Surawijaya, Ratna Bumi dan Dwijendra, Andangkara, Walisana. Masing-masing
mempunyai tanda pengenal serta panji-panji. Tanda Obor, Kuda Semberani, Keris
Sakti, Bintang, Garuda dan Bunga Menyala yang dicantumkan di atas gambar
pedang silang. Tatkala mereka sedang berselisih dan bermusuhan, masing-masing
berdiri sendiri-sendiri. Tiada lagi apa yang dinamakan pihak sayap kiri dan pihak
sayap kanan, seperti enam pendekar yang mema-suki gelanggang adu jiwa, mereka
saling gem-pur dan saling membunuh."

Mendengar keterangan Kosim, kabut teka-teki yang menutupi benak Sangaji


tersingkap beberapa lapis. Pantas mereka semalam yang mengenakan tanda Obor,
saling bentrok dengan yang bertanda Keris. Dan yang bertanda Bintang membentur
yang bertanda Garuda.

"Dan siapakah yang bernama Gusti Amat?J! ia menegas lagi.


"Itulah yang hendak kuterangkan kepa-damu," sahut Kosim. Setelah beragu-ragu
sejenak, berkata hati-hati: "Mengingat betapa perintah Gusti Amat wajib dan harus
ditaati semua pihak, maka kedudukan Gusti Amat harus berada di atas mereka
berenam. Siapa lagi kalau bukan Dewan Penasehat."

"Dewan Penasehat? Bagaimana Paman dapat berpikir demikian."

"Tadi sudah kukatakan, bahwa itu bukan pendapatku sendiri," sahut Kosim. "Itulah
pen-dapat rekan-rekan yang cerdik pandai. Alasan mereka berdasarkan pihak-pihak
yang pernah berhadapan muka dengan Gusti Amat. Bukankah perawakan tubuh
Gusti Amat yang diwartakan berjumlah enam macam? Dan Qewan Penasehat terdiri
dari enam orang pula."

Watak Sangaji tak gampang-gampang menyerah. Manakala menjumpai suatu per-


soalan yang sulit serta berteka-teki, makin sulit perspalannya bersemangat untuk
me-ngetahui sejelas-jelasnya. Sifat ini pulalah yang membuat dia selalu berhasil
menyele-saikan setiap persoalan yang sedang diha-dapi. Meskipun kerap kali
sangat lambat. Begitulah kali ini. Mendengar pendapat Kosim,,hatinya tertarik.

"Apakah Paman berpendapat, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya nama sandi
Dewan Penasehat?"

"Demikianlah pendapat rekan-rekan cerdik pandai," jawab Kosim.

Sangaji mempunyai kepentingan, meng-ingat Gusti Amat memberi perintah kepada


pihak tertentu menghantarkan tiga buah benda mustika kepadanya. Maka ia
mendesak lagi, "Apakah Paman mengenal siapa mereka?"

"Hanya dua orang yang kukenal. Itulah pemimpin urusan keagamaan dan pemimpin
urusan pemerintahan."

"Siapa?"

"Dahulu guru Gusti Ratu Bagus Boang yang bernama Ki Tapa. Dan yang Iain Ki
Tunjung-biru."

"Ki Tunjungbiru?"

"Semasa muda bernama Otong Damar-wijaya," kata Kosim. Dan Sangaji tak perlu
mencari keyakinan lagi. Itulah Ki Tunjungbiru yang kini tersekap kompeni. Terus
saja ia teringat kepada semua sepak terjang pendekar itu. Mulai pertemuannya
yang pertama kali di tengah hutan Tangerang sampai saat per-pisahannya di
kampung tahanan kompeni.

Ki Tunjungbiru adalah seorang pendekar yang luhur budi dan berwibawa. Kosim, Inu
Kertapati, Sidi Mantera dan lainnya beberapa kali menyebut namanya dan
menghormati. Tapi mereka tak pernah menganggapnya sebagai Gusti Amat.
Agaknya nama Gusti Amat benar-benar hanya suatu nama sandi tertentu, pikir
Sangaji.

Mereka mulai meneruskan perjalanannya mendaki gunung. Sewaktu sampai pada


ke-tinggian yang ketiga, mata hari tiada lagi di udara. Waktu senja rembang tiba.
Bulan sisir muncul di atas cakrawala. Seperti kemarin malam, bulan menjanjikan
timbul penuh-penuh pada tengah malam. Jalan yang bakal diambah nampak
menjadi sukar dan berba-haya. Teringat luka Kosim, Sangaji berkata: "Paman!
Apakah Paman perlu beristirahat?"

Kosim tersenyum sambil menggelengkan kepala. Menyahut, "Perserikatan kami


teran-cam bahaya kemusnahan. Apakah arti lukaku ini?"

"Jika demikian, kita jalan terus," kata Sangaji.

Di depan mereka menghadang sebuah batu gunung yang luar biasa besarnya. Batu
itu melengkung ke bawah seperti seorang nenek yang membungkuk dalam-dalam.
Bentuknya nampak seram. Melihat keseraman itu, kem-bali Sangaji teringat kepada
Jajang dan Zakaria yang menuduhnya meracun Gusti Amat. Memikir demikian,
terloncatlah perkata-annya: "Paman berpendapat bahwa Gusti Amat adalah sebuah
nama sandi Dewan Penasehat. Aku dituduh mereka meracun Gusti Amat. Apakah
maksud mereka?"

"Ki Tapa sudah lama wafat, sebelum Gusti Ratu Bagus Boang musna dari
percaturan dunia," sahut Kosim setelah berpikir sebentar. "Panembahan
Tunjungbiru membiarkan diri tertawan Belanda. Jika demikian, mungkin maksudnya
Haji Maulana Syafri dialah peng-ganti Ki Tapa. Sekiranya bukan demikian, mungkin
yang dimaksudkan sisa anggota Dewan Penasehat. Tapi mengingat tanda bahaya
Simuntang, kukira tidak hanya Dewan Penasehat yang terancam bahaya. Tapi selu-
ruh tenaga himpunan."

"Tetapi mereka menggunakan istilah racun. Bukankah mereka bermaksud menuduh


aku meracun seseorang yang bernama Gusti Amat?" tungkas Sangaji.

"Belum tentu," sahut Kosim cepat. "Kami bisa menggunakan istilah racun, sedang
yang kami maksudkan adalah pembunuhan atau permusuhan. Maksud penggunaan
racun sebagai istilah pembunuhan, semata-mata untuk mengesankan sesuatu
kekejian yang melebihi tindak pembunuhan atau pemusnah-an. Anakku Sangaji!
Otakku bukan otak sese-orang cerdik pandai. Janganlah engkau me-megang semua
kata-kataku sebagai suatu pendapat yang jitu. Yang benar, Himpunan Sangkuriang
kini terancam bahaya yang me-ngerikan. Apa itu, akupun tak sanggup men-duga.
Mengingat dua orang anggota pengawal panji-panji Otong Surawijaya
menyerangmu, pastilah perjalanan ini berbahaya. Salah-salah...."
Belum lagi Kosim melanjutkan perkataan-nya, dari belakang batu terdengariah
suatu aba-aba gararig. Berbareng dengan itu, melon-catlah empat orang bersenjata
pedang, Tanpa berkata mereka berdiri kencang seakan-akan bersiaga berbaris.

Sangaji menghampiri dan membungkuk hormat. Katanya takzim, "Aku bernama


Sangaji. Datang ke mari atas undangan Inu Kertapati. Secara kebetulan pula
berjalan bersama-sama..."

"Kau bernama Sangaji atau katak duduk, apa bedanya?" potong salah seorang.
Orang itu bertubuh jangkung. Bentaknya, "Hayo menggelinding turun!"

Betapa sabar hati Sangaji, ia merasa ter-tusuk kehormatannya. Namun masih saja
ia menguasai diri. Katanya nyaring, "Bawalah aku menghadap padanya. Pastilah
semua akan menjadi terang."

"Kau mau menggelinding turun atau tidak?" bentak si jangkung.

Sangaji terdiam. Dalam hal mengadu keta-jaman lidah tiada harapan untuk
menang. Kosim yang berada di dekatnya mencoba memberi keterangan, "Saudara
dari pasukan Kuda Semberani, dengarkanlah! Saudara ini hendak mendaki gunung
bukan atas kemau-annya sendiri. Dia datang karena diundang. Dia sanggup datang,
maka datanglah dia. Meskipun mendapat rintangan, dia mengeras-kan hati tidak
sudi mundur. Apakah kalian tidak bisa membedakan antara ksatria dan bangsa
cecurut?"

"Kau siapa sampai berani mengumbar mulut di sini."

"Lihat! Akupun termasuk penghuni Gunung Cibugis? Meskipun tingkatanku tak lebih
dari kurcaci, tapi suaraku tidak lebih rendah dari kalian," sahut Kosim sambil
memperlihatkan tanda Obor serta pakaian seragamnya.

Mendengar perkataan Kosim, si jangkung tertawa panjang. Ketiga kawannya ikut


pula tertawa, sehingga dinding gunung jadi berde-ngungan.

"Apa yang lucu?" bentak Kosim.

Masih saja mereka tertawa selintasan. Kemudian seorang di antara mereka me-
nyahut, "Apa sih susahnya membuat pakaian seragam begitu dan lencana Obor?
Jangan berharap bisa mengingusi orang-orang pegu-nungan. Pergi!"

"Kalian memang sekumpulan binatang kuda tak tahu malu," maki Kosim
mendongkol.

Sangaji hendak memberi suatu keyakinan lagi dengan logam tanda undangan yang
dite-rimanya dari Suhanda, tiba-tiba si jangkung sudah menerjang sambil
membentak:
"Kalau tidak diberi hajaran sedikit, engkau akan mengira di Cibugis tiada orang
pandai lagi."

Bukan main heran hati Sangaji benar-benar mereka tak dapat diajak berbicara.
Apakah Himpunan Sangkuriang sudah terancam bahaya sungguh-sungguh! la
mengeluh dalam hati. Hati-hati ia mengelak ke samping. Tiga orang lainnya
melompat menyerang Kosim.

"Saudara sekalian, bagaimana caraku dapat meyakinkan kalian agar kalian percaya,
bahwa kedatanganku ke mari benar-benar atas undangan pendekar Inu Kertapati
dan Sidi Mantera?"

"Rebutlah dahulu pedangku!" bentak si jangkung. Kemudian ia mengulangi


serangan-nya dengan tikaman berturut-turut. Mendengar ucapan yang sombong,
hati Sangaji mendongkol juga. Dalam hati ia berkata, "Apa sih sukarnya merebut
pedangmu?" Dan begitu ujung pedang si jangkung menyambar pedangnya, ia
mengerahkan tenaga saktinya dan menyentil dengan jarinya. Dengan suara me-
ngaung pedang itu terpental di tengah udara.

Si jangkung kaget setengah mati dan buru-buru meloncat ke luar gelanggang.


Melihat kawannya dalam bahaya, lainnya meninggalkan Kosim dan menyerang
Sangaji dengan berbareng. Tapi dengan satu kebasan tangan saja, ketiga pedang
beterbangan di udara. Kosim kagum benar-benar. Terus ia bertepuk-tepuk tangan
sambil berseru, "Anakku Sangaji! Kau sudah cukup sopan. Tapi binatang-binatang
itu memperlakukan dirimu seperti tiada harganya. Bagus! Kau per-lihatkan sedikit
ilmu kepandaianmu. Biar tahu rasa."

Sebenarnya tiap kali turun tangan, Sangaji senantiasa memberi kesempatan


kepada mereka agar dapat mengmundurkan diri de-ngan terhormat. Akan tetapi
kali ini hatinya mendongkol. Dia lantas menggunakan ilmu sentilan Gagak Seta,
dibarengi dengan ilmu kebasan ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Sudah barang tentu
mereka bukan lawannya yang berarti. Setelah pedangnya beterbangan, keempat
laskar Kuda Semberani kuncup hati-nya. Yang bertubuh jangkung segera berseru,
"Mundur! Itulah ilmu siluman."

Mereka berbareng meloncat mundur ber-lindung di balik batu. Dalam sekejap mata
bayangannya hilang dalam kegelapan.

"Hebat! Sungguh hebat!" seru Kosim. "Tujuh tahun tak melihatmu, ternyata
kepandaianmu tak ubah malaikat."

Sangaji sudah memasuki perkembangan persoalan. Hatinya mulai tertarik. Maka ia


tak mendengarkan pujian itu.

"Paman! Bolehkah aku minta sesuatu?"

"Tentu. Tapi aku bisa membantu apa?"


"Aku tak menginginkan merampas pedang mereka. Biarlah kita kumpulkan di atas
batu itu."

Kosim segera memungut keempat pedang yang ditinggalkan pemiliknya dan


diletakkan di atas pedang Zakaria dan Jajang. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan. Kini telah memasuki pehgkolan. Dan jalan yang di-ambahnya lebih rata
daripada tadi.

Dari dalam hutan, tiba-tiba muncullah tujuh orang anggota Kuda Semberani dengan
bersenjata pedang panjang. Dengan gerak-an-gerakan gesit mereka menempati
garis kiblat. Empat orang di sebelah kiri dan tiga orang di sebelah kanan. Sekali
melihat, Sangaji teringat kepada pengalamannya, tatkala kena keroyok Malangyuda
dan kawan-kawannya di sekitar Prambanan. Maka diam-diam sadarlah dia, bahwa
kali ini akan meng-hadapi lawan berat.

"Paman! Karena Paman belum dapat ber-gerak dengan leluasa, lebih baik
berlindunglah di balik batu itu! Dengan demikian, aku tak perlu memecah
perhatian."

Seperti anak-anak, Kosim memanggut-manggut. Dia sudah merasa kagum kepada


Sangaji. Dalam hati inginlah dia menyaksikan suatu tontonan yang menarik.
Kemudian memilih sebuah batu yang tidak begitu besar. Maksudnya agar sewaktu-
waktu dapat melo-ngok dengan mudah.

Dengan tenang Sangaji mengamat-amati tujuh lawannya. Kala itu bulan bercahaya
remang-remang, sehingga bayangan mereka tidak nampak dengan tegas. Akan
tetapi berkat ketajaman inderanya, ia masih bisa melihat beberapa orang di antara
mereka berjenggot tebal matanya menyala tajam. Terang mereka bukan orang-
orang lemah.

Sangaji sudah memutuskan tidak sudi berbicara lagi. Tujuannya hendak secepat
mungkin menemui Inu Kertapati dan Sidi Mantera, agar kesalahpahaman ini tidak
menjadi berlarut-larut. Dengan keputusan itu, ia meloncat menghampiri barisan.

Melihat gerakan Sangaji, mereka bergerak ke kiri hendak mengepung.

Sudah barang tentu Sangaji tak sudi kena kepung. Baru saja ketujuh lawannya
memben-tuk rantai pengepungan, ia maju dua langkah serong ke kanan. Perubahan
kedudukan Sangaji mengherankan-mereka. Dua orang yang berada di depan terus
saja menyerang. Tetapi hasilnya nihil. Bahkan baris pengepungan terbuka
seluruhnya. Inilah bahaya! Buru-buru pemimpin barisan mengibaskan lengan dan
mereka bergerak serentak ke kanan. Tatkala hendak mulai menyerang, lagi-Iagi
Sangaji berada di luar sasaran. Bagaimana bisa begitu?

Mereka tak tahu, bahwa Sangaji sudah me-ngantongi ilmu sakti yang peka luar
biasa. Begitu dirinya merasa diserang, ilmu saktinya meruap ke luar secara
otomatis, lewat ukiran rahasia keris sakti Kyai Tunggulmanik yang sesungguhnya
merupakan puncak dari segala hakiki ilmu kepandaian manusia di dunia.

Sangaji sendiri sesungguhnya bergerak tanpa sadar. Setelah melihat gerakan


pengepungan, ia bergerak pula secara naluri-ah. Gerakan naluriah itu terjadi oleh
getaran pergolakan ilmu saktinya yang menggeser bagian jasmaninya, untuk
menempati titik-tolak sasaran setepat-tepatnya.

Keruan saja mereka heran setengah mati. Dua tiga kali mereka mengulangi
gerakan. Tapi tetap saja mereka gagal. Akhirnya pemimpinnya berteriak
mendongkol, "Serang sambil berlari!"

Mereka lantas saja lari berputaran. Mula-mula meloncat mundur dan berpencaran.
Kemudian lari berputar-putar kalang kabut dengan tujuan membuat kabur
penglihatan Sangaji. Sesudah berputaran beberapa saat, dengan mendadak mereka
berhenti dan berkumpul. Pemimpinnya berada di sebelah barat dan pada detik
berikutnya kawan-kawannya bergerak dari selatan ke timur. Lalu membelok ke
tenggara.

Berbareng dengan gerakan itu, dua orang yang berada di depan dan di belakang
tiba-tiba melesat menerjang. Tetapi sekali lagi, Sangaji sudah berada di luar
sasaran. Dengan tenang ia berdiri di utara sambil mengulum senyum.

Kosim yang berada di balik batu, kagum luar biasa. Sebagai seorang anggota
Himpunan Sangkuriang, sudah barang tentu ia paham akan ilmu itu. Ilmu
pengurungan itu meru-pakan ilmu kebanggaan Parahyangan. Konon dikatakan, ilmu
tersebut adalah ilmu warisan dalam zaman kerajaan Pajajaran. Siapa pen-ciptanya
kurang terang. Tapi ilmu pengurungan itu sendiri bernama ilmu Jala Sutra
Inderajaya. Sifatnya bertahan serta bersiaga menghadapi kemungkinan. Meskipun
hanya tujuh orang di tangan para ahli dapat menahan serangan ratusan orang
dengan sekaligus.

Sudah ratusan tahun usia ilmu itu. Selamanya belum pernah gagal. Namun
menghadapi Sangaji, kali ini macet tak ber-daya. Malahan kalau mau, Sangaji dapat
memecahkan rahasia rantai pengepungannya. Hal ini disebabkan, karena ketujuh
orang itu bukan ahli. Di tangan keenam pemimpin sayap pemerintahan Ratu Bagus
Boang, pasti-lah Sangaji tak gampang-gampang melolos-kan diri meskipun dia
memiliki ilmu sakti tiada tara di dunia.

Karena menghadapi kegagalan, pemimpin barisan buru-buru menyanggah dua


temannya yang sudah bergerak hendak menyerang.

"Jangan terjang! Mundur!" serunya. Ia meli-hat akibatnya apabila berceroboh.


Sebaliknya ia segera memimpin keenam rekannya merobah tata pergerakan. Tapi
hasilnya sama saja. Sangaji tak dapat didekati.
Sesudah beberapa kali mengalami kega-galan, tiba-tiba Sangaji berkata dengan
suara rendah.

"Maaf. Ingin aku mencoba-coba."

Setelah berkata demikian, ia berjalan ke arah kanan. Sebentar saja barisan Jala
Sutra Inderajaya sudah berada di bawah pengaruh-nya. Manakala ia mengarah ke
kiri, barisan ikut pula bergerak ke kiri. Memang harus begitu. Bila tidak, mereka
akan kehilangan jiwa. Sebaliknya apabila dia berlari-Iari, merekapun ikut berlari-
Iarian pula.

Biarlah kuuji tenagamu, apakah kalian benar-benar tangguh, kata Sangaji di dalam
hati.

Barisan lari sekencang-kencangnya pula. Tatkala Sangaji berhenti dengan tiba-tiba


dan berjalan dengan perlahan-lahan, merekapun harus pula berhenti dengan tiba-
tiba. Kemudian berjalan pula dengan perlahan-lahan. Diperlakukan pulang balik
demikian, lambat laun mereka merasa payah juga.

Napas mereka tersengal-sengal dan pengli-hatan mereka berputaran. Dalam waktu


singkat tenaga mereka hilang tiga bagian dan semangat tempurnya mulai
meruntuh. Qaris rantai jala, menjadi berantakan.

"Himpun tenaga!" seru pimpinan barisan. Mereka mengeratkan gigi serta


mengeraskan hati dan mencoba mempertahankan diri seda-pat-dapatnya.

Melihat mereka kepayahan, timbullah suatu kegembiraan dalam hati Sangaji.


Betapapun juga, ia berusia muda belia. Sifat ke kanak-kanakannya belum hilang. Ia
lantas beriari-Iari kencang lagi. Kemudian berhenti dengan tiba-tiba dan lari
berputaran menghampiri batu pelindung Kosim.

Lalu berkata dalam hati: Aku datang ke mari atas desakan dan undangan Inu
Kertapati dan Sidi Mantera. Jangankan disambut dengan semestinya, malahan aku
dituduh meracun dan dimaki sebagai siluman. Itupun tak mengapa. Apa sebab
berusaha pula membunuh aku? Biarlah aku sekarang memperlihatkan ilmu siluman
benar-benar.

Setelah memperoleh putusan demikian, ia berseru kepada Kosim: "Paman Kosim!

Lihatlah, aku akan mempertontonkan ilmu siluman."

Sekali menjejak tanah, ia melesat tinggi di udara. Kemudian hinggap di atas batu
besar. Barisan Jala Sutra lnderajaya harus ikut pula berada di atas batu apabila
tidak mau'terlihat titik-titik kelemahannya. Beberapa orang di antara mereka
nampak bersangsi. Tetapi dengan bentakan keras, pemimpin mereka me-ngajak
melompati mengikuti gerakan lawan.
Baru saja kaki mereka meraba atas batu, Sangaji melesat tinggi di udara dan
hinggap di ujung dahan sebatang pohon jambu. Melihat perbuatannya, mereka
mengeluh. Tapi karena sadar akan ancaman bahaya, mereka ikut pula memanjat
pohon dan menempati kedudukan untuk siap menyerang dan bertahan.

"Bagus! Mari kita turun lagi," seru Sangaji.

Ia terus melayang turun ke tanah dan menunggu mereka dengan mengulum


senyum.

"Setan!" Mereka mengeluh dalam hati. Dan mau tak mau harus ikut turun pula ke
tanah. Sebab mereka sadar, bahwa kehebatan ilmu Jala Sutra lnderajaya berada
pada tata kerja sama.

Bukan main kagum hati Kosim melihat cara Sangaji membuyarkan pusat kekuatan
ilmu Jala Sutra lnderajaya.

Katanya di dalam hati, benar! Kalau mu-suh berada di atas, bukankah akan melihat
lubang kelemahannya? Apabila dia berniat jahat, sebelum kaki mereka menginjak
tanah pastilah diserangnya sebelum sempat mengatur kedudukan. Hebat! Sungguh
he-bat! Apa sebab semenjak dahulu belum ada seorangpun yang mempunyai
pikiran de-mikian?

Setelah merasa puas mempermainkan demikian, kembalilah Sangaji kepada watak-


nya yang sederhana dan mulia. Lantas ber-pikirlah dia: Pastilah mereka percaya
kini, bahwa tiada niatku berbuat jahat. Aku datang ke mari bukankah untuk mencari
persahabatan baru asuhan Ki Tunjungbiru? Jika aku keterlaluan memperlakukan
mereka, bukankah aku merendahkan Ki Tunjungbiru pula?"

Memikir demikian, Sangaji berdiri tegak sambil berkata, "Saudara sekalian, haraplah
memaafkan sepak terjangku ini. Sekarang tolong antarkan aku menghadap kedua
saha-batku Inu Kertapati dan Sidi Mantra."

Di antara mereka yang merasa tersinggung adalah pemimpin barisan. Perbuatan


Sangaji dianggapnya menghina ilmu kepandaian Parahyangan turun-temurun. Maka
dengan membentak ia menyahut, "Memang anak didik pendekar sakti Watu
Gunung, sungguh hebat. Pantas gurumu dahulu menolak ajakan Gusti Ratu Bagus
Boang untuk bekerja sama meng-kikis kelaliman. Tak tahunya mempunyai angan-
angan sendiri hendak mendirikan sebuah kerajaan baru."

"Aku anak didik pendekar sakti Watu Gunung?" Sangaji tercengang.

"Melihat kepandaianmu pastilah engkau anak emasnya," kata pemimpin barisan itu.
Kali ini suaranya agak lunak. Meneruskan, "Agar engkau tak mengalami sesuatu hal
yang tidak kami inginkan pula, cepat-cepatlah turun gunung dan selamatlah
sejahtera. Sebab untuk memiliki ilmu kepandaian demikian, tidaklah mudah."
Terasalah ia mengagumi ilmu kepandaian Sangaji. Namun Sangaji tak menanggapi.
Pemuda itu heran tentang disebutnya nama pendekar Watu Gunung sebagai
gurunya.

"Sebenarnya, apakah yang sudah terjadi?" ia minta keterangan.

"Apa yang sudah terjadi? Janganlah engkau berlagak pilon!" bentak pemimpin
barisan.

"Benar-benar aku tak mengerti. Aku bukan anak didik Watu Gunung."

Pemimpin barisan itu tertawa panjang.

Wajahnya berubah menjadi seram katanya menggertak.

"Kau tak kenal Watu Gunung? Cobalah jawab dengan sebenarnya, kalau engkau se-
orang laki-Iaki."

Andaikata tak usah digertak demikian, Sangaji pasti akan menjawab dengan sebe-
narnya juga. Jawabnya, "Dengan sebenarnya aku pernah kenal padanya. Tetapi aku
bukan anak didik pendekar sakti itu."

"Kau memang bangsat pandai berputar lidah."

Selama hidupnya belum pernah Sangaji dimaki sebagai bangsat. Maka mendengar
kata-kata itu, ia jadi bergusar. Bentaknya, "Engkau berkata apa?"

Pemimpin barisan itu mendengus. Dengan suara dingin ia menyahut, "Kau terang-
terangan adalah anak didik Watu Gunung. Tapi engkau berkata hanya kenal. Baik!
Kalau memang engkau bukan anak didik Watu Gunung, cobalah maki dia."

Sangaji tercengang sebagai seorang yang berpribadi luhur tak -dapat ia memaki
sese-orang. Apalagi terhadap Watu Gunung. Benar ia tak begitu baik kesannya.
Tetapi mengingat usia Watu Gunung, pantaslah menjadi ka-keknya. Masakan
pantas memakinya tanpa sebab-sebab. Karena itu, ia menyahut tegas: "Apa
gunanya aku memaki dia?"

"Nah, sekarang tefbukalah kedokmu," mereka berkata hampir berbareng.

Sangaji benar-benar masygul. Makin dire-nungkan, ia merasa diri bertambah


pusing. Tetapi hatinya semakin tertarik untuk menge-tahui persoalan itu sampai ke
dasar-dasarnya. Dengan suara dingin ia berkata, "Aku akan segera mendaki ke
atas. Janganlah kalian mencoba menghalang-halangi."

"Kau mau apa?" bentak mereka berbareng.

"Kalian haraplah minggir!"


"Hm... tak gampang-gampang engkau mewujudkan keinginanmu," ujar pemimpin
barisan dengan suara seram. "Kalau tak per-caya, boleh coba! Tapi janganlah
engkau menggunakan ilmu siluman. Marilah bertem-pur mengadu ilmu kepandaian
sejati."

Sangaji tertawa. Menyahut, "Kau minta aku jangan menggunakan ilmu siluman?
Justru aku hendak menggunakan ilmu siluman."

Betapa mendongkol Sangaji menghadapi perlakuan mereka, tetapi ia seorang yang


berhati mulia. la tak ingin menanam suatu permusuhan. Gntuk membuat mereka
takluk, ia hendak mempertontonkan ilmu kepadanya. Katanya lagi, "Aku akan
merebut semua pedangmu tanpa menyenggol dirimu."

Ketujuh orang itu saling memandang de-ngan hati tak percaya. "Baiklah," kata pe-
mimpin barisan. "Kami bersedia untuk meng-hadapi ilmu silumanmu. Coba seperti
apa ilmu tendanganmu."

"Aku sudah berkata, tidak akan menyenggol tubuh kalian," ujar Sangaji. "Kalian
boleh menggunakan pedang, tangan dan kaki. Kalau aku sampai menyenggol
tubuhmu, hitunglah aku kalah. Aku berjanji akan turun gunung."

Mendengar ujar Sangaji yang bernada som-bong, ke tujuh orang itu bergusar hati.
Mereka merasa diri direndahkan. Lantas saja pedang-nya dikibaskan berdengungan.

Dengan tenang Sangaji berjalan ke kanan. Barisan Jala Sutra lnderajaya bergerak
pula ke kanan. Tujuh langkah kemudian, Sangaji meloncat ke kiri. Dan dengan
terburu-buru, barisan Jala Sutra lnderajaya mengejar ke kiri. Mereka berusaha selalu
berhadap-hadapan dengan lawan.

Tak terduga Sangaji sekonyong-konyong melesat sambil berseru:

"Lihat yang nyata! lnilah siluman sejati."

Melihat Sangaji melesat dengan tiba-tiba, merekapun bergerak mengimbangi.


Tetapi baru mereka bergerak selintasan, bayangan Sangaji nyaris hilang dari
penglihatan. Dengan mengerahkan enam bagian tenaga saktinya, tubuh Sangaji
berkelebat dari satu tempat ke tempat lain. Benar-benar ia seperti siluman. la
berputar-putar cepat luar biasa, seakan-akan lapangan penuh dengan bayangan.

"Cepat berkumpul! Cepat putar pedang!" teriak pemimpin barisan dengan gugup.

Mereka cepat-cepat berkumpul dan memu-tar pedangnya seperti kitiran.

Sangaji tadi berjanji hendak merebut pedang mereka tanpa menyentuh tubuh. Dan
mereka ingin tahu.
"Hai, anak siluman! Kau sudah berhasil me-rampas enam pedang. Cobalah rampas
ke tujuh pedang kami!" teriak pemimpin barisan. Ia sengaja berteriak demikian,
agar Sangaji tidak kabur di luar pengamatannya.

"Apa susahnya merampas pedang kalian. Bersiagalah!" sahut Sangaji.

"Bagus! Itulah perbuatan jantan sejati!" mereka berkata berbareng. Serentak


mereka meninggikan kewaspadaannya.

Sekonyong-konyong serangkuman angin menyerang mereka bergulungan. Buru-


buru mereka menancapkan kaki dan bertahan mati-matian.. Di luar dugaan, angin
yang bergulungan tadi lenyap dengan mendadak. Padahal mereka sudah terlanjur
berkutat mengerahkan tenaga. Maka lenyaplah tenaga dorong dengan mendadak
itu, membuat tubuh mereka terbungkuk-bungkuk. Belum lagi mereka menegakkan
badan, suatu kesiur angin kuat luar biasa menghantam tangan. Tahu-tahu pedang
mereka tercabut sekaligus dari genggaman dan terbang tinggi di udara.

Tenaga sakti Sangaji dapat diatur menurut keinginannya. Dapat didorong keluar
dan ditarik sesukanya. Karena itu dengan mudah ia dapat merebut ketujuh pedang
lawan tanpa susah payah. Setelah itu, ia menghampiri batu tempat Kosim
berlindung seraya berkata: "Paman! Ayo berangkat!"

Tetapi Kosim tidak nampak. Sangaji heran. Sebentar ia mencoba mencarinya,


kemudian berpikir, kaki Paman Kosim masih terluka. Mustahil ia dapat mendaki
tanpa pertolongan. Jangan-jangan ia kena culik, selagi aku terlibat dalam satu
pertarungan.

Memikir demikian, segera ia mengerahkan tenaga dan melesat mendaki gunung.


Selama hidupnya belum pernah Sangaji mendaki gunung dengan seorang diri.
Mengingat jalan-nya sukar dan mungkin ada bahaya seko-nyong-konyong, ia tak
mau lengah. Cepat luar biasa ia menyelinap dari batu ke batu pegu-nungan yang
menghadangnya. Kemudian menembus awan hitam yang datang dengan berarak-
arak.

Bulan kala itu nampak makin suram. Awan hitam bergulungan menutupi angkasa.
Seluruh persada bumi ikut muram pula.

Belum pernah aku mengambah Gunung Cibugis. Tipu muslihat kawanan yang
memusuhi aku, sukar kuduga. Kalau lengah, aku bisa celaka, pikir Sangaji. Dan
memikir demikian, ia melanjutkan perjalanan dengan meringankan kaki. Tak berani
lagi ia ber-lari-larian cepat seperti tadi.

Satu jam lamanya ia berjalan dengan hati-hati, kadang-kadang ia menebarkan


penglihatan, kalau-kalau melihat Kosim. Tapi kemuraman malam benar-benar
merintangi inderanya. Ia menengadahkan muka ke udara. Dari arah selatan angin
datang bergulungan menyapu awan hitam.
Ha... ada harapan, pikirnya.

Benar juga. Tak lama kemudian udara menjadi terang seperti kemarin malam.
Bulan hampir penuh timbul di angkasa bersih. Sinarnya lembut laksana perak kena
gosok.

Sekonyong-konyong, sayup-sayup pen-dengarannya menangkap bunyi napas


kurang lebih seratus orang. Pernapasannya sebe-narnya tidak kedengaran. Tetapi
karena jum-lahnya banyak, indera Sangaji yang tajam luar biasa dapat
menangkapnya.

Sangaji tidak gentar menghadapi ancaman baru itu. Hanya timbullah pikirannya,
benar-benar hebat Himpunan Sangkuriang ini. Sayang, mereka terpecah belah.
Sekiranya bersatu padu seperti semula, pastilah akan menemukan zaman
keemasannya kembali.

Segera ia mengencangkan ikat pinggangnya dan berjalan terus. la memasuki tebing


gunung itu dan tiba pada dataran di baliknya.

Di depannya terbentang suatu lapangan luas yang dipagari tebing berdinding


tinggi. Pada kakinya terdapat sebuah danau yang meman-tulkan cahaya rembulan.
Lima batang pohon berdiri membungkuki permukaan air. Seum-pama pada pagi
hari pastilah terasa keindah-annya.

Kurang lebih seratus orang yang me-ngenakan pakaian seragam dan bersenjata
pedang, berbaris berkelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh
orang. Mereka berdiri tak bergerak. Andaikata Sangaji belum memperoleh
pengalaman melihat letak kedudukan mereka, pastilah akan mengira kelompok
jajaran tunggak.

Dengan tajam Sangaji menjelajahkan matanya. la menghitung jumlah mereka.


Semua berjumlah empat belas kelompok. Masing-masing dikepalai oleh seorang
ber-jenggot lebat. Itulah barisan Jala Sutra lnderajaya yang luar biasa angkernya,
sehing-ga Sangaji menjadi tercengang.

Kalau sekiranya mereka tidak kena asuh seorang pemimpin yang berwibawa,
betapa mereka memiliki perbawa begini hebat, pikir Sangaji.

Begitu melihat munculnya Sangaji, terde-ngarlah siulan nyaring. Mereka lalu


bergerak dan tiba-tiba saja Sangaji telah terkepung. Sangaji terkesiap. Ia melihat
betapa tangkas mereka. Dan mereka bergerak tanpa berkata sepatah katapun juga.

Sungguh-sungguh tak kumengerti kata Sangaji dalam hati. Melihat jumlahnya,


pastilah mereka dipersiapkan untuk meng-hadapi musuh besar. Sekarang mereka
ber-gerak untuk menangkap aku. Mungkin salah duga.
Memperoleh pertimbangan demikian, Sa-ngaji segera membungkuk hormat.
Kemudian berkata dengan suara menggeledek:

"Dengan sesungguhnya, aku hendak men-daki Gunung Cibugis. Semata-mata


hendak memenuhi undangan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Haraplah
memberi jalan!"

Seorang bercambang tebal menghampiri seorang yang berperawakan tegap tinggi.


Orang itu membisikkan sederet kalimat seper-ti lagi memberi laporan singkat.
Sangaji segera mengenal orang itu. Dialah Jajang. Rupanya dia mendahului tiba di
tempat itu, tatkala Sangaji terlibat dalam pertempuran.

Orang yang diberi laporan, lalu mendo-ngakkan kepala. Kemudian berkata nyaring,
"Ilmu luar biasa tingginya, kenapa sudi beker-ja sama dengan manusia berkhianat?
Memang kelemahan manusia ini semenjak dahulu ber-kisar soal kehormatan,
pangkat derajat dan perempuan. Tapi sayang, engkau yang berusia muda siang-
siang sudah berotak gila demikian. Maka turunlah dan perbaiki budi peker-timu
agar keharuman namamu tetap menjadi abadi."

Orang itu berbicara dengan wajar. Namun sangat nyaring dan tiap patah katanya
terde-ngar terang. ltulah suatu bicara dengan sung-guh-sungguh pula. Nasihatnya
membersit dari ketulusan hati.

Sangaji benar-benar merasa terpukul. Tuduhan yang diajukan kepadanya seakan-


akan sudah terbukti. la tak tahu kini, apakah mesti menangis atau tertawa. Betapa
sabar dia, hatinya mengutuk juga. Katanya di dalam hati, mereka ini benar-benar
salah duga, se-olah-olah buta. Ah, sekiranya Titisari berada di sini pastilah
kesalahpahaman ini dapat di-buyarkan.

Terhadap Titisari ia menaruh kepercayaan besar, seumpama jiwanya sendiri ada


pa-danya. Tetapi justru teringat kepada Titisari, hatinya menjadi gelisah bukan
kepalang. Kemudian ia mencoba berbicara sebisa-bisanya.

"Nasihat Saudara benar-benar merasuk dalam dadaku. Hanya saja aku tak mengerti
apa sebabnya nasihat itu kaualamatkan kepadaku. Begini saja. Antarkan aku
kepada pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Kau pasti mengenal siapa mereka,
menurut kabar mereka adalah penghubung dunia luar."

"Jika engkau belum sadar, cobalah gempur Jala Sutra Inderajaya ini! Jika mampu,
aku Atang Mundingsari akan meluluskan engkau mendaki ke markas besar kami."

"Aku seorang diri, betapa mampu melawan barisan raksasa ini," sahut Sangaji.
"Tolong kembalikan temanku berjalan. Aku akan mendaki dengan dia tanpa saudara
antar."

Sekonyong-konyong Atang Mundingsari membentak hebat, "Di depan Atang Mun-


dingsari janganlah engkau mengobrol tiada guna!" Sehabis membentak, ia
mengibaskan pedang. Dan seluruh barisan lantas bergerak. Barisan Jala Sutera
lnderajaya kali ini benar-benar dahsyat.

Lingkaran geraknya empat belas macam yang tujuh kelompok mempunyai bidang
luas. Dan tujuh kelompok lainnya bergerak berputaran dalam lingkaran sempit.

Melihat gerakan luar biasa itu, Sangaji me-ngeluh. Pikirnya, mereka memenuhi
hampir seluruh lapangan. Bagaimana caraku dapat meloloskan diri?

Sebelum ia dapat mengambil keputusan, sembilan puluh delapan lawan temyata


sudah mulai menyerang. Terdengar Atang Munding-sari berseru nyaring, "Keluarkan
senjatamu!"

Sangaji menarik napas. Pikirnya lagi, baik-lah! Meskipun belum tentu aku dapat
meme-cahkan barisan ini tapi merekapun tak gam-pang-gampang pula
menjatuhkan aku. Seorang laki-laki masakan runtuh hanya kare-na bentakan saja.
Biarlah kulawannya dengan sebisa-bisaku.

Tiba-tiba saja ia melesat dan menerjang kelompok yang berada di sebelah barat
daya.

la melontarkan pukulan jurus ilmu Kumayan Jati dengan tenaga sakti dua bagian.
Tujuh orang kelompok yang berada di sebelah sela-tan menggeser kedudukannya.
Mereka bergerak menyongsong pukulan itu.

Mereka tak tahu, bahwa Sangaji mempunyai ilmu tiada tara di dunia ini. Kalau
bemiat jahat, itu tidak hanya menggunakan tenaga dua bagian saja. Meskipun
demikian, berkat kesak-tian getah sakti Dewadaru, pukulan lontaran itu mempunyai
daya hisap pula. Gerakan men-dorong sudah hebat. Tenaga hisapnya tak
terkatakan lagi besarnya.

Baru saja ketujuh orang terdorong oleh suatu tenaga yang dahsyat luar biasa, tiba-
tiba mereka kena tarik pula yang sama kuatnya. Tak ampun lagi, mereka jatuh
terguling menungkrapi tanah. Meskipun segera dapat bangun kembali, tetapi muka
mereka berdebu tebal. Kumis dan jenggot mereka yang lebat lantas saja berubah
menjadi kelabu. Bukan main gusar mereka.

Atang Mundingsari terkesiap menyaksikan keperkasaan Sangaji. Dengan bersiul


panjang, ia memberi aba-aba agar secepat mungkin menambal yang lowong.
Empat kelompok yang terdiri dari dua puluh delapan orang, segera mengepung
rapat. Dikepung demikian,

Sangaji tak mempunyai harapan untuk dapat meloloskan diri.

Clntuk melemahkan pengepungan itu, Sangaji lari berputaran sambil mengibaskan


tangan. Angin kibasan itu lantas bergulungan serta menyekat pergerakan mereka.
Setelah berputar-putar beberapa waktu lamanya, terasalah dalam hati bahwa
barisan Jala Sutra Inderajaya benar-benar rapat dan teguh. Apabila tidak mau
melukai tiada harapan untuk dapat lolos dengan selamat.

la mencoba berputar lagi mencari lubang kelemahannya. Ternyata makin lama


makin teguh dan rapat sekali. Seumpama seekor lalatpun tidak dapat meloloskan
diri. Sekarang andaikata Sangaji berniat kabur tiada lagi suatu lubang pembobolan.

Dalam kejengkelannya ia mendongak ke atas. Samar-samar nampaklah sebuah


bangunan yang sangat besar. Bangunan itu berada di lereng Gunung Cibugis yang
teraling beberapa bongkah batu raksasa. Besar dugaannya, itulah markas besar
Himpunan Sangkuriang. Jauhnya dari tempat pertempuran itu, kurang lebih tujuh
ratusan meter. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Paman Inu Kertapati
dan Paman Sidi Mantera pernah mendengar gelombang suara-ku. Biarlah kucoba
berteriak memanggilnya.

Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengumpUlkan tenaga saktinya. Lalu


berkata, "Paman Inu Kertapati! Paman Sidi Mantera! Aku dalam bahaya..."

Teriakan itu hebat luar biasa. Tak ubah aum. Sanghyang Narasinga ) yang
menggoyahkan langit dan bumi. Barisan Jala Sutra Inderajaya tertegun sejenak.
Mereka tergetar mundur. Ke-pala mereka pengang dan terasa menjadi puyeng.

"Semua berwaspada! Jangan kena dipe-ngaruhi manusia siluman ini..." seru Atang
Mundingsari.

Mendengar bunyi perintah Atang Munding-sari, timbuHah pikiran dalam diri Sangaji.
Agaknya seluruh barisan tunduk kepada-nya... Jika aku dapat merobohkan dia,
bukankah seluruh barisan macet dengan sen-dirinya?

Sangaji tidak mengetahui bahwa salah satu keistimewaan barisan Jala Sutra
Inderajaya terletak justru apabila pemimpinnya terserang lawan. Begitu pemimpin
barisan kena serang, kelompok-kelompok kecil yang selalu bergerak lantas
berputar. Dan penyerangnya masuk ke dalam perangkap.

Begitu jugalah kali ini. Baru Sangaji berge-rak tujuh langkah hendak menghampiri
Atang Mundingsari, kelompok kecil segera berputar ke belakang. Ontung, prarasa
Sangaji sangat tajam. la melihat gerakan menggeneet makin rapat. Di belakang
punggung terasa terancam bahaya. Ia berputar dan melihat jumlah kelompok
berlipat ganda. Cepat ia melangkah ke kanan. Sekonyong-konyong dua kelompok
kecil menikamnya dengan berbareng.

Benar-benar bahaya keadaan Sangaji kala itu. Tetapi dia sudah memiliki beraneka
ragam ilmu kepandaian yang sudah mencapai pun-caknya. Dalam bahaya ia tak
menjadi gugup. Hanya saja darahnya terkesiap, melihat mereka menikam dengan
kejam. la lantas meng-ambil keputusan untuk melawan mereka tanpa segan-segan
lagi.
Dengan suatu gerakan kilat, ia menendang tujuh orang sekaligus. Mereka terpental
jungkir balik dan pedangnya kabur ke udara. Pada detik-detik itu, tujuh batang
pedang menyambar punggungnya. Ia menyongsong serangan itu dengan kibasan
tangan. Dan pada saat itu juga, pedang mereka jatuh ber-kelontangan.

Mereka yang kehilangan senjata buru-buru memungut pedangnya kembali. Tetapi


begitu tangannya meraba gagangnya, pedang itu ternyata patah menjadi delapan
bagian. Mereka tertegun dan wajahnya pucat dengan tiba-tiba.

Selama hidupnya belum pernah sekali juga menghadapi seorang yang memiliki
tenaga sakti begitu hebat.

Melihat mereka kehilangan senjata, yang lain segera menggantikart kedudukannya.


Yang tiada bersenjata saling bergandengan tangan membuat rantai. Mereka
bergerak mengepung rapat-rapat.

Dikepung demikian, Sangaji tiada gentar. la bahkan bersenyum. Katanya dalam


hati, biar kucoba tenaga gabungannya. Memikir demi-kian, ia merampas sebatang
pedang. Kemu-dian ditempelkan kepada pedang kepala ke-lompok.

Buru-buru kepala kelompok menarik pe-dangnya. Akan tetapi pedangnya terasa


seper-ti terlengket kepada sebatang besi berani. Betapapun ia mengerahkan
tenaga, tetap saja bergeming.

Empat belas temannya segera menolong. Mereka mengerumun dan mencoba


mener-jang. Seperti tatkala berlatih menyalurkan tenaga lewat pedang Sokayana,
Sangaji segera mengerahkan tenaga sakti tiga bagian. Kemudian berseru, "Hati-
hati!"

Setelah berseru demikian, ia menggoyang-kan pedangnya. Suatu kesiur angin yang


membawa gelombang setinggi rumah meng-hantam mereka. Empat belas orang
tergun-cang mundur dan menumbuk empat kelom-pok di belakangnya. Pedang
mereka berben-turan. Empat puluh tiga batang pedang patah dengan sekaligus.
Dalam kagetnya, mereka meloncat menepi. Tetapi karena mereka bergerak dengan
berbareng, akibatnya runyam. Mereka saling bertubrukan dan banyak di antara
yang terguling bergulungan.

Atang Mundingsari menelan pil pahit. Lima puluh tujuh anak buahnya sudah tak
bersenja-ta lagi. Kini tinggal empat puluh satu orang yang masih segar bugar.
Mengingat betapa mudahnya lawannya dapat meruntuhkan pagar senjata dalam
beberapa saat, hatinya menjadi kecil. Namun ia seorang pemimpin yang
berpengalaman. Cepat ia merobah tata pertahanan. Yang tidak bersenjata lagi
digeser menjadi rantai pengepungan dan diperin-tahkan menyerang dengan tangan
kosong. Sedangkan yang bersenjata terus merapat sambil memutar pedangnya.

Sangaji gelisah sewaktu melihat perubahan tata kerja mereka. Pikirnya, mereka
bisa kem-bali bekerja karena aku tidak melukainya.
Kalau aku bersikap demikian sekali lengah celakalah aku. Daripada membiarkan
mereka berkesempatan menyusun barisan, lebih baik kuserangnya terlebih dahulu.
Ah, bakal hebat akibatnya.

Ia menjadi tak sampai hati memikirkan akibatnya. Maka berserulah ia memberi


peringatan.

"Saudara sekalian! Apabila saudara-saudara tetap menghalangi aku, jangan


salahkan aku melakukan tekanankeras."

Atang Mundingsari mendengus. la melihat barisannya sudah tersusun teguh. Ia


mengira Sangaji menjadi gentar. Maka ia tak sudi menanggapi seruan itu. Malahan
lantas bersiul nyaring memberi aba-aba sandi.

Bertepatan dengan gelombang siulnya yang penghabisan, seluruh barisan bergerak


dengan serentak. Mereka kini tidak bersifat bertahan lagi, tetapi menyerang dengan
dahsyat.

Sangaji membatalkan serangannya ke depan. Ia membungkukkan tubuh dan tiba-


tiba menggenjot badannya melesat ke timur laut. Kelompok kecil yang berada di
utara menggeser ke timur dan menyabetkan pedang dengan berbareng. Dengan
satu jurus Mayangga Seta, Sangaji merampas sebatang pedang. Kemudian dengan
menggetarkan pedang, ia menyambar.

Ilmu Mayangga Seta adalah ilmu sakti . ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Ilmu itu
diperun-tukkan apabila menghadapi musuh banyak. Gerakannya gesit luar biasa
dan perubahan-nya sukar diduga. Dahulu paman gurunya: Bagus Kempong dan
Suryaningrat pernah menggunakan tatkala menghadapi Iaskar Pangeran Bumi
Gede. Hasilnya benar-benar mengejutkan lawan. Sekarang ilmu sakti itu berada di
tangan Sangaji yang memiliki tenaga sakti melebihi tujuh pendekar sakti. Per-
bawanya tidak selisih daripada berada di tangan penciptanya sendiri.

Dengan sekali menggetarkan tangan, pe-dangnya menikam 42 tikaman dan tepat


me-ngenai pergelangan tangan 42 orang pula.

Bisa dibayangkan betapa cepat gerakannya. Mereka kaget seperti tersambar


geledek dan buru-buru meloncat mundur.

Ternyata pergelangan tangan mereka terda-pat bentong merah, tetapi sama sekali
tak berdarah. Mereka kagum berbareng dengan rasa terima kasih. Dalam hati
mereka mengakui bahwa Sangaji tidak berniat jahat. Sebab apabila dikehendaki,
dengan bukti bentong merah itu ia dapat menguntungkan pergelangan tangan
mereka dengan menambah tenaga tekanan.

Dengan demikian, mereka sudah kehilangan kegarangannya. Atang Mundingsari


gusar bukan main, sampai kumisnya berge-taran. Ia tahu pula, bahwa lawannya
bermurah hati dan belum mengeluarkan seluruh kepan-daiannya. Tetapi justru
diperlakukan demikian, ia merasa terhina. Sebagai seorang pemimpin ia harus
tetap melawan betapapun Akibatnya. Maka ia segera memberi aba-aba agar me-
ngurung Sangaji lebih rapat.

Melihat kebandelan Atang Mundingsari, hati Sangaji mendongkol berbareng


memuji. Sebab betapapun juga pertempuran itu tidak hanya mengadu kepandaian
saja. Tetapi mengadu jiwa pula. Salah sedikit, akibatnya bisa menge-rikan. Memikir
demikian ia mendorong tujuh orang yang berada di dekatnya. Setelah itu, ia lari
mengarah ke telaga. Ia harus mengadu kegesitan.

Seperti diketahui, seluruh lapangan penuh dengan empat belas kelompok yang
masing-masing membentuk Jala Sutra Inderajaya. Ontuk mengalahkan mereka,
Sangaji harus melawannya dengan cara ia mempermainkan tujuh orang di dekat
batu besar. Tetapi hal itu berarti pula bahwa ia harus bisa menjadi empat belas
orang.

Betapa mungkin!

Tetapi ilmu sakti Sangaji adalah ilmu anu-gerah Raja Jawa yang pertama kali. Hidup
pada tahun 3100 tahun sebelum Masehi. Raja itu adalah leluhur nenek moyang
seluruh Nusantara. la dikabarkan Hyang Tunggal sendiri yang menjelma sebagai
manusia untuk menyebarkan tata peradaban. Maka ilmu sakti Sangaji tidak dapat
diukur dengan akal manusia.

Seperti kilat ia terbang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam sekejap saja barisan
Jala Sutra Inderajaya menjadi kalut dan pecah berantakan, seperti tak terpifnpin
lagi.

Melihat kekalutan itu, Atang Mundingsari segera memberi tanda agar berhenti
bergerak dan berpencaran berkelompok-kelompok.

Sekarang Sangaji menemui kesukaran benar-benar. Tadi sewaktu barisan bergerak,


ia dapat mengalutkan dengan gerakan kilat. Akan tetapi dengan berhentinya
gerakan itu, ia merasa diri sebagai seekor kelinci terteng-kurap di tengah pagar
yang luasnya meme-nuhi seluruh lapangan.

Apabila hendak meruntuhkan mereka, ia harus melukai seorang demi seorang,


inilah yang tidak dikehendaki. Diam-diam ia memuji kepandaian dan kecerdasan
Atang Mun-dingsari.

Katanya dalam hati, benar-benar tangguh dia. Kalau dia sampai terluka di
tanganku, sungguh sayang.

Ia kemudian tegak mendongak ke atas. Tiba-tiba ia melihat sinar merah membakar


sekitar markas besar. Hatinya terkesiap. Seketika itu tahulah dia, apa sebab ia diha-
lang-halangi demikian keras.
Rupanya Markas Besar Himpunan Sang-kuring kena serang musuh dan sedang
menghadapi perlawanan hebat. Mungkin pula Paman lnu Kertapati dan Paman Sidi
Mantera terlibat dalam suatu pertarungan seru. Jika demikian aku tak boleh
bertahan terlalu lama di sini, katanya di dalam hati.

Karena memperoleh keputusan demikian, ia tak ragu-ragu lagi mengambil tindakan


tegas. Dengan mengerahkan tenaga saktinya tiga bagian, terus ia menghantamkan
tangan ka-nannya. Ia menggunakan ilmu Kumayan Jati. Sedang tangan kirinya
melontarkan pukulan Pancawara. Hebat akibatnya.

Empat puluh sembilan* orang yang berpen-caran memenuhi lapangan dengan


cepat meluruk bersama-sama untuk menangkis pukulan dahsyat yang terlontar dari
tangan kanan. Sedangkan lainnya yang belum terluka berbareng pula
menyongsong pukulan Pancawara. Akan tetapi sebelum kedua pukulan sakti itu
tiba, di luar dugaan mendadak lenyap serta berubah haluan. Sebagai gantinya,
datanglah suatu arus angin luar biasa kuatnya. Di luar kemauannya sendiri, mereka
saling bertubrukan, kemudian terangkat naik dan dilontarkan bertebaran.
Bagaimana bisa terjadi begitu?

Ilmu Kumayan Jati bersifat menggempur, sedangkan Pancawara menyapu tak ubah
badai di pegunungan yang sebentar datang dan sebentar pula lenyap tiada
meninggalkan bekas. Ilmu sakti Sangaji sudah berada di puncak kesempurnaan
yang dapat mengatur tenaga saktinya tepat seperti kemauannya. Memukul dengan
tangan berbareng yang menggunakan dua macam pukulan yang berbeda sudah sa-
ngat sukar dilakukan seseorang. Tapi dengan enak saja, Sangaji bahkan bisa
merubah dua macam pukulan yang berbeda itu dengan sekaligus. Tangan kirinya
yang melontarkan pukulan Pancawara tiba-tiba dipindah ke tangan kanan.
Sedangkan ilmu Kumayan Jati yang berada di tangan kanan dipindahkan ke tangan
kiri dengan memukulkan pula ilmu sakti Mayangga Seta. Peristiwa demikian ini,
belum pernah terjadi dalam sejarah para pendekar. Dan Sangajilah satu:satunya
orang yang dapat melakukan demikian.

Terpelesatnya kedua barisan dengan sekali-gus itu tak dapat dicegah oleh Atang
Man-dingsari. Dia sendiri bahkan menderita luka akibat kena benturan mereka.
Dadanya terasa melesak ke dalam dan dengan mata ber-kunang-kunang ia
mencoba menguasai diri.

Sangaji menggunakan kesempatan itu. Cepat ia meloloskan diri dari rantai penge-
pungan yang sudah tersibak bobol. Dengan seluruh kekuatannya, ia memanjat
dinding batu. Sebentar saja ia lenyap dari penglihatan.

Tepat pada saat itu terdengarlah suara lon-ceng tanda bahaya. Tahulah Sangaji,
bahwa lonceng tanda bahaya sudah ditabuh semen-jak tadi. Segera ia mendongak
ke atas. Melihat nyala api bertambah besar, ia berpikir: "Siapakah yang berani
memasuki halaman Markas Besar Himpunan Sang-kuriang? Kalau tidak tangguh,
mustahil bisa berada di sana."
Seperti kemasukan setan, ia memburu. Di halaman belakang gedung Markas Besar
sudah penuh berkelompok-kelompok orang yang bertempur dari tempat satu ke
tempat lain. Suara gemerincing senjata dan teriak mengaduh kesakitan bukan main
ramainya. Namun ia tak mengindahkan semuanya itu. Melihat bahwa di dalam
halaman gedung berkelebat beberapa orang, terus saja ia lang-sung memasuki.
Pendengarannya yang-tajam mendengar suatu pertarungan sengit antara jago-jago
kelas utama.

Api sedang membakar gedung. Namun yang berada di dalam tiada seorangpun
yang keluar untuk berusaha memadamkan. Apakah mereka kena kurung musuh?
pikirnya.

Tatkala itu api sudah mulai menjilat dinding samping. Bagian tengah dan depan
masih bebas. Dengan sekali menjejakkan kakinya, Sangaji melompati pagar rumah
sebelah yang sudah menjadi hangus.

Empat puluh sembilan orang berpakaian seragam sedang menghadapi perlawanan


81 orang yang mengenakan pakaian berma-cam-macam. Mereka menggunakan
ber-macam-macam senjata pula dan ilmu kepan-daiannya sangat tinggi, sehingga
keempat puluh sembilan orang yang mengenakan pakaian seragam berada di
bawah angin.

Heran Sangaji menyaksikan pertempuran itu. Pikirnya, dari pihak manakah mereka
sekalian? Sewaktu hendak mempertegas penglihatannya, tiba-tiba ia mendengar
suara angin berderu bergulungan yang datang dari dalam gedung Markas Besar.
Tahulah dia, bahwa angin itu terjadi akibat pukulan-pukulan dahsyat. Pastilah yang
bertempur di dalam gedung ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada yang berada
di luar. Tanpa ayal lagi, ia melesat memasuki gedung Markas Besar.

Dalam ruang gedung itu, terpasanglah puluhan pelita besar. Api yang sudah mulai
menjilat dinding samping, membawa asapnya masuk. Tentu saja pantulan cahaya
pelita lantas menjadi remang-remang seperti bulan kena tergulung awan hitam
yang datang ber-arak-arak.

Samar-samar nampaklah tujuh orang se-dang berkutat mengerahkan tenaga.


Mereka tegak berdiri dan saling berhadapan dengan berdiam diri. Kemudian dengan
tiba-tiba bergerak membendung serangan sepuluh orang yang mengepung mereka.

Begitu masuk, Sangaji mengerahkan pan-dang matanya kepada mereka. Matanya


yang tajam segera mengenal tiga orang di antara mereka. ltulah Inu Kertapati, Sidi
Mantera dan Kamarudin. Selagi demikian, tiba-tiba Kama-rudin kena serangan. Ia
jatuh terguling tanpa mengeluarkan suara. Dengan jatuhnya Kamarudin garis
pertahanan lantas menjadi lemah. Mereka dikurung tambah rapat.

Melihat Inu Kertapati dan Sidi Mantera dalam bahaya hati Sangaji tergoncang. Tak
peduli siapa sebenarnya musuh-musuh yang me-nyerbu gedung Himpunan
Sangkuriang itu segera ia menerjang sambil membentak: "Siapakah yang berani
memasuki ruang ini? Mundur!"

Berbareng dengan bentaknya, Sangaji me-nerkam punggung dua orang sekaligus.


Maksudnya hendak dilemparkan ke luar tanpa menyakiti. Di luar dugaan, mereka
ternyata tangguh luar biasa. Sekalipun tergeser dari tempatnya, namun kakinya
tetap menancap di atas lantai. Tubuhnyapun tidak bergeming.

Sangaji kaget. Katanya di dalam hati, sia-pakah mereka ini? Tak mengherankan
Himpunan Sangkuriang kena pukulan keras." Terus ia melepaskan terkamannya
dan berganti dengan menyapu kaki mereka. Mereka yang sedang mengerahkan
tenaganya untuk tetap dapat berdiri tegak sama sekali tak mengira di-serang
demikian. Tak ampun lagi, tubuh mereka terbang ke udara dan menubruk pintu
depan.

Melihat datangnya bala-bantuan, kawan-kawan mereka segera maju menyerang.


•Mereka terkejut menyaksikan ketangguhan Sangaji. Tapi mengingat pihaknya
berjumlah banyak, mereka tiada gentar. Dua orang di antara mereka lalu melompat
maju seraya membentak, "Siapa kau?"

Tanpa menyahut Sangaji mengirimkan kebasan tangan dengan tenaga empat


bagian. Kesudahannya hebat. Mereka terpelanting oleh kesiur angin dan bukan oleh
pukulan itu sendiri. Meskipun demikian begitu tubuh mereka terbentur dinding
lantas saja melontarkan darah segar.

Sekarang pihak musuh benar-benar kaget. Mereka tercengang menyaksikan


kehebatan Sangaji yang berhasil merobohkan empat orang hanya dalam dua jurus
saja.

Inu Kertapati dan Sidi Mantera dengan segera mengenal siapa yang datang meno-
long. Dalam hati, mereka bersyukur sekali. Namun mereka belum berani berbicara
atau bergerak dari tempatnya.

Sangaji sendiri sama sekali tak menggubris musuh-musuh yang sedang


mengepung. Ia maju menganggukkan kepala kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera
dengan suara ter-haru, "Paman! Aku kasep datang. Tak tahunya Paman sekalian
dalam keadaan bahaya oleh keteledoranku."

Inu Kertapati dan Sidi Mantera tidak berani melepaskan kata-kata. Mereka hanya
mem-balas mengangguk. Tapi pada saat itu, sosok bayangan berkelebat
menyerang Sangaji dari belakang. Maka tanpa memedulikan apa aki-batnya, Sidi
Mantera berteriak memperingat-kan: "Awas!"

Suatu kesiur angin dahsyat menyambar punggung Sangaji. Tahulah pemuda itu,
bahwa seorang yang memiliki ilmu sakti tinggi sedang menyerang dirinya. Heran
dia, apa sebab orang yang memiliki ilmu sakti setinggi itu menyerang dari belakang
punggung. Bukankah perbuatan demikian akan memerosotkan nilai pamornya?
Lantas saja ia tahu, bahwa orang itu pasti manusia berbudi rendah. Tanpa menoleh
ia sambut serangan gelap itu. Sekali tangannya membalik, orang itu tiba-tiba mati
kutu. Ia jatuh meliuk ke lantai seperti tangkai daun pisang kena suatu tetak.

"Bagus!" seru Sidi Mantera berbesar hati. "Kalau kau sudah datang apa arti bangsa
kur-caci-kurcaci demikian?"

Belum lagi Sangaji menyahut, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring


sekali dari luar. Dan masuklah seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan
kain mewah. Melihat gaya dan lagaknya, pastilah dia seorang pemimpin besar atau
seorang pangeran anak mas suatu kerajaan.

Sekali melihat tahulah Sangaji, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan
berat. Sambil membungkuk ia berkata me-nyambut, "Siapakah Tuan? Apa perlu
Tuan membawa teman Tuan ke mari?"

Orang itu tertawa panjang. Sebagai balasan ia bertanya pula, "Siapakah Tuan? Apa
perlu Tuan datang ke mari?"

Mendengar suara dan gayanya, teringatlah dia kepada sang Dewaresi. Lalu
menyahut, "Aku bernama Sangaji. Kedatanganku ke mari karena diundang
beberapa sahabatku."

"Ah tak kukira, bahwa orang-orang se-macam mereka masih mempunyai seorang
sahabat seperti Tuan," kata orang itu dengan mengulum ejekan. CIsia orang itu
belum lagi mencapai empat puluh tahun. Tetapi ia berbicara seperti seorang putera
mahkota. Terhadap Sangaji yang berusia dua puluh tahunan ia membawa lagak
orang tua.

Sangaji yang selamanya tidak pandai berbicara, lantas saja berkata singkat, "Tuan
mempunyai permusuhan apa dengan Him-punan Sangkuriang sampai kalian datang
untuk menyerang dan sudah membakar ge-dungnya pula?"

"Siapakah sebenarnya kau ini? Apakah engkau kanak-kanak kemarin sore berhak
berbicara demikian terhadapku?"

"Mengapa tidak?" tiba-tiba Sidi Mantera menungkas. Pendekar ini bermulut tajam.

Lantas saja berkata lagi, "Sahabatku setidak-tidaknya seorang manusia yang tahu
diri. Sebaliknya kau adalah binatang berkaki dua. Terhadap seekor binatang macam
begitu, masakan tidak pantas saudaraku ini membuka mulut?"

Mendengar kata-kata tajam Sidi Mantera, orang itu tertawa panjang lagi. Wajahnya
sama sekali tidak berubah.

"Dia orang luar mengapa ikut campur?"


'Tanyalah sendiri apa sebab dia ikut cam-pur!" bentak Sidi Mantera. "Tapi kau
binatang berkaki dua masakan pantas mengusut hal itu?"

"Mengapa tidak? Aku justru ingin mendapat keterangan," kata orang itu. Dia terus
menatap wajah Sangaji.

"Apakah aku harus menjawab pertanyaan-mu?" tungkas Sangaji sederhana. "Aku


justru mau mencampuri perkara ini. Mengapa?"

Kala itu asap api bertambah menyesakkan napas. Di luar api mulai merembet
gedung ruang tengah. Sangaji melihat orang itu seperti tak memedulikan seolah-
olah yakin bahwa di pihaknya sudah menang. Apakah dia sengaja mengulur waktu,
pikir pemuda itu.

"Orang-orang ini, aku yang membawa ke mari. Jika kau dapat mengusir aku ...
tanpa kau perintah mereka semua akan mengam-puni sahabat-sahabatmu yang
tiada gunanya," kata orang itu.

Sangaji tak mau menyia-nyiakan waktu dengan adu mulut. Dengan membalikkan
ta-ngan ia mengibas. Sederhana saja tampaknya, tapi orang itu mendadak saja
tergeser dari tempat berdirinya.

Sangaji terkesiap. Katanya dalam hati, aku sudah mengerahkan tenaga sakti empat
bagian. Tapi orang ini hanya tergeser dari tem-patnya saja. Tak kukira, di sini aku
akan berte-mu dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi.

Tapi orang itu sendiri sebaliknya terkejut bukan kepalang. Pengikut-pengikutnya


yang berada di belakang sampai memekik cemas.

"Bagus!" seru orang itu. Terus ia menghan-tam dengan pukulan dahsyat.

Sangaji ingin mencoba tenaga orang itu. Maka ia sengaja menyongsong pukulan itu
dengan suatu pukulan pula. Terbentur suatu pukulan dahsyat dari luar, getah sakti
Dewa-daru lantas saja bekerja dengan sendirinya. Tangan orang itu terus terhisap.

Seperti sebuah gunung tegak menjulang ke angkasa. Sangaji membendung tenaga


sakti orang itu yang berguguran tiada habisnya. Dalam hati, ia kagum luar biasa.
Secara wajar ia menambah tenaga. Paras muka orang itu mendadak saja
menyinarkan cahaya ungu. Tapi hanya sekejap. Setelah itu kembali seperti
sediakala.

Tahulah Sangaji, bahwa orang itu sedang mengerahkan tenaga saktinya yang
paling tinggi untuk melawan tenaga gempurannya. Kalau sinar ungu itu sampai
timbul tiga atau empat kali, orang itu akan menderita luka berat.

Sangaji adalah seorang pemuda yang ber-hati mulia. Mengingat ia belum kenal
orang itu dan untuk mencapai ilmu setinggi demikian tidakiah gampang, ia tak
sampai hati hendak menghancurkannya. Tetapi justru berhati mulia demikian,
hampir saja ia menjadi kor-ban. Sebab setelah ia melepaskan tenaga hi-sapannya,
mendadak orang itu meloncat mundur sambil menyemburkan suatu gum-palan
asap.

"Awas! Racun!" seru Sidi Mantera dan Inu Kertapati hampir berbareng.

Sangaji berkesiap. CIntung di dalam tubuh-nya mengalir getah sakti Dewadaru yang
kebal dari segala macam racun di dunia. Begitu kepalanya menjadi pusing, getah
sakti meraba ke atas dan bersama-sama dengan sari-sari madu Tunjungbiru
memusnahkan racun yang akan memasuki tubuhnya.

"Ah, mengapa Tuan begitu keji?" katanya heran.

Orang itu bercengang sejenak. Terus melon-cat mundur sambil menyahut,


"Sungguh hebat! Sampai bertemu."

Sangaji tak menyangka buruk. Ia hanya me-ngira, orang itu hendak memundurkan
diri. Tak tahunya begitu berada di ambang pintu, tangan-nya mengibas. Suatu
bubuk racun berterbangan bergulungan dengan asap api yang makin menebal.
Sebagai akibatnya para pendekar Himpunan Sangkuriang roboh tak berkutik.

Sangaji terkejut. Cepat ia menghampiri para pendekar yang roboh kena racun itu.
Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia menyalurkan tenaga getah saktinya ke tubuh
Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Tatkala hendak berpindah menolong Kamarudin dan
yang lain, Inu Kertapati berkata: "Jangan hiraukan! Lekas bantulah pemimpin-
pemimpin kita! Mereka -kena racun pula, sehingga entah bagaimana keadaan
mereka...."

Di luar paseban, Sangaji mendengar suara beradunya senjata. Ia terkesiap, karena


tenaga benturan itu adalah tenaga ilmu sakti tinggi.

"Apakah ... apakah dia ... yang meracun Ia tergagap-gagap karena teringat
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.

"Benar!" tungkas Inu Kertapati. "Dialah bangsat yang menyelinap dari belakang
pung-gung. Ah, entah pemimpin-pemimpin kita mampu membasmi tujuh aliran
yang datang menyerang kita, entah tidak."

Darah ksatria Sangaji terbangun. Semenjak berguru semua pekerti kepada Wirapati
dan Jaga Saradenta, ia diajar membenci kelicikan. Tak peduli pihak mana yang
salah, tapi pihak penyerang terang telah menggunakan racun. ltulah suatu
perbuatan licik yang patut dikutuk. Maka berdirilah dia dengan serentak.

Waktu itu mereka yang mengepung sudah meninggalkan ruang berbareng dengan
kabur-nya orang keningrat-ningratan tadi. Mendengar bunyi gemertak api serta
suara gemerincing pedang di luar paseban, Sangaji ingin sekali ter-bang memburu.
Tapi mengingat Kamarudin dan beberapa orang pendekar masih saja belum
berkutik, ia jadi berbimbang-bimbang. Rupanya Sidi Mantra mengenal watak
Sangaji yang senantiasa beragu karena kemuliaan hatinya. Maka dengan suara
parau ia berseru, "Jangan hiraukan kami! Kami bisa menolong sendiri! Saudara
Sangaji! Mati dan hidupnya Himpunan kami terletak dalam tanganmu."

Seperti kena hentak, Sangaji terus menjejak tanah. Tubuhnya melayang seperti
terlontarkan berkat pemantulan ilmu saktinya yang luar biasa. Mendadak selagi dia
terapung di tengah udara, berkelebatlah sesosok bayangan yang datang dari luar.
Siapa dia, kuranglah terang. Sebab gelap malam tidaklah secerah siang hari.

Sangaji waktu itu hendak mengelak meng-hindari. Tapi bayangan itu tiba-tiba
menyerang. Secara wajar ia menangkis. Hebat akibatnya. Dengan memekik,
bayangan itu ter-lontar kembali. Tubuhnya menubruk tiang se-belah kanan yang
sudah digerayangi api. Dan gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang
berguguran runtuh berantakan.

Sangaji terkesiap. Siapakah orang itu, yang terpental kena tenaga tangkisannya?
Meski-pun tenaga tangkisan itu berasal dari tenaga pantulan kaki tatkala ia melesat
ke paseban, namun hebatnya tak terkatakan.

Dahulu saja tenaga sakti Kebo Bangah sebelum jadi berlipat ganda sudah dapat
mere-mukkan batu pegunungan. Apalagi tenaga sakti Sangaji yang jauh melebihi
tenaga Kebo Bangah. Pantasnya jangankan mengenai tubuh manusia yang terdiri
dari darah dan daging, batu pegunungan saja dapat sumpyur berantakan. Tapi
ajaib! Orang itu hanya jatuh bergulungan ke tanah setelah menubruk tiang gedung.
Kemudian berdiri sempoyongan dengan hanya menyemburkan gumpalan darah.
Sedang, tubuhnya tetap utuh. Siapakah dia? Apakah tubuhnya lebih tangguh
daripada batu pegunungan?

Dialah pendekar Simuntang. Lengkapnya bernama: Tubagus Simuntang, juru bicara


Himpunan Sangkuriang dan merupakan ta-ngan kanan Ratu Bagus Boang pada
zaman kejayaannya

You might also like