You are on page 1of 64

PEMESANAN DAN DISTRIBUSI SERTA KONTRIBUSI KONSUMSI

ENERGI DAN PROTEIN MAKAN SORE BAGI PENDERITA


PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN
(Studi Kasus di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja Bogor)

ANDRA VIDYARINI

PROGRAM KEAHLIAN MANAJEMEN INDUSTRI JASA MAKANAN DAN GIZI


DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
ii

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


2010
RINGKASAN

ANDRA VIDYARINI. 2010. Pemesanan dan Distribusi serta Kontribusi


Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore bagi Penderita Penyakit Saluran
Pencernaan (Studi Kasus di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja Bogor). Di
bawah bimbingan EKA ANDRIANI dan PUTU EKA YUDHAYANTI.

Tujuan Umum dari kajian pengamatan ini adalah mempelajari proses


pemesanan dan distribusi serta kontribusi energi dan protein makan sore pasien
penyakit saluran pencernaan. Sedangkan tujuan khusus dari penulisan Tugas
Akhir ini adalah mengetahui keadaan umum unit gizi Rumah Sakit LANUD
Atang Sendjaja, mempelajari prosedur pemesanan makan sore pada pasien
penyakit saluran pencernaan, mempelajari cara distribusi makan sore pada pasien
penyakit saluran pencernaan, menghitung kebutuhan, ketersediaan dan konsumsi
energi dan protein sehari pasien penyakit saluran pencernaan, menghitung dan
menganalisa tingkat ketersediaan dan tingkat konsumsi energi dan protein makan
sore pada pasien penyakit saluran pencernaan, menghitung kontribusi konsumsi
makan sore terhadap kebutuhan sehari pasien penyakit saluran pencernaan.
Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja, yang
terletak di Jl. Sardjiyo No.1 Semplak, Bogor. Kegiatan pengambilan data
berlangsung selama empat bulan mulai tanggal 3 Agustus sampai tanggal 13
November 2009. Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan di ruang rawat
inap kelas I, II dan III. Kasus yang diamati sebanyak 32 penderita terdiri dari
delapan orang penderita diare akut, empat orang penderita Gastritis, delapan
orang penderita Dyspepsia, dan 12 orang penderita Tifus Abdominalis. Pasien
yang diamati adalah pasien penyakit saluran pencernaan diberikan diet lambung II
dengan konsistensi lunak. Pengambilan data menggunakan dua metode, yaitu
secara primer dan sekunder.
Pemesanan makanan bagi pasien rawat inap dilakukan satu kali sehari yaitu
pada pukul 05.00 WIB. Pemesanan makanan dikelompokkan berdasarkan jenis
diet dan ruang perawatan pasien. Pemesanan makan untuk makan siang dan
makan malam disesuaikan dengan makan pagi. Perubahan jenis diet atau
penambahan pasien baru dilaporkan oleh masing-masing keperawatan melalui
telpon (on call) ke pihak instalasi gizi sehingga sering terjadi keterlambatan
dalam pemberian makanan untuk pasien baru.
Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja menggunakan sistem sentralisasi.
Saat pemorsian, petugas pemorsian menyesuaikan jenis diet dengan label yang
telah dibuat. Pelabelan dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam pemberian
jenis diet dan kegiatan distribusi kepada pasien. Waktu distribusi dari makan sore
antara pukul 16.30 – 17.00 dengan dua orang petugas distribusi.
Kebutuhan energi pasien contoh berkisar antara 2589 Kal hingga 1442 Kal.
Kebutuhan energi tertinggi terdapat pada pasien laki-laki typus abdominalis, yaitu
2589 Kal. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki postur rubuh yang lebih besar
bila dibandingkan dengan tubuh wanita. Kebutuhan energi terendah terdapat pada
iii

pasien perempuan dyspepsia, yaitu 1442 Kal. Hal ini dikarenakan dyspepsia
adalah infeksi ringan dan memilki faktor stress 1.0.
Ketersediaan energi makan sore berkisar antara 379 Kal hingga 475 Kal
dengan rata-rata 432 Kal. Ketersediaan energi makanan pokok pada tiap penyakit
saluran pencernaan sama, yaitu 180 Kal. Ketersediaan energi lauk hewani makan
sore berkisar pada 131Kal hingga 93 Kal. Ketersediaan energi lauk nabati makan
sore berkisar antara 102 Kal hingga 77 Kal. ketersediaan energi lauk nabati makan
sore berkisar antara 33 Kal hingga 78 Kal. ketersediaan energi buah berkisar
antara 11 Kal hingga 22 Kal. Tingkat ketersediaan energi tertinggi yaitu 30.1%
pada penderita diare akut laki-laki. Tingkat konsumsi tertinggi terdapat pada psien
dyspepsia dengan jenis kelamin perempuan. Kontribusi konsumsi energi dan
protein tertinggi terdapat pada pasien perempuan pada penyakit dyspepsia, yaitu
28.1%.
Ketersediaan protein berkisar antara 16.1 g hingga 22.7 dengan rata-rata
18.5 g. Ketersediaan protein makanan pokok pada tiap penyakit saluran
pencernaan sama, yaitu 3.4 g. Ketersediaan protein lauk hewani antara 7.2 g
hingga 7.8 g. Ketersediaan protein lauk nabati dan 6.8 g hingga 4.3 g.
ketersediaan protein lauk nabati makan sore antara 1.8 g hingga 3.4 g untuk
ketersediaan protein. Ketersediaan protein pada buah 0.2 g. Tingkat ketersedian
protein tertinggi terdapat pada pasien dyspepsia perempuan, yaitu 30.1%. Tingkat
konsumsi energi, yaitu 93.5% dan tingkat konsumsi protein 96.1%.
Dari 32 pasien yang diamati, kontribusi konsumsi energi dan protein makan
sore masih kurang, yaitu antara 17.0% sampai 28.9%. Hal ini dikarenakan
penyakit saluran pencernaan memiliki keluhan mual, nyeri pada ulu hati,
kembung serta rasa cepat kenyang. Keluhan ini berpengaruh pada berkurangnya
nafsu makan pada pasien.
Agar ketersediaan energi dan protein stabil, sebaiknya siklus menu berjalan
dengan baik. Selain itu, penambahan pasien sebaiknya melalui memo tertulis
dalam form penambahan pasien sehingga dapat dipertanggung-jawabkan. Pada
saat distribusi menggunakan pelabelan kembali sehingga tidak terjadi salah
pemberian makanan. Pelabelan dapat menggunakan kertas label.
iv

PEMESANAN DAN DISTRIBUSI SERTA KONTRIBUSI KONSUMSI


ENERGI DAN PROTEIN MAKAN SORE BAGI PENDERITA
PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN
(Studi Kasus di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja Bogor)

ANDRA VIDYARINI

Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar A.Md. pada
Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi

PROGRAM KEAHLIAN MANAJEMEN INDUSTRI JASA MAKANAN DAN GIZI


DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
v

2010
Judul : Pemesanan dan Distribusi serta Kontribusi Konsumsi
Energi dan Protein Makan Sore bagi Penderita Penyakit
Saluran Pencernaan.
Nama Mahasiswa : ANDRA VIDYARINI
NIM : J3F107110
Program Keahlian : MANAJEMEN INDUSTRI JASA MAKANAN DAN GIZI

Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2

Eka Andriani, SKM Putu Eka Yudhayanti, A.Md


Lettu Kes NRP 533182

Mengetahui,

Direktur Program Diploma Koordinator Program Keahlian

Prof. Dr. Ir. M. Zairin Junior, M. Sc dr. Vera Uripi, S.Ked


NIP. 19590218.198601.1.001 NIP. 19511207.198803.2.001

Tanggal disetujui:
vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Palembang pada tanggal 9 Desember


1989 sebagai putri pertama dari pasangan Bapak Ir. Indra Surya,
M.T dan Ibu Ir. Alice Yasmin. Penulis menyelesaikan
pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1995 di TK
Pembina Palembang lalu melanjutkan ke SD Kartika Jaya II
Palembang selama dua tahun lalu pindah ke SD Yayasan IBA Palembang selama
tiga tahun dan penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD Negeri 2
Labuhan Ratu Bandar Lampung pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan
ke SMPN 2 Bandar Lampung dan lulus tahun 2004. Penulis menyelesaikan
pendidikan tingkat menengah di SMA Al Kautsar Bandar Lampung dari program
IPA dan lulus pada tahun 2007.
Penulis diterima di Direktorat Program Diploma Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Keahlian
Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi pada bulan April tahun 2007. Penulis
melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Rumah Sakit LANUD Atang
Sendjaja selama empat bulan sejak tanggal 3 Agustus 2009 sampai tanggal 24
November 2009. Penulis melaksanakan Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Hotel
Pangrango 2 Bogor selama tiga bulan sejak tanggal 18 Januari 2010 sampai 14
April 2010.
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis ddapat
menyelesaikan Tugas Akhir berjudul “Pemesanan dan Distribusi serta Kontribusi
Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore bagi Penderita Penyakit Saluran
Pencernaan (Studi Kasus di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja Bogor)”.
Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar A.Md pada
Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Direktorat
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Eka Andriani, SKM selaku dosen pembimbing.
2. Lettu Kes Putu Eka Yudhayanti, A.Md. selaku pembimbing Praktek Kerja
Lapang Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja.
3. Orang tua penulis yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan dukungan
yang selalu diberikan kepada penulis.
4. Ketiga adik penulis atas doa dan dukungannya.
5. Kepada semua rekan-rekan, terutama mahasiswa Gizi angkatan 44 atas segala
dukungannya.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih kurang sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan
sehingga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat
yang membaca pada umumnya.

Bogor, Mei 2010

Penulis
viii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................viii
DAFTAR TABEL.......................................................................................x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................xii
I.PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum.........................................................................2
1.2.1 Tujuan Khusus.........................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
Pengertian Menu dan Jenis Menu......................................................................3
2.2 Perencanaan Menu.........................................................................................3
2.2.1 Siklus Menu............................................................................3
2.2.2 Frekuensi dan Waktu Makan...................................................4
2.2.3 Kerangka Menu dan Jenis Hidangan........................................4
2.2.3.1 Pengertian Kerangka Menu...............................................4
2.2.3.2 Standar Porsi....................................................................4
2.2.3.3 Makanan Pokok.................................................................5
2.2.3.4 Lauk Hewani.....................................................................5
2.2.3.5 Lauk Nabati.......................................................................5
2.2.3.7 Hidangan Sayur................................................................5
2.2.3.8 Buah.................................................................................5
2.2.3.9 Makanan Pelengkap..........................................................6
2.3 Pemesanan dan Distribusi Makanan...........................................................6
2.3.1 Pemesanan Makanan..............................................................6
2.3.2 Distribusi Makanan.................................................................6
2.4 Status Gizi......................................................................................................8
2.5 Penyakit Saluran Pencernaan.........................................................................9
2.5.1 Gambaran Umum Penyakit Saluran Pencernaan....................9
2.5.2 Tifus Abdominalis....................................................................9
2.5.2.1 Etiologi Tifus Abdominalis.................................................9
2.5.2.2 Patofisiologi Tifus Abdominalis..........................................9
2.5.2.3 Gejala Klinis Tifus Abdominalis.......................................10
ix

Dyspepsia......................................................................................10
2.5.3.1 Etiologi dan Patofisiologi Dyspepsia................................10
2.5.3.2 Gejala Klinis Dyspepsia...................................................11
2.5.4 Diare Akut.............................................................................11
2.5.4.1 Etiologi Diare Akut..........................................................11
2.5.4.2 Patofisiologi Diare Akut...................................................12
2.5.4.3 Gejala Klinis Diare Akut...................................................12
2.5.5 Gastritis................................................................................13
2.5.5.1 Etiologi Gastritis..............................................................13
2.5.5.2 Patofisiologi Gastritis......................................................13
2.5.5.3 Gejala Klinis Gastritis......................................................13
2.6 Diet pada Penderita Penyakit Saluran Pencernaan.......................................14
2.6.1 Jenis dan Tujuan Diet............................................................14
2.6.2 Syarat Diet............................................................................14
2.6.3 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan.......14
KERANGKA PIKIR...................................................................................16
METODE KAJIAN
............................................................................................................. 18
4.5 Pengolahan Data dan Analisis Data.............................................................19
4.5.1 Kebutuhan Energi.................................................................19
4.5.1.1 Status Gizi.......................................................................19
4.5.1.2 Angka Metabolisme Basal (AMB)....................................20
4.5.1.3 Faktor Aktifitas (AF) dan Faktor Stress (IF).....................20
4.5.1.4 Total Daily Energy (TDE).................................................21
4.5.2 Kebutuhan Protein................................................................21
4.5.4 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore................21
4.5.5 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore............22
4.6 Batasan Istilah.............................................................................................22
HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................23
Keadaan UmumUnit Gizi Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja.....................23
Perencanaan Menu Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja...............................24
Jenis dan Siklus Menu....................................................................24
5.2.2 Frekuensi Makan dan Kerangka Menu.................................24
5.3 Pemesanan Makanan ...................................................................................25
5.3.1 Metode Pemesanan Makanan...............................................25
5.3.2 Alur Pemesanan Makanan Pasien.........................................25
5.4 Distribusi Makanan ....................................................................................26
Sistem Distribusi Makanan.............................................................26
5.4.2 Waktu dan Petugas Distribusi Makan Sore............................27
x

5.4.3 Peralatan Distribusi Makanan...............................................27


5.5 Karakteristik Pasien......................................................................................28
5.6 Kebutuhan Energi dan Protein Sehari ........................................................29
5.7 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore.............................................30
5.7.1 Ketersediaan Energi dan Protein Makanan Pokok.................31
5.7.2 Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Hewani......................32
5.7.3 Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Nabati.......................32
5.7.4 Ketersediaan Energi dan Protein Sayur.................................33
5.7.5 Ketersediaan Energi dan Protein Buah..................................33
5.7.6 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore.......................34
5.8 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore................................34
5.9 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore.............35
5.9.1 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makanan
Pokok.............................................................................................36
5.9.2 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk
Hewani...........................................................................................36
5.9.3 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk
Nabati............................................................................................37
5.9.4 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Sayur. .38
5.9.5 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Buah. . .39
5.9.6 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan
Sore............................................................................................... 40
5.10 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore.............................40
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................41
6.1 Kesimpulan...................................................................................................41
Saran...................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................42
LAMPIRAN.............................................................................................43

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Sentralisasi dan


Desentralisasi.........................................................................................8
Tabel 2 Klasifikasi Status Gizi................................................................8
Tabel 3 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan untuk
Diet Lambung II....................................................................................15
Tabel 4 Jenis dan Cara Pengambilan Data...........................................19
Tabel 5. Klasifikasi Status Gizi..............................................................20
xi

Tabel 6. Kerangka Menu Makan Sore Rumah Sakit LANUD Atang


Sendjaja...............................................................................................24
Tabel 7. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur. . . .28
Tabel 8 Status Gizi Berdasarkan Jenis Penyakit...................................29
Tabel 9 Kebutuhan Energi dan Protein Sehari.....................................29
Tabel 10 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore selama Satu
Siklus Menu..........................................................................................30
Tabel 11 Ketersediaan Energi dan Protein Makanan Pokok pada Makan
Sore......................................................................................................31
Tabel 12. Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Hewani.....................32
Tabel 13. Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Nabati.......................32
Tabel 14 Ketersediaan Energi dan Protein Sayur................................33
Tabel 15. Ketersediaan Energi dan Protein Buah Makan Sore..............33
Tabel 16 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore.......................34
Tabel 17 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore..........35
Tabel 18 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makanan
Pokok...................................................................................................36
Tabel 19 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk
Hewani.................................................................................................36
Tabel 20 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk
Nabati...................................................................................................37
Tabel 21 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Sayur. .38
Tabel 22 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Buah...39
Tabel 23 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan
Sore......................................................................................................40
Tabel 24 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore............40

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Pikir.....................................................................17


xii

Gambar 2. Alur Pemesanan Makanan Pasien Rumah Sakit LANUD Atang


Sendjaja...............................................................................................26
Gambar 3. Trolley Makanan Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja.......27

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Struktur Organisasi dan DenahUnit Gizi RS LANUD Atang Sendjaja.........44


xiii

2. Format Permintaan Diet Pasien Rawat Inap...................................................45


3. Format Pelabelan Makanan............................................................................46
4. Spesifikasi Alat Hidang..................................................................................47
5. Tabel Ketersediaan Makan Sore Satu Siklus Menu.......................................48
6. Tabel Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore Pasien...........................49
7. Tabel Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore Pasien...............................50
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada
pasien, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal dengan pemberian
diet yang tepat. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit merupakan bagian dari
instalasi gizi ataupun unit pelayanan gizi di suatu rumah sakit. Unit gizi rumah
sakit menyediakan makanan untuk pasien dengan berbagai macam penyakit. Salah
satu komponen kegiatan dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit yaitu
dalam upaya penyembuhan penyakit. Menurut Moehyi (1992), penyelenggaraan
makanan di rumah sakit meliputi perencanaan menu, pengadaan dan penyimpanan
bahan makanan, produksi, pemesanan serta distribusi makanan.
Pemesanan makanan adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh unit
gizi., agar produksi makanan sesuai dengan jumlah dan diet pasien. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan kelebihan jumlah produksi dan kesalahan
pemberian diet kepada pasien. Setelah makanan diolah dan diporsikan, kegiatan
selanjutnya adalah distribusi. Distribusi makanan dilakukan agar makanan yang
telah diproduksi dapat diterima oleh pasien dan diusahakan agar tidak
terkontaminasi bakteri. Sistem distribusi makanan meliputi sistem sentralisasi dan
desentralisasi. Distribusi makanan dilakukan pada distribusi makan pagi, selingan
pagi, makan siang, selingan sore serta makan sore. Setiap hidangan yang disajikan
per waktu makan memiliki kontribusi masing-masing terhadap kebutuhan pasien
sehari.
Penyakit saluran pencernaan sering ditemui di masyarakat. Penyakit saluran
pencernaan banyak ditemukan adalah gastritis, dyspepsia, diare akut, dan tifus
abdominalis. Pasien yang menderita penyakit saluran pencernaan mendapatkan
diet lambung II dengan konsistensi lunak.
2

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan Umum dari kajian pengamatan ini adalah mempelajari proses
pemesanan dan distribusi serta kontribusi energi dan protein makan sore pasien
penyakit saluran pencernaan.

1.2.1 Tujuan Khusus


Sedangkan tujuan khusus dari kajian pengamatan ini adalah :
1. Mengetahui keadaan umum unit gizi Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja.

2. Mempelajari prosedur pemesanan makan sore pada pasien penyakit saluran


pencernaan.

3. Mempelajari cara distribusi makan sore pada pasien penyakit saluran


pencernaan.
4. Menghitung kebutuhan, ketersediaan dan konsumsi energi dan protein sehari
pasien penyakit saluran pencernaan.
5. Menghitung dan menganalisa tingkat ketersediaan dan tingkat konsumsi energi
dan protein makan sore pada pasien penyakit saluran pencernaan.
6. Menghitung kontribusi konsumsi makan sore terhadap kebutuhan sehari pasien
penyakit saluran pencernaan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Menu dan Jenis Menu


Menurut Uripi (2007), menu adalah susunan hidangan, yang terdiri dari satu
atau beberapa macam hidangan yang disajikan untuk seseorang atau seekelompok
orang pada waktu makan pagi, makan siang, makan malam atau makanan
selingan. Sedangkan menurut Moehyi (1992), kata “menu” berarti hidangan
makanan yang disajikan pada suatu acara makan, baik makan siang maupun
makan malam. Menu dapat disusun untuk lebih dari satu kali acara makan,
misalnya untuk satu hari yang terdiri dari makan pagi, makan siang, makan malam
serta makanan selingan. Menu dapat disusun untuk jangka waktu yang lama,
misalnya selama tujuh atau sepuluh hari. Menu yang disusun dalam jangka waktu
tertentu disebut master menu.
Tiga jenis menu yang biasa digunakan oleh suatu institusi, yaitu (a) Menu
bebas adalah menu yang disusun sesuai dengan keinginan pemesan, (b) Menu
pilihan adalah suatu jenis menu yang menyajikan beberapa jenis pilihan makanan
sehingga konsumen dapat memilih jenis makanan yang sesuai dengan seleranya
serta (c) Menu standar atau master menu adalah susunan menu yang digunakan
untuk penyelenggaraan makanan dalam jangka waktu yang cukup panjang antara
tujuh sampai sepuluh hari.

2.2 Perencanaan Menu


Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan
diolah untuk memenuhi selera konsumen atau pasien dan memiliki ketersediaan
zat gizi yang memenuhi prinsip gizi yang seimbang. Penyusunan menu
berdasarkan jenis hidangan sehingga memiliki variasi yang banyak, frekuensi
penggunaan bahan berdasarkan pola menu dan master menu dan kombinasi warna
dan konsistensi bentuk serta variasi dari hidangan (Depkes, 2006).

2.2.1 Siklus Menu


Siklus menu adalah perputaran menu atau hidangan yang akan disajikan
kepada konsumen dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu siklus menu yang
sering ditemui lima hari, tujuh hari maupun sepuluh hari. Siklus menu dengan
4

jangka waktu yang lebih lama lebih baik bila dibandingkan dengan siklus menu
dengan jangka waktu yang pendek karena dapat menghindari terjadinya
pengulangan menu. Pelaksanaan siklus menu yang lebih panjang lebih sulit
terutama dalam hal pengawasan. Hal utama yang menjadi pertimbangan dalam
pembuatan siklus menu dengan jangka waktu yang lebih panjang adalah jangkla
waktu pelayanan pada konsumen (Uripi, 2007).

2.2.2 Frekuensi dan Waktu Makan


Menu sehari adalah susunan hidangan yang disajikan dalam sehari dalam
beberapa kali waktu makan. Dalam menu sehari, terdapat istilah frekuensi makan.
Frekuensi makan adalah jumlah waktu makan dalam sehari, meliputi makanan
lengkap (full meaI) dan makanan selingan (snack). Makanan lengkap biasanya
diberikan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam),
sedangkan makanan selingan biasa diberikan antara makan pagi dan makan siang,
antara makan siang dan makan malam ataupun setelah makan malam. Frekuensi
makan di suatu institusi berkisar antar tiga hingga enam kali sehari tergantung dari
biaya an tenaga kerja yang tersedia (Uripi, 2007). Waktu makan terdiri dari makan
pagi, selingan pagi, makan siang, selingan, makan malam serta selingan malam.

2.2.3 Kerangka Menu dan Jenis Hidangan


2.2.3.1 Pengertian Kerangka Menu
Kerangka menu adalah berbagai macam dan jenis hidangan dalam suatua
acara makan yang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran,
buah dan snack.

2.2.3.2 Standar Porsi


Standar Porsi adalah berat berbagai macam bahan makanan dalam suatu
menu yang dicantumkan dalam berat bersih. Porsi baku dapat ditentukan melalui
kecukupan makanan yang diperlukan dan persentase berat bersih bahan makanan
yang dianjurkan dalam tiap kali waktu makan serta porsi untuk tiap waktu makan
(Moehyi, 1992).
5

2.2.3.3 Makanan Pokok


Makanan pokok yang dihidangkan biasanya berupa nasi. Makanan pokok
adalah makanan yang menyumbangkan sebagian zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Makanan pokok biasanya disajikan dalam porsi yang lebih besar
dibandingkan dengan makanan yang lain dalam suatu acara makan (Moehyi
1992).

2.2.3.4 Lauk Hewani


Lauk hewani adalah hidangan dalam suatu acara makan yang terbuat dari
bahan hewani dengan atau dengan tambahan bahan lainnya. Lauk hewani yang
digunakan adalah daging sapi atau daging unggas (ayam, bebek, burung) atau
berupa hasil laut (ikan, udang, kepiting dan lainnya). Lauk hewani dapat diolah
dengan cara digoreng, direbus, dipanggang maupun dikukus (|Moehyi, 1992).

2.2.3.5 Lauk Nabati


Lauk nabati adalah hidangan tambahan dalam suatu acara makan yang
biasanya terbuat dari kacang-kacangan dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu
dan oncom. Lauk nabati menyumbangkan protein yang lebih besar bila
dibandingkan dengan hidangan lainnya dalam suatu menu. Lauk nabati biasanya
diolah dengan cara digoreng, dikukus atau dicampurkan dengan hidangan lainnya,
biasanya sayuran (Moehyi, 1992).

2.2.3.7 Hidangan Sayur


Hidangan sayur biasanya disajikan dengan kuah atau berupa makanan
berkuah. Hal ini dimaksudkan sebagai pembasah makanan pokok sehingga mudah
untuk ditelan. Hidangan sayur dapat diolah sendiri ataupun dicampurkan dengan
lauk nabati. Hidangan ini dapat berupa gabungan dari berbagai macam sayuran,
seperti sayur asem, sayur sop maupun sayur lodeh (Moehyi 1992).

2.2.3.8 Buah
Hidangan buah dapat berupa buah-buahan segar ataupun buah yang sudah
diolah seperti setup atau sari buah. Hidangan buah biasanya digunakan sebagai
penetralisir rasa sehabis makan. Buah biasanya digunakan sebagai dessert
(Moehyi, 1992).
6

2.2.3.9 Makanan Pelengkap


Makanan pelengkap adalah bahan makanan yang disajikan bersama dengan
bahan makanan utama. Makanan pelengkap biasanya berupa tambahan dan dpat
menambah kandungan energi dan zat gizi pada makanan. Contoh dari makanan
pelengkap adalah penggunaan terigu pada tempe goring terigu dan bihun pada
soto ayam.

2.3 Pemesanan dan Distribusi Makanan


2.3.1 Pemesanan Makanan
Pemesanan makanan adalah penyusunan permintaan (order) bahan makanan
berdasarkan menu atau pedoman menu serta rata-rata konsumen atau pasien yang
dilayani dengan tujuan tersedianya daftar pemesanan bahan makanan sesuai
standar atau spesifikasi yang telah ditetapkan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat,
2003).
Langkah-langkah pemesanan makanan diet untuk pasien dimulai dari
pemesanan diet menurut instruksi dokter berdasarkan jenis penyakit dan
konsistensi makanan. Jenis makanan yang akan diberikan kepad pasien ditulis
pada lembar permintaan diet. Sebelum dilakukan pemesanan ke instalasi gizi,
dilakukan anamnesa (wawancara) untuk mengetahui makanan-makanan yang
tidak dapat dikonsumsi oleh pasien. Setelah dilakukan anamnesa, perawat
mencatat hasil pada kartu diet untuk instalasi gizi. Setelah itu, staf unit gizi atau
ahli gizi menyesuaikan pemorsian makanan dengan pemesanan yang dilakukan.
Pemesanan makanan melalui telepon (on call) tidak dianjurkan. Hal ini
untuk menghindari kesalahan akibat tidak adanya bukti pemesanan secara tertulis.
Instalasi gizi sebaiknya memiliki data tentang perubahan jenis diet minimal
setengah jam sebelum memulai kegiatan pemorsian makanan (Wulandari, 2008).

2.3.2 Distribusi Makanan


Distribusi makanan adalah kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan
jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani (berupa makanan biasa
atau makanan khusus). Tujuan dari kegiatan pendistribusian makanan adalah
konsumen mendapatkan makanan sesuai dengan jenis diet dan ketentuan yang
berlaku (Depkes, 2006).
7

Menurut Moehyi (1992), pemorsian dan distribusi makanan merupakan


kegiatan kahir dalam system penyelenggaraan makanan. Dalam pendistribusian
makanan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Makanan harus didistribusikan dan disajikan kepada konsumen tepat pada
waktunya. Jika makanan itu diperuntukkan sebagai makan siang, maka
makanan harus didistribusikan dan disajikan tepat pada waktu makan siang
antara jam 13.00-14.00 siang.

2. Makanan yang disajikan harus sesuai dengan jumlah atau porsi yang telah
ditentukan. Besar porsi makanan menjadi sangat penting terutama pada
penyelenggaraan makanan bagi pasien yang sedang menjalankan diet khusus.

3. Kondisi makanan yang disajikan juga harus sesuai. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah temperatur makanan pada waktu disajikan. Makanan yang
seharusnya dimakan dalam suhu yang hangat hendaknya disajikan dalam
keadaan hangat.

Menurut Departemen Kesehatan (2006), sistem distribusi yang biasa


digunakan di rumah sakit adalah sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi antara
sentralisasi dan desentralisasi. Sistem distribusi kombinasi dilakukan dengan cara
sebagian makanan ditempatkan langsung ke dalam alat hidang makanan pasien
dari ruang produksi (dapur) dan sebagian lagi dimasukkan kedalam wadah besar.
Pemorsian dilakukan di ruang pantry di setiap ruangan perawatan.
Menurut Moehyi (1992), sistem sentralisasi adalah sistem pendistribusian
makanan dimana semua kegiatan produksi hingga pemorsian dilakukan atau
dipusatkan ke satu tempat dan langsung didistribusikan kepada pasien
menggunakan kereta makanan (trolley). Sedangkan sistem desentralisasi adalah
sistem pendistribusian dimana kegiatan produksi dan pemorsian dilakukan di dua
tempat yang berbeda, yaitu makanan diproduksi dalam jumlah besar di dapur lalu
dibawa menggunakan trolley ke dapur masing-masing kelas (pantry) untuk
dipanaskan dan diporsikan. Adapun kelebihan dan kekurangan sistem sentralisasi
dan desentralisasi dapat dilihat pada Tabel 1.
8

Tabel 1 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Sentralisasi dan Desentralisasi


Sentralisasi Desentralisasi
1. Tenaga lebih sedikit sehingga lebih 1. Tidak memerlukan temapt yang
menghemat biaya luas dan peralatan makanan yang
2. Pengawasan dapat dilakukan dengan terdapat di dapur tidak terlalu
mudah dan lebih teliti karena banyak
dipusatkan di satu tempat 2. Makanan dapat dihangatkan
3. Makanan langsung sampai ke kembali sebelum dihidangkan
Kelebihan konsumen dan meminimalkan kepada pasien
kesalahan dalam pemberian makanan 3. Makanan dapat disajikan lebih rapi
4. Pasien terhindar dari keributan dalam dan baik serta sesuai dengan porsi
pembagian makanan dan bau makanan yang sesuai kebutuhan pasien
yang merangsang
5. Pekerjaan pembagian makanan dapat
dilakukan lebih cepat.
1. Membutuhkan ruangan yang cukup luas 1. Memerlukan tenaga yang lebih
untuk melakukan kegiatan produksi dan banyak diruangan dan pengawasan
pemorsian makanan, secara menyeluruh agak sulit
2. Membutuhkan peralatan dan 2. Makanan dapat rusak bila petugas
perlengkapan distribusi yang kompleks lupa untuk menghangatkan kembali
3. Porsi makanan yang disajikan tidak 3. Besar porsi sulit diawasi, khususnya
Kekurangan sesuai sehingga banyak makanan bagi pasien yang sedang menjalani
tersisa. diet khusus
4. Pengawasan harus banyak dlakukan
5. Ruangan pasien dapat terganggu
oleh keributan pemorsian makanan
serta bau masakan.
Sumber : Departemen Kesehatan (2006).

2.4 Status Gizi


Menurut Hartono (2006), status gizi adalah keadaan tubuh akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Status gizi dinilai oleh ahli gizi
melalui wawancara, seperti food recall, pemeriksaan antropometri (berat badan,
IMT, lingkaran perut, dan lainnya) serta penunjang lainnya. Status gizi dibedakan
menjadi overweight, kurus, normal dan overweight. Adapun kategori atau
pembagian status gizi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi Status Gizi


Nilai IMT (kg/m2) Status Gizi
< 18,5 Underweight
18,5 – 22,9 Normal
>23 Overweight
Sumber : Hartono (2006)
IMT merupakan salah satu cara untuk memantau status gizi orang dewasa
terutama berhubungan dengan berat badan. Seseorang memiliki harapan hidup
yang lebih panjang bila dapat mempertahankan berat badan normal. Perhitungan
IMT hanya berlaku untuk oaring dewasa yang berumur diatas 18 tahun (Bakrie
dan Fajar, 2002).
9

2.5 Penyakit Saluran Pencernaan


2.5.1 Gambaran Umum Penyakit Saluran Pencernaan
Menurut Almatsier (2001), saluran cerna adalah sistem yang sangat
kompleks dan merupakan saluran yang berfungsi untuk mencerna makanan,
mengabsorpsi zat-zat gizi, dan mengekskresi sisa-sisa pencernaan. Gangguan pada
lambung umumnya berupa sindroma dyspepsia, yaitu kumpulan gejala yaitu mual,
muntah, nyeri epigastrum, kembung, nafsu makan berkurang dan rasa cepat
kenyang. Penyakit-penyakit saluran cerna yang terjadi antara lain demam tifoid,
dyspepsia, melena, gastro enteritis akut (GEA), dan gastritis.

2.5.2 Tifus Abdominalis


Tifus abdominalis merupakan salah satu penyakit infeksi akut pada usus
halus. Sinonim dari tifus abdominalis adalah typhoid, enteric fever, tifus dan
demam tifoid. Tifus abdominalis banyak menyerang pada anak usia 12-13 tahun
(70% - 80%), pada usia 30-40 tahun (10%-20%) dan diatas usia pada anak 12-13
tahun sebanyak (5%-10%)(Mansjoer, 2001).

2.5.2.1 Etiologi Tifus Abdominalis


Tifus abdominalis disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies
salmonella asendis yaitu Salmonella enteridis bioserolife parityphi A, Salmonella
enteridis bioserolife Parathyphi B dan Salmonella enteridis paratyphi C. Kuman
– kuman ini lebih dikenal dengan nama Salmonella paratyphi A, Salmonella
schottinuellert dan Salmonella hirsstirelldi (Mansjoer 2001). Salmonella
paratyphi basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora.
Mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatik
terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagela), antigen VI dan
protein membran hialin (Noer, 1996).

2.5.2.2 Patofisiologi Tifus Abdominalis


Bakteri Salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama
makanan dan minuman. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri
yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrofili dan mencapai plak
payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah (disebut bakterimia primer).
10

Pada tahap berikutnya S. typhi menuju ke organ sistem retikuloendotelial yaitu :


hati, limfa, sumsum tulang dan organ lain (disebut bakterimia sekunder).
Endotoksin S.typhi berperan dalam proses inflamasi local pada jaringan tempat
kuman berkembang biak. S.typi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen dan lekosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi
demam. Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi S.
typhili (Mansjoer 2001).

2.5.2.3 Gejala Klinis Tifus Abdominalis


Gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, gejala yang timbul
sama dengan infeksi akut lainnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk
dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik terdapat peningkatan suhu tubuh.
Dalam minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif, lidah tifoid (lidah kotor ditengah, namun tepi dan ujung merah dan
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, ganggaun kesadaran berupa
somnolen dan koma.

Dyspepsia
Menurut Mansjoer (2001), dyspepsia merupakan kumpulan atau gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik
berupa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi
termasuk dispepsia. Pengertian dari dyspepsia kini terbagi menjadi dua, pertama
dyspepsia organik, yaitu bila diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Kedua adalah dyspepsia non organik atau dyspepsia fungsional,
yaitu bila tidak diketahui penyebabnya.

2.5.3.1 Etiologi dan Patofisiologi Dyspepsia


Etiologi penyakit dispepsia diantaranya perubahan pola makan, pengaruh
obat-obatan yang dimakan berlebihan dalam waktu lama, alkohol dan nikotin
rokok, stress, tumor atau kanker saluran pencernaan. Patofisiologi dispepsia yaitu
perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
11

seperti nikotin dan alkohol serta kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong. Kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
sehingga mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang merangsang terjadinya
kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa
impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

2.5.3.2 Gejala Klinis Dyspepsia


Berdasarkan keluhan atau gejala yang dominan, dyspepasi dibagi menjadi
tiga tipe, yaitu :
1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala
(1) nyeri epigastrium terlokalisasi, (2) nyeri hilang setelah pemberian makan
atau pemberian antacid, (3) nyeri setelah lapar dan (4) nyeri episodic.
2. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
dengan gejala (1) mudah kenyang, (2) perut cepat terasa penuh saat makan,
(3) mual, (4) muntah, (5) upper abdominal bloating dan rasa tidak nyaman
bertambah saat makan.
3. Dyspepsia nonspesifik (tidak memiliki gejala seperti dua tipe diatas)

2.5.4 Diare Akut


Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tunja yang lebih
banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam), dengan tinja berbentuk cair
taupun setengah cair. Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan
berlangsung singkat, dalam beberapa jam sampai tujuh atau 14 hari (Mansjoer,
2001).

2.5.4.1 Etiologi Diare Akut


Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri, virus
maupun parasit. Penyebab lain timbulnya diare akut adalah toksin dan obat,
nutrisi enteral yang diikuti puasa yang lama, kemoterapi,impaksi fekal (overflow
diarrhea) atau berbagai kondisi lain. Dari penelitian pada tahun1993-1994
terhadap 123 pasien dewasa yang menderita diare akut, penyebab terbanyak hasil
12

infeksi bakteri E.coli (38.29%), V.cholerae Ogawa (18.29%), Aeromonas. Sp


(14.29%) (Mansjoer, 2001).

2.5.4.2 Patofisiologi Diare Akut


Menurut Mansjoer (2001), diare akibat infeksi ditularkan secara fekal oral.
Hal ini disebabkan makanan atau minuman yang masuk terkontaminasi tinja
ditambah ekskresi yang buruk, makanan yang tidak matang bahkan disajikan
tanpa dimasak. Penularannya adalah melalui transmisi orang ke orang melalui
aerosolisasi, tangan yang terkontaminasi (Clostridium difficile), atau melalui
aktifitas seksual.
Faktor penyebab yang mempengaruhi patogenesis antara lain penetrasi yang
merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi
sekresi cairan di usus serta daya lekat kuman. Kuman tersebut membentuk koloni
yang dapat menginduksi diare. Patogenesis diare yang disebabkan karena infeksi
bakteri terbagi dua, yaitu :
1. Bakteri noninvasif (enterotoksigenik)
Toksin yang diproduksi bakteri akan terikat pada usus halus namun tidak
merusak mukosa. Bakteri yang termasuk golongan ini adalah V. cholera,
Enterotoksigenik E.coli, C.perfingers, S.aureus, dan vibrio-nonaglutinabel.
Secara klinis, diare berupa cairan dan meninggalkan dubur seara deras dan
banyak. Keadaan seperti ini disebut diare sekretorik isotonik voluminal.
2. Bakteri enteroinvasif
Diare yang menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan
ulserasi dan bersifat sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat bercampur lender
dan darah. Bakteri yang termasuk golongan ini adalah enteroinvasive E.coli,
S.paratyphi B,S. typhimurium, S.enteriditis, S. choleraesuis, Shigela, Yersinia
dan C.perfingers Tipe C.

2.5.4.3 Gejala Klinis Diare Akut


Pasien dengan diare akut akibat infeksi sering mengalami nausea, muntah,
nyeri perut samapi kejang perut, demam serta diare. Kekurangan cairan
menyebabkan pasien akan merasa haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor
kulit menurun serta suara menjadi serak. Secara klinis diare karena infeksi akut
13

dibagi menjadi dua. Pertama, koleriform (diare yang terdiri dari caitan tinja saja),
dan yang kedua disentriform (diare yang terdapat lender, bahkan kadang-kadang
terdapat darah).

2.5.5 Gastritis
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung. Gejala klinis yang
ditemukan berupa dyspepsia atau indigesti. Gastritis terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Gastritis akut adalah kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan
tanda dan gejala yang khas. Biasanya ditemukan sel inflamasi aku dan
neutrofil.
2. Gastritis kronik memiliki penyebab tidak jelas, sering bersifat multifactor
dengan perjalanan klinik yang bervariasi. Kelainan ini berkaitan erat dengan
infeksi H.pylori.

2.5.5.1 Etiologi Gastritis


Penyebab gastritis antara lain karena obat-obatan, alkohol dan gangguan
mikrosirkulasi mukosa lambung. Secara makroskopik terdapat lesi erosi mukosa
dengan lokasi yang berbeda. Jika ditemukan pada korpus dan fundus biasanya
karena disebabkan oleh stress. Namun, jika disebabkan oleh obat-obatan,
ditemukan terutama di daerah antum, namun dapat juga menyeluruh. Secara
mikroskopik, terdapat erosi dengan regenerasi epitel dan ditemukan raksi sel
inflamasi neutrofil yang minimal (Mansjoer, 2001).

2.5.5.2 Patofisiologi Gastritis


Pada gastritis terdapat gangguan keseimbangan faktor agresif dan faktor
defensif yang berperan dalam pembentukan lesi mukosa. Faktor agresif antara lain
asam lambung, peptin, obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), empedu, infeksi
virus, infeksi bakteri H.phlory, bahan korosif yang bersifat asam dan kuat.
Sedangkan faktor defensif adalah mukus, bikarbonas mukosa dan prostaglandin
mikrosirkulasi.

2.5.5.3 Gejala Klinis Gastritis


Sindrom dyspepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, dan muntah
merupakan keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula pendarahan pada saluran
14

cerna berupa hematemesis dan melena, yang disusul tanda-tanda anemia pasca
pendarahan. Jika dilakukan anamnesis, terdapat riwayat penggunaan oba-obatan
atau bahan kimia tertentu.

2.6 Diet pada Penderita Penyakit Saluran Pencernaan


2.6.1 Jenis dan Tujuan Diet
Diet yang diberikan pada pasien penyakit saluran pencernaan adalah Diet
Lambung II dengan konsistensi lunak. Tujuan diet lambung adalah untuk
memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung
serta mencegah dan menetralkan sekresi asam lambung yang berlebih.

2.6.2 Syarat Diet


Syarat diet penyakit lambung adalah :
1. Makanan mudah cerna, porsi kecil dan sering diberikan.
2. Energi dan protein cukup, sesuai kemampuan pasien
3. Lemak rendah, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan
secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan.
4. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap.
5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam.
7. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak dianjurkan
minum susu terlalu banyak.
8. Makan secara perlahan dilingkungan tenang.
9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-28 jam
untuk memberi istirahat pada lambung.

2.6.3 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan


Salah satu syarat untuk penderita penyakit saluran pencernaan adalah
rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap,
maka bahan makanan dan jenis pengolahan harus dipilih sedemikian rupa agar
dapat memenuhi persyaratan tersebut. Bahan makanan yang dianjurkan dan yang
dihindari terdapat pada Tabel 3.
15

Tabel 3 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan untuk Diet Lambung II
Bahan
Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Makanan
Serealia dan Beras dibubur atau ditim, kentang dipure, Beras ketan, beras tumbuk, roti, jagug,
hasil olahannya makaroni direbus, roti dipanggang, biskuit, ubi, singkong, tales, cake, dodol dan
krekers, mi, bihun, tepung-tepungan dibuat berbagai kue yang terlalu manis dan
bubur atau puding. berlemak tinggi.
Daging, ikan, Daging sapi empuk, hati, ikan tanpa duri, Daging ikan yang banyak duri, ayam
unggas, dan ayam giling atau cicang dan rebus, disemur yang diawetkan digoreng daging babi,
telur serta hasil ditim, dipanggang, telur rebus, dadar, tim telur ceplok atau digoreng.
olahannya teplok dan dicampur dalam makanan.
Kacang- Tahu, tempe direbus ditim, ditumis, kac hijau Tahu dan tempe digoreng, kac tanah,
kacangan serta direbus dan dihaluskan. merah dan tolo utuh
hasil olahannya
Sayuran Sayuran yang tidak banyak serat dan tidak Sayuran mentah sayuran berserat tinggi
menimbulkan gas dimasak : bayam, bit, labu, dan menimbulkan gas seperti daun
wrtel, tomat direbus dan ditumis. singkong kac panajng kol, lobak dan
sawi.
Buah Pepaya, pisang jeruk manis, sari buah, pir Buah yang tinggi serat dan dapat
dan peach dalam kaleng menimbulkan gas seperti jambu biji,
nanas, apel, kedondong, durian, nangka
dan buah kering
Minyak dan Margarine, mentega minyak untuk menumis Lemak hewan, santan kental.
Lemak dan santan cair
Minuman Sirup, teh Minuman yang mengandung soda dan
alkohol kopi dan ice cream
Bumbu Gula, garam, vetsin, kencur, jahe, kunyit, Cabe, merica cuka dan berbau tajam
terasi, laos lainnya.
Sumber : Almatsier (2005)
16

KERANGKA PIKIR

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit diawali dengan perencanaan


menu. Perencanaan menu bertujuan agar menu yang disajikan sesuai dengan jenis
penyakit yang diderita pasien dan memiliki kandungan energy dan zat gizi yang
sesuai. Tahap selanjutnya adalah pengadaan bahan makanan. Hal ini dilakukan
agar bahan makanan yang dipesan sesuai dengan menu yang ada dan dilanjutkan
dengan penyimpanan bahan makanan. Penyimpanan bahan makanan dilakukan
sesuai dengan karakteristik bahan , setelah itu dilakukan proses produksi. Proses
produksi dilakukan sesuai dengan jumlah pesanan makanan.
Pemesanan makanan dilakukan pada pagi hari sebelum proses produksi,
yaitu untuk pemesanan makan pagi, selingan pagi, makan siang, selingan sore dan
makan malam. Setelah proses produksi selesai, dilakukan kegiatan distribusi
makanan. Distribusi makanan dilakukan tiga kali (makan pagi, makan siang dan
makan malam) serta dua kali selingan (snack pagi dan snack siang).
Penyelenggaraan makan berperan dalam memenuhi ketersediaan energi dan
protein pasien, salah satunya penyelenggaraan makan sore. Ketersediaan makanan
Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja berbeda setiap waktu makan tergantung
dari menu yang disediakan. Ketersediaan makan sore mempengaruhi konsumsi
makan sore pasien. Konsumsi energi dan protein makan sore memiliki hubungan
timbal balik dengan kebutuhan energi dan protein sehaari. Kebutuhan energi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, tinggi badan, berat
badan, faktor aktifitas (FA), serta faktor stess (FS). Kontribusi konsumsi energi
dan protein makan sore pasien dapat dihitung dengan membandingkan konsumsi
makan sore pasien terhadap kebutuhan energi dan protein pasien. Dari tingkat
tersebut, dapat diketahui status gizi dari pasien.
17

Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit

Pemesanan Makanan

Diet Lambung II

Makan Pagi Selingan Pagi Makan Siang Selingan Sore Makan Sore

Distribusi Makanan

Ketersediaan Energi dan


Protein Sehari/Makan Sore

Tingkat Konsumsi Tingkat Ketersediaan


Makan Sore Makan Sore

Konsumsi Energi dan Kebutuhan Energi dan FS


Protein M. Sore Protein Sehari

Kontribusi E&P
Makan Sore Status Gizi JK
Umur
FA

BB
TB

Gambar 1 Kerangka Pikir.

Keterangan :
: diamati langsung
: tidak diamati langsung
18

METODE KAJIAN

4.1 Waktu dan Tempat Pengkajian


Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja, yang
terletak di Jl. Sardjiyo No.1 Semplak, Bogor. Kegiatan pengambilan data
berlangsung selama empat bulan mulai tanggal 3 Agustus sampai tanggal 13
November 2009. Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan di ruang rawat
inap kelas I, II dan III.

4.2 Sample dan Contoh


Kasus yang diamati sebanyak 32 penderita terdiri dari delapan orang
penderita diare akut, empat orang penderita Gastritis, delapan orang penderita
Dyspepsia, dan 12 orang penderita Tifus Abdominalis.
Pengamatan terhadap pasien dilakukan selama tiga hari. Contoh pasien yang
diambil yaitu pasien rawat inap di kelas I, II dan III. Total pasien yang diambil
berjumlah 32 pasien. Pasien yang diamati adalah pasien penyakit saluran
pencernaan diberikan diet lambung II dengan konsistensi lunak.

4.4 Jenis dan Cara Pengambilan Data


Data diambil melalui dua cara, yaitu data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dengan pengamatan langsung pada pasien. Data sekunder
diperoleh dari rekam medik. Jenis dan cara pengambilan data dapat dilihat pada
Tabel 4.
19

Tabel 4 Jenis dan Cara Pengambilan Data


Jenis Data Data Cara Pengambilan Data
Pengukuran berat badan dengan menggunakan timbangan
Tinggi dan berat badan
injak dan tinggi badan menggunakan tali rafia
Ketersediaan energi dan Menghitung kandungan energi dan protein dengan DKBM
protein berdasarkan standar porsi rumah sakit
Primer
Kebutuhan energi dan protein Menghitung menggunakan rumus Harris Benedict
Ketersediaan dikurangi sisa makan sore, meliputi makanan
Konsumsi energi dan protein pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur serta buah. Kategori
sisa makanan 1 (utuh), ¼, ½, ¾, 0 (habis)
Gejala, tanda, dan diagnosa
Sekunder penyakit Melihat dan mencatat dari hasil rekam medik pasien
Identitas Pasien

4.5 Pengolahan Data dan Analisis Data


Data yang diperoleh dicatat, ditabulasi dan diolah secara deskriptif. Data
tersebut antara lain meliputi status gizi, kebutuhan energi dan protein,
ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan protein makan sore, konsumsi
dan tingkat konsumsi makan sore serta kontribusi konsumsi makan sore terhadap
kebutuhan sehari.

4.5.1 Kebutuhan Energi


Kebutuhan energi atau Total Density Energy (TDE) dihitung melalui
perkalian antara Angka Metabolisme Basal (AMB) atau Basal Enery Expenditure
(BEE) dengan injury factor (faktor stress) dan faktor aktifitas. Sebelum
menghitung AMB, status gizi dari pasien harus diketahui terlebih dahulu, apakah
underweight, normal, overweight ataupun obese.

4.5.1.1 Status Gizi


Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan asupan gizi. Status gizi dihitung berdasar Indeks Massa
Tubuh (IMT) dengan rumus Brocca. Berikut adalah perhitungan status gizi
menggunakan IMT.

BB ( kg )
IMT =
TB 2 (m)

Setelah Indeks Massa Tubuh (IMT), didapatkan status pasien ditentukan


menggunakan skala. Skala IMT dapat dilihat pada Tabel 5.
20

Tabel 5. Klasifikasi Status Gizi


Nilai IMT (kg/m2) Status Gizi
< 18,5 Underweight
18,5 – 22,9 Normal
>23 Overweight
23,0 – 24,9 At risk
25,0 – 29,9 Obese I
>30 Obese II
Sumber : Hartono ( 2006)
Untuk mengetahui berat badan normal dari pasien yang dikategorikan
underweight atau overweight dan obes, perhitungan menggunakan Standar
Brocca :

BBI = (TB – 100) – 10% (TB – 100)


Keterangan :
BBI : Berat Badan Ideal
TB : Tinggi Badan

4.5.1.2 Angka Metabolisme Basal (AMB)


Angka Metabolisme Basal (AMB) adalah kebutuhan energi yang diperlukan
untuk kebutuhan dasar dari kehidupan. AMB dihitung berdasarkan rumus Harris
benedict. Rumus yang digunakan adalah :

AMB (Wanita) = 655+ (9,6 x BB) + (1,7 x TB) – ( 4,7 x U)

AMB (Pria) = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U)

Keterangan : BB : Berat Badan


TB : Tinggi Badan
U : Umur

4.5.1.3 Faktor Aktifitas (AF) dan Faktor Stress (IF)


Perhitungan TDE juga memerlukan injury factor (faktor stress) dan faktor
aktifitas. Faktor aktivitas pada pasien rawat inap yaitu 1,2 karena pasien hanya
tirah-baring total dan tidak melakukan aktivitas lain. Perhitungan Faktor Stress
(FS) tergantung pada penyakit pasien. Pasien penderita dyspepsia menggunakan
FS 1.0 karena dyspepsia merupakan infeksi ringan dan memiliki suhu normal,
yaitu 370C. Untuk pasien gastritis dan diare akut, FS yang digunakan adalah 1.2
karena kedua penyakit ini termasuk penyakit infeksi sedang. Sedangkan untuk
pasien typus abdominalis, FS yang digunakan adalah 1.4 karena typus termasuk
penyakit infeksi berat dimana penderita memiliki suhu tinggi..
21

4.5.1.4 Total Daily Energy (TDE)


Total Daily Energy (TDE) adalah total kebutuhan energi sehari yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktifitas. Rumus dari TDE adalah :

TDE = AMB x faktor aktivitas x faktor stress

4.5.2 Kebutuhan Protein


Kebutuhan protein dihitung berdasarkan syarat diet penyakit. Kebutuhan
protein pasien diare akut, gastritis serta dyspepsia menggunakan perhitungan rasio
nitrogen dengan 370 C sedangkan typus abdominalis menggunakan rasio nitrogen
dengan suhu 380-400 C. Perhitungan kebutuhan protein dapat diukur berdasarkan
ratio kalori : nitrogen.

Kebutuhan Protein Berdasar kansuhu :


370 C = (TDE/175) x 6,25
0
38-40 C = (TDE/150) x 6,25

4.5.3 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore


Tingkat ketersediaan energi dan protein dihitung dengan membandingkan
ketersediaan energi makanan rumah sakit dengan kebutuhan energi pasien, dengan
rumus berikut.

Ketersedia an E/P makan sore


Tingkat Ketersediaan Energi/Protein = ×100 %
Kebutuhan E/P Pasien

4.5.4 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore


Tingkat konsumsi merupakan perhitungan untuk mengetahui konsumsi
pasien terhadap makanan yang disediakan rumah sakit. Tingkat konsumsi dapat
dihitung dengan membandingkan antara konsumsi energi dan protein pasien
dengan ketersediaan energi dan protein makanan rumah sakit. Tngkat konsumsi
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Konsumsi E/P makan sore


Tingkat Konsumsi Energi/Protein = ×100 %
Ketersedia an E/P makan sore
22

4.5.5 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore


Kontribusi energi dan protein dihitung dengan membandingkan asupan
energi dan protein pasien dari makanan rumah sakit dengan kebutuhan energi
pasien, dengan rumus berikut :

Konsumsi E/P pasien


Tingkat Kontribusi Konsumsi Energi/Protein = ×100 %
Kebutuhan E/P Sehari

4.6 Batasan Istilah


Angka Metabolisme Basal (AMB) adalah kebutuhan energi yang dibutuhkan
tubuh untuk menjalankan proses tubuh yang vital (Almatsier, 2005).
Berat Badan Ideal (BBI) adalah berat badan seseorang terhadap berat badan
secara statistik paling baik untuk kesehatan (Almatsier, 2005).
Demam Tifoid atau Tifus Abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus
(Mansjoer, 2001).
Diare Akut adalah diare yang berawal mendadak dan berlangsung singkat, dalam
beberapa jam sampai tujuh hari (Mansjoer, 2001).
Distribusi adalah kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan
jenis makanan konsumen yang dilayani (berupa makanan biasa atau
makanan khusus) (Depkes, 2006).
Dyspepsia adalah kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak
atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan (Mansjoer, 2001).
Energi adalah daya atau kemampuan untuk bekerjanya sel-sel tubuh (Hartono
2006).
Faktor Aktifitas (FA) adalah factor aktifitas yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi sehari, tergantung keadaan pasien (Hartono, 2006).
Faktor Stress (FS) adalah factor penyakit yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi pasien sehari (Hartono, 2006).
Gastritis adalah kelainan klinis yang jelas penyebab dan gejalanya dengan tanda
dan gejaa yang khas (Mansjoer, 2001).
Kalori adalah satuan dari jumlah energy,
23

Makan Utama adalah bahan makanan yang disajikan paling banyak dalam menu
sehari-hari. Makanan utama ini berasal dari hidrat arang atau karbohidrat
(Moehyi, 1992).
Menu adalah susunan hidangan tiap kali waktu makan misalnya menu sarapan
atau menu makan siang (Moehyi, 1992).
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O,
dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 1992).
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Status gizi pasien dapat dibedakan antara
underweight, kurus, normal/ideal, overweight,obese (Hartono, 2006).
Zat Gizi adalah substansi biokimia yang digunakan tubuh dan harus diperoleh
dengan jumlah yang tepat dari bahan makanan yang dimakan (Hartono,
2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan UmumUnit Gizi Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja


Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja terletak di Jalan Sardijo No.1
Semplak, Bogor, Jawa Barat. Rumah sakit ini merupakan milik TNI AU dan
merupakan Rumah sakit tipe C, setara dengan rumah sakit pemerintah tingkat III,
dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No YM.02.04.3.1.3458 dan
berdiri pada tanggal 6 Mei 1969. Luas bangunan Rumah Sakit Atang Sandjaja
memiliki luas bangunan 2.469 m, ditambah luas pekarangan 10.295 m serta tanah
5.500 m dan memiliki 19 ruang perawatan umum dan lima ruang perawatan
kebidanan. Ruang perawatan tersebut terdiri dari 10 ruang perawatan kelas III, 3
ruang perawatan kelas II, 2 ruang perawatan kelas I+, 3 ruang perawatan kelas I+
+, 3 ruang perawatan VIP, dan 2 ruang perawatn paviliun dan 1 ruang ICU. Bed
Occupancy Rate (BOR) dari Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja adalah 44%
per tahun.
Unit gizi Unit gizi Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja dipimpin oleh
seorang TNI AU yang memiliki pangkat Lettu atau Kapten. Kepala unit gizi
dibantu oleh seorang kepala unit dapur yang juga menjabat sebagi bendahara unit
gizi dan enam orang pegawai yang berstatus PTT (Pegawai Tidak Tetap). Struktur
Organisasi serta denah dari unit gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.
24

Perencanaan Menu Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja


Perencanaan menu Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja disusun oleh
kepala unit gizi beserta kepala unit dapur. Menu yang disusun
mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu bahan yang digunakan, biaya yang
tersedia dan kemampuan tenaga pengolah untuk memproduksi menu. Menu
disusun berdasarkan jenis diet yang banyak diberikan di Rumah Sakit LANUD
Atang Sendjaja. Menu yang disusun bervariasi antara bahan dan teknik
pengolahan yang digunakan. Hal ini dilakukan agar pasien tidak merasa bosan
dengan menu yang disajikan. Perencanaan menu di Rumah Sakit LANUD Atang
Sendjaja dilakukan dua tahun sekali, atau sesuai dengan pergantian kepala unit
gizi.

Jenis dan Siklus Menu


Menu yang digunakan di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja adalah
menu non-pilihan dan digunakan untuk semua kelas perawatan, yaitu VVIP, VIP,
Kelas I, II dan III. Siklus menu yang digunakan di Rumah Sakit LANUD Atang
Sendjaja adalah siklus menu tujuh hari yang terdiri dari menu makan pagi,
selingan pagi, makan siang, selingan sore serta makan sore. Siklus menu tersebut
belum berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, salah
satunya adalah biaya.

5.2.2 Frekuensi Makan dan Kerangka Menu


Frekuensi makan yang diberikan oleh Unit Gizi Rumah Sakit LANUD
Atang Sendjaja dibedakan berdasarkan kelas perawatan. Untuk kelas perawatan
VVIP, VIP, Kelas I dan Kelas II memiliki lima kali waktu makan yang terdiri dari
tiga kali makan utama dan dua kali selingan. Kelas III memiliki tiga kali waktu
makan. Kerangka menu dari makan sore dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kerangka Menu Makan Sore Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja
Kelas Perawatan
Kerangka Menu
VVIP VIP Kelas I Kelas II Kelas III
Makanan Pokok 1 1 1 1 1
Lauk Hewani 1 1 1 1 1
Lauk Nabati 2 1 1 1 1
Sayur 1 1 1 1 1
Buah 1 1 1 1 1
Minuman 1 - - - -
25

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa kerangka menu dari kelas perawatan
VIP, Kelas I, Kelas II dan Kelas III sama. Kerangka menu yang berbeda terdapat
pada kelas VVIP, yaitu dengan pemberian dua lauk nabati dan minuman.
Minuman yang diberikan biasanya berupa air putih.

5.3 Pemesanan Makanan


Pemesanan makanan pasien disesuaikan dengan jenis penyakit dan
keadaan dari pasien. Pemesanan makanan harus meliputi konsistensi makanan
yang diberikan pada pasien. Konsistensi makanan tersebut meliputi makanan
biasa, makanan lunak, makanan saring maupun makanan cair.
5.3.1 Metode Pemesanan Makanan
Pemesanan makanan bagi pasien rawat inap dilakukan satu kali sehari
yaitu pada pukul 05.00 WIB dan dikelompokkan berdasarkan ruang perawatan.
Pemesanan makan siang dan makan malam disesuaikan dengan makan pagi.
Perubahan atau penambahan diet pasien dilaporkan oleh masing-masing ruang
rawat melalui telpon (on call) ke pihak unit gizi.
Metode pemesanan makanan di Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja
menggunakan format lembar pemesanan makanan. Tujuan dari dilakukannya
pencatatan ini adalah agar unit gizi mengetahui jumlah pasien secara keseluruhan
dan jenis makanan yang harus diberikan kepada pasien. Format lembar
pemesanan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.3.2 Alur Pemesanan Makanan Pasien


Pemesanan makanan untuk pasien diawali dengan penentuan diet oleh
dokter, kemudian dokter memberitahukan perawat untuk dituliskan ke dalam buku
rekam medik. Perawat yang bertugas malam hari menuliskan diet tersebut
kedalam form pemesanan makanan. Pada pukul 05.00, petugas distribusi
mengambil form pemesanan makanan dari ruang keperawatan untuk mengetahui
jumlah pasien. Apabila terjadi penambahan pasien atau pergantian jenis diet
Pemeriksaan oleh dokter
dilaporkan melalui telepon (on call). Adapun alur pemesanan makanan bagi
pasien Diberitahukan
dapat dilihat pada Gambar 2.
ke perawat

Mencatat ke Buku rekam medik

Salin ke Blangko diet pasien Diberikan ke Unit gizi

Tenaga pengolah
26

Gambar 2. Alur Pemesanan Makanan Pasien Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja.
Masalah kegiatan pemesanan makanan adalah kurangnya konfirmasi dari
perawat ke unit gizi berhubungan dengan pasien yang pulang atau mengalami
pergantian diet. Hal ini dikarenakan pemberitahuan perubahan jenis diet dan
penambahan pasien baru dilakukan melalui telepon (on call). Kurangnya
konfirmasi ini disebabkan karena perawat terlalu sibuk sehingga lupa
memberitahukan perubahan jenis diet atau penambahan pasien baru.

5.4 Distribusi Makanan


Pendistribusian makanan adalah kegiatan menyalurkan makanan yang telah
diproduksi yang telah diporsikan berdasarkan jumlah dan jenis diet pasien. Tujuan
pendistribusian makanan adalah agar makanan yang telah diproduksi dapat
disalurkan ke pasien dan pegawai.

Sistem Distribusi Makanan


Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja menggunakan sistem sentralisasi
karena semua kegiatan produksi hingga pemorsian dilakukan di dapur. Makanan
yang telah diolah oleh juru masak kemudian diporsikan sesuai dengan jenis diet
dan kelas perawatan. Sebelum dan saat pendistribusian dilakukan pengecekan
kembali oleh petugas distribusi agar tidak terjadi kesalahan pemberian makan.
Saat pemorsian, petugas pemorsian menyesuaikan jenis diet dengan label
yang ada. Pelabelan dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam pemberian
jenis diet dan kegiatan distribusi kepada pasien. Format pelabelan makanan dapat
dilihat pada Lampiran 3. Label diletakkan pada nampan atau plato pasien.
27

5.4.2 Waktu dan Petugas Distribusi Makan Sore


Waktu distribusi dari makan sore antara pukul 16.30 – 17.00 dengan dua
orang petugas distribusi. Makan sore memerlukan petugas distibusi yang lebih
banyak agar makanan dapat lebih cepat sampai pada pasien. Satu orang petugas
distribusi bertugas mengantar makanan untuk keperawatan depan (parkit, wallet,
kutilang, kepodang, jalak, merak, sriti, pipit, gelatik, murai, anggrek, mawar,
flamboyant, dahlia, melati serta paviliun). Sedangkan satu orang lain bertugas
untuk mengantarkan keperawatan belakang (garuda, kenari, rajawali,
cendrawasih, nuri serta camar).
Dalam hal distribusi makanan yang menjadi kendala adalah hilangnya
pelabelan makanan pasien. Pelabelan makanan untuk pasien dilakukan agar
bagian pemorsian dan distribusi tidak mengalami kesulitan pada waktu
memorsikan makanan dan mendistribusikan makanan ke pasien. Hilangnya
pelabelan terjadi pada bulan September 2009.

5.4.3 Peralatan Distribusi Makanan


Peralatan distribusi makanan adalah semua peralatan yang dapat
membantu kelancaran kegiatan distribusi. Peralatan yang digunakan untuk
mendistribusikan makan adalah piring, mangkok, gelas, sendok, garpu, plato,
nampan dan kereta dorong (trolley). Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja
memiliki satu buah trolley tanpa alat pemanas. Adapun gambar trolley untuk
mendistribusikan makanan dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)
Gambar 3. Trolley Makanan Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja
(a) Tampak muka dan (b) tampak dalam.
28

Cara penyusunan makanan dalam trolley berdasarkan jauh dekatnya ruang


perawatan. Untuk ruang perawatan yang dekat dengan dapur, makanan diletakkan
paling depan dan ruang perawatan yang jauh diletakkan dibagian belakang.
Kegiatan distribusi ruang perawatan belakang jarang menggunakan trolley karena
jumlah pasien sedikit sehingga hanya menggunakan tray. Makanan VVIP
diletakkan dibagian atas trolley untuk menghindari pecahnya alat hidang karena
terbuat dari chinaware.
Peralatan hidang untuk setiap ruang kelas berbeda. Untuk ruang perawatan
kelas III menggunakan plato lima sekat atau empat sekat, kelas II, I+, I++ serta
VIP menggunakan piring dan nampan dari melamin serta ruang paviliun
menggunakan chinaware. Spesifikasi dan jenis peralatan hidang dapat dilihat pada
Lampiran 4.

5.5 Karakteristik Pasien


Pasien yang diamati yaitu pasien dari kelas perawatan I, II, dan III baik
untuk pasien laki-laki maupun perempuan yang menderita penyakit saluran
pencernaan. Pasien dikelompokkan berdasarkan penggolongan usia antara 19-73
tahun. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin dan umur dapat dilihat lebih
jelas pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur


DL II
Total
Jenis Penyakit Pria Wanita
N % n % n %
Dispepsia 3 9,4 5 15,6 8 25
Gastritis 3 9,4 1 3,1 4 12,5
Diare akut 2 6,2 6 18,8 8 25
Tifus Abdominalis 8 25 4 12,5 12 37,5
Total 16 50 16 50 32 100
Keterangan : n : jumlah contoh

Tabel 7 memberikan gambaran data karakteristik dan sebaran contoh yaitu


jumlah pasien yang terbagi atas jenis kelamin. Pasien dyspepsia sebanyak delapan
pasien (tiga pasien pria dan lima pasien wanita), pasien gastritis sebanyak empat
pasien (tiga pasien pria dan satu pasien wanita), pasien diare akut sebanyak
delapan pasien (dua pasien pria dan enam pasien wanita), dan pasien thypus
29

abdominalis sebanyak 12 pasien (delapan pasien pria dan empat pasien wanita).
Sehingga pasien yang diamati sebagai contoh berjumlah 32 pasien.
Karakteristik dan sebaran contoh pasien juga dikelompokan berdasarkan
status gizi pasien, yaitu underweight, normal dan overweight. Status gizi pasien
berdasarkan penyakit dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Status Gizi Berdasarkan Jenis Penyakit


Jenis Underweight Normal Overweight Obese 1 Total
Penyakit n % n % n % n % n %
Dispepsia - - 7 21.9 - - 1 3.1 8 25
Diare akut - - 8 25 - - - - 8 25
Typus abdominalis 2 6.3 8 25 2 6.3 - - 12 37.6
Gastritis 1 3.1 3 9.4 - - - - 4 12.5
Jumlah 3 9.4 26 81.3 2 6.3 1 3.1 32 100
Keterangan : n : jumlah contoh
Dari tabel di atas dapat dilihat, pasien dyspepsia yang memiliki status gizi
normal tujuh orang dengan persentase 21.9% dan obese sebanyak satu orang
dengan persentase 3.1%. Pasien diare akut memiliki status gizi normal sebanyak
delapan orang dengan persentase 25%. Pasien tifus abdominalis yang memiliki
status gizi underweight sebanyak dua orang dengan persentase 6.3%, normal
sebanyak delapan orang dengan persentase 25% dan overweight sebanyak dua
orang dengan persentase 6.3%. Pasien gastritis yang memiliki status gizi normal
sebanyak tiga orang dengan persentase 9.4% dan underweight sebanyak satu
orang dengan persentase 3.1%.
Dari Tabel 8, dapat diambil kesimpulan bahwa status gizi normal juga dapat
beresiko menderita penyakit saluran pencernaan. Hal ini dikarenakan pola makan
yang tidak baik dan kurangnya perhatiaan terhadap hygiene dari makanan yang
dikonsumsi.

5.6 Kebutuhan Energi dan Protein Sehari


Kebutuhan sehari dari seseorang tergantung dari tinggi badan, berat badan,
umur serta jenis penyakit yang diderita (untuk mengetahui faktor stress). Selain
itu, faktor aktifitas juga berpengaruh dalam menghitung kebutuhan sehari. Rata-
rata kebutuhan energi dan protein pasien berdasarkan jenis penyakit dapat dilihat
pada Tabel 9.

Tabel 9 Kebutuhan Energi dan Protein Sehari


Jenis Penyakit JK n Energi (Kal) Protein (g)
30

L 8 2589 107.6
typus abdominalis
P 4 2054 85.6
L 3 1624 58.0
dyspepsia
P 5 1442 51.5
diare akut L 2 1950 69.6
P 6 1727 61.7
L 3 1879 67.1
gastritis
P 1 1531 54.6
Keterangan : n : jumlah contoh
JK : Jenis Kelamin

Dari tabel di atas, kebutuhan energi pasien contoh berkisar antara 2589 Kal
hingga 1442 Kal. Kebutuhan energi tertinggi terdapat pada pasien laki-laki typus
abdominalis, yaitu 2589 Kal. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki postur rubuh
yang lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh wanita. Selain itu, pasien tifus
abdominalis karena tifus abdominalis merupakan salah satu penyakit infeksi berat
dan memiliki FS 1.4 yang mempengaruhi kebutuhan sehari. Sedangkan kebutuhan
energi terendah terdapat pada pasien perempuan dyspepsia, yaitu 1442 Kal. Hal
ini dikarenakan dyspepsia adalah infeksi ringan dan memilki FS 1.0.
Kebutuhan protein berkisar antara 51.5 g hingga 107.6 g. Kebutuhan protein
tertinggi adalah pasien laki-laki tifus abdominalis, yaitu 107.6 g. hal ini
dikarenakan typus abdominalis menggunakan perhitun gan rasio nitrogen dengan
suhu 380- 400C, yaitu Kalori:175. Kebutuhan protein terendah terdapat pada
pasien perempuan dyspepsia, yaitu 51.5 g.

5.7 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore


Ketersediaan dihitung berdasarkan menu yang disajikan pada makan sore.
Ketersediaan menu makan sore selama tujuh hari dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore selama Satu Siklus Menu
Siklus Menu Hari ke- Energi (Kal) Protein (g)
1 379 17.9
2 425 20.8
3 460 21.5
4 441 16.8
5 441 13.7
6 475 22.7
7 408 16.1
Rata-rata 432 18.5

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketersediaan energi makan sore
berkisar antara 379 Kal hingga 475 Kal dengan rata-rata 432 Kal. Ketersediaan
energi terendah terdapat pada menu hari pertama. Hal ini dikarenakan menu yang
31

disajikan memiliki kandungan energi yang tidak terlalu tinggi bila dibandingkan
dengan menu pada hari lainnya, yaitu bubur, ikan pindang, tahu goreng, capcay
dan semangka. Sedangkan ketersediaan energi tertinggi terdapat pada menu hari
keenam. Menu yang disajikan adalah bubur, ayam goreng, kentang bumbu
kuning, sayur buncis, wortel dan jagung serta semangka.
Ketersediaan protein berkisar antara 16.1 g hingga 22.7 dengan rata-rata
18.5 g. Ketersediaan protein terendah terdapat pada menu hari kelima, yaitu 13.7
g. Hal ini karena menu yang disajikan tidak memiliki kandungan energy yang
tinggi. Ketersediaan protein tertinggi terdapat pada menu hari keenam, yaitu 22.7
g. Perhitungan kandungan energy dan protein makan sore satu siklus dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Ketersediaan energi dan protein dihitung berdasarkan kerangka menu
makan sore, yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur serta buah.
Setiap kerangka menu memiliki sumbangan energi dan protein masing-masing
terhadap ketersediaan makan sore.

5.7.1 Ketersediaan Energi dan Protein Makanan Pokok


Makanan pokok yang disajikan berupa bubur karena diet yang diberikan
berupa Diet Lambung dengan konsistensi lunak. Ketersediaan energi dan protein
makanan pokok terhadap penyakit saluran pencernaan dapat dilihat pada Tabel
11.

Tabel 11 Ketersediaan Energi dan Protein Makanan Pokok pada Makan Sore
Jenis Penyakit Energi (Kal) Protein (g)
typus abdominalis 180 3.4
dyspepsia 180 3.4
diare akut 180 3.4
gastritis 180 3.4

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketersediaan energi dan protein
makanan pokok pada tiap penyakit saluran pencernaan sama, yaitu 180 Kal energi
dan 3.4 g protein. Hal ini dikarenakan standar porsi yang digunakan untuk
makanan pokok, dalam hal ini berupa beras adalah 50 g beras untuk satu porsi.
32

5.7.2 Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Hewani


Lauk hewani memiliki sumbangan energi dan protein yang cukup besar
pada ketersediaan makan sore. Ketersediaan energi dan protein lauk hewani
makan sore dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Hewani


Jenis Penyakit Energi (Kal) Protein (g)
tifus abdominalis 131 7.8
dyspepsia 124 7.2
diare akut 128 7.2
gastritis 93 7.5

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketersediaan energi lauk hewani
makan sore berkisar pada 131Kal hingga 93 Kal dan ketersediaan protein antara
7.2 g hingga 7.8 g. Ketersediaan energi dan protein lauk hewani pada penyakit
typus abdominalis lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyakit lainnya. Hal ini
dikarenakan lauk hewani yang disajikan pada hari pasien dirawat memiliki
kandungan energi dan protein yang cukup tinggi, seperti rolade daging. Selain itu,
gastritis memiliki ketersediaan terendah, yaitu 93 Kal karena menu yang disajikan
adalah menu yang memiliki kandungan energi dan protein yang tidak terlalu
tinggi, seperti telur.

5.7.3 Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Nabati


Lauk nabati memiliki sumbangan energi dan protein yang cukup tinggi
untuk mencukupi ketersediaan makan sore. Keterediaan energi dan protein lauk
nabati dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Ketersediaan Energi dan Protein Lauk Nabati


Jenis Penyakit Energi (Kal) Protein (g)
tifus abdominalis 102 5.7
dyspepsia 95 6.8
diare akut 102 5.7
gastritis 77 4.3

Dari Tabel 13, dapat dilihat bahwa ketersediaan energi lauk nabati makan
sore berkisar antara 102 Kal hingga 77 Kal dan 6.8 g hingga 4.3 g. Ketersediaan
energi lauk nabati tertinggi terdapat pada pasien diare akut dan tifus abdominalis,
yaitu 102 Kal. Hal ini dikarenakan menu yang disajikan memiliki kandungan
energi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan ketersediaan lauk nabati pada
33

hari lainnya, seperti tahu goreng tepung. Ketersediaan protein lauk nabati
tertinggi adalah 6.8 pada pasien dyspepsia. Hal ini dikarenakan menu yang
disajikan memiliki kandungan protein yang tinggi, seperti tahu bacem.
Ketersediaan energi dan protein terendah terdapat pada pasien gastritis,
yaitu 77 Kal untuk energi dan 4.3 g untuk protein. Hal ini dikarenakan menu yang
disajikan pada hari pengamatan pasien gastritis memiliki kandungan energy dan
protein yang tidak terlalu tinggi.

5.7.4 Ketersediaan Energi dan Protein Sayur


Kerangka menu yang lain yang menyumbangkan energi dan protein bagi
makan sore adalah sayur. Ketersediaan sayur dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Ketersediaan Energi dan Protein Sayur


Jenis Penyakit Energi (Kal) Protein (g)
tifus abdominalis 77 2.6
dyspepsia 78 3.4
diare akut 77 2.6
gastritis 33 1.8
Dari tabel di atas, dapat di ketahui ketersediaan energi dan protein lauk
nabati makan sore berkisar antara 33 Kal hingga 78 Kal untuk energi dan 1.8 g
hingga 3.4 g untuk ketersediaan protein. Ketersediaan energi dan protein tertinggi
terdapat pada pasien dyspepsia, yaitu 78 Kal dan 3.4 g. Hal ini disebabkan menu
yang disajikan memiliki kandungan energi yang cukup tinggi dan beragam jenis,
seperti capcay (jagung semi, wortel, caisim dan kembang kol).
Ketersediaan energi dan protein terendah terdapat pada pasien gastritis,
yaitu 33 Kal dan 1.8 g. Hal ini dikarenakan menu yang disajikan memiliki energi
dan protein yang terlalu tinggi, seperti sayur bayam dan sayur katuk.

5.7.5 Ketersediaan Energi dan Protein Buah


Selain makanan pokok, lauk hewani dan lauk nabati, kerangka menu yang
lain adalah buah. Ketersediaan energi dan protein buah dapat dilihat pada Tabel
15.

Tabel 15. Ketersediaan Energi dan Protein Buah Makan Sore


Jenis Penyakit Energi (Kal) Protein (g)
tifus abdominalis 15 0.2
dyspepsia 11 0.2
diare akut 16 0.2
gastritis 22 0.2
34

Dari tabel di atas, dapat diketahui ketersediaan energi buah berkisar antara
11 Kal hingga 22 Kal dan 0.2 g untuk ketersediaan protein. Ketersediaan energi
tertinggi untuk buah terdapat pada pasien gastritis, yaitu 22 Kal dan terendah pada
pasien dyspepsia, yaitu 11 Kal. Pasien gastritis memiliki ketersediaan energi
tertinggi karena buah yang sering disajikan pada pasien gastritis adalah pisang.
Hal ini dikarenakan pasien gastritis harus menghindari buah yang memiliki
banyak gas, seperti melon. Buah yang biasanya digunakan di Rumah Sakit
LANUD Atang Sendjaja adalah melon, semangka, papaya dan pisang.

5.7.6 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore


Ketersediaan energi dan protein makan sore dihitung berdasarkan menu
yang disajikan pada pasien karena siklus menu yang terdapat di Rumah Sakit
LANUD Atang Sendjaja tidak berjalan dengan baik. Rata-rata ketersediaan energi
dan protein makan sore dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore
Jenis Penyakit JK n Energi (Kal) Protein (g)
L 8 777 32.3
tifus abdominalis
P 4 616 25.7
L 3 487 17.4
dyspepsia
P 5 433 15.5
L 2 586 20.9
diare akut
P 6 505 18.0
L 3 564 20.1
gastritis
P 1 459 16.4

Dari tabel di atas, diketahui bahwa ketersediaan energi makan sore berkisar
antara 433 Kal hingga 777 Kal dan 16.4 g hingga 32.3 g untuk protein.
Ketersediaan tertinggi terdapat pada pasien tifus abdominalis, yaitu 777 Kal untuk
ketersediaan energi dan 32.3 g untuk ketersediaan protein. Pasien tifus
abdominalis memiliki ketersediaan energi dan protein tertinggi karena menu yang
disajikan memiliki kandungan energi dan protein yang tinggi bila dibandingkan
dengan menu yang disajikan pada hari yang lainnya.

5.8 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore


Tingkat ketersediaan didapat dengan cara membandingkan ketersediaan
makanan rumah sakit per waktu makan dengan kebutuhan sehari pasien. Tingkat
35

ketersediaan perlu dihitung sehingga dapat diketahui ketersediaan makanan rumah


sakit dapat mencukupi kebutuhan sehari atau tidak. Adapun tingkat ketersediaan
energi dan protein makan sore dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein Makan Sore


Energi Protein

Jenis J Tk Tk
n Ketersed kebutuhan Ketersed Kebutuhan
Penyakit K Ketersed Ketersed
(Kal) (Kal) (g) (g)
(%) (%)

tifus L 8 777 2589 30.0 32.3 107.6 30.0


abdominalis P 4 616 2054 30.0 25.7 85.6 30.0
L 3 487 1624 30.0 17.4 58.0 30.0
dyspepsia
P 5 433 1442 30.0 15.5 51.5 30.1
L 2 586 1950 30.1 20.9 69.6 30.0
diare akut
P 6 505 1727 29.2 18.0 61.7 29.2
L 3 564 1879 30.0 20.1 67.1 30.0
gastritis
P 1 459 1531 30.0 16.4 54.6 30.0

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar tingkat ketersediaan
energi dan protein makan sore adalah 30.0%. Tingkat ketersediaan energi tertinggi
yaitu 30.1% pada penderita diare akut laki-laki. Hal ini dikarenakan menu yang
disajikan pada hari tersebut memiliki energi yang lebih besar dibandingkan menu
pada hari lainnya. Tingkat ketersedian protein tertinggi terdapat pada pasien
dyspepsia perempuan, yaitu 30.1%. Hal ini dikarenakan menu yang disajikan
memiliki kandungan protein yang tinggi bila dibandingkan dengan menu pada
hari lainnya. Menu yang disajikan telah sesuai untuk besar persentase untuk lima
klai waktu makan, untuk makan sore sebesar 30%.

5.9 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore
Konsumsi energi dan protein berbeda dihitung berdasarkan sisa makanan, 1,
½, ¼, ¾, ataupun 0. Sisa makanan yang diamati berdasarkan menu yang disajikan,
yang memiliki kerangka menu berupa makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati
serta sayur. Tingkat konsumsi dapat dihitung dengan cara membandingkan
konsumsi per hidangan dengan ketersediaan per waktu makan
Konsumsi dan tingkat konsumsi dapat dibedakan berdasarkan kerangka
menu yang terdapat pada makan sore, yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk
nabati, sayur serta buah.
36

5.9.1 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makanan Pokok
Makanan pokok adalah salah satu kerangka menu yang ada dalam menu
makan sore. Makanan pokok berupa bubur untuk diet dengan konsistensi lunak.
Konsumsi energi dan protein makanan pokok dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makanan Pokok
Energi Protein
Jenis J Tk Tk
n Ketersed Konsumsi Ketersedi Konsumsi
Penyakit K Konsumsi Konsumsi
(Kal) (Kal) (g) (g)
(%) (%)
tifus L 8 180 169 93.9 3.4 3.2 94.1
abdominalis P 4 180 131 72.8 3.4 2.5 73.5
L 3 180 150 83.3 3.4 2.9 85.3
dyspepsia
P 5 180 144 80.0 3.4 2.7 79.4
L 2 180 150 83.3 3.4 2.9 85.3
diare akut
P 6 180 123 68.3 3.4 2.4 70.6
L 3 180 165 91.7 3.4 3.1 91.2
gastritis
P 1 180 135 75.0 3.4 2.6 76.5
Dari tabel di atas, konsumsi energi berkisar antara 123 Kal hingga 169 Kal
dapat dan konsumsi protein antara 2.4 g hingga 3.2 g. Konsumsi makanan pokok
tertinggi adalah pasien laki-laki tifus abdominalis, yaitu 169 Kal untuk konsumsi
energi dan 3.2 untuk konsumsi protein. Konsumsi terendah terdapat pada pasien
perempuan diare akut, yaitu 123 Kal untuk konsumsi energi dan 2.4 g untuk
konsumsi protein.
Tingkat konsumsi tertinggi adalah pasien laki-laki tifus abdominalis yaitu
93.9% untuk tingkat konsumsi energi dan 94.1% untuk tingkat konsumsi protein.
Hal ini dikarenakan pasien laki-laki pada pasien tifus abdominalis memiliki nafsu
makan yang cukup baik sehingga tingkat konsumsi makanan pokok lebih baik bila
dibandingkan dengan pasien dengan penyakit lainnya.

5.9.2 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk Hewani
Lauk hewani merupakan salah satu hidangan dalam suatu menu yang
disajikan pada pasien. Lauk hewani memiliki sumbangan energi dan protein
cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan per waktu makan. Konsumsi dan
tingkat konsumsi lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk Hewani
Jenis JK n Energi Protein
Penyakit Ketersed Kons Tk Ketersed Kons Tk
(Kal) (Kal) Konsumsi (g) (g) Konsumsi
37

(%) (%)
tifus L 8 139 139 100.0 8.0 8.0 100.0
abdominalis P 4 116 116 100.0 7.4 7.4 100.0
L 3 119 119 100.0 6.6 6.6 100.0
dyspepsia
P 5 128 128 100.0 8.0 8.0 100.0
L 2 123 87 70.7 7.5 5.3 70.7
diare akut
P 6 128 101 78.9 7.1 5.6 78.9
L 3 98 90 91.8 7.6 6.9 90.8
gastritis
P 1 77 77 100.0 7.1 7.1 100.0

Dari Tabel 19, dapat diketahui bahwa konsumsi lauk hewani berkisar antara
77 Kal hingga 128 Kal untuk konsumsi energi dan 4.0 g hingga 8.1 g utuk
konsumsi protein. Konsumsi lauk hewani tertinggi terdapat pada pasien laki-laki
tifus abdominalis yaitu 139 Kal untuk konsumsi energi dan 8.0 g untuk konsumsi
protein. Sedangkan untuk konsumsi energi terendah adalah pasien gastritis
perempuan yaitu 77 Kal. Konsumsi protein terendah adalah 4.0 g pada pasien
dyspepsia laki-laki.
Tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani tertinggi adalah 100%
yaitu pada pasien tifus abdominalis baik laki-laki maupun perempuan, serta pasien
dyspepsia baik laki-laki maupun perempuan serta pasien perempuan pada
gastritis. Tingkat konsumsi energi dan protein terendah yaitu 78.9% pada pasien
diare akut perempuan. Hal ini disebabkan karena nafsu makan pada pasien
perempuan diare akut masih kurang, sehingga tingkat konsumsi energi dan protein
lebih rendah dibandingkan penyakit lainnya.

5.9.3 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk Nabati
Konsumsi lauk nabati juga memiliki peran dalam memenuhi kebutuhan
energi dan protein sehari. Lauk nabati memiliki sumbangan energi dan protein
yang cukup tinggi untuk makan sore. Konsumsi lauk nabati dapat dilihat pada
Tabel 20.

Tabel 20 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Lauk Nabati
Energi Protein
Jenis J
n Ketersediaan Konsumsi Tk Kons Ketersediaan Konsumsi Tk Kons
Penyakit K
(Kal) (Kal) (%) (g) (g) (%)
tifus L 8 101 101 100.0 5.1 5.1 100.0
abdominalis P 4 80 74 92.5 5.6 5.2 92.9
L 3 99 50 50.5 7.3 2.8 38.4
dyspepsia
P 5 90 88 97.8 3.8 2.7 71.1
L 2 130 88 67.7 3.8 2.3 60.5
diare akut
P 6 111 74 66.7 7.6 5.9 78.0
gastritis L 3 70 58 82.9 4.1 3.6 87.8
38

P 1 96 67 69.8 5.0 3.3 66.0

Dari Tabel 20, dapat diketahui bahwa konsumsi lauk nabati berkisar antara
50 Kal hingga 101 Kal untuk konsumsi energi dan 2.3 g hingga 5.9 g untuk
konsumsi protein. Konsumsi lauk nabati tertinggi yaitu pasien laki-laki tifus
abdominalis, yaitu 101 Kal untuk konsumsi energi dan 5.9 g untuk konsumsi
protein pada pasien perempuan diare akut. Sedangkan konsumsi terendah adalah
pasien dyspepsia laki-laki, yaitu 50 Kal untuk konsumsi energi dan 2.3 g untuk
konsumsi protein.
Tingkat konsumsi energi dan protein lauk nabati tertinggi adalah 100%,
yaitu pada pasien tifus abdominalis laki-laki. Hal ini disebabkan pasien memiliki
nafsu makan yang cukup baik, sehingga tingkat konsumsi lebih tinggi bila
dibandingkan pasien dengan penyakit lainnya.
5.9.4 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Sayur
Konsumsi sayur juga memiliki peran dalam memenuhi kebutuhan energi
dan protein sehari. Sayur memiliki sumbangan energi dan protein yang terlalu
besar, namun sayur tetap memiliki peranan pening dalam suatu kerangka menu.
Konsumsi dan tingkat konsumsi sayur pada makan sore dapat dilihat pada Tabel
21.

Tabel 21 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Sayur


Energi Protein
Jenis J
n Ketersediaan Konsumsi Tk Kons Ketersediaan Konsumsi Tk Kons
Penyakit K
(Kal) (Kal) (%) (g) (g) (%)

tifus L 8 42 42 100.0 2.5 2.5 100.0


abdominalis P 4 29 21 72.4 5.6 1.3 23.8
L 3 81 31 38.3 4.6 1.2 26.1
dyspepsia
P 5 74 60 81.1 2.7 2.4 88.9
diare akut L 2 65 27 41.5 3.1 1.2 39.3
P 6 81 30 37.0 2.5 0.9 36.0
L 3 34 29 85.3 2.0 1.8 90.0
gastritis
P 1 29 17 58.6 0.8 0.6 75.0

Dari Tabel 21, dapat diketahui bahwa konsumsi sayur antara 17 Kal hingga
60 Kal untuk konsumsi energi dan 0.6 g hingga 2.5 g untuk konsumsi protein.
Tingkat konsumsi energi dan protein pasien adalah tifus abdominalis laki-laki
tertinggi, yaitu 100% untuk tingkat konsumsi energi maupun protein. Hal ini
dikarenakan konsumsi sayur dari pasien tifus abdominalis laki-laki baik. Selain
39

itu, sayur yang disajikan adalah sayur yang disukai oleh pasien sehingga banyak
dikonsumsi, seperti capcay.
Pasien diare akut memiliki tingkat konsumsi terendah karena pasien diare
cenderung tidak menghabiskan sayur yang disajikan. Hal ini disebabkan karena
sayur memiliki kandungan serat yang cukup tinggi sehingga pasien menjadi
tambah sering buang air besar.

5.9.5 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Buah


Selain makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati dan sayur, konsumsi buah
juga harus diperhatikan. Buah berfungsi sebagai dessert. Konsumsi energi dan
protein buah dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Buah


Energi Protein
Jenis Penyakit JK n Ketersediaan Konsumsi Tk.Kons Ketersediaan Konsumsi Tk.Kons
(Kal) (Kal) (%) (g) (g) (%)
tifus L 8 15 15 100.0 0.2 0.2 100.0
abdominalis P 4 15 15 100.0 0.2 0.2 100.0
L 3 9 7 77.8 0.1 0.1 76.9
dyspepsia
P 5 12 12 100.0 0.3 0.3 100.0
L 2 14 14 100.0 0.3 0.3 100.0
diare akut
P 6 16 14 87.5 0.3 0.2 80.0
L 3 17 17 100.0 0.2 0.2 100.0
gastritis
P 1 14 14 100.0 0.2 0.2 100.0

Dari tabel di atas, konsumsi energi buah sebagian besar adalah 14 Kal dan
0.2 g protein. Konsumsi energi buah tertinggi pada pasien gastritis laki-laki yaitu
17 Kal. Sedangkan konsumsi protein tertinggi adalah 0.3 pada pasien dyspepsia
dan diare perempuan. Tingkat konsumsi energi tertinggi adalah pasien gastritis
laki-laki yaitu 3.0% dan 1.9% untuk tingkat konsumsi protein pada penyakit
dyspepsia perempuan.
Hal ini karena buah yang disajikan pada penyakit gastritis disukai, sehingga
di konsumsi habis oleh pasien, seperti buah pisang. Selain itu, pisang dapat
menetralkan asam lambung sehingga pasien tidak mual. Sedangkan pada pasien
dyspepsia disajikan melon yang mengandung gas, padahal pasien mengalami
nyeri ulu hati sehingga menyebabkan mual bila mengkonsumsi buah tersebut.
40

5.9.6 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore
Konsumsi dihitung berdasarkan pengamatan sisa makan sore, yaitu 1, ½, ¼,
¾, ataupun 0. Tingkat konsumsi dapat dihitung dengan cara membandingkan
konsumsi per hidangan dengan ketersediaan per waktu makan. Konsumsi dan
tingkat konsumsi energi dan protein makan sore dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore
Energi Protein
Jenis J
n Ketersediaan Konsumsi Tk.Kons Ketersediaan Konsumsi Tk.Kons
Penyakit K
(Kal) (Kal) (%) (g) (g) (%)
tifus L 8 777 461 59.3 32.3 19.2 59.4
abdominalis P 4 616 355 57.6 25.7 16.3 63.4
L 3 487 356 73.1 17.4 13.5 77.6
dyspepsia
P 5 433 405 93.5 15.5 14.9 96.1
L 2 586 388 66.2 20.9 11.8 56.5
diare akut
P 6 505 324 64.2 18.0 11.8 65.6
L 3 564 355 62.9 20.1 18.3 91.0
gastritis
P 1 459 278 60.6 16.4 11.2 68.3
Dari tabel di atas, diketahui bahwa konsumsi energi makan sore antara 278
Kal hingga 461 Kal dan 11.2 g hingga 19.2 g protein. Konsumsi tertinggi terdapat
pada pasien tifus abdominalis laki-laki , yaitu 461 Kal konsumsi energi dan 19.2 g
konsumsi protein. Konsumsi terendah terdapat pada pasien gastritis perempuan,
yaitu 278 Kal untuk konsumsi energi dan 11.2 g untuk konsumsi protein.
Tingkat konsumsi tertinggi pada pasien perempuan penyakit dyspepsia,
yaitu 93.5% tingkat konsumsi energi dan 96.1% tingkat konsumsi protein. Hal ini
karena pasien perempuan dyspepsia telah memiliki nafsu makan yang baik
sehingga memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Selain itu, hidangan yang
disajikan disukai oleh pasien, seperti ayam goring, perkedel kentang dan capcay.

5.10 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore


Kontribusi konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi per waktu
makan dan kebutuhan sehari. Kontribusi dihitung untuk mengetahui kontribusi
konsumsi per waktu makan bila dibandingkan degan kebutuhan sehari. Kontribusi
konsumsi makan sore dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Kontribusi Konsumsi Energi dan Protein Makan Sore


Energi Protein
Jenis
JK n Konsumsi Kebutuhan Kontribusi Konsumsi Kebutuhan Kontribusi
Penyakit
(Kal) (Kal) (%) (g) (g) (%)
tifus L 8 461 2589 17.8 19.2 107.6 17.8
abdominalis P 4 355 2054 17.3 16.3 85.6 19.0
dyspepsia L 3 356 1624 21.9 13.5 58.0 23.3
41

P 5 405 1442 28.1 14.9 51.5 28.9


L 2 388 1950 19.9 11.8 69.6 17.0
diare akut
P 6 324 1727 18.8 11.8 61.7 19.1
L 3 355 1879 18.9 18.3 67.1 27.3
gastritis
P 1 278 1531 18.2 11.2 54.6 20.5

Kontribusi konsumsi energi antara 17.3% hingga 28.1%. sedangkan


kontribusi konsumsi protein antara 17.0% hingga 28.9%. Kontribusi konsumsi
energi dan protein tertinggi terdapat pada pasien perempuan pada penyakit
dyspepsia, yaitu 28.1 % dan kontribusi konsumsi protein sebesar 28.9%.
Dari 32 pasien yang diamati, sebagian besar kontribusi konsumsi makan
sore belum memenuhi standar konsumsi makan sore, yaitu 30 %. Hal ini
dikarenakan pasien penyakit saluran pencernaan memiliki keluhan mual, nyeri
pada ulu hati, kembung serta rasa cepat kenyang. Keluhan ini berpengaruh pada
berkurangnya nafsu makan pada pasien.
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat berdasarkan hasil pengamatan adalah :
1. Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja terletak di Jalan Sardijo No.1 Semplak,
Bogor dan memiliki 19 ruang perawatan umum dan lima ruang perawatan
kebidanan. Bed Occupancy Rate (BOR) dari Rumah Sakit LANUD Atang
Sendjaja adalah 44%.
2. Pemesanan makanan dilakukan satu kali, pada pagi hari dan penambahan
pasien, termasuk pasien baru dilaporkan melalui telepon sehingga sering
terjadi kesalahan dalam pemberian makanan.

3. Sistem distribusi yang digunakan adalah sentralisasi. Tenaga distribusi makan


sore hanya dua orang dan sering terjadi kesalahan pemberian makanan karena
hilangnya pelabelan pada makanan.
4. Ketersediaan energi makan sore berkisar antara 379 Kal hingga 475 Kal
dengan rata-rata 432 Kal. Ketersediaan protein berkisar antara 16.1 g hingga
22.7 dengan rata-rata 18.5 g. Tingkat ketersediaan energi dan protein makan
sore sudah baik, yaitu 30.0%.
5. Konsumsi energi makan sore, baik makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati
sayur serta buah sudah baik, yaitu 50%, hanya untuk sayur pada pasien diare
masih kurang, yaitu 30.0%.
42

6. Dari 32 pasien yang diamati, kontribusi konsumsi energi dan protein makan
sore masih kurang, yaitu antara 17.0% sampai 28.9%. Hal ini dikarenakan
penyakit saluran pencernaan memiliki keluhan mual, nyeri pada ulu hati,
kembung serta rasa cepat kenyang. Keluhan ini berpengaruh pada
berkurangnya nafsu makan pada pasien.

Saran
Adapun saran yang dapat dianjurkan adalah :

1. Siklus menu sebaiknya berjalan dengan baik sehingga ketersediaan makanan


bagi pasien dapat stabil.
2. Penambahan pasien sebaiknya melalui memo tertulis dalam form
penambahan pasien sehingga dapat dipertanggung-jawabkan.
3. Pada saat distribusi menggunakan pelabelan kembali sehingga tidak terjadi
salah pemberian makanan. Pelabelan dapat menggunakan kertas label.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama:


Jakarta.
Bakrie, B dan Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Dit. Jen. Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. 2003. Pedoman
Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Hartono, A. 2006. Terapi Diet Dan Diet Rumah Sakit. EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. PT
Bhratara Niaga Media: Jakarta.
Noer.N.M, Sjaifoelah,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Uripi, V. 2007. Manajemen Produksi Makanan. Diktat yang tidak
dipublikasikan. Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan
Gizi, Direktorat Program Diploma. Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wulandari, Nuni. 2008. Pemesanan dan Distribusi Makanan Diet Lambung untuk
Pasien Rawat Inap di RS PMI Bogor. Tugas Akhir yang tidak
43

dipublikasikan. Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan


Gizi, Direktorat Program Diploma. Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN
44

Lampiran 1 Struktur Organisasi serta Denah Unit Gizi LANUD Atang Sendjaja

a. Struktur Organisasi Unit Gizi LANUD Atang Sendjaja

Kajangkes

Kepala Unit Gizi

Kepala Unit Dapur

Tenaga Persiapan Tenaga Pengolahan Tenaga Distribusi

b. Denah Unit Gizi Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja

1
C 1

B D

A
2 2
45

Keterangan:

Ruang Persiapan
Ruang Pengolahan
Ruang Pemorsian
Ruang Ganti
Ruang Kepala Unit Gizi
1.Meja Pemorsian
2.Kompor
Lampiran 2 Format Permintaan Diet Pasien Rawat Inap.
PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA
RUMAH SAKIT
PERMINTAAN DIIT PASIEN RAWAT INAP

NO NAMA RUANGAN DIAGNOSA DIIT KETERANGA


N

..

..

..

..

..
46

..

45

Bogor, 2009
PERAWAT JAGA

( )

Lampiran 3 Format Pelabelan Makanan

Ruangan :
Nama :
Diet :

Makan Siang / Sore

Nasi/bubur : 100/150/250 gram


Daging/Ikan/Ayam/Telur:
Tahu/Tempe :
Sayur : 50/100 gram
47

Lampiran 4 Spesifikasi dan Jenis Peralatan Hidang

No Ruangan Nama Alat Spesifikasi Jumlah Gambar Alat Hidang


Nampan Kayu 2
Piring Porcelain 5
Soup cup & Porcelain
6
saucer
Piring L. Porcelain
1 VVIP 3
Hewani
Piring L. Porcelain
7
Nabati
Tempat buah Melamin 2
Long glass Kaca 5
Nampan
22
plastik
Piring nasi 22
Piring L.
VIP, Kelas I
2 Hewani & Melamin 22
& II
Nabati
Mangkok 22
Tempat buah 22
Plato Stainless steel 7
Plato putih Melamin 8
Plato besar Melamin 6
3 Kelas III Plato biru Melamin 6

Sendok Plastik 60
48

Lampiran 5 Tabel Ketersediaan Makan Sore selama 1 Siklus Menu

Siklus Menu Energi Protein


Kerangka Menu Menu
ke- (Kal) (g)
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Ikan pindang 86 8.8
1 Lauk Nabati Tahu goreng 79 3.9
Sayur Capcay 28 1.7
Buah Semangka 6 0.1
Total 379 17.9
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Telur dadar 125 6.3
Lauk Nabati Tempe bacem 78 9.5
2
Sayur Tumis kc panjang +
36 1.5
wortel
Buah Semangka 6 0.1
Total 425 20.8
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Telur bb kuning 76 6.5
3 Lauk Nabati Tempe goreng tpng 156 9.9
Sayur Sup sayuran 34 1.5
Buah Melon 14 0.2
Total 460 21.5
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Empal daging 99 7.7
4 Lauk Nabati Tahu goreng tepung 115 4.6
Sayur Sayur timun+wortel 25 0.9
Buah pepaya 22 0.2
Total 441 16.8
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Ayam goreng 168 7.4
Lauk Nabati Kentang bb kuning 51 1.1
5
Sayur Sayur buncis, wortel
36 1.7
Jagung
Buah Semangka 6 0.1
Total 441 13.7
49

Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4


Lauk Hewani Ayam goreng 128 8.0
Lauk Nabati Kentang bb kuning 91 9.4
6
Sayur Sayur
54 1.7
buncis+worte+jagung
Buah Semangka 22 0.2
Total 475 22.7
Makanan Pokok Nasi putih 180 3.4
Lauk Hewani Opor telur 96 6.5
7 Lauk Nabati Tahu bacem 39 4.5
Sayur Tumis wortel+buncis 79 1.5
Buah Melon 14 0.2
Total 408 16.1
Lampiran 6. Ketersediaan Energi Menu Makan Sore Pasien

Ketersediaan Energi (Kal) Ketersediaan Protein (g)


No Nama Penyakit Nama Pasien
M.Pokok L.Hewani L.Nabati Sayur Buah M.Pokok L.Hewani L.Nabati Sayur Buah
Tn.Kp 180 121 71 52 14 3.4 8.2 5.7 1.3 0.2
Tn.Ad 180 112 84 31 17 3.4 7.9 5.7 1.2 0.2
Tn.Ks 180 149 114 43 14 3.4 7.5 5.3 9.0 0.2
Tn.Kh 180 151 105 31 14 3.4 8.6 3.5 1.3 0.2
Tn.Ag 180 137 88 42 14 3.4 7.3 3.5 1.8 0.2
Tn.Dd 180 151 125 42 14 3.4 7.4 2.6 1.8 0.2
1 Typus Abdominalis
Tn.Ra 180 133 110 24 14 3.4 8.2 7.7 1.1 0.2
Tn.Gn 180 155 111 67 14 3.4 8.8 6.9 2.3 0.2
Ny.Ir 180 112 84 30 17 3.4 7.9 5.7 1.2 0.2
Ny.Ea 180 73 45 31 14 3.4 6.9 3.2 1.3 0.2
Nn.In 180 140 111 21 14 3.4 7.6 7.7 1.2 0.2
Ny.Ln 180 137 81 33 14 3.4 .73 5.7 1.6 0.2
Tn.Ab 180 112 72 85 6 3.4 5.1 5.9 2.3 0.1
Tn.Zl 180 133 134 114 6 3.4 8.1 12.3 10.1 0.1
Ny.En 180 152 84 113 6 3.4 7.3 7.7 3.2 0.1
Ny.Nn 180 106 67 54 14 3.4 7.9 4.9 1.8 0.2
2 Dyspepsia
Tn.Mt 180 113 90 43 14 3.4 6.6 3.8 2.1 0.2
Ny.Rn 180 140 86 75 14 3.4 7.9 1.9 3.2 0.2
Ny.En 180 136 86 61 14 3.4 7.1 1.9 2.1 0.2
Ny.Yt 180 137 125 69 14 3.4 8.1 2.6 3.1 0.2
Ny.Uh 180 120 79 94 6 3.4 5.8 7.6 2.5 0.1
Ny.My 180 120 79 94 6 3.4 9.0 7.6 2.5 0.1
Ny.Na 180 140 85 35 31 3.4 5.9 7.9 1.1 0.1
Ny.Mr 180 127 92 149 6 3.4 7.3 7.8 4.2 0.1
3 Diare Akut
Tn.Sy 180 123 136 61 14 3.4 7.0 5.0 3.0 0.1
Tn.Mr 180 132 125 69 14 3.4 8.0 2.6 3.1 0.3
Ny.Sr 180 132 125 69 14 3.4 8.0 2.6 3.1 0.3
Ny.Sp 180 129 97 46 34 3.4 6.7 4.3 1.6 0.3
Ny. Rm 180 77 96 29 14 3.4 7.1 5.0 0.8 0.2
Tn.Nr 180 73 64 31 14 3.4 6.9 3.2 1.3 0.2
4 Gastritis
Tn.Rt 180 99 75 29 17 3.4 7.6 3.3 4.0 0.2
Tn.Sm 180 121 71 41 20 3.4 8.2 5.7 0.8 0.2
Lampiran 7. Konsumsi Energi Menu Makan Sore Pasien

Konsumsi Energi (Kal) Konsumsi Protein (g)


No Nama Penyakit Nama Pasien
M.Pokok L.Hewani L.Nabati Sayur Buah M.Pokok L.Hewani L.Nabati Sayur Buah
Tn.Kp 180 121 71 52 14 3.4 8.2 5.7 1.3 0.2
Tn.Ad 180 112 84 31 17 3.4 7.9 5.7 1.2 0.2
Tn.Ks 180 149 114 43 14 3.4 7.5 5.3 9.0 0.2
Tn.Kh 150 151 105 31 14 2.8 8.6 3.5 1.3 0.2
Tn.Ag 150 137 88 42 14 2.8 7.3 3.5 1.8 0.2
Tn.Dd 180 151 125 42 14 2.4 7.4 2.6 1.8 0.2
1 Typus Abdominalis
Tn.Ra 180 133 110 24 14 3.4 8.2 7.7 1.1 0.2
Tn.Gn 150 155 111 67 14 2.8 8.8 6.9 2.3 0.2
Ny.Ir 180 112 84 30 14 3.4 7.9 5.7 1.2 0.2
Ny.Ea 135 73 30 17 14 2.6 6.9 3.2 1.3 0.2
Nn.In 120 140 111 18 14 2.3 7.6 7.7 1.2 0.2
Ny.Ln 90 137 71 20 14 1.7 7.3 5.7 1.6 0.2
Tn.Ab 135 112 27 6 2 2.6 5.1 2.3 0.2 0
Tn.Zl 135 133 30 43 4 2.6 8.1 2.3 1.2 0
Ny.En 105 120 74 60 6 2.0 9.0 4.6 1.0 0.1
Ny.Nn 105 106 38 58 14 2.0 7.9 2.7 1.0 0.3
2 Dyspepsia
Tn.Mt 180 113 92 43 14 3.4 6.8 3.8 2.1 0.3
Ny.Rn 180 130 86 75 14 3.4 7.9 1.9 3.2 0.3
Ny.En 180 136 86 61 14 3.4 7.8 1.9 2.2 0.3
Ny.Yt 150 137 125 45 14 2.8 8.1 2.6 4.6 0.3
Ny.Uh 120 111 57 26 2 2.3 5.2 5.4 0.4 0
Ny.My 105 120 58 51 3 2.0 9.0 5.4 1.4 0
Ny.Na 135 140 85 23 29 2.6 5.9 7.5 0.7 0.4
Ny.Mr 120 82 68 52 3 2.3 4.8 5.4 1.3 0
3 Diare Akut
Tn.Sy 165 98 96 42 14 3.1 5.9 2.0 1.9 0.3
Tn.Mr 135 76 125 11 14 2.6 4.7 2.6 0.4 0.3
Ny.Sr 135 66 77 11 14 2.6 4.0 1.6 0.4 0.3
Ny.Sp 120 84 97 18 34 2.3 4.7 4.3 0.8 0.5
Ny. Rm 135 77 67 17 14 2.6 7.1 3.3 0.6 0.2
Tn.Nr 135 73 41 16 14 2.6 6.9 2.3 0.7 0.2
Gastritis
Tn.Rt 180 75 62 29 17 3.4 5.7 2.7 4.0 0.2
Tn.Sm 180 121 71 41 20 3.4 8.2 5.7 0.8 0.2

You might also like