You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN
Seiring perkembangan di bidang kedokteran, termasuk di dalamnya adalah
meningkatnya kemampuan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang
membutuhkan pembedahan, maka prosedur operasi atau pembedahan semakin sering
dilakukan, termasuk pada pasien-pasien yang dianggap berisiko tinggi. (Sudoyo AW,
Harimurti K.2007)

Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter


spesialis anestesiologi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada
pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi. Dokter spesialis anestesi seyogyanya
mengunjungi pasien sebelum pasien melakukan tindakan operasi, agar ia dapat menyiapkan
pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. (Latief, Said A.2009)

Evaluasi pra anestesi memiliki tujuan yang spesifik, diantaranya mengetahui riwayat
penyakit sebelumnya, membina hubungan antara dokter dan pasien, menyusun strategi
manajemen untuk perawatan perioperatif anestesi, dan memperoleh persetujuan (inform
consent) untuk rencana anestesi.

Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Evaluasi
pra anestesi meliputi Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang seperti tes
laboratorium, EKG, Foto rontgen, dan lainnya(Latief, Said A.2009; Long, TJ.1993)

1
BAB II

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTESI

A. Anamnesa
Mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat tersebut
diantaranya indikasi prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan
pengobatan saat ini. Level kegiatan sehari-hari pasien, kemampuan pasien untuk
merawat dirinya sendiri, kebiasaan makan, penurunan berat badan, dan pengertian
akan kondisi medis pasien, semua hal diatas memberikan masukan akan seberapa
baiknya mereka bertahan saat periode perioperatif. (Long, TJ.1993; Barash, Paul
G.1997)
 Penyakit bedah saat ini harus mencakup simptom awal, studi diagnosa yang
dilakukan, perkiraan diagnosis, terapi, dan respon. Pada pasien rawat inap, tanda
vital dan keseimbangan cairan harus di perhatikan.
 Penyakit medis lain yang menyertai dapat menjadi komplikasi saat melakukan
bedah & anestesi. Dalam keadaan tertentu, konsultasi bisa disarankan sebelum
operasi. Konsultan-konsultan ini tidak menanyakan pertanyaaan umum yang
menyakut ‘clearance’ anestesi, karena hal itu adalah tanggung jawab spesifik
seorang anestesiologi.
 Pengobatan bisa digunakan untuk mengobati penyakit saat ini atau penyakit
penyerta, jadwal dan dosis harus di pastikan. Kepentingan pengobatan
antihipertensi, antiangina, anti aritmia, antikoagulan, antikonvulsi, dan terapi
endokrin, harus diperhatikan. Keputusan untuk melanjutkan pengobatan-
pengobatan ini saat periode pra anestesi tergantung dari seberapa parah penyakit
yang diderita, potensi konsekuensi jika terapi tidak dilanjutkan, waktu paruh obat,
dan kemungkinan interaksi obat tersebut dengan agen anestesi yang akan
digunakan.
 Alergi dan reaksi obat.
Reaksi alergi sesungguhnya yaitu apabila semua agen (dengan observasi langsung,
dokumentasi tabel data, atau penjelasan dari pasien) ketika dimasukkan akan
mengarah ke manifestasi pada kulit (pruritus, kemerahan), bengkak pada oral dan
wajah, napas pendek, tersedak, wheezing, atau kolapsnya pembuluh darah harus
dipertimbangkan bahwa telah terjadi reaksi alergi sesungguhnya. Banyak obat-

2
obatan yang digunakan anestesiologi pada pasien yang sadar menghasilkan efek
yang kurang menyenangkan seperti mual, muntah, dan gatal. Perlunya diketahui
apa yang digunakan pasien saat ia sakit kepala atau merasa sakit di bagian tertentu
tubuhnya dan bagaimana reaksi mereka terhadap obat-obat tersebut dapat dijadikan
masukan untuk kemungkinan adanya sensitivitas terhadap suatu obat dan perlunya
ada alternative obat untuk si pasien. Reaksi obat yang jarang tapi sangat mungkin
terjadi harus diantisipasi karena dapat mengancam kehidupan pasien. (Long,
Thomas J)
1. Riwayat anestesi
Data-data anestesia lama harus di perhatikan untuk informasi-informasi
berikut :
a. Respon terhadap premedikasi sedative atau analgesik dan agen anestesi
lain
b. Kemudahan dalam penggunaan masker ventilasi, laringoskopi langsung,
dan ukuran atau jenis pisau laringoskop dan tuba endotrakeal yang
digunakan dulu.
c. Kesulitan dengan tipe-tipe akses pembuluh darah dan monitoring yang
invasive.
d. Komplikasi preanestetik seperti reaksi adverse obat, instabilitas
kardiorespiratorik, infraksi myocardial post operatif, dan gagal jantung
kongestif, masuk ICU tanpa diduga-duga, dan adanya perpanjangan waktu
sadar atau intubasi
2. Pasien harus ditanya tentang anestetik sebelumnya, diantaranya:
a. Keluhan-keluhan umum seperti mual & suara serak pasca operasi
b. Peringatan dari anestesi sebelumnya, yang menjelaskan masalah-masalah
anestesi yang lalu dari si pasien.
 Riwayat Keluarga
Riwayat ini mungkin didapatkan dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti
“apakah ada di keluarga anda yang pernah mengalami reaksi aneh yang tidak biasa
serta serius akibat anesthesia?”
 Riwayat Sosial
1. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko yang penting pada penyakit jantung dan
paru. Mengeliminasi penggunaan rokok 2-4 minggu sebelum operasi terpilih

3
dapat mengurangi hipereaktifitas jalan napas dan komplikasi pulmonal pre
operatif. Penghentian merokok pada perokok akut selama 24 jam dapat
menurunkan jumlah karboksi hemoglobin dan meningkatkan oksigenasi, tetapi
penghentian merokok lebih dari 6 minggu dapat membersihkan mukosiliaris.
(Long, TJ.1993; Barash, PG.1997)
2. Obat-obatan dan alkohol
Intoksikasi alkohol akut akan menurunkan kebutuhan anestetik dan menjadi
predisposisi untuk terjadinya hipotermia dan hipoglikemia, dan adanya
pemberhentian tiba-tiba (withdrawal dari etanol dapat mengakibatkan
hipertensi yang parah, tremor, delirium dan kejang, juga hal ini dapat
meningkatkan kebutuhan anestetik pasien). Penggunaan rutin dari narkotik dan
benzodiazepine (baik yang diresepkan maupun illegal) dapat secara signifikan
meningkatkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan rumatan anesthesia,
atau untuk penyediaan pasca analgesia dalam jumlah yang cukup.
 Penyakit penyerta.
1. Asma.
Pada pasien dengan asma, penting untuk menentukan gejala (kondisi kesehatan
yang optimal walaupun terus tersengal-sengal). Steroid berguna dalam
beberapa pasien dengan asma dalam menjalani pembedahan. (Barash, Paul G.
1997)
Bronkospasme yang akut dan parah dapat terjadi saat induksi anestesia dan
intubasi endotrakeal.(Long, Thomas J.1993)
2. Riwayat adanya infeksi pernapasan bagian atas baru-baru ini. Terutama pada
anak-anak, memungkinkan dapat terjadinya komplikasi pulmoner termasuk
didalamnya bronkospasme, dan laringospasme saat induksi dan atau saat sadar
dari anestesi umum.(Long, Thomas J.1993)
3. Hipertensi
Evaluasi pasien dengan hipertensi sangat penting untuk menentukan adanya
kerusakan pada organ-organ tubuh dan pengobatan saat ini. Hipertensi yang tak
diterapi sangat sering dihubungkan dengan labilnya tekanan darah ketika pasien
dalam fase anestesia. Bila tekanan diastolik >110mmHg maka operasi harus di
tunda. (Long, TJ.1993; Baras, Paul G.1997)

4
Table 18-5. Classification Of Hypertension

Category Systolik Blood Pressure Diastolik Blood Pressure


(mmHg) (mmHg)
Normal < 130 < 85
High normal 130-139 85-89
Hypertension
 Stage I (mild) 140-159 90-99
 Stage 2 (moderate) 160-179 100-109
 Stage 3 (severe) 180-209 110-119
 Stage 4 (very severe) >210 > 120
dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 231

4. Penyakit Jantung
Pasien dengan angina yang tidak stabil dapat mengalami iskemia myocardial
lebih buruk, disfungsi ventrikular, atau infraksi myocardial yang jelas dengan
adanya stress dari operasi dan anestesia. (Long, TJ.1993)
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam menemukan penyakit jantung
dan atau penyakit penyerta yang akan menempatkan pasien dalam kelompok
risiko operasi yang tinggi. Anamnesis harus dapat mengidentifikasi kondisi
jantung berat seperti sindrom koroner akut, riwayat angina sebelumnya, infark
miokard sebelumnya atau yang baru terjadi, gagal jantung dekompensasi,
aritmia yang bermakna dan penyakit katup berat (Tabel 1). Tanyakan juga
apakah pasien mempunyai riwayat pacu jantung atau implantable cardioverter
defibrillator (ICD) atau riwayat ortostatik. ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Tabel 18-3.Risk Factors That Increase the Likelihood of Coronary Artery Diseases
Diabetes mellitus
Hypertension
Smoking
Elevated cholesterol
Peripheral vascular disease (exercise limitation may mask angina)

5
Table 18-4.Selected Studies On Reinfarction in Patients With a Prior Myocardial Infarction

Interval Between Prior Tarhan et al. Rao et al. Shah et al.


Table 18-3 & Myocardial Infarction and (1972)(%) (1983)(%) (1990)(%)
18-4 dikutip Operation (months)
0-3 37 5.8 4.3
dari Handbook
4-6 16 2.3 4.7
of Clinical >6 5.6 1.5 5.7
Anesthesia by Age indeterminate 3.3

Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 229

5. Hernia Hiatal dengan simptom-simptom reflux esofagal dapat meningkatkan


resiko aspirasi pulmoner dan dapat merubah rencana anestetik.(Long, Thomas
J.1993)

6. Kehamilan.
Semua wanita usia produktif harus ditanyai kapan mens terakhir dan
kemunkinan kehamilan baru-baru ini, karena agen-agen premedikasi dan
anestetik bisa mempengaruhi aliran darah uteroplacental dan menjadi teratogen.
(Long, Thomas J.1993)

B. Pemeriksaan Fisik Pasien

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus dilakukan agar tidak ada kelainan penting
yang terlewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien. (Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A; Dachlan M.Ruslan.2009)
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi fokus. Perhatian
ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru, dan pemeriksaan
neurologi.( Long, Thomas J.)

Preanesthesia Physical Examination

6
Evaluation Of the Upper Airway
 Thyromental distance
 Ability to flex and extend neck
 Aperture opening
Cardiovascular System
 Blood pressure (both arms when appropriate; consider influence of preoperative anxiety)
 Auscultation of the heart (rhythm, murmurs, {systolic murmur radiating to the carotids
suggest aortic stenosis and need for further evaluation}, third or fourth heart sounds)
 Peripheral pulses
Pulmonary System
 Auscultation for rales (congestive heart failure) and wheezing (reactive airway disease)
Nervous System
 Influenced by co-existing diseases and likelihood that surgery will change the condition
 Peripheral neuropathy
dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash.1997.chapter18,page 235

1. Evaluasi Kardiovaskuler Perioperatif


Evaluasi kardiovaskuler dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non
kardiak, dan dilakukan dengan hati-hati tergantung kondisi penyakit bedahnya.
Pada kasus emergensi bedah akut, evaluasi perioperatif terbatas pada tes
sederhana dan penting seperti penilaian cepat tanda vital kardiovaskular, status
volume, hematokrit, elektrolit, fungsi ginjal, analisis urin dan EKG. Pada kasus
tidak urgen, evaluasi jantung perioperatif dapat menimbulkan konsekuensi antara
lain menunda prosedur elektif. (Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)
Pengelolaan anestesi untuk bedah jantung membutuhkan pemahaman tentang
patofisiologis jantung; pengetahuan tentang farmakologi anestesi, obat-obatan
vasoaktif dan cardioaktif; dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
cardiopulmonary by pass (CPB) dan prosedur operasi. ( Barash, Paul G.2007)

Menurut CCS : Canadian Cardiovascular Society; NYHA, New York Heart


Association Kondisi Jantung Aktif dimana Pasien Harus Menjalani Evaluasi Sebelum
Operasi Non Jantung (Kelas I, Level Of Evidence B)
 Sindrom kororner tak stabil
 Unstable angina atau angina pektoris berat (ccs Class III atau IV)
 IMA baru (>7 hari dan <30 hari) dan adanya risiko iskemik secara sim
Pemeriksaan non invasif
 Gagal jantung kongestif stadium dekompensasi (kelas IV NYHA; perburukan
jantung onset baru)
 Aritmia bermakna :
 Blok AV derajat tinggi, blok AV derajat III

7
 Aritmia ventrikular simtomatik yang didasari kelainan jantung
 Aritmia supraventrikular (termasuk fibrilasi atrial) yang tidak terkontrol
> 100/menit dalam istirahat)
 Bradikardia simtomatik
 Takikardi ventrikular
 Penyakit katup yang berat :
 Stenosis aorta yang berat (mean pressure gradient >40 mmHg, aortic
valve atau simtomatik)
 Stenosis mitral simtomatik (sesak saat aktivitas yang progresif, prasin
Atau gagal jantung)
Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 23

Pemeriksaan kardiovaskuler meliputi penilaian tanda vital, pulsasi karotis dan


bruits, tekanan dan pulsasi vena jugular, auskultasi paru, palpasi dan auskultasi
prekordial, palpasi abdomen, dan pemeriksaan ekstremitas untuk menilai edem dan
integritas vaskuler.
Adanya sianosis pucat, sesak selama bicara atau aktivitas ringan, pernapasan
cheyne-stokes, status gizi buruk, obesitas, deformitas tulang, tremor dan ansietas
adalah beberapa data penyakit yang mendasari atau PJK yang dapat dikenal oleh
dokter pada pemeriksaan umum. ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)
Evaluasi klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan EKG biasanya
memberi data yang cukup untuk memperkirakan risiko jantung. Dalam upaya
untuk mengkode faktor klinis dan laboratorium yang dapat mempengaruhi
outcome, sejumlah peneliti telah mengembangkan indeks risiko dalam 25 tahun
terakhir berdasarkan analisis multivariabel. Enam risiko independen yang terkait
telah diidentifikasi yaitu :
a. Penyakit jantung iskemik ( didefinisikan sebagai riwayat infark miokard,
riwayat tes treadmill positif, penggunaan nitrogliserin, keluhan nyeri dada yang
baru terjadi yang diduga sekunder karena iskemia koroner, atau EKG dengan
gelombang Q abnormal).
b. Gagal jantung kongestif (didefinisikan sebagai riwayat gagal jantung, edema
paru, edema perifer, ronki bilateral, S3 atau redistribusi vaskular paru pada foto
dada)
c. Penyakit vaskular serebral (riwayat transient ischemic attack atau strok)
d. Operasi risiko tinggi (aneurisma aorta abdominalis atau vaskular lain, toraks,
abdomen atau operasi ortopedi)

8
e. Terapi insulin praoperatif pada pasien Diabetes Mellitus
f. Kadar kreatinin praoperatif lebih dari 2 mg/dl
(Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Data From Preoperative Evaluation


History of myocardial infarction
Sign of congestive heart failure
Evidence of myocardial ischemia or infarction on electrocardiogram
Chest radiograph
Left ventricular end-diastolic pressure > 18 mmHg
Ejection fraction < 0.4
Cardiac index < 2 l/min/m2
Transesophageal echocardiography (wall motion abnormalities)

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter32,page 452

Terdapat sekelompok penyakit jantung yang jika ditemukan menunjukkan risiko


klinis mayor. Adanya satu atau lebih kondisi tersebut memerlukan tatalaksana
intensif dan dapat menunda atau membatalkan operasi kecuali operasi yang bersifat
emergensi. Kondisi ini mencakup :

 Sindrom koroner tak stabil; angina berat atau tak stabil, infark miokard yang
baru terjadi
 Gagal jantung dekompensasi
 Aritmia yang bermakna
 Penyakit valvular berat
(Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Faktor risiko klinis mencakup :

 Riwayat penyakit jantung iskemik


 Riwayat gagal jantung sebelumnya atau terkompensasi
 Riwayat penyakit serebrovaskular
 Diabetes melitus dan
 Insufisiensi ginjal ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

9
Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 29

2. Evaluasi Perioperatif Paru


Pasien dengan penyakit paru yang signifikan memiliki resiko lebih besar terjadi
kegagalan pernapasan postoperative daripada yang lainnya, karena anestesi dan
tindakan operasi lebih mudah menyebabkan hipoventilasi, hipoxemia, dan retensi
sekresi pada pasien dengan cadangan pernapasan terbatas. Pasien dengan penyakit
paru kronis sedang sampai berat dan yang telah melakukan pembedahan thoraks,
kardial dan abdominal bagian atas memiliki tingkat morbiditas dan mortilitas lebih
tinggi. Morbiditas dan mortalitas postoperative bisa dikurangi dengan
mengidentifikasi pasien yang memiliki resiko terkena komplikasi pernapasan
perioperative, mengoptimalkan pengobatan medis, dan merencanakan program
fisioterapi sebelum operasi. (Epstein, Paul L.Chapter 3.1993)
Komplikasi paru yang sering terjadi pasca operasi antara lain : pneumonia,
bronkospasme, atelektasis, hipoksemia sampai gagal nafas yang memerlukan
ventilator mekanik jangka panjang. Diketahui tiga faktor spesifik yang
meningkatkan risiko komplikasi paru pasca operasi tdd : penyakit paru kronik,
obesitas dan merokok.

10
Secara keseluruhan kita harus mengetahui riwayat pasien, melakukan pemeriksaan
fisik sebelum memulai penilaian preoperatif paru. Ada atau tidaknya faktor risiko
paru dan ditemukannya pemeriksaan yang mencurigakan adanya penyakit dasar
paru harus diutamakan. Kondisi fisik terakhir dan status nutrisi pasien harus
dinilai ulang untuk melihat adakah keadaan-keadaan yang mempunyai efek buruk
pada fungsi paru baik selama dan setelah operasi.
Bila pada pasien ada faktor risiko atau ditemukannya riwayat penyakit sistim
pernapasan sebelumnya yang didapat dari anamnesa atau pemeriksaan fisik, maka
evaluasi diagnostik lebih lanjut dianjurkan. Bila ditemukan adanya faktor risiko
atau ditemukannya disfungsi paru yang berpotensi buruk terhadap risiko operasi,
maka semua potensi yang akan terjadi sebagai risiko operasi harus dievaluasi.
( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)
Perawatan preoperative pada penyakit paru bertujuan untuk memperbaiki aspek-
aspek dari penyakit paru yang reversibel.
a. Penghentian merokok 24-48 jam sebelum operasi bisa menurunkan
karboksihemoglobin dan meningkatkan oksigenasi. Penghentian merokok
lebih dari 4 minggu bisa mengurangi resiko komplikasi paru postoperative
dengan meningkatkan fungsi ciliary dan mengurangi sekresi jalan napas dan
iritabilitas.
b. Infeksi akut harus ditangani sebelum operasi. Therapi dengan kultur sputum.
c. Fisioterapi, akan memperbaiki mobilisasi dari sekresi dan meningkatkan
volume paru, menurunkan insiden komplikasi paru postoperative.
d. Hidrasi dan humidifikasi gas-gas inspirasi akan membantu dalam
membersihkan sekresi bronkial.
e. Medical treatment
(Epstein, Paul L.1993)

Strategies to decrease Perioperative Risk in Pulmonary Surgery


Preoperatively
 Cessation of smoking
 Training in proper breathing (incentive spirometry)
 Inhalation bronchodilator therapy
 Control of infection and secretions
 Weight reduction
Intraoperatively
 Limited duration of anesthesia
 Intermittent hyperinflations

11
 Control of secretions
 Prevention of aspiration
 Maintenance of optimal brochodilation
Postoperatively
Continuation of preoperative measures with particular attention to :
 Inspiratory capacity maneuvers
 Mobilization of secretions
 Early ambulation
 Encouragement to cough
 Control of pain without excessive use of opioids

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page232

3. Evaluasi Resiko Perdarahan dan Trombosis


Dalam mengevaluasi pasien dengan predisposisi perdarahan, harus dibedakan dari
macam-macam tipe pasien, yaitu:
a. Pasien normal tanpa riwayat pembekuan darah
b. Pasien dengan riwayat dan/atau penyakit (liver, disfungsi ginjal, kanker,
sepsis,dll) yang berpotensi mengganggu system hemostasis atau dengan
kelainan bawaan.
c. Pasien dengan pemakaian obat-obatan anti koagulan dan/anti trombotik

Untuk evaluasi pasien dengan predisposisi perdarahan, terutama dengan atau


tanpa/silent riwayat perdarahan pasca operasi, harus dilakukan anamnesis yang
cermat meliputi perdarahan pasca operasi sebelumnya, riwayat keluarga dengan
perdarahan, riwayat pemakaian obat-obatan. (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Prosedur operasi resiko rendah pada pasien “normal” tidak diperlukan


pemeriksaan tes fungsi koagulasi, namun prosedur operasi resiko menengah dan
tinggi memerlukan evaluasi PT (Protrombin time), aPTT (activated partial
thromboplastin time) dan hitung trombosit. Pasien dengan kecurigaan adanya
“defek” pembekuan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut factor pembekuan
(misal : FVIII, FIX, von Willebrand). (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Nilai PT memanjang menunjukkan kelainan di jalur ekstrinsik yang melibatkan


FII,FV, FVII atau defisiensi fibrinogen. Kemungkinan kausa adalah: APS,
kekurangan vitamin K, gangguan fungsi hati, defisiensi fibrinogen atau DIC.
Nilai aPTT memanjang menunjukkan kelainan pada jalur intrinsic yang

12
melibatkan FVIII, FIX, FX, FXI, FXII atau defisiensis fibrinogen. Kemungkinan
kausa adalah heparin, DIC, hemophilia/defisiensi factor intrinsic atau
hiperfibrinolisis. (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 45

Macam-macam obat hemostatik yaitu:

- Aprotinin
- Analog lisin : Episolon amino caproic acid (EACA) dan Tranexenamic acid
- Desmopressin (DDAVP)
- Rekombinan factor VIIA (rFVIIA)
- Agen topical : fibrin glues

Resiko thrombosis

Peningkatan resiko thrombosis perioperatif dipengaruhi oleh exposing factor


(factor-faktor yang akan dan sedang dialami pasien: jenis operasi, infeksi,
immobilisasi) dan predisposing factor (factor-faktor yang ada di pasien: HT,
NIDDM, hyperkoagulasi, etc).

Untuk menentukan posisi pasien dengan operasi mayor terhadap resiko kejadian
VTE (venous thrombo emboli) berdasarkan factor terpajan dan predisposisi
(Gambar 2). Kriteria ini dapat merujuk kesepakatan ACCP7 yang menetapkan :

13
1. Pasien dengan resiko sedang, perlu dipertimbangkan pemakaian anti
koagulan sebagai pencegahan primer atau sekunder.
2. Pasien dengan resiko tinggi, terapi anti koagulan perlu diberikan.

Sridhar et al memberikan criteria untuk pasien resiko rendah dan tinggi untuk
penggunaan antikoagulan operatif. (Tabel 4). (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 48

4. Evaluasi Jalan Nafas (Mallampati)


 Jalan nafas (airway) berdasarkan anatomi dibagi menjadi :
a. Jalan Napas atas (Upper) : hidung, ruang hidung, sinus paranasalis, faring
sampai epiglotis
b. Jalan Napas bawah (Lower) : plika vokalis, laring, Krikoid, krikotiroid
membran, trakea, dan karina. (Geiser, Robert. 1993)
 Hubungan jalan nafas dan dunia luar melalui 2 jalan :
a. Hidung : Menuju Nasofaring
b. Mulut : Menuju Orofaring
(Latief, Said A.2009)

14
 Penyakit-penyakit yang memiliki kemungkinan mengganggu jalan napas,
diantaranya :
a. Arthritis
b. Infeksi pada dasar mulut, kelenjar saliva, tonsil, atau abses faringeal.
c. Tumor
d. Obesitas
e. Trauma
f. Luka bakar
g. Trisomi 21
h. Skleroderma
i. Akromegali
j. Dwarfisme
k. Anomali kongenital
Jika terdapat data rekam medis lama, anestesi sebelumnya; gejala-gejala spesifik
yang berhubungan dengan adanya hambatan jalan napas; dan operasi pada kepala
dan leher sebelumnya harus dipertimbangkan untuk evaluasi selanjutnya. (Gaiser,
Robert.1993)
a. Hal- hal spesifik yang akan mengganggu jalan napas diantaranya :
1. Ketidakmampuan untuk membuka mulut
2. Mobilitas spinal servikal yang buruk
3. Mikrognatia
4. Gigi incisivus yang menonjol
5. Leher pendek & berotot
6. Obesitas yang morbid
b. Luka pada muka, leher, dan dada harus dievaluasi untuk mengetahui apakah
hal ini akan berpengaruh untuk terhambatnya jalan napas.
c. Tanda tanda umum akan adanya hambatan jalan napas yang akut, seperti
agitasi, cemas, perubahan jumlah dan irama RR, dan takikardi.
d. Pemeriksaan Kepala dan leher
1. Hidung
Dilihat apakah pasien terdapat deviasi septum, hal ini sangat penting jika
sewaktu-waktu perlu dilakukan intubasi nasotrakeal.

15
2. Mulut
a. Bukaan mulut. Pasien harus dapat membuka mulutnya sekurang-
kurangnya selebar 3 jari.
b. Gigi
Buruknya keadaan rongga mulut atau dentitis dapat meningkatkan
risiko dari kerusakaan pada dental dan kesalahan pemasukan
(dislodgement) saat manipulasi jalan napas. Adanya gigi goyang
harus di identifikasi saat preoperative.
c. Lidah
Makroglosia sering dijumpai pada sindroma kongenital.
3. Leher
a. Jika jarak tiromental kurang dari 3-4 jari, kemungkinan akan sulit
memvisualisasikan trakea

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter23,page289)

b. Mobilitas spinal servikal. Pasien harus dapat menempelkan dagunya


ke leher, seposterior mungkin.
c. Adanya stoma pasca trakeostomi dapat dijadikan tanda adanya
kemungkinan stenosis subglotis.
(Gaiser, Robert.1993)
e. Klasifikasi jalan napas. Menurut Mallampati dibagi menjadi :
Kelas I : Pilar faring, Palatum mole dan uvula masih jelas

16
Kelas II : Pilar faring dan palatum mole masih bisa terlihat, sedangkan
uvula tertutup oleh dasar lidah
Kelas III : Hanya palatum mole yang terlihat. Intubasi diprediksikan
akan sulit.
(Geiser, Robert.1993)

Mallampati Airway Classification


Class Classification
I Uvula, faucial pillars, soft palate visible
II Faucial pillars, soft palate visible
III Only soft palate visible
dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter23,page285)

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi
(tabel7)
Gradasi I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
Gradasi II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
Gradasi III : Hanya palatum mole yang terlihat
Gradasi IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat

(Latief, Said A.2009)

17
C. Pemeriksaan Umum
Peryaratan minimal pemeriksaan umum menyangkut hal-hal ini:
1. Vital signs (Tanda-tanda Vital)
a. Tinggi dan berat badan sangat berguna untuk mengukur dosis terapi obat dan
juga dalam menentukan kebutuhan volume dan kecukupan pengeluaran urin
preoperative.
b. Tekanan darah harus diukur pada kedua lengan dan adanya perbedaan antara
ektremitas atas dan dicatat ( perbedaan yang signifikan mungkin menandakan
adanya penyakit dari aorta thoracica atau dari salaah satu cabang arteri
tersebut)
c. Nadi saat sedang istirahat atau rileks dicatat untuk melihat irama, perfusi dan
jumlah.
d. Respirasi diobservasi untuk mengetahui ukuran jumlahnya, kedalaman, dan
pola nya ketika pasien dalam keadaan istirahat atau rileks.
2. Kepala dan leher.
Saat pemeriksaan preoperasi lakukan :
a. Mencatat ukuran dari bukaan oral dan lidah.
b. Dokumentasikan adanya gigi goyang, patah, ‘caps’, denture, dan kemungkinan
orthodentik lainnya.
c. Catat seberapa jauhnya pergerakan spinal cervical, pada saat flexi, ekstensi
dan rotasi.
d. Dokumentasikan adanya deviasi trakeal, massa di cervical, dan carotid bruits.
3. Precordium. Auskultasi jantung mungkin menangkap adanya murmur, irama
gallop, dan precordial rub.
4. Paru-paru. Auskultasi untuk mengetahui adanya wheezing, ronchi atau rales, yang
dihubungkan dengan observasi mudah atau tidak saat pasien bernapas, dan
penggunaan otot-otot aksesoris pernapasan.
5. Abdomen. Adanya bukti dari distensi, massa, atau asites harus dicatat, karena hal2
ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya regurgitasi, atau ventilasi yang tidak
baik nantinya.
6. Ektremitas. Kelemahan otot harus dicatat atau dilaporkan, begitu juga dengan
perfusi umum bagian distal, clubbing, sianosis, infeksi cutaneous ( terutama pada
area yang akan dilakukan kanulasi vascular atau blok saraf regional).

18
7. Punggung. Catat adanya deformitas, memar-memar atau infeksi
8. Neurologi. Minimal catat status mental pasien, fungsi saraf cranial, kognisi, dan
fungsi sensorimotor peripheral.
(Long, Thomas J.1993)

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila ada indikasi tertentu yang didapatkan dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Beberapa pemeriksaan penunjang yang saat ini
dianggap penting untuk standar perawatan prabedah, seperti :
1. Hematokrit atau hemoglobin terbaru.
Hematokrit sebanyak 25-30% biasanya ditolerir untuk pasien-pasien yang sehat
tapi dapat mengakibatkan iskemik pada pasien dengan penyakit arteri koroner.
Setiap kasus harus di evaluasi secara individual untuk mencari etiologi dan
lamanya anemia. Jika tidak ada penjelasan yang pasti akan adnaya anemia,
penundaan operasi dapat diindikasikan/disarankan.( Long, TJ.1993)
Saat ini, National Blood Resource Education Committee menyarankan bahwa
Hemoglobin >7 g / dl dapat diterima pada pasien tanpa penyakit sistemik. Pada pasien
dengan penyakit arteri koroner, hemoglobin >10 g / dl penting untuk meminimalkan
risiko terjadinya miokardial iskemi dan infark miokard. Pasien dengan penyakit sistemik,
tanda-tanda pengiriman oksigen sistemik yang adekuat (takikardi, takipnea) merupakan
indikasi untuk transfusi. (Barash, Paul G.1997)
2. Serum kimiawi dan skrining koagulasi
Dilakukan hanya jika ada indikasi tertentu dari riwayat dan pemerikasaan fisik.
Misalnya seperti ada riwayat perdarahan diathesis atau penyakit sistemik serius.
Hipokalemi bukanlah hal yang jarang ditemui pada pasien yang mendapat terapi
diuretik, dan biasanya sebelum dioperasi dikoreksi dengan suplemen potassium
oral. Usaha untuk mengoreksi hipokalemi dengan cara infus intravena secara
cepat dapat mengakibatkan aritmia, bahkan juga gagal jantung (cardiac arrest).
Saat menghadapi adanya hipokalemi dengan cardiac arrest, sebaiknya operasi
ditunda dahulu. (Long, TJ.1993)
3. Elektrokardiogram (EKG)
Dianjurkan untuk semua pasien diatas usia 40 tahun yang akan menjalani
prosedur pembedahan resiko sedang dan tinggi. Abnormalitas EKG yang
signifikan untuk seorang anestesi termasuk gelombang Q baru, depresi atau

19
elevassi segmen ST, inversi gelombang T, dan gangguan irama (kontraksi
ventrikuler yang premature, fibrilasi/flutter atrial, bloking cabang kiri, dan
bloking atrioventrikuler derajat kedua atau ketiga). Penemuan-penemuan ini pada
EKG saat preoperative memerlukan adanya korelasi dengan riwayat, pemeriksaan
fisik, dan EKG sebelumnya, dan perlu dilakukan pemeriksaan dan konsultasi
dengan kardiologis yang lebih lanjut, sebelum operasi dilakukan.(Long, TJ.1993)
4. X-ray torax
Dilakukan jika ada indikasi klinis (contoh : perokok berat, lansia, pasien dengan
penyakit pada organ-organ utama).(Long, TJ.1993)
5. Pemeriksaan laboratorium untuk Hati dan Ginjal
Dilakukan pemeriksaan pada pasien yang diduga dengan penyakit hati, harus
menjalani evaluasi menyeluruh untuk fungsi hatinya meliputi pemeriksaan
konsentrasi enzim hati, albumin, dan bilirubin, dan juga evaluasi koagulopati.
Fungsi ginjal meliputi elektrolit, ureum kreatinin.(long, TJ.1993)
6. pemeriksaan gula darah
pemeriksaan gula darah dan hemoglobin A1c dilakukan untuk membedakan
kejadian perioperative stress hyperglycemia dari diabetes mellitus yang tidak
terdiagnosis. Pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes mellitus harus
kontrol gula darahnya sebelum menjalani pembedahan.(Long, TJ.1993)

20
Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer.2007.hal:17

E. Klasifikasi
 Klasifikasi Status Fisik
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim
digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi yang terdiri dari :
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

(Latief, Said A.2009)

21
American Society of Anesthesiologists Classification
ASA Class Disease State
1 No organic, physiologic, biochemical, or psychiatric disturbance
2 Mild to moderate systemic disturbance that may or may not be
related to the reason for surgery
3 Severe systemic disturbance that may or may not be related to
the reason for surgery
4 Severe systemic disturbance that is life threatening with or
without surgery
5 Moribound patient who has little chance of survival but is
submitted to surgery as a last resort (resuscitative effort)
dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 239

BAB III
22
PREMEDIKASI

Pengelolaan pasien anestesi sebelum operasi diawali dengan premedikasi atau


persiapan preoperative yang meliputi persiapan psikologis (fisik) dan persiapan farmakologis
(obat-obatan), yang dilakukan ahli anestesi sehari sebelum rencana operasi. Hal ini penting
dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik dan mental pasien sebelum di operasi. Sebab hal
tersebut berpengaruh terhadap obat preanestesi, teknik yang digunakan dan keahlian seorang
ahli anestesi. Persiapan yang buruk dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi. Idealnya
semua pasien sebelum operasi dalam keadaan tenang, terhindar dari kecemasan akan operasi
dan kooperatif. (Barash, Paul G.1997;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi;http://aguspriyantoanestesi2008.blogspo
t.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html)

Tujuan dari premedikasi atau persiapan preoperative adalah meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurai sekresi kelenjar ludah dan bronkus,
meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflek yang membahayakan. Hasil
akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah sedasi dari pasien tanpa disertai
depresi pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi terhadap masing-masing pasien
dapat berbeda. (Said A.Latief.2009;
http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html)

1. Persiapan Psikologis (Fisik)

Persiapan psikologis meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien


dan keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan terjadi dan
tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas pasien.
Kunjungan ini harus dilakukan secara efisien, memberikan informasi, rasa aman,
menjawab segala pertanyaan pasien dan supaya mendapatkan rasa percaya pasien
kepada ahli anestesi dan juga meningkatkan rasa percaya diri pasien. Hal-hal yang
diwawancarai pada kunjungan preoperative meliputi table 1-1.
(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi)

Table 1-1 Areas to be Discussed During a Preoperative Interview

23
 Review medical history with patien
 Co-existing diseases
 Chronic drug therapy
 Prior anesthetic experience
 Describe anesthetic technique available and associated risks
 Review planned preoperative medication and time of scheduled surgery
 Decribe what to expect on arrival in the operating room
 Describe anticipated duration of surgery and expected time to return to room
 Describe methods available to manage postoperative pain
 Patient-controlled analgesia
 Neuraxial opioids

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265,table21-1

Selain permasalahan psikologis, kondisi fisik pasien juga dapat menjadi permasalahan
dalam pembiusan. Agar obat-obat bius yang nantinya diberikan tidak menimbulkan
efek negative akibat kondisi tubuh yang tidak normal lagi maka harus ada jaminan
akan fungsi dan kondisi tubuh yang baik. Hal tersebut dapat diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium berupa fungsi pembekuan darah, fungsi liver, ginjal,
endokrin, elektrolit, status gizi dan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG).
Sedangkan kondisi pasien, setidaknya 8 jam sebelum operasi harus sedang fit, tidak
batuk, pilek, dalam keadaan bersih (cuci rambut), menanggalkan aksesoris perhiasan,
gigi palsu, tidak bergincu, dan cat kuku harus dihapus. Hal ini dilakukan untuk
mencegah kontaminasi operasi dan menunjang sterilitas proses operasi.
(http://spesialisbedah.com/2009/09/persiapan-fisik-sebelum-operasi).

 Hubungan dokter anestesi dengan pasien


Periode preoperative adalah saat yang sangat membuat stress emosional terutama
pada pasien yang takut pada operasinya (kanker, kelainan bentuk tubuh, kesakitan
pasca operasi, bahkan kematian) maupun terhadap anestesinya (kehilangan
kontrol, takut tidak bangun, mual pasca operasi, kebingungan, kesakitan,
lumpuh/parese, dan pusing). Dokter anestesi dapat membantu mengurangi rasa
takut ini dan menanamkan rasa percaya pasien dengan cara :
a. Wawancara yang kondusif dan tidak terburu-buru, dimana kita menunjukkan
pada pasien bahwa kita mengerti akan rasa takut dan rasa khawatir yang
dimilikinya.
b. Meyakinkan pasien bahwa kita akan bertemu dengannya lagi di ruang operasi.
Jika akan ada orang lain yang memasukkan anestetiknya, pasien harus
24
disarankan dan diyakinkan bahwa semua kekhawatiran dan kebutuhannya
telah disiapkan penanganannya.
c. Menginformasikan pasien akan hal-hal yang akan dialaminya pada masa
preoperasi, termasuk didalamnya :
- waktu saat pasien harus puasa makan & minum
- waktu yang diperlukan untuk operasi
- kebutuhan akan premedikasi sedative dan obat-obat yang harus dilanjutkan
seperti biasa pada hari-hari berikutnya.
- area kerja induksi yang akan dilakukan pada hari operasi (cth¸penempatan
IV atau kateter arterial, adanya alat monitoring yang akan digunakan,
kateter epidural) dengan kepastian obat penenang dan tambahan analgesik
IV akan disediakan bila diperlukan selama operasi. Pemulihan post
operative harus selalu diamati.
( Long, TJ.1993)

2. Persiapan Farmakologis (obat-obatan)


Persiapan farmakologis diberikan berdasarkan kondisi psikologis dan status fisik
pasien yang telah ditetapkan setelah kunjungan preoperative. Dalam memilih obat-
obat farmakologis yang akan digunakan, ahli anestesi harus mengetahui table 2-1 :

Table 2-1 .Determinant of Drug Choice and Dose


 Patient age and weight
 ASA Physical Status Classification
 Level of anxiety
 Tolerance for depressant drugs
 Prior adverse experiences with premedication
 Drug allergies
 Elective versus emergency surgery
 Inpatient versus outpatient

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266,table21-3;


http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi;http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-
pre-mediaksi.html).

tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian farmakologis sebelum operasi adalah :
table 2-2

25
Table 2-2 Goals for Pharmacologic Premedication
 Anxiety relief
 Sedation
 Amnesia
 Analgesia
 Drying of airway secretions (antisialagogue effect)
 Prevention of autonomic nervous system responses
 Decrease gastric fluid volume and increase gastric fluid
pH
 Antiemetic effect
 Decrease in anesthetic requirements
 Facilitate induction of anesthesia
 Prophylaxis against allergic reactions

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265,table21-2;


http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi)

 Obat-obat persiapan farmakologis antara lain :

a. Sedasi, hipnotis dan penenang


1. Benzodiazepin (diazepam, midazolam dan lorazepam)
Golongan obat ini merupakan paling populer untuk pengobatan
preoperative. Obat ini digunakan untuk sedasi, mengurangi rasa cemas
dan amnesia retrogard, dan juga diberikan untuk mengurangi mimpi
buruk dan delirium setelah pemberian ketamin. Kerja benzodiazepine
pada reseptor otak yang spesifik (γ aminobutyric acid) yang berefek sedikit
mendepresi pernapasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi. Umunya
benzodiazepin diberikan per oral karena absorbsinya baik. Yang termasuk
golongan benzodiazepin adalah diazepam, midazolam dan lorazepam.
(Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi;http://aguspriyantoa
nestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html)

Diazepam merupakan obat standar terhadap benzodiazepine lainnya.


Tidak larut air dan harus berdisosiasi terhadap pelarut organic (propylene,
glycol, sodium benzoat). Pemberian diazepam secara oral dengan 150cc air
lebih disukai daripada pemberian injeksi intramuskuler. Lebih dari 90
persen dosis oral diazepam cepat diserap. Efek puncak dapat terjadi

26
setelah pemberian oral dalam waktu 0,5-1 jam pada orang dewasa dan 15-
30 menit pada anak-anak..Diazepam tidak melewati membran pasenta, dengan
level konsentrasi pada bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena
diazepam terikat kuat dengan protein, maka pasien dengan albumin yang rendah,
seperti pada sirosis hepatis atau gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan
efek dari obat. Kerugian obat ini sakit pada tempat penyuntikan i.m dan i.v dan
phlebitis pada i.v. Waktu paruh 21-37 jam pada orang normal. Dosis i.v 10mg
pada orang dewasa, 0,2-0,5 mg/kgBB pada anak-anak. (Handbook of Clinical
Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi;http://aguspriyantoa
nestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html)

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada


penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-
bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan
metabolisme cepat. Midazolam 2 sampai 3 kali lebih poten daripada
diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepin. Dosis
biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 0,1 mg/kgBB pada
intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam.
Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak
muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5
mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Penggunaan midazolam harus
dalam pengawasan ketat karena kemungkinan terjadi depresi pernapasan.
Pada anak-anak pemberian oral lebih disukai. (Handbook of Clinical
Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi;http://aguspriyantoa
nestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html).

Lorazepam 5-10 kali lebih baik dari diazepam. Lorazepam tidak larut
dalam air dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene glycol atau
propylene glycol. Tidak sakit pada tempat penyuntikan dan tidak ada
phlebitis. Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler.
Efek maksimal muncul 30-40 menit setelah injeksi intravena. Konsentrasi
puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam setelah masuknya
obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan

27
dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk
efektif sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat
diberikan secara sublingual dengan dosis 25-50 g/kg. Dosis untuk
dewasa tidak boleh melebihi 4,0 mg, amnesia antegrad dapat dihasilkan
selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan
sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak amnesia. Kerena
onset yang lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna dengan cepat
dimana diinginkan bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan rawat
inap.(Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;http://www.docstoc.com/docs/78
04132/Premedikasi).

2. Barbiturat (secobarbital dan pentobarbital)

Penggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative telah digantikan pada


berbagai hal oleh benzodiazepine. Obat ini digunakan secara primer untuk
efek sedatifnya. Barbiturat dapat diberikan oral juga parenteral, dan obat-
obatan relatif tidak mahal. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat
menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal, depresi
sirkulasi minimal dan tidak menimbulakn efek mual dan muntah. Obat ini
efektif bila diberikan peroral. Kerugian penggunaan barbiturate termasuk
tidak adanya efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien
yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan
kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.

Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200 mg


ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit
setelah masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih.
Tentunya, meskipun secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai
kerja pendek barbiturat, ini dapat menunjukkan kerja selama 10-22 jam.
Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral
digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki
biotransformasi waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya
tidak sering cocok untuk prosedur singkat. (Handbook of Clinical
Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

28
http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-
mediaksi.html; http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).
3. Butyrophenones
Dosis intravena atau intramuscular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan
keadaan sedasi pada pasien sebelum operasi. Keuntungan sangat besar
dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetic yang sangat kuat, dan
bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk
digunakan pada pasien – pasien dengan resiko tinggi, misal pada operasi
mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Kerugiannya
kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan
dysphoria (pasien merasa takut mati) sehingga menolak untuk dioperasi.
Droperidol juga mempunyai efek block terhadap dopaminergik reseptor
sehingga dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada pasien yang
normal. Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang
ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Pada
pasien dengan riwayat alergi atau rhinitis vasomotorika sebaiknya
penggunaan obat ini dihindari. (Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;
http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-
mediaksi.html; http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).
4. Obat-obat Sedatif Lain
Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine yang memiliki
aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Hydroxyzine merupakan antihistamin
dan antiemetic, memiliki bahan analgesic namun tidak menghasilkan
amnesia. Biasanya diberikan untuk menambah efek pada opioid.
Diphenhydramine merupakan reseptor histamin antagonis dengan aktifitas
sedatif dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan
bertahan 3-6 jam pada dewasa. Diphenhydramine menghambat reseptor
histamin untuk mencegah efek histamin perifer.
Phenothiazine (promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya
digunakan dalam kombinasi dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan
sedatif, antikolinergik, dan antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek
analgesik opiod, telah digunakan untuk medikasi preoperatif.
(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

29
b. Analgetik
 Opioid
Opioid digunakan ketika analgesi dibutuhkan sebelum operasi. Untuk
pasien yang mengalami nyeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan
analgesia yang baik dan bahkan euphoria. Opioid digunakan sebelum
operasi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dapat muncul selama
anestesi regional atau insersi invasive kateter monitor atau jalur intravena
yang besar. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan ventilasi
selama nafas spontan dan menurunkan masuknya obat-obat inhalasi. Jika
dibutuhkan, ahli anestesi dapat menggunakan ventilasi bantuan atau
terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan efek depresi respirasi dari
opioid. Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik untuk meredakan
apprehensi, menghasilkan sedasi, atau mencegah ingatan kembali.
Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa
efek samping table 2-3. (Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Table 2-3 Side Effects of Opioids as Used for Pharmacologic Premedication


 Depression of ventilation
 Nausea and vomiting
 Orthotastic hypotension
 Delayed gastric emptying
 Pruritus
 Choledochoduodenal sphincter spasme

(dikutip dari :Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267,table21-5;


http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi intramuskuler. Onset


efeknya muncul dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam 45-90
menit dan bertahan selama 4 jam. Setelah masuknya intravena, efek
puncak biasanya muncul dalam 20 menit. Dengan opioid lain, depresi
ventilasi dan hipotensi orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin.
Mual dan muntah dapat muncul sebagai komponen vestibuler. Setelah
masuknya morfin, motilitas traktus gastrointestinal menurun, sekresi
gastrointestinal meningkat. (Handbook of Clinical Anesthesia by

30
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Meperidin memiliki efek poten sepersepuluh dari morfin. Meperidin dapat


diberikan secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal dari meperidin
biasanya berlangsung 2-4 jam. Onset setelah pemberian intramuskular
sulit diprediksi dan terdapat variasi waktu dalam mencapai efek puncak.
Meperidin secara primer dimetabolisme di hepar. Peningkatan detak
jantung dan hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pemberian meperidin.
(Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

c. Volume dan PH Cairan Lambung


Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi
pneumonitis. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus
hernia atau reflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi
isi gaster dan subsequent chemical pneumonitis. Maka dari itu pentingnya
puasa sebelum dilakukan induksi anestesi pada operasi elektif. Pedoman
untuk praktek puasa untuk mengurai resiko aspirasi pulmonal :

REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI


PULMONAL
(The American Society of Anesthesiologists tahun 1998)
Jenis Minuman Waktu Puasa Minimal (untuk semua umur)
- Air putih* 2 jam
- ASI 4 jam
- Makanan bayi 6 jam
- Susu formula 6 jam
- Makanan berat 6 jam
 Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan
tidak dianjurkan untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tidak
menjamin pengosongan gaster secara komplit.
 *Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi
hitam.(Handbook of Clinical Anesthesia by
Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;
http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

31
Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi volume cairan lambung dan
meningkatkan PH lambung adalah tabel 2-4 dan faktor-faktor yang dapat
menghambat pengosongan lambung tabel 2-5.

Table 2-4 Drugs Used to Decrease Gastric Fluid Volume and Increase Gastric Fluid PH
 Anticholinergics (do not reliably increase gastric fluid pH at clinical doses and may
relax the lower esophageal sphincter, making gastroesophageal reflux more likely)
 H-2 receptor antagonists (not 100% effective in increasing gastric fluid pH)
o Cimetidine (inhibits mixed-function oxidase enzyme systems and decreases
hepatic blood flow, which may prolong the elimination half-time of some drugs)
o Ranitidine (more potent and longer lasting than cimetidine)
o Famotidine (longest duration of action of all H-2 antagonists)
 Antacids (nonparticulate antacids recommended to decrease the risk of pulmonary
reaction if antacid inhaled; in contrast to H-2 antagonist, there is no lag tome before
gastric fluid pH is increased)
 Omeprazole (increases gastric fluid pH by blocking secretion of hydrogen ions by
parietal cells)
 Gastrokinetic agents
o Metoclopramide (onset 30-60 minutes after oral administration and 3-5 minutes
after i.v administration; gastric emptying effects may be offset by opioids,
anticholinergics, or antacids)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page268,table21-6;


http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Table 2-5 Factors that May Delay Gastric Emptying

 Opioids - Trauma
 Pregnancy - Pain
 Obesity - Anxiety
 Diabetes mellitus

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page268,table21-7)

d. Antiemetik
Faktor resiko yang diprediksi mengalami mual muntah postoperasi adalah
perempuan, riwayat motion sickness atau mual post operasi, tidak merokok,
dan menggunakan opioid postoperasi. Bila didapatkan 2 atau lebih para
peneliti mengusulkan pemberian antiemetik profilaktis saat menggunakan

32
anestesi volatile, sebaiknya diberikan intravena pada sesaat sebelum
operasi.selesai. Yang termasuk antiemetic adalah droperidol,
metoklopramide, dan ondansetron,
(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

e. Antikolinergik
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi, diproduksinya
sekret yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi
intraoperatif. Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi tabel2-6.
Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi
cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada preoperatif.

Table 2-6 Indication for Anticholinergics


 Antisialagogue effect (not necessary when regional anesthesia planned)
 Sedation and amnesia (decrease doses in eldery patients; scopolamine most
effective)
 Vagolytic action (i.m administration not as effective as i.v injection just
before the anticipated vagal stimulus)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page270,table21-10)

Efek samping dari antikolinergik pada tabel 2-7.

Table 2-7 Side Effects of Anticholinergic Drugs


 Central nervous system toxicity (restlessness and confusion especially in
eldery patients; unlikely with glycopyrrolate because it crosses the brain
barrier minimally)
 Relaxation of the lower esophageal sphincter (may not be clinically

33
significant)
 Mydriasis and cycloplegia (continue miotic eye drops in patients with
glaucoma)
 Increased physiologic dead space
 Drying of airway secretions
 Interfence with sweating (an important consideration in febrile patient,
especially children)
 Increased heart rate (unlikely afteri.m administration)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page270,table21-11)

Yang termasuk antikolinergik adalah atropine, scopolamine, glycopyrrolate.


Perbandingan efek antikolinergik pada tabel 2-8.

Table 2-8 Comparative Effects of Anticholinergics i.v


Atropine Scopolamine Glycopyrrolate
Antisialagogue + +++ ++
effect
Sedative and + +++ 0
amnesic effect
Central nervous + ++ 0
system toxicity
Relazation of ++ ++ ++
gastroesophageal
sphincter
Mydriasis and + ++ 0
cycloplegia
Increase heart +++ + ++
rate

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page269,table21-9;


http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Dosis obat-obat persiapan farmakologis terdapat pada tabel 2-9 :

Table 2-9 Drug Used for Pharmacologic Premedication

Drug Route of Administration Adult dose (mg)

Diazepam Oral 5-20


Lorazepam Oral, i.m 1-4
Midazolam Oral (children) 0,5 mg/kg
i.m 3-5

34
i.v 1-2.5
Secobarbital or pentobarbital Oral, i.m 50-200
Morphine i.m 5-15
Meperidine i.m 50-150
Promethazine i.m 25-50
Diphenhydramine Oral, i.m 25-75
Cimetidine Oral, i.m, i.v 150-300
Ranitidine Oral 50-200
Famotidine Oral 20-40
Metoclopramide Oral, i.m, i.v 5-20
Atropine or scopolamine i.m, i.v 0,3-0,6
Glycopyrrolate i.m, i.v 0,1-0,3
Antacids Oral 10-30 ml

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266,table21-3)

KESIMPULAN

Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter


spesialis anestesiologi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada
pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi.
Evaluasi pra anestesi memiliki tujuan yang spesifik, diantaranya mengetahui riwayat
penyakit sebelumnya, membina hubungan antara dokter dan pasien, menyusun strategi

35
manajemen untuk perawatan perioperatif anestesi, dan memperoleh persetujuan (inform
consent) untuk rencana anestesi. Sedangkan tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
Selain itu perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan anestesi seperti anamnesa
pasien, mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat adalah indikasi
prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan pengobatan saat ini.
Pemeriksaan fisik pasien yang harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi focus,
perhatian ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru, dan
pemeriksaan neurologi dan juga dilakukan evaluasi resiko perdarahan dan thrombosis serta
evaluasi jalan nafas (mallampati). Pemeriksaan umum seperti tanda vital, kepala dan leher,
precordium, paru-paru, abdomen, ektremitas, punggung dan neurologi. Pemeriksaan
penunjang juga dilakukan jika ada indikasi tertentu yang didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Setelah itu baru dilakukan pengklasifikasian status fisik pasien
menggunakan ASA (American Society of Anaesthesiologist) yang merupakan klasifikasi yang
lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.
Setelah pertimbangan-pertimbangan anestesi, perlu dipersiapkan juga premedikasi
yang akan digunakan untuk pasien. Premedikasi dibagi dua yaitu persiapan psikologis (fisik)
yang meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien dan keluarganya dan
persiapan farmakologis (obat-obatan) yang diberikan berdasarkan kondisi psikologis dan
status fisik pasien yang telah ditetapkan setelah kunjungan preoperative. Tujuan dari
premedikasi adalah meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurai sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik,
mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan
lambung, mengurangi reflek yang membahayakan. Hasil akhir yang diharapkan dari
pemberian premedikasi adalah sedasi dari pasien tanpa disertai depresi pernapasan dan
sirkulasi.

36

You might also like