You are on page 1of 175

Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) didirikan pada 1958 oleh Presiden pertama

KERTAS KEBIJAKAN
Republik Federal Jerman, Theodor-Heuss. Ia menamakan lembaga ini sesuai dengan
nama seorang pemikir Jerman, Friedrich-Naumann (1860-1919), yang
memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk mewujudkan
warga yang sadar dan terdidik secara politik.

FNS mengawali kegiatannya di Indonesia pada 1969 dan memulai kerja sama
resminya dengan pemerintah Indonesia sejak 26 April 1971. FNS membagi
pengetahuan dan nasihat kepada para politisi, pembuat keputusan, masyarakat
sipil, dan masyarakat secara umum. Lembaga ini bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat dan institusi-institusi
pendidikan untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan perubahan
yang positif dan damai pada masyarakat di negara-negara itu.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
p. +62 21 725 6012-13 f. +62 21 7203868
email. indonesia@fnst.org
www. fnsindonesia.org
Strategi Pembangunan Indonesia
Menghadapi Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini
Kata Pengantar oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar
(Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim)
buku-1-pruf-4.indd 6 3/6/2011 11:36:27 PM
Kata Pengantar
KESADARAN bahwa perubahan iklim merupakan masalah pembangunan yang pent-
ing dan harus segera mendapatkan penanganan telah ditunjukkan oleh semua ka-
langan di Indonesia. Termasuk kelompok generasi muda dan masyarakat terdampak
langsung di berbagai pelosok Nusantara. Kesadaran tersebut berkembang dari berba-
gai momentum kebijakan pemerintah sejak tahun 2007 dan gejala-gejala alam yang
ekstrem beberapa tahun belakangan yang telah menimbulkan dampak-dampak buruk
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.

Di tengah kesadaran yang makin deras tersebut, pengembangan sains dan kebijakan
untuk menangani masalah perubahan iklim perlu terus ditingkatkan. Perubahan iklim
membutuhkan basis ilmiah yang kuat yang kemudian diterjemahkan ke dalam produk-
produk kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Baik kajian ilmiah mau-
pun produk kebijakan yang sudah dibuat oleh berbagai kalangan di Indonesia belum
banyak diketahui oleh legislatif dan masyarakat luas. Dengan latar belakang inilah
saya menilai tulisanini menjadi penting untuk dibaca dan disebarluaskan. Tulisanini
merangkum permasalahan mendasar perubahan iklim di Indonesia dimana kebutuhan
untuk beradaptasi sama pentingnya dengan kebutuhan untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca atau yang disebut mitigasi perubahan iklim. Tulisanini juga dengan cermat
memaparkan kajian dan langkah kebijakan yang telah dibuat oleh berbagai lembaga
pemerintah dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai perubahan iklim tentu tidak serta
merta menyelesaikan masalah. Keduanya harus diikuti dengan kerjasama yang man-
tap antarlembaga dan kelompok terkait, khususnya antara lembaga pemerintah dan
legislatif¸ sehingga kebijakan yang dibuat akan mencapai sasaran secara efektif, yaitu
masyarakat Indonesia yang memiliki daya tahan terhadap dampak negatif perubahan
iklim dan yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan emisi gas rumah kaca serendah
mungkin.

Besar harapan saya bahwa tulisanini dapat menjadi dasar untuk tindak lanjut dialog
kebijakan baik antara pemerintah dan legislatif maupun antara pemerintah dengan
pemangku kepentingan yang lain. Kontribusi positif dan aktif dari semua pihak akan
membuat kita mampu memetik peluang dari berbagai tantangan yang dihadirkan oleh
perubahan iklim.

Rachmat Witoelar
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim
Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim

buku-1-pruf-4.indd 1 3/6/2011 11:36:26 PM


Kata Pengantar

PERUBAHAN Iklim telah menjadi salah satu masalah global yang terpenting saat ini.
Indonesia tidak hanya merupakan salah satu penyumbang gas emisi rumah kaca,
terutama dari penebangan hutan dan pengalihan lahan gambut, dengan keberadaan
18.000 lebih pulau dan sektor pertaniannya yang kuat ia juga sangat terpengaruh oleh
dampak-dampak perubahan iklim.

Sebagai suatu Negara dengan ekonomi yang tumbuh, Indonesia harus me-
nyesuaikan kebijakan lingkungan dengan kepentingan bisnis vital untuk membentuk
kerangka “pro-pertumbuhan, pro-orang miskin, pro-lingkungan” yang berkelanjutan. Ini
jelas bukan pekerjaan gampang. Desentralisasi dan kewenangan yang saling tumpang
tindih membutuhkan adanya pendekatan-pendekatan yang inovatif seperti mekanisme
anggaran dan insentif yang efektif yang didasarkan pada realita di lapangan. Di lain
pihak, sektor usaha seperti green technology dan energi yang terbarukan tumbuh per-
lahan, menciptakan peluang bagi Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing untuk
mengintensifkan perdagangan bilateral mereka.

Sementara memang memahami kompleksitas masalah perubahan iklim sering-


kali sangat menantang, sangatlah penting bagi para pembuat kebijakan untuk mampu
menghargai argumen-argumen dan faktor-faktor penentu perubahan iklim. Bahasa
ilmiah, pemangku kepentingan yang tak terhitung jumlahnya, kebijakan nasional dan
perundingan internasional menyulitkan mereka untuk memahami betul soal ini.

Seri Kertas Kebijakan tentang perubahan iklim ini menyediakan jawaban atas
tantangan-tantangan yang dimaksud di atas. Masing-masing menggambarkan ham-
batan yang terbentang di depan kita dan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia
dalam rangka mitigasi emisi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah.
Dengan bekerjasama dengan beberapa pakar terkemuka Kertas-kertas Kebijakan ini
disusun dalam beberapa bulan belakangan agar Anda pun menjadi ahli di bidang pe-
rubahan iklim.

Selamat membaca.

Salam hangat,

David Vincent Henneberger


Editor, FNS Jakarta

buku-1-pruf-4.indd 2 3/6/2011 11:36:26 PM


Daftar Isi
Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini
Penulis: Fabby Tumiwa

Pengantar . .............................................................................................. 9

1. Perubahan Iklim di Indonesia .................................................. 14


2. Profil dan Peluang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Indonesia ..................................................................................... 19
3. Strategi Adaptasi dan Mitigasi untuk Menghadapi
Perubahan Iklim ......................................................................... 36
4. Komitmen untuk Menurunkan Emisi GRK ........................... 45
5. Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
26 dan 41 persen ...................................................................... 49
6. Mekanisme Pendanaan untuk Aksi Perubahan Iklim
di Indonesia ................................................................................ 54
7. Tantangan Implementasi Program Aksi mengatasi
Perubahan Iklim ......................................................................... 60
Rekomendasi Kebijakan ....................................................................... 68

buku-1-pruf-4.indd 3 3/6/2011 11:36:26 PM


Kebijakan berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan
Penulis: Kurnya Roesad Supervised by Mubariq Ahmad

Pendahuluan ........................................................................................... 79
1. Pembangunan Indonesia Sebagai Gerakan Menuju
Ekonomi Rendah Karbon . ........................................................ 81
2. Tantangan dan Kesempatan untuk Berbagai Sektor
di Indonesia ................................................................................ 95
3. Tantangan Penerapan Kebijakan dalam Program
Adaptasi, Kehutanan dan Energi . .......................................... 105
Kesimpulan ............................................................................................. 116
Rekomendasi Kebijakan ....................................................................... 118

Pengantar Perubahan Iklim


Penulis: IGG Maha Adi

Ringkasan Eksekutif ............................................................................. 131


Pengantar . .............................................................................................. 134
1. Isu-isu Utama . ........................................................................... 137
A. Deforestasi ......................................................................... 137
B. Konversi Lahan Gambut ................................................. 141
C. Konsumsi Energi ............................................................... 146
D. Tata Ruang ......................................................................... 148
2. Regulasi Internasional .............................................................. 151
3. Kebijakan Berbasis Perubahan Iklim ...................................... 155
4. Dampak Perekonomian Nasional ............................................ 157
5. Peranan Stakeholder Utama ................................................... 160
6. NAMA dan Target Emisi Indonesia ........................................ 162
7. Peranan NGO .............................................................................. 164
Glosarry ................................................................................................... 168

buku-1-pruf-4.indd 4 3/6/2011 11:36:27 PM


FA_rev_3_Strategi Pembangunan_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:26 AM

KERTAS KEBIJAKAN

CM

MY

CY

CMY

Strategi Pembangunan Indonesia


Menghadapi Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini
Fabby Tumiwa
buku-1-pruf-4.indd 6 3/6/2011 11:36:27 PM
Strategi Pembangunan
Indonesia Menghadapi
Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini

Fabby Tumiwa

buku-1-pruf-4.indd 7 3/6/2011 11:36:27 PM


Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini
Penulis: Fabby Tumiwa

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.
Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini
dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

Indeks
ISBN: 978-979-1157-29-2

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Tel.: 62-21-7256012-13
Fax: 62-21-7203868
E-mail: Indonesia@fnst.org
www.fnsindonesia.org
Pengantar

INDONESIA adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau


mencapai lebih dari 13 ribu, dan panjang kawasan pesisir mencapai
80 ribu km. Dengan total populasi mencapai 231 juta, diperkirakan
sekitar 41,6 juta orang tinggal di kawasan pesisir pantai dengan
ketinggian dibawah 10 meter atau yang dikenal sebagai Low
Elevation Coastal Zone (McGranahan, dkk, 2007). Menurut
Dahuri dan Dutton (2000), kawasan pesisir pulau-pulau utama di
Indonesia adalah tempat beroperasinya berbagai industri, aktivitas
ekonomi dan infrastruktur. Diperkirakan aktivitas di kawasan pesisir
menyumbang 25 persen Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap
15 persen tenaga kerja (MoE, 2007). Kenaikan permukaan air
laut akibat pemanasan global berpotensi menciptakan kerugian
ekonomi bagi Indonesia. Berdasarkan proyeksi kenaikan permukaan
air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan
hilangnya 90,260 km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian
ekonomi sebesar US$ 25,56 milyar (Susandi, 2008).

buku-1-pruf-4.indd 9 3/6/2011 11:36:27 PM


Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak
keempat di dunia, yang merupakan salah satu negara penghasil
emisi gas rumah kaca (GRK) yang cukup signifikan di dunia. Emisi
GRK yang terbesar disumbangkan oleh kegiatan penggundulan
hutan (deforestasi) dan perubahan tata guna lahan. Luas Indonesia
mencapai hampir 2 juta kilometer persegi, dengan luas cakupan
hutan yang mencapai 88,49 juta hektar pada tahun 2005, yang
telah berkurang dari 116.65 juta hektar pada tahun 1990 (WRI,
2006).

Indonesia adalah negara peringkat kedua, setelah Brasil, untuk


tingkat kehilangan wilayah tutupan hutan (Hansen et al, 2009).
Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan
selama periode 2000-2005, Indonesia kehilangan 1,87 juta hektar
per tahun kawasan hutan. Adapun data resmi deforestasi dari
Kementerian Kehutanan (2010) menunjukkan laju deforestasi yang
beragam pada kurun 1990-2010, dengan rata-rata laju deforestasi
tahunan sebesar 1,9 juta ha (tabel 1). Berkurangnya tutupan
hutan terjadi karena proses konversi kawasan hutan dan alih fungsi
hutan secara massal untuk kegiatan produksi kayu, perkebunan,
pertambangan, dan pertanian.

10

buku-1-pruf-4.indd 10 3/6/2011 11:36:27 PM


Tabel 1. Laju Deforestasi Indonesia (1990 – 2010)

Laju 1990- 1996- 2000- 2003- 2010


Deforestasi 1996 2000 2003 2006 (Projected)
(juta ha/th)

Indonesia 1,87 3,51 1,08 1.17 1.125

Inside 1,37 2,83 0,78 0.76 0.770


designated
forest

Outside 0,50 0,68 0,30 0.41 0.355


designated
forests

Sumber: Data Kementerian Kehutanan (2010)

Hutan Indonesia menyimpan potensi penyimpan karbon.


Sebagai negara dengan luas hutan tropis ketiga di dunia setelah
Brazil dan Republik Demokratik Congo, Indonesia memiliki
potensi sebagai penyimpan dan penyerap karbon yang besar.
Selain itu kawasan hutan dan laut Indonesia juga menyimpan
keanekaragaman hayati yang melimpah. Indonesia tercatat sebagai
negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar kelima
di dunia. Indonesia memiliki sekitar 10 persen spesies bunga di
dunia, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen
jenis burung. Kawasan laut Indonesia yang seluas 33 juta hektar
adalah habitat bagi 450 spesies karang (coral), dan mengandung
25 persen spesies ikan di dunia, termasuk varietas ikan karang yang

11

buku-1-pruf-4.indd 11 3/6/2011 11:36:27 PM


langka. Keanekaragaman hayati yang kaya dan kawasan hutan yang
bernilai konservasi tinggi memberikan pelayanan ekosistem dan
menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang yang kehidupannya
bergantung pada hutan dan laut.1

Perekonomian Indonesia juga sangat bergantung pada


sumberdaya alam, khususnya dari ekosistem laut dan hutan.
Keberlanjutan kawasan-kawasan ekosistem tersebut tidak hanya
terancam oleh faktor-faktor tradisional antara lain: peningkatan
jumlah penduduk, perkembangan industri, dan urbanisasi. Faktor-
faktor tersebut mempercepat proses konversi lahan, penggundulan
hutan skala besar, kebakaran lahan, kerusakan habitat asli hewan
dan tumbuhan, kerusakan daerah tangkapan air dan eksploitasi
sumberdaya kelautan, tetapi saat ini berbagai ancaman tersebut
juga akan semakin diperburuk oleh adanya perubahan iklim.

Dari penjelasan tentang relasi antara pembangunan dan


ketersediaan sumber daya alam, fenomena perubahan iklim yang
sedang terjadi menambah kompleksitas tantangan pengelolaan
sumber daya alam dan ekonomi Indonesia. Situasi ini bukannya
tidak disadari oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di
tingkat pengembangan pengetahuan, dalam dua dekade terakhir
terakhir terdapat berbagai penelitian dan kajian tentang dampak

1 Kementerian Kehutanan dalam publikasinya pada tahun 2000 memperkirakan


sekitar 30 juta orang bergantung kehidupannya secara langsung pada sektor
hutan.

12

buku-1-pruf-4.indd 12 3/6/2011 11:36:27 PM


perubahan iklim di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai institusi
akademis dan non-akademis. Dalam tiga tahun terkahir kajian-
kajian tentang pilihan kebijakan dan strategi untuk mendukung
pembangunan rendah emisi di Indonesia juga semakin beragam.
Hasilnya adalah berbagai produk kebijakan dan dokumen strategi
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tulisan ini bermaksud menyajikan informasi tentang kajian-


kajian terbaru adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta
perkembangan terbaru kebijakan publik dalam ranah perubahan
iklim di Indonesia. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada para pembaca tentang wacana dan upaya
pemerintah Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim.

13

buku-1-pruf-4.indd 13 3/6/2011 11:36:27 PM


1 Perubahan Iklim
di Indonesia

IKLIM di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh sirkulasi monsun


(monsoon circulation) Asia dan Australia yang dicirikan oleh sistem
angin dekat permukaan yang berubah arah hampir sekitar setengah
tahun sekali. Perubahan tersebut menyebabkan pula perubahan
musim yang utama yakni musim penghujan dan musim kemarau.
Dalam literatur mengenai monsun Asia (Johnson, 1992), dikenal
adanya summer monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA)
dan winter monsoon dalam periode Desember-Januari-Februari
(DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan apa yang dikenal
masyarakat awam di Indonesia dengan istilah “musim Timur“, yang
identik dengan musim kemarau dan “musim Barat“ untuk musim
penghujan, khususnya di Pulau Jawa.

Meskipun periode DJF umumnya merupakan periode hujan


di Indonesia, hal ini tidaklah berlaku sama di seluruh wilayah
Indonesia. Sedikitnya terdapat tiga pola curah hujan tahunan di

14

buku-1-pruf-4.indd 14 3/6/2011 11:36:27 PM


Indonesia yakni pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Aldrian and
Susanto, 2003). Untuk pola monsunal, umumnya periode DJF
merupakan periode puncak hujan, sedangkan untuk pola ekuatorial
terdapat dua puncak periode hujan di sekitar April-Mei dan
Oktober-November, dan untuk pola lokal umumnya periode puncak
hujan terjadi di sekitar Juni-Juli.

Dengan mempertimbangkan kondisi geografis, topografi, dan


iklim, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak dari
fenomena perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah mulai
dirasakan di Indonesia dalam satu abad terakhir. Pada umumnya
berbagai negara di kawasan Asia mengalami kenaikan rata-rata
suhu permukaan 1-3°C dalam satu abad terakhir. Di Indonesia, efek
pemanasan global dapat ditengarai dari kecenderungan kenaikan
temperatur dan kelembaban relatif di seluruh kawasan Indonesia.
Selain itu, perubahan iklim dapat terdeteksi dari perubahan curah
hujan yang terkait dengan frekuensi kejadian cuaca dan iklim
ekstrim selama periode 1981 sampai dengan 2007 (DNPI, 2010).

Ketiadaan data historis temperatur yang handal menyebabkan


upaya untuk mengukur kenaikan temperatur permukaan di Indonesia
lebih sukar. Walaupun demikian terdapat sejumlah penelitian
yang mencoba mendapatkan gambaran kenaikan temperatur di
Indonesia. Kajian Hulme dan Sheard (1999) menemukan bahwa
sejak 1900, temperatur permukaan Indonesia naik sebesar 0.3°C
sejak 1900. Kajian tim ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap) BAPPENAS mengemukakan temperatur permukaan
di Indonesia selama abad 20 mengalami kenaikan sebesar 0,5°C
(ICCSR, 2009). Dalam hal curah hujan, Hulme dan Sheard (1999)

15

buku-1-pruf-4.indd 15 3/6/2011 11:36:27 PM


menyimpulkan curah hujan berkurang 2 hingga 3 persen secara
umum di seluruh Indonesia. Walaupun demikian Boer dan Faqih
(2004) menemukan bahwa terdapat variabilitas antar kawasan
dimana terjadi penurunan curah hujan di bagian selatan Indonesia
(Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa
Tenggara) dan kenaikan curah hujan di bagian utara Indonesia
(sebagian besar Kalimantan dan Sulawesi).

Selain itu terjadi pergeseran tingkat presipitasi pada dua


musim (kemarau dan penghujan). Di bagian selatan Indonesia, curah
hujan di musim penghujan bertambah, sedangkan curah hujan di
musim kemarau berkurang. Situasi yang terbalik terjadi di kawasan
utara Indonesia. Yang perlu diperhatikan bahwa variabilitas curah
hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh El Nino-Southern
Oscilation (ENSO),2 dimana: (i) musim kemarau menjadi lebih
panjang daripada situasi normal selama periode El Nino, dan lebih
pendek saat periode La Nina; (ii) awal musim penghujan mengalami
kemunduran saat periode El Nino, dan lebih awal saat periode La
Nina; (iii) penurunan curah hujan yang signifikan pada musing
kemarau terjadi saat periode El Nino, dan kenaikan yang signifikan
saat periode La Nina. Sejumlah kajian ilmiah memperkirakan bahwa
fenomena ENSO2 akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang

2 El Nino – Southern Oscillation (ENSO) adalah gejala penyimpangan (anomali)


pada suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang
lebih tinggi daripada rata-rata suhu normalnya. Gejala ini lebih umum dikenal di
kalangan awam dengan nama El Niño (bahasa Spanyol, dibaca: “El Ninyo” yang
berarti “anak laki-laki kecil”). Gejala penyimpangan di tempat yang sama tetapi
berupa penurunan suhu dikenal sebagai La Niña (dibaca “La Ninya”). Istilah ini
pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang kadang-

16

buku-1-pruf-4.indd 16 3/6/2011 11:36:27 PM


semakin tinggi di masa yang akan datang akibat pemanasan iklim
global.

Kajian ICCSR (2009) menyatakan selang/ interval ENSO yang


sebelumnya terjadi dalam 3-7 tahun akan menjadi lebih pendek,
2-3 tahun sebagaimana yang juga ditunjukkan oleh kecenderungan
tahun-tahun terakhir. Hal ini berarti Indonesia cenderung akan
mengalami variabilitas cuaca yang semakin tinggi di masa yang
akan datang, yang menghasilkan dampak yang cukup luas terhadap
berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, seperti tingkat
produksi pertanian, dan kondisi cuaca ekstrim.

Sejumlah kajian ilmiah menunjukkan bahwa Indonesia akan


mengalami kenaikan temperatur secara bertahap. Kajian yang
dilakukan oleh Boer dan Faqih (2004) memperkirakan kenaikan
temperatur dari 0,2°C menjadi 0,3°C per dekade. Kajian ICCSR,
berdasarkan pada model iklim yang telah dikembangkan secara
global, memproyeksikan kenaikan temperatur 0.8-1°C pada kurun
waktu 2020-2050, relatif terhadap acuan basis tahun 1960-
1990. Adapun pada kurun waktu 2070-2100, kenaikan temperatur
di Jawa-Bali berkisar antara 2-3°C, dan kenaikan yang tertinggi
terjadi di Sumatra sebesar 4°C.

kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di
daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin
sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi
iklim dunia selama lebih dari satu tahun.

17

buku-1-pruf-4.indd 17 3/6/2011 11:36:28 PM


Selain itu juga diperkirakan akan terjadi kenaikan temperatur
permukaan laut sebagai akibat meningkatnya temperatur
permukaan. Kenaikan temperatur permukaan laut diperkirakan
sebesar 0,65°C pada 2030, 1,1°C pada 2050 dan 2,15°C pada 2100.
Salah satu dampak langsung dari kenaikan temperatur permukaan
laut adalah berpindahnya stok ikan dari perairan Indonesia (ICCSR,
2009). Adapun untuk curah hujan, kajian tim ICCSR menunjukkan
hasil yang bervariasi untuk setiap kawasan dan kepulauan di
Indonesia pada periode 2010-2050 dan 2070-2100, dengan
kecenderungan kenaikan curah hujan pada bulan-bulan basah, dan
penurunan pada bulan-bulan transisi.3

Salah satu dampak peningkatan laju pemanasan global


adalah kenaikan permukaan air laut, sebagai akibat meluruhnya
lapisan es di kutub. Dari hasil kajian dan pengamatan, Indonesia
akan mengalami kenaikan permukaan air laut 0,6-0,8 cm per tahun
(ICCSR, 2009). Dengan ribuan pulau kecil, serta ribuan kilometer
kawasan pesisir, diperkirakan Indonesia akan kehilangan wilayah
daratan yang cukup signifikan sebagai dampak kenaikan muka air
laut. Kenaikan ini, ditambah dengan faktor penurunan tanah, akan
berdampak pada intrusi air laut dan genangan air pada kota-kota
besar Indonesia, khususnya yang terletak di pesisir Jawa bagian
utara, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

3 Pembahasan tentang hal ini dapat dibaca secara lebih lengkap pada naskah:
ICCSR (2010): Basis Saintifik: Analisa Proyeksi Suhu dan Curah Hujan,
Bappenas, Jakarta.

18

buku-1-pruf-4.indd 18 3/6/2011 11:36:28 PM


2 Profil dan Peluang
Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca
Indonesia
INDONESIA memproduksi gas rumah kaca dalam jumlah yang
signifikan. Emisi GRK Indonesia berkontribusi sebesar 5 persen
dari total emisi GRK dunia. Kontribusi tersebut jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto
(PDB) dunia, sebesar 0,6 persen pada tahun 2005. Indikator ini
menunjukkan bahwa laju kenaikan emisi GRK jauh diatas kenaikan
PDB, serta memberikan indikasi arah pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tidak berkelanjutan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2008 oleh


CDIAC (Carbon Dioxide Information Analysis Center), jika dilihat
hanya dari emisi karbondioksoida (CO2) dari sektor energi, maka
Indonesia merupakan pengemisi ke-15 dunia dengan total emisi
sebesar 397 juta ton CO2 di tahun 2007. Sementara data yang
dikumpulkan oleh World Resource Institute (WRI), untuk tahun 2005

19

buku-1-pruf-4.indd 19 3/6/2011 11:36:28 PM


tanpa dimasukkannya sektor kehutanan dan perubahan tataguna
lahan, maka total emisi gas rumah kaca Indonesia tahun tersebut
adalah 586,3 juta ton setara CO2, dan jika emisi dari kehutanan
dan perubahan tataguna lahan diperhitungkan maka akan menjadi
2.045,3 juta ton setara CO2.

Emisi Indonesia di akhir dekade 1990-an sempat meningkat


cukup tinggi sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan dan hutan
di tahun 1997/1998. Diperkirakan sekitar 24 milyar stok karbon
tersimpan di vegetasi dan tanah, dimana sekitar 80 persen dari stok
karbon tersebut tersimpan di kawasan hutan (KLH, 2003).

Kontribusi utama peningkatan emisi gas rumah kaca berasal


perubahan lahan dan perubahan tata guna lahan (kebakaran
hutan, penebangan liar, degradasi lahan gambut, penggundulan
hutan, dan lain sebagainya). Walaupun demikian, emisi GRK dari
sektor energi juga mengalami peningkatan dramatis dalam kurun
waktu dua dekade terakhir. Emisi GRK dari sektor-sektor lainnya
juga mengalami kenaikan, walaupun tidak sebesar kenaikan dari
kedua sektor utama tersebut.

20

buku-1-pruf-4.indd 20 3/6/2011 11:36:28 PM


Gambar 1. Profil dan Proyeksi Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (2005 –
2030)

Kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim dan McKinsey (DNPI,


2010) mengindikasikan tingkat emisi GRK tahunan Indonesia
mencapai 2,1 Giga ton (Gt)4 pada tahun 2005. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan diperkirakan pada tahun
2030 emisi GRK akan mencapai 3,3 Gt per tahun. Perhitungan dan
proyeksi emisi GRK Indonesia ditampilkan pada gambar 1.

4 1 Giga ton = 1.000.000.000 ton; 1 ton = 1000 kg.

21

buku-1-pruf-4.indd 21 3/6/2011 11:36:29 PM


Penggunaan lahan dan perubahan tata guna lahan dan
kehutanan (LULUCF) serta degradasi lahan gambut masing-masing
menjadi penyumbang emisi GRK yang terbesar. Sebanyak 1,61
Gt setara CO2 atau 78 persen emisi GRK Indonesia tahun 2005
bersumber dari kedua sektor ini. Penyumbang emisi GRK terbesar
ketiga adalah dari sektor pertanian, yakni sebesar 0,13 Gt, di tempat
ke empat adalah sektor pembangkit listrik yang menyumbang 0,11
Gt, di urutan kelima sektor minyak dan gas bumi yang menyumbang
0,095 Gt, ke enam adalah sektor transportasi sebesar 0,06 Gt,
sedangkan dua sektor lain yaitu semen dan bangunan masing-
masing menyumbang 0,025 Gt setara CO2. Jumlah emisi GRK dari
tiga sektor energi (pembangkit listrik, minyak dan gas bumi, serta
transportasi) mencapai 0,265 Gt setara CO2 atau sekitar 13 persen
dari total emisi GRK Indonesia.

Emisi Lahan Gambut

Emisi dari lahan gambut menyumbang 38 persen total emisi


GRK Indonesia pada tahun 2005 dan proyeksi berdasarkan
skenario business as usual, emisi tahunan dari lahan gambut akan
mengalami kenaikan sebesar 20 persen, dari 772 MtCO2e5 pada
2005 menjadi 972 MtCO2e pada 2030 jika tidak ada langkah
tindakan yang diambil untuk menguranginya. Terlepasnya karbon
dari lahan gambut tropis merupakan suatu tantangan tersendiri

5 Million ton CO2 equivalent = Juta ton setara karbondioksida (CO2).

22

buku-1-pruf-4.indd 22 3/6/2011 11:36:29 PM


bagi Indonesia yang memiliki 5 persen luas lahan gambut dari luas
seluruh lahan gambut dunia, dan 50 persen dari luas seluruh lahan
gambut yang berada di kawasan tropis.
Terlepasnya emisi dari lahan gambut disebabkan oleh
dekomposisi lahan gambut akibat konversi lahan untuk pemanfaatan
lain, terutama untuk penanaman pohon penghasil bubur kertas
(pulp) dan perkebunan kelapa sawit; serta kebakaran lahan gambut
yang sangat dipengaruhi oleh faktor musim.

Walaupun menjadi sumber emisi GRK yang besar, potensi


penurunan emisi GRK dari lahan gambut sesungguhnya tergantung
pada pilihan tindakan-tindakan yang diambil, serta dapat
dilakukan dengan biaya yang relatif rendah. Secara keseluruhan
terdapat peluang pengurangan emisi GRK sebesar 566 MtCO2e
pada sektor gambut dengan melakukan berbagai tindakan,
termasuk diantaranya pencegahan pembakaran, rehabilitasi lahan
gambut, serta pengelolaan air pada perkebunan kayu yang ada dan
perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini atau secara umum pada
kawasan gambut yang dipakai untuk pertanian.

Pencegahan kebakaran gambut dengan sejumlah cara


diantaranya menghindari pembakaran saat pembukaan lahan,
penggunaan teknologi tepat guna untuk gambut secara manual,
memperkuat regulasi dan penegakan hukum, serta membangun
kesadaran masyarakat, dan sejumlah tindakan lainnya, dapat
mengurangi emisi hingga 320 MtCO2e pada 2030 dengan biaya

23

buku-1-pruf-4.indd 23 3/6/2011 11:36:29 PM


sekitar US$ 0,35 per tCO2e. Tindakan pengelolaan air dirawa lahan
gambut berpotensi mengurangi emisi hingga 80 MtCO2e dengan
biaya US$ 0,85 per tCO2e. Adapun rehabilitasi lahan gambut,
misalnya dilahan bekas mega proyek penanaman padi (rice
estate) sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, dapat
menurunkan emisi GRK sebesar 180 tCO2e dengan biaya US$ 5,21
per tCO2e.

Emisi dari Pemanfaatan Lahan dan Alih Guna Lahan


Kehutanan

Emisi yang dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan lahan dan alih-


fungsi lahan kehutanan (Land Use, Land-Use Change and Forestry,
LULUCF) menyumbang lebih dari 35 persen total emisi karbon di
Indonesia, yaitu sebesar 745 MtCO2e pada tahun 2005. Kontribusi
LULUCF diperkirakan akan tetap siginifikan walaupun emisi bersih
LULUCF akan menurun menjadi 670 MtCO2e pada tahun 2030 atau
berkurang 18 persen dibandingkan emisi 2005. Namun demikian,
emisi bruto tahunan diperkirakan tetap pada angka yang tinggi
yaitu lebih dari 1.080 MtCO2e. Penurunan emisi sebesar 170 MtCO2e
berasal dari kenaikan potensi penyerapan karbon dari kawasan
hutan yang dihutankan kembali, dan dari ekspansi penanaman
pohon untuk produksi kayu dan kebun tumbuhan skala besar.

Sektor LULUCF berpotensi menurunkan emisi GRK pada


tahun 2030 secara signifikan, melampaui peningkatan emisi

24

buku-1-pruf-4.indd 24 3/6/2011 11:36:29 PM


dari sektor ini dengan skenario business as usual. Hal ini dapat
terjadi karena kegiatan penanaman yang dilakukan sebagai upaya
konservasi (bukan untuk produksi), dan penanaman hutan serta
reboisasi secara efektif dapat menciptakan penyerap karbon
baru; yang mampu menyimpan lebih banyak karbon daripada
yang dilepaskan ke atmosfir. Potensi pengurangan tahunan sektor
LULUCF mencapai 1.204 MtCO2e pada tahun 2030. Dari jumlah ini
upaya menghentikan deforestasi dan degradasi hutan (termasuk
melalui skema REDD, Reducing Emission from Deforestation and
forest Degradation) dapat menyumbang penurunan emisi sebesar
811 MtCO2e. Tindakan penanaman hutan dan reboisasi dapat
menurunkan emisi sebesar 280 MtCO2e, sedangkan tindakan untuk
mencegah pembakaran hutan dapat berkontribusi pada penurunan
emisi sebesar 43 MtCO2e.

Kajian DNPI (2010) merekomendasikan sembilan pilihan


tindakan sebagai langkah penting untuk melakukan penurunan
emisi GRK pada tahun 2010-2030, antara lain:

1. Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD)


memiliki potensi penurunan emisi terbesar, yaitu 570 MtCO2e,
dimana upaya untuk mencegah konversi lahan hutan ke
pertanian skala kecil berpotensi menurunkan emisi 190
MtCO2e. Biaya penurunan untuk mencegah laju deforestasi
sangat bervariasi, berkisar antara US$ 1 hingga $30 per tCO2e.
Biaya terendah untuk tindakan pencegahan konversi lahan

25

buku-1-pruf-4.indd 25 3/6/2011 11:36:29 PM


menjadi lahan pertanian skala kecil, sedangkan biaya terbesar
terjadi pada upaya untuk mencegah konversi hutan menjadi
kawasan hutan tanaman industri (pohon untuk produksi pulp)
dan/atau perkebunan kelapa sawit, yang mendekati US$ 30
per tCO2e emisi yang dapat dihindarkan.

2. Kegiatan aforestasi dan reforestasi (penanaman dan


menghutankan kembali bekas lahan hutan) memberikan
kemungkinan penurunan emisi sebesar 300 MtCO2e pada
2030, dengan biaya sebesar US$ 5 hingga 6 per tCO2e, yang
dapat dilakukan dengan menghutankan kembali lahan dan
hutan yang terdegradasi seluas 10 juta hektar, diluar program
GERHAN (Gerakan Reboisasi Hutan Nasional) Kementerian
Kehutanan yang telah dicanangkan sebelumnya.

3. Tindakan pengurangan emisi karbon karena degradasi


kawasan di kawasan hutan produksi dengan menerapkan
konsep pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest
management) berpotensi menurunkan emisi sebesar 200
MtCO2e, dengan biaya sekitar US$ 2 per tCO2e.

4. Budidaya hutan (silviculture) secara intensif sebagai kegiatan


untuk meningkatkan riap pertumbuhan yang berarti juga dapat
meningkatkan kemampuan penyerapan tumbuhan dari hutan
produksi berpotensi mengurangi emisi sebesar 100 MtCO2e,
dengan biaya US$ 10 per tCO2e.

26

buku-1-pruf-4.indd 26 3/6/2011 11:36:29 PM


5. Pencegahan kebakaran hutan, berpotensi mengurangi 43
MtCO2e pada 2030, dengan biaya sebesar US$ 5 per tCO2e.

Pilihan penurunan emisi karbon dan biaya untuk masing-masing


tindakan dari sektor LULUCF ditampilkan pada gambar 2.

Gambar 2. Pilihan aksi dan biaya penurunan emisi dari sektor LULUCF

Emisi dari Sektor Energi

Proyeksi emisi GRK dari sektor energi tahun 2020 dan 2030
menunjukan adanya potensi kenaikan yang signifikan. Emisi sektor

27

buku-1-pruf-4.indd 27 3/6/2011 11:36:30 PM


energi secara kumulatif disumbang oleh pembangkit listrik, produksi
minyak dan gas bumi serta sektor transportasi.

Dibandingkan tahun 2005, emisi GRK dari pembangkit listrik


diperkirakan naik hampir 4 kali lipat pada 2020 menjadi 370
MtCO2e, dan 7 kali lipat pada tahun 2030 menjadi 810 MtCO2e.
Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan laju elektrifikasi dari
60 persen menjadi 100 persen yang diperkirakan terjadi sebelum
tahun 2030, dan kenaikan permintaan tenaga listrik karena
meningkatnya usaha manufaktur dan jasa. Konsumsi tenaga listrik
diperkirakan meningkat dari 120 Terrawatt-hour (TWh) pada tahun
2005, menjadi 970 TWh pada tahun 2030.

Dalam dua dekade ke depan diperkirakan lebih dari 80 persen


pembangkit tenaga listrik yang beroperasi membakar bahan
bakar fossil (batubara, minyak dan gas bumi), dimana 66 persen
diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga batubara. Pemerintah
Indonesia juga merencanakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan
panas bumi (geothermal) dengan mentargetkan beroperasinya 9
Gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada
tahun 2030.

Sektor ketenagalistrikan memiliki potensi pengurangan emisi


sebesar 260 MtCO2e, dimana sekitar 225 MtCO2e bisa didapatkan
dari peningkatan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan
seperti optimalisasi panas bumi (geothermal), pemanfaatan

28

buku-1-pruf-4.indd 28 3/6/2011 11:36:30 PM


biomassa untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik tenaga nuklir,
dan penggunaan teknologi pembangkit batubara bersih, yaitu
teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Tambahan penurunan
emisi sebesar 47 MtCO2e bisa diperoleh dengan melaksanakan
tindakan-tindakan pengelolaan disisi permintaan (demand side
management), yang dapat menurunkan tingkat permintaan tenaga
listrik.

Biaya pengurangan emisi GRK di sektor pembangkit listrik


bervariasi antara US$ 10 hingga 40 per tCO2e. Penambahan
kapasitas panas bumi dari yang telah direncanakan sebelumnya
sebesar 6 GW pada 2020 membutuhkan biaya US$ 27 per tCO2e,
pemanfaatan limbah biomassa yang berasal dari limbah pengolahan
kayu, limbah kelapa sawit, limbah pertanian dan lain sebagainya,
membutuhkan biaya US$ 45 per tCO2e. Pembangunan PLTU
batubara dengan teknologi CCS diperkirakan membutuhkan biaya
US$ 10 per tCO2e, sedangkan pembangunan PLTN membutuhkan
biaya US$ 14 per tCO2e.6

Emisi dari sektor transportasi diperkirakan meningkat 7


kali lipat pada 2030 menjadi 443 MtCO2e, dari 60 MtCO2e pada

6 Hingga saat ini aplikasi PLTU batubara dengan CCS belum dilaksanakan secara
komersial dan diperkirakan baru matang dan layak secara komersial setelah
2020. Perhitungan dan analisis yang dilakukan dalam studi DNPI (2010) untuk
PLTU batubara dengan CCS menggunakan estimasi investasi, sementara untuk
PLTN berdasarkan investasi saat ini.

29

buku-1-pruf-4.indd 29 3/6/2011 11:36:30 PM


2005. Kenaikan ini disumbang oleh peningkatan jumlah kendaraan
bermotor pribadi dan komersial sebesar 3 kali lipat dari jumlah saat
ini, yang berkorelasi dengan bertambahnya konsumsi bahan bakar
minyak untuk sektor transportasi.

Terdapat potensi untuk menurunkan emisi sektor transportasi


sampai dengan 100 MtCO2e pada tahun 2030 melalui tiga pilihan
mitigasi utama, yaitu dengan : (1) perbaikan sistem pembakaran
internal mesin; (2) peralihan dari kendaraaan bertenaga BBM ke
kendaraan hibrida dan listrik; dan (3) dengan mengadopsi bahan
bakar biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit. Tiga perempat
dari total potensi penurunan emisi (atau 75 MtCO2e) berasal
dari penyempurnaan mesin pembakaran internal konvensional
(internal combustion engines – ICE) di semua kelas kendaraan yang
dapat didorong melalui standar efisiensi bahan bakar yang lebih
tinggi, yang dapat dicapai dengan biaya negatif. Pilihan seperti
pemanfaatan biodiesel dari kelapa sawit menambah pengurangan
sebesar 10 MtCO2e, dengan biaya mencapai US$ 100 per tCO2e,
sedangkan penerapan mobil listrik membutuhkan biaya US$ 300
per tCO2e.

Emisi GRK dari fasilitas produksi dan pengolahan minyak


dan gas bumi akan meningkat dari 122 MtCO2e pada tahun 2005
menjadi 135 MtCO2e pada 2020, dan 137 MtCO2e pada 2030. Kajian
emisi karbon DNPI terbatas pada produksi, termasuk gas flaring
dan pengolahan minyak, tetapi belum memperhitungkan emisi dari

30

buku-1-pruf-4.indd 30 3/6/2011 11:36:30 PM


pengembangan cadangan minyak dan gas bumi, pengangkutan dan
petrokimia, serta konsumsi minyak dan gas yang tergantung pada
penggunaan masing-masing sektor.

Sektor minyak dan gas bumi memiliki peluang untuk


menurunkan emisi GRK Indonesia hingga 30 persen (41 MtCO2e)
sampai dengan tahun 2030 melalui upaya yang terfokus pada
tiga upaya mitigasi, yaitu : (1) perbaikan proses pemeliharaan dan
pengendalian, (2) program-program hemat energi dan efisiensi
energi, serta (3) penurunan pemanfaatan kembali gas suar bakar
(flaring).

Biaya penurunan emisi terbesar terjadi pada upaya


pemanfaatan gas flaring, sebesar US$ 28 per tCO2e. Penerapan co-
generation (cogen) pada kilang pengolahan dapat menambah biaya
US$ 6 per tCO2e. Perbaikan proses pemeliharaan dan pengendalian
lintas sub-sektor produksi dan pengilangan dalam menghasilkan
pengurangan sedikit lebih besar dari 7 MtCO2e dan bersifat positif
laba netto (-103 USD per tCO2e sehingga dapat menaikkan
keuntungan selama masa waktu penurunan emisi.

Emisi dari Pertanian

Pertanian adalah sektor dengan emisi tertinggi ketiga di Indonesia,


setelah LULUCF dan gambut, dengan emisi mencapai 132 MtCO2e
pada tahun 2005 (berdasarkan tata guna lahan saat itu). Emisi dari

31

buku-1-pruf-4.indd 31 3/6/2011 11:36:30 PM


sektor ini diperkirakan akan meningkat sampai dengan 25 persen
menjadi 164 MtCO2e pada tahun 2030. Potensi pengurangan
untuk sektor ini diperkirakan mencapai kurang lebih 105 MtCO2e
setiap tahunnya atau sekitar 63 persen dari emisi sektor terkait
pada tahun 2030.

Penyempurnaan pengelolaan pengairan dan pupuk untuk


pertanian padi menawarkan potensi pengurangan yang signifikan
sebesar 45 MtCO2e atau 43 persen dari emisi sektor tersebut.
Peluang pengurangan sektor pertanian yang ketiga berasal dari
pemulihan lahan yang rusak (yaitu lahan pertanian yang telah
rusak akibat gangguan berlebihan, erosi, hilangnya bahan-bahan
organik, gangguan kadar garam atau asam), yang akan berkontribusi
terhadap penurunan emisi sebesar 35 MtCO2e.

Biaya pengurangan rata-rata di sektor pertanian mencapai


US$ 5 per tCO2e. Pemulihan lahan yang rusak melalui pembentukan
wadah penyerapan karbon (meningkatkan bahan organik dalam
tanah) memerlukan biaya sebesar US$ 13,8 per tCO2e, sementara
perbaikan pengelolaan pengairan padi dan pengelolaan pupuk padi
menghabiskan biaya masing-masing sebesar US$ 7 dan $ 21,7 per
tCO2e setiap tahunnya.

Emisi Semen

Emisi sektor semen diperkirakan akan mengalami peningkatan tiga


kali lipat dari 26 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 75 MtCO2e

32

buku-1-pruf-4.indd 32 3/6/2011 11:36:30 PM


pada tahun 2030. Hal ini akan didorong oleh peningkatan produksi
bahan semen yang signifikan di Indonesia dari 31 juta ton pada
tahun 2005 menjadi 125 juta ton pada tahun 2030. Sebagian
besar emisi ini dihasilkan oleh produksi arang besi (clinker), unsur
penting dalam produksi semen. Proses tersebut melibatkan proses
pengapuran batu kapur dan tanah liat, reaksi kimia yang melepaskan
CO2e dalam jumlah yang signifikan sebagai produk sampingan.
Mengganti arang besi dengan bahan pengganti seperti limbah
batubara (fly ash) atau limbah dari pembuatan logam (slag) dapat
menurunkan secara signifikan emisi langsung dari sektor semen.

Dengan adanya teknologi-teknologi lain, sektor semen dapat


menurunkan lebih lanjut emisinya sampai dengan 12 persen atau
9 MtCO2e pada tahun 2030. Meskipun penggantian arang besi
terus menjadi peluang terbesar untuk pengurangan sekitar 7,5
MtCO2e dengan biaya rata-rata negatif sebesar US$ -25 per tCO2e,
memasukan bahan-bahan bakar alternatif, khususnya dari limbah
industri dan kota, dapat menurunkan lebih lanjut emisi dari sektor
semen sampai dengan 4,5 MtCO2e dengan biaya rata-rata yang
tidak terlalu tinggi sebesar US$ 8 per tCO2e.

Emisi Bangunan

Emisi dari sektor bangunan akan meningkat dari 71 MtCO2e pada


tahun 2005 menjadi 215 MtCO2e pada tahun 2030, didorong oleh

33

buku-1-pruf-4.indd 33 3/6/2011 11:36:31 PM


pertumbuhan konsumsi energi rumah tangga dan komersial sebesar
5–7 persen setiap tahunnya.

Dengan menggunakan teknologi-teknologi yang ada, sektor


bangunan dapat menurunkan emisinya sampai dengan 22 persen
pada tahun 2030, yaitu sebesar 48 MtCO2e – dengan sebagian
besar penurunan (lebih dari 70 persen) tidak memerlukan biaya
atau biaya pengurangan negatif.

Kajian emisi karbon DNPI menyimpulkan bahwa secara


keseluruhan Indonesia memiliki potensi pemotongan emisi hingga
2,3 GtCO2e per tahun pada tahun 2030 untuk semua sektor penghasil
emisi, dengan tingkat biaya yang bervariasi dari skenario business
as usual (gambar 3). Lebih dari setengah potensi penurunan emisi
tersebut dapat dilakukan tanpa perlu biaya tambahan atau biaya
negatif.

Hasil perhitungan ini memberikan indikasi secara teoritis bahwa


Indonesia dapat menurunkan emisinya secara signifikan. Indonesia
sangat mungkin melakukan perpindahan model pembangunan dari
jalur pembangunan emisi karbon tinggi menuju pembangunan
emisi karbon rendah, tanpa perlu mengorbankan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang. Sektor kehutanan dan pembangkit listrik
menjadi dua sektor terbesar yang dapat berkontribusi terhadap
penurunan emisi GRK. Untuk mencapai hal ini, diperlukan kebijakan
pembangunan dan implementasi yang mendesak.

34

buku-1-pruf-4.indd 34 3/6/2011 11:36:31 PM


Gambar 3. Potensi pengurangan emisi GRK dan kurva biaya pada tahun
2030

35

buku-1-pruf-4.indd 35 3/6/2011 11:36:31 PM


3 Strategi Adaptasi
dan Mitigasi untuk
Menghadapi
Perubahan Iklim
Indonesia meratifikasi United Nation Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) melalui penetapan UU No. 6/1994.
Indonesia juga telah menandatangani Protokol Kyoto tahun 1997,
dan meratifikasinya pada tahun 2004 melalui UU No. 17/2004.
Dengan meratifikasi Protokol Kyoto, maka Indonesia dapat
berpartisipasi dalam pengembangan proyek Clean Development
Mechanism (CDM), yang dimulai pada 2005, melalui pembentukan
CDM Designated National Authority (DNA) di Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2009, DNA berpindah ke
DNPI.

Dalam empat hingga lima tahun terakhir, isu perubahan iklim


telah mendapatkan perhatian yang lebih luas dalam penyusunan
kebijakan dan program pembangunan jangka panjang. Sejumlah
kajian tentang dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor
dan bidang serta peri-kehidupan masyarakat Indonesia juga telah

36

buku-1-pruf-4.indd 36 3/6/2011 11:36:32 PM


dilakukan. Secara umum strategi adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim adalah integrasi program aksi keduanya kedalam rencana
pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan jangka
pendek, yang dituangkan dalam program kerja kementerian dan
kelembagaan.

Proses pengintegrasian tersebut terjadi melalui beberapa


tahap dan proses. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) 2005 – 2025, perubahan iklim dinyatakan sebagai tantangan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pengurangan
kemiskinan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga mengidentifikasi dampak
perubahan iklim di Indonesia terhadap upaya untuk mencapai
target-target yang ditetapkan dalam rencana pembangunan
tersebut. Walaupun demikian, strategi pembangunan nasional
yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 belum secara lengkap
mempertimbangkan aksi untuk melaksanan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim secara sektoral dan lintas-sektoral.

Perhatian terhadap fenomena perubahan iklim semakin


meningkat di kalangan pemangku kepentingan di Indonesia,
termasuk pembuat kebijakan, menjelang Konferensi para Pihak
ke-13 (COP-13) dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim
(UNFCCC) di Bali pada Desember tahun 2007. Untuk pertama
kalinya, pemerintah mengeluarkan naskah Rencana Aksi Nasional
menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI), yang mencakup situasi
fenomena perubahan iklim di Indonesia dan usulan rencana aksi

37

buku-1-pruf-4.indd 37 3/6/2011 11:36:32 PM


mitigasi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap peningkatan
pemanasan global dan perubahan iklim, melalui koordinasi antar-
sektor pembangunan.

Lebih kurang enam bulan setelah COP 13, dengan


mempertimbangkan perlunya meningkatkan koordinasi pelaksanaan
pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi
Indonesia di forum perundingan internasional dalam pengendalian
perubahan iklim, Presiden RI membentuk Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) melalui Peraturan Presiden No. 46/2008.
Presiden RI menjadi Ketua DNPI, yang dibantu oleh dua orang Wakil
Ketua, yakni Menko Perekonomian dan Menko Kesra, 17 Menteri
terkait dan Kepala BMKG sebagai anggota. Untuk melaksanakan
mandatnya, maka Presiden menunjuk seorang Ketua Harian, Kepala
Sekretariat, dan dibantu oleh Kelompok-kelompok Kerja (Pokja)
sebagai pelaksana kegiatan Dewan sehari-hari.

Upaya untuk mengoperasionalkan rekomendasi dalam


RAN-PI kedalam RPJMN 2004-2009 coba dilakukan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melalui
penyusunan naskah National Development Planning: Indonesia
Response to Climate Change. Naskah yang kemudian dikenal
sebagai “Yellow Book” ini mulai diperkenalkan secara terbatas saat
berlangsungnya COP 13, tetapi baru dipublikasikan secara penuh
pada tahun 2008. Yellow Book juga ditujukan sebagai dokumen
perantara (bridging document) yang mempertimbangkan berbagai
isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan

38

buku-1-pruf-4.indd 38 3/6/2011 11:36:32 PM


iklim, sekaligus untuk mempertajam program pembangunan yang
dituangkan dalam RPJMN 2004-2009, dan sebagai masukan dalam
merumuskan RPJMN 2010-2014.

Naskah “Yellow Book” Bappenas berusaha mengintegrasikan


adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perencanaan
pembangunan nasional. Selain itu ditetapkan juga prioritas sektor
untuk adaptasi yaitu: (i) pertanian dan (ii) daerah pesisir, pulau-
pulau kecil, kelautan dan perikanan; dan mitigasi yaitu: (i) energi
dan pertambangan, (ii) kehutanan. Lebih daripada itu, isi yang
terpenting dari “Yellow Book” adalah daftar proyek dari sektor-
sektor prioritas dan non-prioritas yang terkait dengan perubahan
iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga telah menyelesaikan


penyusunan Second National Communication (SNC) pada tahun
2009. Sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim, pelaporan inventori
gas rumah kaca dalam bentuk National Communication merupakan
salah satu bentuk tanggung jawab negara berkembang. National
Communication Indonesia yang pertama dibuat pada tahun
1994, dengan basis emisi tahun 1990. SNC mencakup inventori
emisi GRK pada rentang tahun 2000-2005. Pada dasarnya SNC
merupakan dokumen inventori emisi GRK dari berbagai sektor di
Indonesia, dimana yang dihitung adalah emisi GRK bersih. SNC
menjadi dokumen acuan bagi penentuan kebijakan dan prioritas
aksi mitigasi perubahan iklim.

39

buku-1-pruf-4.indd 39 3/6/2011 11:36:32 PM


Dalam upaya mengintegrasikan lebih lanjut perubahan iklim
dalam pembangunan nasional, BAPPENAS menyusun dokumen
kebijakan perencanaan sektoral yang disebut Indonesia Climate
Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Menurut BAPPENAS, “peta jalan
sektoral” bertujuan mengintegrasikan perubahan iklim kedalam
perencanaan pembangunan sektoral dan lintas sektor, serta untuk
mempercepat implementasi berbagai sektor yang relevan untuk
menghadapi perubahan iklim. ICCSR mencakup jangka waktu
pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan
yang ditentukan sesuai dengan rencana pembangunan jangka
menengah 5 tahunan.

Dalam formulasi strategi adaptasi, ICCSR mengintegrasikan


kerangka penilaian resiko akibat pemanasan global dan dampak
perubahan iklim yang telah terjadi dan akan terjadi di Indonesia
untuk menentukan tingkat ancaman bahaya iklim (climate hazards)
dan dampaknya pada sektor-sektor yang relevan. Prioritas dan
rencana aksi adaptasi ditentukan berdasarkan pada tingkat dampak
yang terjadi.

Adapun strategi mitigasi dicapai melalui proses analisa


terhadap skenario laju emisi GRK pada setiap sektor berdasarkan
kajian tingkat pertumbuhan emisi dari sektor-sektor tersebut, dan
dilakukan analisa terhadap skenario mitigasi untuk setiap sektor
(energi, transportasi, industri, kehutanan dan limbah/sampah).

Naskah ICCSR merinci berbagai rencana kegiatan untuk


sektor-sektor energi, industri, transportasi, limbah, kehutanan,

40

buku-1-pruf-4.indd 40 3/6/2011 11:36:32 PM


sampah, pertanian, kelautan dan perikanan, air serta kesehatan
yang dikategorikan dalam 3 kelompok aktivitas. Sesuai dengan
rencananya, berbagai rencana aksi yang telah dikaji seharusnya
diimplementasikan sebagai rangkaian program kerja pada
kementerian dan lembaga yang terkait, sesuai dengan prioritas
pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yang berlaku selama 5 tahun.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah melakukan


kajian Indonesia GHGs Abatement Cost Curve, untuk melakukan
identifikasi berbagai peluang dan pilihan-pilihan aksi mitigasi untuk
menurunkan emisi GRK Indonesia berdasarkan biaya penurunan
(abatement cost) dari setiap aksi mitigasi tersebut. Laporan kajian
DNPI ini telah dipublikasi dan dapat dipakai sebagai salah satu
acuan untuk menetapkan prioritas kebijakan dan rencana aksi
untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan 41
persen, sebagaimana telah digariskan oleh Presiden RI.

Sesuai dengan profil emisi GRK maka Reducing Emission


from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah satu
bentuk program mitigasi GRK yang penting bagi Indonesia. Untuk
mengimplementasikan program REDD plus di Indonesia, pada 20
September 2010, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang
menetapkan pembentukan Satuan Tugas REDD. Satuan Tugas ini
akan dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto, kepala UKP4 (Unit
Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan),
dengan sejumlah pejabat yang mewakili kementerian dan lembaga

41

buku-1-pruf-4.indd 41 3/6/2011 11:36:32 PM


yang relevan sebagai anggotanya (Bappenas, KLH, Kementerian
Keuangan, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan
DNPI). Tugas Satgas REDD sebagaimana yang dicantumkan dalam
Kepres adalah memastikan terbentuknya strategi nasional untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi
hutan (REDD plus) dan rencana nasional untuk aksi pengurangan
emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.7

Sebagai bagian dari tugas dibawah Satgas REDD, sebuah


Strategi Nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan (Stranas REDD plus) juga baru dipublikasikan.8 Stranas REDD
plus mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya deforestasi
dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk
menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta
peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi
hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan
berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan
hutan tanaman.

Naskah ini juga menyajikan tahapan pelaksanaan REDD+


di Indonesia, yang secara umum dibagi dalam tiga tahap: (1)
penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana

7 http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/24/kuntoro-mangkusubroto-
chairs-redd-task-force.html
8 Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah
ini disusun oleh Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan,
Kementerian Pertanian.

42

buku-1-pruf-4.indd 42 3/6/2011 11:36:32 PM


aksi nasional REDD plus; (2) membangun kesiapan dan pelakasanaan
tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+,
pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
awal; dan (3) implementasi yang mencakup pengarusutamaan
REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN
dan implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan
berdasarkan kriteria yang ditentukan. Dalam naskah Stranas REDD
plus yang pertama, belum dicantumkan rencana aksi yang rinci
untuk diimplementasikan di masing-masing tahap.

Dalam hal teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, pada


tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menyelesaikan kajian
kebutuhan teknologi untuk mitigasi perubahan iklim (Technology
Needs Assessment for Climate Change Mitigation, TNA). Kajian ini
telah berhasil mengidentifikasi prioritas teknologi untuk mitigasi
GRK untuk 7 sektor Indonesia: Energi, Kelautan, Kehutanan, Industri,
Pertanian, Persampahan, dan Transportasi. Selain opsi pilihan
teknologi, TNA juga melakukan analisis marginal abatement cost
untuk pilihan teknologi di setiap sektor.

Untuk mendukung pembuatan Strategi Nasional Adaptasi


dan Rencana Aksi Adaptasi menghadapi perubahan iklim, DNPI
telah menyelesaikan Adaptation Science and Policy Study.9 Kajian

9 Kajian ini berjudul Adaptation Science and Policy Studies, yang dilakukan oleh

43

buku-1-pruf-4.indd 43 3/6/2011 11:36:32 PM


mencoba mengidentifikasi berbagai kajian dan analisis yang telah
dilakukan oleh berbagai institusi yang terkait dengan adaptasi pe-
rubahan iklim di Indonesia. Melalui kajian ini, dicoba untuk mengi-
dentifikasi celah (gap) dan kebutuhan untuk mengembangkan
strategi adaptasi, kebutuhan strategi pendanaan serta kebutuhan
teknologi untuk Indonesia.

Sejumlah kementerian sektoral, misalnya Kementerian


Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah
membuat kajian terkait dengan identifikasi tantangan dan pilihan-
pilihan adaptasi di sektor pertanian, dan strategi adaptasi untuk
kelautan dan kawasan pesisir.

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa kajian untuk


adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia telah cukup
banyak dan beragam. Berbagai kajian ini dapat menjadi acuan
dalam perumusan strategi dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim di Indonesia.

DNPI dan LAPI ITB, atas dukungan UK Aid dan British Council. Kajian ini dimulai
pada Maret 2010 dan diselesaikan pada Juli 2010.

44

buku-1-pruf-4.indd 44 3/6/2011 11:36:32 PM


4 Komitmen untuk
Menurunkan
Emisi GRK

“INDONESIA berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas


rumahkaca sebanyak 26 persen dari level “business as usual”,
pada tahun 2020, atau 41 persen bila ada bantuan keuangan
dari negara-negara maju.” Pengumuman ini dibuat oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pertemuan G20 di Pittsburgh,
Pennsylvania, Amerika Serikat, pada September 2009. Komitmen
ini kembali ditegaskan oleh Presiden SBY saat berpidato pada
COP-15 United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) di Copenhagen, Denmark, Desember 2009 . Dalam
pidatonya, Presiden SBY juga menyampaikan komitmen Indonesia
untuk mewujudkan “ekonomi rendah karbon.”

Walaupun gagal mencapai kesepakatan yang mengikat


semua Negara Pihak, COP15 menghasilkan Copenhagen Accord,
yang merupakan deklarasi politik yang diinisiasi oleh 23 pemimpin
negara maju dan negara berkembang yang melakukan diskusi pada
saat COP 15 berlangsung. Sifat Copenhagen Accord tidak mengikat,
dan bukanlah hasil yang berasal dari proses negosiasi multilateral

45

buku-1-pruf-4.indd 45 3/6/2011 11:36:32 PM


yang transparan dan demokratis. Walaupun demikian, Copenhagen
Accord merupakan hasil terbaik yang bisa didapat, yang memuat
komitmen nyata tetang target pembatasan kenaikan suhu global,
dan komitmen pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim hingga
2020.

Sebagai tindak lanjutnya, UNFCCC memberikan batas waktu


hingga 31 Januari 2010 kepada negara-negara anggota UNFCCC
untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK masing-
masing.10 Sebagai bentuk dukungan, melalui surat tanggal 19
Januari 2010 pemerintah Indonesia melalui Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) menyampaikan kepada Sekretariat UNFCCC
dukungan pada Copenhagen Accord tersebut, dan komitmen
Indonesia untuk menurunkan emisi. Surat ini disusul dengan
usulan target resmi Indonesia untuk dilampirkan pada Copenhagen
Accord pada tanggal 30 Januari 2010, dengan merinci sektor-
sektor yang terlibat dalam inisiatif penurunan emisi ini. Mengingat
target yang disampaikan adalah target sukarela sesuai dengan
kapasitas RI sebagai negara berkembang dan karenanya memang
tidak dimintakan adanya detail rencana pencapaian target tersebut
seperti yang dicantumkan dalam Appendix II Copenhagen Accord.

Dalam surat yang dikirimkan oleh Rachmat Witoelar, Ketua


Harian DNPI kepada Sekretaris  Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer,

10 Hingga saat ini terdapat 138 negara, yang mewakili sekitar 86 persen emisi global
tahun 2005, yang telah menyampaikan dukungannya terhadap Copenhagen
Accord dan menyampaikan target penurunan emisi GRK.

46

buku-1-pruf-4.indd 46 3/6/2011 11:36:33 PM


Indonesia merinci 7 bentuk aksi untuk pencapaian penurunan emisi
26% dari skenario BAU pada tahun 2020, yaitu:

• Pengelolaan lahan gambut yang menjamin keberlanjutannya


• Penurunan laju deforestasi dan degradasi lahan hutan.
• Pengembangan proyek penyerapan emisi karbon di sektor kehutanan dan
pertanian
• Promosi penghematan dan efisiensi energi
• Pengembangan dan pemanfaatan sumber energi alternatif dan
terbarukan
• Penurunan limbah padat dan cair
• Perpindahan kepada moda transportasi rendah emisi

Salah satu upaya yang telah dilakukan Indonesia saat ini


adalah dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) dengan
pemerintah Norwegia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca
(GRK) global akibat deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan
gambut di Indonesia. Implementasi LoI akan dilaksanakan dalam 3
tahapan yaitu tahap 1 hingga akhir 2010, tahap 2 selama tahun
2011-2013 dan tahap 3 sejak 2014 hingga akhir tahun 2016.

Upaya yang lebih terstruktur adalah memadukan target


penurunan 26 persen dan dokumen roadmap kedalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 dan prioritas
kerja pemerintah untuk 2010 yang dituangkan dalam Inpres 1/2010.
Hasilnya adalah skenario penurunan emisi 26 dan 41 persen dari 7
sektor pada tahun 2020, yang dapat dilihat pada tabel 2.

47

buku-1-pruf-4.indd 47 3/6/2011 11:36:33 PM


Tabel 2. Profil Emisi Indonesia 2005 dan 2020 dengan Skenario Penurunan
Emisi 26 persen dan 41 persen (dalam giga ton)

buku-1-pruf-4.indd 48
Sektor Profil Emisi Target Target Profil Emisi 2020
Penurunan tambahan
emisi 26% penurunan emisi
15%
Emisi BAU Emisi % dari Emisi % dari Skenario Skenario 41%
2005 2020 BAU BAU 26%
Lahan Gambut 0,83 1,09 0,280 9,5 0,057 2,03 0,81 0,75

48
Sampah 0,17 0,25 0,048 1,6 0,03 1,07 0,20 0,17
Kehutanan 0,65 0.49 0,392 13,3 0,31 11,02 0,10 (0,21)
Pertanian 0,05 0,06 0,008 0,3 0,003 0,11 0,05 0,05
Industri 0,05 0,06 0,001 0,0 0,004 0,14 0,06 0,06
Transportasi - - 0,008 0,3 0,008 0,28 (0,01) (0,02)
Energi 0,37 1,00 0,030 1,0 0,01 0,38 0,97 0,96
Total 2,12 2,95 0,767 26 0,422 15,01 2,18 1,76

Sumber: Mubariq Ahmad (Prisma, Vol 3, 2010)

3/6/2011 11:36:33 PM
5 Strategi Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca
26 dan 41 persen

DALAM rangka melaksanakan penurunan emisi GRK sebagai­mana


yang telah ditargetkan, pemerintah Indonesia melalui BAPPENAS
menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) yang akan dituangkan dalam bentuk
Peraturan Presiden (Perpres).11

Dalam naskah lampiran Perpres RAN-GRK dinyatakan bahwa


rencana ini adalah turunan dari Strategi Pembangunan Nasional
yang Berkelanjutan, dengan cakupan penurunan emisi secara
langsung, peningkatan kapasitas penyerapan, dan kegiatan-
kegiatan yang secara tidak langsung menurunkan emisi GRK.
Dinyatakan pula bahwa RAN GRK tidak menghambat pertumbuhan
ekonomi dan pengentasan kemiskinan, serta merupakan komitmen
Indonesia pada upaya penurunan emisi di tingkat global. Mengingat
RAN GRK juga dipakai sebagai sarana koordinasi dalam usaha

11 Hingga tulisan ini dibuat, rancangan Peraturan Presiden sudah dibahas di


Sekretariat Negara. Diharapkan Perpres tersebut akan dikeluarkan pada akhir
bulan Oktober mendatang.

49

buku-1-pruf-4.indd 49 3/6/2011 11:36:33 PM


mengoptimalkan akses terhadap potensi pendanaan domestik dan
internasional.

Dasar penyusunan RAN-GRK adalah usulan dari kementerian/


lembaga dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025, yang
kemudian dalam forum koordinasi perencanaan penyusunan RAN-
GRK untuk menjabarkan rencana penurunan emisi GRK nasional
sebesar 26 persen dari skenario business as usual. Program yang
diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana dari
sumber APBN dan APBD (termasuk pinjaman), swasta, masyarakat,
dengan sejumlah kriteria yaitu: efektifitas penggunaan biaya
dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara
terintegrasi, kemudahan dalam implementasi, dan sejalan dengan
prioritas pembangunan nasional.

RAN-GRK menetapkan enam bidang dengan target penurunan


emisi 26 persen dan 41 persen. Untuk melaksanakan target
penurunan tersebut, RAN-GRK juga menetapkan Kementerian/
Lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan rencana aksi,
sesuai dengan program di masing-masing kementerian/lembaga.
Rencana dan target penurunan emisi 26 dan 41 persen yang
dinyatakan dalam RAN-GRK ditampilkan pada tabel 3.

Sejalan dengan perkembangan negosiasi di tingkat


internasional, target penurunan emisi sukarela yang telah dijadikan
target oleh Indonesia nantinya dapat dikategorikan sebagai self-
funded NAMA atau unilateral NAMA, yaitu sebesar 26% yang
ditargetkan untuk dicapai dengan pendanaan dalam negeri (dana
pemerintah maupun swasta). Adapun supported NAMA yaitu
sebesar 15% yang merupakan selisih antara 26% dan 41% yang
direncanakan dapat dicapai dengan adanya dukungan pendanaan
internasional. Upaya penurunan emisi di luar kegiatan yang telah

50

buku-1-pruf-4.indd 50 3/6/2011 11:36:33 PM


dikategorikan sebagai upaya pencapaian target 26% dan 41% pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai
crediting NAMA ataupun tetap dilaksanakan sebagai bagian dari Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM,

buku-1-pruf-4.indd 51
clean development mechanisms) yang merupakan bagian dari pasar karbon (carbon market).

Tabel 3. Target Penurunan Emisi GRK per Bidang 2010 – 2020 (Draft)

Bidang Rencana Rencana Aksi K/L Pelaksana


Penurunan Emisi
(GtCO2e)

51
26% 41%

Kehutanan dan 0,672 1,039 Pengendalian kebakaran hutan dan Kementerian


Lahan Gambut lahan, pengelolaan jaringan dan tata Kehutanan, KLH,
air, Rehabilitasi hutan dan lahan, Kementerian PU,
HTI, HR, Pemberantasan illegal Kementerian
logging, pencegahan deforestasi, Pertanian
pemberdayaan masyarakat

3/6/2011 11:36:33 PM
Pertanian 0,008 0,011 Introduksi varitas pada rendah emisi, Kementerian
efisiensi air irigasi, penggunaan Pertanian, KLH

buku-1-pruf-4.indd 52
pupuk organic

Energi dan 0,038 0,056 Penggunaan biofuel, mesin Kementerian


transportasi dengan standar efisiensi BBM Perhubungan,
lebih tinggi, memperbaiki TDM, Kementerian
kualitas transportasi, demand side ESDM,
management, efisiensi energi, Kementerian PU
pengembangan renewable energi

52
Industri 0,001 0,005 Efisiensi energi, penggunaan Kementerian
renewable energi Perindustrian

Limbah 0,048 0,078 Pembangunan TPA, pengelolaan Kementerian PU


sampah dengan 3R, dan pengolahan dan KLH
limbah terpadu di perkotaan

Total 0,767 1,189

Sumber: Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Draft, 3 Oktober 2010)

3/6/2011 11:36:33 PM
Satu hal yang perlu dipahami adalah pelaksanaan upaya
penurunan emisi bagi negara berkembang seperti Indonesia dapat
dilaksanakan secara paralel antara satu jenis NAMA dengan jenis
NAMA yang lain selama kegiatannya tidak dilakukan di dua kategori
yang berbeda. Oleh karena itu penting untuk dapat segera disusun
dan disepakati kegiatan atau aksi di tiap sektor yang masuk ke
dalam kategori pencapaian target 26% dan juga yang masuk
dalam kategori pencapaian target hingga 41% dengan pendanaan
internasional. Dengan tersusunnya daftar ini maka upaya penurunan
emisi dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.

53

buku-1-pruf-4.indd 53 3/6/2011 11:36:33 PM


6 Mekanisme
Pendanaan untuk
Aksi Perubahan
Iklim di Indonesia
Kebutuhan Pendanaan

Mekanisme pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu


komponen vital yang memungkinkan sebuah negara melaksanakan
strategi penurunan emisi GRK (mitigasi), maupun strategi untuk
mengatasi dampak perubahan iklim (adaptasi).

Untuk dapat melakukan mitigasi dan adaptasi yang efektif


sehingga mencapai target penurunan emisi, maka perlu diketahui
pendanaan yang dibutuhkan untuk memenuhi target mitigasi emisi
GRK yang hendak dicapai serta potensi pengurangan emisi yang
tersedia untuk setiap jenis aksi di setiap sektor/bidang. Pemerintah
Indonesia juga telah menyusun kebijakan untuk mendukung
program aksi setiap sektor yang melaksanakan mitigasi dan
kebutuhan anggaran untuk melaksanakan program aksi tersebut.
Semakin besar target penurunan emisi suatu sektor, semakin besar
pula anggaran yang akan diberikan untuk sektor tersebut.

54

buku-1-pruf-4.indd 54 3/6/2011 11:36:34 PM


Perhitungan tentang kebutuhan dana untuk melakukan
strategi dan tindakan adaptasi untuk sektor-sektor prioritas hingga
kini belum tersedia. Hal ini terjadi karena perhitungan biaya adaptasi
dipengaruhi oleh berbagai variable yang cukup kompleks. Sifat
adaptasi yang unik dan spesifik untuk kawasan tertentu membuat
perhitungan kebutuhan dan untuk adaptasi harus dilakukan secara
hati-hati. Berbeda dengan adaptasi, perhitungan kebutuhan
dana untuk aksi/tindakan mitigasi relatif lebih mudah dilakukan.
Perhitungan biaya untuk aksi mitigasi dapat ditemukan dalam
Studi NEEDS (National Economic, Environment and Development
Study) oleh DNPI dan Sekretariat UNFCCC, ICCSR, lndonesia GHGs
Abatement Cost Curve, dan kajian-kajian lain yang telah dilakukan
di Indonesia, dengan mudah ditemukan perhitungan biaya untuk
aksi mitigasi.

Menurut kajian Second National Communication (KLH, 2009),


penurunan emisi 26 persen hingga 2020 akan menimbulkan biaya
sebesar 83,3 triliun rupiah per tahun. Adapun penurunan emisi 41
persen akan menimbulkan biaya sebesar 168,3 triliun rupiah per
tahun. Nilai ini setara dengan 1.4 persen dan 2.8 persen proyeksi
PDB Indonesia pada tahun 2010.

Perhitungan Indonesia GHGs Abatement Cost Curve oleh DNPI


mengindikasikan kebutuhan biaya tahunan untuk melaksanakan
seluruh pilihan aksi mitigasi mencapai 12,84 milyar Euro atau 180
triliun rupiah setiap tahunnya hingga 2030, dengan biaya penurunan

55

buku-1-pruf-4.indd 55 3/6/2011 11:36:34 PM


rata-rata sebesar 6 Euro per ton CO2e. Total biaya penurunan emisi
tersebut setara dengan 5,6 persen total GDP Indonesia pada tahun
2005.

Sementara itu kajian ICCSR untuk mitigasi di sektor semen,


transportasi (penggantiaan moda transportasi), limbah/sampah
(skenario optimis), dan kehutanan (LULUCF) dalam mencapai target
penurunan emisi 26 persen, memperkirakan dibutuhkan total biaya
US$ 26,89 milyar. Apabila aksi lahan gambut dimasukkan, maka
kebutuhan biaya mencapai US$ 36,619 milyar pada tahun 2020.
ICCSR belum menghitung kebutuhan dana dan biaya adaptasi
untuk sub-sektor pembangkit listrik.

Sumber pendanaan

Menurut kajian National Economic, Environment, and Development


Study (NEEDS) yang dilakukan oleh DNPI, terdapat sumber-sumber
pendanaan untuk aksi perubahan iklim di Indonesia terdiri dari: (i)
sumber dana yang sudah ada saat ini (existing sources of funds)
dan (ii) sumber dana potensial di masa depan. Sumber dana yang
tersedia saat ini berasal dari: (i) dana pemerintah (APBN/APBD),
(ii) Dana dari badan/lembaga multilateral dan bilateral (ODA),
(iii) Dana hibah dari lembaga multilateral dan bilateral untuk
perubahan iklim; (iv) dana swasta/organisasi filantropi (nasional
dan internasional). Sumber pendanaan yang potensial di masa
mendatang termasuk diantaranya sumber-sumber pendanaan

56

buku-1-pruf-4.indd 56 3/6/2011 11:36:34 PM


swasta asing dan domestik, serta pendanaan dari sumber-sumber
pasar karbon, misalnya dari proyek Clean Development Mechanism
(CDM), carbon offsets, dan lain sebagainya.

Dalam hal pembiayaan perubahan iklim, sejak 2008


pemerintah Indonesia telah menerima pinjaman dalam bentuk
development program loans (DPL), serta climate change policy loan
(CCPL), dari pemerintah Perancis (AfD), Jepang (JICA) dan yang
baru masuk pada tahun 2010 berasal dari Bank Dunia. Hingga
tahun 2010, jumlah pinjaman DPL/CCPL dari tiga institutsi tersebut
telah mencapai 2 milyar USD. Pinjaman-pinjaman tersebut
tidak ditujukan untuk sebuah proyek tertentu, tetapi pinjaman
yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagai bagian dari
anggaran pemerintah ditujukan untuk membantu pemerintah
Indonesia mengembangkan kebijakan dan program yang dapat
membantu Indonesia menuju pembangunan rendah karbon, dan
pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Terkait dengan pinjaman
tersebut pemerintah juga telah memberikan komitmennya untuk
menyelesaikan serangkaian kebijakan dan langkah terkait dengan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam praktis dana DPL dan
CCPL dipakai sebagai penutup defisit anggaran pemerintah.

Selain pinjaman program, tersedia juga pinjaman proyek


misalnya proyek di sektor listrik dan panas bumi (geothermal)
dan tenaga air (hydro power) yang berasal dari lembaga-lembaga
keuangan multilateral dan bilateral, seperti misalnya World Bank,
Asia Development Bank, KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau/

57

buku-1-pruf-4.indd 57 3/6/2011 11:36:34 PM


Bank Jerman), JICA (Japan International Corporation Agency), dan
sebagainya. Selain itu terdapat juga seeds fund sebagai modal
bergulir dan pinjaman lunak yang ditujukan untuk proyek-proyek
yang ramah terhadap lingkungan, seperti program IEPC yang
didukung oleh KfW dan PAE yang didanai oleh JBIC (JICA).

Sejumlah dana hibah yang juga tersedia untuk Indonesia


untuk dua hingga empat tahun mendatang, sebagian besar
ditujukan untuk aksi-aksi mitigasi, diantaranya Climate Investment
Fund (CIF), yang terdiri dari Clean Technology Fund dan Forest
Investment Program, sebagai bagian dari program yang dikelola
oleh World Bank dan ADB, yang ditujukan untuk mendukung
proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia. Untuk program
REDD, tersedia dana hibah UN-REDD, yang saat ini dikelola oleh
UNDP. Dana ini bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia
dalam mempersiapkan implementasi program REDD. Selain itu
terdapat juga dana Technical Assistance dari Global Environmental
Facility (GEF) untuk pengembangan panas bumi, efisiensi energi,
dan restorasi ekosistem kehutanan.

Institusi Pendanaan Iklim

Untuk memobilisasi pendanaan perubahan iklim dari sumber-


sumber dana-dana publik, khususnya dari institusi bilateral dan
multilateral dan dana dari pemerintah Indonesia sendiri, dibentuk
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pada tahun 2009 oleh

58

buku-1-pruf-4.indd 58 3/6/2011 11:36:34 PM


pemerintah Indonesia dibawah koordinasi BAPPENAS. Dana yang
dikelola ICCTF diperuntukkan bagi pendanaan program-program
mitigasi dan adapatasi yang sesuai dengan sectoral roadmap
BAPPENAS.

Selain ICCTF, dibentuk juga Indonesia Green Investment Fund


(IGIF) oleh Kementerian Keuangan. Pengelolaan IGIF dilakukan
oleh unit Pusat Investasi Pemerintah (PIP), salah satu unit dibawah
Kementerian Keuangan. Tujuan dari IGIF adalah menarik pendanaan
dan mendorong investasi yang bersumber dari sektor swasta
dan yang berbasis pasar (market based funding) untuk mendanai
proyek-proyek investasi rendah emisi karbon. IGIF dirancang sebagai
instrumen koordinasi dengan pendanaan swasta dalam memenuhi
kebutuhan investasi skala besar.

Model institusi ICCTF dan IGIF merupakan hal baru, terlebih


lagi dalam hal pendanaan untuk pembiayaan program atau proyek
perubahan iklim. Pembentukan fasilitas semacam ini boleh jadi
menempatkan Indonesia pada jajaran terdepan diantara negara-
negara berkembang lain dalam hal kesiapan untuk mengakses dana-
dana internasional yang berada dibawah UNFCCC, maupun yang
berada diluar UNFCCC di masa yang akan datang. Kedua lembaga
ini, minimal telah mengadopsi standar tata kelola keuangan dengan
standar internasional dalam struktur institusi maupun prinsip-
prinsip operasinya, yang merupakan tuntutan terbesar dari negara-
negara donor internasional saat ini.

59

buku-1-pruf-4.indd 59 3/6/2011 11:36:34 PM


7 Tantangan Implementasi
Program Aksi mengatasi
Perubahan Iklim

SEBAGAIMANA yang telah disampaikan oleh Presiden RI pada


pertemuan G-20 tahun 2009 lalu, Indonesia berkomitmen
melaksanakan konsep ekonomi rendah karbon, yang kemudian
dituangkan kedalam target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan
41 persen dari business as usual. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kemiskinan dan pengangguran adalah tantangan yang
harus dihadapi di dalam negeri. Keinginan untuk berperan dalam
menyelesaikan pemanasan global dan prioritas di dalam negeri
melahirkan tantangan baru. Tantangan tersebut adalah bagaimana
menyusun kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim yang mendukung strategi pro-growth, pro-poor & pro-job,
yang sekaligus dapat pula mendukung pencapaian pembangunan
ekonomi yang rendah karbon (ERK), yang merupakan konsep baru
di dalam wacana pembangunan Indonesia.

Setelah hampir setahun penurunan emisi dicanangkan, masih


terdapat tantangan untuk adanya dukungan komitmen melakukan

60

buku-1-pruf-4.indd 60 3/6/2011 11:36:34 PM


penurunan emisi GRK secara suka rela dari berbagai kalangan.
i Salah satu isu yang menjadi wacana perdebatan akhir-akhir ini
adalah terkait program penurunan GRK yang merupakan turunan
i dari kesepakatan Indonesia dan Norwegia. Masih terdapat sejumlah
kalangan pengusaha dan akademisi yang mempertanyakan
manfaat langsung dari komitmen Indonesia dalam melakukan
penurunan emisi GRK. Sejumlah kalangan yang kontra terhadap
rencana ini menganggap mitigasi GRK bukanlah tanggung jawab
Indonesia sebagai negara berkembang. Pihak ini menganggap
bahwa komitmen Presiden kepada masyarakat dunia dikuatirkan
dapat menurunkan keunggulan ekonomi Indonesia, menghambat
investasi dan menutup peluang usaha.12

Penolakan tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah


saat ini yaitu bagaimana agar keinginan politis yang kuat untuk
membawa Indonesia menempuh jalur ERK mendapatkan dukungan
dari kalangan yang lebih luas, baik birokrasi, masyarakat sipil,
dan pengusaha. Salah satu caranya adalah mengkomunikasikan
gagasan ERK kepada seluruh pemangku kepentingan secara
intensif, termasuk juga kepada pemerintah daerah, serta berupaya

12 Sofyan Wanandi, salah satu pengusaha terkemuka yang secara terbuka


menentang pernjanjian kerjasama Indonesia dengan Norwegia yang memasukan
aksi moratorium di sektor kehutanan. Berita ini dapat dilihat di: http://www.
suarakarya-online.com/news.html?id=261322; Sejumlah akademisi juga
mempertanyakan tentang justifikasi ilmiah dari rencana moratorium tersebut
terhadap target penurunan emisi yang telah dicanangkan oleh pemerintah:
http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/03/skepticism-mounts-benefits-
moratorium.html

61

buku-1-pruf-4.indd 61 3/6/2011 11:36:34 PM


memberikan keyakinan bahwa pilihan untuk melaksanakan
ERK serta upaya-upaya mewujudkan green growth di Indonesia
sesungguhnya memiliki nilai positif dan baik untuk mencapai
keunggulan ekonomi di masa mendatang. Argumentasi yang
berdasar pada biaya dan manfaat secara jujur perlu disampaikan
mengingat implementasi di tahap awal biasanya berat. Dukungan
dari pemangku kepentingan diperlukan, dengan mempertimbangkan
bahwa berbagai kebijakan dan peraturan yang akan disusun untuk
mencapai tingkat penurunan emisi yang telah ditargetkan perlu
dilaksanakan oleh berbagai pihak yang terkait.

Selain itu perlu diwaspadai pula bahwa implementasi berbagai


kebijakan ini dalam jangka pendek akan menimbulkan ongkos sosial
dan politik, yang dapat beresiko memukul balik pemerintah saat ini.
Oleh karena itu, upaya penjelasan dan penyebar-luasan informasi
kebijakan perlu dilakukan secara pro-aktif. Begitu pula kajian
paska implementasi serta keteguhan untuk mengawal komitmen
ini diperlukan guna meredam berbagai efek distorsi yang dapat
menarik mundur Indonesia dari jalur pembangunan yang berbasis
pada ekonomi rendah karbon.

Tantangan lainnya adalah mencapai keseimbangan dalam


melaksanakan program adaptasi dan mitigasi. Sejauh ini, wacana
yang lebih mengemuka adalah aksi mitigasi. Pidato Presiden di forum
G20 tahun 2009 lalu lebih banyak menekankan komitmen Indonesia
untuk melakukan mitigasi, tetapi hanya sedikit saja mengangkat
kebutuhan untuk adaptasi. Rendahnya prioritas terhadap adaptasi

62

buku-1-pruf-4.indd 62 3/6/2011 11:36:35 PM


sedikit banyaknya tercermin dalam bentuk kerjasama bilateral
dan multilateral serta berbagai aktivitas institusi pemerintah dan
non-pemerintah yang menangani perubahan iklim akhir-akhir ini.
Terdapat kesan bahwa prioritas untuk mitigasi lebih didahulukan,
ketimbang adaptasi. Padahal ancaman perubahan iklim di berbagai
sektor dan wilayah Indonesia cukup serius, sesuai dengan hasil
kajian yang telah dilakukan selama ini.

Dalam konteks adaptasi perubahan iklim, koordinasi dan


integrasi program antar sektor masih merupakan tantangan yang
besar. Sejauh ini pemerintah telah mendorong kebijakan dan strategi
adaptasi di tingkat sektoral dengan upaya integrasi antar-sektor
yang minim. Sejumlah sektor yang rentan terhadap perubahan iklim
berusaha membuat penilaian kerentanan (vulnerability assessment)
dan merumuskan strategi dan program adaptasi sektoral.

Mengingat adaptasi perubahan iklim memiliki dimensi


lokalitas tetapi juga lintas sektoral, dan saling kait mengkait
maka salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi
hambatan ini adalah mempercepat proses koordinasi antar sektor
untuk mendorong pengarusutamaan adaptasi dalam perencanaan
pembangunan nasional, membentuk jaringan informasi ancaman
bencana akibat perubahan iklim, serta strategi adaptasi yang
terintegrasi di berbagai sektor. Untuk itu perlu memperbesar
alokasi pendanaan pada APBN/APBD untuk aksi-aksi adaptasi,
dan juga peran institusi yang dibentuk khusus untuk menangani

63

buku-1-pruf-4.indd 63 3/6/2011 11:36:35 PM


perubahan iklim, yaitu DNPI perlu dioptimalkan,13dengan dukungan
dari BAPPENAS dan Kementerian Keuangan yang vital untuk
mendorong integrasi antar-sektor tersebut dalam konteks integrasi
perencanaan pembangunan dan penganggaran.

Dengan terdapatnya rencana untuk penyusunan Peraturan


Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagai dasar hukum untuk mencapai
penurunan emisi 26 dan 41 persen, tantangan yang dihadapi
saat ini adalah: (i) bagaimana konsistensi kebijakan pasca 2014,
setelah pemerintahan Presiden Yudhoyono berakhir; (ii) bagaimana
menurunkan target pengurangan emisi setiap sektor yang telah
ditetapkan menjadi program-program sektoral yang rinci dan dapat
memberikan hasil penurunan emisi yang dapat diukur, dilaporkan
dan diverifikasi (MRV-able); (iii) bagaimana menerjemahkan dan
menurunkan berbagai target penurunan emisi sektoral kedalam
rencana pembangunan provinsi, dan kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.

Kekuatiran tentang konsistensi implementasi rencana aksi


paska 2014 sangatlah beralasan, mengingat target penurunan

13 Sesuai dengan Pasal 3, Peraturan Presiden No. 46/2008, dua dari empat
tugas DNPI adalah: (a) Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program
dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; (b) Mengkoordinasikan kegiatan
dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan
adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan.

64

buku-1-pruf-4.indd 64 3/6/2011 11:36:35 PM


emisi adalah program utama dari pemerintahan saat ini dan
belum tentu menjadi komitmen rezim sesudahnya. Sudah lazim
didengar jargon: “ganti pimpinan, ganti kebijakan.” Resiko bahwa
pemerintah Indonesia paska 2014 tidak melanjutkan rencana ini,
atau melanjutkan dengan prioritas yang lebih rendah, tetap saja
ada. Ditambah lagi Copenhagen Accord bukanlah keputusan yang
mengikat bagi para pihak yang memberikan dukungannya, demikian
juga target penurunan emisi secara sukarela yang disampaikan oleh
negara-negara pendukung Copenhagen Accord.

Dalam rangka menghadapi kemungkinan inilah, implementasi


rencana aksi penurunan emisi dalam lima tahun mendatang (2010-
2014) mempunyai nilai penting untuk memberikan indikasi dan bukti
bahwa target tersebut dapat tercapai (achievable). Keberhasilan
melaksanakan penurunan emisi sekaligus juga meletakkan landasan
yang kuat untuk kesinambungan pelaksanaan rencana aksi ini untuk
periode lima tahun berikutnya. Dengan demikian target penurunan
emisi 26 persen dari skenario business as usual pada tahun 2020
dan peta jalan untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon dapat
terwujud.

Tantangan selanjutnya adalah merealisasikan target penurunan


emisi di masing-masing bidang dan sektor kedalam program kerja
instansi kementerian/lembaga yang mendapatkan tugas (lihat
tabel 2), dengan hasil yang terukur dan dapat diverifikasi. Saat ini
sejumlah strategi dan rencana aksi yang mendukung penurunan
emisi tertera dalam naskah ICCSR yang dikembangkan oleh
Bappenas. Walaupun dokumen ICCSR terlihat cukup komprehensif,

65

buku-1-pruf-4.indd 65 3/6/2011 11:36:35 PM


namun berbagai program aksi yang diindikasikan dalam program
ini tidak dapat serta merta dilaksanakan oleh kementerian lembaga
yang bersangkutan. Pelaksanaannya masih memerlukan koordinasi
dan kerjasama antar instansi, diluar instansi yang bertanggung
jawab terhadap target tersebut.

Sebagai contoh untuk bidang energi yang salah satu rencana


aksinya adalah pengembangan energi terbarukan. Rencana yang
terindikasi adalah meningkatkan penetrasi energi terbarukan
untuk produksi tenaga listrik. Penanggung jawab bidang ini adalah
Kementerian ESDM. Diperkirakan tidak mudah bagi Kementerian
ESDM mencapai target yang dibebankan kepada mereka dengan
pertimbangan bahwa investasi pembangkit listrik dari energi
terbarukan sangat bergantung pada berbagai kebijakan insentif
fiskal dan non-fiskal yang tidak berada dalam kendali Kementerian
ESDM, melainkan Kementerian Keuangan. Implementasinya juga
cukup banyak, selain BUMN ada juga pihak swasta.

Rencana aksi penurunan emisi melalui peningkatan efisiensi


mesin kendaraan bermotor, yang juga merupakan tanggung jawab
Kementerian Perhubungan juga membutuhkan koordinasi dan
kerjasama dengan Kementerian Perindustrian yang mengatur
produksi dan standar industri otomotif. Konsekuensi dari rencana
aksi ini adalah menaikkan standar kendaraan bermotor yang beredar
di Indonesia, dan pembatasan produk-produk kendaraan yang
boros BBM. Untuk itu tidak saja dibutuhkan standar industri yang
lebih tinggi, tetapi juga kebijakan dan aturan perdagangan yang
lebih ketat, serta berbagai kebijakan disinsentif yang mendorong
konsumen membeli kendaraan bermotor yang boros BBM.

66

buku-1-pruf-4.indd 66 3/6/2011 11:36:35 PM


Sejumlah rencana aksi juga membutuhkan kerjasama dan
kemampuan Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikannya.
Misalnya rencana penurunan emisi melalui perbaikan kualitas
transportasi publik di perkotaan dan memperbaiki transport demand
management (TDM) khususnya di kota-kota besar. Dalam era
otonomi daerah, kebijakan transportasi perkotaan adalah tanggung
jawab dari pemerintah daerah. Oleh karenanya, rencana ini harus
sepenuhnya mendapatkan dukungan dari Pemda yang perlu
dituangkan dalam perencanaan dan prioritas pembangunan daerah
serta alokasi anggaran yang memadai dalam APBD-nya. Berbagai
contoh lain dapat dilihat pada sejumlah bidang lainnya, misalnya
pengelolaan lahan gambut dan kehutanan, serta pengelolaan
limbah/sampah kota.

Tantangan lain adalah implikasi biaya dari pelaksanaan


sejumlah rencana aksi yang dituangkan dalam RAN-GRK. Beberapa
rencana aksi yang dipilih sepertinya tidak didasarkan pada prinsip
marginal abatement cost, yang merupakan syarat penting dalam
menentukan prioritas aksi dalam kondisi sumberdaya yang terbatas.
Contoh di sektor energi misalnya peningkatan konsumsi bio-fuel.
Implementasi aksi mungkin tidak terlalu tepat sebagai bagian
dari pencapaian target karena biaya penurunan emisi dari aksi ini
sebenarnya relatif tinggi, sebagaimana yang disajikan pada kurva
biaya DNPI.14

14 Laporan Indonesia GHGs Abatement Cost Curve oleh DNPI dan McKinsey
menghitung abatement cost untuk pemanfaatan bio-diesel dari minyak sawit
mencapai 100 USD per tCO2e (exhibit 21, hal. 30).

67

buku-1-pruf-4.indd 67 3/6/2011 11:36:35 PM


Akses pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim relatif lebih
mudah didapatkan, dibandingkan akses pendanaan untuk adaptasi.
Keterbatasan perhitungan biaya untuk adaptasi secara nasional dan
lintas sektor sebagai dasar untuk prioritas aksi mempersulit alokasi
dana untuk adaptasi dan selanjutnya proses penggangaran. Dengan
terbatasnya komitmen dunia internasional untuk menyediakan
dana adaptasi untuk perubahan iklim, termasuk mekanisme
pendanaan yang saat ini tersedia dibawah UNFCCC, menyebabkan
program-program adaptasi sepertinya harus didanai dari anggaran
pemerintah (APBN/APBD) atau pinjaman luar negeri. Tantangan
saat ini adalah menetapkan prioritas aksi yang akan didanai, dengan
mempertimbangkan keterbatasan ruang fiskal pada anggaran yang
ada, serta tarik-menarik dengan prioritas untuk aksi mitigasi yang
telah ditetapkan sebagai kebijakan nasional.

Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam mendorong


tercapainya target penurunan emisi rumah kaca. Kajian Green
Paper on Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change
in Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan
merekomendasikan penerapan pajak/pungutan karbon pada bahan
bakar fossil dengan potensi pendapatan sebesar 95 triliun rupiah
per tahun. Penerapan kebijakan ini dapat menjadi pendorong bagi
pencapaian sejumlah rencana aksi dalam RAN-GRK misalnya
efisiensi energi, efisiensi bahan bakar kendaraan, dan penetrasi
energi terbarukan, dan sebagainya. Selain itu, pajak karbon ini dapat
menjadi sumber pendanaan domestik untuk kegiatan adaptasi dan
mitigasi.

68

buku-1-pruf-4.indd 68 3/6/2011 11:36:35 PM


Walaupun rekomendasi ini baik dalam konteks kebijakan
perubahan iklim, pelaksanaannya membutuhkan sejumlah reformasi
kelembagaan dan aturan perpajakan, serta kebijakan harga energi
domestik. Selain itu diperlukan strategi untuk melakukan persuasi
kepada publik, mengantisipasi penolakan dari sektor industri
dan bisnis, serta efek penurunan kesejahteraan pada kelompok
masyarakat miskin.

69

buku-1-pruf-4.indd 69 3/6/2011 11:36:35 PM


Rekomendasi
Kebijakan

1. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, perubahan iklim


sangat erat kaitannya dengan pembangunan dan kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan mengenai
perubahan iklim harus meliputi strategi dan kebijakan adaptasi
serta mitigasi yang saling terkait yang tidak dapat dilepaskan
dari upaya pengentasan kemiskinan dan penanggulangan
serta pengendalian bencana.

2. Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah


Kaca sebagai acuan kegiatan pencapaian target sukarela
penurunan emisi dapat segera diterjemahkan dalam kebijakan
dan rencana kegiatan di masing-masing sektor dengan
mempertimbangkan pilihan aksi dengan biaya terendah (least
cost options), terutama bagi kegiatan yang dicanangkan
dengan sumber pendanaan dalam negeri.

70

buku-1-pruf-4.indd 70 3/6/2011 11:36:35 PM


3. Implementasi di tingkat sektor dalam bentuk program
kementerian dan lembaga memerlukan kebijakan dan petunjuk
pelaksanaan yang lebih operasional. Karenanya, program kerja
di kementerian dan lembaga terkait untuk tahun 2011 penting
difokuskan pada upaya ini sehingga target pencapaian dapat
ditetapkan dan menjadi salah satu indikator penilaian dan
kinerja dari kementerian dan lembaga terkait serta kepastian
dalam alokasi anggaran (APBN/APBD).

4. Akuntabilitas dan transparansi merupakan hal yang tidak


dapat dikesampingkan, karenanya perlu dikembangkan
peraturan mengenai standar MRV (pengukuran, pelaporan
dan verifikasi) di setiap kementerian dan lembaga sehingga
pencapaian target sukarela dapat dipertanggungjawabkan,
termasuk di tingkat internasional bagi kegiatan yang didukung
dengan dana internasional.

5. Koordinasi implementasi rencana aksi dan juga perumusan


arah, strategi dan kebijakan mengenai perubahan iklim
merupakan hal penting dan karenanya fungsi serta peran
DNPI sesuai dengan Peraturan Presiden no. 46/2008 harus
optimal dengan adanya dukungan dari sektor, kementerian
dan lembaga terkait.

6. Program pengembangan kapasitas harus segera dilakukan


bagi:

71

buku-1-pruf-4.indd 71 3/6/2011 11:36:35 PM


a. Kementerian dan lembaga pemerintah pusat untuk
dapat (a) mengintegrasikan strategi mitgasi dan adaptasi
perubahan iklim ke dalam perencanaan program kegiatan
di kementerian dan lembaga, serta (b) membuat program
kerja yang terukur dan terjangkau dengan pemantauan
dan evaluasi kinerja secara kualitatif dan kuantitatif.

b. Pemerintah daerah (Pemda) untuk dapat mengintegrasikan


konsep dan pendekatan ekonomi rendah karbon dalam
perencanaan pembangunan daerah.

7. Pentingnya kajian lebih lanjut terkait dengan sumber


pembiayaan domestik baik bagi adaptasi maupun mitigasi
dengan pengembangan instrumen fiskal dan non-fiskal,
peningkatan peran perbankan maupun pasar karbon untuk
mendorong pembangunan rendah karbon dan penurunan
emisi secara nyata.

8. Perlu segera disusun mekanisme koordinasi dan penguatan


kelembagaan pendanaan perubahan iklim yang ada (ICCTF dan
IGIF) dengan mekanisme dan institusi keuangan lain). Penting
pula untuk segera disusun mekanisme pengawasan (oversight
mechanisms) untuk memastikan tata kelola dan efektivitas
investasi dan pembiayaan serta tercapainya sasaran integritas
sosal dan kelestarian lingkungan dalam pelaksanaannya.

72

buku-1-pruf-4.indd 72 3/6/2011 11:36:35 PM


9. Penting untuk dilakukan edukasi di tingkat kementerian dan
lembaga, pemerintah daerah dan publik untuk mendorong
terlaksananya upaya penurunan emisi secara nyata.

10. Perlu dikembangkannya kegiatan dan proyek uji coba di


tingkat propinsi maupun kabupaten/kota sebagai bentuk
lanjutan dari edukasi yang telah dilaksanakan untuk dapat
mencapai target sukarela penurunan emisi GRK.

Rekomendasi khusus terkait dengan fungsi


anggaran dan pengawasan pembangunan DPR:

11. Perlu dipastikan kesesuaian anggaran dalam hal jumlah dan


peruntukannya di tingkat kementerian dan lembaga untuk
pelaksanaan program dan kegiatan penurunan emisi GRK.

12. Perlu dipastikan keseimbangan adaptasi dan mitigasi


perubahan iklim dalam program pembangunan jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang sesuai dengan kondisi
spesifik di tiap sektor dan wilayah.

73

buku-1-pruf-4.indd 73 3/6/2011 11:36:35 PM


buku-1-pruf-4.indd 74 3/6/2011 11:36:35 PM
FA_rev_3_Kebijakan berbasis_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:26 AM

KERTAS KEBIJAKAN

CM

MY

CY

CMY

Kebijakan berbasis
Lingkungan Hidup dan
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan
Kurnya Roesad
buku-2-pruf-4.indd 76 3/6/2011 11:41:14 PM
Kebijakan Berbasis
Lingkungan Hidup

&
Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan

Kurnya Roesad
Supervised by Mubariq Ahmad

buku-2-pruf-4.indd 77 3/6/2011 11:41:14 PM


Kebijakan berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan
Penulis: Kurnya Roesad Supervised by Mubariq Ahmad

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.
Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini
dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

Indeks

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Tel.: 62-21-7256012-13
Fax: 62-21-7203868
E-mail: Indonesia@fnst.org
www.fnsindonesia.org

buku-2-pruf-4.indd 78 3/6/2011 11:41:14 PM


Kebijakan berbasis Lingkungan
Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan1
Kurnya Roesad
Supervised by Mubariq Ahmad

Pendahuluan

MENGATASI perubahan iklim merupakan agenda utama bagi


pembangunan dunia internasional saat ini. Negara besar yang
sedang berkembang seperti Indonesia menjadi salah satu kontributor
terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GHG/ Greenhouse Gas emissions),
tetapi juga menjadi korban yang terkena dampak langsung dari
perubahan iklim itu. Untuk menghadapi masalah ini, para pembuat
kebijakan berbasis lingkungan di Indonesia harus memperhatikan
keseimbangan dua hal. Pertama adalah perlunya pertumbuhan
ekonomi yang baik untuk mencapai tujuan tradisional pembangunan
ekonomi yaitu; menciptakan kesejahteraan, membuka lapangan

1 Kurnya Roesad, RMAP/ Crawford School of Economics and Government, ANU

79

buku-2-pruf-4.indd 79 3/6/2011 11:41:15 PM


pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan. Yang kedua adalah
menjaga kualitas lingkungan hidup untuk mempertahankan
kelangsungan sumber daya alam yang ada.
Makalah ini menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan hidup
yang komprehensif – dalam kerangka strategi per­tumbuhan ekonomi
rendah karbon- menjadi penting untuk mencapai dua tujuan tadi.
Bagian pertama makalah ini akan menjelaskan latar belakang
kebijakan pertumbuhan ekonomi rendah karbon dan bagaimana
profil dan proyeksi emisi Indonesia menentukan kemungkinan dan
tantangan mitigasi iklim. Bagian ke dua membahas secara khusus
segi ekonomi- keuntungan yang mungkin diperoleh dan biaya
yang harus dikeluarkan baik secara keseluruhan maupun sektoral,
apabila kebijakan mitigasi iklim itu diterapkan di Indonesia. Bagian
ke tiga akan menguraikan tantangan yang harus dihadapi dalam
penerapan kebijakan dengan prioritas pada sektor tertentu-
adaptasi, kehutanan dan energi. Bagian terakhir merangkum semua
hasil temuan.

80

buku-2-pruf-4.indd 80 3/6/2011 11:41:15 PM


1 Pembangunan
Indonesia Sebagai
Gerakan Menuju
Ekonomi Rendah
Karbon
MENGATASI perubahan iklim global telah menjadi agenda utama
dalam pembangunan dunia saat ini. Hampir seluruh lembaga
pembangunan dan keuangan multilateral mengakui kesimpulan
ilmiah dari Panel Antarbangsa Mengenai Perubahan Iklim (IPCC/
Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan
bahwa perubahan iklim sedang terjadi dan emisi yang dihasilkan
dari aktivitas manusia (antropogenik) menjadi penyebab utama.
Seperti dikemukakan dalam catatan IPCC 2007 dibawah ini:

“Kenaikan suhu dalam sistem iklim adalah hal yang tidak dapat
dipungkiri lagi. Observasi telah membuktikan adanya peningkatan
temperatur atmosfer dan laut di seluruh dunia, mencairnya salju dan
es dalam spektrum luas, dan naiknya rata-rata suhu dan permukaan

81

buku-2-pruf-4.indd 81 3/6/2011 11:41:15 PM


air laut <….> Sebagian besar dari pemanasan global yang terjadi
dalam kurun waktu 50 tahun terakhir disebabkan meningkatnya emisi
gas gumah kaca dan besar kemungkinan adanya peningkatan suhu
rata-rata yang disebabkan aktivitas manusia (antropogenik) di setiap
benua (kecuali Antartika) <….> Pemanasan antropogenik yang terjadi
dalam tiga dekade terakhir sangat mungkin karena adanya pengaruh
berskala global di mana perubahan fisik dan sistem biologis banyak
terjadi” (IPCC, halaman 72).

Tinjauan terbaru tentang emisi CO2 menunjukkan bahwa


tanpa usaha mitigasi yang kolaboratif, dunia akan mengalami
bencana besar di mana temperatur air laut rata-rata menjadi 50
Celsius lebih tinggi dibandingkan masa pra-industri (IPCC 2009).
Dengan kearifan konvensional hal itu di atasi dengan menstabilkan
emisi gas rumah kaca global pada angka 450 ppm dari ekuivalen
CO2 untuk menjaga pemanasan global tetap pada 20 Celsius, atau
pada tingkatan di mana kebudayaan manusia dapat beradaptasi
dari akibat terburuk perubahan iklim dengan biaya relatif rendah
(Stern 2006, World Bank 2010c)
Konsekuensi fisik dari perubahan iklim global termasuk
perubahan pola curah hujan, naiknya permukaan air laut (diperburuk
dengan adanya gelombang badai), terjadinya cuaca ekstrim dengan
intensitas dan frekuensi yang makin tinggi, dan meningkatnya
prevalensi penyakit akibat vektor (organisma seperti nyamuk aedes
aegypti sebagai perantara penyakit Demam Berdarah/ vector-borne

82

buku-2-pruf-4.indd 82 3/6/2011 11:41:15 PM


disease)- dan juga terjadinya peningkatan fenomena bencana
berskala dunia, seperti perputaran balik Arus Teluk (Gulf Stream)
atau men­cairnya lapisan es Greenland.

Kegagalan ekonomi yang disebabkan pemanasan global


cukup besar dan substansial. Tinjauan (Review) Stern (2006)
mengemukakan dalam kerangka business-as-usual (BAU); bila
langkah-langkah serius menuju mitigasi iklim tidak dilakukan, maka
dunia harus menginvestasikan satu persen dari total GDP (Gross
Domestic Products) per tahun untuk memitigasi akibat terburuk dari
perubahan iklim. Bank Dunia memperhitungkan bahwa 75 sampai
80% dari kerusakan lingkungan yang disebabkan perubahan iklim
harus ditanggung negara-negara berkembang (Bank Dunia 2010c)

Akibat ekonomis yang harus ditanggung negara-negara


berkembang terlihat jelas dengan adanya penurunan produktivitas
ekonomi. Penurunan ini khususnya dialami sektor perikanan dan
pertanian, dalam bentuk penurunan produktivitas perikanan
dan pertanian, kerusakan infra­struktur, hilangnya area dan
pemukiman produktif karena tergenangnya lahan, punahnya
spesies mahluk hidup, dan menurunnya integritas ekosistem
sebagai sistem pendukung kehidupan (Ahmad, 2010). Akibat lain
adalah meningkatnya tekanan-tekanan pada sistem pengelolaan
kesehatan dan air, perubahan pola perdagangan, perubahan aliran
dana investasi internasional, dan peningkatan pola migrasi. Semua
faktor ini akan meningkatkan kerentanan negara berkembang
terhadap kemungkinan adanya guncangan.

83

buku-2-pruf-4.indd 83 3/6/2011 11:41:15 PM


Akibat dari perubahan iklim global memang sangat nyata,
dan Indonesia harus menghadapi komunitas internasional di mana
sebagian besar perekonomian negara-negara maju ini bertitik tolak
dari jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Sebagian besar
negara dunia, terutama yang berekonomi maju, telah memiliki
komitmen untuk mengusahakan reduksi emisi. Walaupun COP 15
di Copenhagen gagal mendapatkan titik temu dalam membuat
kebijakan yang mengikat dalam hal penanggulangan perubahan iklim
setelah periode pertama Protokol Kyoto berakhir tahun 2012 nanti,
komunitas inter­nasional tidak mencoret masalah perubahan iklim
dari agenda utama mereka. Komunike Copenhagen (Copenhagen
Accord?) berhasil membuat negara-negara berkembang (developing
economies) menyusun komitmen baru untuk mereduksi emisi, di
mana mereka memiliki tujuan yang sama dengan negara-negara
maju (developed economies). Semua menyusun target ambisius
menyangkut energi terbarukan untuk mencapai target emisi yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Tabel 1 : Target Emisi dan Energi Terbarukan di Negara Tertentu.

Target Reduksi Emisi Target Energi Terbarukan

Australia 5-25% di bawah emisi pada 20% pada tahun 2020, dari 8% di
tahun 2000 tahun 2007
China 40-45% di bawah emisi 2005 15% pada tahun 2020, dari 8% di
dalam intensitas emisi tahun 2006
Indonesia 26-41% di bawah BAU 15% pada tahun 2025 (termasuk
(business as usual) nuklir)

84

buku-2-pruf-4.indd 84 3/6/2011 11:41:15 PM


Japan 25 % di bawah emisi 1990 16TwH pada tahun 2014
Korea 30% di bawah BAU 6.08 % pada tahun 2020, dari 2.7 %
di tahun 2009
Malaysia Target akan diumumkan pada tahun
2011
Singapore 16% di bawah BAU
Thailand 30% di bawah BAU 20% pada tahun 2022
Philippines perbaikan100% dibandingkan
angka 2005 – 2015
USA 17% di bawah BAU Tidak Ada Target Nasional, 30
negara bagian telah punya target
masing-masing yang ditentukan
sebelumnya
Vietnam 5% pada tahun 2020, dari 3% di
tahun 2010

Sumber: Rangkuman yang disarikan dari dokumen nasional, usulan kepada


UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate
Change) dan “Olz and Beerepoot” (2010), sebagaimana diuraikan
dalam data Bank Dunia, (2010c)

Komitmen untuk mereduksi emisi gas rumah kaca perlu


didukung oleh kebijakan politik yang kongkrit untuk mencapai
tujuan ambisius itu. Semua negara harus mengadopsi strategi
ekonomi rendah karbon dengan membuat dan memakai produk
berkarbon rendah atau dengan intensitas karbon yang rendah, dan
menghitung faktor lingkungan dalam menentukan harga produk
(pricing environmental externalities).

85

buku-2-pruf-4.indd 85 3/6/2011 11:41:15 PM


Tren emisi menunjukkan bahwa usaha mereduksi emisi
merupakan hal yang sulit dicapai. Yang harus digaris-bawahi di
sini adalah emisi harus dilihat sebagai akibat (corollary) dari hasil
pertumbuhan. Emisi selalu mengacu pada pertumbuhan GDP di
hampir semua negara (lihat Tabel 2). Untuk menurunkan emisi
ke tingkatan di bawah angka skenario BAU (business-as-usual),
pertumbuhan ekonomi, pada tatanan tertentu, harus dipisahkan
dari emisi. Untuk mencapainya, ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama, pola produksi harus decarbonized (produk yang dihasilkan
rendah karbon atau kandungan karbonnya dikeluarkan). Hal ini
dicapai dengan efisiensi energi dan diarahkan supaya sumber
energi bersih lebih banyak digunakan. Kedua, perbaikan perilaku
konsumtif harus diarahkan pada tingkatan berkelanjutan.

Tabel 2: GDP, Pertumbuhan Emisi dan Energi (%)

Angka Pertumbuhan Tahunan Rata- 2000-


rata 1971-1990 1990-2000 2005

Dunia

Pertumbuhan Emisi 2.1 1.1 2.9

Pertumbuhan GDP 3.4 3.2 3.8

Pertumbuhan Energi 2.4 1.4 2.7

OECD (Organization for Economic


Cooperation and Development)

86

buku-2-pruf-4.indd 86 3/6/2011 11:41:15 PM


Pertumbuhan Emisi 0.9 1.2 0.7

Pertumbuhan GDP 3.2 2.7 2.1

Pertumbuhan Energi 1.5 1.6 0.8

Non-OECD

Pertumbuhan Emisi 4.2 0.9 5.5

Pertumbuhan GDP 3.8 4 6.2

Pertumbuhan Energi 3.8 1 4.6

Sumber: Garnaut, Howes, Jotzo, Sheehan (2008)

Strategi pertumbuhan rendah karbon di suatu negara


tergantung dari mitigasi iklim dan kemampuannya beradaptasi,
yang juga bergantung dari profil emisi negara itu.
Indonesia menjadi korban, tapi juga kontributor per­ubahan
iklim. Sektor pertanian negara ini masih signifikan. Hal ini membuat
Indonesia rentan terhadap pola perubahan cuaca ekstrim. Usaha
untuk mengurangi kemiskinan akan sangat bergantung pada
langkah-langkah adaptasi dengan menjaga sistem produksi
cadangan pangan. Dengan kata lain, Indonesia, berada paling

87

buku-2-pruf-4.indd 87 3/6/2011 11:41:16 PM


depan sebagai negara yang memiliki hutan hujan terbesar di dunia,
dengan aktivitas pengrusakan hutan (deforestation) yang menjadi
penyebab utama tingginya emisi gas rumah kaca.

Gambar 1: 25 Negara dengan Emisi CO2 Tertinggi (2004)


Sumber: International Energy Agency (2007) [www.iea.org]

Data tren emisi menunjukkan bahwa Indonesia termasuk


dalam 25 negara penghasil emisi terbesar, bila emisi berbasis
hutan termasuk dalam perhitungan penyebab emisi. Berdasarkan
pada hitungan pembakaran bahan bakar fosil, Indonesia termasuk
dalam 25 negara penghasil emisi CO2 terbesar, atau pada urutan
ke 16 bila Uni Eropa dihitung sebagai satu negara. Tetapi bila
pengrusakan hutan dan perubahan tata guna lahan (land use
change) dimasukkan dalam perhitungan penyebab tingginya emisi

88

buku-2-pruf-4.indd 88 3/6/2011 11:41:17 PM


CO2 yang dihasilkan satu negara, maka Indonesia menjadi salah
satu negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia2.

Profil emisi Indonesia menunjukkan bahwa tata guna


lahan dan perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF)
mengambil porsi terbesar, diikuti oleh kebakaran lahan gambut,
dan penggunaan energi.

Gambar 2: Sektor Emisi 2005 Source: Indonesia Second National


Communication to the UNFCCC, 2009.

2 Banyak keraguan yang menyertai pendataan emisi dari sumber-sumber berbasis


kehutanan. Data terkini dari Kementrian Kehutanan menunjukkan bahwa pengrusakan
hutan (deforestation) yang terjadi saat ini hanya sepertiga dari angka rata-rata sekitar
akhir 1990an.

89

buku-2-pruf-4.indd 89 3/6/2011 11:41:19 PM


Catatan:
• Peat fire: kebakaran lahan gambut

• LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry):


Penggunaan Lahan, Perubahan Tata guna lahan dan
Kehutanan

• Waste: buangan/ sampah

• Agriculture: pertanian

• Industry: Industri

• Energy: Energi

Emisi CO2 per kapita Indonesia memang tidak terlalu tinggi


bila dibandingkan dengan angka internasional, yaitu 2t CO2 per
kapita. Tapi data ini juga menunjukkan bahwa Indonesia masih
harus mengejar ketinggalan di bidang pertumbuhan ekonomi.
Fakta juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
menggunakan intensitas karbon yang lebih tinggi. Hal ini
ditunjukkan dari data pertumbuhan emisi CO2 per kapita yang
lebih cepat dibandingkan pertumbuhan GDP per kapita. Angka
pertumbuhan per tahun emisi CO2 per kapita naik 3,3 kali lipat
selama tahun 1980 sampai 2004. Dalam kurun waktu yang sama
angka pertumbuhan tahunan GDP per kapita meningkat hanya
2,3 kali lipat, sementara peningkatan pemakaian energi per orang
meningkat 2,1 kali lipat (lihat Gambar 3). Berarti intensitas karbon
dari pemakaian energi itu meningkat pula.

90

buku-2-pruf-4.indd 90 3/6/2011 11:41:19 PM


Gambar 3: Angka Pertumbuhan Tahunan GDP, Penggunaan Energi dan
Emisi per Kapita

Sumber: International Energy Agency (2007) [http://www.iea.org/]

Kita akan melihat lebih jauh lagi kenapa hal ini terjadi. Tabel 3
menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas karbon dari produksi
dan konsumsi listrik disebabkan meningkatnya penggunaan
bahan bakar batubara. Sektor industri dan listrik berperan paling
besar dalam menyebabkan tingginya emisi karena penggunaan
batubara.

91

buku-2-pruf-4.indd 91 3/6/2011 11:41:20 PM


Tabel 3: Emisi CO2 di Indonesia thn 2006 (dalam juta t CO2)

  Sumber Bahan Bakar Fosil    

Total Pertumbuhan
Kelompok Total Persentase Emisi 1990-
Konsumsi Batubara BBM Gas Emisi (%) 2006 (%)

Industri 50.73 23.08 22.32 96.13 29 192

Listrik 57.49 23.22 9.12 89.82 27 309

Transportasi   72.35 0.01 72.36 22 127

Lainnya* 0.06 44.95 31.29 76.3 23 60

Diantaranya;
Residensial 0.06 25.76 0.04 25.86 8 41

Total 86.8 179.6 69.6 334.61 100

Catatan: * ‘Lainnya’ termasuk produsen yang tidak teralokasi dalam


kelompok di atas, dan industri yang menggunakan energi
lainnya.

Sumber: IEA 2008 Annexes

92

buku-2-pruf-4.indd 92 3/6/2011 11:41:20 PM


Gambaran tren emisi ini menunjukkan bahwa Indonesia harus
menghadapi dua tantangan besar. Pertama; dalam jangka pendek
dan menengah, masalah utama adalah bagaimana mereduksi
emisi dari LULUCF (Tata guna lahan, Perubahan Tata guna lahan
dan Kehutanan), termasuk didalamnya penanggulangan kebakaran
lahan gambut. Kedua; dalam jangka panjang, mitigasi emisi yang
berhubungan dengan penggunaan energi akan jadi hal penting di
masa depan, dengan catatan bahwa pemerintah dapat menjaga
keseimbangan pasokan energi- yang didapat dari usaha yang
bergantung pada penggunaan bahan bakar batubara yang lebih
murah- dan mengusahakan target energi terbarukan.

Indonesia sudah berkomitmen untuk mereduksi emisi menjadi


26% lebih rendah dari skenario BAU pada tahun 2020. Tabel 4
merupakan ilustrasi skenario itu. Dimulai dengan angka emisi
tahun 2005, menurut scenario BAU, emisi total akan meningkat
dari 2,12 menjadi 2,95 giga ton (gt) pada tahun 2020. Reduksi emisi
menjadi 26% lebih rendah dari angka BAU pada tahun 2020. Hal
ini akan membuat sektor kehutanan menjadi kontributor terbesar
dalam mengurangi total emisi, diikuti oleh lahan gambut, sampah/
limbah, dan energi. Sebanyak 15% reduksi emisi dapat dicapai
bila bantuan internasional diberikan secara substansial. Hal ini
dilakukan khususnya untuk proyek-proyek berbiaya besar seperti
instalasi geothermal, yang memerlukan investor asing berskala
global untuk pembangunannya (Ahmad 2010a).

93

buku-2-pruf-4.indd 93 3/6/2011 11:41:20 PM


Tabel 4: Proyeksi Emisi Indonesia di tahun 2020

buku-2-pruf-4.indd 94
Target Target
Reduksi Reduksi Skenario
  Emisi (Gt) (26%)   (15%)   Emisi  

  2005 BAU 2020 Giga ton % dari BAU Giga ton % dari BAU 26% 41%

Gambut 0.83 1.09 0.280 9.5 0.057 2.03 0.81 0.75

Sampah 0.17 0.25 0.040 1.6 0.030 1.07 0.2 0.17

Kehutanan 0.65 0.49 0.392 13.3 0.310 11.02 0.1 -0.21

94
Pertanian 0.05 0.06 0.008 0.3 0.003 0.11 0.05 0.05

Industri 0.05 0.06 0.001 0 0.004 0.14 0.06 0.06

Transportasi     0.008 0.3 0.008 0.28 -0.01 -0.02

Energi 0.37 1 0.030 1 0.010 0.36 0.97 0.96

Total 2.12 2.95 0.767 26 0.422 15.01 2.18 1.76

Source: Ahmad
(2010a)

3/6/2011 11:41:20 PM
2 Tantangan dan
Kesempatan untuk
Berbagai Sektor
di Indonesia
YANG menjadi pertanyaan besar sekarang adalah; Apakah reduksi
emisi ini bisa dilakukan tanpa mengganggu per­ekonomian dan
kesejahteraan masyarakat? Berapa biaya yang harus dikeluarkan
dan apa keuntungan menggunakan strategi pertumbuhan rendah
karbon bagi perekonomian Indonesia?

Para ahli ekonomi akan setuju bahwa implementasi


kebijakan berbasis lingkungan dan pertumbuhan ekonomi
akan saling melengkapi, bila biaya memadai dari konsekuensi
sosial dan lingkungan sudah diperhitungkan. Carbon pricing
(penetapan harga karbon) dianggap sebagai instrumen penting
untuk mencapai tujuan itu. Dengan membayar untuk emisi
karbon (dan komponen gas rumah kaca lainnya), sistem insentif
dirubah sedemikian rupa sehingga produsen/ individu pemangku

95

buku-2-pruf-4.indd 95 3/6/2011 11:41:20 PM


kepentingan harus menanggung resiko kerusakan lingkungan
karena aktivitas ekonomi mereka. Harga barang dengan intensitas
karbon tinggi akan terdorong naik, sehingga emisi bisa ditekan.
Pertama, karena kebutuhan konsumen akan bergerak ke arah
produk dengan intensitas emisi yang lebih rendah. Kedua, para
pemasok harus mencari produk yang menghasilkan emisi lebih
rendah, misalnya produk yang menggunakan teknologi efisiensi
energi, atau menggunakan listrik berbahan dasar energi terbarukan.
Ketiga, para investor harus berinvestasi pada proyek-proyek yang
menghasilkan produk dengan intensitas emisi lebih rendah. Sistem
carbon pricing akan memberikan insentif finansial bagi wiraswasta
yang mengembangkan produk baru dengan intensitas emisi lebih
rendah (Sterner 2003, Helm dan Hepburn 2009, IMF 2008).

Pemasukkan dari carbon pricing akan dapat digunakan untuk


mengganti biaya yang harus dikeluarkan untuk program mitigasi.
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemasukkan itu
dapat digunakan untuk mengurangi pajak lain, dan mungkin
akan mengubah biaya menjadi keuntungan. Pemasukkan ini,
paling tidak, dapat mengganti sebagian dari biaya pengawasan
terhadap kemungkinan terjadinya polusi, dan meningkatkan
prospek mendapatkan keuntungan ganda (double dividend) melalui
introduksi penerapan pajak karbon/ carbon tax (IMF 2008).

96

buku-2-pruf-4.indd 96 3/6/2011 11:41:20 PM


Boks 1: Pengalaman Internasional
menerapkan carbon pricing

Skema European Emissions Trading (ETS) adalah skema bisnis/


perdagangan emisi gas rumah kaca (GHG) terbesar di dunia. Didirikan
pada tahun 2005 bersamaan dengan mulai diberlakukannya target
reduksi emisi gas rumah kaca menurut Protokol Kyoto. ETS membatasi
emisi dari 11.500 instalasi energi dan industri di 25 negara yang terbagi
dalam enam sektor industri utama. ETS terkendala beberapa masalah,
yang berujung pada ketidakstabilan harga produk, tetapi beberapa
temuan menunjukkan bahwa skema itu membantu mereduksi emisi
(sebanyak 2 s/d 5% dibawah angka business-as-usual BAU, menurut
Ellerman, et al., 2010).

Lembaga di luar ETS adalah RGGI (Regional Greenhouse Gas Initiative)


yang didirikan pada tahun 2005 oleh tujuh negara bagian di Amerika
Utara untuk pertama kali membentuk program yang mengatur
pembatasan dan perdagangan untuk mengurangi emisi CO2 di Amerika
Serikat. Berbeda dengan Uni Eropa, perizinan dikeluarkan dengan
cara dilelang. Harga penawaran ditetapkan sangat rendah mulai dari
US$1.86 di tahun 2008 sampai US$ 3.51 dengan kelonggaran penetapan
batas akhir periode pemberlakuan izin (2009-2011). Selandia Baru sudah
meregulasi penerapan skema ETS mulai tahun 2008 dan memberlakukan
skema transisi mulai 1 Juli 2010. Pada periode transisi ini (1 Juli 2010–
31 Desember 2012), peserta ETS dapat membeli unit emisi dengan
harga tetap, yaitu NZ$ 25 per unit. Sektor-sektor energi dan industri

97

buku-2-pruf-4.indd 97 3/6/2011 11:41:20 PM


yang menggunakan bahan bakar fosil cair dapat membelinya setengah
harga.

Penerapan pajak karbon secara global memang baru terbatas di negara-


negara Eropa. Sejumlah negara di Eropa (seperti Jerman, semua negara
di Semenanjung Skandinavia, dan Perancis) telah menerapkan pajak
bahan bakar, dan pajak energi dan emisi untuk bahan-bahan dengan
kandungan karbon. Denmark adalah negara yang pertama kali di
dunia, memberlakukan pajak karbon untuk bahan bakar fosil pada awal
1990an. Penerapan regulasi ini yang antara lain menyebabkan Denmark
berhasil menurunkan 5% emisinya sejak 1990, walaupun rata-rata
pertumbuhan tahunan sedikit di atas 2%. Jerman memberlakukan pajak
listrik. Di negara-negara tersebut, berbagai kemudahan/ potongan pajak
diberlakukan untuk industri. Di sektor perlistrikan, dua negara yaitu
Finlandia dan Jerman mencoba memberlakukan pajak berdasarkan
jenis dan sumber produksi tenaga listrik. Tetapi Pengadilan Uni Eropa
memutuskan hal itu sebagai diskriminasi terhadap penggunaan energi
import (Sumber: Bank Dunia, 2010 dan Sterner, 2003).

Usaha terkini untuk membuat model makroekonomis


mensimulasi akibat dari implementasi kebijakan mitigasi terhadap
perekonomian Indonesia. Kementrian Keuangan melalui Green
Paper (2009) mensimulasi efek penerapan pajak karbon bagi
perekonomian Indonesia. Pajak karbon untuk pembakaran bahan
bakar fosil akan mereduksi emisi, dan pada saat yang sama
mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

98

buku-2-pruf-4.indd 98 3/6/2011 11:41:21 PM


Beberapa kebijakan perlu menyertai implementasi pajak tersebut.
Pertama; pajak itu diberlakukan pada konsumen pengguna listrik
dan bahan bakar. Kedua; pemasukan digunakan untuk mengurangi
pajak lainnya dan penyediaan dana untuk langkah-langkah
pengurangan kemiskinan. Secara spesifik, pemasukan dari pajak
karbon dapat digunakan lagi untuk mengurangi pajak penjualan.

Pajak karbon akan ditetapkan sejumlah Rp 80.000,- per ton


emisi CO2. Regulasi ini diharapkan dapat mereduksi emisi yang
diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil sebanyak kurang lebih
10% di bawah angka business-as-usual BAU. Tambahan reduksi
dapat dihasilkan melalui pemberlakuan kebijakan khusus seperti
dukungan terhadap penggunaan tenaga geothermal atau penjualan
izin ekspor karbon, yang diharapkan dapat menghasilkan antara US$
2 sampai 3 miliar pada tahun 2020, dalam bentuk pendapatan per
tahun pajak ekspor, dengan perhitungan dolar saat ini (Kementrian
Keuangan, 2009).

Berbagai model upaya reduksi emisi pemerintah dan proyek-


proyek usaha pengembangan emisi rendah karbon dari Bank
Dunia, dilakukan berdasarkan berbagai skenario kebijakan untuk
mensimulasi dampak ekonominya3. Pertama, beberapa model
penetapan harga karbon digunakan untuk memperhitungkan
dampak sosial dan ekonomis dari REDD (Reduction of Emissions
from Deforestation and Forest Degradation) yang bertujuan

3 Penjelasan berikut ini sangat tergantung pada (validitas) data Ahmad (2010b)

99

buku-2-pruf-4.indd 99 3/6/2011 11:41:21 PM


mengurangi emisi akibat deforestasi dan kerusakan hutan. Hasil
terbaik adalah Indonesia mendapat pemasukan dari REDD dengan
menetapkan harga US$ 20 untuk setiap ton emisi ekuivalen CO2
(tCO2e). Perhitungan ini mengasumsikan distribusi pemasukan
dengan pembagian yang proporsional antara pemerintah dengan
rumah tangga, dengan memperhatikan perbandingan rumah
tangga di daerah dan kota besar, di lokasi di Jawa dan luar Jawa.
Walaupun melambat dalam skala nasional, ekonomi tumbuh positif
di beberapa daerah, menandakan aliran distribusi pendapatan dari
pusat ke daerah.

Kedua, kebijakan untuk secara bertahap mengurangi subsidi


bahan bakar mulai tahun 2010 dan benar-benar menghapus subsidi
itu di tahun 2015, menghasilkan per­tumbuhan positif, pengurangan
kemiskinan, dan penurunan emisi. Hal ini mengasumsikan bahwa
satu penerapan kebijakan dapat menjamin 100% dari pengeluaran
yang dihemat dapat dikembalikan dalam bentuk pertumbuhan
ekonomi melalui belanja pemerintah.

Ketiga, kebijakan untuk meningkatkan efisiensi energi-


dengan mengurangi intensitas karbon- di sektor penggunaan listrik
dapat memberikan hasil positif, bila biaya teknologi ditanggung
pemerintah, dengan menggunakan anggaran negara untuk
“membayar” penerapan pengetahuan dari luar negeri.

Keempat, peningkatan efisiensi energi di sektor manufaktur


swasta juga dapat memberikan manfaat bila berdasarkan asumsi

100

buku-2-pruf-4.indd 100 3/6/2011 11:41:21 PM


tertentu. Bila efisiensi energi bisa ditingkatkan 10% dari tahun
2010 sampai 2015 dengan biaya sampai 0,5% dari total hasil pada
tahun 2015, maka tujuan mendorong pertumbuhan (ekonomi),
mengurangi kemiskinan dan mereduksi emisi dapat dicapai. Biaya
investasi diasumsikan dibayarkan kepada investor asing oleh
pemerintah. Sektor-sektor yang termasuk di sini adalah tekstil,
makanan dan minuman, semen, logam dan karet.

Tabel 5: Hasil dari Model Analisa CGE (Computable General Equilibrium)

Kajian Model Ekonomi GDP (% relatif Kemiskinan Reduksi emisi (%


untuk kasus (%) relatif untuk
dasar) kasus dasar)

MoF Green Paper 2009 0.4 -0.6 -10.1


(Indonesia 3-E Model)

Skenario Ekonomi
Rendah Karbon 2010
(Dynamic Inter-Regional
CGE Model)

- REDD -0.04 -2.54 -0.32

- Penghapusan subsidi 3.46 -7.61 -0.01


bertahap

- Sektor Listrik 0.45 -2.81 -0.02


- Peningkatan efisiensi
energi

101

buku-2-pruf-4.indd 101 3/6/2011 11:41:21 PM


- Efisiensi energi sektor 0.05 -1.04 -0.06
swasta

Sumber: MoF (2009), Ahmad (2010b)


Catatan: - Skenario terbaik dipilih untuk dimasukkan dalam tabel ini.
- MoF (Minister of Finance)
- REDD (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest
Degradation)

Model ini mengilustrasi bahwa tujuan menghasilkan


pertumbuhan (ekonomi) rendah karbon dapat dicapai me­lalui
berbagai cara. Implementasi kebijakan berdasarkan beragam
pilihan penggabungan instrumen fiskal (baik dengan penerapan
pajak karbon, maupun penghapusan subsidi energi) dan teknologi
(misalnya melalui investasi pada teknologi peningkatan efisiensi
energi di sektor pembangkit tenaga dan manufaktur) dapat
memberikan hasil ekonomi positif dan peningkatan kesejahteraan
sosial.
Serangkaian simulasi itu memperlihatkan satu temuan
bahwa setiap kebijakan harus didukung oleh kebijakan tambahan
untuk melengkapinya, untuk menjamin adanya kompensasi sosial
dan distribusi hasil yang adil. Penghapusan subsidi harus dibarengi
dukungan yang tepat sasaran untuk rakyat miskin. Kebijakan REDD
yang efektif memerlukan mekanisme yang efektif pula dalam
transfer fiskal antar daerah, dan penerapan kebijakan berbasis
hutan yang tegas dan koheren dari pemerintah.

102

buku-2-pruf-4.indd 102 3/6/2011 11:41:21 PM


Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI 2009) juga menghitung
potensi biaya dan keuntungan berbagai sektor dalam melakukan
upaya mitigasi. DNPI memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi
untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca (GHG) sampai 2,3 Gt
per tahun pada tahun 2030. Hitungan itu diproyeksikan sebagai 7
persen dari total emisi (dunia) di tahun 2030.

Kajian itu menemukan lebih dari 150 kemungkinan


pengurangan emisi gas untuk enam sektor utama yaitu; kehutanan
dan lahan gambut, semen, pembangkit tenaga, pertanian,
transportasi, dan bangunan. Lebih dari 80% dari kemungkinan ini
berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Tidak seperti di
banyak negara, biaya pengurangan emisi itu relatif rendah atau
hanya sekitar 3 Euro per ton ekuivalen CO2 pada tahun 2030 (DNPI
2009)4. Tabel 6 menunjukkan biaya pengurangan masing-masing
sektor. Yang perlu diketahui adalah Indonesia akan menjadi target
yang sangat menarik bagi investor energi bersih, bila hanya melihat
dari rendahnya biaya pengurangan emisi.

4 Estimasi biaya ini tidak termasuk biaya implementasi dan transaksi, di mana untuk
beberapa upaya pengurangan emisi, perhitungannya akan sangat signifikan (DNPI 2009,
hal. 13).

103

buku-2-pruf-4.indd 103 3/6/2011 11:41:21 PM


Tabel 6 : Potensi dan Biaya Penurunan Emisi

Potensi Reduksi Biaya Reduksi Rata-rata

  MtCO2e/tahun EUR/MtCO2 e

Kehutananan 1100 7

L. Gambut 700 6

Pembangkit 220 19

Pertanian 105 5

Transportasi 100 -80

Bangunan 50 -38

Semen 10 -5

Sumber: DNPI 2009

104

buku-2-pruf-4.indd 104 3/6/2011 11:41:22 PM


3 Tantangan
Penerapan Kebijakan
dalam Program Adaptasi,
Kehutanan dan Energi

RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Indonesia-


dokumen kebijakan utama pemerintah menyangkut rencana
pembangunan ekonomi- memasukkan mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim dalam proses pembuatan kebijakan.
Dokumen perencanaan pemerintah itu mencatat dalam agenda
pengembangan program jangka panjangnya, pentingnya hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dengan masalah pengelolaan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan pengrusakan lingkungan
dibatasi sebagai akibat pengelolaan yang tidak efektif atas sumber
daya alam. Terkurasnya sumber daya alam secara cepat dan
polusi yang terjadi akan menimbulkan akibat sosial dalam bentuk
penurunan kualitas hidup, khususnya kesehatan, dan berkurangnya
keamanan cadangan pangan. Bidang-bidang yang diprioritaskan
termasuk pengurangan degradasi lingkungan dan polusi, pembuatan
sistem peringatan dini menyangkut prediksi atas bencana besar

105

buku-2-pruf-4.indd 105 3/6/2011 11:41:22 PM


seperti tsunami, dan peningkatan kapasitas institusi terkait dalam
penanggulangan bencana alam (Bappenas 2009, hal. 1-45).
Tantangan adaptasi terhadap akibat kerusakan lingkungan
diprioritaskan pada sektor-sektor5 berikut; pertanian, yang
diutamakan adalah masalah keamanan cadangan pangan. Hilangnya
produktivitas- terutama dalam produksi beras- dikhawatirkan
terjadi karena berubahnya kondisi cuaca, sementara kegagalan
panen disebabkan konversi lahan.

Sektor kesehatan perlu berinvestasi dalam memperkuat


kapasitas institusional untuk mengantisipasi merebaknya penyakit
yang berhubungan dengan perubahan cuaca, seperti penyakit
gangguan pernapasan atas dan penyakit yang disebabkan virus
(viral-based diseases). Hal ini juga memerlukan investasi memadai
di bidang infrastruktur sanitasi.

Pengelolaan resiko bencana perlu membangun sistem


peringatan dini untuk mengantisipasi terjadinya bencana seperti
banjir atau bencana lain yang berhubungan dengan perubahan
cuaca.

5 Penjelasan berikut berdasarkan rangkuman yang disusun Ahmad (2010).

106

buku-2-pruf-4.indd 106 3/6/2011 11:41:22 PM


Masalah pengelolaan air termasuk memperbaiki pengelolaan
dan perlindungan terhadap batas perairan (watershed). Perubahan
pola hujan memerlukan peningkatan efisiensi sistem pengelolaan,
penyimpanan dan distribusi air.

Dari profil emisi dan skenario proyeksi emisi yang telah dibahas
di atas, jelas terlihat bahwa masalah-masalah sektor kehutanan
dan mitigasi energi harus menjadi prioritas bagi Indonesia.

Sebagai dokumen perencanaan utama pemerintah, RPJM


memprioritaskan sektor kehutanan pada program penanggulangan
perubahan iklim. Kebijakan yang diterapkan bertujuan untuk
memperkuat kapasitas institusi dan kerjasama antar lembaga untuk
menangani lahan gambut dan rehabilitasi hutan, dengan target
500.000 hektar per tahun. Juga melalui penerapan kebijakan yang
tepat, meningkatkan usaha menurunkan tingkat deforestasi, dan
mengoptimalkan pendanaan melalui mekanisme yang ada seperti
IHPH (Izin Hak Pengelolaan Hutan), PSDH dan Dana Reboisasi/
penanaman kembali (Bappenas 2009, halaman I-56).

Skema REDD+ (program pengurangan emisi akibat deforestasi


dan kerusakan hutan) memungkinkan Indonesia menerima insentif
financial dari negara-negara maju untuk menghentikan perubahan
penggunaan hutan untuk mencegah terlepasnya karbon ke
atmosfer. Pemerintah sedang mengembangkan proyek percobaan
dengan skema REDD di hutan-hutan di propinsi Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sejumlah

107

buku-2-pruf-4.indd 107 3/6/2011 11:41:22 PM


proyek tersebut akan mengukur usaha deforestasi, kerangka institusi
dan legalitasnya, dan pembentukan mekanisme insentif REDD.

Indonesia telah menanda-tangani perjanjian dengan


pemerintah Norwegia untuk bekerja sama mengurangi pengrusakan/
deforestasi di hutan dan lahan gambut Indonesia. Norwegia berjanji
untuk menyediakan US$ 1 milyar yang akan dibayarkan berdasarkan
tingkat reduksi emisi di sektor kehutanan. Pemerintah saat ini
sedang dalam proses membentuk badan khusus untuk menangani
aliran dana dari REDD+ dan lembaga keuangan Norwegia.

Yang patut dipertanyakan adalah; sampai sejauh mana


dana yang berasal dari skema REDD dapat digunakan untuk
memberdayakan masyarakat setempat dan mendorong mereka
berpartisipasi dalam program perlindungan hutan. Sekitar 10 juta
dari 35 juta penduduk miskin Indonesia tinggal di sekitar area
hutan. Kurang lebih seperempat bagian dari penghasilan mereka
bergantung pada sumber-sumber hutan, termasuk keragaman
hayati (biodiversity) di dalamnya (Ahmad, 2010). Proyek- proyek
REDD di masa depan perlu memperhatikan hak komunitas lokal
untuk mengakses sumber daya hutan dan perlunya menjaga fungsi
pemisahan karbon (carbon sequestration functions) hutan itu
(Ahmad, 2010).

Sejumlah kebijakan yang pernah maupun yang sedang


diterapkan sekarang ini kurang berhasil mencapai tujuan itu.
Distorsi (penyimpangan) penerapan kebijakan menyebabkan insentif

108

buku-2-pruf-4.indd 108 3/6/2011 11:41:22 PM


yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk program konservasi
dan pendayagunaan (panen) hasil hutan yang berkesinambungan.
Sebagai contoh, penghasilan yang didapat dari pajak dan insentif
tidak digunakan sebagai instrumen insentif, tetapi hanya sebagai
sarana pengumpulan dana. Sementara sistem pajak kehutanan
tidak melindungi usaha pemeliharaan lingkungan lahan hutan
dan produktivitas hutan di masa depan, tetapi hanya untuk
mendapatkan keuntungan dari penebangan hutan jangka pendek
(short-run forest depletion) (Bank Dunia, 2006). Skema REDD+
dapat membuat kerangka institusional untuk mengubah struktur
insentif dan arah pengelolaan hutan Indonesia.

Kementrian Keuangan (2009) merekomendasi pem­bentukan


mekanisme keuangan regional untuk aktivitas penanganan
perubahan iklim, dan secara khusus untuk membuat mekanisme
aliran dana REDD. Mekanisme ini mengatur pembayaran berdasarkan
performa pemerintahan regional (terutama tingkat kecamatan),
melalui perbaikan sistem DAK (Dana Alokasi Khusus). Pembayaran
dihubungkan dengan keberhasilan yang dicapai dan akibat yang
ditimbulkan dari pelaksanaan program. Pemerintah regional
memiliki otoritas penuh untuk membuat dan mengimplementasi
proyek tersebut, sementara pemerintah pusat berfungsi sebagai
penghubung utama dengan aspek internasional maupun nasional
skema itu (Kementrian Keuangan, 2009).

Tantangan yang dihadapi sektor energi adalah mengamankan


ekspansi jaringan dan pasokan listrik, tapi pada saat yang sama,

109

buku-2-pruf-4.indd 109 3/6/2011 11:41:22 PM


mengurangi intensitas karbon dari aktivitas pembangkit tenaga
(listrik). Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, emisi dan energi
per kapita Indonesia meningkat, terutama karena meningkatnya
pemakaian batu­bara untuk campuran energi. Bila dilihat hanya
dari sudut pandang finansial, batubara adalah pilihan yang paling
baik dan berkelanjutan, karena ketersediaan batubara yang cukup
banyak di Indonesia.

Realitas yang ada di Indonesia adalah; pemadaman listrik adalah


hal biasa. Perusahaan yang beroperasi menemui banyak hambatan
infrastruktur, yang mempengaruhi keputusan menyangkut investasi.
Penjatahan penggunaan tenaga listrik menyebabkan ketidakpastian
investasi dan hasil keputusannya, dan pada akhirnya berimbas pada
hasil emisi. Manifestasi dari ketidakpastian ini adalah proporsi dari
perusahaan yang berinvestasi di bidang pengadaan tenaga listrik
(captive power), yaitu yang memiliki kapasitas pembangkit tenaga
listrik sendiri. Tenaga listrik yang dijual ke PLN berjumlah 6620
MW di tahun 2005, dibandingkan dengan kapasitas instalasi PLN
yang berjumlah 22.284 MW (IEA 2008). Prevalensi dari pengadaan
listrik swasta di Indonesia ini juga berkontribusi pada angka emisi
yang lebih tinggi, karena hampir semua pasokan listrik dari luar
jaringan PLN itu bergantung pada sumber daya tidak terbarukan
(non-renewable sources).

Tetapi ketergantungan pada pembangkit tenaga berbahan


dasar batubara ini tidaklah berkesinambungan dan Indonesia perlu
lebih memberdayakan berbagai sumber-sumber non-fosil yang

110

buku-2-pruf-4.indd 110 3/6/2011 11:41:22 PM


ada. Termasuk sumber-sumber geothermal atau micro-hydro, yang
menunjukkan potensi pengembangan paling baik. Saat ini, hanya
sekitar dua persen dari potensi energi terbarukan yang digunakan.
Dalam Energy Blueprint 2005-2025, pemerintah menyusun target
ambisius memberdayakan energi terbarukan. Pada tahun 2025,
ditargetkan 17% dari total penggunaan energi harus berasal dari
sumber-sumber energi terbarukan, dengan fokus perhatian pada
pengembangan energi geothermal (IEA 2008).

Pemerintah berencana untuk meningkatkan kapasitas


produksi energi geothermal dari 1.100 MW di tahun 2010 ke
5.000 MW di tahun 2014 (RPJM 2009). Beberapa kebijakan telah
diterapkan untuk meningkatkan investasi di bidang pengembangan
geothermal. Pertama, insentif pajak bagi investasi geothermal dan
energi terbarukan lainnya telah diberlakukan. Kedua, ada dukungan
finansial melalui anggaran negara untuk eksplorasi energi terbarukan.
Ketiga, aturan penetapan harga jual dari pasokan energi geothermal
tersebut sudah dikeluarkan6. Kebijakan-kebijakan ini juga dibarengi
rencana pemerintah untuk membuka jalan mekanisme pendanaan

6 Keputusan Presiden No. 4/ 2010 menugaskan PLN untuk mempercepat pembangunan


instalasi pembangkit tenaga menggunakan energi terbarukan, batubara dan gas, dan
memberi mandat pada PLN untuk mengembangkan dan membeli tenaga listrik dari
sumber energi terbarukan (Januari 2010). Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber
Daya Mineral) No. 32/ 2009 tentang Standar Harga Jual Tenaga Listrik oleh PT PLN
dari Pusat Pembangkit Tenaga Listrik Geothermal (Desember 2009). Peraturan Menteri
ESDM No. 31/ 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik dengan energi terbarukan
(November 2009). Peraturan Menteri Keuangan No. 24/ 2010 tentang insentif pajak untuk
pengembangan energi terbarukan yang dikeluarkan pada Januari 2010 (Bank Dunia
2010b).

111

buku-2-pruf-4.indd 111 3/6/2011 11:41:22 PM


perubahan iklim dari komunitas internasional. Pinjaman sejumlah
US$ 400 juta akan disalurkan ke Indonesia melalui CTF (Clean
Technology Fund) sebagai usaha menarik dana dari pihak lainnya
untuk investasi geothermal (Ahmad 2010, Bank Dunia 2010).

Hal yang menghubungkan ke tiga prioritas penanganan


masalah kehutanan, energi dan adaptasi adalah penyediaan
investasi dan peraturan yang jelas untuk proyek infrastruktur.
Masalah investasi berbasis iklim di Indonesia masih menjadi
perhatian. Walaupun Indonesia memperbaiki peringkatnya menurut
penilaian Doing Business Ratings-Indonesia berada di peringkat 122
tahun 2010, naik dari peringkat 129 di tahun 2009- masih banyak
kekhawatiran pihak investor khususnya yang berhubungan dengan
masalah pelaksanaan kontrak dan penegakan peraturan (Bank Dunia
2010a). Korupsi masih menjadi hambatan besar, walaupun Indeks
Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia sedikit
memperbaiki peringkatnya (RPJM 2009). Kualitas infrastruktur di
Indonesia juga berada di peringkat yang relatif rendah, seperti yang
terlihat di Tabel 7 (ADB, ADBI 2009).

Tabel 7: Kualitas Infrastruktur, Negara-negara Tertentu

Rel Pela Tenaga Kese


Negara Jalan KA buhan Bandara Listrik luruhan

Dunia 3.8 3.0 4.0 4.7 4.6 3.8

112

buku-2-pruf-4.indd 112 3/6/2011 11:41:22 PM


G7 5.7 5.4 5.4 5.8 6.4 5.7

Asia 3.7 3.6 3.9 4.6 4.1 3.8

Asia Timur 4.7 4.8 4.8 5.1 5.3 4.6

Asia Tenggara 4.2 3.2 4.3 5.1 4.7 4.2

Singapura 6.6 5.6 6.8 6.9 6.7 6.7

Hong Kong 6.4 6.2 6.6 6.7 6.7 6.3

Malaysia 5.7 5.0 5.7 6.0 5.8 5.6

Korea 5.8 5.8 5.2 5.9 6.2 5.6

Thailand 5.0 3.1 4.4 5.8 5.5 4.8

China 4.1 4.1 4.3 4.4 4.7 3.9

Indonesia 2.5 2.8 3.0 4.4 3.9 2.8

Vietnam 2.6 2.4 2.8 3.9 3.2 2.7

Skor: 1 = belum berkembang, 7 = ekstensif, standard internasional

Sumber: ADB dan ADBI (2009)

113

buku-2-pruf-4.indd 113 3/6/2011 11:41:22 PM


Mengatasi ketidakpastian peraturan dan implementasi
kebijakan sangat penting untuk investasi di bidang energi
terbarukan. Proyek berbiaya besar seperti pengembangan energi
geothermal dihitung dengan penetapan harga awal yang tinggi
(high initial fixed costs), dan pelaksanaannya perlu mengikuti
aturan kontrak yang rumit. Investor memerlukan jaminan bahwa
investasi mereka akan kembali dan mekanisme resiko mitigasi di
antara pihak terkait perlu diterapkan.

Sebagai tambahan, adanya pengurangan harga energi jelas


mendistorsi upaya memberikan isyarat yang tepat bagi para
investor. Subsidi bahan bakar dan listrik yang diterapkan sekarang
tidak hanya meningkatkan pemborosan konsumsi energi, tetapi
juga mendistorsi tujuan pemberian insentif untuk produksi energi
bersih. Selama pengadaan tenaga listrik berbahan bakar fosil dan
batubara diproduksi dengan biaya rendah- yang tidak mencerminkan
“harga sebenarnya dari pengadaan tenaga listrik”, dan dengan
memasukkan biaya pemeliharaan lingkungan untuk pengadaan
tenaga listrik- maka energi terbarukan tidak akan kompetitif.

Karena pemerintah Indonesia menghadapi kendala anggaran,


maka investasi energi terbarukan bergantung pada investasi
swasta domestik dan asing. Memperbaiki iklim investasi menjadi
hal yang sangat penting. Mekanisme subsidi internasional seperti
CTF bisa menyediakan sumber daya yang bermanfaat untuk mulai
membuka jalan investasi energi terbarukan berskala besar, dan
dapat digunakan untuk membiayai penetapan harga awal yang

114

buku-2-pruf-4.indd 114 3/6/2011 11:41:23 PM


tinggi dari produksi energi terbarukan, juga membantu pemerintah
menerapkan program kompensasi sosial untuk masyarakat miskin.
Pada akhirnya, faktor-faktor ekonomi yang bersifat politis
dan political will akan menentukan dalam menggerakkan reformasi
kebijakan dan peraturan. Implementasi yang efektif dari reformasi itu
adalah proses politik yang membutuhkan negosiasi dan koordinasi
anggaran, dan pelaksanaan proyek pada berbagai tingkatan di
lintas lembaga, antara pemerintah Jakarta dan daerah, dan antara
pemerintah dan parlemen. Pengawasan arus uang dan sumber
daya pada tingkatan berbeda ini, dapat menjadi sumber kekuasaan
dan korupsi. Hal ini bisa terjadi terutama dalam proyek-proyek
pembangunan rendah karbon seperti REDD dan energi terbarukan.
Mengusahakan transparansi dalam pengelolaan arus uang dari
sumber internasional, dan efektivitas pelaksanaan proyek, menjadi
tantangan utama yang harus diatasi para pembuat kebijakan.

115

buku-2-pruf-4.indd 115 3/6/2011 11:41:23 PM


Kesimpulan

MAKALAH ini menunjukkan dan membuktikan bahwa kebijakan


berbasis lingkungan yang komprehensif- dalam kerangka strategi
ekonomi rendah karbon- adalah hal yang penting untuk mencapai
tujuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.

Bagian pertama makalah ini menjelaskan bagaimana


kebijakan pertumbuhan ekonomi rendah karbon, dan profil dan
skenario proyeksi emisi Indonesia menentukan kemungkinan dan
tantangan mitigasi yang harus dihadapi.
Bagian kedua menyoroti segi khusus dari ekonomi-
keuntungan dan biaya secara keseluruhan dan sektoral bila
kebijakan mitigasi diiplementasikan di Indonesia. Berbagai pilihan
penerapan kebijakan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan dan
mengurangi kemiskinan dan emisi. Pengelolaan emisi dari hutan
dan lahan gambut dapat menghasilkan kemungkinan mitigasi
terbaik bagi Indonesia.

116

buku-2-pruf-4.indd 116 3/6/2011 11:41:23 PM


Bagian ke tiga menyoroti tantangan penerapan kebijakan
yang terjadi dalam prioritas sektor-sektor tertentu- adaptasi,
kehutanan, dan energi. Hambatan yang mengikat ke tiga sektor ini
adalah ketidakpastian peraturan dan investasi yang menyangkut
investasi infrastruktur.

Profil dan pengurangan biaya emisi Indonesia membuka


banyak kemungkinan untuk menarik minat mekanisme keuangan
internasional berbasis iklim untuk mulai menanamkan investasi
berskala besar di bidang pengembangan teknologi rendah karbon.
Tetapi tetap perlu memperkuat konsensus politik domestik demi
kelangsungan implementasi strategi pembangunan rendah karbon.
Kapasitas institusi domestik- secara spesifik yang menyangkut
perbaikan iklim investasi dan penegakan peraturan- perlu diperkuat
untuk menarik minat lebih banyak investor swasta.

Oleh sebab itu, menerapkan strategi pembangunan rendah


karbon perlu melewati proses reformasi yang kompleks. Perlu
koordinasi kebijakan di beberapa bidang utama; fiskal (carbon
pricing), kebijakan investasi dan teknologi, reformasi sektor energi/
kehutanan, dan reformasi struktural yang lebih luas. Pengaturan
pelaksanaan serangkaian upaya reformasi ini membutuhkan
pertimbangan politis, dan bergantung pada faktor-faktor ekonomi
yang bersifat politis yang menggerakkan proses reformasi itu.

117

buku-2-pruf-4.indd 117 3/6/2011 11:41:23 PM


Rekomendasi
Kebijakan

BANTUAN dan investasi donatur asing seperti FNS dan investor


swasta Jerman harus disalurkan ke program yang menjadi prioritas
utama pemerintah Indonesia. Berikut ini beberapa rekomendasi
utama yang dirangkum dari dokumen kebijakan GOI, dengan
memperhatikan kemungkinan investasi bagi pemerintah dan
swasta Jerman.

Pertama, berikan dukungan kebijakan dalam


pengembangan instrumen ekonomi dan kerangka
peraturan untuk mendukung pembangunan rendah
karbon. Saat ini, kapasitas dan keahlian dalam mengadopsi
instrumen pajak yang mendorong pertumbuhan berbasis lingkungan
(green growth) masih terbatas. Pepajakan berbasis lingkungan
adalah bidang kebijakan yang relatif belum berkembang di Indonesia.
Dengan meningkatnya kemungkinan pendanaan melalui produk
dan jasa yang terkait dengan keuangan karbon, maka keahlian
untuk pengelolaannya perlu dikembangkan. The Green Paper dari

118

buku-2-pruf-4.indd 118 3/6/2011 11:41:23 PM


Kementrian Keuangan dapat digunakan sebagai dasar pembentukan
kebijakan yang kokoh, karena sudah membahas berbagai pilihan
kebijakan fiskal untuk mengatasi masalah keuangan berbasis iklim.
Jerman memiliki cukup pengalaman dalam reformasi kebijakan
fiskal berbasis lingkungan sejak tahun 1990an, sehingga mampu
memberikan bantuan teknis yang diperlukan.

Kedua, lakukan investasi melalui dukungan


kebijakan untuk membangun kapasitas pengkajian
regional. Ada kebutuhan untuk memperkuat institusi secara
menyeluruh dan memperkuat kerangka kebijakan untuk
penanggulangan masalah perubahan iklim dan lingkungan,
terutama pada tingkat regional. Pertumbuhan pembangunan
rendah karbon di tingkat regional harus terintegrasi ke dalam
rencana pembangunan nasional dan proses penyusunan anggaran.
Membangun kapasitas keuangan regional untuk menghasilkan
produk-produk yang bersifat analitis untuk mendukung proses
penyusunan kebijakan adalah salah satu bidang investasi utama
bagi donatur Jerman.

Ke tiga, lakukan investasi melalui dukungan


kebijakan untuk membangun mekanisme keuangan
dan fiskal regional untuk penyaluran dana REDD.
Menerapkan kebijakan untuk mitigasi emisi dari perubahan tata
guna lahan dan sektor kehutanan dalam kerangka REDD, akan
menjadi pilar utama dari program pembangunan berbasis iklim bagi
Indonesia di tahun-tahun mendatang. Untuk menjamin efektivitas
pengawasan dan aliran dana dari pusat ke daerah, pemerintah

119

buku-2-pruf-4.indd 119 3/6/2011 11:41:23 PM


perlu membangun mekanisme keuangan regional untuk mengelola
proses ini.

Mekanisme ini terbagi dalam dua elemen. Pertama, perlu ada


sistem transfer fiskal lintas kelembagaan pemerintah yang efektif
untuk penyaluran dana dari tingkat nasional ke tingkat regional. Ke
dua, perlu ada mekanisme insentif yang memadai untuk memastikan
pembayaran melalui skema REDD tersalur ke hasil proyek yang
diinginkan. Ke tiga, mekanisme ini harus memiliki kerangka yang
efisien untuk pengelolaan keuangan berbasis hutan, termasuk skema
insentif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk
mengawasi aliran dana REDD. Pendanaan studi dan pengembangan
kerangka fiskal dan insentif yang terintegrasi ini adalah salah satu
bidang potensial bagi sumber dana Jerman.

Ke empat, berikan dukungan kebijakan dan


lakukan investasi dengan memperkuat kerangka
institusi dan peraturan untuk meningkatkan pasokan
energi terbarukan di Indonesia. Potensi energi terbarukan
Indonesia begitu besar. Tetapi pengambilan pasokan energi
terbarukan terjadi sangat lambat karena berbagai masalah struktural
yang menyangkut sektor pengadaan listrik, masalah iklim investasi,
dan kurangnya kemampuan teknis dalam memajukan sumber-
sumber energi hijau (green energy).

Sejak 1990an, Jerman telah memulai program ambisius untuk


mengembangkan produksi energi terbarukan dalam skala besar.
Bantuan dalam penerapan kebijakan dan keahlian teknis dapat

120

buku-2-pruf-4.indd 120 3/6/2011 11:41:23 PM


diberikan pada pemerintah untuk mengambil sari pelajaran dengan
konteks Indonesia. Salah satu bidang pembahasan yang penting
adalah mengadopsi Feed in Tariffs (FITs) untuk memfasilitasi
proyek-proyek energi terbarukan seperti energi geothermal dan
membuat proyek-proyek itu menarik secara finansial bagi investor.
Hal ini membutuhkan koordinasi kebijakan yang rumit, dan para
ahli Jerman akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat.

Ke lima, berbagi dengan para ahli teknis Jerman


dalam pengembangan perusahaan skala kecil dan
menengah, dan menghubungkannya dengan proyek-
proyek energi terbarukan di daerah pedalaman. Pasokan
energi dari daerah terpencil di Indonesia, pada tatanan tertentu,
akan bergantung pada produsen energi non-jaringan berskala kecil
berbasis komunitas. Jerman memiliki banyak pengalaman dalam
mengembangkan pertumbuhan usaha berskala kecil dan menengah
di Indonesia. Jerman dan GTZ juga berpengalaman mengembangkan
sejumlah proyek micro-hydropower. Menghubungkan dua masalah
ini dengan, misalnya, berinvestasi di sektor finansial domestik
untuk penilaian dan pengembangan skema green micro-finance,
akan menjadi lahan investasi yang menjanjikan.

Ke enam, berikan dukungan kebijakan dan bantuan


teknis dalam membangun kapasitas domestik untuk
pendanaan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur adalah
tantangan utama mencapai tujuan mitigasi dan adaptasi. Tanpa
investasi memadai untuk membangun infrastruktur ‘hijau’ (green
infrastructure)- seperti instalasi pembangkit energi geothermal

121

buku-2-pruf-4.indd 121 3/6/2011 11:41:23 PM


atau sistem transportasi cepat massal- Indonesia akan berada di
posisi buruk untuk dapat mengsukseskan pertumbuhan rendah
karbon. Jaminan dan pembagian resiko, dan mekanisme mitigasi
juga penting untuk memberikan insentif tambahan bagi investor
yang menanamkan uangnya dalam proyek-proyek tersebut.

Serangkaian fasilitas ini dapat dibangun dengan mendirikan


lembaga LEDFF (Low- Emission Development Financing Facility)
seperti usulan Dewan Nasional Perubahan Iklim DNPI dan United
Nations Framework Convention on Cimate Change UNFCCC (2009).
IGIF (Indonesian Green Investment Fund) di bawah Kementrian
Keuangan didirikan pada tahun 2009 untuk memenuhi fungsi itu.
Para ahli teknis Jerman akan membantu pemerintah dalam menarik
minat sumber-sumber swasta dan berbasis pasar untuk pendanaan
program/ proyek pembangunan emisi rendah.

Ke tujuh, jaga hubungan baik dan berikan


dukungan kebijakan untuk reformasi ekonomi dan
pemerintahan secara menyeluruh di Indonesia,
berdasarkan kebutuhan yang digerakkan oleh
pemangku kepentingan domestik. Seperti yang terjadi
di banyak negara, reformasi pembangunan ekonomi dan rendah
karbon adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Proses itu
juga rumit, dan sulit diimplementasikan dalam urutan yang benar,
dan juga membutuhkan ketelitian dalam pengkajiannya. Dialog
melalui kebijakan yang transparan dan jujur adalah cara yang
paling tepat untuk mencapai tujuan itu.

122

buku-2-pruf-4.indd 122 3/6/2011 11:41:23 PM


Referensi:

Asian Development Bank 2009, The Economics of Climate Change in Southeast


Asia: a Regional Review, Manila.

ADB and ADBI, 2009. “ Infrastructure for a Seamless Asia.” Asian Development
Bank, Manila, and Asian Development Bank Institute, Tokyo.

Ahmad, Mubariq (2010). “Turning Climate Change into Opportunity: Indonesia’s


Strategy Toward Low Carbon Economy.” Draft Working Paper, World Bank
Jakarta, Environment Unit: Jakarta

Ahmad, Mubariq (2010a). “Ekonomi Perubahan Iklim.” In: Prisma Vol.29, No.2,
April 2010

Ahmad Mubariq (2010b).Low Carbon Economy Scenarios: Results of Dynamic


IR-CGE Model Simulations in Comparison with Baseline. Presentation to
the Fiscal Policy Office: Jakarta

BAPPENAS (Indonesian National Planning and Development Agency). 2009.


National Medium Term Development Program for 2009-2014.

DNPI (Indonesian National Climate Change Council) (2009). “Indonesia’s


Greenhouse Gas Abatement Cost Curve. “ DNPI: Jakarta.

DNPI (Indonesian National Climate Change Council) and UNFCCC (2009). “
National Economic, Environment and Development Study (NEEDS).
Indonesia Country Study.” Final Report, December 2009: Jakarta

Dethier, Jean-Jacques, Maximillian Hirn, Stephanie Straub (2010). ‘Explaining


enterprise performance in developing countries with business climate

123

buku-2-pruf-4.indd 123 3/6/2011 11:41:23 PM


survey data.” In: The World Bank Research Observer Advance Access
published September 2, 2010.

Ellerman et al 2010 carbon finance http://www.caissedesdepots.fr/en/news/all-


the-news/half-year-2009-2010-sales-up-10-on-a-reported-basis-03-like-
for-like/pricing-carbon-the-book-of-reference-presentation.html
Garnaut, Ross, Stephen Howes, Frank Jotzo and Peter Sheenan. 2008. “
Emissions in the Platinum Age: The Implications of Rapid Development
for Climate Change Mitigation.” In: Oxford Review of Economic Policy,
Volume 24, Number2, 2008, pp.377-401.
Garnaut, Ross. 2008. “ The Garnaut Climate Change Review. “ Cambridge
University Press: Cambridge.

Helm, Dieter, and Cameron Hepburn.2009. “ The Economics and Politics of


Climate Change.” Oxford University Press: Oxford

IMF. 2008. “The Fiscal Policy Implications of Climate Change.” Paper prepared
by the Fiscal Affairs Department, February 22, 2008. IMF: Washington D.C.
www.imf.org/external/np/pp/eng/2008/022208.pdf

International Energy Agency. 2008. “Energy Policy Review of Indonesia.” OECD/


IEA: Paris

International Energy Agency (IEA). 2009. “ Sectoral Approaches in Electricity –


Building Bridges to a Safe Climate.” IEA/OECD: Paris
Ministry of Environment (2007). “ National Action Plan For Climate Change.”

Ministry of Environment and BPPT (2009). “ Indonesia’s Technology Needs


Assessment on Climate Change.”

Ministry of Environment 2009. “ Second National Climate Change


Communication.”

124

buku-2-pruf-4.indd 124 3/6/2011 11:41:23 PM


Ministry of Finance (2009). “ Green Paper on Economic and Fiscal Policy Options
For Climate Change Mitigation.

OECD/IEA (2009). “World Energy Outlook 2009.” OECD/IEA; Paris.


Resosudarmo, Budi (2009). “IRSA-INDONESIA 5.” Presentation at World Bank
Office Jakarta.

Stern, Nicholas Herbert (2007). “ The Economics of Climate Change: The Stern
Review.” Great Britain Treasury, 2007.

World Bank (2006). “ Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and


Environmental Benefits – Strategic Options for Forest Assistance.” World
Bank: Jakarta

World Bank. 2007. “Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s
New Opportunities.” World Bank Office Jakarta.

World Bank (2009). “ Low Carbon Growth Country Studies – Getting started.
Experience From Six Countries.” ESMAP Brief.

World Bank (2009a). “ Climate Change and the World Bank Group. Phase 1: an
Evaluation of World Bank Win-Win Energy Policy Reforms.” The World
Bank: Washington D.C.

World Bank (2010a). Indonesia: Climate Change Policy Loan. World Bank Jakarta
Memorandum Document. April 2010

World Bank (2010b). “Doing Business 2010.” Downloaded from http://www.


doingbusiness.org/~/media/FPDKM/Doing%20Business/Documents/
Annual-Reports/English/DB10-FullReport.pdf. World Bank: Washington
D.C.
World Bank 2010c, World development report 2010: development and climate
change, Oxford University Press, New York

125

buku-2-pruf-4.indd 125 3/6/2011 11:41:24 PM


buku-2-pruf-4.indd 126 3/6/2011 11:53:15 PM
FA_rev_3_Pengantar Perubahan_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:25 AM

KERTAS KEBIJAKAN

CM

MY

CY

CMY

Pengantar
Perubahan Iklim
IGG Maha Adi
buku-3-pruf-4.indd 128 3/6/2011 11:32:08 PM
Pengantar
Perubahan Iklim

IGG Maha Adi

buku-3-pruf-4.indd 129 3/6/2011 11:32:08 PM


Pengantar
Perubahan Iklim
Penulis: IGG Maha Adi

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.
Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini
dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

Indeks

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Tel.: 62-21-7256012-13
Fax: 62-21-7203868
E-mail: Indonesia@fnst.org
www.fnsindonesia.org

buku-3-pruf-4.indd 130 3/6/2011 11:32:08 PM


Ringkasan
Eksekutif

TAHUN 2005, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia menerbitkan


laporan State of the World’s Forest dan menempatkan Indonesia di
urutan ke delapan negara yang memiliki hutan terluas di dunia,
tetapi dengan tingkat deforestasi 1,8 juta ha per tahun atau 2
persen setiap tahun, antara periode 2000-2005. Sektor kehutanan
juga menjadi penyumbang emisi gas-gas rumah kaca (GRK) terbesar
di Indonesia, dengan 64% dari total emisi. Kajian terhadap emisi dari
lahan gambut menunjukkan data yang lebih tinggi, sebagaimana
dinyatakan dalam studi oleh Wetlands International dan University
of Greifswald pada tahun 2008, dimana Indonesia mengemisikan
500 juta ton gas-gas rumah kaca dari lahan gambut pertahun, atau
yang tertinggi di dunia di atas Uni Eropa (173 juta ton) dan Rusia
(151 juta ton)

Dari sektor eksploitasi dan konsumsi energi, emisi yang


dilepaskan mencapai 9% atau sebesar 275 Mton CO2e dari total

131

buku-3-pruf-4.indd 131 3/6/2011 11:32:08 PM


emisi GRK Indonesia pada tahun 2005 yang mencapai 3,014 Mton
CO2e. Tetapi, pemakaian energi meningkat rata-rata 7% setiap
tahun, dan tahun 2007, misalnya, lebih dari 75% masyarakat
Indonesia mengkonsumsi energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi,
gas, dan batubara. Bila tidak diikuti program pengurangan emisi,
maka dalam skenario normal sampai tahun 2030, sumber emisi
utama akan didominasi sektor transportasi, industri, dan pembangkit
listrik dengan persentase rata-rata 20% yang merupakan implikasi
langsung dari transisi menuju negara industri maju.

Hasil kajian ADB tentang dampak perubahan iklim di Asia


Tenggara menyimpulkan bahwa kawasan ini mempunyai peranan
penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global di masa
mendatang. Dalam skenario emisi tinggi, suhu tahunan rata-rata
di empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—
diperkirakan meningkat rata-rata 4,8°C sampai tahun 2100 dari
tingkat suhu rata-rata pada tahun 1990; permukaan laut dunia
rata-rata diperkirakan meningkat 70 sentimeter selama periode yang
sama, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi kawasan ini; dan
Indonesia, Thailand, serta Vietnam diperkirakan akan mengalami
cuaca yang lebih kering dalam 2–3 dekade mendatang.

Biaya rata-rata perubahan iklim untuk empat negara di Asia


Tenggara—jika dunia terus “melakukan kegiatan seperti biasanya”
dan jika semua dampak pasar dan bukan pasar dan resiko bencana

132

buku-3-pruf-4.indd 132 3/6/2011 11:32:08 PM


besar dipertimbangkan—akan sama dengan hilangnya 6,7% Produk
Domesik Bruto (PDB) setiap tahunnya hingga tahun 2100. Kerugian
ini lebih dari dua kali lipat dari angka kerugian rata-rata di tingkat
global. Hingga akhir abad ini, biaya ekonomi secara keseluruhan
per tahun rata-rata dapat mencapai 2,2% dari PDB jika hanya
dampak pasar yang dipertimbangkan; jika dampak non-pasar ikut
dihitung maka bisa mencapai 5,7% dari PDB; dan bisa naik hingga
6,7% dari PDB jika risiko-risiko bencana besar ikut dihitung. Hal
ini terjadi karena keempat negara termasuk Indonesia, memiliki
garis pantai yang relatif panjang, konsentrasi populasi yang tinggi
di daerah pesisir, ketergantungan yang tinggi akan pertanian dan
sumber daya alam, kapasitas adaptasi yang relatif rendah, dan
kebanyakan memiliki iklim tropis dibandingkan negara-negara lain
di dunia. Dengan stabilisasi gas rumah kaca pada tingkat 450–550
ppm, biaya ekonomi secara keseluruhan karena pemanasan global
menjadi jauh lebih rendah.

133

buku-3-pruf-4.indd 133 3/6/2011 11:32:08 PM


Pengantar

PENGARUH manusia terhadap perubahan iklim global telah


dilaporkan berbagai penelitian sejak paruh pertama abad ke-20.
Pengaruh tersebut semakin kuat berdasarkan berbagai penelitian
dari sampel di seluruh dunia. Salah satu laporan Panel Antar-
pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 1990, mempertegas
menguatnya pengaruh aktivitas manusia tersebut. Saling terhubung
sebagai satu kesatuan iklim global, maka perubahan iklim akan
mempengaruhi semua negara dan kawasan di dunia, namun dengan
dampak yang berbeda-beda tergantung posisi geografis, program
mitigasi dan tingkat adaptasi yang dilakukan.

Tahun 2004 Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto yang memberi


kesempatan kepada pemerintah untuk membenahi pendataan
iklim secara nasional, serta mendapatkan berbagai skema insentif
sesuai yang diatur dalam protokol. Namun, meskipun kewajiban
negara-negara industri maju untuk menurunkan emisinya bersifat
mengikat, laju kenaikan emisi gas rumah kaca ternyata tidak dapat

134

buku-3-pruf-4.indd 134 3/6/2011 11:32:09 PM


ditekan, bahkan dampak perubahan iklim menyebabkan kerugian
yang sangat tinggi di berbagai belahan dunia.

Hasil kajian Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim


(IPCC) tahun 2007 misalnya, menunjukkan 11 dari 12 tahun
terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun
terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai
dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76°C. Muka air laut rata-rata
global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per-tahun
dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan
total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-
20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa
kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak
pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat
dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak
ada upaya penanggulangannya.

Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis


yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, karena merupakan
negara kepulauan dengan sekitar 17.500 pulau besar dan kecil,
memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer atau terpanjang
di dunia, daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk
yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun
sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap
bencana alam, dan kejadian cuaca ekstrim, memiliki tingkat polusi
yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh seperti
area pegunungan dan lahan gambut, serta kegiatan ekonomi yang
masih sangat menggantungkan diri pada bahan bakar fosil dan

135

buku-3-pruf-4.indd 135 3/6/2011 11:32:09 PM


produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk beralih ke bahan
bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA (Office


of US Foreign Disaster Assistance)/ CRED (Center for Research
on Environmental Decisions) International Disaster Database
mengungkapkan sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia
yang terjadi dalam periode waktu antara tahun 1907 dan 2007,
terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan
bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan,
kebakaran hutan, dan epidemi penyakit. Hal ini menunjukkan
bahwa kejadian bencana terkait iklim mengalami peningkatan baik
dari sisi frekuensi maupun intensitasnya. Kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh 10 bencana terbesar tersebut mencapai hampir 26
miliar dolar dan sekitar 70% merupakan kerugian akibat bencana
yang terkait dengan iklim.

Pada sisi lain, hutan Indonesia sebagai penyimpan karbon


terbesar, masih mengalami laju deforestasi yang cukup tinggi,
peningkatan pemakaian bahan bakar minyak dan batubara sebagai
energi utama dalam pembangunan, penundaan implementasi
program energi ramah lingkungan, serta laju konversi hutan menjadi
peruntukan lain, semakin memperparah dampak negatif perubahan
iklim terhadap Indonesia.

Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa upaya sistematis


dan integratif untuk memperlambat laju pemanasan global bersama
masyarakat dunia, disertai upaya meningkatkan ketahanan terhadap
perubahan iklim, sudah merupakan suatu keharusan.

136

buku-3-pruf-4.indd 136 3/6/2011 11:32:09 PM


1 Isu-isu Utama

A. Deforestasi

HUTAN menutupi 30% daratan bumi, dan hutan mewakili 77%


stok karbon yang tersimpan di dalam seluruh vegetasi dan 39% dari
seluruh karbon yang tersimpan di dalam tanah. Hutan menyimpan
karbon dua kali lipat jumlah karbon di atmosfer, dan hutan tropis
adalah penyimpan karbon paling besar, setara dua kali lipat dari
hutan jenis lainnya.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan, luas kawasan


hutan Indonesia pada tahun 2007 adalah 120,35 juta ha dengan
komposisi: Hutan Produksi 48%, Hutan Konservasi 17%, Hutan
Lindung 28%, Hutan Produksi Konversi 7%. Dari luasan tersebut,
53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatan,
yang tersebar pada Hutan Konservasi (11,4 juta ha), Hutan Lindung
(17,9 juta ha), dan Hutan Produksi (24,6 juta ha). Diyakini pula,

137

buku-3-pruf-4.indd 137 3/6/2011 11:32:09 PM


bahwa tahun 2009 sekitar 42 juta ha hutan sudah gundul atau
habis ditebang.1

Tahun 2005, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)


menerbitkan laporan State of the World’s Forest dan menempatkan
Indonesia di urutan ke delapan negara yang memiliki hutan
terluas di dunia, tetapi dengan tingkat deforestasi 1,8 juta ha
pertahun atau 2 persen setiap tahun, antara periode 2000-2005.
Laju kerusakan ini adalah yang kedua tercepat di dunia saat itu,
di bawah Brasil.2 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada
tahun  2007 melakukan interpretasi citra Landsat7 ETM+, dengan
menggunakan data pemotretan citra satelit tahun  2004 – 2006
yang digeneralisasi menjadi data tahun  2005, menunjukan bahwa
tutupan hutan pada seluruh region di Indonesia menjadi sekitar 83
juta hektar. Walaupun dengan catatan, masih ada sekitar 33 juta
hektar yang belum dapat diidentifikasi sebagai hutan maupun non-
hutan karena areanya tertutup oleh awan.

Hutan tropis merupakan stok karbon (carbon stock) terbesar


di bumi, dan tiap satu hektare rata-rata menyimpan karbon 200
t CO2 ha-1 tahun-1, bahkan hutan gambut kedalaman 1 meter
dapat menyimpan karbon 600 metrik ton, dibandingkan dengan

1 http://www.antaranews.com/berita/1264315996/menhut-42-juta-ha-hutan-indonesia-
gundul
2 Food and Agriculture Organization of the United Nations.2007. State of the World’s Forest
2007. Rome,Italy.

138

buku-3-pruf-4.indd 138 3/6/2011 11:32:09 PM


kebun kelapa sawit 9-18 t CO2 ha-1 tahun-1. Dengan demikian,
konversi lahan gambut di Indonesia akan menyebabkan dampak
yang sangat penting bagi iklim dunia, karena luasnya mencapai
56% dari total luas gambut di dunia. 3

Kondisi tutupan hutan  di pulau Kalimantan dan Papua


memiliki kecenderungan menurun dari tahun ke tahun, sedangkan
di kawasan lainnya tutupan hutan mengalami penurunan maupun
peningkatan luas. Walaupun demikian, ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi penghitungan di atas, seperti besar-kecilnya
data yang tidak dapat diolah karena tertutup awan serta perbedaan
metode yang digunakan dalam melakukan analisis. Sejauh ini, data
hasil interpretasi citra satelit tahun  2003 masih menjadi acuan
penghitungan tutupan hutan dan menjadi sumber data resmi yang
digunakan di Departemen Kehutanan.4 Penyumbang emisi GRK
terbesar di Indonesia adalah sektor kehutanan sebesar 64% dari
total emisi.5

Namun beberapa sumber menyatakan bahwa tingkat


deforestasi di Indonesia menurun selama satu dekade terakhir.
Data NGO World Growth menyebut pengurangan itu dari 1,7%
per tahun selama dekade 1990-an menjadi sekitar 0,5% per tahun

3 Singleton, Ian. 2008. Dampak Lingkungan Akibat Pembangunan Kelapa Sawit. PanEco/
Yayasan Ekosistem Lestari.
4 Forest Watch Indonesia. 2009. Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia. http://fwi.
or.id/.
5 WWF Indonesia. 2008. Perubahan Iklim, Bisakah Dicegah? Bandung.

139

buku-3-pruf-4.indd 139 3/6/2011 11:32:09 PM


dalam periode 2000-2010, sedangkan Kementerian Lingkungan
Hidup mencontohkan penurunan itu terjadi dari 2 juta hektare
per tahun pada 2007 menjadi 1,02 juta ha per tahun pada 2008.6
Kementerian Lingkungan Hidup juga mengungkapkan 72,5 juta ha
hutan harus dipertahankan dari pembalakan dan konversi, sesuai
kebijakan presiden untuk melakukan moratorium hutan alam dan
gambut, peraturan kehutanan seperti kawasan konservasi,  hutan
lindung, hutan produksi dengan kelerengan lahan lebih dari 40° dan
peraturan penataan ruang.7 Dalam 72,5 juta ha termasuk lebih
dari 28 juta kawasan berstatus hutan produksi, yang didalamnya
terdapat 6,2 juta ha lahan gambut. Selain itu, juga terdapat 21,5
juta ha lebih berupa hutan primer. Keberadaan sejumlah lahan
gambut dan hutan primer juga ditemukan dalam kawasan areal
penggunaan lain sehingga ada 4,7 juta ha hutan areal penggunaan
lain yang juga harus dipertahankan.

Dalam dokumen nota kesepahaman (letter of intent)


antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia yang
ditandatangani pada 26 Mei 2010, disebutkan bahwa penghentian
pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut ditetapkan
selama dua tahun, dan dimulai pada 1 Januari 2011. Dokumen itu
juga menyebutkan bahwa program uji coba provinsi REDD Plus
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation)

6 Dimuat di berbagai media massa, antara lain lihat di http://sains.kompas.com/


read/2010/06/23/02274636/Luas.Hutan.Harus.68.Persen
7 Idem

140

buku-3-pruf-4.indd 140 3/6/2011 11:32:09 PM


yang pertama dimulai pada Januari 2011, yang dilanjutkan uji coba
REDD plus untuk provinsi kedua pada 2012. Mulai Januari 2011
juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh pemerintah
Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.8

B. Konversi Lahan Gambut

GAMBUT merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan


organik dengan komposisi lebih dari 65% (enam puluh lima prosen)
yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari
lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses
dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Indonesia
memiliki luas lahan gambut sekitar 20,6 juta ha atau 10,8%
dari total luas daratan dan sebagian besar tersebar di Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas
daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton Karbon
atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon
atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa
(massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali
simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia.9 Situs Scientific
American mengklaim kemampuan gambut menyimpan karbon total
mencapai 500 miliar metriks ton atau dua kali lipat dibandingkan

8 http://www.antaranews.com/berita/1281445152/menhut-tegaskan-moratorium-hutan-
mulai-2011.
9 Agus, Fahmudin dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian
dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor.

141

buku-3-pruf-4.indd 141 3/6/2011 11:32:09 PM


total penyimpanan oleh seluruh jenis hutan yang ada di bumi.
Gas-gas rumah kaca utama yang keluar dari lahan gambut adalah
karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).

Keberadaan air merupakan kunci kemampuan ekosistem


gambut menyimpan karbon. Proses pembusukan dan penguraian
bahan-bahan organik di lahan gambut berlangsung sangat lambat
karena prosesnya berlangsung nir-oksigen (anaerob). Karena
kecepatan oksigen di air melambat sampai 10 ribu kali dibandingkan
di udara, maka proses pelapukan zat organik berlangsung sangat
lama. Tetapi, sekali saja gambut dikeringkan airnya, maka
mikroorganisme dengan cepat akan membusukkan semua bahan
organik, sehingga mereka menghasilkan karbon sebagai dampak
sampingan proses situ. Karena bahan organik gambut tersedia
sangat melimpah, maka gambut akan menjadi emiter terbesar gas
rumah kaca.10 Restorasi sistem drainase hutan gambut sangat
penting, karena akan berfungsi mengulangi proses penyimpanan
karbon oleh gambut.

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem


hidrologi kawasan hilir suatu daerah aliran sungai (DAS), karena
mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Dalam
keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat

10 Lihat http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=peat-and-repeat-rewetting-car-
bon-sinks, diunduh tanggal 17 Agustus 2010, pkl. 17.00 wib.

142

buku-3-pruf-4.indd 142 3/6/2011 11:32:09 PM


(sequester) karbon, sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas
rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan
sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al.,
2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1.
Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon
tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas karbon
dioksida, salah satu gas rumah kaca terpenting. Selain itu lahan
gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden)
apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-
hatian dan perencanaan yang matang apabila mengkonversi hutan
gambut.

Karena variabilitas lahan gambut sangat tinggi, baik dari


segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak
semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari
20,6 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya
sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Kerusakan ekosistem
gambut akan berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in
situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di
hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem
gambut. Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, lahan gambut dengan
ketebalan lebih dari 3 meter ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Tahun 2009 Menteri Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri
Pertanian No.14/Permentan/PL-120/2/2009 tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, yang
melarang konversi gambut tebal di atas tiga meter dan gambut

143

buku-3-pruf-4.indd 143 3/6/2011 11:32:09 PM


mentah. Namun dengan berbagai peraturan yang ada, menurut
studi yang dilakukan Wetlands International dan University of
Greifswald, pada tahun 2008 Indonesia mengemisikan 500 juta
ton gas-gas rumah kaca dari lahan gambut pertahun, atau yang
tertinggi di dunia, di atas Uni Eropa (173 juta ton) dan Rusia (151
juta ton). 11

Annual CO2 emissions[8][9] Percentage


Rank Country
(in thousands of metric tons) of global total

 World 29,321,302 100%

1 China 6,538,367.00 22.30%

2 United State 5,838,381.00 19.91%

3 India 1,612,362.00 5.50%

4 Russia 1,537,357.00 5.24%

5 Japan 1,254,543.00 4.28%

6 Germany 787,936.00 2.69%

7 Canada 557,340.00 1.90%

8 United Kingdom 539,617.00 1.84%

11 Wetlands International.2009. Global Peatland CO2 Picture: Peatland status and drainage
related emissions in all countries of the world (updated August, 2009). Wageningen,
Netherlands.

144

buku-3-pruf-4.indd 144 3/6/2011 11:32:10 PM


9 South Korea 503,321.00 1.72%

10 Iran 495,987.00 1.69%

11 Mexico 471,459.00 1.61%

12 Italy 456,428.00 1.56%

13 South Africa 433,527.00 1.48%

14 Saudi Arabia 402,450.00 1.37%

15 Indonesia 397,143.00 1.35%

Gambar 1. Daftar negara-negara emiter terbesar dunia tahun 2007 (Sumber:


CDIAC untuk PBB, 2008)

Gambar 2. Emisi dari sektor kehutanan manjadi sumber emisi ketiga terbesar
di dunia. Sepuluh negara menjadi penyumbang 80% emisi dari
sektor kehutanan, dan dua negara yaitu Brasil dan Indonesia
menyumbangkan lebih dari 50% emisi tersebut (Sumber: World
Resources Institute/CAIT, 2007).

145

buku-3-pruf-4.indd 145 3/6/2011 11:32:11 PM


C. Konsumsi Energi

SEBAGAI bentuk komitmen yang tinggi terhadap penurunan emisi


gas-gas rumah kaca, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden
No.5 tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Beleid ini,
antara lain, memberikan wewenang kepada Dewan Energi Nasional
(DEN) untuk menyusun cetak biru energi yang akan dipakai
pemerintah Indonesia untuk menetapkan berbagai kebijakan energi
di masa mendatang. Dalam Perpres tersebt diatur pula bauran
energi (mix energy) nasional tahun 2025, yang menetapkan batas
penggunaan minyak bumi kurang dari 20%.

Pada dekade 1970-an Indonesia merupakan salah satu


produsen minyak bumi yang diperhitungkan dunia, dan bergabung
sebagai anggota Negara-negara Eksportir Minyak Bumi (OPEC).
Indonesia menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia pada
era 1970-an dan rata-rata mampu memproduksi 1,3 juta barel
perhari, tetapi terus menurun hingga mencapai rata-rata 900
ribu barel perhari. Tahun 2004, jumlah impor mulai lebih besar
dibandingkan jumlah ekspor, yaitu rata-rata ekspor 400 ribu barel,
dibandingkan volume impor sekitar 500 ribu barel. Karena volume
impor melebihi produksi dalam negeri serta ekspor, maka sejak
tahun 2004 Indonesia telah menjadi net-oil importer.

Tahun 2003 batas konsumsi BBM 60 juta kiloliter atau setara


satu juta barel per hari (bph) tercapai, sedangkan produksi total
BBM sekitar 0,8 juta bph sedangkan sisanya merupakan produk

146

buku-3-pruf-4.indd 146 3/6/2011 11:32:11 PM


non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia, dan sebagainya).
Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal
dari impor. Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung,
Indonesia defisit 12 juta KL (20% kali 60 juta KL). Untuk menutup
defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi Indonesia  harus
ditingkatkan  menjadi  1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan
BBM akan masih terus tumbuh, apalagi jika harga BBM tetap relatif
lebih murah dari energi alternatifnya, sehingga penggunaan BBM
secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.12

Data yang disajkan dalam laporan tentang perubahan


iklim di Indonesia tahun 2007 menunjukkan, sektor energi hanya
menyumbang 9% atau sebesar 275 Mton CO2e dari total emisi
GRK Indonesia pada tahun 2005 sebesar 3.014 Mton CO2e. Tetapi,
pemakaian energi meningkat rata-rata 7% setiap tahun, dan tahun
2007, misalnya, lebih dari 75% masyarakat Indonesia mengkonsumsi
energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi, gas, dan batubara.13

Peningkatan konsumsi energi berbasis fosil itu, diperkirakan


akan meningkatkan emisi sampai 3 (tiga) kali lipat dan menjadi
sektor penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia.14 Tanpa
adanya usaha-usaha diversifikasi dan konservasi energi, emisi GRK
dari sektor pembangkit pada tahun 2025 akan naik menjadi enam

12 http://dbm.djmbp.esdm.go.id/old/portal-dpmb/modules/_news/news_detail.php
13 Maritje, Hutapea. 2009. Energy and Climate Change in Indonesia. Paper presented at
Workshop on Climate Change and Energy, Bangkok, 26-27 March, 2009.
14 PEACE.2007. Indonesia and Climate Change: Working Paper on Currenct Status and
Policies. Jakarta, March 2007.

147

buku-3-pruf-4.indd 147 3/6/2011 11:32:11 PM


kali lipat dari emisi GRK pada saat ini, menjadi sebesar 2.167 juta
ton CO2e. Sedangkan dengan asumsi usaha-usaha diversifikasi dan
konservasi energi berjalan sesuai dengan rencana, emisi GRK dari
sektor energi pada tahun 2025 akan naik 3 (tiga) kali lipat dari
emisi GRK saat ini, yaitu sebesar 1.100 juta ton CO2e.15

D. Penataan Ruang

KESALAHAN dalam penataan ruang, baik di tingkat nasional


maupun daerah dapat menyebabkan meningkatnya kerentanan
terhadap dampak perubahan iklim. Banyak alih fungsi hutan lindung
menjadi perumahan di tepi pantai, dapat mengancam kawasan
pantai itu menjadi lebih rentan terhadap gelombang laut.

Gambar 3. Skenario normal konsumsi berbagai jenis energi di Indonesia


sampai 2030

15 Lestari, Gita. 2007. Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim di Sektor Energi. http://lead.
co.id/. Jakarta.
148

buku-3-pruf-4.indd 148 3/6/2011 11:32:12 PM



Gambar 4. Sumber-sumber utama emisi gas rumah kaca pada skenario
normal sampai tahun 2030

Menurut dokumen RAN-PI (Rencana Aksi Nasional – Perubahan


Iklim), komposisi bauran energi (mix energy) yang diharapkan bisa
tercapai pada tahun 2025 sesuai dengan Peraturan Presiden No.5
Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, adalah: minyak
bumi 20%, batu bara 33%, gas alam 30%, bahan bakar nabati
(biofuel) 5%, panas bumi 5%, sumber energi baru terbarukan
lainnya 5%, dan batu bara yang dicairkan (liquified coal) sebesar
2%. Tanpa melakukan upaya penurunan emisi, diperkirakan emisi
CO2 dari sektor energi di Indonesia bisa mencapai 1.200 juta Ton
pada tahun 2025. Dengan melakukan upaya diversifikasi sumber
energi (dengan target penggunaan energi baru dan terbarukan
sebesar 17% dari komposisi energi nasional) dan upaya konservasi,

149

buku-3-pruf-4.indd 149 3/6/2011 11:32:14 PM


maka emisi CO2 ditargetkan bisa turun hingga 17% terhadap
skenario Business as Usual (BAU).16

Bila dilakukan maksimalisasi panas bumi hingga mencapai


8,4% dari energi nasional (melebihi target PERPRES yang sebesar
2%) emisi CO2 akan turun lebih jauh menjadi 20%. Sedangkan
penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada sektor
pembangkit listrik akan mampu menekan emisi CO2 hingga 37%
pada tahun 2025.17

16 Laporan lengkap lihat, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.2007. Rencana Aksi
Nasional Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal. 33-35.
17 Idem

150

buku-3-pruf-4.indd 150 3/6/2011 11:32:14 PM


2 Regulasi
Internasional

KEKHAWATIRAN dampak perubahan iklim mulai dibahas serius


oleh PBB pada Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan
(UNCED), atau lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
(Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992. Salah satu
pakta lingkungan yang dihasilkan oleh KTT Bumi adalah United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),
dengan tujuan utama menstabilkan gas-gas rumah kaca di atmosfer
pada tingkat yang dapat mencegah dampak membahayakan dari
pengaruh manusia pada sistem iklim global.

Pada tahun-tahun awal pendiriannya, UNFCCC bersifat


legally non-binding, karena tidak mengatur adanya kewajiban
yang mengikat bagi negara-negara anggota untuk membatasi
emisi gas-gas rumah kaca pada tingkat tertentu, maupun untuk
menetapkan mekanisme pelaksanaannya. Mulai tahun 1995 para
pihak yang terlibat dalam UNFCCC bertemu secara teratur dalam

151

buku-3-pruf-4.indd 151 3/6/2011 11:32:14 PM


sebuah konferensi yang kelak dikenal dengan nama Conference on
Parties (COP).

COP-1 diadakan di Berlin, dan dalam konferensi ini negara-


negara industri maju sepakat untuk mengikatkan diri mereka
dengan kewajiban mengurangi emisi sampai tingkat tertentu
beserta tenggat waktu, dan didukung kebijakan serta ukuran-
ukuran yang jelas untuk memenuhi target tersebut. Kedua hasil
penting dari COP-1 inilah yang dikenal sebagai Berlin Mandate
(Mandat dari Berlin) yang akan menentukan negosiasi dalam
COP selanjutnya. Untuk menjawab skeptisisme yang menyatakan
bahwa perubahan iklim tidak memiliki basis sains yang dapat
dipertanggungjawabkan serta dipenuhi oleh ketidakpastian, maka
dalam COP-2 di Swiss, para menteri yang dari negara-negara yang
telah meratifikasi Berlin Mandate memperkuat komitmen mereka
dengan menandatangani Minister Declaration untuk menyatakan
bahwa perubahan iklim akibat dampak manusia telah terjadi, serta
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Langkah bersejarah dalam negosiasi perubahan iklim global


terjadi pada COP-3 di Tokyo tahun 1997, ketika seluruh anggota
sepakat menandatangani sebuah protokol memuat kewajiban
setiap negara untuk memenuhi batas maksimal emisi gas-
gas rumah kaca, dan tenggat pelaksanaannya. Para pihak yang
menandatangani Protokol Kyoto dibagi dua yaitu negara-negara
industri maju yang digolongkan dalam Annex I dengan kewajiban

152

buku-3-pruf-4.indd 152 3/6/2011 11:32:14 PM


memenuhi target emisi (legally binding), dan Annex B yang terdiri
dari negara-negara berkembang tanpa kewajiban mengikat.

Hal-hal pokok yang diatur Protokol Kyoto adalah: Kepastian


target emisi untuk setiap negara anggota, Kerangka umum
perdagangan karbon, dan Komitmen untuk mengadakan COP
selanjutnya yang diikuti penetapan sanksi bagi negara yang tidak
berhasil memenuhi target mereka. Sampai bulan Juli 1996, protokol
sudah diratifikasi oleh 164 pemerintah di seluruh dunia dan hampir
semua negara industri maju, kecuali oleh dua negara yaitu Amerika
dan Australia, yang sudah menandatangani protokol tetapi gagal
mendapatkan dukungan para wakil rakyat di dalam negeri untuk
meratifikasinya. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto tanggal
3 Desember 2004 pengesahan DPR RI terhadap Undang-Undang
No.17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protokol

Desain Protokol Kyoto sebenarnya ditujukan kepada target-


target di tingkat nasional, tetapi setiap anggota mempunyai tiga
mekanisme lain untuk mencapai targetnya melalui kerjasama
dengan negara lain, yaitu:

• Perdagangan Emisi Internasional (IET)


• Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)
• Joint Implementation (JI)

Mekanisme IET didasarkan oleh ide pembatasan emisi di


negara-negara Annex I, sedangkan CDM dan JI adalah mekanisme

153

buku-3-pruf-4.indd 153 3/6/2011 11:32:14 PM


berbasis proyek. Bila CDM diterapkan berdasarkan ide meningkatkan
pembatasan produksi emisi di negara-negara Annex B, maka JI
mempunyai ide yang sama, tetapi diterapkan di negara Annex I.
Jumlah proyek yang telah mendapatkan sertifikat reduksi emisi
dalam mekanisme CDM di Indonesia, hingga Januari 2010 terhitung
hanya enam proyek, sangat kecil dibandingkan Cina dan India yang
berjumlah ratusan.18

Tahun 1988 juga menjadi tahun bersejarah bagi negosiasi


iklim global, ketika Badan Meteorologi Dunia dan UNEP mendirikan
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Lembaga ini
ditugaskan untuk menyediakan basis data ilmiah terkait perubahan
iklim, dan menjadi basis negosiasi dalam perundingan di konferensi
UNFCCC.19 Tahun 2007 IPCC dan Al Gore menerima Nobel Perdamaian
atas upaya mereka dalam program perubahan iklim global.
Pada COP-13 di Bali tahun 2007, pemerintah Australia akhirnya
meratifikasi Protokol Kyoto dan resmi mengikatkan dirinya pada
kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca, sedangkan Amerika
Serikat menjadi satu-satunya negara industri di dunia yang belum
meratifikasi protokol. Per-bulan Oktober 2009 atau dua bulan
menjelang COP-15 di Copenhagen, sebanyak 187 pemerintahan
telah resmi meratifikasi protokol.

18 Untuk CDM dan status proyek di seluruh dunia, lihat http://www.cdmpipeline.org / dan
http://cdm.unfccc.int/
19 Untuk sejarah lengkap IPCC, lihat http://www.ipcc.ch/, dan sejarah lengkap UNFCCC,
lihat, http://www.unfccc.int/

154

buku-3-pruf-4.indd 154 3/6/2011 11:32:15 PM


3 Kebijakan Berbasis
Perubahan Iklim

PEMERINTAH Indonesia berusaha menunjukkan keseriusannya


menanggulangi dampak perubahan iklim global melalui berbagai
kebijakan. Tahun 2007 pemerintah menyelesaikan Rencana Aksi
Nasional-Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI) yang memuat
pedoman bagi institusi atau lembaga terkait dalam melaksanakan
berbagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Salah satu kelemahan RAN ini adalah sifatnya yang tidak mengikat,
sehingga kementerian masih dapat mengeluarkan kebijakan yang
menghambat bahkan kontra-produktif terhadap program mitigasi
perubahan iklim.

Hingga kini, paling tidak sudah tercatat empat regulasi yang


diterbitkan Departemen Kehutanan berkaitan dengan perubahan
iklim dan perdagangan karbon.  Pertama, Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi
dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih.  Kedua,

155

buku-3-pruf-4.indd 155 3/6/2011 11:32:15 PM


Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2008 tentang
Penyelenggaraan Demontration Activities Pengurangan Emisi Karbon
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Ini biasa disebut program
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).
Ketiga, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009
tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan.  Terakhir, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-
II/2009 tentang Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2008 tentang


Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertujuan untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan
untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam
pengendalian iklim. Dengan pembentukan DNPI, maka koordinasi
program perubahan iklim di tingkat nasional berada di tangan
DNPI dan Presiden.

156

buku-3-pruf-4.indd 156 3/6/2011 11:32:15 PM


4 Dampak terhadap
Perekonomian
Nasional

STUDI global yang diungkapkan dalam Stern Report terhadap


dampak perubahan iklim terhadap perekonomian menyimpulkan,
konsekuensi yang timbul dari efek perubahan  iklim yang ekstrim
adalah kenaikan nilai belanja antara 5%-20% dari Gross World
Product (Produk Global Bruto).

Apakah program berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan


iklim akan menguntungkan atau merugikan perekonomian
Indonesia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi saat ini?
Pemerintah Indonesia belum merilis hasil studi khusus tentang
dampak perubahan iklim terhadap aspek-aspek perekonomian
Indonesia, tetapi ADB telah menerbitkan hasil studi serupa tahun
2009, untuk kawasan Asia Tenggara. Kesimpulannya, kawasan Asia
Tenggara kemungkinan menderita perubahan iklim lebih besar
daripada rata-rata global.

157

buku-3-pruf-4.indd 157 3/6/2011 11:32:15 PM


Asia Tenggara berkontribusi sebanyak 12% terhadap total
emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2000. Dan dengan
pertumbuhan ekonomi dan populasi yang cepat angka kontribusi
ini diperkirakan akan terus meningkat. Kawasan ini mempunyai
peranan penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global di
masa mendatang. Dalam skenario emisi tinggi, suhu tahunan rata-
rata di empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—
diperkirakan meningkat rata-rata 4,8°C sampai tahun 2100 dari
tingkat suhu rata-rata pada tahun 1990; permukaan laut dunia
rata-rata diperkirakan meningkat 70 sentimeter selama periode
yang sama, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi kawasan ini.
Indonesia, Thailand, serta Vietnam diperkirakan akan mengalami
cuaca yang lebih kering dalam 2–3 dekade mendatang.20

Menurut ADB, biaya rata-rata perubahan iklim untuk keempat


negara itu—jika dunia terus “melakukan kegiatan seperti biasanya”
dan jika semua dampak pasar dan bukan pasar dan resiko bencana
besar dipertimbangkan—akan sama dengan hilangnya 6,7% Produk
Domesik Bruto (PDB) setiap tahunnya hingga tahun 2100. Kerugian
ini lebih dari dua kali lipat kerugian rata-rata global. Hingga akhir
abad ini, biaya ekonomi secara keseluruhan per tahun rata-rata
dapat mencapai 2,2% dari PDB jika hanya dampak pasar yang

20 ADB. 2009. Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional. Intisari.
Manila, Filipina, April, 2009.

158

buku-3-pruf-4.indd 158 3/6/2011 11:32:15 PM


dipertimbangkan; jika dampak non-pasar ikut dihitung maka bisa
mencapai 5,7% dari PDB; dan bisa naik hingga 6,7% dari PDB jika
risiko-risiko bencana besar ikut dihitung. Hal ini terjadi karena
keempat negara tersebut memiliki garis pantai yang relatif panjang,
konsentrasi populasi yang tinggi di daerah pesisir, ketergantungan
yang tinggi akan pertanian dan sumber daya alam, kapasitas
adaptasi yang relatif rendah, dan kebanyakan memiliki iklim tropis
dibandingkan negara-negara lain di dunia. Dengan stabilisasi gas
rumah kaca pada tingkat 450–550 ppm, biaya ekonomi secara
keseluruhan karena pemanasan global menjadi jauh lebih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa biaya jika tidak melakukan tindakan,
dan karenanya manfaat dari melakukan tindakan, bisa sangat besar
di empat negara tersebut.21

Krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 dan krisis ekonomi


global 2007-2009, menawarkan peluang untuk memulai suatu
transisi untuk mewujudkan ekonomi yang tahan iklim dan rendah
karbon di Asia Tenggara. Program-program stimulus hijau dapat
sekaligus menopang ekonomi, menciptakan lapangan kerja,
mengurangi kemiskinan, mengurangi emisi karbon, dan menyiapkan
kawasan secara lebih baik dalam menghadapi pengaruh-pengaruh
perubahan iklim yang terburuk.

21 Idem

159

buku-3-pruf-4.indd 159 3/6/2011 11:32:15 PM


5 Peranan
Stakeholder Utama

UPAYA Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim  membutuhkan


kerjasama yang kuat di antara sektor-sektor pembangunan. Kedua
upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar.
Untuk mencapai kepada kondisi tersebut pada tahun 1990, telah
dibentuk Komisi  Nasional Perubahan Iklim  (melalui Kepmen No.
07/MENKLH/1/1990 tentang Pembentukan Komite Pemantauan
dan Evaluasi Dampak Perubahan Iklim  pada Lingkungan). Pada
Tahun 1992 komite tersebut dibubarkan dan diganti berdasarkan
Kepmen No. 35/MENKLH/8/1992 tentang Pembentukan Kelompok
Kerja Komite  Nasional Iklim dan Lingkungan yang bertujuan untuk
meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas di bidang
lingkungan hidup dan dampaknya. Bulan April 2003, Kementrian
Negara Lingkungan Hidup kembali membentuk Komisi  Nasional
dan Tim Teknis Perubahan Iklim (Kepmen No. 53 Tahun 2003) dalam
rangka mengantisipasi  perubahan iklim  di tingkat tingkat  dan
koordinasi serta kerjasama berbagai pemangku kepentingan.
Dampak penting perubahan iklim terhadap kehidupan
dan pembangunan, telah mendorong Presiden Susilo Bambang

160

buku-3-pruf-4.indd 160 3/6/2011 11:32:15 PM


Yudhoyono menetapkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008
tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Otoritas nasional
untuk mengintegrasikan rencana, strategi dan implementasi
program terkait perubahan iklim dan pengawasannya, berada di
tangan DNPI yang diketuai langsung Presiden Republik Indonesia.
Dewan ini adalah koordinator tingkat nasional untuk seluruh
sektor strategis pembangunan dalam mengarus-utamakan
(mainstreaming) program-program berbasis perubahan iklim.

Berpedoman RAN-PI, para menteri atau pemimpin lembaga


negara dapat menyusun sendiri rencana aksi kementeriannya, yang
disesuaikan dengan rencana aksi nasional. Di dalam era otonomi
daerah, dimungkinkan pula gubernur atau bupati membentuk
sebuah lembaga seperti DNPI menyusun cetak biru program tentang
perubahan iklim dan memberi masukan untuk tingkat daerah.

Selain DNPI, ada pula Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional (Bappenas) yang tugas pokoknya antara lain menyusun dan
merumuskan kebijakan pembangunan nasional. Pertengahan tahun
2009, Bappenas menerbitkan Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) yang merupakan dokumen strategi adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim untuk sembilan sektor pemerintahan
seperti kehutanan, energi, industri, kesehatan, transportasi, limbah,
pertanian, perikanan dan kelautan, dan sumberdaya air. Strategi
itu diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah
dalam menyusun kebijakan terkait perubahan iklim. 22

22 Lihat, Bappenas. 2009. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), Synthesis
Report. Jakarta, December,2009.

161

buku-3-pruf-4.indd 161 3/6/2011 11:32:15 PM


6 NAMA dan
Target Emisi

SALAH satu dokumen penting yang dihasilkan oleh Bali Road Map
adalah Bali Action Plan yang antara lain memuat NAMA (Nationally
Appropriate Mitigation Action), yang merujuk pada serangkaian
tindakan kebijakan dan aksi dari pemerintah untuk mengurangi
emisi gas-gas rumah kaca. Implementasi NAMA berbeda-
beda setiap negara, sesuai prinsip “common but differentiate
responsibilities and respective capabilities”. Fokus NAMA
Indonesia adalah mengintegrasikan kebijakan berbasis perubahan
iklim dengan aspek-aspek pembangunan ekonomi lainnya yang
berbasis pro growth, pro job, pro poor dan pro environment.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di bawah NAMA antara lain
pemantauan pengurangan emisi (pengurangan lahan kritis hingga
51% pada tahun 2012), menambah sumber-sumber energi ramah
lingkungan dalam bauran energi nasional seperti geothermal, untuk
mengurangi emisi sektor energi sebesar 17% pada tahun 2025, dan
konversi limbah menjadi energi. Program lain adalah meningkatkan

162

buku-3-pruf-4.indd 162 3/6/2011 11:32:15 PM


partisipasi swasta dalam CDM, dan program pengelolaan pesisir
dan kelautan secara integratif.23

Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh Amerika Serikat tahun


2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan
komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi secara sukarela
sebesar 26 % pada tahun 2020, berbasis tingkat emisi tahun
2005. Komitmen ini lebih tinggi dari Jepang dan Australia (25%)
bahkan dari Amerika Serikat (17%). Pemerintah memiliki tujuh
sektor prioritas penurunan emisi sampai tahun 2020 yaitu sektor
energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar
1 persen. Sektor transportasi dan industri yang diperkirakan
mendukung penurunan emisi karbon masing-masing 0,3 persen
dan 0,01 persen. Lalu ada pula sektor pertanian yang diharapkan
menyumbang penurunan emisi sebesar 0,3 persen, sektor kehutanan
13,3 persen, pengelolaan limbah 1,6 persen dan pengelolaan lahan
gambut yang bisa mencapai 9,6 persen. Menurut perhitungan
Bappenas, penurunan emisi karbon hingga 26 persen pada 2020
membutuhkan dana Rp 83,3 triliun. Dalam skenario pemerintah,
bila target itu dibantu oleh negara lain, lembaga donor internasional
dan dana program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka
pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41% pada 2020.24

23 Bratasida, Liana. 2008. What is ‘nationally appropriate mitigation action?’. Presentation


at OECD Annex I Expert Group, Paris, May 5-6 2008.
24 http://www.antaranews.com/berita/1261581375/penurunan-emisi-26-persen-butuh-rp83-
3-triliun

163

buku-3-pruf-4.indd 163 3/6/2011 11:32:15 PM


7 Peranan
NGO

BANYAK NGO yang terlibat dalam menangani masalah-masalah


perubahan iklim dan dampaknya di Indonesia, baik pada tingkat
kebijakan maupun aktivitas di akar rumput. Beberapa di antara
NGO-NGO utama itu adalah:

WWF Indonesia, telah berada di Indonesia sejak tahun 1961


dan merupakan salah satu NGO lingkungan terbesar dan terlama
yang beroperasi di Indonesia. Lembaga konservasi ini memiliki 25
kantor perwakilan area tersebar di seluruh Indonesia, dan memiliki
berbagai program antisipasi perubahan iklim, misalnya program
restorasi lahan gambut di Taman Nasional Sebangau, Kalimatan
Tengah. WWF juga mendorong adanya pemanfaatan energi yang
lebih ramah lingkungan, dan perlindungan spesies.

Program WWF yang paling lama dan paling terkenal adalah


proteksi kawasan hutan tropis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

164

buku-3-pruf-4.indd 164 3/6/2011 11:32:16 PM


dan Papua, untuk mengurangi illegal logging, program sertifikasi
hutan, dan mencegah konversi hutan yang bernilai konservasi
tinggi (HCVF). Mereka juga bekerjasama erat dengan kelompok
masyarakat sipil, seperti masyarakat adat, media-massa, dan
berbagai institusi pendidikan.

The Nature Conservancy (TNC), baru saja menyelesaikan


model penerapan REDD di kawasan hutan Berau, Kalimantan Timur.
Hasil evaluasinya akan diserahkan kepada Kementerian Kehutanan
agar dapat dipakai sebagai model REDD di Indonesia. Program
prestisius yang dilaksanakan TNC di Indonesia adalah peluncuran
Coral Triangle Initiative (CTI) pada bulan Mei, 2009 yang merupakan
program enam negara untuk melindungi kawasan laut terkaya di
dunia. The Conservancy juga masih aktif melakukan penelitian
di berbagai kawasan perairan laut Indonesia, dan membantu
pemerintah dengan menyediakan dana, staf ahli, manajemen, data,
dan informasi ilmiah yang diperlukan untuk melindungi kawasan
yang memiliki sensitivitas ekologis tinggi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah NGO


yang didirikan tahun 1999 dan khusus menangani masalah-
masalah yang berkaitan dengan masyarakat adat, terutama
berhubungan dengan tuntutan kedaulatan ekonomi, budaya,
dan politik. Di tingkat internasional, AMAN diakui oleh forum
permanen PBB untuk masalah-masalah masyarakat adat. Dalam
isu perubahan iklim, AMAN menuntut pemerintah Indonesia untuk

165

buku-3-pruf-4.indd 165 3/6/2011 11:32:16 PM


menyelesaikan berbagai masalah-masalah terkait masyarakat adat
sebelum pelaksanaan berbagai mekanisme yang diputuskan dalam
negosiasi iklim seperti REDD dan REDD Plus. Anggota AMAN
saat ini mencapai 1.163 komunitas masyarakat, dan mengklaim
mewakili lebih dari 17 juta anggota. Dalam nota kesepahaman
tentang hibah US$ 1 miliar antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Norwegia, AMAN adalah salah satu NGO yang dimintai
pendapat dan pertimbangannya.

Greenpeace Indonesia, dikenal karena aksi-aksi langsung di


lapangan. Greenpeace Indonesia berafiliasi dari Grenpeace Asia dan
Greenpeace International. Kampanye Greenpeace yang terkenal
di Indonesia adalah upaya mereka menghentikan pembangunan
pembangkit listrik bertenaga batubara, dan kampanye mencegah
konversi hutan tropis dan lahan gambut menjadi perkebunan
kelapa sawit. Kedua kampanye ini telah membawa dampak
internasional yang sangat luas terhadap produksi minyak sawit
maupun para pembelinya di luar negeri. Tekanan Greenpeace
sangat kuat terhadap pasar internasional, agar menolak produk-
produk yang dihasilkan dengan cara menghancurkan hutan tropis
dan melepaskan lebih banyak emisi karbon. Tekanan Greenpeace
Indonesia juga membantu munculnya komitmen Presiden untuk
melakukan moratorium penebangan hutan alam dan pembukaan
lahan gambut mulai tahun 2011.
Civil Society Forum (CSF), adalah gabungan dari 23 NGO
dan dibentuk menjelang berlangsungnya COP-13 di Bali tahun

166

buku-3-pruf-4.indd 166 3/6/2011 11:32:16 PM


2007. Beberapa NGO yang bergabung ke CSF antara lain Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sawit Watch, Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Telapak, Lembaga Alam
Tropika (Latin), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Isu-isu yang ditangani CSF
umumnya berkaitan dengan keadilan iklim, termasuk didalamnya
isu-isu seperti hutang iklim (climate debt), produksi dan konsumsi,
dan hak asasi manusia. Dalam beberapa isu, sikap CSF sangat keras
terutama menyangkut penolakan kebijakan hutang luar negeri
untuk membiayai program perubahan iklim.

167

buku-3-pruf-4.indd 167 3/6/2011 11:32:16 PM


Glossary

Adaptasi Tindakan penyesuaian oleh sistem alam


atau manusia yang berupaya mengurangi
kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim

Antropogenik Buatan manusia atau kejadian yang


disebabkan oleh manusia

Atmosfer Lapisan gas yang melingkupi satu planet,


seperti bumi.

Perubahan Iklim Perubahan rata-rata jangka panjang yang


ditentukan oleh nilai tengah parameter
cuaca dalam mengukur kondisi iklim dan
variabilitasnya. Parameter tersebut antara
lain termasuk suhu udara, curah hujan, dan
kecepatan angin

168

buku-3-pruf-4.indd 168 3/6/2011 11:32:16 PM


Bali Road Map Dikenal pula sebagai Peta Jalan Bali adalah
dokumen kesepakatan aksi yang dihasilkan
sidang COP-13/UNFCCC tahun 2007 di
Bali, yang terdiri dari lima hal pokok yaitu
komitmen pasca 2012, adaptasi, tranfer
teknologi, REDD, dan CDM

CDM Clean Development Mechanism atau


Mekanisme Pembangunan Bersih adalah
mekanisme dalam Protokol Kyoto yang
membantu negara-negara industri untuk
memenuhi target pernurunan emisi dan
membantu negara-negara berkembang
untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan.

Efek Rumah Kaca Dampak yang ditimbulkan gas rumah kaca


ketika menahan radiasi balik matahari yang
dipancarkan bumi dalam bentuk panas
sehingga memanaskan atmosfer bumi

Gas Rumah Kaca (GRK) Gas-gas yang menyebabkan terjadinya efek


rumah kaca. Beberapa GRK utama di atmosfer
adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), ozon (O3), dinitrogen oksida
(N2O), dan chlorofluorocarbon (CFC)

169

buku-3-pruf-4.indd 169 3/6/2011 11:32:16 PM


IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change,
terdiri atas panel ahli yang dibentuk oleh
gabungan badan-badan PBB, dan terdiri dari
para ahli berbagai ilmu yang berhubungan
dengan perubahan iklim, dan bertanggung
jawab untuk memberikan informasi dan basis
ilmiah untuk UNFCCC.

Mitigasi Tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan


untuk meningkatkan penyimpanan karbon
dalam rangka mengatasi perubahan iklim

NAMA Nationally Appropriate Mitigation Action atau


Aksi Mitigasi yang Layak secara Nasional,
adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh
negara berkembang untuk mengurangi emisi
karbonnya sejalan dengan konteks ekonomi,
lingkungan, sosial, dan politik negara
tersebut.

PDB Produk Domestik Bruto adalah perangkat ukur


pendapatan nasional dengan memasukkan
nilai semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara pada periode tertentu

REDD Reducing Emission from Deforestation and


Forest Degradation, sebuah mekanisme

170

buku-3-pruf-4.indd 170 3/6/2011 11:32:16 PM


untuk mengurangi emisi GRK dengan cara
memberikan kompensasi kepada pihak-pihak
yang melakukan pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan

REDD Plus Kerangka kerja REDD yang lebih luas dengan


memasukkan konservasi hutan, pengolahan
hutan lestari atau peningkatan cadangan
karbon agar partisipasi untuk menerapkan
REDD semakin luas serta untuk memberikan
penghargaan kepada negara-negara yang
sudah melindungi hutannya

Protokol Kyoto Kesepakatan internasional agar negara-


negara industri dapat mengurangi emisi GRK
secara kolektif sebesar 5,2 persen selama
periode 2008-2012 berdasarkan tingkat emisi
tahun 1990

UNFCCC United Nations Framework Convention on


Climate Change atau Konvensi PBB untuk
Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
adalah penjanjian yang disepakati tahun
1992 untuk mendesak negara-negara yang
berkepentingan agar menstabilkan GRK pada
tingkat yang tidak membahayakan manusia.

171

buku-3-pruf-4.indd 171 3/6/2011 11:32:16 PM


Fabby Tumiwa lahir di Manado pada tahun 1976. Fabby berlatar belakang
pendidikan teknik elektro dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga,
Mendirikan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada tahun 2007 dan saat
ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Sebelum bergabung dengan IESR, Fabby sempat berkiprah di sejumlah organisasi


non-pemerintah (NGO) di Indonesia. Dia selama ini juga dikenal publik sebagai ahli
analisa energi dan ketenagalistrikan Indonesia. Komentar, tulisan serta analisanya
juga dipublikasikan di berbagai media baik cetak dan elektronik, selain diundang
sebagai nara sumber di berbagai seminar dan konferensi internasional.

Kurnya Roesad adalah penerima beasiswa PhD di Environment and Resource


Management Program at the Crawford School of Economics and Government,
Australian National University (ANU). Ia juga penerima penghargaan Australian
Leadership. Ruang lingkup penelitiannya adalah ekonomi lingkungan dan kebijakan
energi. Terkait dengan studi PhDnya, ia sempat bekerja di Jakarta sebagai peneliti di
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan kemudian menjadi
ekonom di kantor World Bank.

Mubariq Ahmad mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Indonesia


pada tahun 1985, kemudian mendapatkan gelar Master International Trade and
Finance dari Columbia University pada tahun 1990 dan mendapatkan gelar Ph.D
dalam bidang Natural Resources and Environmental Economics di Michigan State
University pada tahun 1997. Sejak tahun 2009 sampai saat ini, Mubariq Ahmad
menjadi konsultan/penasehat senior untuk bidang Kebijakan Perubahan Iklim di
World Bank cabang Jakarta. Sebelumnya Mubariq aktif terlibat dalam berbagai
proyek dan institusi internasional seperti menjadi Direktur Eksekutif WWF Indonesia
dan Indonesian Eco-labelling Institutes, serta mengepalai proyek Manajemen
Sumber Daya Natural yang dibiayai oleh USAID.

IGG Maha Adi, adalah salah satu pendiri dan sekarang menjabat sebagai Direktur
Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Setelah
menamatkan sarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, ia berkarir sebagai wartawan
di Majalah Tempo dan editor di majalah National Geographic-Indonesia.

Tahun 2010 ia mendapatkan gelar master ilmu lingkungan dari Universitas


Indonesia, dan sekarang mengajar berbagai pelatihan di bidang komunikasi
lingkungan dan jurnalisme lingkungan serta penulis lepas.
Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) didirikan pada 1958 oleh Presiden pertama
KERTAS KEBIJAKAN
Republik Federal Jerman, Theodor-Heuss. Ia menamakan lembaga ini sesuai dengan
nama seorang pemikir Jerman, Friedrich-Naumann (1860-1919), yang
memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk mewujudkan
warga yang sadar dan terdidik secara politik.

FNS mengawali kegiatannya di Indonesia pada 1969 dan memulai kerja sama
resminya dengan pemerintah Indonesia sejak 26 April 1971. FNS membagi
pengetahuan dan nasihat kepada para politisi, pembuat keputusan, masyarakat
sipil, dan masyarakat secara umum. Lembaga ini bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat dan institusi-institusi
pendidikan untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan perubahan
yang positif dan damai pada masyarakat di negara-negara itu.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit


Jl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
p. +62 21 725 6012-13 f. +62 21 7203868
email. indonesia@fnst.org
www. fnsindonesia.org
Strategi Pembangunan Indonesia
Menghadapi Perubahan Iklim:
Status dan Kebijakan Saat Ini
Kata Pengantar oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar
(Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim)

You might also like