You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi, menurut Ketentuan Umum UU
No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari
asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata
adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kakhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah: 167).

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan
kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan
Kota/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan
Solihin, 2001: 169). Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari
hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan
pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas
dari aspek keuangan:

Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah
dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri
masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah
tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama
ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen
pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan
hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari
pinjaman daerah (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).

Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan memiliki keuntungan, antara


lain dapat mengatasi keterbatasan kemampuan riil atau nyata pada saat ini dari suatu daerah
yang sebenarnya potensial dan memiliki kapasitas fiskal yang memadai. Dengan pinjaman
dapat mendorong percepatan proses pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah-daerah
yang dimaksud. Jenis pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka.
menengah dipergunakan untuk membiayai layanan masyarakat yang tidak menghasilkan
penerimaan. Sedang pinjaman jangka pendek digunakan untuk membiayai belanja
administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan. Untuk mengurangi
ketergantungan daerah kapada pusat pinjaman jangka panjang dianggap lebih efektif daripada
pinjaman jangka pendek (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam rangka penyusunan skripsi dipilih judul
Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan Pinjaman Daerah di Kota Surakarta
Tahun 2004/2005 – 2008.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah
sebagai berikut:

1. Seberapa besar Derajat Desentralisasi Fiskal keuangan daerah


Kota Surakarta?

2. Bagaimana kapasitas Pinjaman Daerah Kota Surakarta yang dihitung dengan Jumlah
Sisa Pokok Pinjaman dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian.

1. Untuk menganalisis Derajat Desentralisasi Fiskal keuangan daerah


Kota Surakartasehinggabisa diketahui rasio penerimaan daerah yang paling menonjol
terhadap Total Penerimaan Daerah

2. Untuk mengukur kapasitas Pinjaman Daerah Kota Surakarta sebagai alternatif untuk
mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat selama tahun 2004/2005 –
2008

C.2. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu:

1. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini didapat di


bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk
penelitian.

2. Sebagai masukan yang berarti bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat,
dan lembaga-lambaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat pasal 18


Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, landasan pemberian otonomi kepada daerah
dan pembentukan Daerah Otonom adalah Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 18
yang berbunyi ” Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hakhak asal-usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa UUD 1945 merupakan landasan yang kuat untuk
menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab.

A.1. Pengertian Otonomi Daerah

Menurut Ketentuan Umum UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah


Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

A.2. Prinsip Otonomi Dearah.

Menurut Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah pusat diluar yang menjadi urusan
pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi


yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada
dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi
dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud
dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan
Daerah: 168).

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus


selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus
menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya,
artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang
tak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin
hubungan yang serasi antara daerah dengan pemerintah pusat., artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan
tujuan negara (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan
Daerah: 168).

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai,
pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti
dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan
pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan,
dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas yang
berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam
melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

A.3. Titik Berat Otonomi Daerah.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanan pembangunan,


maka titik berat otonomi daerah diletakan pada Daerah Tingkat II atau Kota, dengan dasar
pertimbangan : pertama, dari dimensi politik, kabupeten dipandang kurang mempunyai
fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya
aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dari dimensi administratif, penyelenggaraan dan
pelayanan kepada masyarakat dapat lebih efektif. Ketiga, Kota adalah “ujung tombak”
pelaksanaan pembangunan sehingga Kotalah yang lebih tahu kebutuhan potensi rakyat di
daerahnya. Pada gilirannya, yang terakhir ini dapat meningkatkan pertanggung jawaban
daerah kepada masyarakat. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu yaitu
otonomi nyata dan bertanggung jawab diharapkan dapat lebih mudah direalisasikan
(Mudrajad Kuncoro, 2004: 3).

B. Keuangan Daerah.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan


berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan
kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub-sistem pemerintahan negara
dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 168).
B.1. Penerimaan Daerah

Sumber-sumber penerimaan daerah dapat dibedakan atas


penerimaan dari daerah meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil
pajak dan bukan pajak, dan dari sumbangan dan bantuan. (Suparmoko,
2002: 29)

1. Pendapatan Asli Daerah

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, peningkatan pendapatan asli daerah selalu
diupayakan karena merupakan penerimaan dari usaha untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang berasal dari pajak daerah,
retribusi daerah, bagian keuntungan perusahaan daerah, penerimaan lainlain yang sah
(Suparmoko, 2002: 29).

Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
pemerintah daerah tanpa balas jasa langsung yang ditunjuk, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pajak daerah bagian pendapatan
asli daerah yang terbesar diantaranya meliputi pajak kendaraan bermotor, pajak hotel dan
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian golongan I, dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan (Suparmoko, 2002:61).

Retribusi daerah adalah pungutan-pungutan daerah sebagai


pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau pemberian
ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan pribadi atau badan (Suparmoko, 2002: 61).

Jenis retribusi dapat dikelompokkan menjadi tiga macan sesuai dengan obyeknya. Obyek
retribusi adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah
daerah. Jasa-jasa pelayanan tersebut diantaranya dapat dikelompokkan menjadi retribusi yang
dikenakan pada jasa umum, retribusi yang dikenakan pada jasa usaha. dan retribusi yang
dikenakan pada perijinan tertentu (Suparmoko, 2002: 87).

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah merupakan
salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan serta penerimaan lain-lain yang
sah seperti biaya perijinan, hasil dari kekayaan daerah dan sebagainya (Bachrul Elmi, 2002:
51).

1. Dana Perimbangan

Dana perimbangan meliputi dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 174).

1. Pinjaman daerah

Undang-undang Nomor33 Tahun 2004 pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah salah satu sumber
penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, yang dicatat dan dikelola dalam
APBD

1. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan, antara lain, bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 173).

2. Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain hibah, dana darurat dan penerimaan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah
dan Solihin, 2001: 173).

B.2 Pengeluaran Daerah

Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran rutin terutama untuk gaji pegawai dan belanja
barang dan disamping pengeluaran rutin terdapat pengeluaran pembangunan untuk sektor-
sektor pos pengeluaran pembangunan sektoral yang menonjol adalah untuk sektor
transportasi, ligkungan hidup dan pendidikan (Suparmoko, 2002: 30).

B.3. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan Umum UU
No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah adalah
suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demikratis, transparan, dan
bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah

Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi
khusus. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (UU No.
33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 10
tentang Dana Perimbangan: 273)

1. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan
kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dana Bagi hasil bersumber dari pajak
dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari pajak meliputi pajak bumi dan bangunan,
penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan pajak penghasilan. Dan dana
bagi hasil dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi (UU No.
33 Th

2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 11 tentang
Dana Bagi Hasil: 273)

1. Dana Alokasi Umum (DAU

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan
untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar
kecilnya celah fiskal suatu daerah, yang merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi
daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya
kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya
kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara
implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal
(Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintah Daerah: 324).

1. Dana Alokasi Khusus (DAK)

2. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah


tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah : 324)

Sektor atau kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah dana administrasi, biaya
penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai daerah
dan lain-lain biaya umum sejenis (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 188)

C. Pinjaman Daerah

Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, selain Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK) serta Dana Bagi Hasil dan Lainlain pendapatan yang sah. Pinjaman Daerah
digolongkan sebagai kelompok pembiayaan daerah (sumber penerimaan pembiayaan daerah)
(UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah
Pasal 5 tentang Sumber Penerimaan Daerah: 271).

Pinjaman Daerah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan


meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus
dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri
serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, pinjaman daerah perlu
mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman daerah (Penjelasan UU No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah: 325)

C.1. Definisi Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah
uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut
terbebani kewajiban untuk membayar kembali (Ketentuan Umum UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah). Dalam undang-
undang tersebut mengatur tentang sumber dan jenis pinjaman, penggunaan pinjaman, batas
maksimum, jangka waktu, prosedur pinjaman, pembayaran kembali, pembukuan dan
pelaporan, serta ketentuan lainnya.

C.2. Sumber Pinjaman Daerah

Ada beberapa sumber darimana diperolehnya pinjaman daerah bagi pemerintah daerah,
adapun sumber pinjaman daerah tersebut adalah (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 191):
1. Dalam Negeri:

1. Pemerintah Pusat

Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat seperti jenis,
jangka waktu pinjaman, masa tenggang, tingkat bunga, cara perhitungan dan cara
pembayaran bunga, pengadministrasian dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh
menteri keuangan

1. Lembaga Keuangan Bank

Pelaksanaan pinjaman daerah yang bersumber dari lembaga keuangan bank mengikuti
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

1. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Pelaksanaan pinjaman daerah yang bersumber dari lembaga keuangan bukan bank mengikuti
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

1. Masyarakat

Pinjaman dearah yang bersumber dari masyarakat antara lain melalui penerbitan obligasi
daerah. Pelaksanaan penerbitan dan pembayaran obligasi daerah mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Sumber Lainnya

Pinjaman daerah selain sumber tersebut diatas, misalnya pinjaman daerah dari pemerintah
daerah lain.

1. Luar Negeri

1. Pinjaman Bilateral

2. Pinjaman Multilateral

C.3. Jenis dan Penggunaan Pinjaman Daerah

Dana pinjaman sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan daerah belum dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah disebabkan antara lain (Bachrul Elmi,
2002: 109):

Pertama, keterbatasan kemampuan keuangan dalam APBN, kemudian adanya persyaratan


yang relatif ketat yang diterapkan oleh pemerintah pusat dalam pemberian pinjaman.

Kedua, masih lemahnya kinerja sebagian besar BUMD dalam


menjalankan usahanya, sehingga sering merugi dan menunggak
mengembalikan pinjaman. Hal ini umumnya terjadi sebagai akibat
inefisiensi, karena masih lemahnya manajemen, SDM dan rendahnya moral
sebagian pengelola BUMD antara lain di PDAM. Padahal perusahaan
daerah seperti PDAM diberi hak monopoli pasar dan bahan baku yang
relatif murah

Ketiga, sumber dana dari penerbitan obligasi daerah belum dapat dimanfaatkan karena
ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan dan pemerintah daerah

Keempat, belum terbentuknya lembaga pasar modal yang mampu menyediakan dana secara
murah dan mudah diperoleh oleh pemerintah daerah. Sebaliknya di negara-negara seperti
Inggris dan Amerika, dana pinjaman dalam jumlah yang banyak lebih mudah diperoleh.
Dengan alasan demikian, pemerintah daerah di Indonesia selalu mengandalkan pemerintah
pusat sebagai sumber untuk mendapatkan dana. Kemudian selama berlangsungnya sistem
pemerintahan yang sentralis di masa orde baru, pemerintah daerah lebih banyak menerima
instruksi dibanding melakukan inisiatif di bidang pembangunan

C.4. Persyaratan dan Prosedur Pinjaman Daerah

Menurut UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah
Daerah Pasal 54 tentang Persyaratan Pinjaman, dalam melakukan pinjaman, daerah wajib
memenuhi persyaratan:

1. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang


akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya

2. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan


pinjaman ditetapkan oleh pemerintah

3. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang


berasal dari Pemerintah

Prosedur pinjaman daerah menurut UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 56 tentang Prosedur Pinjaman Daerah adalah:

1. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah


Daerah yang dananya berasal dari luar negeri

2. Pinjaman kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui perjanjian


penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah.

3. Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri


Keuangan dan Kepala Daerah.

4. Perjanjian Penerusan pinjaman dapat dinyatakan dalam mata uang


rupiah atau mata uang asing.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian
Bardasarkan pada tujuan penelitian maka bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian deskriptif yaitu memusatkan pada suatu kasus tertentu secara intensif,
dalam hal ini adalah analisis keuangan daerah dan perhitungan kemampuan Kota dan kota
Surakarta dalam melakukan pinjaman daerah.

1. Obyek Penelitian

Daerah penelitian yang merupakan obyek tempat akan diadakan penelitian yang mendukung
skripsi. Dalam hal ini akan mengambil lokasi di Propinsi Surakarta yang terdiri dari 4
Kabupaten dan 1 Kota, yaitu Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karang Anyar,
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen periode 2004/2005 – 2008.

1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif.
Yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Surakarta berupa laporan tahunan yang
bersangkutan.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil
Pajak dan Bukan Pajak, Bantuan, Sumbangan Subsidi, Dana Alokasi Umum, Belanja Wajib
atau Belanja Rutin, Pinjaman dan Bunga yang Jatuh Tempo dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), dan lain-lain.

1. Batasan Variabel

Supaya tidak terjadi salah penafsiran terhadap suatu variabel maka dalam penelitian ini dibuat
batasan-batasan variabel yang digunakan sebagai berikut:

1. Derajat desentralisasi fiskal adalah membandingkan antara nilai


pendapatan asli daerah (PAD, yang meliputi hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah seperti laba
Badan Usaha Milik Daerah, penerimaan dari dinas-dinas, dan
penerimaan lain-lain yang sah seperti jasa giro, hasil penjualan aset
daerah), bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP, bagi hasil pajak
misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, Bea
Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan, sedang bagi hasil bukan
pajak seperti penerimaan kehutanan, penerimaan pertambangan,
penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan minyak) dan
sumbangan (SB, yang meliputi Sumbangan dan Bantuan (sebelum
otonomi daerah) dan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
(sesudah otonomi daerah)) terhadap total penerimaan daerah (TPD,
Total Penerimaan Daerah meliputi Sisa Lebih Tahun Lalu,
Pendapatan Asli Daerah, Bagian Dana Perimbangan yang meliputi
bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dana Alokasi Khusus, dan
Bagian Penerimaan Pembangunan yang meliputi penerimaan dari pemerintah pusat,
pinjaman pemerintah daerah, pinjaman untuk BUMD.

2. Pinjaman Daerah untuk mengurangi ketergantungan terhadap


pemerintah pusat dihitung dengan menggunakan rumus pinjaman
daerah jangka panjang, karena pinjaman jangka pendek hanya untuk
menutup kekurangan arus kas sedangkan pinjaman jangka menengah
dipergunakan untuk membiayai penyediaan pelayaan umum yang
tidak menghasilkan penerimaan.

3. Besarnya jumlah Sisa Pokok Pinjaman dihitung dengan


menjumlahkan sisa Pinjaman Daerah dengan jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya. Penerimaan APBD sebelumya adalah
seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus
(sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah, Dana
Alokasi Khusus menggunakan nama Bantuan), Dana Darurat, dana
pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi
untuk membiayai pengeluaran tertentu.

4. Besarnya pinjaman daerah jangka panjang yang dihitung dengan


rumus Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan
menjumlahkan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum
(sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah , Dana Alokasi Umum
menggunakan nama Sumbangan), dan Bagian Daerah dikurangi Belanja Wajib dibagi
Angsuran Pokok Pinjaman, Bunga Pinjaman, dan Biaya Lain, dimana jumlahnya
lebih besar dari 2,5.

1. Metode Analisis Data

Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan alat analisa deskriptif. Analisa deskriptif
dimaksudkan untuk memberi gambaran perkembangan Derajat Desentralisasi Fiskal dan
perkembangan realisasi Pinjaman Daerah yang sudah dilakukan, dengan menggunakan alat
analisis sebagai berikut:

E.1. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal

Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara keuangan pusat-daerah
dan kemandirian pembiayaan keuangan daerah, dalam hal ini desentralisasi fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah. Analisis ini menggunakan metode rasio, yaitu membandingkan
antara nilai (Tri Nurmani Ariyanti, 2002: 10):

1. PAD / TPD

PAD: Pendapatan Asli Daerah

TPD: Total Penerimaan Dearah

1. BHPBP / TPD

BHPBP: Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak

TPD : Total Penerimaan Dearah

1. SB / TPD
SB : Sumbangan dan Bantuan

TPD: Total Penerimaan Dearah

Berdasarkan rasio ketiga komponen tersebut dalam struktur penerimaan APBD akan
diketahui derajat desentralisasi fiskal daerah; (Tri Nurmani Ariyanti, 2002: 10):

 Derajat desentralisasi fiskal rendah bila kontribusi pos sumbangan dan bantuan
terhadap total penerimaan daerah lebih besar dari kontribusi pendapatan asli daerah
dan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah yang berarti
keuangan daerah masih tergantung pada pemerintah pusat

 Derajat desentralisasi fiskal tinggi jika kontribusi pendapatan asli daerah dan bagi
hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah lebih besar dari
kontribusi bantuan dan sumbangan terhadap total penerimaan daerah yang berarti
keuangan daerah dikatakan mandiri

E.2. Jumlah Pinjaman Jangka Panjang Daerah yang dapat diperoleh

E.2.a. Jumlah Sisa Pokok Pinjaman

Dalam UU no. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintah
Daerah, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh daerah dalam melakukan pinjaman daerah
adalah dengan Jumlah Sisa Pokok Pinjaman. Yaitu Jumlah Sisa Pokok Pinjaman ditambah
jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD
tahun sebelumnya, atau

SPP + Pt < 75% TPn-1

Keterangan:

SPP : Jumlah Sisa Pokok Pinjaman

Pt : Jumlah Pinjaman yang akan diTARIK

TPn-1 : Jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya

Penerimaan Umum yaitu seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus
(sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah, Dana Alokasi Khusus
menggunakan nama Bantuan), Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang
kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu

Suatu daerah jika jumlah sisa pokok pinjamannya ditambah jumlah pinjaman yang akan
ditarik tidak melebihi 75% (<75%) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya
maka daerah tersebut boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang, sebaliknya jika
jumlah sisa pokok pinjamannya ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik melebihi 75%
(>75%) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya maka daerah tersebut tidak
boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang

E.2.b. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)


Besarnya pinjaman jangka panjang daerah yang dapat diperoleh Kota dan kota di Surakarta
dapat dicari dengan rumus (Penjelasan UU No. 33 tahun 2004 pasal 54 Huruf b ):

You might also like