You are on page 1of 2

boni.agung@gmail.com / http://info-csr.blogspot.

com

Konsep hak asasi manusia mengimplikasikan adanya "tanggung jawab


Social

Namun, sudah jamak, hukum bukanlah hukum tanpa enforcement, atau dalam
perspektiffilsafat hukum sering disebut "faktisitas", yaitu keterterimaan oleh masyarakat
dan subyek hukum lainnya, seperti pebisnis. Enforcement itu, tidak bisa tidak, pasti
mengandaikan politik. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab terpenting terkait
dengan CSR adalah tanggung jawab politik.

Pada saat ini Pertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris.
Artinya, institusi atau aktor politik bertanggung jawab bukan semata karena mendapatkan
kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tetapi terutama karena
praktik penggunaan kekuasaan yang nyata di lapangan. Dengan demikian, sebuah
perusahaan yang bukan merupakan institusi politik, tetapi kekuasaan ekonominya
memiliki implikasi politik yang amat signifikan bagi masyarakat misalnya kehadirannya
menyebabkan terampasnya hak-hak sosial dan politik komunitas tertentu di mana
perusahaan itu beroperasi apalagi jika perusahaan itu terlibat dalam kampanye dan
kegiatan politik baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, akan sah secara
politik dimintai pertanggungjawaban.
Terkait advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta dari pelaku bisnis bukan lagi
moralis, sosial, filantropis, voluntary, tetapi politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi
manusia melampaui pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan
kewajiban legal, yang sudah saatnya dikritik adalah kewajiban politik. Artinya, hak asasi
manusia telah menjadi standar legitimasi kekuasaan. Jika itu diabaikan, legitimasi
pemegang kekuasaan menjadi goyah.

Bisnis ditagih pertanggungjawaban politiknya bukan dilihat dari segi sumber kekuasaan,
tetapi karena praktik kekuasaannya. Logika yang sama juga dikenakan terhadap aktor-
aktor nonnegara, seperti vigilante.

Menurut Mitchell, Agle dan Wood (1997),8 tiga atribut yang penting adalah power,
legitimacy dan urgency. Power berarti kemampuan untuk memengaruhi perusahaan dan

1
boni.agung@gmail.com / http://info-csr.blogspot.com

apabila perlu menggunakan paksaan ketika perusahaan melakukan perlawanan atas


kepentingannya. Legitimacy berarti dukungan atas tindakan yang dilakukan pemangku
kepentingan terhadap perusahaan, yang bisa berasal dari berbagai macam nilai atau
norma yang ada di masyarakat. Sementara, urgency berarti derajat kepentingan suatu isu
atau klaim dari pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya sensitivitas waktu bagi
pemenuhannya oleh perusahaan. Driscoll dan Starik (2004)9 kemudian menambahkan
proximity sebagai atribut penting bagi pemangku kepentingan, dengan definisi sebagai
fakta kedekatan dalam ruang, waktu atau urutan. Semakin banyak atribut di atas dimiliki
oleh orang atau kelompok, semakin signifikan posisinya sebagai pemangku kepentingan.
Kalau lingkungan alam ditimbang dengan keempat kriteria itu, ia memiliki keabsahan
yang sangat tinggi sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Kalau lingkungan rusak,
perusahaan tidak lagi dapat berusaha darinya. Ini menandakan bahwa lingkungan
memiliki power.

Sementara legitimacynya diperoleh dari hukum positif, hukum adat dan norma
lain yang menyatakan pentingnya perlindungan atas lingkungan. Urgency penyelesaian
berbagai masalah lingkungan juga sangat tinggi, mengingat kita tidak dapat hidup kalau
kerusakan alam terus terjadi. Dengan kondisinya yang mengelilingi kita semua, maka
atribut proximity jelas dimiliki lingkungan. Perimbangan atas keempatnya membuat
Driscoll dan Starik menyatakan status lingkungan sebagai pemangku kepentingan adalah
primordial, yang berarti “berada pada urutan pertama dalam urutan waktu, atau primer
dan fundamental.

You might also like