Professional Documents
Culture Documents
BEGITU Kosim menjenakkan mata, wajah Sangaji terus saja dikenalnya. Ia heran
sampai beberapa saat membungkam. Teringatlah dia, sebentar tadi berada di
tengah kancah pertem-puran. Dua orang musuh mengejarnya. Lantas
mengurungnya rapat-rapat. Sekarang menga-pa berada di sini.
"Ah!" seru Kosim. Dengan sekaligus ia bisa menebak delapan bagian. "Kau tolong
aku dari bahaya maut. Dengan begitu aku berhutang budi untuk yang kedua kalinya
sebelum dapat membalas sesuatu kepa-damu. Rupanya aku ditakdirkan untuk
selalu akan berhutang kepadamu terus menerus sepanjang masa."
"Paman berkata berlebih-lebihan. Malam tadi, sebenarnya aku harus sudah berada
di Gunung Cibugis. Sekarang meskipun sudah berada di pinggang Gunung Cibugis
bukankah sudah kasep? Agaknya tiada guna lagi."
"O, tidak," sahut Kosim cepat. "Justru hari inilah yang setepat-tepatnya. Itulah
berhubung dengan datangnya beberapa begundal-begun-dal Ratu Fatimah sahabat
kompeni."
"Mengapa begitu?"
"Kalau semua yang bertempur semalam sampai habis ludes, bukankah yang
beruntung kompeni? Karena semenjak itu pastilah di bumi Jawa Barat takkan ada
lagi suatu perjuangan senjata melawan kekuasaan kompeni," sahut Kosim.
"Itulah secara kebetulan sekali," sahut Sangaji. la seorang pemuda yang tak pandai
bercerita. Maka ia hanya mengisahkan penga-lamannya selintasan. Belum lagi
selesai, men-dadak saja Kosim memekik kaget.
Waktu itu, ilmu sakti Sangaji susah diukur tingginya. Meskipun lagi berbicara,
namun panca inderanya tetap bekerja secara wajar. Ia tak mendengar atau melihat
sesuatu. Maka ia heran, apa sebab tiba-tiba Kosim memekik kaget.
"Lihat!" kata Kosim sambil menunjuk suatu tanda pada sebatang pohon.
Kosim yang terluka itu, memaksa diri untuk melangkah cepat. Ia hampiri pohon itu
dan berdiri tegak. Sangaji segera mendekati dan bertanya, "Apakah Paman kenal
tanda itu?"
Suatu ingatan berkelebat dalam otak Sangaji. "Pastilah dia seorang pendekar yang
cepat larinya."
"Benar. Dia Iaksana angin. Gerak geriknya sukar diduga," sahut Kosim.
"Ah. Kalau begitu dialah semalam yang mengocok habis Edoh Permanasari dan
anak-anak murid Mandalagiri," kata Sangaji. Kemudian ia mengabarkan tentang
orang berjubah usang yang memusingkan Edoh Per-manasari dengan membunuh
Nia Kurnia hanya dalam satu gebrakan.
"Ya, Simuntang," sahut Kosim. "Semasa pimpinan kami Gusti Ratu Bagus Boang
masih memegang pucuk pimpinan, Simuntang adalah satu-satunya anggota pucuk
pimpinan yang ditunjuk sebagai juru bicara. Tetapi... tetapi..." ia berhenti sambil
bercelingukan. Setelah yakin tiada orang, ia meneruskan dengan suara berbisik,
"Tetapi semenjak Gusti
Ratu Bagus Boang musna tiada kabar, sayap kiri dan sayap kanan pecah dan saling
bentrok. Entah apa alasannya, masing-masing anggota ingin menduduki kursi
pimpinan. Mula-mula saling merongrong kewibawaan masing-masing. Kemudian
saling tuduh-menuduh dan saling fitnah-memfitnah. Akhirnya mengadu pengaruh
dan saling membunuh. Harus kau ketahui, bahwa tiap anggota pucuk pimpinan
adalah pendekar-pendekar yang mempunyai daerah kekuasaan masing-masing.
Sudah barang tentu peristiwa itu melemahkan gerak juang kami. Meskipun
demikian, Simuntang belum pernah menulis sandi tanda bahaya. Sekarang sandi
tanda bahaya nampak tertan-cap di sini. Mustahil tiada terjadi suatu bahaya benar-
benar... Anakku Sangaji, bahaya per-pecahan? Bukankah bahaya kemusnahan?"
Sangaji belum mempunyai rasa senyawa tentang mati hidupnya Himpunan Sang-
kuriang. Walaupun demikian, hatinya tergetar mendengar bunyi pernyataan itu. la
melihat Kosim berdiri tegak dengan pandang terlo-ngong-longong. Wajahnya
berubah hebat pula dan sekujur badannya menggigil.
"Paman! Mereka anggota himpunan pula yang sedang turun gunung. Biarlah
kucoba mencari keterangan kepadanya," kata Sangaji.
"Gunung Cibugis dinyatakan dalam bahaya. Karena itu belum tentu mereka mau
mene-mui," ujar Kosim sambil beriari, menghampiri.
"Biarlah kucoba" kata Sangaji. Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah sambil
berseru nyaring, "Saudara berhenti dahulu! Aku ingin minta keterangan beberapa
patah kata!" Suaranya nyaring seperti genta dan mengaung tajam dari tebing ke
tebing.
Melihat gerakan Sangaji yang begitu gesit dan tiba-tiba membungkuk hormat,
mereka terkesiap. Cepat mereka meloncat ke samping sambil bersiaga.
"Aku ini sahabat pendekar lnu Kertapati. Bila diperkenankan antarkan aku
menghadap padanya. Ingin kutahu, apa sebab kutemukan sebuah tanda kabar
bahaya. Apakah yang sudah terjadi di atas gunung?"
"Kalau engkau mempunyai keberanian, cobalah mendaki sendiri!" kata yang ber-
perawakan gemuk. Di luar dugaan setelah berkata demikian, ia tiba-tiba
menghantam.
Sangaji terpaksa mengelak. Tak tahunya, orang yang bercambang tebal memukul
pula dari samping. Dengan demikian ia kena gencet. Melihat pukulan mereka yang
mem-bawa kesiur angin, tahulah Sangaji bahwa pukulan itu dilepaskan dengan
sepenuh tena-ga. la sadar pula, perbuatan mereka terjadi oleh suatu dugaan buruk.
Kali ini Sangaji tidak mengelak. Dengan mengerahkan tenaga dua bagian, ia
membiarkan dirinya kena pukulan berbareng. Sebaliknya bukan Sangaji yang
mengaduh kesakitan, tetapi dengan berteriak kesakitan pukulan mereka terpental
dan menghantam dirinya sendiri. Mereka heran seraya memeriksa tangannya.
Ternyata ta-ngan mereka melepuh. Sebagai seorang pendekar yang sudah
berpengalaman, mereka kaget. Kemudian dengan membentak, mereka menendang
dada dan kempungan Sangaji cepat serta berantai.
Dada dan kempungan merupakan bagian tubuh yang berbahaya. Siapa yang kena
han-tam, pasti roboh seketika. Salah-salah bisa mati terjengkang. Sebaliknya
Sangaji tak ber-geming.
Dalam pada itu mereka terus main tendang tanpa segan-segan lagi. Meskipun yang
diten-dang sama sekali tak membalas, lambat laun kaki mereka terasa nyeri.
Setelah diperiksa nampak menjadi bengkak seperti tangannya. Diam-diam mereka
berkata di dalam hati; "Dia ini manusia atau setan?"
Dalam hati pemuda itu, sudahlah timbul hasratnya untuk mempersatukan mereka.
Sebaliknya melihat sikapnya yang luar biasa terhadap perselisihan itu, Kosim heran.
Mereka berdua berteriak kesakitan kena gempuran mendadak itu. Tangannya pedih
dan mereka berdua cepat-cepat meloncat mundur. Dengan mata menyala
berbareng kagum, mereka menatap Sangaji. Kemudian dengan menggerung,
mereka menyerang dah-syat. Pedang mereka bergulungan dengan membawa suara
mendengung.
Kosim memekik kaget. Ia mengenal jurus itu. ltulah jurus Angin Puyuh merabu
daratan. Sayang mereka belum mencapai taraf tinggi. Seumpama di tangan
seorang ahli, hebatnya tak tefkatakan. Meskipun demikian, bahaya-nya tak kurang-
kurang.
"Aku adalah sahabat lnu Kertapati dan Sidi Mantera. Kuharap salah paham ini
berhenti sampai di sini saja," seru Sangaji dengan sabar.
"Omong kosong!" bentak yang gemuk. "Sebentar lagi engkau mengaku sebagai
murid Gusti Amat. Sungguh hebat!" Sambil mem-bentak ia menikam dada Sangaji
dengan pedangnya.
Sangaji benar-benar jadi tak mengerti. Pikirnya, di kaki gunung tadi sudah terdapat
gambar tanda bahaya. Melihat sepak tec-jangnya, mungkin sekali gambar tanda
bahaya sudah tertebar di tempat-tempat tertentu. Tak mengherankan mereka
bersikap galak dan mencurigai setiap orang. Baiklah kurampas-nya pedangnya.
Barangkali dapat kuajak berbicara.
"Jajang! Siluman ini luar biasa hebat. Lari!" seru yang gemuk. Ia bernama Zakaria.
Sedangkan yang berjambang bernama Jajang.
Seringkali Sangaji disebut siluman oleh Fatimah. Karena itu ia tak bersakit hati
mendengar hinaan Zakaria. Meskipun demi-kian ia merasa gagal hendak mengajak
me-reka berbicara. Setelah pedang mereka di-runtuhkan ke tanah, ternyata terus
lari. Melihat mereka lari, Sangaji dengan cepat menyambar tubuh Kosim. Dengan
mendu-kung Kosim ia melesat memburu. Sekali menggenjot kaki, tubuhnya terbang
melintasi mereka. Kemudian turun sepuluh langkah di depan mereka. Dengan sikap
menghadang mereka ia berkata, "Mengapa kalian meng-hindari. aku?"
Zakaria dan Jajang terkesiap menyaksikan kegagahan Sangaji. Tetapi seperti setiap
anggota Himpunan Sangkuriang lainnya, dalam keadaan terjepit masih berani
mereka menentang muka dengan pandang berapi-api.
Selagi ia disibukkan perkara itu, Zakaria dan Jajang telah kabur lagi.
Kosim yang selama itu berada dalam kem-pitan, menepuk tubuhnya sambil
berkata, "Anakku Sangaji! Mereka sudah kabur lagi."
Kosim tertawa. Menjawab lancar, "Ilmu merubah diri, sering kudengar. Tapi demi
Tuhan aku belum pernah menyaksikan selama aku hidup melampaui setengah abad
ini. Entahlah kalau aku yang tolol."
Sangaji mengernyitkan dahi. Ia mencoba menebak. Tetapi dia bukan Titisari yang
mem-punyai otak cemerlang. Maka untuk sekian lamanya, ia tak berhasil
memperoleh suatu pe-gangan. Akhirnya dia berkata minta pertim-bangan,
"Bagaimana pendapat Paman?"
"Tadi sudah kukatakan, bahwa itu bukan pendapatku sendiri," sahut Kosim. "Itulah
pen-dapat rekan-rekan yang cerdik pandai. Alasan mereka berdasarkan pihak-pihak
yang pernah berhadapan muka dengan Gusti Amat. Bukankah perawakan tubuh
Gusti Amat yang diwartakan berjumlah enam macam? Dan Qewan Penasehat terdiri
dari enam orang pula."
"Apakah Paman berpendapat, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya nama sandi
Dewan Penasehat?"
"Hanya dua orang yang kukenal. Itulah pemimpin urusan keagamaan dan pemimpin
urusan pemerintahan."
"Siapa?"
"Dahulu guru Gusti Ratu Bagus Boang yang bernama Ki Tapa. Dan yang Iain Ki
Tunjung-biru."
"Ki Tunjungbiru?"
"Semasa muda bernama Otong Damar-wijaya," kata Kosim. Dan Sangaji tak perlu
mencari keyakinan lagi. Itulah Ki Tunjungbiru yang kini tersekap kompeni. Terus
saja ia teringat kepada semua sepak terjang pendekar itu. Mulai pertemuannya
yang pertama kali di tengah hutan Tangerang sampai saat per-pisahannya di
kampung tahanan kompeni.
Ki Tunjungbiru adalah seorang pendekar yang luhur budi dan berwibawa. Kosim, Inu
Kertapati, Sidi Mantera dan lainnya beberapa kali menyebut namanya dan
menghormati. Tapi mereka tak pernah menganggapnya sebagai Gusti Amat.
Agaknya nama Gusti Amat benar-benar hanya suatu nama sandi tertentu, pikir
Sangaji.
Di depan mereka menghadang sebuah batu gunung yang luar biasa besarnya. Batu
itu melengkung ke bawah seperti seorang nenek yang membungkuk dalam-dalam.
Bentuknya nampak seram. Melihat keseraman itu, kem-bali Sangaji teringat kepada
Jajang dan Zakaria yang menuduhnya meracun Gusti Amat. Memikir demikian,
terloncatlah perkata-annya: "Paman berpendapat bahwa Gusti Amat adalah sebuah
nama sandi Dewan Penasehat. Aku dituduh mereka meracun Gusti Amat. Apakah
maksud mereka?"
"Ki Tapa sudah lama wafat, sebelum Gusti Ratu Bagus Boang musna dari
percaturan dunia," sahut Kosim setelah berpikir sebentar. "Panembahan
Tunjungbiru membiarkan diri tertawan Belanda. Jika demikian, mungkin maksudnya
Haji Maulana Syafri dialah peng-ganti Ki Tapa. Sekiranya bukan demikian, mungkin
yang dimaksudkan sisa anggota Dewan Penasehat. Tapi mengingat tanda bahaya
Simuntang, kukira tidak hanya Dewan Penasehat yang terancam bahaya. Tapi selu-
ruh tenaga himpunan."
"Belum tentu," sahut Kosim cepat. "Kami bisa menggunakan istilah racun, sedang
yang kami maksudkan adalah pembunuhan atau permusuhan. Maksud penggunaan
racun sebagai istilah pembunuhan, semata-mata untuk mengesankan sesuatu
kekejian yang melebihi tindak pembunuhan atau pemusnah-an. Anakku Sangaji!
Otakku bukan otak sese-orang cerdik pandai. Janganlah engkau me-megang semua
kata-kataku sebagai suatu pendapat yang jitu. Yang benar, Himpunan Sangkuriang
kini terancam bahaya yang me-ngerikan. Apa itu, akupun tak sanggup men-duga.
Mengingat dua orang anggota pengawal panji-panji Otong Surawijaya
menyerangmu, pastilah perjalanan ini berbahaya. Salah-salah...."
Belum lagi Kosim melanjutkan perkataan-nya, dari belakang batu terdengariah
suatu aba-aba gararig. Berbareng dengan itu, melon-catlah empat orang bersenjata
pedang, Tanpa berkata mereka berdiri kencang seakan-akan bersiaga berbaris.
"Kau bernama Sangaji atau katak duduk, apa bedanya?" potong salah seorang.
Orang itu bertubuh jangkung. Bentaknya, "Hayo menggelinding turun!"
Betapa sabar hati Sangaji, ia merasa ter-tusuk kehormatannya. Namun masih saja
ia menguasai diri. Katanya nyaring, "Bawalah aku menghadap padanya. Pastilah
semua akan menjadi terang."
Sangaji terdiam. Dalam hal mengadu keta-jaman lidah tiada harapan untuk
menang. Kosim yang berada di dekatnya mencoba memberi keterangan, "Saudara
dari pasukan Kuda Semberani, dengarkanlah! Saudara ini hendak mendaki gunung
bukan atas kemau-annya sendiri. Dia datang karena diundang. Dia sanggup datang,
maka datanglah dia. Meskipun mendapat rintangan, dia mengeras-kan hati tidak
sudi mundur. Apakah kalian tidak bisa membedakan antara ksatria dan bangsa
cecurut?"
"Lihat! Akupun termasuk penghuni Gunung Cibugis? Meskipun tingkatanku tak lebih
dari kurcaci, tapi suaraku tidak lebih rendah dari kalian," sahut Kosim sambil
memperlihatkan tanda Obor serta pakaian seragamnya.
Masih saja mereka tertawa selintasan. Kemudian seorang di antara mereka me-
nyahut, "Apa sih susahnya membuat pakaian seragam begitu dan lencana Obor?
Jangan berharap bisa mengingusi orang-orang pegu-nungan. Pergi!"
"Kalian memang sekumpulan binatang kuda tak tahu malu," maki Kosim
mendongkol.
Sangaji hendak memberi suatu keyakinan lagi dengan logam tanda undangan yang
dite-rimanya dari Suhanda, tiba-tiba si jangkung sudah menerjang sambil
membentak:
"Kalau tidak diberi hajaran sedikit, engkau akan mengira di Cibugis tiada orang
pandai lagi."
Bukan main heran hati Sangaji benar-benar mereka tak dapat diajak berbicara.
Apakah Himpunan Sangkuriang sudah terancam bahaya sungguh-sungguh! la
mengeluh dalam hati. Hati-hati ia mengelak ke samping. Tiga orang lainnya
melompat menyerang Kosim.
"Saudara sekalian, bagaimana caraku dapat meyakinkan kalian agar kalian percaya,
bahwa kedatanganku ke mari benar-benar atas undangan pendekar Inu Kertapati
dan Sidi Mantera?"
Mereka berbareng meloncat mundur ber-lindung di balik batu. Dalam sekejap mata
bayangannya hilang dalam kegelapan.
"Hebat! Sungguh hebat!" seru Kosim. "Tujuh tahun tak melihatmu, ternyata
kepandaianmu tak ubah malaikat."
Dari dalam hutan, tiba-tiba muncullah tujuh orang anggota Kuda Semberani dengan
bersenjata pedang panjang. Dengan gerak-an-gerakan gesit mereka menempati
garis kiblat. Empat orang di sebelah kiri dan tiga orang di sebelah kanan. Sekali
melihat, Sangaji teringat kepada pengalamannya, tatkala kena keroyok Malangyuda
dan kawan-kawannya di sekitar Prambanan. Maka diam-diam sadarlah dia, bahwa
kali ini akan meng-hadapi lawan berat.
"Paman! Karena Paman belum dapat ber-gerak dengan leluasa, lebih baik
berlindunglah di balik batu itu! Dengan demikian, aku tak perlu memecah
perhatian."
Dengan tenang Sangaji mengamat-amati tujuh lawannya. Kala itu bulan bercahaya
remang-remang, sehingga bayangan mereka tidak nampak dengan tegas. Akan
tetapi berkat ketajaman inderanya, ia masih bisa melihat beberapa orang di antara
mereka berjenggot tebal matanya menyala tajam. Terang mereka bukan orang-
orang lemah.
Sangaji sudah memutuskan tidak sudi berbicara lagi. Tujuannya hendak secepat
mungkin menemui Inu Kertapati dan Sidi Mantera, agar kesalahpahaman ini tidak
menjadi berlarut-larut. Dengan keputusan itu, ia meloncat menghampiri barisan.
Sudah barang tentu Sangaji tak sudi kena kepung. Baru saja ketujuh lawannya
memben-tuk rantai pengepungan, ia maju dua langkah serong ke kanan. Perubahan
kedudukan Sangaji mengherankan-mereka. Dua orang yang berada di depan terus
saja menyerang. Tetapi hasilnya nihil. Bahkan baris pengepungan terbuka
seluruhnya. Inilah bahaya! Buru-buru pemimpin barisan mengibaskan lengan dan
mereka bergerak serentak ke kanan. Tatkala hendak mulai menyerang, lagi-Iagi
Sangaji berada di luar sasaran. Bagaimana bisa begitu?
Mereka tak tahu, bahwa Sangaji sudah me-ngantongi ilmu sakti yang peka luar
biasa. Begitu dirinya merasa diserang, ilmu saktinya meruap ke luar secara
otomatis, lewat ukiran rahasia keris sakti Kyai Tunggulmanik yang sesungguhnya
merupakan puncak dari segala hakiki ilmu kepandaian manusia di dunia.
Keruan saja mereka heran setengah mati. Dua tiga kali mereka mengulangi
gerakan. Tapi tetap saja mereka gagal. Akhirnya pemimpinnya berteriak
mendongkol, "Serang sambil berlari!"
Mereka lantas saja lari berputaran. Mula-mula meloncat mundur dan berpencaran.
Kemudian lari berputar-putar kalang kabut dengan tujuan membuat kabur
penglihatan Sangaji. Sesudah berputaran beberapa saat, dengan mendadak mereka
berhenti dan berkumpul. Pemimpinnya berada di sebelah barat dan pada detik
berikutnya kawan-kawannya bergerak dari selatan ke timur. Lalu membelok ke
tenggara.
Berbareng dengan gerakan itu, dua orang yang berada di depan dan di belakang
tiba-tiba melesat menerjang. Tetapi sekali lagi, Sangaji sudah berada di luar
sasaran. Dengan tenang ia berdiri di utara sambil mengulum senyum.
Kosim yang berada di balik batu, kagum luar biasa. Sebagai seorang anggota
Himpunan Sangkuriang, sudah barang tentu ia paham akan ilmu itu. Ilmu
pengurungan itu meru-pakan ilmu kebanggaan Parahyangan. Konon dikatakan, ilmu
tersebut adalah ilmu warisan dalam zaman kerajaan Pajajaran. Siapa pen-ciptanya
kurang terang. Tapi ilmu pengurungan itu sendiri bernama ilmu Jala Sutra
Inderajaya. Sifatnya bertahan serta bersiaga menghadapi kemungkinan. Meskipun
hanya tujuh orang di tangan para ahli dapat menahan serangan ratusan orang
dengan sekaligus.
Sudah ratusan tahun usia ilmu itu. Selamanya belum pernah gagal. Namun
menghadapi Sangaji, kali ini macet tak ber-daya. Malahan kalau mau, Sangaji dapat
memecahkan rahasia rantai pengepungannya. Hal ini disebabkan, karena ketujuh
orang itu bukan ahli. Di tangan keenam pemimpin sayap pemerintahan Ratu Bagus
Boang, pasti-lah Sangaji tak gampang-gampang melolos-kan diri meskipun dia
memiliki ilmu sakti tiada tara di dunia.
Setelah berkata demikian, ia berjalan ke arah kanan. Sebentar saja barisan Jala
Sutra Inderajaya sudah berada di bawah pengaruh-nya. Manakala ia mengarah ke
kiri, barisan ikut pula bergerak ke kiri. Memang harus begitu. Bila tidak, mereka
akan kehilangan jiwa. Sebaliknya apabila dia berlari-Iari, merekapun ikut berlari-
Iarian pula.
Biarlah kuuji tenagamu, apakah kalian benar-benar tangguh, kata Sangaji di dalam
hati.
Lalu berkata dalam hati: Aku datang ke mari atas desakan dan undangan Inu
Kertapati dan Sidi Mantera. Jangankan disambut dengan semestinya, malahan aku
dituduh meracun dan dimaki sebagai siluman. Itupun tak mengapa. Apa sebab
berusaha pula membunuh aku? Biarlah aku sekarang memperlihatkan ilmu siluman
benar-benar.
Sekali menjejak tanah, ia melesat tinggi di udara. Kemudian hinggap di atas batu
besar. Barisan Jala Sutra lnderajaya harus ikut pula berada di atas batu apabila
tidak mau'terlihat titik-titik kelemahannya. Beberapa orang di antara mereka
nampak bersangsi. Tetapi dengan bentakan keras, pemimpin mereka me-ngajak
melompati mengikuti gerakan lawan.
Baru saja kaki mereka meraba atas batu, Sangaji melesat tinggi di udara dan
hinggap di ujung dahan sebatang pohon jambu. Melihat perbuatannya, mereka
mengeluh. Tapi karena sadar akan ancaman bahaya, mereka ikut pula memanjat
pohon dan menempati kedudukan untuk siap menyerang dan bertahan.
"Setan!" Mereka mengeluh dalam hati. Dan mau tak mau harus ikut turun pula ke
tanah. Sebab mereka sadar, bahwa kehebatan ilmu Jala Sutra lnderajaya berada
pada tata kerja sama.
Bukan main kagum hati Kosim melihat cara Sangaji membuyarkan pusat kekuatan
ilmu Jala Sutra lnderajaya.
Katanya di dalam hati, benar! Kalau mu-suh berada di atas, bukankah akan melihat
lubang kelemahannya? Apabila dia berniat jahat, sebelum kaki mereka menginjak
tanah pastilah diserangnya sebelum sempat mengatur kedudukan. Hebat! Sungguh
he-bat! Apa sebab semenjak dahulu belum ada seorangpun yang mempunyai
pikiran de-mikian?
Memikir demikian, Sangaji berdiri tegak sambil berkata, "Saudara sekalian, haraplah
memaafkan sepak terjangku ini. Sekarang tolong antarkan aku menghadap kedua
saha-batku Inu Kertapati dan Sidi Mantra."
"Melihat kepandaianmu pastilah engkau anak emasnya," kata pemimpin barisan itu.
Kali ini suaranya agak lunak. Meneruskan, "Agar engkau tak mengalami sesuatu hal
yang tidak kami inginkan pula, cepat-cepatlah turun gunung dan selamatlah
sejahtera. Sebab untuk memiliki ilmu kepandaian demikian, tidaklah mudah."
Terasalah ia mengagumi ilmu kepandaian Sangaji. Namun Sangaji tak menanggapi.
Pemuda itu heran tentang disebutnya nama pendekar Watu Gunung sebagai
gurunya.
"Apa yang sudah terjadi? Janganlah engkau berlagak pilon!" bentak pemimpin
barisan.
"Benar-benar aku tak mengerti. Aku bukan anak didik Watu Gunung."
"Kau tak kenal Watu Gunung? Cobalah jawab dengan sebenarnya, kalau engkau se-
orang laki-Iaki."
Andaikata tak usah digertak demikian, Sangaji pasti akan menjawab dengan sebe-
narnya juga. Jawabnya, "Dengan sebenarnya aku pernah kenal padanya. Tetapi aku
bukan anak didik pendekar sakti itu."
Selama hidupnya belum pernah Sangaji dimaki sebagai bangsat. Maka mendengar
kata-kata itu, ia jadi bergusar. Bentaknya, "Engkau berkata apa?"
Pemimpin barisan itu mendengus. Dengan suara dingin ia menyahut, "Kau terang-
terangan adalah anak didik Watu Gunung. Tapi engkau berkata hanya kenal. Baik!
Kalau memang engkau bukan anak didik Watu Gunung, cobalah maki dia."
Sangaji tercengang sebagai seorang yang berpribadi luhur tak -dapat ia memaki
sese-orang. Apalagi terhadap Watu Gunung. Benar ia tak begitu baik kesannya.
Tetapi mengingat usia Watu Gunung, pantaslah menjadi ka-keknya. Masakan
pantas memakinya tanpa sebab-sebab. Karena itu, ia menyahut tegas: "Apa
gunanya aku memaki dia?"
Sangaji tertawa. Menyahut, "Kau minta aku jangan menggunakan ilmu siluman?
Justru aku hendak menggunakan ilmu siluman."
Ketujuh orang itu saling memandang de-ngan hati tak percaya. "Baiklah," kata pe-
mimpin barisan. "Kami bersedia untuk meng-hadapi ilmu silumanmu. Coba seperti
apa ilmu tendanganmu."
"Aku sudah berkata, tidak akan menyenggol tubuh kalian," ujar Sangaji. "Kalian
boleh menggunakan pedang, tangan dan kaki. Kalau aku sampai menyenggol
tubuhmu, hitunglah aku kalah. Aku berjanji akan turun gunung."
Mendengar ujar Sangaji yang bernada som-bong, ke tujuh orang itu bergusar hati.
Mereka merasa diri direndahkan. Lantas saja pedang-nya dikibaskan berdengungan.
Dengan tenang Sangaji berjalan ke kanan. Barisan Jala Sutra lnderajaya bergerak
pula ke kanan. Tujuh langkah kemudian, Sangaji meloncat ke kiri. Dan dengan
terburu-buru, barisan Jala Sutra lnderajaya mengejar ke kiri. Mereka berusaha selalu
berhadap-hadapan dengan lawan.
"Cepat berkumpul! Cepat putar pedang!" teriak pemimpin barisan dengan gugup.
Sangaji tadi berjanji hendak merebut pedang mereka tanpa menyentuh tubuh. Dan
mereka ingin tahu.
"Hai, anak siluman! Kau sudah berhasil me-rampas enam pedang. Cobalah rampas
ke tujuh pedang kami!" teriak pemimpin barisan. Ia sengaja berteriak demikian,
agar Sangaji tidak kabur di luar pengamatannya.
Tenaga sakti Sangaji dapat diatur menurut keinginannya. Dapat didorong keluar
dan ditarik sesukanya. Karena itu dengan mudah ia dapat merebut ketujuh pedang
lawan tanpa susah payah. Setelah itu, ia menghampiri batu tempat Kosim
berlindung seraya berkata: "Paman! Ayo berangkat!"
Bulan kala itu nampak makin suram. Awan hitam bergulungan menutupi angkasa.
Seluruh persada bumi ikut muram pula.
Belum pernah aku mengambah Gunung Cibugis. Tipu muslihat kawanan yang
memusuhi aku, sukar kuduga. Kalau lengah, aku bisa celaka, pikir Sangaji. Dan
memikir demikian, ia melanjutkan perjalanan dengan meringankan kaki. Tak berani
lagi ia ber-lari-larian cepat seperti tadi.
Benar juga. Tak lama kemudian udara menjadi terang seperti kemarin malam.
Bulan hampir penuh timbul di angkasa bersih. Sinarnya lembut laksana perak kena
gosok.
Sangaji tidak gentar menghadapi ancaman baru itu. Hanya timbullah pikirannya,
benar-benar hebat Himpunan Sangkuriang ini. Sayang, mereka terpecah belah.
Sekiranya bersatu padu seperti semula, pastilah akan menemukan zaman
keemasannya kembali.
Kurang lebih seratus orang yang me-ngenakan pakaian seragam dan bersenjata
pedang, berbaris berkelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh
orang. Mereka berdiri tak bergerak. Andaikata Sangaji belum memperoleh
pengalaman melihat letak kedudukan mereka, pastilah akan mengira kelompok
jajaran tunggak.
Kalau sekiranya mereka tidak kena asuh seorang pemimpin yang berwibawa,
betapa mereka memiliki perbawa begini hebat, pikir Sangaji.
Orang yang diberi laporan, lalu mendo-ngakkan kepala. Kemudian berkata nyaring,
"Ilmu luar biasa tingginya, kenapa sudi beker-ja sama dengan manusia berkhianat?
Memang kelemahan manusia ini semenjak dahulu ber-kisar soal kehormatan,
pangkat derajat dan perempuan. Tapi sayang, engkau yang berusia muda siang-
siang sudah berotak gila demikian. Maka turunlah dan perbaiki budi peker-timu
agar keharuman namamu tetap menjadi abadi."
Orang itu berbicara dengan wajar. Namun sangat nyaring dan tiap patah katanya
terde-ngar terang. ltulah suatu bicara dengan sung-guh-sungguh pula. Nasihatnya
membersit dari ketulusan hati.
"Nasihat Saudara benar-benar merasuk dalam dadaku. Hanya saja aku tak mengerti
apa sebabnya nasihat itu kaualamatkan kepadaku. Begini saja. Antarkan aku
kepada pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Kau pasti mengenal siapa mereka,
menurut kabar mereka adalah penghubung dunia luar."
"Jika engkau belum sadar, cobalah gempur Jala Sutra Inderajaya ini! Jika mampu,
aku Atang Mundingsari akan meluluskan engkau mendaki ke markas besar kami."
"Aku seorang diri, betapa mampu melawan barisan raksasa ini," sahut Sangaji.
"Tolong kembalikan temanku berjalan. Aku akan mendaki dengan dia tanpa saudara
antar."
Lingkaran geraknya empat belas macam yang tujuh kelompok mempunyai bidang
luas. Dan tujuh kelompok lainnya bergerak berputaran dalam lingkaran sempit.
Melihat gerakan luar biasa itu, Sangaji me-ngeluh. Pikirnya, mereka memenuhi
hampir seluruh lapangan. Bagaimana caraku dapat meloloskan diri?
Sangaji menarik napas. Pikirnya lagi, baik-lah! Meskipun belum tentu aku dapat
meme-cahkan barisan ini tapi merekapun tak gam-pang-gampang pula
menjatuhkan aku. Seorang laki-laki masakan runtuh hanya kare-na bentakan saja.
Biarlah kulawannya dengan sebisa-bisaku.
Tiba-tiba saja ia melesat dan menerjang kelompok yang berada di sebelah barat
daya.
la melontarkan pukulan jurus ilmu Kumayan Jati dengan tenaga sakti dua bagian.
Tujuh orang kelompok yang berada di sebelah sela-tan menggeser kedudukannya.
Mereka bergerak menyongsong pukulan itu.
Mereka tak tahu, bahwa Sangaji mempunyai ilmu tiada tara di dunia ini. Kalau
bemiat jahat, itu tidak hanya menggunakan tenaga dua bagian saja. Meskipun
demikian, berkat kesak-tian getah sakti Dewadaru, pukulan lontaran itu mempunyai
daya hisap pula. Gerakan men-dorong sudah hebat. Tenaga hisapnya tak
terkatakan lagi besarnya.
Baru saja ketujuh orang terdorong oleh suatu tenaga yang dahsyat luar biasa, tiba-
tiba mereka kena tarik pula yang sama kuatnya. Tak ampun lagi, mereka jatuh
terguling menungkrapi tanah. Meskipun segera dapat bangun kembali, tetapi muka
mereka berdebu tebal. Kumis dan jenggot mereka yang lebat lantas saja berubah
menjadi kelabu. Bukan main gusar mereka.
Teriakan itu hebat luar biasa. Tak ubah aum. Sanghyang Narasinga ) yang
menggoyahkan langit dan bumi. Barisan Jala Sutra Inderajaya tertegun sejenak.
Mereka tergetar mundur. Ke-pala mereka pengang dan terasa menjadi puyeng.
"Semua berwaspada! Jangan kena dipe-ngaruhi manusia siluman ini..." seru Atang
Mundingsari.
Mendengar bunyi perintah Atang Munding-sari, timbuHah pikiran dalam diri Sangaji.
Agaknya seluruh barisan tunduk kepada-nya... Jika aku dapat merobohkan dia,
bukankah seluruh barisan macet dengan sen-dirinya?
Sangaji tidak mengetahui bahwa salah satu keistimewaan barisan Jala Sutra
Inderajaya terletak justru apabila pemimpinnya terserang lawan. Begitu pemimpin
barisan kena serang, kelompok-kelompok kecil yang selalu bergerak lantas
berputar. Dan penyerangnya masuk ke dalam perangkap.
Begitu jugalah kali ini. Baru Sangaji berge-rak tujuh langkah hendak menghampiri
Atang Mundingsari, kelompok kecil segera berputar ke belakang. Ontung, prarasa
Sangaji sangat tajam. la melihat gerakan menggeneet makin rapat. Di belakang
punggung terasa terancam bahaya. Ia berputar dan melihat jumlah kelompok
berlipat ganda. Cepat ia melangkah ke kanan. Sekonyong-konyong dua kelompok
kecil menikamnya dengan berbareng.
Benar-benar bahaya keadaan Sangaji kala itu. Tetapi dia sudah memiliki beraneka
ragam ilmu kepandaian yang sudah mencapai pun-caknya. Dalam bahaya ia tak
menjadi gugup. Hanya saja darahnya terkesiap, melihat mereka menikam dengan
kejam. la lantas meng-ambil keputusan untuk melawan mereka tanpa segan-segan
lagi.
Dengan suatu gerakan kilat, ia menendang tujuh orang sekaligus. Mereka terpental
jungkir balik dan pedangnya kabur ke udara. Pada detik-detik itu, tujuh batang
pedang menyambar punggungnya. Ia menyongsong serangan itu dengan kibasan
tangan. Dan pada saat itu juga, pedang mereka jatuh ber-kelontangan.
Selama hidupnya belum pernah sekali juga menghadapi seorang yang memiliki
tenaga sakti begitu hebat.
Atang Mundingsari menelan pil pahit. Lima puluh tujuh anak buahnya sudah tak
bersenja-ta lagi. Kini tinggal empat puluh satu orang yang masih segar bugar.
Mengingat betapa mudahnya lawannya dapat meruntuhkan pagar senjata dalam
beberapa saat, hatinya menjadi kecil. Namun ia seorang pemimpin yang
berpengalaman. Cepat ia merobah tata pertahanan. Yang tidak bersenjata lagi
digeser menjadi rantai pengepungan dan diperin-tahkan menyerang dengan tangan
kosong. Sedangkan yang bersenjata terus merapat sambil memutar pedangnya.
Sangaji gelisah sewaktu melihat perubahan tata kerja mereka. Pikirnya, mereka
bisa kem-bali bekerja karena aku tidak melukainya.
Kalau aku bersikap demikian sekali lengah celakalah aku. Daripada membiarkan
mereka berkesempatan menyusun barisan, lebih baik kuserangnya terlebih dahulu.
Ah, bakal hebat akibatnya.
Ilmu Mayangga Seta adalah ilmu sakti . ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Ilmu itu
diperun-tukkan apabila menghadapi musuh banyak. Gerakannya gesit luar biasa
dan perubahan-nya sukar diduga. Dahulu paman gurunya: Bagus Kempong dan
Suryaningrat pernah menggunakan tatkala menghadapi Iaskar Pangeran Bumi
Gede. Hasilnya benar-benar mengejutkan lawan. Sekarang ilmu sakti itu berada di
tangan Sangaji yang memiliki tenaga sakti melebihi tujuh pendekar sakti. Per-
bawanya tidak selisih daripada berada di tangan penciptanya sendiri.
Ternyata pergelangan tangan mereka terda-pat bentong merah, tetapi sama sekali
tak berdarah. Mereka kagum berbareng dengan rasa terima kasih. Dalam hati
mereka mengakui bahwa Sangaji tidak berniat jahat. Sebab apabila dikehendaki,
dengan bukti bentong merah itu ia dapat menguntungkan pergelangan tangan
mereka dengan menambah tenaga tekanan.
Seperti diketahui, seluruh lapangan penuh dengan empat belas kelompok yang
masing-masing membentuk Jala Sutra Inderajaya. Ontuk mengalahkan mereka,
Sangaji harus melawannya dengan cara ia mempermainkan tujuh orang di dekat
batu besar. Tetapi hal itu berarti pula bahwa ia harus bisa menjadi empat belas
orang.
Betapa mungkin!
Tetapi ilmu sakti Sangaji adalah ilmu anu-gerah Raja Jawa yang pertama kali. Hidup
pada tahun 3100 tahun sebelum Masehi. Raja itu adalah leluhur nenek moyang
seluruh Nusantara. la dikabarkan Hyang Tunggal sendiri yang menjelma sebagai
manusia untuk menyebarkan tata peradaban. Maka ilmu sakti Sangaji tidak dapat
diukur dengan akal manusia.
Seperti kilat ia terbang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam sekejap saja barisan
Jala Sutra Inderajaya menjadi kalut dan pecah berantakan, seperti tak terpifnpin
lagi.
Melihat kekalutan itu, Atang Mundingsari segera memberi tanda agar berhenti
bergerak dan berpencaran berkelompok-kelompok.
Katanya dalam hati, benar-benar tangguh dia. Kalau dia sampai terluka di
tanganku, sungguh sayang.
Ilmu Kumayan Jati bersifat menggempur, sedangkan Pancawara menyapu tak ubah
badai di pegunungan yang sebentar datang dan sebentar pula lenyap tiada
meninggalkan bekas. Ilmu sakti Sangaji sudah berada di puncak kesempurnaan
yang dapat mengatur tenaga saktinya tepat seperti kemauannya. Memukul dengan
tangan berbareng yang menggunakan dua macam pukulan yang berbeda sudah sa-
ngat sukar dilakukan seseorang. Tapi dengan enak saja, Sangaji bahkan bisa
merubah dua macam pukulan yang berbeda itu dengan sekaligus. Tangan kirinya
yang melontarkan pukulan Pancawara tiba-tiba dipindah ke tangan kanan.
Sedangkan ilmu Kumayan Jati yang berada di tangan kanan dipindahkan ke tangan
kiri dengan memukulkan pula ilmu sakti Mayangga Seta. Peristiwa demikian ini,
belum pernah terjadi dalam sejarah para pendekar. Dan Sangajilah satu:satunya
orang yang dapat melakukan demikian.
Terpelesatnya kedua barisan dengan sekali-gus itu tak dapat dicegah oleh Atang
Man-dingsari. Dia sendiri bahkan menderita luka akibat kena benturan mereka.
Dadanya terasa melesak ke dalam dan dengan mata ber-kunang-kunang ia
mencoba menguasai diri.
Sangaji menggunakan kesempatan itu. Cepat ia meloloskan diri dari rantai penge-
pungan yang sudah tersibak bobol. Dengan seluruh kekuatannya, ia memanjat
dinding batu. Sebentar saja ia lenyap dari penglihatan.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara lon-ceng tanda bahaya. Tahulah Sangaji,
bahwa lonceng tanda bahaya sudah ditabuh semen-jak tadi. Segera ia mendongak
ke atas. Melihat nyala api bertambah besar, ia berpikir: "Siapakah yang berani
memasuki halaman Markas Besar Himpunan Sang-kuriang? Kalau tidak tangguh,
mustahil bisa berada di sana."
Seperti kemasukan setan, ia memburu. Di halaman belakang gedung Markas Besar
sudah penuh berkelompok-kelompok orang yang bertempur dari tempat satu ke
tempat lain. Suara gemerincing senjata dan teriak mengaduh kesakitan bukan main
ramainya. Namun ia tak mengindahkan semuanya itu. Melihat bahwa di dalam
halaman gedung berkelebat beberapa orang, terus saja ia lang-sung memasuki.
Pendengarannya yang-tajam mendengar suatu pertarungan sengit antara jago-jago
kelas utama.
Api sedang membakar gedung. Namun yang berada di dalam tiada seorangpun
yang keluar untuk berusaha memadamkan. Apakah mereka kena kurung musuh?
pikirnya.
Tatkala itu api sudah mulai menjilat dinding samping. Bagian tengah dan depan
masih bebas. Dengan sekali menjejakkan kakinya, Sangaji melompati pagar rumah
sebelah yang sudah menjadi hangus.
Heran Sangaji menyaksikan pertempuran itu. Pikirnya, dari pihak manakah mereka
sekalian? Sewaktu hendak mempertegas penglihatannya, tiba-tiba ia mendengar
suara angin berderu bergulungan yang datang dari dalam gedung Markas Besar.
Tahulah dia, bahwa angin itu terjadi akibat pukulan-pukulan dahsyat. Pastilah yang
bertempur di dalam gedung ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada yang berada
di luar. Tanpa ayal lagi, ia melesat memasuki gedung Markas Besar.
Dalam ruang gedung itu, terpasanglah puluhan pelita besar. Api yang sudah mulai
menjilat dinding samping, membawa asapnya masuk. Tentu saja pantulan cahaya
pelita lantas menjadi remang-remang seperti bulan kena tergulung awan hitam
yang datang ber-arak-arak.
Melihat Inu Kertapati dan Sidi Mantera dalam bahaya hati Sangaji tergoncang. Tak
peduli siapa sebenarnya musuh-musuh yang me-nyerbu gedung Himpunan
Sangkuriang itu segera ia menerjang sambil membentak: "Siapakah yang berani
memasuki ruang ini? Mundur!"
Sangaji kaget. Katanya di dalam hati, sia-pakah mereka ini? Tak mengherankan
Himpunan Sangkuriang kena pukulan keras." Terus ia melepaskan terkamannya
dan berganti dengan menyapu kaki mereka. Mereka yang sedang mengerahkan
tenaganya untuk tetap dapat berdiri tegak sama sekali tak mengira di-serang
demikian. Tak ampun lagi, tubuh mereka terbang ke udara dan menubruk pintu
depan.
Inu Kertapati dan Sidi Mantera dengan segera mengenal siapa yang datang meno-
long. Dalam hati, mereka bersyukur sekali. Namun mereka belum berani berbicara
atau bergerak dari tempatnya.
Inu Kertapati dan Sidi Mantera tidak berani melepaskan kata-kata. Mereka hanya
mem-balas mengangguk. Tapi pada saat itu, sosok bayangan berkelebat
menyerang Sangaji dari belakang. Maka tanpa memedulikan apa aki-batnya, Sidi
Mantera berteriak memperingat-kan: "Awas!"
Suatu kesiur angin dahsyat menyambar punggung Sangaji. Tahulah pemuda itu,
bahwa seorang yang memiliki ilmu sakti tinggi sedang menyerang dirinya. Heran
dia, apa sebab orang yang memiliki ilmu sakti setinggi itu menyerang dari belakang
punggung. Bukankah perbuatan demikian akan memerosotkan nilai pamornya?
Lantas saja ia tahu, bahwa orang itu pasti manusia berbudi rendah. Tanpa menoleh
ia sambut serangan gelap itu. Sekali tangannya membalik, orang itu tiba-tiba mati
kutu. Ia jatuh meliuk ke lantai seperti tangkai daun pisang kena suatu tetak.
"Bagus!" seru Sidi Mantera berbesar hati. "Kalau kau sudah datang apa arti bangsa
kur-caci-kurcaci demikian?"
Sekali melihat tahulah Sangaji, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan
berat. Sambil membungkuk ia berkata me-nyambut, "Siapakah Tuan? Apa perlu
Tuan membawa teman Tuan ke mari?"
Orang itu tertawa panjang. Sebagai balasan ia bertanya pula, "Siapakah Tuan? Apa
perlu Tuan datang ke mari?"
Mendengar suara dan gayanya, teringatlah dia kepada sang Dewaresi. Lalu
menyahut, "Aku bernama Sangaji. Kedatanganku ke mari karena diundang
beberapa sahabatku."
"Ah tak kukira, bahwa orang-orang se-macam mereka masih mempunyai seorang
sahabat seperti Tuan," kata orang itu dengan mengulum ejekan. CIsia orang itu
belum lagi mencapai empat puluh tahun. Tetapi ia berbicara seperti seorang putera
mahkota. Terhadap Sangaji yang berusia dua puluh tahunan ia membawa lagak
orang tua.
Sangaji yang selamanya tidak pandai berbicara, lantas saja berkata singkat, "Tuan
mempunyai permusuhan apa dengan Him-punan Sangkuriang sampai kalian datang
untuk menyerang dan sudah membakar ge-dungnya pula?"
"Siapakah sebenarnya kau ini? Apakah engkau kanak-kanak kemarin sore berhak
berbicara demikian terhadapku?"
"Mengapa tidak?" tiba-tiba Sidi Mantera menungkas. Pendekar ini bermulut tajam.
Lantas saja berkata lagi, "Sahabatku setidak-tidaknya seorang manusia yang tahu
diri. Sebaliknya kau adalah binatang berkaki dua. Terhadap seekor binatang macam
begitu, masakan tidak pantas saudaraku ini membuka mulut?"
Mendengar kata-kata tajam Sidi Mantera, orang itu tertawa panjang lagi. Wajahnya
sama sekali tidak berubah.
"Mengapa tidak? Aku justru ingin mendapat keterangan," kata orang itu. Dia terus
menatap wajah Sangaji.
Kala itu asap api bertambah menyesakkan napas. Di luar api mulai merembet
gedung ruang tengah. Sangaji melihat orang itu seperti tak memedulikan seolah-
olah yakin bahwa di pihaknya sudah menang. Apakah dia sengaja mengulur waktu,
pikir pemuda itu.
"Orang-orang ini, aku yang membawa ke mari. Jika kau dapat mengusir aku ...
tanpa kau perintah mereka semua akan mengam-puni sahabat-sahabatmu yang
tiada gunanya," kata orang itu.
Sangaji tak mau menyia-nyiakan waktu dengan adu mulut. Dengan membalikkan
ta-ngan ia mengibas. Sederhana saja tampaknya, tapi orang itu mendadak saja
tergeser dari tempat berdirinya.
Sangaji terkesiap. Katanya dalam hati, aku sudah mengerahkan tenaga sakti empat
bagian. Tapi orang ini hanya tergeser dari tem-patnya saja. Tak kukira, di sini aku
akan berte-mu dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi.
Sangaji ingin mencoba tenaga orang itu. Maka ia sengaja menyongsong pukulan itu
dengan suatu pukulan pula. Terbentur suatu pukulan dahsyat dari luar, getah sakti
Dewa-daru lantas saja bekerja dengan sendirinya. Tangan orang itu terus terhisap.
Tahulah Sangaji, bahwa orang itu sedang mengerahkan tenaga saktinya yang
paling tinggi untuk melawan tenaga gempurannya. Kalau sinar ungu itu sampai
timbul tiga atau empat kali, orang itu akan menderita luka berat.
Sangaji adalah seorang pemuda yang ber-hati mulia. Mengingat ia belum kenal
orang itu dan untuk mencapai ilmu setinggi demikian tidakiah gampang, ia tak
sampai hati hendak menghancurkannya. Tetapi justru berhati mulia demikian,
hampir saja ia menjadi kor-ban. Sebab setelah ia melepaskan tenaga hi-sapannya,
mendadak orang itu meloncat mundur sambil menyemburkan suatu gum-palan
asap.
"Awas! Racun!" seru Sidi Mantera dan Inu Kertapati hampir berbareng.
Sangaji berkesiap. CIntung di dalam tubuh-nya mengalir getah sakti Dewadaru yang
kebal dari segala macam racun di dunia. Begitu kepalanya menjadi pusing, getah
sakti meraba ke atas dan bersama-sama dengan sari-sari madu Tunjungbiru
memusnahkan racun yang akan memasuki tubuhnya.
Sangaji tak menyangka buruk. Ia hanya me-ngira, orang itu hendak memundurkan
diri. Tak tahunya begitu berada di ambang pintu, tangan-nya mengibas. Suatu
bubuk racun berterbangan bergulungan dengan asap api yang makin menebal.
Sebagai akibatnya para pendekar Himpunan Sangkuriang roboh tak berkutik.
Sangaji terkejut. Cepat ia menghampiri para pendekar yang roboh kena racun itu.
Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia menyalurkan tenaga getah saktinya ke tubuh
Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Tatkala hendak berpindah menolong Kamarudin dan
yang lain, Inu Kertapati berkata: "Jangan hiraukan! Lekas bantulah pemimpin-
pemimpin kita! Mereka -kena racun pula, sehingga entah bagaimana keadaan
mereka...."
"Apakah ... apakah dia ... yang meracun Ia tergagap-gagap karena teringat
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
"Benar!" tungkas Inu Kertapati. "Dialah bangsat yang menyelinap dari belakang
pung-gung. Ah, entah pemimpin-pemimpin kita mampu membasmi tujuh aliran
yang datang menyerang kita, entah tidak."
Darah ksatria Sangaji terbangun. Semenjak berguru semua pekerti kepada Wirapati
dan Jaga Saradenta, ia diajar membenci kelicikan. Tak peduli pihak mana yang
salah, tapi pihak penyerang terang telah menggunakan racun. ltulah suatu
perbuatan licik yang patut dikutuk. Maka berdirilah dia dengan serentak.
Waktu itu mereka yang mengepung sudah meninggalkan ruang berbareng dengan
kabur-nya orang keningrat-ningratan tadi. Mendengar bunyi gemertak api serta
suara gemerincing pedang di luar paseban, Sangaji ingin sekali ter-bang memburu.
Tapi mengingat Kamarudin dan beberapa orang pendekar masih saja belum
berkutik, ia jadi berbimbang-bimbang. Rupanya Sidi Mantra mengenal watak
Sangaji yang senantiasa beragu karena kemuliaan hatinya. Maka dengan suara
parau ia berseru, "Jangan hiraukan kami! Kami bisa menolong sendiri! Saudara
Sangaji! Mati dan hidupnya Himpunan kami terletak dalam tanganmu."
Seperti kena hentak, Sangaji terus menjejak tanah. Tubuhnya melayang seperti
terlontarkan berkat pemantulan ilmu saktinya yang luar biasa. Mendadak selagi dia
terapung di tengah udara, berkelebatlah sesosok bayangan yang datang dari luar.
Siapa dia, kuranglah terang. Sebab gelap malam tidaklah secerah siang hari.
Sangaji waktu itu hendak mengelak meng-hindari. Tapi bayangan itu tiba-tiba
menyerang. Secara wajar ia menangkis. Hebat akibatnya. Dengan memekik,
bayangan itu ter-lontar kembali. Tubuhnya menubruk tiang se-belah kanan yang
sudah digerayangi api. Dan gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang
berguguran runtuh berantakan.
Sangaji terkesiap. Siapakah orang itu, yang terpental kena tenaga tangkisannya?
Meski-pun tenaga tangkisan itu berasal dari tenaga pantulan kaki tatkala ia melesat
ke paseban, namun hebatnya tak terkatakan.
Dahulu saja tenaga sakti Kebo Bangah sebelum jadi berlipat ganda sudah dapat
mere-mukkan batu pegunungan. Apalagi tenaga sakti Sangaji yang jauh melebihi
tenaga Kebo Bangah. Pantasnya jangankan mengenai tubuh manusia yang terdiri
dari darah dan daging, batu pegunungan saja dapat sumpyur berantakan. Tapi
ajaib! Orang itu hanya jatuh bergulungan ke tanah setelah menubruk tiang gedung.
Kemudian berdiri sempoyongan dengan hanya menyemburkan gumpalan darah.
Sedang, tubuhnya tetap utuh. Siapakah dia? Apakah tubuhnya lebih tangguh
daripada batu pegunungan?