You are on page 1of 11

Biota Vol.

IX (1): 1-10, Februari 2004


ISSN 0853-8670

Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius


sebagai Flagship Spesies
Conservation strategy in Sulawesi Island using Tarsius as Flagship Species

Myron Shekelle1* dan Suroso Mukti Leksono2


1,2
Center for Biodiversity Studies and Conservation, Faculty of Mathematics and Science, University of
Indonesia, Depok 16424, Telepon/Fax: 021-77211474, 7863431
E-mail: 1tarsier@cbn.net.id, 2cbcs-ui@centrin.net.id, sumule9@yahoo.com . * Penulis untuk korespondensi.

Abstract

We present a strategy to preserve the biodiversity of Sulawesi and nearby islands


chains. Sulawesi is the primary landmass in the biogeographic zone known as
Wallacea, and is listed as one of the world’s top 25 hotspots at threat for major loss of
biodiversity. Sulawesi is hypothesized to be subdivided into regions of endemism. We
argue that the best strategy for preserving the totality of Sulawesi biodiversity, given
that the vast bulk of that biodiversity remains virtually unstudied or even unknown, is
to use biogeographic data to make a comprehensive map of regions of endemism in
Sulawesi and to protect primary habitat in each region. We present a hypothesis that
we call the “hybrid biogeographic hypothesis” that synthesizes two previous
biogeografic hypotheses, one from empirical biological data and one from geologic
data. We present a map of tarsier acoustic group distributions that offers heuristic
evidence that the former hypothesis is more comprehensive than either of the latter
two. We note that some of these regions have multiple conservation areas, while
several others have none at all and can be thought of as “hotspots within the hotspot”.
Evidence indicates that an endemic taxon of tarsier inhabits nearly every known
endemic region of Sulawesi and surrounding island chains, although most of these
taxa are undescribed. We propose to use tarsiers as flagship species to justify new
conservation areas that will preserve primary habitat in those regions that currently
lack them. Tarsiers are superior to other potential flagship species because they have
the requisite charisma and are distributed throughout Sulawesi in a broad variety of
habitats, but they do not eat agricultural products or have other characteristics that
might engender local resentment to their conservation. This plan requires naming
several new taxa of tarsiers, each of which requires reference material. Existing
museum populations are inadequate for these needs and new museum specimens are
required. We argue that the most beneficial way for this program to proceed is to
trap wild tarsiers and house them in captivity until they expire naturally, at which
time they will enter the collections of the Museum Zoologicum Bogoriense. While in
captivity these tarsiers will provide enormous opportunities for research, training,
education, and conservation. We will encounter local resistance to conserving tarsier
populations because of false perceptions among inhabitants that tarsiers eat
agricultural products, and this false belief must be corrected through community
education. The critical condition of habitat destruction in Sulawesi warrants
immediate action.

Key words: conservation, biogeography, flagship species

Diterima: 31 Mei 2002, disetujui: 14 Agustus 2003


Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi

Pendahuluan Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik.


Sebagai perbandingan, pulau Kalimantan yang
Sulawesi memiliki luas 187 882 km2 dan mempunyai endemisitas paling tinggi di
merupakan pulau terbesar dan terpenting di Sundaland, hanya mempunyai 18% mamallia
daerah biogeografi Wallacea. Daerah endemik (Whitten et al. 2002).
biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi Menurut Myers et al. (2000) daerah
dan pulau-pulau lain yang berada di antara Wallacea termasuk dalam 25 “hotspot” paling
garis Wallace di sebelah Barat dan garis penting untuk konservasi. Daerah ini
Lydekker di sebelah Timur (Gambar 1). mempunyai 529 spesies vertebrata endemik
Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau (1,9% dari jumlah di dunia). Spesies-spesies
Sulawesi sangat menarik, karena diduga, di tersebut mengalami ancaman yang serius,
masa lampau, pulau ini tidak pernah bersatu sebab hanya 15% habitat alami yang masih
dengan daratan manapun (Hall 2001). Berbeda tersisa. Dari habitat alami yang masih tersisa
halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan tersebut, 39,2% di antaranya terdapat dalam
Kalimantan yang pernah bersatu dengan kawasan konservasi. Habitat alami yang
daratan Asia (Sundaland), serta Papua yang masih tersisa tersebut hanya akan efektif
pernah bersatu dengan daratan Australia untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi,
(Sahulland) sebelum kala Pleistosen jika tersebar sesuai dengan distribusi
(Pleistocene) berakhir. biodiversitas tersebut. Oleh sebab itu upaya
Keadaan terisolasi dalam kurun waktu konservasi di Sulawesi harus dirancang
yang lama memungkinkan terjadinya evolusi secara komprehensif.
pada berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi Makalah ini akan membahas upaya
mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. strategi konservasi di Sulawesi dan sekitarnya
Tingkat endemisitas yang paling tinggi adalah dengan menggunakan Tarsius sebagai
dari taksa vertebrata. Mamalia misalnya, dari flagship species.
127 jenis hewan menyusui yang terdapat di

Gambar 1: Peta Wilayah Wallacea. Wallacea merupakan daerah peralihan antara


daratan Sunda (Asia) dan daratan Sahul (Australia). (putih = daratan, abu-
abu tua = daratan sebelum kala Pleistosen berakhir, abu-abu muda = lautan
dalam) ( Whitten et al. 2002)

2 Biota Vol. IX (1), Februari 2004


Shekelle dan Leksono

Tarsius sebagai flagship species panjang tubuhnya serta kepala yang


dapat berputar 180 derajat. (Gambar 2).
Data biogeografi dapat membantu (2) Tarsius di Sulawesi mempunyai
upaya konservasi secara menyeluruh di distribusi yang lebih luas daripada calon
Sulawesi untuk mengidentifikasikan daerah flagship species lainnya, seperti Macaca
endemisitas (regions of endemism) di (Supriatna dan Wahyono 2000). Di
Sulawesi. Sebaran daerah endemisitas ini kepulauan sekitar Sulawesi, seperti
sangat penting untuk diketahui untuk Sangihe, Selayar, Togian, dan Banggai
merancang sebaran daerah endemisitas kita tidak dihuni Macaca secara alami, tetapi
dapat merancang kawasan konservasi yang dihuni oleh Tarsius. Tarsius juga hidup
sesuai dengan sebaran daerahnya. Selain itu di lebih banyak jenis habitat daripada
upaya konservasi juga dapat dibantu dengan Macaca (Shekelle et al. 1997, Supriatna
menggunakan “flagship species”. Flagship dan Wahyono 2000). Mereka dapat
species biasanya berupa binatang yang hidup di kebun dan bahkan di
berkarismatik yang mempunyai nilai tertentu, perkampungan atau tersebar di hutan
seperti bentuk yang lucu, langka, unik, mudah pegunungan.
diingat, dan endemik (hanya terdapat di
daerah tersebut), atau binatang berukuran (3) Tarsius bukan hama yang merusak
besar. Walaupun Tarsius tidak berukuran kebun dan memakan tanaman budidaya,
besar seperti gajah, harimau, orang utan dan seperti halnya Macaca (Leksono et al.
lain-lain, tetapi binatang tersebut dapat 1997). Tarsius merupakan predator yang
dijadikan flagship species di Sulawesi, memangsa binatang hidup, 90% di
karena: antaranya Arthropoda (serangga) dan
10% lainnya termasuk Vertebrata seperti
(1) Tarsius mempunyai bentuk yang unik, burung, kelelawar, dan kadal. Oleh
berat badan relatif terkecil di antara karena itu, penduduk tidak beralasan
primata yang ada di dunia, berkisar untuk menolak keberadaan Tarsius di
sekitar 120 gram. Mempunyai mata yang desa atau kebunnya.
besar dan ekor yang panjangnya dua kali

© Myron Shekelle 1997

Gambar 2: Tarsius adalah binatang karismatik yang mempunyai potensi untuk dijadikan
salah satu flagship species sebab Tarsius fotogenik, lucu, unik, langka,
endemik, dan mudah diingat. (kiri = anak Tarsius dari Suwawa, Gorontalo;
kanan = T. sangirensis)

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 3


Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi

Endemisitas dan biogeografi di Sulawesi 3b, sebagian besar terjadi sebelum jaman
Pleistosen yang membutuhkan waktu puluhan
Endemisitas adalah konsep yang juta tahun.
terpenting dalam konservasi yang merupakan Data sebaran grup akustik Tarsius
sebaran spesies yang terbatas di wilayah mempunyai banyak kesamaan dengan sebaran
tertentu. Biogeografi adalah ilmu yang hipotesis biogeografi berdasarkan data biologi
mempelajari tentang distribusi flora dan fauna (data sebaran Macaca dan Bufo ditambah
secara menyeluruh karena flora dan fauna hipotesis MacKinnon and MacKinnon, 1980,
dapat tersebar secara tidak acak, namun hanya tentang daerah yang dihuni oleh Tarsius tetapi
dijumpai pada daerah-daerah tertentu. Oleh tidak dihuni oleh Macaca) seperti terlihat pada
sebab itu data sebaran biogeografi spesies Gambar 3a. Data sebaran grup akustik Tarsius
tertentu dapat dimanfaatkan untuk mempunyai banyak kesamaan dengan
mengidentifikasi daerah endemisitas suatu “microplates” Sulawesi seperti terlihat pada
fauna atau flora di suatu wilayah. Gambar 3b. Kunci untuk mengerti biogeografi
Di Sulawesi data sebaran biogeografi di Sulawesi dan sekitarnya adalah dengan
primata dan kodok (Macaca dan Bufo) dapat menggabungkan hipotesis biologi dan geologi.
digunakan untuk memperkirakan delapan Hal ini berarti, perbedaan antara sebaran
daerah endemisitas di wilayah tersebut (Evans biogeografi Macaca dan Bufo di Sulawesi
et al. 2003). Namun berdasarkan MacKinnon dengan grup akustik Tarsius dapat dijelaskan
and MacKinnon (1980) daerah endemisitas oleh “microplate” Sulawesi. Demikian pula
tersebut dapat ditambah lagi dengan daerah halnya dengan perbedaan antara hipotesis yang
yang tidak dihuni Macaca namun dihuni oleh berdasarkan geologi dengan sebaran grup
Tarsius, yaitu Kepulauan Sangihe, Kepulauan akustik Tarsius dapat dijelaskan oleh hipotesis
Togian, Kepulauan Banggai, Pulau Selayar, biogeografi berdasarkan data biologi.
dan Pulau Kabaena. Berdasarkan data Evans et Ternyata, sebaran grup akustik Tarsius di
al. (2003) dan hipotesis MacKinnon and Sulawesi dan sekitarnya sangat sesuai bila peta
MacKinnon (1980) tersebut dapat diperkirakan pada Gambar 3a di padukan dengan peta pada
ada 13 daerah endemisitas di Sulawesi dan Gambar 3b (Gambar 3c)
sekitarnya (Gambar 3a). Beberapa perbatasan Gambar 3c disebut “hybrid biogeo-
daerah tersebut juga telah dihipotesiskan dari graphic hypothesis”, yang berarti hipotesis
hasil “vikarian Pleistosen” (Pleistocene biogeografi Sulawesi secara menyeluruh.
vicariance events), seperti dataran rendah Hipotesis ini merupakan kombinasi antara
danau Tempe (lake Tempe depression) dan hipotesis yang berdasarkan data biologi dan
isthmus Gorontalo (isthmus of Gorontalo). data geologi. Hipotesis berdasarkan data
Menurut Hall (2001), di jaman Miosen biologi berasumsi bahwa spesies-spesies yang
sampai dengan Pleistosen Sulawesi adalah lain pindah ke Sulawesi hampir bersamaan
kepulauan yang berasal dari beberapa daratan, dengan Macaca dan Bufo seperti yang
yaitu Asia, Australia, dan daratan yang timbul dilaporkan oleh Evans et al. (2003) (atau dari
dari dasar lautan. Melalui proses playtektonik jaman Pleistosen). Sedangkan hipotesis
daratan-daratan tersebut (yang oleh Hall berdasarkan data geologi berasumsi bahwa
disebut “microplates”) membentuk pulau spesies-spesies lain pindah ke Sulawesi pada
Sulawesi sekarang. Berdasarkan data geologi saat proses playtektonik mulai. Kedua asumsi
tersebut, kita dapat memperkirakan hipotesis dalam hipotesis tersebut kurang realistis sebab
biogeografi berdasarkan data geologi yang evolusi memerlukan waktu dan spesies hewan
ternyata mempunyai kesamaan dengan yang berada di Sulawesi sekarang, tidak pindah
hipotesis biogeografi berdasarkan data biologi dalam waktu yang bersamaan.
di atas, namun juga mempunyai beberapa Mercer and Roth (2003) dapat
perbedaan (Gambar 3b). Di duga pulau memperkirakan kedatangan bajing (squirrel)
Sulawesi sekarang, selesai terbentuk pada 11,5 juta tahun yang lalu dari data molecular
jaman Pleistosen, kira-kira 1-2 juta tahun yang clock. Dibandingkan evolusi semua spesies
lalu. Peristiwa aktivitas tektonik di Gambar Macaca dari Afrika Utara sampai Sumbawa,

4 Biota Vol. IX (1), Februari 2004


Shekelle dan Leksono

terjadi kurang dari 7 juta tahun yang lalu datang ke Sulawesi pada jaman pertengahan
(Delson 1980). Artimya kedatangan Macaca Miosen (Shekelle 2003), hampir bersamaan
di Sulawesi terjadi sesudah kejadian tersebut, dengan bajing, artinya jauh sebelum
atau kemungkinannya kurang dari 3 juta tahun kedatangan Macaca dan Bufo. Artinya
yang lalu. Oleh sebab itu, sebaran Macaca di penyebaran Tarsius di Sulawesi dipengaruhi
Sulawesi tidak mungkin dapat dipengaruhi oleh sebagian peristiwa vikarian Pleistosen
oleh aktivitas tektonik yang terjadi sama halnya dengan Macaca dan Bufo.
sebelumnya. Dan juga penyebaran Macaca di Sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas
Sulawesi sebagian besar dipengaruhi oleh tektonik yang terjadi sebelum jaman
peristiwa vikarian Pleistosen. Kesamaan Pleistosen. Dengan demikian hipotesis hibrid
antara sebaran Macaca dan Bufo dapat biogeografi lebih sesuai untuk sebaran grup
memperkirakan bahwa dua-duanya datang ke akustik Tarsius, dan merupakan hipotesis yang
Sulawesi dalam waktu yang hampir bersamaan. paling masuk akal dibandingkan hipotesis
Berdasarkan data jarak genetik (genetic biogeografi yang lain.
distance) dapat diperkirakan bahwa Tarsius

Tiga Hipotesis Biogeografi Sulawesi dan Sekitarnya


3a : Berdasarkan Data Biologi, 3b : Berdasarkan Data Geologi,
3c : Hipotesis hibrid (Biologi dan Geologi) dengan data sebaran grup akustik Tarsius

Gambar 3. (kiri) Daerah 1-8 berdasarkan data genetik Macaca dan Bufo (Evans et al. 2003). Daerah 9-13 berdasarkan
hipotesis MacKinnon and MacKinnon (1980) merupakan daerah yang dihuni Tarsius tetapi tidak dihuni
Macaca yang secara alami mempunyai daerah endemisitas sendiri. (tengah) Rekonstruksi geologi peristiwa
tektonik dari jaman Cenozoik bahwa Sulawesi terbentuk dari kepulauan dengan beberapa asal (abu-abu muda =
Asia, abu-abu sedang = Australia, abu-abu tua = daratan yang timbul dari dasar lautan). (kanan) Hipotesis 3a di
padukan dengan 3b dan dibandingkan dengan data sebaran grup akustik Tarsius.

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 5


Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi

Gambar 4: (kanan) Peta sebaran 15 grup akustik Tarsius yang sudah diteliti (T. pumilus yang endemik di hutan
pegunungan Sulawesi yang tidak diketahui akustiknya). (kiri) Beberapa peta yang bersumber pada peneliti
terdahulu berturut-turut dari atas kiri ke bawah kanan: MacKinnon and MacKinnon (1980), Niemitz (1984),
Niemitz et al. (1991), Nietsch and Niemitz (1993), Shekelle (Shekelle et al. 1997, Shekelle 2003, In Review),
Nietsch and Kopp (1998), Nietsch and Babo (2001), Nietsch and Burton (2002), Merker (pers. comm.).

6 Biota Vol. IX (1), Februari 2004


Shekelle dan Leksono

Tabel 1: Data yang mendukung 16 Taxa Tarsius di Sulawesi

Taxon Morphologi Tes Playback Spectrogram Hipotesis Biogeografi


T. tarsier (=spectrum) 9 (l) 9 (l, k) 9 (j)
(i.e. Makassar)
T. sangirensis 9 (c, e, f) 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (a, j)

T. pumilus 9 (b, f) 9 (j)

T. pelengensis 9 (f) 9 (m) 9 (a, j)

T. dianae 9 (d, but see ‘e’) 9 (e, g, j) 9 (d, e, g, j) 9 (j)

T. sp. (Selayar) 9 (f) 9 (h, k) 9 (a, j)


Manado form 9 (l) 9 (e, j) 9 (a, d, e, g, j) 9 (a, j)
Gorontalo form 9 (l) 9 (d) 9 (a, d) 9 (a, j)
Palu form 9 (l) 9 (a, k) 9 (a, j)
Togian form 9 (e, j) 9 (e, g, j) 9 (j)
Sejoli form 9 (e, j)
Tinombo form 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (j)
Kendari form 9 (i, m) 9 (j)
Buton form 9 (i, m) 9 (j)
Kabaena form 9 (i, m) 9 (j)
Tanjung Bira form 9 (h, m)

Sumber:
(a) MacKinnon and MacKinnon (1980) (f) Groves (1998) (k) Shekelle (in review)
(b) Musser and Dagosto (1987) (g) Nietsch and Kopp (1998) (l) Groves (in review)
(c) Feiler (1990) (h) Nietsch and Babo (2001) (m) Nietsch (pers. comm.)
(d) Niemitz et al. (1991) (i) Nietsch and Burton (2002)
(e) Shekelle et al. (1997) (j) Shekelle (2003)

Dari hipotesis hibrid biogeografi kita dapat kepulauan Togian, dan pulau Selayar.
memperkirakan daerah endemisitas di Diperkirakan biodiversitas di daerah tersebut
Sulawesi. Beberapa daerah endemisitas juga terancam punah dan menggolongkan
tersebut sudah mempunyai kawasan daerah tersebut sebagai “hotspots within the
konservasi. Misalnya, di daerah Sulawesi hotspot”, yaitu daerah yang mempunyai : 1)
bagian tengah mempunyai dua kawasan prakiraan endemisitas tinggi, 2) prakiraan
konservasi yang luas, yaitu Taman Nasional biodiversitas yang terancam punah, dan 3)
Lore Lindu dan Morowali. Menurut prediksi belum mempunyai kawasan konservasi.
hipotesis hibrid biogeografi kedua kawasan Sehingga pada daerah seperti ini kawasan
tersebut mempunyai spesies-spesies yang konservasi baru harus diprioritaskan.
hampir sama. Beberapa daerah endemisitas
yang lain tidak mempunyai kawasan Pemberian nama spesies baru
konservasi sama sekali. Terdapat empat
daerah endemisitas yang tidak mempunyai Dari hasil penelitian sampai saat ini
kawasan konservasi tetapi mempunyai spesies telah ditemukan ada 16 populasi Tarsius di
Tarsius (yang belum dinamai) dalam status Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi
terancam punah (“endangered”) untuk IUCN spesies sendiri seperti terlihat pada tabel 1
(Supriatna et al. 2001, Gursky et al. In (Shekelle 2003). Hanya lima spesies yang
Review). Keempat kawasan tersebut adalah telah mempunyai nama, yaitu T. spectrum, T.
kepulauan Sangihe, kepulauan Bangai, sangirensis, T. pumilus, T. pelengensis, dan T.

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 7


Shekelle dan Leksono

dianae (Groves 2001) dan 11 lainnya masih perlu nama untuk keperluan konservasi.

Menurut “International Code of Zoological sama.


Nomenclature, Edisi ke-4” (ICZN IV), yang
Bila memilih pilihan kedua, kerugiannya
berlaku mulai tanggal 1 Januari 2000, setiap
adalah:
spesies baru harus mempunyai type specimen
(1). Pilihan ini kurang sesuai dengan ideologi
tanpa kecuali (ICZN pasal 72.3). Untuk
konservasi
Tarsius, type specimen-nya harus satu ekor
binatang atau sebagian tubuhnya (ICZN pasal (2). Kemungkinan besar LSM hak-hak
72.5.1). binatang akan menolak.
(3). Tidak ada kesempatan untuk meneliti
Mengacu pada ketentuan tersebut, ada Tarsius di kandang.
tiga pilihan yang dapat digunakan untuk “type
specimen” bagi spesies baru Tarsius, yaitu: Sedangkan untuk pilihan ketiga kerugiannya
(1). memilih salah satu spesimen dari koleksi hanya lebih mahal daripada pilihan lainnya.
yang sudah ada di museum; Namun pilihan ketiga punya banyak
keuntungan, yaitu:
(2). mengambil Tarsius dari alam dan
(1) di dalam kandang, kita dapat melakukan
membunuhnya;
penelitian tentang segala sesuatu tentang
(3). mengambil Tarsius dari alam dan Tarsius. Contohnya adalah penelitian
mengkandangkannya. tingkah laku, pakan, akustik, dan lain-lain
yang selama ini masih jarang dilakukan.
Bila memilih pilihan pertama, ada beberapa
(2) penelitian ini akan menjadi sarana
kerugian, yaitu:
pelatihan mahasiswa; untuk dapat
(1). Spesimen-spesimen yang sudah ada di
menangkarkan Tarsius untuk kepentingan
museum seluruh dunia sekarang ini, hanya
konservasi ek-situ
dapat menjadi type specimen untuk tiga
spesies baru, yaitu: spesies baru yang (3) sebagai sarana pendidikan masyarakat
dijumpai di Manado, Gorontalo, dan untuk meluruskan persepsi buruk tentang
Selayar (Musser dan Dagosto 1987). Tarsius. Selama ini, masyarakat
Sementara spesies baru lainnya, yang menganggap Tarsius adalah pemakan
dijumpai di Sejoli, Tinombo, Palu, hasil kebun sehingga bila ditemukan
Togian, Tanjung Bira, Kendari, Kabaena, Tarsius di kebun, akan segera dibunuh
dan Buton, setahu kami, belum ada (Leksono et al. 1997), padahal Tarsius
spesimen di museum yang dapat mewakili tidak memakan buah ataupun daun.
type specimen-nya. Oleh karena itu Tarsius memakan serangga yang justru
metode ini tidak dapat dipakai untuk menjadi hama di perkebunan mereka.
delapan spesies baru tersebut. Persepsi masyarakat ini sangat susah
diubah karena Tarsius mencari makan
(2). Untuk spesies baru di Selayar, tidak ada
pada malam hari, dan jika mereka melihat
spesimen di museum di Indonesia yang
langsung Tarsius yang dikandangkan
dapat digunakan sebagai type specimen-
akan dapat mengubah persepsi terdahulu.
nya, dan type specimen-nya akan dipilih
dari museum di luar negeri (Musser and (4) sebagai sumber analisis genetik. Sampai
Dagosto 1987). Dengan demikian maka saat ini, baru tiga spesies Tarsius yang
peneliti Indonesia akan sulit meneliti type telah diteliti kariotipenya, yaitu T.
specimen-nya tersebut. bancanus dari Sabah, T. syrichta dari
Pulau Leyte di Filipina, dan T. dianae dari
(3). Spesimen-spesimen di museum yang
Taman Nasional Lore Lindu (Niemitz et
diambil beberapa tahun yang lalu belum
al. 1991). Sedangkan spesies yang lain
tentu sama dengan populasi Tarsius saat
belum pernah diteliti;
ini, walaupun diambil dari tempat yang
(5) Kesempatan untuk menangkarkan Tarsius.

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 7


Shekelle dan Leksono

Sampai saat ini, penangkaran Tarsius Sebab Tarsius mempunyai kelebihan jika
belum pernah berhasil (Fitch-Snyder dibandingkan taksa lainnya, yaitu (1)
2003), sehingga keberadaan Tarsius mempunyai sebaran yang luas, sampai ke
sangat tergantung pada program pulau-pulau sekitar Sulawesi, (2) mempunyai
konservasi di alam. Hal tersebut banyak taksa endemik yang tersebar di hampir
mempunyai resiko yang amat besar, jika seluruh daerah endemisitas, (3) berada di lebih
Tarsius di alam punah, maka akan banyak tipe habitat, (4) bukan merupakan
kehilangan satu superfamily dari Primata. hama sehingga tidak mengancam produk
Namun demikian, rekomendasi Fitch- pertanian, (5) tidak mempunyai nilai ekonomi,
Snyder (2003) dapat dilakukan dengan misalnya daging atau bagian tubuh lainnya
penangkaran skala kecil di tempat asalnya. (kecuali sebagai binatang peliharaan), (6)
merupakan binatang yang karismatik.
Program pertama yang kita lakukan
untuk membantu program konservasi di Ucapan Terima Kasih
Sulawesi adalah pemberian nama bagi 11
spesies Tarsius baru. Pilihan ketiga adalah Penelitian ini disponsori oleh National Science
pilihan yang paling tepat untuk program ini. Foundation under Grant No. INT
Dengan menangkap Tarsius hidup-hidup dan 0107277 untuk MS dan disponsori juga
memeliharanya dalam kandang, kita Margot Marsh Biodiversity Fund dan The
mempunyai kesempatan untuk melakukan Gibbon Foundation untuk MS. Sponsor untuk
penelitian, pelatihan, pendidikan, penangkaran MS di Indonesia ditunjang oleh Pusat Studi
dan sebagai sumber analisis genetik, sebelum Biodiversitas dan Konservasi UI dan oleh
Tarsius tersebut mati yang akan digunakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
untuk type specimen. Fasilitas untuk mengkandangkan Tarsius
Situasi konservasi di Sulawesi sedang ditunjang oleh Balitbang Zoologi (Museum
kritis dan membutuhkan penanganan Zoologi Bogor, MZB-Lembaga Ilmu
secepatnya (Supriatna et al. 2001). Pengetahuan Indonesia (LIPI). Izin untuk
penelitian di kawasan konservasi, untuk
Kesimpulan dan Saran menangkap Tarsius, membawa Tarsius, dan
memelihara Tarsius di kandang dikeluarkan
Biodiversitas di Sulawesi dan pulau di oleh Departemen Kehutanan. Terima kasih
sekitarnya mengalami ancaman yang sangat untuk Alexandra Nietsch, Stefan Merker,
serius. Hal ini disebabkan oleh hilangnya James Burton, Juan Carlos Morales, dan Colin
habitat di wilayah tersebut. Cara yang paling Groves atas bantuannya mengembangkan ide-
efektif untuk melestarikan biodiversitas adalah ide yang kami presentasikan.
melestarikan habitatnya. Merancang strategi
pelestarian biodiversitas di Sulawesi cukup
Daftar Pustaka
menantang karena masih sedikit penelitian
tentang biodiversitas di wilayah tersebut atau Delson E. 1980. Fossil macaques, phyletic
bahkan sama sekali belum pernah diteliti. relationships and a scenario of deployment.
Kami menyarankan untuk menggunakan In The Macaques: Studies in Ecology,
data sebaran biogeografi dari taksa yang sudah Behavior and Evolution, Lindburg, DG. (ed)
dikenal dan geologi yang sudah diteliti untuk pp:10-30. New York: Van Nostrand
memperkirakan suatu daerah endemisitas. Reinhold Company.
Dengan mengetahui daerah-daerah endemisitas Evans BJ, Supriatna J, Andayani N et al. 2003.
tersebut secara teoritis akan memberikan Monkeys and toads define areas of
perlindungan terhadap biodiversitas di wilayah endemism on Sulawesi. Evol. 57(6):1436-
tersebut. Dari beberapa calon flagship species 1443.
yang ada di Sulawesi (misalnya monyet, Feiler A. 1990. Ueber die Saugetiere der Sangihe-
babirusa, anoa, burung rangkong, dan lain- und talaud-Inslen- der Beitrag AB Meyers
lain), taksa yang paling tepat adalah Tarsius. Fur ihre Erforschung (Mammalia).

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 9


Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi

Zoologische Abhandlungen Staatliche


Museum fur Tierkunde in Dresden 46:75-94. Niemitz C. 1984. Vocal communication of two
Fitch-Snyder H. 2003. History of Captive Tarsier tarsier species (Tarsius bancanus and
Conservation. In Tarsiers: Past, Present, Tarsius spectrum). In The Biology of
and Future. Wright PC, Simons EL, Gursky Tarsiers. Niemitz C. (ed) pp:129-142. New
S. (eds) pp:277-295. New Brunswick: York: Gustav Fischer Verlag.
Rutgers UP. Niemitz C., A. Nietsch, S. Warter, et al., 1991.
Groves C. 1998. Systematics of tarsiers and Tarsius dianae: A new primate species from
lorises. Primates 39(1):13-27. Central Sulawesi(Indonesia).” Folia
Groves C. 2001. Primate Taxonomy. Washington Primatologica 56:105-116.
D.C.: Smithsonian Institution Press. 350 p. Nietsch A and Niemitz C. 1993. Diversity of
Groves C. In Review. Morphometric and Sulawesi tarsiers. Deutsche Gesellschaft fur
morphological analyses in the genus Tarsius. Saugetierkunde 67:45-46.
Tarsier Conservation: A Review of the Nietsch A and M. Kopp. 1998. Role of
Indonesian Primate CAMP. Treubia, 110th vocalizations in species differentiation of
Commemorative Edition “Primates of the Sulawesi tarsiers. Folia Primatologica
Oriental Night” edited by Shekelle M, 69(suppl 1)371-378.
Groves C, Maryanto I, Schulze H, Fitch- Nietsch A and Babo N. 2001. The tarsiers of South
Snyder H. Sulawesi. In Konservasi Satwa Primata.
Gursky S, Shekelle M, Nietsch A. (In Review) pp:114-119. Yogyakarta: Fakultas
Tarsier Conservation: A Review of the Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan
Indonesian Primate CAMP. Treubia, 110th Universitas Gajah Mada University -
Commemorative Edition “Primates of the Yogyakarta.
Oriental Night” edited by Shekelle M, Nietsch A and Burton J. 2002. Tarsier Species in
Groves C, Maryanto I, Schulze H, Fitch- Southwest and Southeast Sulawesi.
Snyder H. Abstracts, The XIXth Congress of the
Hall R. 2001. Cenozoic reconstructions of SE Asia International Primatological Society (IPS),
and the SW Pacific: changing patterns of 4-9 Aug. 2002, Beijing, China: 20-21.
land and sea. In Faunal and Floral Shekelle M., S.M. Leksono, L.L.S. Ichwan, et al.
Migrations and Evolution in SE Asia- 1997. The natural history of the tarsiers of
Australia, Metcalf I, Smith J, Morwood M, Sulawesi. Sulawesi Primate Newsletter
Davidson I. (eds) pp:35-56. Lisse: Swets and 4(2):4-11.
Zeitlinger Publishers.
Shekelle M. 2003. Taxonomy and Biogeography of
Leksono S.M., Y. Masala, M. Shekelle. 1997. Eastern Tarsiers. Doctoral thesis.
Tarsiers and agriculture: thoughts on an Washington University, St. Louis.
integrated management plan. Sulawesi
Primate Newsletter 4:2 p. 11-13. Shekelle M. (In Review). Classification and
Distribution of Tarsier Acoustic Forms of
MacKinnon J. and K. MacKinnon. 1980. The Sulawesi. Treubia, 110th Commemorative
behavior of wild spectral tarsiers. Edition “Primates of the Oriental Night”
International Journal of Primatology edited by Shekelle M, Groves C, Maryanto I,
1(4):361-379. Schulze H, Fitch-Snyder H.
Mercer JM, Roth VL (2003). The effects of Supriatna J and E.H. Wahyono. 2000. Panduan
Cenozoic global change on squirrel Lapangan Primata Indonesia. Yayasan
phylogeny. Science 299:1568-1572. Obor Indonesia. Jakarta.
Musser G.G.and M. Dagosto. 1987. The identity of Supriatna, J. , J. Manansang, L. Tumbelaka, et al.,
Tarsius pumilus, a pygmy species endemic 2001. Conservation assessment and
to the montane mossy forests of Central Management Plan for Indonesia Primates:
Sulawesi. American Museum Novitates Final Report. Conservation Breeding
(2867):1-53. Specialist Group (SSC/IUCN), Apple
Myers N., R.A. Mittermeier, C.G. Mittermeier, et Valley, Minesota, USA. 251 p.
al., 2000. Biodiversity hotspots for
conservation priorities. Nature 403:853-858.

10 Biota Vol. IX (1), Februari 2004


Shekelle dan Leksono

Whitten A, Mustafa M, Henderson G. 2002. The Periplus.


Ecology of Sulawesi. 2nd ed. Singapore:

Biota Vol. IX (1), Februari 2004 11

You might also like