You are on page 1of 12

Wanita Global: Isu pengguguran dipolitikkan

Oleh Shamsiah Sanin


bhnita@bharian.com.my
2010/05/28
NGO wanita Kanada syor kerajaan gubal undang-undang jadikan gugur janin kes jenayah 

KUMPULAN hak asasi wanita di Kanada melahirkan rasa bimbang dan ‘terancam’ berikutan dasar kerajaan negara
itu mengenai pengguguran janin yang diamalkan di negara itu.
"Ia adalah ancaman yang sudah kami rasakan sejak beberapa bulan lalu. Kami rasa kerajaan negara ini tidak
memberi perhatian kepada isu kesihatan seksual dan reproduksi," kata pengarah eksekutif Canadians for Choice,
Patricia LaRue.
Canadians for Choice ialah kumpulan yang menyokong agar wanita diberi hak membuat pilihan sendiri sama ada
untuk menggugurkan atau meneruskan kehamilannya. 

Satu rang undang-undang dikemukakan di Parlimen Kanada baru-baru ini akan menjadikan perbuatan memaksa
wanita menggugurkan kandungannya sebagai satu jenayah jika diluluskan. 

Cadangan pembentukan undang-undang itu dikemukakan ahli parlimen Konservatif Rod Bruinooge, selepas seorang
lelaki di Winnipeg cuba memaksa teman wanitanya Roxanne Fernando, menggugurkan kandungan pada 2007.
Bagaimanapun apabila Roxanne enggan berbuat demikian, teman lelakinya membunuh wanita itu. 

Pakatan Hak Menggugurkan Kandungan Kanada (ARCC) berkata, masalah paksaan menggugurkan kehamilan tidak
berlaku dalam skala besar dan rang undang-undang C-510 itu 'perlu digabungkan dengan larangan memaksa wanita
meneruskan kehamilan dan melahirkan bayinya’. 
“Wanita tidak boleh dipaksa untuk menggugurkan kandungan mereka. Pada masa sama mereka juga tidak boleh
dipaksa meneruskan kehamilan jika mereka tidak mahu. Mereka wajar diberi peluang membuat pilihan sendiri
selepas mendapat nasihat yang sewajarnya,” kata seorang pegawai ARCC. 

Satu lagi rang undang-undang, C-484 yang diluluskan April lalu, selepas dibaca untuk kali kedua, menjadikan
perbuatan menyerang wanita dengan niat membunuh bayi dalam kandungannya sebagai satu kesalahan jenayah. 

Penyokong rang undang-undang ini berkata, peraturan itu bertujuan mendekatkan jurang dalam kanun acara
jenayah, tetapi pihak pembangkang berkata ia adalah satu lagi cubaan untuk memberi status hak dari segi
perundangan kepada janin, menjadikan pengguguran kandungan satu jenayah dan memberi ruang untuk
memperketatkan lagi prosedur pengguguran janin. 

"Sejak Konservatif mengambil alih kuasa, lima rang undang-undang sudah diperkenalkan dan ini menimbulkan
persoalan secara langsung dan tidak langsung, mengenai sejauh mana pengguguran janin dibenarkan di Kanada,"
kata Presiden Persekutuan Wanita Quebec, Alexa Conradi. 

Presiden Majlis Status Wanita Quebec, Christiane Pelchat, pula menyifatkan perkembangan perundangan baru
dalam kes membabitkan pengguguran janin, sebagai tindakan hipokrit, cubaan menjadikan perbuatan pengguguran
janin sebagai satu jenayah dan merampas hak wanita. 

Perdebatan mengenai pengguguran janin terus menjadi isu yang tiada kesudahan di Kanada, sejak bertahun-tahun
lamanya. Kanada adalah antara beberapa negara yang tidak mempunyai sebarang sekatan perundangan
membabitkan pengguguran janin. Peraturan dan kebenaran perbuatan terbabit berbeza mengikut wilayah. 

Bagaimanapun, perdebatan mengenainya tercetus semula apabila Perdana Menteri, Stephen Harper,
memperkenalkan inisiatif kesihatan keibuan untuk negara anggota G8 yang bertujuan meningkatkan sistem
penjagaan kesihatan dan amalan pemakanan di negara membangun. 

Malangnya inisiatif itu tidak termasuk pembiayaan bagi pengguguran atau keguguran janin di negara berkenaan. 

Kumpulan hak asasi wanita, ahli parlimen pembangkang dan agensi bantuan mengecam Harper berikutan inisiatif itu
dan menuduh beliau sebagai hipokrit dan hanya mahu memenuhi agenda politik Konservatif. 

Bagaimanapun, Senator Konservatif, Nancy Ruth memberitahu kumpulan wanita berkenaan agar tidak
membangkitkan perkara itu, kerana ia boleh membangkitkan lebih banyak kecaman yang boleh menjejaskan imej
Kanada. 

"Isu itu adalah persoalan politik antarabangsa dan bukan mengenai masalah kesihatan wanita di Kanada. Wanita di
negara ini masih boleh menggugurkan janin mereka jika itu yang dikehendaki. Biarlah keadaan itu kekal begitu dan
jangan jadikan ia isu pilihan raya," katanya. 
Membicarakan aborsi sebenarnya membicarakan perempuan. Karena itu persoalan aborsi adalah juga
persoalan perempuan, yang sampai sekarang, dianggap Gadis Arivia, perlu dielaborasi dan
dicerahkan kepada pihak-pihak yang mengambil satu sisi perdebatan, yakni cara pandang tradisional
yang justru mengesampingkan kepentingan perempuan sendiri.Selama ini masih banyak yang
memandang aborsi sebagai hitam dan putih yang sama sekali tidak dapat bersinggungan, hingga
hanya tersedia dua pilihan untuk menyikapinya: pro atau kontra. Setuju atau menolak. Perempuan
dalam hal ini juga selalu dipandang sebagai pelaku tunggal aborsi, di mana masyarakat dan
pemerintah seperti menutup mata dengan adanya permasalahan dalam aborsi yang mau tidak mau
berkaitan langsung dengan kehidupan perempuan dan orang-orang di sekitarnya.

Faktanya, tidak kurang dari 2 juta perempuan Indonesia setiap tahun melakukan aborsi karena
Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Hasil penelitian oleh Pusat Kesehatan UI dan Yayasan
Kesehatan Perempuan tahun 2003, ditemukan bahwa 87% mereka yang melakukan aborsi adalah ibu
rumah tangga yang memiliki suami. Ditemukan pula bahwa dari 2 juta kasus pertahun itu,
kebanyakan melakukan aborsi yang tidak aman. Selain itu, di ASEAN, Indonesia merupakan yang
tertinggi dalam angka kematian ibu. Salah satu faktor yang menyebabkan kematian tersebut adalah
pendarahan, dan kasus pendarahan terjadi pada kasus aborsi yang tidak aman. Kasus aborsi yang
menyebabkan kematian berkisar antara 13-50 % dari kasus kematian akibat pendarahan.

Berdasarkan laporan WHO tahun 2006, angka ini meningkat menjadi 2,3 juta kasus per tahun.
Diasumsikan terjadi 6.301 kasus setiap hari atau 4 kejadian setiap detiknya. Fakta yang mengejutkan
bahwa 70% dari pelaku aborsi tersebut adalah ibu rumah tangga. Penelitian Yayasan Kesehatan
Perempuan pada tahun 2003 menyebutkan 87% yang melakukan aborsi adalah istri dan ibu, hanya
12% oleh remaja putri. Hasil riset ini jauh berbeda dengan anggapan bahwa aborsi identik dengan
seks bebas yang mengakibatkan KTD. Riset-riset tersebut merupakan riset klinis, dalam artian data
tersebut didapatkan dari rumah sakit, klinik atau puskesmas. Itu sebabnya hasil riset menunjukkan
bahwa mayoritas pelaku aborsi adalah ibu rumah tangga. Namun, riset tersebut tidak menjangkau
aborsi ilegal yang banyak dilakukan oleh perempuan pra-nikah. Padahal, menurut Inna Hudaya dari
Samsara, badan layanan penyuluhan aborsi berbasis dalam jaringan, dari jumlah itu pasti lebih besar
lagi, karena ibarat fenomena gunung es, perempuan pra-nikah yang mau melakukan aborsi pasti
sungkan dan tidak mudah mendapatkan akses pelayanan ke rumah sakit, puskesmas atau klinik
karena terbentur dengan persyaratan umur, status atau ekonomi. 

Selama ini, ketika dihadapkan pada persoalan kehamilan yang tidak dikehendaki, perempuan adalah
pihak yang paling terbebani dan paling bertanggung jawab. Ketika menginginkan pelayanan aborsi
yang aman, nyaris tidak ada dokter yang mau membantu. Begitu juga saat perempuan berkata bahwa
ia tidak menghendaki kehamilannya, dokter akan menolak. Hal yang menghambat pelayanan aborsi
oleh dokter, menurut Prof. Dr. Sudraji Sumapraja SpOG dari POGI karena adanya sumpah dokter
Indonesia yang antara lain menyatakan “menghormati semua hidup insani mulai dari saat
pembuahan”. Yang artinya, kebanyakan para dokter menganggap bahwa kehidupan telah dimulai
saat sel telur dan sperma bertemu. Karena itu aborsi dipandang sebagai kejahatan terhadap nyawa.

Akibatnya kebanyakan dari mereka kemudian lari ke praktek dukun pijat atau melalukan aborsi
sendiri. Kasus seperti inilah yang paling sering menimbulkan resiko pendarahan dan berujung
kematian. Dalam www.womenonweb.org, situs mengenai aborsi, ditulis bahwa setiap tahunnya 42
juta perempuan di dunia melakukan aborsi dan setiap 7 menit seorang perempuan meninggal dunia
secara sia-sia karena melakukan aborsi yang tidak aman.

Setiap kasus aborsi muncul dan terungkap, masyarakat hanya melihat permasalahan aborsi hanya
sebatas masalah moral dan kriminal. Jika dilihat lebih jauh dan dalam, apakah memang benar bahwa
aborsi adalah persoalan yang hitam putih? Bagaimana koridor agama dan Undang-Undang mengatur
aborsi? Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk menyikapi masalah aborsi
dan perempuan sebagai pelakunya?

Aborsi menjadi pilihan saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Di masa Yunani kuno,
kehamilan yang mendadak juga sesuatu yang tidak begitu diinginkan, bukan hanya bagi wanita yang
telah menikah tetapi juga mereka yang belum. Untuk menghadapi hal demikian, orang-orang Yunani
mempraktekkan perlindungan selama hubungan badan atau melakukan aborsi. Dalam kasus
kehamilan mendadak, perempuan-perempuan Yunani biasanya harus memilih antara menggugurkan
dengan sengaja (dengan mantera-mantera, melakukan pekerjaan berat atau pekerjaan badan) dan
aborsi. Segalanya bergantung kepada wanita tersebut dalam menentukan cara apa yang akan ia
gunakan. Hanya dalam kasus aborsi, kehadiran sang suami atau tuan (jika ia budak) sangat
dibutuhkan.

Ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), hanya ada 3 pilihan: menjadi orangtua (ibu),
adopsi atau aborsi. Tidak sedikit perempuan di luar nikah memilih pilihan yang terakhir. Banyak
yang kemudian berpikir bahwa setelah aborsi perempuan merasa lega. Benarkah demikian? Apakah
aborsi merupakan jalan terbaik dan tidak memiliki konsekuensi yang fatal? Atau aborsi dengan
alasan apa pun tidak boleh dilakukan karena pelakunya akan melanggar etika, moral dan dianggap
sebagai pelaku kejahatan?

Pertama-tama mari kita pahami lebih dulu apa itu aborsi. Mengacu pada Kees Berten, kata aborsi
sendiri berasal dari bahasa Inggris Abortion yang mengacu pada dua arti. Pertama, aborsi yang
mengandung arti keguguran yaitu secara tidak sengaja mengeluarkan janin yang belum waktunya
lahir. Ini disebut juga abortus spontan. Kedua, tindakan sengaja untuk mengeluarkan janin
dikarenakan suatu alasan dan hal itu bertentangan dengan undang-undang. Ini dibedakan menjadi
tiga, yaitu abortus buatan yaitu abortus terjadi sebagai akibat suatu tindakan; kedua abortus
terapeutik yaitu abortus buatan yang dilakukan atas dasar alasan medis untuk kepentingan ibu, baik
fisik, mental maupun sosial; yang ketiga adalah abortus nonterapeutik yaitu abortus buatan yang
dilakukan tidak atas dasar alasan medis. Terjadi perdebatan yang menyangkut dilakukannya abortus
yaitu antara kelompok pro-choice dengan kelompok pro-life.
Mereka yang dapat menyetujui tindakan abortus, menekankan hak perempuan bersangkutan untuk
mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri. Ini yang dinamakan dengan pro-choice. Sedang
mereka yang menolak abortus sebagai tindakan yang tidak etis, menggarisbawahi hak fetus dalam
kandungan (pro-life). Masalahnya adalah apakah fetus di dalam kandungan ibunya sungguh-sungguh
memiliki hak itu? Saat pembuahan atau pada saat lebih lanjut dalam perkembangannya.

Menurut World Health Organization (WHO) pengertian aborsi adalah penghentian kehamilan
sebelum janin berusia 20 minggu karena secara medis janin tidak bisa bertahan di luar kandungan.
Sebaliknya bila penghentian kehamilan dilakukan saat janin sudah berusia berusia di atas 20 minggu
maka hal tersebut adalah infanticide atau pembunuhan janin.

Seperti disebutkan di atas, dua kubu yang menyikapi aborsi, kelompok pro choice dan kelompok pro
life saling berseberangan. Pro choice menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka
menamakan dirinya sebagai pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya
bahwa fetus bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak mempunyai hak dan
kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah atau pun bersalah. Bahkan mereka
mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan masalah yang sangat serius, pada umumnya
berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi.
Sementara kelompok pro life anti dan menentang aborsi. Kelompok ini memandang bahwa fetus
manusia merupakan makhluk yang tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh dalam situasi apa pun.
Bagi mereka, fetus memiliki hak atas kehidupan yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, sama
seperti membunuh orang yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan, karena ia berhak atas kehidupan.
Kelompok pro life berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif tidak mutlak.Maka
aborsi dalam lingkup tertentu boleh jadi kurang jahat dibanding kejahatan lainnya. Akan tetapi tidak
ada kejahatan, betapa pun kurang, yang secara moral netral. 

Dalam koridor agama, banyak pandangan yang tetap menganggap bahwa aborsi adalah dosa besar
dan hukumnya haram. Di dalam Islam, terdapat beragam pandangan. Pandangan pertama dan yang
paling populer di Indonesia adalah pelarangan pengguguran kandungan dalam umur berapa pun.
Beberapa aliran di Indonesia bahkan mengharamkan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, Avicenna
atau Ibn Sina yang hidup pada zaman keemasan Islam (980-1037 M), memperkenalkan kontrasepsi
pada dunia Barat yang saat itu masih dalam Abad Kegelapan. Dengan keahliannya pada dunia sains,
Ibn Sina mampu menemukan sekitar 20 cara untuk mengontrol kelahiran. Sebuah aliran Islam lain
menyetujui aborsi sebelum umur 40 hari. Muhammad Ibn Abi Said, misalnya, memperbolehkan
pengguguran kandungan sebelum umur 80 hari. Bahkan sebuah aliran lainnya menyatakan
pengguguran kandungan sebelum 120 hari tidak merupakan pembunuhan. 

Beberapa Gereja Katolik juga telah menyetujui aborsi, baik secara diam-diam maupun terbuka.
Gereja Katolik yang menyetujui aborsi dengan terbuka adalah FutureChurch di Cleveland Ohio,
berdiri pada tahun 1990. Beberapa insan Katolik yang mencoba menghentikan penghujatan terhadap
aborsi bergabung dalam Catholic for Free Choice (CFC). Salah satu pengurus CFC adalah Rosemary
Ruether, profesor teologi di Garrett-Evangelical Theological Seminary di Illinois. Berbasis di
Washington DC, CFC turut menandatangani pernyataan yang dipublikasikan di New York Times
pada 7 Oktober 1984. Dalam pernyataan ini disebutkan, tradisi Gereja Katolik mempunyai lebih dari
satu pandangan mengenai aborsi sehingga pelaku aborsi tidak seharusnya dijuluki sebagai orang
berdosa. Gereja Katolik lain yang tidak melontarkan hujatan akan aborsi adalah Gereja Katolik
Bebas. Salah satu pastor Gereja ini, Harry Aveling menyatakan bahwa Gereja Katolik bebas tidak
memberi pandangan tertentu mengenai aborsi karena bagi mereka aborsi adalah masalah pribadi.

Sains dan praktik kedokteran pun mempunyai pandangan berbeda-beda. Walaupun beberapa dokter
dengan tegas menyatakan peniadaan janin adalah pembunuhan, beberapa dokter lain berpendapat
embrio yang berumur kurang dari tiga bulan tidak lebih keprimitifannya dari seekor katak ataupun
ikan. Oleh karena itulah, hak hidup si janin masih tergantung pada badan yang mengandungnya,
yaitu sang ibu. Dalam pandangan ini, para pembela aborsi pun dapat disebut pro-life karena hak
untuk aborsi adalah hak yang membela kehidupan perempuan.

Beberapa orang melakukan aborsi dengan alasan yang beragam, antara lain: malu pada keluarga dan
masyarakat karena hamil, masalah keuangan, faktor genetika, kesehatan mental, terlalu muda atau
terlalu tua untuk hamil, masih menempuh pendidikan, memiliki alasan pribadi untuk tidak memiliki
anak, alasan kesehatan, memiliki masalah hubungan dengan pasangan atau karena diperkosa dan
inses. Aborsi juga dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang melakukannya sendiri,
datang ke klinik atau rumah sakit, dengan obat-obatan, ramuan bahkan pijat. Hasil penelitian kepada
para pelaku aborsi juga menunjukkan reaksi mereka berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa setelah
aborsi mereka merasa takut, marah, malu, nyaman, percaya diri, bingung, kecewa, sedih, bersalah,
terjebak, bodoh hingga tidak bisa merasakan apa-apa (numb). 

Tidak sedikit yang paham bahwa sebenarnya aborsi memiliki resiko berbahaya dari segi medis,
terutama jika aborsi yang dilakukan adalah aborsi tidak aman yang banyak dilakukan oleh dukun
beranak, tukang pijat, jamu-jamuan atau obat-obatan tanpa didampingi tenaga medis profesional.
Aborsi dapat mengakibatkan pendarahan hebat, lemah kandungan bahkan dapat memicu kanker
rahim. Selain memiliki resiko medis, aborsi juga dapat mengakibatkan gangguan psikologis.

Di Indonesia ketika aborsi ilegal dan tidak aman masih menjadi pilihan bagi banyak perempuan pra-
nikah, resiko terjadinya reaksi psikologis paska aborsi semakin meningkat. Menurut Alan
Guttmacher Institute pada 2003, di Eropa di mana aborsi legal justru angka aborsi rendah. Namun di
negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana aborsi ilegal, angka aborsi justru tinggi.
Rendahnya angka aborsi di Eropa karena adanya kesadaran masyarakat akan pendidikan seks dan
angka pemakaian kontrasepsi yang tinggi. Pelegalan aborsi kemudian hanya mengurangi resiko
terjadinya aborsi tidak aman. Selain itu budaya di Eropa memberikan ruang bagi seorang perempuan
untuk menjadi orang tua tunggal (single mother). Hal ini berbeda dengan Indonesia di mana
pendidikan seks masih dianggap tabu dan kesadaran pemakaian kontrasepsi yang rendah. Kedua
faktor inilah yang kemudian memicu terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Pendidikan
seks dan kampanye pemakaian kondom dianggap sebagai pelegalan seks. Remaja diberi pendidikan
moral tanpa diberi pemahaman yang benar akan tubuh mereka, tanpa dibekali mentalitas
memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak reproduksi.

Inna Hudaya menambahkan, terlepas dari perdebatan pro-life dan pro-choice, dalam pengamatannya
sebagai konselor, ada beberapa hal yang menjadi penyebab seorang post-abortus mengalami Post-
Abortion Syndrome. Di antaranya adalah:

Aborsi tidak aman yang dilakukan oleh dukun beranak, tukang pijat atau obat-obatan tertentu dapat
mengakibatkan rasa sakit luar biasa. Rasa sakit inilah yang kemudian mengakibatkan trauma.

Infeksi paska aborsi.


Infeksi paska aborsi dapat bertahan lama, apalagi tidak semua perempuan post-abortus memiliki
cukup keberanian untuk memeriksakan diri ke dokter. Rasa sakit yang terus menerus inilah yang
kemudian mengakibatkan trauma.

Aborsi karena paksaan.


Kami lebih memilih istilah unplanned pregnancy daripada unwanted pregnancy. Kenapa? Karena
beberapa kehamilan yang tidak direncanakan bias berubah menjadi kehamilan yang diinginkan.
Banyak perempuan yang kemudian ingin meneruskan kehamilannya namun dipaksa harus
melakukan aborsi oleh pasangan atau keluarganya. Hal ini pulalah yang mengakibatkan trauma.

Menentang sistem keyakinan.


Penyebab utama terjadinya Post-Abortion Syndrome adalah rasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul
karena si perempuan pada dasarnya meyakini bahwa aborsi adalah sesuatu yang salah dalam sistem
keyakinannya. Namun karena kondisi tertentu ia harus tetap memilih melakukan aborsi.

Tidak siap dan tidak mau menjadi ibu


”Kestabilan” merupakan tujuan perempuan untuk memilih menjadi seorang ibu, namun peran sosial
dan peran individual sebagai ibu kerap kali membuat seorang perempuan kelekahan fisik dan
mentalnya, apalagi jika ia tidak didukung oleh keluarga, masyarakat apalagi oleh pasangannya?

Maria Ulfah menambahkan, untuk kasus kehamilan yang tidak dikehendaki karena bencana
perkosaan, dilihat dari sisi apa pun tentu sangat membebani perempuan. Untuk kasus seperti ini,
mesti dicarikan solusi yang bijak. Kalau si perempuan tidak mampu menanggung itu, baik secara
medis maupun psikis, maka kalau ia tidak menginginkan kehamilan terjadi pada rahimnya, yaitu
tubuhnya, maka cukup menjadi alasan untuk digugurkan. Namun hal inilah yang terus menjadi
sumber perdebatan antara kelompok yang setuju dengan aborsi dan yang menentang aborsi.

Di Indonesia, aborsi adalah perbuatan kriminal dan perempuan-perempuan yang ketahuan telah
melakukannya diganjar hukuman yang keras. Orang-orang dengan prinsip pro-kehidupan (pro-
menganggap aborsi sebagai pembunuhan, perbuatan yang keji dan pantas dihukum. Sebaliknya, para
pendukung pro-pilihan (pro-choice), aborsi tidak mengindahkan kehidupan embrio dalam kandungan
sang ibu. Oleh karena kepercayaan ini telah ditanamkan pada masyarakat, banyak perempuan yang
melakukan aborsi merasa bersalah seumur hidup karena cap “pembunuh” tertanam dalam diri
mereka.

Selain itu juga hukum di Indonesia belum memberikan ruang bagi tindakan aborsi yang aman.
Menurut Maria Ulfah, UU menutup sama sekali praktik aborsi dengan alasan apapun. Dalam UU
Kesehatan juga terlihat sekali bahwa klausul tentang aborsi sangat bias jender. Di situ diterangkan,
dokter bisa mengambil tindakan tertentu untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. Padahal klausul ini
menyangkut dua hal yang tidak mungkin dilakukan dalam konteks aborsi, dengan alasan
menyelamatkan nyawa kedua-duanya karena dalam aborsi ada yang dikorbankan. Untuk itu perlu ada
solusi berupa payung hukum untuk melindungi praktik ini dengan menyediakan dokter yang
memiliki keahlian, terjamin keamanannya, sesuai prosedur standar kesehatan.

Ketika yang menjadi obyek pembahasan adalah prilaku, maka selanjutnya yang menjadi penilaian
adalah etika dan moral seseorang yang menjadi refleksi atas tindakannya tersebut. Perempuan
sebagai pelaku aborsi dapat disebut sebagai agen moral, namun seperti yang dikatakan oleh Simone
de Beauvoir bahwa perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom, perempuan
tidak pernah dibiarkan untuk memilih kehidupan yang baik untuk dirinya sendiri. 

Padahal sebagai pelaku moral, setiap perempuan mempunyai kemampuan yang dapat digunakannya
untuk bertindak secara moral sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab, dan bisa dituntut
untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Kemampuan itu berupa akal budi, kebebasan dan
kemauan. Dengan kemampuan ini, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral dapat membuat
pertimbangan moral sebelum bertindak, agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku
moral juga dapat memahami mana yang baik dan buruk secara moral. 

Dari sudut pandang moral, aborsi memiliki penilaian tersendiri. Menurut Plato dalam Republic (461),
ia menganggap bahwa janin itu belum cukup untuk dianggap manusia, tapi baru dapat dianggap
manusia jika sudah terlahir. Dalam kondisi seperti ini keberadaannya dapat diterima dan sah secara
hukum. Sedangkan Aristoteles menyarankan bahwa semestinya aborsi dilakukan sebelum sang janin
dianggap hidup dan mampu merasa. Artinya pada gerakan pertama sang janin.

Kata “moral” memiliki arti etimologis yang sama dengan etika, dan dapat diartikan sama dengan
pengertian etika, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Ketika membicarakan etika, maka kita
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut cara bertindak yang benar dan salah, hakekat
kewajiban moral dan apa yang disebut kebaikan hidup. Pertanyaan mendasar dari Aristoteles dalam
etika adalah „kehidupan baik yang begaimanakah yang harus saya jalani?“

Aborsi merupakan bagian dari etika terapan. Aborsi sebagai masalah dibicarakan dan dipelajari
dalam etika terapan. Etika terapan membahas masalah-masalah etis yang praktis dan aktual serta
mempelajari masalah yang berimplikasi moral dan memiliki pengaruh timbal balik dengan etika
teoritis. Perdebatan tentang masalah-masalah konkrit akhirnya akan menjelaskan dan mempertajam
prinsip-prinsip moral yang umum. Etika terapan sangat membutuhkan bantuan dari teori etika. Etika
terapan menggunakan prinsip-prinsip dan teori moral yang diharapkan sudah mempunyai dasar yang
kokoh.

Adalah suatu kenyataan bahwa kita hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali
dalam hal moralitas. Setiap hari kita bertemu dengan orang-orang dari suku, daerah lapisan sosial dan
agama yang berbeda. Dalam pertemuan langsung dan tidak langsung dengan berbagai lapisan dan
kelompok masyarakat kita menyaksikan atau berhadapan dengan berbagai pandangan dan sikap
yang, selain memiliki banyak kesamaan, memiliki juga banyak perbedaan bahkan pertentangan.
Masing-masing pandangan mengklaim diri sebagai pandangan yang paling benar dan sahih. Kita
mengalaminya sepertinya kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada lagi. Berhadapan dengan situasi
semacam ini, kita akhirnya bertanya, tapi yang kita tanyakan bukan hanya apa yang merupakan
kewajiban kita dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang
harus dianggap sebagai kewajiban.

Makin lama cara berpikir makin berubah. Manusia bukan batu yang mati dan “fanatik”. Sejak dulu
kala telah banyak cara berpikir, seperti rasionalisme, individualisme, nasionalisme, sekularisme,
materialisme, konsumerisme, pluralisme religius, serta cara berpikir dan pendidikan modern yang
telah banyak mengubah lingkungan budaya, sosial dan rohani masyarakat.

Masih banyak masyarakat yang terjebak dalam kebudayaan rasa malu, yang menurut Kees Berten
adalah di mana pengertian-pengertian seperti “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “gengsi” sangat
ditekankan. Bila orang melakukan kejahatan, hal ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk saja,
tapi harus disembunyikan dari orang lain. Malapetaka terjadi bila suatu kesalahan diketahui orang
lain, sehingga pelakunya kehilangan muka. Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap penting,
melainkan yang tidak kalah penting adalah perbuatan jahat itu tidak akan diketahui untuk
menghindari rasa malu. Sangsi dalam shame culture berasal dari luar, yaitu apa yang dikatakan dan
dipikirkan orang lain. 

Ketika sebuah isu tidak dibicarakan, ketika kebanyakan orang tutup mulut atau tidak mau
mendengar, bukan berarti isu tersebut tidak penting. Kenyataannya, ketika sesuatu dianggap tabu
untuk dibicarakan justru hal tersebut menjadi sebuah permasalahan besar. Tidak adanya ruang untuk
membicarakan seks yang dianggap tabu justru menjadi penyebab kenapa angka aborsi semakin
meningkat setiap tahunnya. Masyarakat tidak mendapatkan akses informasi mengenai seksualitas dan
kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi hak mereka. Informasi menjadi kebutuhan dasar
setiap orang, hak untuk mendapatkan informasi yang benar merupakan hal yang penting, tidak
adanya ruang publik untuk membicarakan hal ini secara terbuka menyebabkan banyak orang
akhirnya mendapatkan informasi yang salah. Hal ini pula yang menyebabkan banyak perempuan
pada akhirnya melakukan aborsi tidak aman yang beresiko terhadap kesehatan fisik dan mental.
Salah satu yang menjadi dorongan para perempuan untuk melakukan aborsi adalah karena budaya
masyarakat di Indonesia tidak memberi ruang kepada perempuan untuk menjadi single mother dan
pemberian label “anak haram” menjadi aib bagi keluarga dan momok yang menakutkan bagi para
perempuan yang ingin mempertahankan janinnya. Hukum juga tidak berpihak pada calon anak yang
masih dalam kandungan. Perempuan sebagai pelaku aborsi masih tersubordinasi dalam hukum
Indonesia.

Perempuan selalu menjadi korban, tersubordinasi dalam hukum, budaya bahkan dalam hak-hak
reproduksinya sendiri. Rahim, di mana janin tumbuh berada di bawah kendali perempuan sebagai
pemilik alat reproduksi. Itu sebabnya aborsi selalu dikaitkan sebagai masalah perempuan, kesalahan
perempuan. Lelaki seakan menjadi bagian yang terpisahkan dalam permasalahan ini. Kehamilan
Tidak Diinginkan (KTD) terjadi karena adanya hubungan seksual antara lelaki dan perempuan.
Dalam hal ini lelaki turut berperan serta mengakibatkan terjadinya KTD yang berbuntut pada aborsi.
Lelaki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam hal aborsi.

Zumrotin K. Susilo dari Forum Kesehatan Perempuan menyatakan bahwa KTD bisa disebabkan
kurangnya akses pada alat kontrasepsi atau kegagalan kontrasepsi, kemampuan ekonomi, inses, atau
perkosaan. Selain itu juga karena diabaikannya hak reproduksi perempuan.

Membicarakan hak reproduksi, Deklarasi Beijing di Cina menjadi dokumen penting hasil Konferensi
Dunia ke-4 Tentang Perempuan. Dokumen ini secara jelas mendefinisikan kesehatan reproduksi
sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara lengkap, bukan hanya pencegahan
penyakit atau kelemahan, yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi dan proses-prosesnya.
Definisi semacam ini, sesungguhnya juga tidak berbeda jauh dengan pemahaman kesehatan yang
diintroduksikan oleh Pasal 1 (1) dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, walaupun dalam
UU Kesehatan, lebih bersifat umum, dan tidak akan ditemukan definisi secara spesifik tentang
kesehatan reproduksi. Faktor utama yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak reproduksi remaja
adalah karena tingkat pengetahuan yang kurang tentang seksualitas, terbatasnya informasi tentang
kesehatan reproduksi dan ketidakterjangkauan remaja terhadap akses pelayanan kesehatan
reproduksi, di samping pelayanan yang tidak memadai, serta sikap negatif terhadap anak perempuan
dan tentu saja tindakan diskriminatif terhadap mereka. Satu kenyataan yang tak terbantahkan,
kalangan remaja sering mendapatkan informasi tentang seksualitas dan reproduksi justru berasal dari
teman-teman mereka, informasi parsial dalam media massa, maupun dalam buku-buku, yang kadang-
kadang informasi itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Padahal, bagi remaja, hak mendapatkan
informasi dan akses terhadap pelayanan merupakan hak kesehatan reproduksi yang utama. Sebab
kebutuhan-kebutuhan akan informasi mengenai fungsi, sistem dan proses-proses reproduksi, sangat
berkait erat dengan diri mereka sendiri, dan akan memiliki dampak sosial yang cukup berarti dalam
bersosialisasi di kalangan sebaya mereka ataupun masyarakat pada umumnya. Pengabaian terhadap
informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja, sesungguhnya merupakan bentuk
pelangaran hak-hak reproduksi remaja yang nyata. 

Sudah saatnya pemerintah melakukan perubahan melalui UU kesehatan mengenai aborsi. Pengakuan
bangsa sebagai negara yang memegang adat dan budaya timur, dengan moral yang dijunjung tinggi,
ternyata tak dapat menyelesaikan permasalahan aborsi. Moral dan agama tak dapat berjalan sendiri.
Usaha mengurangi angka aborsi dengan mendengung-dengungkan moral tanpa bekal pengetahuan
dan mentalitas sama saja mengajarkan remaja kita untuk bersikap hipokrit dan menyangkal hasrat
seksual yang ada dalam diri setiap orang.

Sudah saatnya kita lebih terbuka terhadap berbagai macam pandangan. Bila kita menghargai
bermacam pandangan, bukankah perempuan juga seharusnya diberi hak untuk memilih? Hak untuk
melaksanakan atau tidak pengguguran kandungannya? Dan hak untuk mendapat hidup layak, apa pun
pilihan sang perempuan?

Saya mengamini pendapat Inna Hudaya saat ia berkata bahwa sudah saatnya juga kita tidak melihat
lagi konsep pro-choice dan pro-life sebagai sebuah pembatas. Ada ruang gerak yang bebas di antara
keduanya. Sebab, soal aborsi adalah persoalan yang sangat kompleks, tidak bisa hanya dilihat dari
satu sudut pandang agama, hukum, atau medis saja. Aborsi harus dilihat secara komprehensif, karena
pokok persoalan ini bukan berdiri sendiri. Ada berbagai faktor yang dapat kita lihat, termasuk agama,
sosial, ekonomi, dan lain-lain. Selama ini, ketika masyarakat dan pemerintah bicara tentang aborsi,
yang menjadi sasaran dan korban selalu kaum perempuan. Padahal penyebab orang melakukan aborsi
beragam, termasuk partisipasi laki-laki yang selama ini tidak dilihat sebagai bagian dari pihak yang
ikut berproses dalam kehamilan yang tidak dikehendaki. 

Permasalahan aborsi lebih sering dilihat oleh masyarakat sebatas masalah etika-moral dan
kriminalitas, sehingga pelakunya, perempuan, selalu disudutkan dalam koridor moral dan kejahatan
kemanusiaan. Dalam keputusan aborsi, perempuan harus diberi hak untuk menentukan suara hati dan
mengajukan argumentasi dengan klaim yang logis dan universal tanpa paksaan dari siapa pun.
Seperti dijelaskan oleh Peter Adam Angeles, bahwa suara hati adalah tentang apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan seseorang, dan atau tentang apa yang secara
moral tidak baik, salah, jelek dan dilarang. Suara hati adalah bagian dari kodrat manusia yang
membimbing dirinya menuju integrasi moral dari diri. Juga mencakup kemampuan interpretasi
dimana pikiran memiliki berbagai kemampuan yang merupakan sebab bagi tindakan rasional.
Kemampuan berkehendak untuk memilih, melakukan, memutuskan. Hati nurani merupakan sumber
tingkah laku etis, memutuskan apa yang secara moral adalah terbaik untuk dilakukan dan mendorong
kewajiban.

Menurut Aristoteles, setiap tindakan mempunyai tujuan. Ada dua tujuan, tujuan yang dicari demi
tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi tujuan itu sendiri. Apa yang dicari demi dirinya
sendiri hanyalah satu: kebahagiaan. Kaidah dasarnya adalah bertindaklah sedemikian rupa sehingga
manusia mencapai kebahagiaan.

Kalau pembunuhan manusia lain yang jelas-jelas sudah bernyawa atas nama “jihad” menjadi halal,
mengapa aborsi dengan segala pertimbangan dan pendidikan resikonya menjadi hal yang hitam
putih? Maka soal aborsi, mengutip Gadis Arivia, tidakkah sebaiknya dikembalikan kepada keputusan
perempuan?

Sumber:
1. Ali Mudhofir, “Kamus Etika”, Pustaka Pelajar, 2009.
2. Dr. Gadis Arivia,“Etika Feminis dan Aborsi” dalam Buku Feminisme: Sebuah Kata Hati, Penerbit
Buku Kompas, 2006.
3. Dalam wawancara dengan Inna Hudaya, 14 Desember 2009.
4. Franz Magnis-Suseno, “Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral”, Pustaka Filsafat,
Penerbit Kanisius, 1987.
5. “Hukum Fikih Aborsi Tidak Hitam-Putih”, Wawancara dengan Dra. Maria Ulfah Anshor,
www.islamlib.com, 12 Desember 2004.
6. Inna Hudaya, “Aborsi: Moral & Agama, Efektifkah?”, www.samsaraindonesiablogspot.com, 25
Mei 2009
7. Jenny Teichman, “Etika Sosial”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
8. Nikolaus A. Vrissimtzis, “Erotisme Yunani”, Penerbit Menara, 2006.
9. Soe Tjen Marching, “Landasan Prinsip Aborsi”, www.samsaraindonesiablogspot.com, 20 Juni
2009
10. www.womenonweborg
11. “Aborsi dan Hak Reproduksi Perempuan”, Kompas Cyber Media, 17 Desember 2000.
12. “Hak Reproduksi Remaja yang Terabaikan”, http://sulbar.bkkbn.go.id, 15 April 2009.
13. “Hukum Fikih Aborsi Tidak Hitam-Putih”, Wawancara dengan Dra. Maria Ulfah Anshor,
www.islamlib.com, 12 Desember 2004.

You might also like