You are on page 1of 5

NAMA MATA KULIAH : Perancangan dan Pengembangan Produk

SEMESTER : Ganjil 2010/ 2011


JUDUL STUDI KASUS : customer Insight via Ethnography
DOSEN PENGAJAR : Adithya Sudiarno, ST., MT.

Customer Insight via Ethnography

“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar
lautan”(James P. Spradly)

Seorang gadis memasuki bar dan berkata pada bartender, “Berikan saya Diet Coke.
Tolong saya jangan diganggu, karena saya ingin mengamati cowok - cowok yang
sedang meminum bir di pojok sana.”. Bukan, ini bukan kalimat awal dari sebuah
lelucon. Bila Anda adalah bartender tersebut, yang sedang Anda hadapi kemungkinan
adalah seorang etnografer (praktisi ilmu etnografi) yang dipekerjakan oleh perusahaan.

Saat ini mulai banyak desainer produk dan marketer yang mendengungkan istilah
etnografi sebagai pendekatan dalam mengembangnkan produk. Pendekatan ini
semakin menarik karena kita selama ini mengetahui bahwa etnografi merupakan salah
satu cabang dari ilmu antropologi yang yang banyak di gunakan dalam riset - riset
sosial untuk mengeksplorasi karakteristik budaya di suku - suku terasing. Etnografi
yang pada awalnya merupakan sebuah studi mengenai kehidupan bermasyarakat
memang dapat digunakan untuk mengamati konsumen bagaimana dan apa yang
membuat mereka menggunakan produk serta mensosialisasikan produk dalam
lingkungan sosialnya.

Etnografi adalah pendekatan riset yang menggunakan observasi langsung terhadap


kegiatan manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari - hari. Etnografi berusaha
mengetahui kekuatan - kekuatan apa saja yang membuat manusia melakukan sesuatu.
Karena alasan itulah, pendekatan etnografi ini mulai dilirik dunia bisnis untuk membantu
mengungkapkan keinginan konsumen terdalam yang sering tidak bisa didapatkan dari
metode riset konsumen lainnya seperti data mining, survey, Focus Group Discussion,
ataupun in-depth interview. Etnografi memberi dunia bisnis alat untuk melihat ke dalam
perkembangan budaya yang sedang in [trend] saat ini, atau faktor gaya hidup yang
mempengaruhi keputusan konsumen dalam berinteraksi dengan berbagai macam
produk industri seperti soft drink, pasta gigi, sabun, asuransi, mobil, komputer, sampai
rumah. Para etnografer ini akan semakin tertarik bila menjumpai seseorang yang
mengatakan menyukai makanan sehat, namun memesan secangkir ice blended coffee
dengan cream berlimpah, misalnya. Seperti pernyataan Eric Arnould, profesor
Marketing dari University of Nebraska, “Etnografi is a way to get up close and personal
with consumers.”

Etnografi sendiri tidak fokus pada ”what people say” tapi lebih pada ”what people do”.
Secara lebih taktikal pengambilan data akan dilakukan dengan menggunakan beberapa
customer Insight via Ethnography
kombinasi antara lain observasi, diary, video tape, photography, catatan - catatan kecil,
dan diperkaya pula dengan foto, gambar –gambar, ataupun video hasil pengamatan.
Dengan menggunakan etnografi di harapkan desainer produk mendapatkan
mendapatkan customer insight dari konsumen. Customer insight seperti inilah yang
sebenarnya lebih diperlukan oleh para desainer produk ketimbang sekadar data atau
informasi. Dengan pendekatan ini di harapkan desainer produk lebih bisa menemukan
pendapat dan persepsi sesungguhnya dari konsumen, sehingga hidden need atau
unspoken need dari konsumen bisa terungkap. Pendekatan ini memberikan
kesempatan bagi para desainer produk untuk mendalami dan menyelami latar belakang
konsumen ketika berinteraksi dengan suatu produk dalam kesehariannya dengan apa
adanya dan tanpa kepalsuan.

Berbeda dengan metoda FGD (Focus Group Discussion), dalam riset etnografi ini
responden tetap berada pada habitat aslinya tanpa kepalsuan dan kepura-puraan,
sehingga Voice of Customer dapat lebih mudah teridentifikasi secara lebih aktual,
tajam, dan mendalam. Sebagai contoh, Ibu Rumah Tangga diwawancarai dan diamati
perilakunya ketika berada di rumah sedang memasak, membersihkan rumah atau
mencuci baju. Seorang eksekutif diamati perilakunya ketika berada di kantor tempat ia
bekerja untuk merekam pola penggunaan telepon selulernya. Remaja diamati dan
diwawancarai di lingkungan teman-temannya di mall. Kafe, atau Lapangan Basket.
Tindakan (actions) yang dikerjakan responden merupakan insights tersendiri yang
jarang bisa terekam pada saat Marketer Researcher melakukan metode FGD (Focus
Group Discussion), survey, dan metode lainnya.

Focus Group Discussion tidak mempunyai ‘human touch’ yang dimiliki oleh metoda
etnografi. Selain tidak adanya privacy, FGD juga dibatasi oleh waktu dan latar
lingkungan yang bersifat artificial sehingga jika dilakukan metoda FGD para desainer
produk kurang dapat mengidentifikasi need dan wants Customer. Padahal mengamati
responden dalam kesehariannya mengamati pemakaian produk dengan latar belakang
sesungguhnya adalah sangat penting dalam menggali consumer insights. Berada
dalam lingkungannya sendiri tercipta rasa nyaman bagi responden. Ia dengan leluasa
dapat menceritakan pendapatnya secara spontan tanpa khawatir penilaian dari
responden lainnya.

Pendekatan etnografi dalam riset pengembangan produk berawal dari ketidakpuasan


terhadap metoda FGD (Focus Group Discussion) yang dianggap tidak representatif dan
tidak dapat meng-capture Voice of Customer.. Adapun kelemahan-kelemahan metoda
FGD (Focus Group Discussion) adalah sebagai berikut :
FGD sangat rentan terhadap “vokalis” alias anggota kelompok yang doyan
ngomong sehingga membungkam suara anggota lainnya;
FGD juga sangat rentan terhadap “ketidakjujuran” anggota kelompoknya untuk
berbagi perasaan atau pengalaman di depan seluruh anggota kelompok,
mungkin karena malu atau jaim alias jaga image. Misalnya FGD yang membahas
“pola pemberian makanan untuk anak”, pesertanya terdiri atas ibu – ibu muda.
Moderator menanyakan apa saja jenis sarapan yang sering diberikan oleh ibu -
ibu muda tersebut kepada anaknya. Karena jaga image, agar tidak terkesan kere

customer Insight via Ethnography


atau tidak peduli pada anak, maka mereka akan menyebutkan jenis - jenis
makanan berkategori “premium/ kelas atas”, misalnya cereal atau quacker.
Padahal kenyataannya anaknya cuma diberi roti tawar yang dijual oleh abang -
abang dengan gerobak sambil bernyanyi …”beli dong, beli dong, kan capek
jualan…”
FGD acap kali gagal menggali fakta - fakta dengan produk yang memang sulit
dikatakan. Misalnya pengalaman menikmati es krim yang dikemas dalam cup,
seringkali sebagian isinya melekat pada tutup kemasan, karena sayang biasanya
orang - orang akan menjilati tutup kemasan es krim tersebut. Nah perilaku tidak
sopan ini yang malu diungkapkan di depan banyak orang. Atau kebiasaan ibu -
ibu dalam mencuci piring, hasil cucian baru dikatakan bersih jika piring tersebut
mengeluarkan bunyi mencicit (cit..cit..cit) ketika permukaannya digosok dengan
jari. Fakta - fakta ini terkadang sulit dirangkai dalam sebuah kalimat.

Kelemahan - kelemahan FGD di atas yang coba direduksi oleh etnografi dengan
melakukan pengamatan dan bertanya langsung kepada konsumen di habitat aslinya
(rumah, kantor, sekolah, pabrik, taman bermain). Sebenarnya tidak ada yang baru atau
supercanggih dalam metode etnografi. Metode ini tetap menjalankan prinsip - prinsip
penelitian kualitatif pada umumnya. Bisa dikatakan metode etnografi merupakan
kombinasi dari metode - metode kualitatif yang telah ada, indepth interview, observasi
kualitatif, FGD, tehnik proyeksi, diary, life history, dll. Hanya saja kegiatan risetnya
harus dilakukan di lingkungan asli target konsumen. Dengan masuk dalam lingkungan
asli konsumen maka akan terungkap apa yang sebenarnya mereka lakukan terhadap
suatu produk bukan sekedar mengungkap apa yang mereka katakan mereka lakukan
terhadap produk tersebut..

Pendekatan etnografi kini telah banyak digunakan oleh


perusahaan - perusahaan besar di negara maju dalam
melakukan pengembangan produknya.. Bahkan Bruce
Nussabum, dalam tulisannya yang dimuat pada Business
Week online menyatakan bahwa etnografi ini merupakan
kompetensi baru yang harus dimiliki perusahaan saat ini.
Cerita tentang riset di bar pada alinea pembuka di atas,
misalnya, pernah dijalani oleh tim dari Ogilvy & Mather,
salah satu perusahaan periklanan terbesar di dunia.
Ogilvy menugaskan beberapa tim untuk mengunjungi bar
- bar di US dan menyaksikan dari dekat para peminum
bir. Tim tersebut merekam apa yang dilihatnya untuk
menangkap momen - momen yang bisa mengungkapkan
apa yang sebenarnya dilakukan konsumen terhadap
produknya. Tim dari Ogilvy akan mencatat bagaimana
para kelompok pria tersebut berinteraksi. Seberapa dekat
mereka berdiri satu sama lainnya? Bagaimana mereka
memberi salam? Siapa yang memberi salam terlebih
dahulu? Bagaimana pola percakapan yang terjadi?
Bagaimana bahasa tubuh mereka? Apakah ada hirarki

customer Insight via Ethnography


dalam kelompok tersebut, dan bila ada, bagaimana polanya? Bila ada konflik,
bagaimana mereka menyelesaikannya? Pada saat kembali ke kantor, tim ini akan
menganalisa semua rekaman video dari bar - bar yang telah dikunjungi. Di sanalah, tim
dari Ogilvy akan mencari perbedaan antara peminum bir dengan merek yang berbeda.
Misalnya dalam kasus ini, tim dari Ogilvy berhasil mendapatkan perbedaan antara
peminum bir Miller Lite dan kompetitornya Bud Lite. Miller lebih disukai untuk diminum
dalam kelompok, sementara Bud lebih disukai bila diminum sendirian. Para peminum
Miller juga lebih ekspresif, sementara para peminum Bud lebih suka pamer. Berbekal
pengetahuan lapangan tersebut, desain produk yang tepat bisa dibangun.

Sebagai contoh lain dari dunia nyata adalah


Whirlpool memakai etnografer untuk melakukan
studi terhadap pemakai bak mandi mewah.
Mereka melakukan studi terhadap 15 keluarga
dengan mengadakan wawancara dan merekam
kegiatan mandi (para partisipan tetap memakai
baju mandi selama studi ini). Mereka mengajukan
pertanyaan seperti, “Bila Anda memikirkan bak
mandi, gambar apa yang muncul di pikiran
Anda?” Setelah itu, partisipan diminta mencari
gambar - gambar dari majalah yang sesuai
dengan perasaan tersebut. Tema yang muncul
dari studi tersebut adalah konsumen sering melihat pengalaman mandi di bak sebagai
“pengalaman transformasi.” Dari studi tersebut, bak mandi mewah produksi Whirlpool
diberi nama “Cielo” yang berarti “surga” dalam bahasa Italia.

Di dunia teknologi, Intel adalah salah satu


perusahaan yang telah lama menarik manfaat dari
etnografi untuk meluncurkan inovasi baru. Misalnya
saja ketika perusahaan tersebut mengirim seorang
etnografer untuk mengunjungi desa - desa di India
selama dua tahun, etnografer tersebut melihat
bahwa banyak warnet - warnet yang didirikan di desa
- desa. Namun, listrik sering padam dan jalan - jalan
desa masih banyak yang belum diaspal. Berbekal
pengetahuan tersebut, Intel meluncurkan India
Community PC, sebuah komputer dengan filter debu,
bisa bertahan pada suhu tinggi, dan bisa dijalankan
dengan baterai besar untuk dijual ke warnet - warnet
di pedesaan India. Kegiatan consumer insights di
Intel dipimpin oleh ahli antropologi Ken Anderson.
Ken Anderson memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang bagaimana keseharian
masyarakat yang hidup dan bekerja di era teknologi,
yang kemudian menjadi dasar pijiakan untuk
menentukan strategi dan pengembangan produknya.

customer Insight via Ethnography


Hewlett Packard (HP) juga tidak ingin ketinggalan kereta. Ketika mereka melakukan
studi di kantor - kantor di Inggris, mereka melihat adanya pola komunikasi di tempat
kerja di Inggris. Mereka sering berkomunikasi sambil mendiskusikan dokumen -
dokumen. HP menyadari bila mereka bisa menciptakan alat yang mampu memudahkan
komunikasi yang melibatkan dokumen, alat tersebut akan sangat bermanfaat. Mereka
lalu mengembangkan DeskSlate, alat yang bisa dihubungkan ke saluran telepon dan
membantu pengguna untuk melihat dokumen elektronis sambil berbicara lewat telepon.

Beberapa kelebihan dalam etnografi dibandingkan metode riset yang lainnya bukan
berarti etnografi akan menggantikan metode riset yang lain. Beberapa metode dapat
dikombinasikan untuk memperoleh data yang lengkap dan valid. Riset kuantitatif perlu
dilengkapi dengan riset kualitatif, dan sekarang riset kualitatif seperti Focus Group
Discussion, in-depth interview tidak mencukupi karena tidak mencakup observasi
seseorang di lingkungan alami mereka. Sebuah produk/ jasa kini tidak bisa hanya
sekedar ada dan mengikuti apa yang ada di pasar global, unsur emosional dan budaya
lokal harus mulai disesuaikan.

Etnografi tentu bukanlah obat ajaib untuk perusahaan yang ingin memahami
konsumennya lebih dalam. Ada sisi lain dibalik riset pengembangan produk ini, yaitu
lamanya menyelesaikan sebuah studi, proses pengumpulan data dan informasi yang
memakan waktu berbulan - bulan.Selain biayanya yang relatif tinggi, masih sedikit ahli
yang benar - benar mampu melakukannya dengan baik. Waktu yang dibutuhkan untuk
metode ini juga relatif lebih panjang. Hal ini menyebabkan timbulnya kritik, mengingat
agenda perusahaan yang padat dan ingin serba cepat dalam pengambilan
keputusannya. Sehingga dengan perkembangan teknologi modern dikembangkan
metoda netnography dan digital ethnography untuk memangkas lamanya waktu studi
etnografi.

Netnography adalah studi etnografi yang dikerjakan secara online. Observasi dilakukan
dalam diskusi - diskusi di mailing list yang diikuti responden dengan melakukan
eksplorasi secara lebih mendalam melalui online chatting. Sedangkan digital
ethnography adalah observasi dengan bantuan kamera digital baik berupa video
maupun foto yang digunakan untuk melengkapi data yang dikumpulkan periset. Dengan
metode digital ethnography ini, responden diminta mengirimkan cuplikan rekaman atau
foto - foto yang diambil dalam kaitannya dengan perilakunya, misalnya foto bagian
dalam lemari dapur akan menjelaskan banyak hal tentang produk - produk yang
digunakan dalam rumah tangga dan menjelaskan karakter pemiliknya. Atau misalnya
video tentang perilaku remaja ketika berkomunikasi dengan temannya dengan
menggunakan HP atau perilaku remaja yang sedang melakukan aktivitas SMS akan
menjelaskan bagaimana perilaku mereka ketika mengunakan kartu GSM atau CDMA.
Dengan penggunaan teknologi modern tersebut etnografi dapat dilakukan dalam
hitungan 1 – 2 bulan bahkan hitungan minggu.

customer Insight via Ethnography

You might also like