You are on page 1of 15

Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia

Philips J. Vermonte

Pendahuluan

Umumnya pembahasan mengenai demokratisasi lebih banyak menekankan pada faktor-faktor


domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses
demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa
aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha
mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Karena itu, proses-proses politik di masa
transisi cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk
menganalisis proses demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi
karena adanya anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan
menentukan tindakan politik apa yang akan diambil.[1]

Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik sebetulnya
membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi
oleh faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa
terjadi dalam beberapa bentuk: contagion, control, consent dan conditionality. Contagion
terjadi ketika demokratisasi di sebuah negara mendorong gelombang demokratisasi di negara
lain. Proses demokratisasi di negara-negara Eropa Timur setelah Perang Dingin usai dan juga
gelombang demokratisasi di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970-an merupakan
contoh signifikan.

Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan
demokrasi di negara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan Yunani untuk
memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai ‘negara demokrasi’ dan
karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari Amerika Serikat.[2]

Bentuk ketiga, consent, terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam
negara sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik, seperti
yang berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh negara
tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat
bagi warga negara di dalam negara itu. Kasus yang paling sering disebut dalam hubungannya
dengan hal ini adalah reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat.[3] Bentuk keempat
dari dimensi internasional dalam proses demokratisasi adalah conditionality, yaitu tindakan
yang dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi-kondisi tertentu yang harus
dipenuhi negara penerima bantuan.[4]

Keempat bentuk di atas menggambarkan proses outside-in, dimana dorongan demokratisasi


datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang mungkin terjadi adalah proses inside-
out, yaitu proses dimana negara yang tengah mengalami proses demokratisasi menggunakan
diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Dalam studinya
mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan politik luar negerinya,
Alison Stanger menemukan bahwa proses transisi bisa dipertahankan arahnya ketika negara –
negara demokrasi baru ‘membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang
lebih mapan’.[5]

Dua alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, politik luar negeri bisa
digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian
yang digantikannya. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan pertama, prospek bagi
kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan
semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal.

 
Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia di Masa Transisi Demokrasi

Masa Pemerintahan Habibie

Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek outside-in dan
inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu misalnya, conditionality yang
diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis ekonomi berpengaruh
baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan demokratisasi di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri Indonesia sejak kejatuhan
pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik
secara masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan
Habibie, yang menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk
menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah
pemerintahan di masa transisi.

Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.
[6]Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam
cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang
berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Pertama adalah UU no.5/1998
mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie
pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak
pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie
yang pendek tersebut.

 
Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian
masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari
masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan
domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) dapat
dijadikan ilustrasi yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk
menghentikan proyek pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari
1998, tepat ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang
dipertanyakan. Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali
kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga
tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi
sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.
[7]

Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak
terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk
memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi
keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.

Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana
ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor
Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.

Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan
bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah
Timor Timur.

 
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang
dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie
yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi
referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi
dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-
determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal
tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru
dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu,
keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan
pemerintahan Habibie sendiri.[8]

Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal.
Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua,
kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara
dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.[9]

Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di


mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya
mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan
mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur
setelah referendum.[10]

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis,
terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke
Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada
bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial
kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju
demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu
separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga
menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan
sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri).

Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan
Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif
antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol
sipil atas militer yang subyektif sifatnya.

Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi
khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah
referendum 1999 direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan
dengan jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus
bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut.[11]

Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada
Dewan Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI
yang dinilai bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, KPP
HAM yang dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca
referendum juga melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM
serius di Timor Timur dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI
yang terlibat, termasuk Wiranto.[12]

Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan dari Davos saat ia menghadiri World Economic
Forum bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan dalam kabinetnya.[13] Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur dari
kabinet dan akibatnya memunculkan spekulasi kemungkinan kudeta oleh TNI.

Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB
Richard Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa TNI tidak
mendukung investigasi atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan
pengambil alihan kekuasaan.[14] Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari
semua angkatan memberi pernyataan bahwa TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan
pemerintahan Wahid. Bahkan Panglima Daerah Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal
Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa TNI tetap loyal kepada presiden Wahid sebagai
panglima tertinggi. Bahkan ia memberi pernyataan menarik yaitu:

 
TNI could have toppled the government of former President Habibie over
the East Timor issue. We were able to stage a coup at that time out of our
deep sorrow that the president wanted to let go of East Timor at the expense
of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.[15]

                 

Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari
ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Akbar Tanjung.[16] Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus
menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-
demokrasi[17] untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI
ataupun penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI. Keputusan pemberhentian
Wiranto, misalnya, diungkapkan kepada publik ketika Sekjen PBB Kofi Annan berada di
Jakarta. Bahkan dalam konferensi persnya di istana presiden setelah bertemu Wahid, Kofi
Annan menyatakan bahwa ‘the decision [onWiranto] has proven that Indonesia had taken on
responsibility to ensure that those responsible for the atrocities in East Timor would be made
accountable’.[18]

Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang
singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam
pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini,
selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus
Aceh[19] dan isu perbaikan ekonomi.

Masa Pemerintahan Megawati

Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan


kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia,
Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania,
Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan.
Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai
frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi
pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari
kunjungan Megawati ke Moskow.

Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa
pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional.
Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002
dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika
Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan
beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
 

Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan
terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama
internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan
terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya
kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip
security approach di dalam negeri.

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada
masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa
pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang
cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung
tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk
mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya,
Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka
memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk
mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.[20]

Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat,
terutama setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini
memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.

Demokrasi dan Politik Luar Negeri di Masa Transisi:

Mencari Benang Merah

Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung
di semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang
diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan
penuh pihak eksekutif. Di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara
pemerintah dengan DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi
hanya terjadi dalam level yang sangat minimal. Karena itu, perumusan kebijakan diplomasi
dan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan
bahwa setiap kebijakan dalam dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan
nasional secara lebih luas.

Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi, sebagaimana
dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang umum terjadi. Seperti
ditulis Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya Democratization and Russian Foreign
Policy (1999), partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia
merupakan arena terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah
yang berkuasa. Akibatnya, mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya.

Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses demokratisasi
memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensinya,
terjadi perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang
politik luar negeri. Berkaitan dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari
bahwa ia bukanlah satu-satunya instrumen diplomasi. Karena, input-input untuk sebuah
kebijakan menjadi amat beragam, baik isi ataupun sumbernya.

Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan beberapa pihak di
DPR dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan fenomena sehat dalam bidang
diplomasi sebuah negara yang demokratis. Robert Putnam (1993) menyebutnya
sebagai’double-edged diplomacy’[21], yaitu adanya keharusan mereka yang terlibat dalam
proses diplomasi untuk menyadari bahwa diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan
luar negeri. Di dalam negeri, langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif
harus mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin aktor politik, salah satunya adalah pihak
legislatif.

Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari
bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan juga penting untuk
selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negara-
negara lain, baik dalam konteks regional ataupun global.

Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang mencoba
menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif membantu mencari solusi
damai dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa
negara ASEAN dan luar ASEAN, aktif membantu penyelesaian konflik Kamboja, dan juga
dalam isu domestik di Filipina Selatan.

Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep


pembentukan ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari
Indonesia memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas
perubahan politik dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat
demokratis adalah masyarakat yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara
damai sebagai pilihan utama.

ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai first-linerpertahanan negara


di masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah
masyarakat Asia Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan kekerasan atau
instrumen militer dalam menyelesaikan konflik. Karena itu, apabila Indonesia tidak mampu
secara konsisten menempuh jalan damai untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak
mungkin Indonesia akan terjebak dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong
penyelesaian damai dalam persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara
kekerasan dalam menghadapi persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda
semacam ini yang akan memberi citra buruk di luar negeri.

Karena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup dan perlu
memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara sepenuhnya
bersesuaian dengan kepentingan Indonesia. Situasi damai dan stabil hanya akan dicapai
apabila penyelesaian konflik secara damai, tanpa kekerasan, telah disepakati menjadi norma
bersama. Dan Indonesia telah menunjukan diri sebagai penganjur penyelesaian damai dalam
berbagai konflik di kawasan Asia Tenggara sebagaimana dicontohkan di atas.

Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk
pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di
negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan
diri sebagai negara demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan
substansial bagi proses konsolidasi di dalam negeri.

Preseden baik telah dicapai dalam sikap Indonesia saat menolak aksi unilateralisme dalam isu
Irak. Sikap Indonesia dalam forum internasional konsisten dengan sikap sebagian besar
masyarakat Indonesia yang menolak perang. Bahkan melalui diplomasi publiknya, Deplu
bersama-sama elemen masyarakat dan tokoh agama aktif mengkampanyekan suara anti
perang dan memilih prinsip multilateralisme. Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa
suara publik kian menjadi elemen penting dalam politik luar negeri Indonesia.

Catatan Penutup

Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri dapat memberi sumbangan positif
bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri. Karena itu, Indonesia berkepentingan
untuk menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif bagi proses konsolidasi tersebut.
Sehingga, menciptakan kawasan Asia Tenggara yang dihuni negara-negara yang demokratis
seharusnya menjadi tujuan politik luar negeri Indonesia saat ini. Bukan dalam pengertian
‘mengekspor demokrasi’, akan tetapi sebagai lingkungan eksternal terdekat bagi Indonesia,
demokratisnya kawasan Asia Tenggara akan turut mempengaruhi situasi politik di Indonesia.
Bila di zaman Orde Baru terbentuk pemerintahan tertutup di hampir sebagian besar negara
anggota ASEAN karena adanya like-minded authoritarian leaders, termasuk pemerintahan
Suharto di Indonesia, tiba waktunya untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang
dipimpin oleh like-minded democratic leaders.

Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Organization of American States (OAS) yang secara
multilateral telah bersepakat sejak tahun 1991 bahwa negara-negara anggota OAS akan
‘adopt any measures deemed appropriate to restore democracy if one of their members were
to be overthrown by non-constitutional means’. Bahkan dalam Inter-American Democratic
Charter dari OAS yang ditandatangani pada tahun 2001, anggota-anggota OAS memperkuat
perjanjian terdahulu dengan menyatakan bahwa negara-negara anggota OAS tidak akan
melegitimasi perubahan rezim secara inkonstitusional di salah satu negara anggotanya.[22]
Kuatnya komitmen regional semacam ini hanya mungkin muncul dari kesadaran bahwa
demokrasi merupakan kepentingan seluruh masyarakat, bukan penguasa negara, yang
menghuni kawasan tertentu, seperti Amerika Latin atau Asia Tenggara atau ditempat lain.

[1]Lihat misalnya Guillermo O’Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, Transition from
authoritarian rule: prospect for democracy (Baltimore: Johns Hopkins University, 1986), Buku I, hal.5

[2] Laurence Whitehead, “International aspect of democratization” dalam O’Donnel, G., Schmitter, P.,
Whitehead, L. (eds), Transition from authoritarian rule: prospect for democracy (John Hopkins University
Press: Baltimore, 1986), hal. 5.

[3]Philippe C. Schmitter, “The international context of contemporary democratization”, Stanford Journal for
International Affairs, no.2 (1993), hal. 5.

 
[4]Kasus paling akhir yang masih sering diperbincangkan adalah conditionality yang diberlakukan oleh IMF
dalam paket bantuan keuangan bagi beberapa negara, termasuk Indonesia, saat mengalami krisis ekonomi.
Conditionality ala IMF ini menimbulkan kontroversi luas. Misalnya Martin Feldstein yang berkeyakinan bahwa
conditionality yang diikutkan IMF dalam program bantuan keuangannya tidak relevan untuk perbaikan ekonomi
negara penerima bantuan karena bersifat subyektif. Terlebih bila dilihat sebenarnya IMF dibentuk hanya dengan
tujuan untuk menjaga sistem fixed exchange rates pada tahun 1945. Selanjutnya lihat Martin Feldstein,
“Refocussing IMF”, Foreign Affairs, vol.77/2 (1998). Juga periksa Jeffrey Sachs, “ IMF is a power onto itself”,
Wall Street Journal, 11 Desember 1997.

[5]Alison Stanger, “Democratization and the international system: the foreign policies of interim governments”
dalam Yossi Shain dan Juan Linz (eds), Between states: interim governments and democratic transitions
(Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal. 274-276.

[6]Uraian yang jelas mengenai tantangan atas legitimasi dan bagaimana Habibie menghadapinya bisa diperoleh
dalam Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia:
renewal or chaos?(Crawford House Publishing: Bathurst, 1999), hal.4.

[7] periksa Adam Schwarz, A nation in waiting (Allen-Unwin: New South Wales, edisi kedua, 1999), hal. 373.

[8]Lihat tulisan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer,”East Timor – looking back on 1999”,
Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 (2000), hal.5.

[9]Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung
Habibe dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta
Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit
bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try
Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan
menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk
memilih Akbar Tanjung. Selanjutnya lihat Keith Richburg, “Seven days in May that toppled a titan: back-room
intrigue led to Suharto’s fall” dalam Aspinall, E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The last days of President
Suharto(Monash University: Monash Asia Institute, 1999), hal.70. Lihat juga Marcus Mietzner, “From Suharto
to Habibie: the Indonesian armed forces and political Islam during transition” dalam Forrester, G. (ed), Post
Suharto Indonesia: renewal or chaos?(Bathurst: Crawford House Publishing, 1999).

[10]Utusan Khusus PBB untuk masalah HAM di Timor Timur (UN High Commissioner for Human Rights)
melaporkan bahwa pembunuhan dan kekerasan di Timor Timur setelah referendum, terutama Dili, dilakukan
oleh milisi pro integrasi yang diduga keras didukung oleh TNI. Laporan Utusan Khusus PBB tersebut bisa
diakses di http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument

[11]“Sekjen PBB periksa pelanggaran HAM Timtim”, Kompas Online, 13 Januari 2000 bisa diakses di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/13/utama/sekj01.htm

[12] “Rekomendasi Komnas HAM: Jaksa Agung diminta menyidik Wiranto”, Kompas Online, 1 Februari 200,
bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/01/UTAMA/jaks01.htm
 

[13] “East Timor panel blames army for atrocities”, Washington Post, 1 Februari 2000 bisa diakses di
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/01/1441-020100-idx.htm

[14]“US warns against coup by military in Indonesia”, Washington Post, 15 Januari 2000. Bisa diakses di
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-01/15/0621-011500-idx.htm

[15]“Military renews allegiance to government”, The Jakarta Post, 20 January 2000.

[16] “Soal pemberhentian Wiranto: Amien dan Akbar Tanjung dukung Gus Dur”, Kompas Online, 3 Februari
2000. Bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/03/utama/amie01.htm

[17]Abdurrahman Wahid memiliki reputasi internasional misalnya pada tahun 1993 mendapat penghargaan
Ramon Magsaysay. Sejak tahun 1994 ia juga aktif dalam World Council on Religion and Peace.

[18]“UN chief applauds Indonesian inquiry”, Washington Post, 16 Februari 2000. Bisa diakses di
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/16/1131-021600-idx.html

[19]Dalam konferensi bersamanya dengan presiden Wahid, PM Malaysia waktu itu Mahathir Mohammad
menyatakan bahwa Malaysia tidak mendukung pemisahan Aceh dari Republik Indonesia dan tidak akan
membiarkan Malaysia dijadikan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam KTT Informal ASEAN ke 3 di
Manila tahun 1999 juga dikeluarkan pernyataan bersama para pemimpin ASEAN bahwa ASEAN mengakui
integritas teritorial Indonesia sepenuhnya. Presiden Cina Jiang Zemin ketika menerima presiden Wahid di
Beijing juga menekankan bahwa stabilitas politik Indonesia dan integritas teritorial Indonesia merupakan kunci
bagi stabilitas regional, tidak hanya Asia Tenggara namun juga Asia secara keseluruhan. Selanjutnya lihat “PM
Mahathir Mohammad: Malaysia tidak ingin Aceh lepas dari Indonesia” Kompas10 Maret 2000; “Tahun 2010
ASEAN bebaskan bea masuk”, Kompas 29 November 1999; “Cina tidak mendukung separatisme di Indonesia”,
Republika 2 Desember 1999.

[20]Dalam siaran persnya diawal tahun 2002, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyebutnya sebagai
faktor intermestik. Sejalan dengan pemahaman baru ini, Deplu memperkuat fungsi diplomasi publik yang
dimaksudkan untuk memperkuatnetworkingdengan berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya media,
masyarakat, akademisi dan juga lembaga swadaya masyarakat.

[21]Penjelasan lebih lengkap lihat Robert Putnam, Harold Jacobson dan Peter Evans, Double-edged diplomacy:
international bargaining and domestic politics (University of California Press: Los Angeles, 1993).

[22]Adanya kesepakatan ini sedikit banyak menjadi alasan tidak berhasilnya usaha kudeta terhadap Presiden
Hugo Chavez pada tahun 2002 di Venezuela. Selanjutnya lihat Philips J Vermonte, “Democracy interrupted:
lessons from Venezuela”, Jakarta Post 24 Mei 2002.

You might also like