You are on page 1of 4

TUGAS BAHASA INDONESIA

CERITA PENDEK
(CERPEN)

Oleh :
Muhammmad Imam Zikri
Kelas VIII.4

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 2

PALEMBANG
Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera

Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding
seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak di pedulikannya,
hatinya yang hangus lebih tersiksa dari jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia
perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas,
disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada
kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya. Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang
tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini.
Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul
di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah
perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari desa Tambusai, kecamatan Tambusai, kabupaten
Rohul, Riau, tempat ia bersekolah. Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai buruh harian
tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap pendidikan
hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.
“Sekolah pun ujung-ujungnya bakal jadi kuli juga toh…,” nasehat yang mumpuni dari emaknya
ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian dan ijazahnya ke dalam kardus mie, di suatu pagi ketika ia
akan berangkat ke Tambusai melanjutkan pendidikannya. Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa
merobah nasibnya dan Tuhan pasti mendengar doa pengembara yang sedang menuntut ilmu. Maka
berangkatlah ia pagi itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang karatan jadi kuli perkebunan toke-toke
bermata sipit dari Pekanbaru.
Nasib baik menemani langkahnya. Tidak hanya diterima ia di sekolah tersebut, kepala sekolah juga
memberinya pekerjaan sebagai penjaga sekolah. Ia adalah angkatan pertama dari SMA N 4 Tambusai
tersebut. Pulang sekolah, dengan rajin ia membersihkan pekarangan sekolah dan pagi-pagi sebelum
belajar dimulai ia menyapu lantai kelas dan kantor guru. Lahan kosong di belakang kelas yang dulunya
ditumbuhi gulma disulapnya menjadi lahan produktif. Ia menanam ubi kayu, cabe rawit dan jagung
bergantian. Hasilnya ia bagi dua dengan pihak sekolah. Lumayan juga penghasilannya, tiap bulan ia
juga menerima honor sebagai penjaga sekolah.
Otaknya memang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya dalam mengikuti
pelajaran sangat tinggi. Guru-guru yang belum seberapa, maklum sekolah baru, sangat menyayanginya.
Rasa sayang sebatas manusia yang memiliki hati nurani, sebab untuk lebih dari itu, di luar kemampuan
mereka juga. Mereka tidak bisa memberikan materi pelajaran sebagaimana yang dianjurkan pemerintah.
Alat penunjang belajar sangat kurang, boleh dikatakan tidak ada. Sebab yang tersedia hanya ruangan
kelas dan stempel dari diknas bahwa sekolah ini sudah boleh beroperasi. Buku-buku pelajaran, jauh
panggang dari api.
Pernah juga suatu kali sorang wanita paruh baya berseragam pemda datang ke sekolah. Mereka
menjanjikan buku yang dialokasikan dari dana BOS, tapi sampai saat ini buku tersebut tak kunjung
datang barangkali sudah di pangkas ‘BOS-BOS’ yang jadi mafia di dunia pendidikan.
Suatu hari, datang juga seorang sales dari toko buku di Pekanbaru ke sekolah mereka untuk
menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak sekolah di kota.
Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku. Saprianto dan beberapa kawannya yang
rata-rata anak buruh kasar perkebunan sawit hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.
Dengan segala keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN)
diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis guru menyadari betul
persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru yang jauh dari standar kompetensi dan
murid-murid yang tidak jenius karena dari kecil memang selalu kurang gizi. Sempat juga terlintas di
benak mereka untuk mengambil jalan pintas. Membeli lembar soal, tapi rasanya juga tak mungkin. Dari
mana mereka dapat uang pengisi ‘amplop’ untuk bekerjasama dengan instansi terkait.
***
Menjelang tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli sudah berapa ember
keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya membentur sesuatu. “Nah
ini dia,” bisiknya dalam hati, ketika ia yakin menemukan carocok pondasi utama dari ruang guru yang
dipisahkan oleh gang sempit dari ruang kelas.
Saprianto berjalan tergesa-gesa menuju bengkel las ketok bang Regar. Bengkel tersebut terletak di
pinggir jalan raya tak jauh dari gapura perbatasan Riau dengan Sumut.
“Ene opo, Sap..” sambut bang Regar berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan bengkel,
maksudnya menyambut tamu beramah-tamah dengan memakai bahasa ibu si tamu tapi kedengaran lucu
karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidahnya.
“Rental pompa airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”
“Hitung-hitungan kali la abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah tengah hari. Hitungannya
setengah hari jugalah bang…”
“Oke…” jawab bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air merek robin.
Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya.
Sap membawa mesin dengan gerobak sorong. Sampai di bekas galiannya tadi ia mengambil linggis.
Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ko podasi yang ia gali tadi. Setelah
pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter
di bawah sana. Mesin pompa berkekuatan 25 pk ini menaikan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke
saluran-saluran yang dibuatnya.
Ia duduk termenung seorang diri di bawah sebuah pokok sawit. Dua hari sekolah sepi. Kepsek dan
para guru tidak berani datang ke sekolah. 36 siswa sekolah tersebut, tidak seorang pun yang lulus.
Mereka takut kalau-kalau murid-murid mengamuk. Tambah lagi beberapa kuli tinta sudah datang ke
sekolah mereka, wartawan tersebut dengan senang hati akan mengekspos kegagalan mereka.
Tidak lama berselang ia trsenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke arah
sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan tinggi ke pondasi sekolah yang sudah
di obrak abriknya.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat
disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar.
Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Ia berlari-lari kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandar di tiang bendera, yang benderanya
ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang setiap senin melakukan
upacara bendera dengan khidmat.
“Wartawan pasti akan segera berdatangan dan mewawancaraiku,” pikirnya dalam ha-ti. “Ini adalah
moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan akan berkirim sa-lam kepada menteri Pendidikan
Nasional. Pak menteri pasti akan senang dapat salam dariku di hari Pendidikan Nasional yang akan
diperingati beberapa hari lagi.” Senyumnya makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan di
berikannya kepada wartawan.
Ia membayangkan, ketika nanti ia melihat dirinya di tv, maka semua pejabat pemerintah, dan semua
orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa keras sejadi-jadinya.

You might also like