You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Transportasi merupakan komponen utama dalam sistim hidup dan kehidupan, sisitim
pemerintahan, dan sistim kemasyarakatan. Kondisi sosial demografi wilayah memiliki pengaruh terhadap
kinerja transportasi di wilayah tersebut. Tingkat kepadatan penduduk akan memiliki pengaruh signifikan
terhadap kemampuan transportasi melayani kebutuhan masyarakat. Di perkotaan , kecendrungan yang
terjadi adalah meningkatnya jumlah penduduk yang tinggi karena tingkat kelahira ataupun tingkat
urbanisasi. Tingkat urbanisasi berimplikasi pada semakin padatnya baik secara langsung maupun tidak
langsung mengurangi daya saing dari transportasi wilayah (Susantoro dan Parikesit, 2004:14)

Kerumitan persoalan itu menyatu dengan variable pertambahan jumlah penduduk yang terus
meningkat, jumlah kendaraan bermotor yang bertambah melebihi kapasitas jalan, dan perilaku
masyarakat yang masih mengabaikan peraturan berlalu lintas dijalan raya. Kegagalan sistim transportasi
mengganggu perkembangan wilayah/kota, mempengaruhi efisiensi ekonomi perkotaan bahkan kerugian
lainnya. Isu-isu ketidaksepadanan misalnya dapat pada maslah social, kemiskinan dan kecemburuan
social.

Dampak dari kegagalan sistim transportasi antara lain pembangunan yang menyingkirkan
masyarakat akibat pembebasan lahan, perambahan ruang-ruang jalan oleh pedagang kaki lima,
penggunaan ruang jalan secara illegal untuk lahan parkir, dan makin terpinggirkannya angkutan-angkutan
tradisional seperti becak dan semacamnya yang berpotensi menciptakan kemiskinan kota. Kemiskinan
telah menjerat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akibat dari sistim transportasi yang tidak
mampu melindungi mereka.

1.2. TUJUAN PENULISAN


Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satunya untuk memahami akan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam ruang lingkup ekonomi industry, khususnya industri angkutan
darat.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi membutuhkan jasa transportasi yang sangat memadai. Tanpa
adanya sarana transportasi yang mendukung, maka tidak dapat diharapakan tercapainya hasil yang
memuaskan dalam mengembangkan ekonomi disuatu negara. Untuk tiap tingkatan
pengembangan/pertumbuhan ekonomi dari suatu negara diperlukan kapasitas angkutan yang optimum.
Namun perlu diperhatikan bahwa penentuan kapasitas transportasi dan tingkatan investasinya tidak
merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Semoga saja nantinya masalah-masalah tersebut dapat
diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN TRANSPORTASI


Transportasi berasal dari bahasa Latin, yaitu Transpotare dimana Trans berarti seberang dan
Portare berarti mengangkut. Jadi transportasi berarti mengangkut atau membawa (sesuatu) kesebelah
lain atau suatu tempat ketempat lainnya. Transportasi dapat didefinisikan sebaagai usaha dan kegiatan
mengangkut atau membawa barang atau membawa penumpang dari suatu tempat ketempat lainnya.

Untuk setiap bentuk transportasi terdapat empat unsur pokok transportasi, yaitu jalan, kendaraan
dan alat angkutan, tenaga penggerak dan terminal. Ahmad Munawar menjelaskan dalam bukunya bahwa
ada lima unsur pokok dalam sistim transportasi, yaitu:

 Orang yang membutuhkan


 Barang yang dibutuhkan
 Kendaraan sebagai alat angkut
 Jalan sebagai prasarana angkutan
 Organisasi sebagai pengelila angkutan

Pengangkutan atau pemindahan orang atau barang dengan transportasi adalah untuk mencapai
tujuan dan menciptakan utilitas atau kegunaan dari barang yang di angkut. Utilittas yang dapat diciptakan
oeh transportasi atau pengangkutan tersebut khususnya untuk barang yang di angkut ada dua, yaitu (1)
utilitas tempat dan (2) utilitas waktu.

A. Utilitas Tempat (Place Utility)

2
Adalah kenaikan nilai ekonomi atau nilai kegunaan dari suatu komoditi dengan
menganggkutnya dari suatu daerah, dimana barang tersebut mempunyai kegunaan yang kecil
ketempat dimana barang tersebut mempunyai kegunaan yang lebuh besar.

Dalam hubungan ini, utilitas tempat yang diciptakan biasanya diukur dengan uang yang pada
dasar nya merupakan perbedaan daru harga barang tersebut pada tempat dimana barang itu
daihasilkan atau dimana utilitasnya rendah untuk dipindahkan kesuatu tempat dimana barang
tersebut dibutuhkan atau mempunyai utilitas tinggi dalam memenuhi kebutuhan manusia.

B. Utiltas Waktu (time utility)

Transportasi akan menyebabkan terciptanya kesanggupan dari barang untuk memenuhi


kebutuhan manusia dengan menyediakn barang bersangkutan tidak hanya dimana mereka
dibutuhkan, tapi juga pada waktu tepat bilamana diperlukan. Hal ini adalah sehubungan dengan
terciptanya yang disebut dengan utilitas waktu. Utilitas waktu berarti dengan transportasi tersebut
akan dapat diusahakan agar barang-barang dapat dipindahkan scepatnya tepat pada waktunya.

Kemudian, transportasi dapat diklasifikasikan menurut macam atau modelnya yang dapat ditinjau
dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dan dari suduy teknis
serta alat angkutnya.

 Dari segi barang yang diangkut dibagi tiga, yaitu:


a. Angkutan umum (passenger)
b. Angkutan barang (goods)
c. Angkutan pos (mail)
 Dari segi geografis transportasi dibagi enam, yaitu:
a. Angkutan antar benua
b. Angkutan antar continental
c. Angkutan antar pulau
d. Angkutan antar kota
e. Angkutan antar daerah
f. Angkutan antar dalam kota
 Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya transportasi dapat dibagi menjadi enam bagian,
yaitu:
a. Angkutan jalan raya atau highway transportation (road transportation) seperti
penganggkutan dengan menggunakan truk, bus, maupun sedan.
b. Pengangkutan rel (reil transportation) yitu angkutan kereta api, trem listrik, dan
sebagainya. Penganggkutan jalan raya atau rel kadang-kadang digabungkan dalam
golongan yang disebut rail and road transportation atau land transportation
(transportasi darat).
c. Pengangkutan melalui air dipedalaman (inland transportation), seperti pengangkutan
sungai, kanal, danau, dan sebagainya.
d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkut
atau mengalirkan minyak tanah, bensin, dan air minum.
e. Pengangkutan laut atau samudra (ocean transportation), yaitu angkutan dengan
menggunakan kapal laut yang mengarungi samudra.

3
f. Pengangkutan udara (transportation by air), yaitu pengangkutan dengan
menggunakan kapal terbang melalui udara.

Klasifikasi transportasi dapat ditinjau dari ketiga sisi atau unsure sebagaimana yang
dikemukakan diatas. Namun, seringkali orang mengklasifikasikannya dengan empat unsure transportasi
yaitu jalan, alat angkutan, tenaga penggerak, dan terminal.

2.2. KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF DAN PERSAINGAN USAHA


Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan
oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan
oleh pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi
ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif  terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif
jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP
No. 41 Tahun 1993 (pasal 49). Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu
yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan
Pasal 49). Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.

Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah,
tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi
operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga
dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal sebesar tarif batas
bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah
akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang
besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan
keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya  masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka
panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.

Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif
batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang
dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan harga diantara
mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasarbagi konsumen.

Berdasarkan analisis terhadap permasalahan angkutan kota dan kebijakan penetapan tarif
taksi maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Regulasi Bersifat Netral Terhadap Isu Persaingan Usaha

Secara keseluruhan Regulasi dalam Industri Angkutan Darat telah mengatur industri
tersebut dengan cukup baik, dengan adanya mekanisme perizinan, evaluasi dan sanksi yang
dipegang Pemerintah. Secara umum regulasi tersebut bersifat netral dan tidak bertentangan
dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun

4
1999.
2. Kartel Dalam Penetapan Tarif Taksi Di Beberapa Daerah Di Indonesia

KPPU menemukan adanya penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha di DKI Jakarta dan
Semarang. Penetapan tarif oleh kumpulan pelaku usaha merupakan bentuk kartel yang
dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha akan
menghilangkan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi harga dan hanya
melindungi pelaku usaha dengan kualitas buruk untuk dapat bertahan dalam industri tersebut.

Mengingat beragamnya kebijakan pengaturan taksi di berbagai daerah, maka Pemerintah


Pusat diharapkan segera mengambil kebijakan untuk menyeragamkan kebijakan tersebut, dengan
memberikan penekanan pada kebijakan untuk :

1.  Hanya menetapkan tarif batas atas dalam kebijakan tarif taksi, yang lebih ditujukan untuk
melindungi konsumen dari eksploitasi operator taksi. Mencabut kebijakan tarif batas bawah yang
akan berpotensi menghambat pelaku usaha yang bisa menawarkan tarif yang terjangkau oleh
masyarakat.
2.  Menetapkan standar minimal kualitas pelayanan taksi dengan penindakan yang tegas
terhadap para pelanggarnya. 
3.  Melarang secara tegas Organda untuk menetapkan tarif, karena akan menciptakan kartel
yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No
5 Tahun 1999.

Pemberian saran dan pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kebijakan


pengaturan tarif taksi di berbagai daerah agar tetap sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang
sehat. Dengan demikian, operator taksi sebagai pelaku usaha dan pengguna taksi sebagai
konsumen akan sama-sama diuntungkan.

Temuan KPPU

KPPU telah melakukan survey ke berbagai kota terkait dengan tarif taksi. Adapun temuan KPPU
mengenai tarif taksi adalah sebagai berikut : 

Tabel 1. Mekanisme Penetapan Tarif Taksi di Berbagai Kota


 
  Medan DIY Bandung Semarang Makassar DKI Jakarta
Tarif Taksi satu tarif satu tarif Batas atas dan Batas atas, satu tarif Batas atas, batas
batas bawah. batas bawah. Tidak ada tarif
Tidak ada tarif bawah. antara.
antara. Tidak ada
tarif antara.
Ditetapkan Pemda Pemda Pemda Organda Pemda Tarif batas atas oleh

5
Oleh Pemda, Batas Bawah
oleh Organda

Sumber : Survey KPPU, 2008

Tabel tersebut menunjukkan bahwa mekanisme penetapan tarif taksi di berbagai daerah berbeda-
beda. Sebagian menerapkan satu tarif seperti di Medan, Yogyakarta dan Makassar, sedangkan sebagian
yang lain menetapkan tarif batas atas dan bawah (DKI Jakarta dan Yogyakarta). Di Semarang, tarif batas
atas dan bawah seluruhnya ditetapkan oleh Organda, sedangkan di DKI Jakarta tarif batas atas ditetapkan
Pemda dan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organda.

Dalam Keputusan Menteri 35 tahun 2003, pelayanan angkutan taksi merupakan pelayanan
angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan (Pasal
29). Sementara menurut Pasal 29 ayat (2), pelayanan angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri – ciri
sebagai berikut :

a. Tidak terjadwal

b. Dilayani dengan mobil penumpang umum jenis sedan atau wagon dan van yang memiliki
konatruksi seprti sedan sesuai standar teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

c. Tariff angkutan berdasarkan argometer

d. Pelayanan dari pintu ke pintu

2.3. PERAN PEMERINTAH DALAM USAHA PENGEMBANGAN


TRANSPORTASI NASIONAL
Menurut Murphy Hutagalung, Untuk benahi transportasi darat nasional harus 
mendasar.Sistemnya diperbaiki, UU-nya dibenahi dan disempurnakan. Selain itu, dibutuhkan reformasi
total di sektor transportasi nasional. “Jika tidak, kondisi Indonesia seperti Jakarta,  Medan, Bandung,
Surabaya dan kota besar lainnya akan makin macet. Akses bagi rakyat kecil semakin berat,” menurutnya.

Saat ini, jumlah armada angkutan niaga mulai angkot, metromini (bus sedang) bus besar tinggal
60 persen yang beroperasi. Sisanya, tak bisa jalan karena sudah dikanibal (dipreteli untuk kendaraan lain).
“Data DPP Organda menyebutkan,  jumlah armada niaga nasional mencapai 9 juta unit. Tapi, tinggal 60
persen yang beroperasi di lapangan,” kilah Murphy.

Disisi lain, permintaan akan jasa transportasi darat khususnya terus meningkat. Jumlah
penumpang angkutan umum terus naik, apalagi jumlah armada yang ada justru berkurang. “Pemerintah  
harus turun tangan menyelamatkan transportasi darat ini. Paling tidak, memberikan akses kemudahan
terkait perizinan, akses pendanaan ke bank.  Yang lebih penting lagi, bagaimana bisa menurunkan beban-
beban pajak ke sektor transprortasi,

6
Jika pemerintah ingin membantu pengusaha angkutan dan transportasi umum, tambah Murphy,
bentuknya tidak harus subsidi langsung. Pemrintah juga berjanji akan memberikan subisidi BBM  untuk
transportasi umum. Tapi, sampai sekarang tidak ada hasilnya. “Yang paling bisa dilakukan pemerintah
antara lain, menghilangkan mafia suku cadang, sehigga harganya tidak berlipat-lipat. Memberikan
keringanan pajak,   seperti menghapus PPn, PPn BM, PPh dan lainnya. Jika semua itu bisa dilakukan
pemerintah, cukup membantu kelangsungan transportasi umum nasional,” tegas dia.

2.4. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM USAHA TRANSPORTASI


DARAT NASIONAL

Pungutan liar di jalan merupakan hambatan besar bagi perusahaan angkutan truk barang.
Menurut Murphy Hutagalung, Ketua Organda Pusat, pungutan liar merupakan pengeluaran
cukup besar bagi industri angkutan darat. “Kalau saja jumlah uang yang hilang itu digunakan
untuk investasi armada truk dan meningkatkan sistem transportasi, saya yakin bahwa mutu
sistem angkutan kita akan jauh lebih baik dari yang ada di negara tetangga.” (Suara Karya, 22
September, 2007). Karena truk biasanya melakukan kelebihan muatan dan supir truk sering tidak
memahami semua jenis pungutan yang diperlukan, supir merupakan sosok yang rentan terhadap
korban pungli oleh oknum polisi dan preman. Biaya ini sering dianggap sebagai uang keamanan
bagi supir truk. Akan tetapi, pemilik truk menyatakan bahwa pembayaran pungutan liar ini atau
uang bulanan masih jauh lebih murah daripada membayar biaya sesuai peraturan seperti biaya
pelanggaran batas muatan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan seluruh dunia, industri angkutan barang di
Indonesia tergolong berbiaya tinggi dan tidak efisien. Biaya yang terkait dengan prasarana, perizinan, dan
pungutan di jalan semuanya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain. Indonesia
menempati urutan ke 43 dari 150 negara dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) Bank Dunia (Bank Dunia,
2007a). Indeks ini merupakan alat pengukuran acuan capaian yang mengukur tingkat kinerja dalam
rangkaian pasokan logistik dalam satu negara. Indeks ini menempatkan Indonesia di bawah banyak
negara tetatangganya di Asia, termasuk Singapura, Malaysia, dan Thailand. Salah satu faktor yang diukur
oleh LPI adalah biaya logistik dalam negeri, yang meliputi biaya transportasi dalam negeri dan sewa
gudang.

Biaya logistik yang tinggi merupakan akibat dari kondisi penegakan peraturan yang buruk,
pungutan jalan yang tinggi, dan biaya yang terkait dengan buruknya prasarana. Biaya prasarana di
Indonesia menjadi tinggi sebagian disebabkan oleh kondisi jalan sekunder yang buruk. Sebuah survei
yang dilakukan oleh World Economic Forum telah menempatkan Indonesia pada posisi 91 dari of 131
negara dalam prasarana transportasi (The Jakarta Post, 27 February 2008). Hanya 58% dari total panjang
jalan di Indonesia diaspal, sehingga hal ini telah menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan
kendaraan yang melintasi jalan sekunder, terutama truk-truk dengan muatan berat. Sebagai perbandingan,
98,5% dari jalan di Thailand dan 80,8% di Malaysia sudah diaspal (The IRF World Road Statistics, 2006).
Walaupun kini sudah mulai pulih, Indonesia masih mengalami kondisi buruk akibat kurangnya investasi
untuk jalan selama sekitar sepuluh tahun. Setelah krisis moneter melanda Asia, pengeluaran untuk
prasarana umum turun menjadi sekitar 1% dari PDB untuk tahun 2000. Pada tahun 2007 angka ini telah
meningkat menjadi 3,4%, yang masih berada di bawah tingkat sebelum krisis, sekitar 5 – 6% dari PDB
(Bank Dunia, 2007). Secara umum, pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional dan provinsi

7
diIndonesia didanai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), sementara Dana Alokasi Umum (DAU)
mendanai pemeliharaan jalan kabupaten/kota. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia
tentang kondisi jalan dan kaitannya terhadap UKM di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Izin trayek, yang merupakan syarat untuk memasuki wilayah rute tertentu, secara hukum hanya
dikeluarkan untuk kendaraan angkutan penumpang, walaupun beberapa kabupaten dan provinsi masih
mempersyaratkan izin ini bagi perusahaan angkutan barang Karakteristik utama dari kondisi peraturan di
Indonesia adalah adanya perbedaan praktik yang terjadi di tingkat pusat dan daerah. Walaupun standar
angkutan dan mutu jalan ditentukan secara nasional, pemerintah daerah masih mengeluarkan peraturan
yang sering bertentangan atau tidak menghiraukan peraturan pusat. Sepuluh tahun yang lalu, untuk
menanggapi biaya perizinan yang tinggi di daerah, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU yang
membatasi pajak daerah dan retribusi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
1. peran dan pentingnya transportasi dalam pembangunan yang utama adalah: tersedianya barang,
stabilisasi dan penyamaan harga, penurunan harga, meningkatnya nilai tanah, terjadinya
spesialisasi antar wilayah, berkembangnya usaha skala kecil, terjadinya konsentrasi dan
urbanisasi penduduk.

2. dampak negative berkembangnya transportasi adalah; bahaya akan kehancuran umat manusia,
hilangnya sifat-sifat individual atau kelompok, tingginya frekuensi dan intensitas kecelakaan,
makin meningkatnya urbanisasi, kepadatan dan konsentrasi penduduk, dan tersingkirnya industry
kerajinan rumah tangga.

3. tujuan transportasi dalam mendukung perkembangan ekonomi nasional adalah;

 meningkatkan pendapatan nasional disertai dengan distribusi yang merata antara


penduduk, bidang-bidang usaha, dan daerah-daerah.
 Meningkatkan jenis dan jumlah barang jadi dan jasa yang dapat dihasilkan oleh para
konsumen, industry, dan pemerintah.
 Mengembangkan industry nasional yang dapat menghasilkan devisa dan dapat mensuplai
pasaran dalam negri.
 Menciptakan dan memelihara tingkatan kesempatan kerja kepada masyarakat.

4. Mobilitas berkelanjutan (sustainable mobility) menyatukan segala macam upaya untuk

8
mencapai keseimbangan biaya dan keuntungan sektor transportasi serta Perluasan kapasitas jalan
dan hambatan jalan dapat dikurangi dengan menekan permintaan yang terlalu berlebih atas
penggunaan jalan.

3.2. SARAN

You might also like