You are on page 1of 27

BAB IV

IMPLEMENTASI DAN PEMBAHASAN SIMULASI

Dalam perancangan sel, target- target yang ingin dicapai adalah kapasitas

layanan sel, daerah cakupan sel dan kualitas layanan sel. Target-target ini adalah

target satu kesatuan, biasanya kapasitas sel berbanding terbalik dengan daerah

cakupan. Simulasi ini membantu salah satu tahap perancangan sel, yaitu untuk

memprediksi coverage sel yang erat kaitannya dengan tinggi permukaan bumi.

4.1 Parameter Awal

Seperti telah dibahas pada tahap perencanaan simulasi di sub bab 3.3.1,

dimana parameter untuk simulasi dibagi menjadi dua macam yaitu parameter

statis dan dinamis. Dalam implementasi parameter statis ditentukan nilainya

terlebih dahulu. Parameter tersebut meliputi parameter antena BS dan antena MS.

4.1.1. Antena BS

Antena yang digunakan untuk simulasi ini adalah antena Kahtrein, yang

diproduksi oleh perusahaan Jerman. Antena yang digunakan berbeda-beda sesuai

dengan frekuensi yang digunakan, Tabel 4.1 merupakan data antena Kahtrein

yang digunakan pada frekuensi 870-960 Mhz, antena ini memiliki daya

maksimum sebesar 500 Watt/56 dBm, penguatan daya sebesar 18.5 dBi.

Sedangkan Tabel 4.2 merupakan data antena Kahtrein yang digunakan pada

frekuensi 1710-1900 Mhz, antena ini memiliki daya maksimum sebesar 200 Watt/

53 dBm, penguatan daya sebesar 18dBi.


Tabel 4.1Data Antena Kathrein Tipe 730 376 (Katherin Antenna Catalog 2005).

Type No 730 376


Frequency range 870 – 960 MHz
Polarization Vertical
Gain 18.5 dBi

Half-power beam width H-plane: 65°


E-plane: 6.5°

Front-to-back ratio 25 dB

VSWR <1.3
Intermodulation IM3 < –150 dBc
(2 x 43 dBm carrier)

Max. power 500 W


(at 50 °C ambient temperature)

Input 7-16 female

Connector position Rearside

Weight 12 kg

Wind load (at 150 km/h) Frontal / Lateral / Rearside:


460 N / 300 N / 1020 N
Gambar 4.1 Pola radiasi antena Katherin 730 376 (Katherin Antenna Catalog 2005).

Tabel 4.2Data Antena Kathrein Tipe 735 147 (Katherin Antenna Catalog 2005).

Type No 735 147


Frequency range 1710 – 1900 MHz

Polarization Vertical
Gain 18 dBi

Half-power beam width H-plane: 65°


E-plane: 7°
Front-to-back ratio > 25 dB

VSWR <1.3
Intermodulation IM3 < –150 dBc
(2 x 43 dBm carrier)

Max. power 200 W


(at 50 °C ambient temperature)

Input 7-16 female

Connector position Rearside

Weight 4.6 kg

Wind load (at 150 km/h) Frontal / Lateral / Rearside:


260 N / 55 N / 310 N
Gambar 4.2 Pola radiasi antena Katherin 735 147 (Katherin Antenna Catalog 2005).

4.1.2. Mobile Station ( MS )

Sensitivitas MS adalah level sinyal minimum yang dapat diterima MS dan

tetap dapat dimodulasi dengan kualitas yang memadai. Baik MS (Sm) dan BTS

(Sb) mempunyai level sensitivitas yang telah di standarkan oleh ETSI. Persebaran

level-level sinyal inilah yang nantinya akan disimulasikan. Parameter sensitivitas

MS akan di ubah-ubah dari -75dB sampai -105 dB dan jari-jari maksimumnya

akan dihitung.

Parameter MS yang lain adalah tinggi MS dan penguatan antena. Tinggi

antena MS adalah 1.5 meter, nilai ini adalah nilai rata-rata saat orang

menggunakan MS dalam keadaan berdiri, sedangkan penguatan antena yang

digunakan MS sebesar 2 dB.

4.1.3. Rugi-Rugi Daya dan Penguatan Antena

Penentuan penguatan (gain) antena didasarkan data yang di miliki oleh

antena BS. Data rugi-rugi dan penguatan antena pada GSM 900 dan GSM 1800

dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.


Tabel 4.3 Rugi-rugi dan gain antena GSM 900.

Tinggi Antena MS (Hm) 1.5m


Daya Max BTS (Pb) 46 dBm
Daya Max MS (Pm) 33 dBm
Rugi Kombinasi filter (Ltf) 3,0 dBm
Rugi konektor BTS (Lj) 1,0 dBm
Penguatan Antena BTS (Gb) 21 dBi
Penguatan Antena MS(Gm) 2 dBi
The feeder loss (Gf) 1.1 dB
Cadangan Pudaran (sfm) 4 dB

Tabel 4.4 Rugi-rugi dan gain antena GSM 1800.

Daya Max BTS (Pb) 46 dBm


Daya Max MS (Pm) 30 dBm
Rugi Kombinasi filter (Ltf) 3,0 dBm
Rugi konektor BTS (Lj) 1,0 dBm
Penguatan Antena BTS (Gb) 21 dBi
Penguatan Antena MS(Gm) 2 dBi
The feeder loss (Gf) 1.1 dB
Cadangan Pudaran (sfm) 4 dB

4.2 Pemodelan Data

Dalam proses implementasi, objek-objek yang terlibat seperti tinggi

permukaan bumi, base station, persebaran sinyal dan hasil berupa coverage

dimodelkan dalam bentuk data digital yang bisa di olah menggunakan

ARCVIEW. Model-model tersebut menempati layer (theme) tersendiri didalam

tampilan ARCVIEW, seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.


Layer/ Theme model-model objek

Gambar 4.3 Grid tinggi permukaan tanah.

4.2.1. Model Permukaan Bumi

Model permukaan bumi di dalam implementasi diwujudkan dalam bentuk

data yang berwujud raster grid yang menempati layer tersendiri. Tiap sel memiliki

informasi koordinat dan atribute ketinggian. Gambar 4.3 adalah model data grid

permukaan tanah. Perbedaan warna menggambarkan adanya perbedaan

ketinggian. Warna hijau tua menandakan daerah-daerah yang memiliki ketinggian

yang cukup rendah (dataran rendah) sedangkan warna biru tua menandakan

daerah dengan ketinggian yang cukup tinggi yaitu daerah pegunungan. Satuan

ketinggian yang digunakan adalah meter.


Gambar 4.4 Tampilan grid tinggi permukaan tanah.

4.2.2. Model Base Station

BS dimodelkan dengan model point (Gambar 4.4). BS diletakkan di titik

tertentu di atas layer grid permukaan bumi. Untuk membuat visibility parameter-

parameter yang ada pada sub bab 3.2.2.3 dimasukkan kedalam atribute BS yang

tersimpan dalam sebuah basisdata (Tabel 4.5)


BS

Gambar 4.5 BS diletakkan diatas grid permukaan tanah.

Tabel 4.5 Contoh atribute BS untuk analisis visibility.

OFFSETA OFFSETB AZIMUTH1 AZIMUTH2 VERT1 VERT2 RADIUS1 RADIUS2 SPOT

1.5 70 90 270 7 -90 0 10125 164

4.2.3. Model Persebaran Sinyal

Bentuk persebaran sinyal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pola radiasi

antena dan jari-jari persebaran daya. Bentuk elips yang di tunjukan pada Gambar

4.6.a adalah pendekatan dari bentuk radiasi antena Kathrein yang mendekati

bentuk elips (sub bab 4.2.1). Bentuk tingkatan elips dari kecil ke besar

menunjukkan level power yang semakin mengecil dengan bertambahnya jarak

dari antena pemancar. Jari- jari elips dihitung menggunakan persamaan-

persamaan yang ada pada sub.bab 4.4.


(a) (b)

Gambar 4.6 Pola radiasi antena.

4.2.4. Model Raster Grid Persebaran Sinyal

Dengan menggunakan extension 3D analyst dan extension Spatial Analyst

model persebaran sinyal dirubah ke dalam bentuk grid (Gambar 4.6.b).

Keuntungan yang diberikan untuk tipe grid adalah kemampuannya untuk

melakukan aljabar peta.

4.2.5. Model Raster Grid Visibility Viewshed

Dengan menggunakan paramater-parameter untuk perhitungan visisbility yang

telah di bahas sebelumnya. Gambar 4.7 memperlihatkan hasil visibility pada suatu

daerah menggunakan viewshed.


Gambar 4.7 Data grid visibility

Posisi antena BS dengan ketinggian 40 meter yang berada di dataran

rendah (Gambar 4.7) memiliki wilayah visibility yang dibatasi oleh pegunungan

yang ada di depannya. Hasil ini membuktikan perbedaan tinggi permukaan bumi

mempengaruhi visibility suatu daerah, yang berarti juga mempengaruhi

persebaran sinyal.

4.2.6. Model Coverage Sel

Dengan menggunakan logika aljabar peta antara grid persebaran sinyal

dan grid visibility di hasilkan coverage sel dari suatu sel BS (Gambar 4.8). Model

ini memperlihatkan prediksi daerah-daerah yang mendapatkan level daya tertentu

dan daerah-daerah yang kurang memiliki level daya untuk melakukan hubungan

komunikasi. Level daya ini ditunjukan dengan perbedaan warna sesuai pada

legenda.
Gambar 4.8 Data grid coverage sel.

4.3 Implementasi dan Hasil Simulasi

Target yang ingin dicapai pada simulasi ini adalah melakukkan analisa

pengaruh ketinggian permukaan bumi terhadap persebaran sinyal. Pengujian

dilakukan dengan beberapa kondisi yang berbeda-beda. Yang paling utama adalah

membandingkan persebaran sinyal pada daerah-daerah memiliki keragaman

ketinggian permukaan yang sangat ekstrim ( memiliki beda tinggi permukaan

yang sangat lebar, misalnya daerah pegunungan dan dataran rendah) dengan

daerah dengan keragaman ketinggian permukaan yang tidak terlalu ekstrim


(biasanya ditemui pada dataran rendah) dan beberapa pengujian dengan kasus

tertentu.

4.3.1. Pengujian 1

Pada pengujian pertama ditempatkan BS pada titik tertentu, dimana

persebaran sinyal akan melewati dua daerah yang cukup ekstrim (> 100 meter),

yaitu daerah dataran rendah dan pegunungan. BS ditempatkan pada dataran

rendah.

 Tahap Konfigurasi

Proses menambahkan site pada peta dan menempatkannya pada titik

tertentu adalah dengan meg-klik tombol tool seperti pada Gambar 4.9. Kemudian

klik titik pada peta tempat BS di letakkan, akan muncul jendela kontrol (Gambar

4.10) yang berisi field-field untuk men-setting parameter-parameter yang di miliki

oleh BS. BS bisa memiliki lebih dari satu sel, untuk menambahkan sel, klik

tombol new cell pada jendela kontrol BS. Sehingga akan muncul jendela kontrol

sel (Gambar 4.11) yang berisi field-field untuk men-setting parameter-parameter

sel. Jika sudah selesai klik tombol save. Sehingga muncul sel baru (sel id) pada

daftar sel pada jendela kontrol BS (Gambar 4.12). Jika sel tersebut di pilih, maka

pada sisi kanan akan muncul parameter-parameter sel yang dimiliki. Tabel 4.7

adalah parameter yang telah di masukkan ke dalam basis data melalui jendel

kontrol.
Tool untuk
menambah BS
Gambar 4.9 Tool untuk menambah BS

Nama SIte
Site Id
Koordinat
Latitude

Koordinat
Longitude

Tombol
Menambah Sel

Data yang
Sel yg dimiliki dimiliki sel
olehBS terpilih

Lokasi BS Peta digital


permukaan
Gambar 4.10 Jendel kontrol BS bumi tipe grid
Cell Id

Field
parameter BS

Gambar 4.11 Jendel kontrol sel

Sel hasil
penambahan

Gambar 4.12 Jendel kontrol BS dan sebuah sel


Tabel 4.6 Parameter-parameter masukan

BS

Site Id 27238

Site Name YOGYA_CITY


Sel
Cell id 272381

Frekuensi 900 Mhz

Tipe Daerah Urban

Perarahan Antena 0 (derajat)

Downtilt antena 3

Tinggi Antena 4

 Tahap Pembentukan Coverage

Parameter-parameter yang telah di-setting kemudian di olah sehingga bisa

mensimulasikan sebuah sel. Perarahan antena digunakan untuk membuat sektor

pada sel. Perarahan antena 0 derajat, berarti secara geografis mengarah ke utara.

Downtilt digunakan untuk mengetahui jarak main beam antena. Perhitungannya

adalah sebagai berikut.

Gambar 4.13 Beam antena


Beam < 3 dB = Ha/TAN (downtilt +vertical beamwidht/2)) (meter)

Main beam = Ha/ TAN (downtilt) (meter)

Beam >3 dB = Ha/TAN (downtilt -vertical beamwidht/2)) (meter)

Dimana :

Jarak = Jarak beam (meter)

Ha =Tinggi antena (meter)

Downtilt = Kemiringan antena (derajat)

Vertical beamwidht = Besar beam vertikal (derajat)

Dengan demikian antena sel ini memiliki beam sebagai berikut :

Beam < 3 dB = 0.37 Km

Main beam = 0.76 Km

Beam >3 dB = 9.17 Km

Berdasarkan persamaan 3.2, persamaan 3.3 dan Tabel 4.3 , rugi-rugi

lintasan dan jari-jari dapat ditentukan. Tabel 4.7 merupakan hasil perhitungan rugi

lintasan dan jari-jari sel. Terlihat pada sensitivitas MS sebesar -102 dB yaitu level

daya yang direkomendasikan ETSI memiliki jari-jari sekitar 8 Km, yang berarti

jika MS berada pada jarak melebihi jarak tersebut kemungkinan kegagalan

komunikasi sangat besar.

Hasil perhitungan ini dipadukan dengan analisis visibility menghasilkan

visualisasi seperti pada Gambar 4.14. Terlihat bahwa BS yang berdiri pada daerah

dengan ketinggian sekitar 162 m, persebaran sinyalnya terhambat oleh

pegunungan di depannya yang memiliki ketinggian sekitar 273 m. Sehingga


daerah di belakang bukit level daya yang di terima MS tidak mencukupi untuk

berkomunikasi dengan BS. Demikian juga dengan beberapa daerah yang

keberadaannya terhalang oleh perbukitan.

Tabel 4.7 Perbandingan jari-jari dan sensitivitas MS ( 900 Mhz )

Sensitifitas Ms Rugi lintasan Jari-jari

(dB) (dB) (Km)


-75 131.9 1.522

-83 139.9 2.604

-87 143.9 3.408

-94 150.9 5.458

-97 153.9 6.679

-100 156.9 8.172

-102 158.9 9.349

Daerah
terhalang/unvisible
(level daya rendah)

Gambar 4.14 Hasil prediksi coverage sel 272381 BS 27238 pada tempat rendah.
4.3.2. Pengujian 2

Pada simulasi ini, konfigurasi parameter sama dengan pengujian pertama.

Perbedaan pada direction antena, yaitu sebesar 45 derajat (Gambar 4.15a) dan

tinggi antena sebesar 100 m (Gambar 4.15b). Arah sel menyusur sepanjang garis

pegunungan. Pada gambar terlihat pegunungan di depan sel tidak dapat tertembus

oleh sinyal, walaupun ketinggian BS sudah dinaikan, beda ketinggian yang terlalu

tinggi menyebabkab hal ini. Tetapi untuk daerah yang ketinggiannya lebih rendah

atau sama dengan tinggi antena, sinyal dengan mudah terpancar.

(a)

(b)

Gambar 4.15 Hasil prediksi coverage sel 272381 BS 27238 menuyusuri pegunungan
4.3.3. Pengujian 3

Pada pengujian ketiga ditempatkan BS pada titik tertentu, dimana persebaran

sinyal akan melewati dua daerah yang cukup ekstrim (> 100 meter), yaitu daerah

dataran rendah dan pegunungan. BS ditempatkan pada daerah pegunungan.

Dengan konfigurasi parameter dan proses yang sama dengan pengujian

pertama di hasilkan sebuah visualisasi seperti pada Gambar 4.16. Jika di

bandingkan dengan Gambar 4.14 coverage sel pada pengujian 2 lebih baik.

Daerah
terhalang/unvisible
(level daya rendah)

Gambar 4.16 Hasil prediksi coverage sel 272381 BS 27238 pada tempat tinggi.

4.3.4. Pengujian 4

Pada pengujian keempat ditempatkan BS yang memiliki lebih dari satu sel

pada titik tertentu, dimana persebaran sinyal akan melewati dua daerah yang

cukup ekstrim (> 100 meter), yaitu daerah dataran rendah dan pegunungan. BS di

tempatkan pada suatu titik yang memiliki ketinggian sekitar 400 meter. Pada

Gambar 4.17, BS memiliki 2 sektor sel dengan perarahan 120 dan 240 dan
Gambar 4.18, BS memiliki 3 sektor sel dengan perarahan 0, 120 dan 240. Dari

kedua gambar tersebut terlihat persebaran sinyal pada daerah pegunungan

sangatlah sempit, sinyal tersebar melewati celah-celah pegunungan. Sedangkan

pada daerah dataran rendah sinyal dengan mudah terserbar. Sehingga coverage-

nya pun lebih bagus.

Gambar 4.17 Hasil prediksi coverage 2 sel BS 27238 pada tempat tinggi.

Gambar 4.18 Hasil prediksi coverage 3 sel BS 27238 pada tempat tinggi.
4.3.5. Pengujian 5

Pada pengujian ini ditempatkan BS seperti pada pengujian kedua. BS

memiliki sebuah sel dengan frekuensi 1800 Mhz dan tipe daerah diasumsikan

daerah urban. Proses simulasi coverage seperti pada pengujian pertama. Tabel 4.8

adalah parameter-parameter masukannya, Tabel 4.9 adalah hasil penghitungan

jari-jari.

Tabel 4.8Parameter-parameter masukan

BS

Site Id 27238

Site Name YOGYA_CITY


Sel
Cell id 272381

Frekuensi 1800 Mhz

Tipe Daerah Urban

Perarahan Antena 0 (derajat)

Downtilt antena 3

Tinggi Antena 4

Pada Tabel 4.9 terlihat bahwa jari-jari sel untuk frekuensi 1800 Mhz lebih

kecil dibandingkan dengan jari-jari sel untuk frekuensi 900 Mhz. Sehingga

coverage selnya juga lebih kecil. Hasil prediksi coverage-nya bisa di lihat pada

Gambar 4.18
Tabel 4.9 Perbandingan jari-jari dan sensitifitas MS ( 1800Mhz )

Sensitifitas Ms Rugi lintasan Jari-jari

(dBm) (dBm) (Km)


-75 132.29 0,899

-83 140,29 1,541

-87 144,29 2,016

-94 150.9 3,229

-97 153.9 3.952

-100 156.9 4.836

-102 158.9 5,532

Gambar 4.19 Hasil prediksi coverage sel BS 27238 (1800 Mhz).

4.3.6. Pengujian 6

Pada pengujian kelima ditempatkan dua BS pada titik tertentu. Dimana BS

pertama (27238) konfigurasi parameter sama dengan pengujian ke-1, hanya


perarahannya dibuat berbeda. BS kedua (2344) konfigurasi sama sengan

pengujian ke-4. Hasil simulasinya adalah Gambar 4.19.

Gambar 4.20 Hasil prediksi coverage BS 27238 (900 Mhz) dan BS 2344 (1800 Mhz).

4.3.7. Pengujian LoS antar BS

Simulasi ini adalah salah satu feature tambahan untuk memprediksi LoS antar

BS. Masing-masing BS di anggap memiliki tinggi yang sama yaitu sebesar 30

meter. Dengan menganalisa LoS antar BS diharapkan bisa digunakan untuk

perencanan komunikasi antar BS. Pengujian dilakukan dengan meng-klik salah

satu BS yaitu BS 27238, muncul jendela kontrol BS pilih tombol check

interconnection (Gambar 4.21). Akan muncul jendela baru (Gambar 4.22), pada

sebelah kiri muncu daftar sel terdekat pada jarak kurang dari atau sama dengan

nilai pada field radius. Pilih sel terdekatnya, kemudian di sebelah kanan akan

muncul informasi LoS atau NLoS (no LoS). Jika NLoS akan muncul informasi

sebuah titik yang menyebabkan NLoS. Untuk melihat profil permukaan tanah,
tekan tombol profile graph. Dan drag kursos membentuk kotak, sehingga akan

muncul profil permukaan tanah antar kedua BS (Gambar 4.24). Pada gambar

tersebut terlihat bahwa antar kedua BS tersebut memiliki LoS, sehingga jika ingin

membangun komunikasi yang LoS antar kedua BS, bisa dilakukkan. Sedangkan

pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26 memperlihatkan dua BS yang NLoS. Dari

profil tanah telihat bahwa kedua BS terhalang oleh pegunungan.

BS terpilih
Tombol check
interconnection

Gambar 4.21 Jendela kontrol BS.


Jendela
Garis cek Interconnection
LoS/NLoS

Daftar BS
terdekat

Gambar 4.22 Jendela kontrol interconnection

Jendel grafik profil


permukaan tanah

Gambar 4.23 Jendela grafik profil tanah.


Gambar 4.24 Grafik profil tanah (LoS).

Tidak LoS, terhalang


pada titik biru kecil,
Informasi NLoS
pada garis

Gambar 4.25 NLoS antar BS


Gambar 4.26 Grafik profil tanah (NLoS).

You might also like