You are on page 1of 13

BRONKOPNEUMONIA

Pendahuluan
Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut,
biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi
sebagian dari salah satu atau kedua paru. Sedangkan bronkopneumonia
merupakan peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar
membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal. Bronkopneumonia sebagai penyakit yang
menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk
pneumonia yang terletak pada alveoli paru. Bronkopneumonia lebih sering
menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka
masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab
tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita
bronkopneumoniaberulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi
penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga
memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia,
pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna.

Etiologi
Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteri-
bakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan :
1. Inhalasi melalui jalur trakeobronkial.
2. Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial.
Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus
bronkopneumonia adalah :
● Bakteri gram positif
1. Pneumococcus
2. Staphylococcus aureus
3. Streptococcus hemolyticus
● Bakteri gram negatif
1. Haemophilus influenzae
2. Klebsiella pneumonia
Masing-masing bakteri tersebut menyebabkan bronkopneumonia melalui berbagai
mekanisme yang berbeda.
● Bakteri Gram Positif
1. Pneumococcus
Merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan yang
bertanggung jawab atas lebih dari 90% kasus bronkopneumonia pada masa kanak-
kanak. Pneumococcus jarang yang menyebabkan infeksi primer, biasanya
menimbulkan peradangan pada paru setelah adanya infeksi atau kerusakan oleh
virus atau zat kimia pada saluran pernafasan.
Angka kejadiannya meningkat atau paling sering terjadi pada akhir musim dingin
dan awal musim semi. Insidens tertinggi pada masa kanak-kanak usia 4 tahun
pertama kehidupan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyebarannya yang
cenderung meningkat di dalam suatu populasi yang relatif tertutup (seperti taman
kanak-kanak, rumah penitipan anak).
a. Patofisiologi
Organisme ini teraspirasi ke bagian tepi paru dari saluran nafas bagian atas
atau nasofaring. Awalnya terjadi edema reaktif yang mendukung multiplikasi
organisme-organisme ini serta penyebarannya ke bagian paru lain yang
berdekatan. Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukusatau
saliva dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena adanya efek
gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan menimbulkan respon yang
khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu :
1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama)
Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi
dan bocor.
2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin dan
lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli.
3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari)
Paru-paru tampak kelabu karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di
dalam alveoli yang terserang.
4) Resolusi (7 s/d 11 hari)
Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk adalah
bercak-bercak yang difus, mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus dan
ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi
saluran-saluran nafas yang lebih kecil.
b. Gambaran Klinis
Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel
serta nafsu makan yang menurun. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39oC
atau lebih. Anak sangat gelisah, dispnea. Kesukaran bernafas yang disertai adanya
sianosis di sekitar mulut dan hidung. Tanda kesukaran bernafas ini dapat berupa
bentuk nafas berbunyi (ronki dan friction rub di atas jaringan yang terserang),
pernafasan cuping hidung, retraksi-retraksi pada daerah supraklavikuler,
interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk jarang ditemukan, tapi dapat
dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut serta sputum yang berwarna seperti
karat. Lebih lanjut lagi bisa terjadi efusi pleura dan empiema, sehingga perlu
dilakukantorasentesis sesegera mungkin. Hasil pemeriksaan fisik tergantung dari
luas daerah yang terkena. Pada perkusi bisa ditemukan adanya suara redup yang
terlokalisasi. Pada auskultasi mungkin ditemukan adanya ronki basah halus
ataupun adanya suara-suara pernafasan yang melemah. Tanpa pengobatan
biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 – 3 minggu.
c. Diagnosis
Biasanya jumlah lekosit meningkat mencapai 15.000 – 40.000/mmk
dengan jumlah sel polimorfonuklear terbanyak, sedangkan bila didapatkan jumlah
lekosit kurang dari 5.000/mmk sering berhubungan dengan prognose penyakit
yang buruk. Nilai hemoglobin bisa normal atau sedikit menurun.
Pemeriksaan sputum harus didapatkan dari sekresi batuk dalam dan aspirasi trakea
yang dilakukan dengan hati-hati. Jenis pemeriksaan berupa pemeriksaan
makroskopik, mikroskopik dan biakan. Selain itu biakan juga bisa didapatkan dari
darah atau dari cairan pleura yangdidapatkan dengan melakukan torasentesis.
Gambaran radiologis dapat berupa adanya bercak-bercakinfiltrat pada satu atau
beberapa kasus. Sangat penting untuk mendapatkan gambaran radiologis dari
resolusi sempurna, 3–4 minggu setelah semua gejala menghilang. Apabila respon
klinis yang diberikan penderita lambat, maka terdapat indikasi untuk membuat
serangkaian rontgenogram.
d. Penatalaksanaan
Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan
pneumococcussangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak,
pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000
unit/kgBB/hari secara intramuskular tanpa penyulit. Terapi ini dilanjutkan sampai
10 hari atau paling tidak sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila
didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50
mg/kgBB/hari.
Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk
mengatasidemam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan penyakit
ini. Pemberian oksigen segera untuk penderita dengan kesukaran bernafas
sebelum menjadi sianosis. Indikasi pemberian vaksin polivalen pneumococcus
polisakarida bermanfaat pada populasi penderita tertentu, misalnya penderita
dengan anemia sel sabit.
e. Prognosis
Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini pada
perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas bronkopneumonia akibat bakteri
pneumococcus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi kurang
dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah.
2. Staphylococcus aureus
Infeksi yang disebabkan oleh organisme ini merupakan infeksi berat yang
cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan, serta bila tidak segera
diobati dengan semestinya akan berhubungan dengan kesakitan yang
berkepanjangan dan mempunyai angka mortalitas tinggi. Penyakit
bronkopneumonia akibat organisme ini jarang ditemukan.
Sepeti pada infeksi pneumococcus, infeksi staphylococcus ini sering
didahului dengan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Pada
umumnya terjadi pada setiap umur, 30% dari semua penderita berumur di bawah
3 bulan dan 70% berumur di bawah 1 tahun. Epidemi penyakit ini terjadi di dalam
ruang perawatan bayi, biasanya berhubungan dengan strain-strain organisme
patologis spesifik, yang biasanya resisten terhadap berbagai antibiotika. Bayi akan
memperlihatkan penyakit dalam beberapa hari setelah dikolonisasi atau setelah
beberapa minggu kemudian. Infeksi virus pada saluran pernafasan memegang
peranan penting dalam memajukan penyebaran staphylococcus, di antara bayi-
bayi dan dalam mengubah kolonisasi menjadi penyakit.
a. Patofisiologi
Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim
misalnya hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Koagulase akan
mengadakan interaksi dengan suatu faktor plasmauntuk menghasilkan suatu zat
aktif yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan selanjutnya menyebabkan
pembentukan koagulan. Bronkopneumonia akibat organisme ini bersifat unilateral
atau lebih menonjol pada satu sisi dibandingkan dengan sisi yang lain. Ditandai
dengan daerah-daerah luas yang mengalami nekrosis perdarahan serta daerah-
daerah pembentukan rongga-rongga yang tidak beraturan. Permukaan pleura
biasanya diselubungi oleh lapisan eksudat fibropurulen tebal, sehingga
menimbulkan abses yang mengandung koloni staphylococcus, lekosit, eritrosit
dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk trombus-trombus
sepsis pada daerahdaerah yang mengalami kerusakan dan peradangan luas.
b. Gambaran Klinis
Adanya riwayat lesi-lesi kulit penderita atau anggota keluarga lain yang
disebabkan oleh staphylococcus disertai gejala-gejala infeksi saluran pernafasan
bagian atas atau bawah selama beberapa hari sampau 1 minggu. Penderita
mengalami demam bersuhu tinggi, batuk dan tanda kesukaran pernafasan seperti
takipneu, suara pernafasan yang menungkat, retraksi dada dan subkostal, nafas
cuping hidung, sianosis dan kecemasan. Pada beberapa penderita dapat
mengalami gangguan saluran cerna yang ditandai dengan muntah-muntah,
anoreksia, diare serta distensi abdomen. Pemeriksaan fisik pada awal perjalanan
penyakit, suara-suarapernafasan yang menurun, ronkhi yang tersebar dan suara-
suara pernafasan bronkhial. Bila terjadi efusi atau empiema, pada perkusi
didapatkan suara redup serta getaran-getaran suara yang berkurang pada
auskultasi.
c. Diagnosis
Diagnosis pasti dengan didapatkan adanya lekositosis terutamasel-sel
polimorfonuklear, sedangkan bila didapatkan lekopeni makaprognosisnya buruk.
Biakan didapatkan dari aspirasi trakea atau sadapan pleura. Pada cairan pleura
menunjukkan adanya eksudat dengan jumlah sel-sel polimorfonuklear berkisar
dari 300 sampai 100.000/mmk, protein di atas 2,5 g/dl dan kadar glukosa rendah
yang relatif sama dengan kadar glukosa dalam darah. Gambaran radiologis berupa
bercak-bercak dan terbatas dalam perluasannya dan melibatkan seluruh lobus
paru. Perkembangan dari bronkopneumonia menjadi efusi atau empiema sangat
mengarahkan petunjuk pada suatu pneumonia staphylococcus.
d. Penatalaksanaan
Terapi pilihan yaitu dengan pemberian methisilin dengan dosis 50 – 70
mg/kgBB/6 jam secara intravena. Bila dari biakan didapatkan staphylococcus
positif maka methicilin dihentikan, kemudian diberikan penisilin G dengan dosis
25.000-50.000 unit/kgBB/6 jam secara intravena. Cefuroxime diberikan sebagai
obat tunggal efektif untuk bronkopneumonia dengan dosis 75 mg/kgBB/hari.
Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian oksigen
disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan
kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase bisa
dilepaskan. Hal ini dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam
rongga toraks lebih dari 5-7 hari.
e. Prognosis
Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan
penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10-30% dan bervariasi
dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita,
pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai. Semua
penderita dengan hasil biakan staphylococcus yang positif sebaiknya harus diuji
terhadap kemungkinan fibrosis kistik dan terhadap penyakit defisiensi imunologis.
3. Streptococcus hemolyticus
Streptococcus grup A paling sering mengakibatkan infeksi traktus
respiratoriusbagian atas, tapi kadang juga dapat menimbulkan infeksi ke daerah-
daerah lain tubuh termasuk traktus respiratorius bagian bawah. Penyakit ini paling
sering ditemukan pada anak berumur 3-5 tahun dan jarang dijumpai pada bayi-
bayi. Penyakit ini sering timbul dengan dipermudah oleh adanya infeksi-infeksi
virus terutama eksantema-eksantema dan influenza epidemis.
a. Patofisiologi
Infeksi traktus respiratorius akibat bakteri ini menimbulkan terjadinya
trakeitis, bronkiolitis yang selanjutnya menjadi bronkopneumonia. Lesi-lesi
terjadi pada mukosa trakeobronkial menjadi nekrosis disertai dengan
pembentukan ulkus-ulkus yang tidak beraturan dan adanya sejumlah besar
eksudat, edema dan perdarahan yang terisolasi. Proses ini kemudian menyebar
luas ke sekat-sekat antar alveolus dan pembuluh-pembuluh limfonodi, yang
selanjutnya secara limfogen menyebar ke mediastinum dan hilus dan
mencapaipermukaan pleura dan menjadi pleuritis. Eksudat ini kandungan
fibrinnya lebih sedikit bila dibanding dengan eksudat yang diakibatkan oleh
pneumococcus.
b. Gambaran Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan bronkopneumonia
oleh pneumococcus. Awalnya terjadi secara tiba-tiba yang ditandai demam tinggi,
menggigil, tanda-tanda kesukaran bernafas serta kadang-kadang adanya
kelemahan badan
c. Diagnosis
Adanya lekositosis seperti pada kasus pneumococcus. Selain ituditegakkan
dari kenaikan titer antistreptolisin serum. Biakan bakteri ini positif didapatkan
dari hapusan tenggorokan, sekresi nasofaring, tapi yang lebih positif lagi
ditemukannya bakteri ini dalam cairan pleura, darah atau dari cairan aspirasi paru.
Pada gambaran radiologis didapatkan bronkopneumonia difusyang disertai efusi
pleura yang luas, kaang bisa terlihat suatu adenopati di daerah hilus paru-paru.
d. Penatalaksanaan
Obat pilihan yang diberikan adalah penisilin G dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari. Awal pemberiannya secara parenteral, kemudian disempurnakan
dengan pemberian oral selama 2-3 minggu setelah terlihat adanya kemajuan
klinis. Cefuroxime bisa diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan dengan dosis
75 mg/kgBB/hari, ini merupakan terapi yang efektif dan sebaiknya dilanjutkan
selama 10 hari. Bila pada penderita sudah terjadi empiema, maka harus dilakukan
torasentesis untuk tujuan penegakan diagnosa dan mengeluarkan cairan supaya
paru-paru dapat kembali mengembang secara optimal.
e. Prognosis
Angka mortalitas dan morbiditas menurun setelah pengobatan dengan antibiotika
yang sesuai segera diberikan. Selebihnya penyebaran penyakit selanjutnya jarang
terjadi.
● Bakteri Gram Negatif
1. Haemophilus influenzae
Infeksi yang serius akibat bakteri patogen ini lebih banyak ditemukan pada
anak-anak dan sangat berhubungan dengan adanya riwayat meningitis,otitis
media, infeksi traktus respiratorius dan epiglotitis. Organisme patogen yang sering
ditemukan adalah Haemophilus influenzae tipe B dan termasuk bakteri gram
negatif.
a. Patofisiologi
Penyebaran dari infeksi di tempat lain adalah secara hematogen. Daerah
yang terinfeksi memperlihatkan adanya reaksi peradangan dengan sel-sel lekosit
polimorfonuklear ataupun sel-sel limfosit disertai dengan penghancuran sel-sel
epitel bronkiolus secara meluas. Peradangan ini selanjutnya menimbulkan edema
yang disertai dengan perdarahan.
b. Gambaran Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan gambaran klinis
yang diakibatkan oleh pneumococcus. Batuk hampir selalu dijumpai tapi mungkin
tidak produktif. Pada penderita di sini juga dijumpai adanya demam serta tanda
kesukaran bernafas. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan suara redup yang
terlokalisasi saat perkusi serta adanya suara pernafasan yang tubuler saat
auskultasi.
c. Diagnosis
Adanya biakan bakteri ini yang memberikan arti positif. Kultur didapatkan
dari darah, cairan pleura maupun dari aspirasi paru yang memperlihatkan adanya
lekositosis sedang disertai dengan limfopeniarelatif. Selain itu bisa pula dengan
pemeriksaan elektroforesis imunologis berlawanan (counter
immunoelectrophoresis) pada sekresi-sekresi trakea, darah, air kemih dan cairan
pleura untuk menegakkan diagnosis lebih dini.
d. Penatalaksanaan
Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100
mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol ini dikatakan efektif karena obat sangat
aktif mengatasi hasil produksi bakteri ini yaitu berupa beta laktamase dan tidak
menimbulkan efek pada cairan serebrospinal serta memberikan efek bakterisidal
yang lebih bagus dibanding dengan ampicillin atau cefomandole.
e. Prognosis
Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri
penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun
apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal tersebut
akan memperburuk prognosisnya.
2. Klebsiella pneumoniae
Organisme ini termasuk gram negatif yang ditemukan pada traktus
respiratorius dan traktus gastrointestinal pada beberapa anak sehat. Organisme ini
jarang menimbulkan infeksi pada anak-anak. Infeksi akibat Klebsiella
pneumoniae ini bisa timbul sebagai kasus sporadis pada neonatus. Banyak bayi
mengandung organisme ini dalam nasofaring mereka tanpa memperlihatkan
adanya tanda-tanda sakit klinis hanya sesekali saja seorang bayi mengalami sakit
berat. Bahan-bahan yang menyebarkan infeksi sehingga menularkan adalah
peralatan yang dipakai di dalam ruang pemeliharaan bayidan alat pelembab udara
sebagai sumber-sumber utama infeksi nosokomial dengan organisme tersebut.
a. Patofisiologi
Infeksi nosokomial yang timbul dari aspirasi orofaringeal. Bakteri ini
memasuki alveoli melalui peralatan yang dipakai dengan kecenderungan merusak
dinding alveolar. Daerah yang terinfeksi benar-benar mengalami nekrosis disertai
dengan adanya sejumlah pus yang banyak dan bahkan jaringan setempat sudah
fibrosis.
b. Gambaran Klinis
Keadaan pasien akibat infeksi Klebsiella pneumoniae ini adalah kekakuan
yang multipel pada onset yang mendadak, demam, batuk yang produktif, nyeri
pleuritis dan kelemahan yang tiba-tiba, serta dapat terjadi hemoptisis. Pada
pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya suara redup saat perkusi dan adanya
ronki basah kasar saat auskultasi akibat banyaknya sekresi pus pada kavitas paru.
c. Diagnosis
Ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis dengan gambaran adanya
infiltrasi pada lobus paru dan pleura-pleura yang menonjol. Kultur bakteri yang
positif didapatkan dari darah, pus di trakea serta hasil aspirasi paru.
d. Penatalaksanaan
Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat
dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Kanamisin
merupakan obat pilihan yang digunakan pada neonatus. dosis yang digunakan 15-
20 mg/kgBB/hari IM setiap 8 jam selama minimal 10-14 hari. Terapi yang
diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru. Bila
sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi pengembangan
parunya (Rahmawati dan Kurniawati, 2007).
Anisa Rahmawati (2006) & Andika Dessy Kurniawati (2007)
http://72.14.235.132/search?q=cache:ZL8wu9Rnn7EJ:fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php%3FattId%3D1494%26page
%3DAktifitas+bronkopneumonia&hl=en&ct=clnk&cd=2

HIPOALBUMINEMIA

Pendahuluan

Albumin merupakan protein serum dengan jumlah paling besar memiliki


beberapa fungsi penting :
1. Albumin menjaga tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80 % dan
merupakan 50 % dari seluruh protein tubuh. Jika protein plasma khususnya
albumin tidak dapat lagi menjaga tekanan osmotic koloid akan terjadi
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik yang akan menyebabkan terjadinya
edema
2. Albumin berfungsi sebagai transport berbagai macam substasi termasuk
bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormone, dan obat-obatan. Salah satu
konsekuensi dari hipoalbumin adalah obat yang seharusnya berikatan dengan
protein akan berkurang, di lain pihak obat yang tidak berikatan akan
meningkat, hal ini akan meningkatkan kadar obat dalam darah.
3. Perubahan pada albumin akan menyebabkan gangguan fungsi platelet
Kadar normal albumin dalam darah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan jumlah total
300-500 g. sintesis terjadi hanya di sel hati dengan produksi sekitar 15 g/ hari
pada orang sehat, tetapi jumlah yang dihasilkan bervariasi signifikan pada
berbagai tipe stress fisiologis. Waktu paruh albumin sekitar 20 hari, dengan
kecepatan degradasi 4 % per hari.
Hipoalbumin merupakan suatu kondisi dimana kadar albumindalam serum
darah rendah. Hipoalbuminemia merupakan masalah yang sering dihadapi pada
orang dengan kondisi medis akut atau kronik. Pada saat masuk rumah sakit sekitar
20 % pasien sudah menderita. Kadar albumin darah yang rendah menjadi
prediktor penting berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Pada penelitian
meta-analisis didapatkan setiap penurunan albumin darah sebesar 10 g/L, angka
mortalitas meningkat 137 % dan morbiditas 89%

Etiologi
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin,
sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein,
peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut
maupun kronis.
1. Malnutrisi protein
Asam amino diperlukan dalam sintesa albumin, akibat dari defesiensi intake
protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada
sintesis albumin dalan sel hati.
2. Sintesis yang tidak efektif
Pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena
berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penurunan aliran darah portal ke
hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati.
3. Kehilangan protein ekstravaskular
Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Dapat terjadi
kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilangan albumin juga dapat terjadi
pada pasien dengan luka bakar yang luas.
4. Hemodilusi
Pada pasien ascites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan penurunan
kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau meningkat. Bisanya terjadi
pada pasien sirosis hepatis dengan ascites
5. Inflamasi akut dan kronis
Kada albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal dalam
beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan
cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis
(infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui
mekanisme berikut:
1. Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke
ruang ekstravaskular)
2. Peningkatan degradasi albumin
3. Penurunan sintesis albumin (TNF-? yang berperan dalam penuruanan trankripsi
gen albumin)

You might also like