You are on page 1of 3

DAPUR

Hendrik MB

Monika lebih mengenal dapur. Tempat dimana jelaga dan asap menjadi karib tanpa
keluh dan kesah. Bebauan bumbu makanan menjadi sangat intim dengan indera
penciumannya. Bangun pagi tidak harus mandi cukup basuh muka lantas ke dapur. Menanak
nasi. Air panas untuk kopi sang suami yang akan segera ke kebun. Sarapan seadanya. Sang
suami mengepulkan asap rokok koli(*) ke angkasa beranda sederhana. Seruput kopi dengan
tergesa. Pergi dengan tergesa tanpa pamit.
**
Monika mengenal dapur semenjak kecil. Ia menyusu di dapur dari puting ibunya yang
hitam oleh jelaga. Dan perempuan seperti dia – sama persis dengan ibu dan perempuan lain di
kampung – akan menjadi dapur. Dapur dalam rupa apa saja. Entah itu benda mati dengan
dinding reyot dan berjelaga. Entah itu sekedar tubuh penghangat dingin dimalam hari saat
suami butuh kelamin. Entah itu serupa barang pajangan berisi banyak kemungkinan untuk
disantap. Oleh amarah. Oleh birahi. Oleh ketamakan. Oleh gengsi. Perempuan seperti Monika
hanyalah dapur bagi pria-pria semacam suaminya itu.
Monika tidak mengeluh. Entah itu tamparan suami. Entah itu makian semacam: kau
ku bayar mahal dengan macam belis. Kau miliku. Kau telah ku beli!
Itu hanya semacam gelar penghormatan baginya. Sebab bagi perempuan seperti dia menjadi
dapur adalah kodrat. Kodrat melayani pria. Kodrat menjadi dapur pria. Semacam terlahir dari
kubang jelaga, ia dan perempuan sepertinya hanyalah barang mahal dan antik. Sebuah
pajangan dan pertunjukan seberapa mahal ia di ambil dari keluarganya. Seberapa lama
perdebatan maharnya. Seberapa meriah pesta pernikahannya. Seberapa heboh ketika ia
berjanji untuk menjadi dapur suaminya.
Pilihan utama seorang pria adalah wanita dengan keindahan fisik. Kemampuan
bergerak cepat bak motor boat dalam lomba super boat. Seberapa lama ia mempertahankan
keperawanannya sampai malam pertama saat perang kelamin. Begitu banyak kesempatan pria
memilih hingga wanita kehabisan waktu untuk memilih. Demikianlah Monika, tak bisa
memilih antara kekasih atau pria dengan berjibun belis yang datang dan mencekoki ayahnya
dengan rerupa janji.
Pernikahan yang diimpikan Monika yang serupa dongeng Cinderella mengantarnya
ke dapur tempat ia menyeduh kopi untuk suaminya tipa pagi dan sore. Mengubahnya menjadi
dapur saat sang suami butuh kelamin. Menjadikannya pajangan saat seorang pria datang
melamar anaknya yang juga perempuan.
“Ibunya dibayar mahal. Dia lebih mahal dari ibunya.” Gelegar suara itu seperti
penjual emas di pasar senin-kamis kampunganya. Dia tau anaknya sedang dijual. Dia tau dia
adalah pajangan pembanding untuk harga anaknya. Kepermpuananya remuk redam. Namun
ia sadar kalau ia hanya dapur. Diamana bisa diisi perabot mahal bila dibutuhkan, namun bisa
berganti asap dan jelaga bila hanya urusa kopi dan kelamin.
Monika adalah dapur. Dia menetaskan dapur. Sesosok perempuan lain yang kurang
lebih dua puluh tahun silam adalah seongok daging dalam rahimnya. Perempuan yang
diimpikan menjadi seorang chef di dapur berkelas. Dapur dimana cita rasa masakan sangat
diagungkan. Dapur dimana pria dan wanita ada dan bekerja bersama laiknya dongeng
penciptaan: wanita itu dari tulang rusuk pria. Dapur dimana tawa dan canda saat menanak
nasi dan menyeduh kopi seperti bercinta dan orgasme. Dapur dimana pagi dan sore menjadi
kesempatan untuk berbagi canda dan ceritera tentang suami di kebun dan istri di rumah.
Dapur yang bukan hanya sekedar ceritera kelamin.
Anaknya mungkin akan mendapatkan dapur seperti dirinya saat ini. Monika tidak tau
dapur serupa apa. Serupa dinding bambu dan beratap jerami kah? Ataukah dapur berdiding
tanag dan beratap genteng merah kah? Ia bertanya-tanya serupa apa anaknya kelak setelah
menjadi dapur. Apakah penuh jelaga dan asap ataukah penuh canda adan tawa? Hanya saja
ada sedikit harapan bahwa pria yang datang itu pria yang dicintai dan mencintai anaknya.
“Segeralah tentukan bayaran kamu. Kalau terlalu lama kita sudahi saja dan akan
kucari penawar dengan harga yang lebih baik.”
Cinta itu sangat murah di kampung Monika. Cinta itu serupa keripik pisang di kantin
sekolah. Ia hanya barang murahan yang tak digubris ketika transaksi dagang keluarga pria
dan wanita. Bagi mereka saat seperti ini adalah kesempatan untuk menawar semurah
mungkin atau menaruh harga setinggi mungkin. Bagi pihak keluarga wanita semakin mahal
harga seorang wanita semakin tinggi derajat keluarganya. Sedang bagi seorang pria semakin
tinggi harga seorang wanita maka ia akan menekan harganya semurah mungkin untuk
mendapatkan pajangan mahal dengan harga murah meriah. Ini seperti perburuan dimana sang
pemburu hanya memiliki satu peluru untuk melumpuhkan buruannya.
Monika hanya bisa mendengar. Ia tak punya hak untuk bersuara. Ia hanya bisa
menasihati yang baik-baik kepada anaknya bila kelak telah menjadi dapur sorang pria. Entah
itu pria yang dicintai atau pun tidak. Anaknya harus menjadi dapur yang baik. Tak peduli
seberapa tebal jelaga di wajah sang istri suami adalah dewa dimana saat ia butuhkan wanita
harus secantik dewi. Wanita harus menjadi penari hebat saat kelamin pria begitu bersemangat
menjadi penonton yang agung. Persoalan kelamin adalah hal berbeda bila suami menjadi
sekejam srigala.
“Buatlah dirimu sebagai dapur yang baik. Murah hatilah pada tamparan atau amarah
suamimu.” Mata anaknya dulu adalah binar kebahagiaannya. Binar cita-cita tentang
kehidupan yang lebih baik bagi perempuan seperti dirinya. Tapi semuanya telah runtuh oleh
adikuasa kaum pria. Soal pria yang dicintai dan mencintai anaknya bisa saja hanya isapan
jempol. Omongkosong romantisme murahan kaum berkelamin. Cinta hanyalah bumbu
penyedap adegan ranjang, saat kelamin berseteru. Cinta juga hanya tameng keinginan
kelamin yang dipoles dengan make-up mahal. Ia adalah fatamorgana.
Monika tetap saja tegar. Tetap saja ia melayani suaminya dengan baik. Tetap saja ia
menasihati anaknya sebelum malam pernikahan. Tetap saja ia punya cita-cita tentang
perempuan-perempuan sepertinya. Entah sampai kapanpun itu, ia tidak akan biarkan jelaga
dan asap dapur mengubur cita-citanya. Baginya dapur itu sebuah ruangan yang bisa diisi
dengan apapun. Entah itu tungku kayu. Entah itu kompor minyak atau gas sekalipun. Entah
itu lemari kayu atau kulkas dua pintu. Dapur itu tetap sebuah space dengan banyak
kemungkinan.
****
Monika lebih mengenal dapur. Tempat dimana jelaga dan asap menjadi karib tanpa
keluh dan kesah. Bebauan bumbu makanan menjadi sangat intim dengan indera
penciumannya. Bangun pagi tidak harus mandi cukup basuh muka lantas ke dapur. Menanak
nasi. Air panas untuk kopi sang suami yang akan segera ke kebun. Sarapan seadanya. Sang
suami mengepulkan asap rokok koli(*) ke angkasa beranda sederhana. Seruput kopi dengan
tergesa. Pergi dengan tergesa tanpa pamit.
(*)Rokok koli: rokok tradisional dari daerah NTT

Malang, 080311
*)Untuk dapurku kelak: kau adalah rusukku; bukan sekedar kamarku.

You might also like