Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1960, namun sampai sekarang ketergantungan terhadap beras dan terigu belum
dapat dihilangkan. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008
karbohidrat masih didominasi oleh beras dan terigu dengan nilai kontribusi
konsumsi karbohidrat sebesar 64,1% (diatas angka anjuran sebesar 50%). Hal ini
mendorong pencarian sumber pangan pengganti tepung terigu dan beras yang
difokuskan pada sumberdaya lokal. Salah satu sumberdaya lokal yang memiliki
di beberapa daerah. Kandungan gizi jagung tidak kalah dengan beras atau terigu,
kandungan serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten (pro vitamin A) yang tinggi
(Suarni, 2001). Selain itu, jagung merupakan pangan yang tergolong indeks
glisemik sedang (Loehr and Schwartz, 2000), dan ketiadaan gluten menjadikan
jagung cocok dikonsumsi oleh penderita gluten dan autis (Nirmala, 2008).
tinggi di Indonesia. Jagung varietas hibrida merupakan jenis jagung yang semakin
1
meningkat 10 % atau mencapai 2 juta ha. Hal ini mendukung peningkatan
produksi jagung sebanyak 18 juta ton. Peningkatan benih hibrida ini diharapkan
jagung hibrida yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima,
Nusantara 1, Pioneer 21, Pioneer 12, dan C-7 (Iriany dan Andi, 2007).
Pemanfaatan jagung kuning hibrida untuk produk pangan saat ini masih sangat
dimanfaatkan untuk produksi pakan ternak dan hanya sebagian kecil yang
Salah satu bentuk olahan jagung paling sederhana adalah pembuatan tepung
jagung. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai
lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi masyarakat saat ini
produk yang sesuai dengan mutu yang ditargetkan. Pada penelitian ini produk mi
2
produk pangan non beras lainnya (Hariyadi, 2010) dan untuk memberikan
60 % diserap oleh industri mi instan dengan angka impor gandum mencapai 4,84
juta ton tiap tahun dan peningkatan sebesar 9 % per tahun (Wikipedia, 2008).
Tepung non gandum yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku mi
harus memiliki sifat seperti daya serap air yang tinggi, swelling volume dan
kelarutan yang rendah, viskositas maksimum yang tinggi dan cepat mengalami
retrogadasi (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010), memiliki kapasitas emulsi yang
baik, tepung yang stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung
rendah (Chen, 2003). Mi yang dihasilkan dari tepung dengan karakter seperti
disebutkan diatas memiliki cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan
Menurut Moorty (2002), sifat tepung sangat dipengaruhi oleh varietas, cara
hibrida akan berpengaruh pada sifat tepung yang dihasilkan. Seleksi varietas
memperoleh sifat tepung jagung yang sesuai dengan produk mi instan dan lebih
Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan
dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada
3
Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih sering
kerusakan pati dan komposisi kimia tepung yang berbeda. Menurut Usansa et al.
penyusun bahan menjadi komponen yang lebih larut ke dalam media perendam
sehingga dapat menyebabkan perubahan komponen kimia tepung. Selain itu pati
(Dubat, 2004). Perubahan sifat tepung dapat disebabkan oleh kerusakan pati
(Arora, 2003) dan perbedaan kompoisi kimia bahan (Lewis, 1987). Penentuan
hibrida terbaik, menentukan jenis metode penggilingan yang tepat dan mengetahui
untuk menghasilkan tepung jagung dengan sifat fisik, kimia, dan fungsional yang
paling sesuai untuk produk mi instan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
hibrida dari beberapa varietas yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan mi
instan untuk meningkatkan nilai ekonomis jagung kuning hibrida, dan membantu
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung Hibrida
Ordo Glumiflorae, Famili Graminae, Genus Zea, Spesies Zea mays. Faktor iklim
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman jagung hibrida sama dengan jagung
pada umumnya yaitu suhu antara 21˚C – 30˚C, dengan ketinggian tempat mulai
penyinaran dan curah hujan yang cukup (Aak,2008). Dewasa ini jagung hibrida
tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Berbagai macam tanah dapat
diusahakan untuk pertanaman jagung hibrida bahkan pada lahan yang kurang
Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung
yaitu jagung hibrida dan jagung komposit (bersari bebas). Jagung varietas hibrida
produksi jagung nasional karena memiliki potensi hasil lebih tinggi dibanding jenis
jagung bersari bebas sekitar 8-13,3 ton per ha. Varietas hibrida memberikan hasil
yang lebih tinggi dari bersari bebas karena memiliki gen-gen dominan yang
berdasarkan gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi atau
generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu, varietas hibrida selalu dibuat
5
diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Beberapa varietas jagung hibrida
yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima, Nusantara 1, Pioneer
bebas seperti : lebih seragam dan mampu berproduksi 40-56% lebih tinggi, satu
tahan terhadap hama dan penyakit (Aak, 2008), menghasilkan biji yang lebih
besar dan mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan (Suartha, 2008), warna
Iriany dan Andi (2007) menyatakan bahwa jagung hibrida yang banyak
ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint), jagung gigi kuda (dent), setengah
gigi kuda (semi dent) dan setengah mutiara (semi flint), seperti Prima (flint), P-21
(dent), P-12 (semi dent), C-7 (semi dent), Bisi 16 (semi flint), Pioneer-2 (semi
flint), Hibrida C-1 (semi flint), dan lain-lain. Selain itu di Indonesia juga terdapat
jagung tipe berondong (pop corn), dan jagung manis (sweet corn). Jagung mutiara
lebih sulit dibuat tepung dibanding jenis jagung lainnya. Hal ini disebabkan
6
Pengetahuan tentang anatomi biji jagung diperlukan dalam proses
penyimpanan dan pengolahan jagung menjadi tepung secara tepat. Jagung terdiri
dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), tipcap, germ dan endosperma
Kulit adalah bagian yang berfungsi sebagai pelindung endosperma dan bakal
benih dari kerusakan fisik serta serangan serangga, menahan air dan mengurangi
proses penguapan air dari biji secara berlebihan yang dapat mengurangi bobot biji
karena mengandung serat yang tinggi. Bagian tipcap adalah bagian tempat
menempelnya biji pada tongkol jagung. Bagian ini merupakan jalur makanan dan
air untuk biji. Bagian germ (bakal benih) adalah bagian dari biji yang akan
tumbuh menjadi tanaman baru. Bagian ini mengandung vitamin dan mineral serta
lemak yang dibutuhkan biji untuk tumbuh. Bagian ini perlu diminimalkan agar
dihasilkan tepung dengan persyaratan kadar abu dan lemak yang sesuai SNI.
Bagian endosperma merupakan bagian terbesar dari biji (lebih dari 80%) yang
7
Bagian endosperma adalah bagian yang mengandung pati, yang berfungsi
terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian
besar adalah zein (Johnson 1991). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian
endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat.
Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati
alternatif padahal secara umum komposisi kimia biji jagung sebanding dengan
beras dan gandum. Kandungan karbohidrat jagung relatif tidak berbeda jauh dari
beras dan gandum sehingga nilai energinya (kalori) juga hampir sama (Tabel 1).
8
Selain keunggulan nutrisi jagung juga memiliki keunggulan lainnya yaitu
pewarna alami dan dapat dijadikan bahan baku makanan yang cocok bagi
penderita alergen gluten dan penderita autis. Menurut Loehr and Schwartz (2009)
jagung merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki IG (Indeks Glisemik)
sedang yaitu sebesar 59. Makanan dengan indeks glisemik tinggi akan
menyebabkan terjadinya loncatan kandungan gula darah yang tinggi secara tiba-
tiba. Kadar gula darah menjadi tidak stabil, tubuh tiba-tiba merasa kenyang
namun juga segera cepat menjadi lapar kembali. Perputaran siklus ”lapar-cepat
waktunya dan dengan jumlah tidak terkontrol dengan baik sehingga berpotensi
dengan indeks glisemik sedang juga membantu mengontrol kadar gula darah pada
penderita diabetes.
diantaranya beta-karoten dan 51% xantofil. Pigmen xantofil yang utama adalah
menjadi filter terhadap sinar UV. Sedangkan xanthofil memiliki fungsi meregulasi
perekembangan sel dan melindungi sel normal dari sel mutan pemicu penyebab
kanker, menangkal radikal bebas yang dapat merusak jaringan tubuh, sistem
9
imunitas tubuh terhadap serangan infeksi dengan meningkatkan komunikasi antar
dikonsumsi oleh penderita alergi gluten dan penderita autis. Menurut Nirmala
(2008) adanya kandungan protein gandum (termasuk gluten) dalam jumlah sedikit
pada mereka yang sensitif, seperti gatal-gatal pada kulit, eksim, gangguan
pencernaan (kram perut, mual dan muntah) serta gangguan pernapasan. Reaksi
alergen ini melibatkan antibodi IgE yang terdapat di dalam darah. Antibodi IgE
bereaksi terhadap protein gluten yang dianggap sebagai alergen (bahan penyebab
alergi).
kesehatan usus pada penderita autis. Bagi penderita autis, gluten dianggap sebagai
racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna
protein jenis ini. Akibatnya protein yang tidak tercerna ini akan diubah menjadi
komponen kimia yang disebut opioid. Opioid bersifat layaknya obat-obat seperti
opium yang bekerja seperti toksin yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem
yang sangat halus, kering dan tahan lama, serta fleksibel dalam penggunaannya.
10
Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses
memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Pengolahan biji jagung
dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan baik.
Pelepasan kulit luar biji yang cukup sulit dapat diatasi dengan menggunakan
mesin penyosoh jagung. Proses pembuatan tepung jagung adalah biji jagung
tingkat kebagusan dan keseragaman serta untuk memisahkan bahan dari benda
asing. Sedang penyosohan bertujuan untuk melepaskan kulit, germ dan tip cap
sehingga yang tersisa hanya endosperma saja. Kulit memiliki kandungan serat
yang tinggi sehingga harus dipisahkan karena dapat menyebabkan tekstur tepung
menjadi kasar dan tidak sesuai SNI 01-3727-1993 sedangkan germ merupakan
bagian yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga perlu dipisahkan karena
dapat menyebabkan tengik. Tip cap juga perlu dipisahkan karena menyebabkan
tepung menjadi kasar dan dan terdapat butir-butir hitam pada tepung.
beberapa fraksi ukuran yang lebih kecil. Alat penggilingan yang digunakan untuk
membuat tepung dari serealia terdiri dari alat penghancur dan penggilas (grinder
dan ultra fine grinder). Hasil penggilingan kemudian diayak untuk memisahkan
11
Secara umum terdapat dua jenis metode penggilingan yang sering
diterapkan dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering.
2002). Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih
sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998). Efisiensi
bahan olah dan menghasilkan tektur yang lebih halus (Haros et al., 2003). Disisi
lain metode basah membutuhkan modal yang lebih besar dan memerlukan
metode kering tidak menghasilkan limbah dan tepung dapat langsung digunakan.
Sifat kimia, fisik dan fungsional memiliki hubungan yang saling terkait
(Lewis, 1987). Berikut analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung yang
1. Sifat kimia
12
komposisi kimia yang tepat untuk dibuat mi instan. Sifat kimia tepung meliputi
kadar air, abu, protein total, lemak, pati, dan amilosa. Pengujian karakteristik
kimia juga bertujuan untuk memperoleh tepung sesuai standar mutu yang
teregulasi. Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
3727 (1993) disajikan pada Tabel 2. Khusus untuk kadar pati jumlah minimum
2. Sifat fisik
Sifat fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari bahan
pangan (Wikipedia, 2009). Sifat fisik tepung meliputi rendemen, starch damage,
13
a. Rendemen
nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung
b. Starch Damage
kerusakan yang lebih besar. Terdapat dua jenis starch damage, yakni cracks
dan breaks (Dubois 1949 dalam Dubat, 2004). Kedua tipe jenis starch
starch damage menyebabkan daya serap air menjadi lebih tinggi menjadi 2-4
kali berat semula. Pati dikatakan 100% mengalami kerusakan bila menyerap
air sebanyak jumlah pati pada suhu 30˚C. Sedangkan pati alami (native
starch) hanya mampu menyerap 0,4 kali berat mula-mula. Hal ini penting
secara ekonomi, karena air merupakan salah satu ingridien yang murah untuk
meningkatkan rendemen pada produk seperti roti dan mi basah (Dubat, 2004).
14
Selain itu starch damage dapat meningkatkan mobilitas adonan (lembut dan
pembuatan roti. Disisi lain, daya serap yang terlalu tinggi dapat
15
fisik dan fungsional tepung gandum yang dihasilkan seperti warna, swelling
industri penepungan dapat mengatur tingkat starch damage, baik dengan cara
c. Densitas kamba
dengan densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak
efisien dari segi tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009).
16
secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran
cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin
putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI
tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan
baku jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan
e. Nilai pH
Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2008).
Pada pembuatan mi, faktor utama pembentukan gel adalah gelatinisasi pati
bukan dari pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu.
Gel pati yang diharapkan pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki
jagung mempunyai ukuran yang cukup besar dan tidak homogen yaitu untuk
yang kecil 1-7 μm dan bentuk yang besar 15-20 μm. Granula besar berbentuk
17
oval polihedral dengan diameter 6-30 μm (Suarni et al., 2008). Umumnya
granula yang berukuran kecil (Singh et al., 2005 dalam Suarni et al., 2008).
3. Sifat fungsional
dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Sifat fungsional yang diamati pada penelitian
ini meliputi kapasitas penyerapan air, swelling volume, kelarutan, kapasitas emulsi
dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut
Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi
dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang
proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka
kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan yang
18
membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga
spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus
Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan
terjadi pada saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam
Ratyanake et al. (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air
dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya
granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul
pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan
(Baah, 2009).
19
Mi dengan tingkat swelling volume yang tinggi akan memiliki
c. Kapasitas emulsi
lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat
hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan (Bian et al.,
dengan pati dan digunakan untuk mencegah leaching pati dari mi selama
d. Sifat amilografi
pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk yaitu dengan memanfaatkan
karakteristik pati selama gelatinisasi dapat secara akurat diamati dengan uji
20
Karakteristik pati selama gelatinisasi tersebut berpengaruh terhadap kualitas
dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pada uji ini,
terdapat beberapa parameter yang diamati yaitu suhu awal gelatinisasi, suhu
dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas
air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik
viskositas maksimum yaitu suhu ketika granula pati mencapai suspensi pasta
21
akan mencapai viskositas maksimum (Baah, 2009). Pada suhu ini granula
yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi
dipanaskan kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak
viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini
pengadukan yang terus menerus secara mekanik oleh alat Brabender (Baah,
2009).
dalam Brabender dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi granula pati
22
maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu
Semakin rendah breakdown viscosity maka pati semakin stabil pada kondisi
selisih antara viskositas pasta pati pada suhu 50˚C dengan viskositas
maksimum yang telah dicapai pada saat pemanasan. Kenaikan viskositas pati
(Swinkels 1985 dalam Baah, 2009). Beta dan Corke (2001) menyatakan
variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan
yang khas. Gambar beberapa tipe amilogram dapat dilihat pada Gambar 5.
23
Gambar 5. Beberapa tipe amilogram pengukuran brabender (Chen, 2003).
lebih tinggi dibanding tipe B artinya tipe A lebih mudah rusak dan
C tapi diperlukan 2 atau 3 kali jumlah pati tipe C untuk mencapai viskositas
yang sama. Tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi adalah tepung
24
III. METODE PENELITIAN
IPB. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai pada 6 Januari 2010 hingga 6 Mei
2010.
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung adalah biji jagung
kuning hibrida bebagai varietas yang didapat dari petani dari daerah yang berbeda.
Varietas C-7, P-21, dan P-12 didapat dari petani di Sumbang, Kembaran,
Karanganyar.
benzene, glukosa anhidrat, H2SO4 pa, NaOH pa, K2SO4, etanol 95%, pereaksi
platinum/ karbon, kertas saring, kertas saring “Whatman”, air dan aquades.
25
2. Alat
kuning hibrida adalah timbangan digital, ayakan 80 mesh, disc mill ”JM” FFC-23,
polisher ”Ichi” N50, tampah, loyang, alumunium foil, cabinet dryer, sealer,
sentrifus, vorteks, hot plate, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pipet volumetric,
”Duisburg OHG D-4100”, JEOL JFC 110E dan SEM JEOL JSM 5200.
C. Rancangan Percobaan
yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok
V1 : C-7 V5 : P-21
V2 : Prima V6 : Bisi 16
V3 : Nusantara 1 V7 : P-12
V4 : NT 10
26
2. Metode penggilingan (M) terdiri dari dua taraf, yaitu:
M1 : Metode kering
M2 : Metode basah
V1M1 V1M2
V2M1 V2M2
V3M1 V3M2
V4M1 V4M2
V5M1 V5M2
V6M1 V6M2
V7M1 V7M2
28 unit percobaan.
1. Variabel
Variabel yang diamati meliputi sifat kimia, fisik dan fungsional tepung yang
dihasilkan. Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida
meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan
kadar pati. Variabel fisik meliputi rendemen tepung, starch damage, derajat putih,
Variabel fungsional yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi
27
kapasitas penyerapan air, kelarutan, swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat
amilografi.
2. Pengukuran
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam tergantung
dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang beberapa kali sampai
tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg).
bc
Kadar air (%bb) = x 100 %
(b a)
Keterangan:
a = berat cawan (g)
b = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g)
c = berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah.
Kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 5000C selama 4 jam sehingga
dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Kadar abu dihitung
ab
Kadar abu (%bb) = x 100 %
c
28
ab
Kadar abu (%bk) = x 100 %
c(1 ka)
Keterangan:
a = berat cawan dan abu (g)
b = berat cawan (g)
c = berat sampel (g)
ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah.
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 14 jam, kemudian
ditimbang (Y). sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang
Dimasukkan ethil eter melalui lubang pendingin sampai setengah dari alat soxhlet
(seluruh sampel tercelup). Sampel diekstraksi selama 16 jam sampai ethil eter
yang ada menjadi jernih. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
Y Z
Kadar lemak (%bb) 100%
X
Y Z
Kadar lemak (%bk) 100%
X (1 ka)
1) Destruksi :
Sampel ditimbang sebanyak 2 g (Z) dan dimasukkan ke dalam labu
almari asam mulai dengan api kecil dan sewaktu-waktu digojog sampai
29
berwarna hijau jernih kemudian diangin-anginkan sampai suhu kamar.
2) Distilasi :
kemudian dituangkan ke dalam labu godog dan dicuci lagi dengan air
(beaker glass) yang telah diisi dengan H2SO4 0,3N dan beberapa tetes
dibilas dengan air dan air bilasan ini dimasukkan ke dalam labu
3) Titrasi :
4) Blanko :
30
(Y X ) N 0,014 6,25
Kadar protein total (%bb) 100%
Z
(Y X ) N 0,014 6,25
Kadar protein total (%bk) 100%
Z (1 ka)
dalam gelas piala yang berisi air dingin sehingga suhu tabung mencapai
dikocok sampai semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Setelah
pada gelas piala 250 mL kemudian diaduk selama satu jam dengan
31
dengan air suling samapai volume filtrat 250 mL. Pati terdapat sebagai
a FP
Kadar pati (%bb) 0,9 100%
b
a FP
Kadar pati (%bk) 0,9 100%
b(1 ka)
Keterangan :
a = konsentrasi glukosa anhidrat dari kurva standar (g)
b = berat sampel (g)
ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah
32
sampai semua bahan membentuk gel dan didinginkan. Seluruh
pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat dengan sumbu x
2) Penetapan sampel
Sejumlah 100 mg tepung (sampel sebagian besar terdiri dari pati, jika
ke dalam labu takar 100 mL, dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera
dengan air, kocok dan diamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang
33
gelombang 625 nm. Kadar amilosa dalam sampel dihitung.
a FP
Kadar amilosa (%bb) 0,9 100%
b
a FP
Kadar amilosa (%bk) 0,9 100%
b(1 ka)
Keterangan :
a = konsentrasi amilosa dari kurva standar (g)
b = berat sampel (g)
ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah.
FP = faktor pengenceran
g. Rendemen tepung
b
Rendemen (%) 100%
a
Keterangan :
a = berat biji jagung utuh (g)
b = berat tepung (g)
mendapatkan bahan dalam keadaan seimbang. Larutan α-amilase fungi (50 U/mL)
ditempatkan pada gelas beaker kecil dan dimasukkan ke dalam inkubator pada
Ditambahkan 1,0 mL larutan α-amilase fungi (50 U/mL) pada setiap tabung
kemudian di vorteks selama 5 detik dan diinkubasi pada suhu 40 ˚C selama tepat
34
larutan asam sulfat (0,2 % v/v) ditambahkan pada setiap tabung tepat setelah 10
menit penambahan enzim kemudian di vorteks selama 5 detik. Hal ini bertujuan
untuk inaktivasi enzim. Tabung kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm
dipindahkan secara akurat ke dalam dua tabung tes, lalu ditambahkan 0,1 mL
amiloglukosidase (2U) pada tiap tabung dan divorteks serta diinkubasi selama 10
menit dalam inkubator pada suhu 40 ˚C. Ditambahkan 4,0 mL GOPOD reagen
pada tiap tabung (termasuk standar glukosa dan blanko) dan diinkubasi pada suhu
melarutkan 0,1 mL glukosa standar (150 μg/0,1 mL) dengan 0,1 mL buffer asetat
Keterangan :
∆E = Absrobansi sampel terhadap reagen blanko
F = 150 (μg glukosa)
Absorbansi standar glukosa
90 = koreksi volume (1,0 mL diambil dari 9,0 mL)
1
= konversi dari μg ke mg
1000
100
= persen starch damage per berat sampel
W
W = berat sampel (mg)
162
= konstanta perbandingan glukosa bebas dan anhidroglukosa
180
35
i. Derajat putih (Soekarto, 1990)
adalah metode penyinaran dengan sensor sinar yang dikenakan pada sampel, yang
secara otomatis nilai derajat putih akan ditampilkan dalam layar monitor. Area
warna yaitu barium sulfat. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam kotak
(hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan
+a (positif) dari 0 sampai 100 untuk warna merah, dan nilai –a (negatif) dari 0
sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran
biru, kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan
36
dan dikocok dengan magnetic stirrer hingga basah sempurna, kemudian
perbandingan berat sampel dengan volume contoh yang terbaca pada gelas ukur.
Tabung sentrifus diisi 2 g sampel tepung yang ditimbang berat tabung dan
b a 100%
Kapasitas penyerapan air (%bk)
ms (1 ka)
Keterangan :
a = berat sampel kering + berat tabung sentrifuse (g)
b = berat sampel yang telah dibasahi + berat tabung sentrifuse (g)
ms = berat sampel (g)
37
Selanjutnya larutan divorteks lalu dipanaskan dalam waterbath yang bersuhu
92,5˚C dan setiap 5 menit sekali divorteks selama 10 menit. Selanjutnya larutan
didinginkan pada air es selama 1 menit dan pada suhu 25˚C selama 15 menit.
Kemudian larutan disentrifus dengan kecepatan 3600 rpm selama 15 menit. Gel
yang terbentuk diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume dalam
satuan mL/g (bk). Kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang
dihasilkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada
suhu 110˚C selama semalam. Kelarutan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
w1
Kelarutan (%bk) 100%
wdm
w2
Swelling volume (ml/g bk) 100%
wdm
wdm = ws (1-ka)
w1 = berat supernatan (g)
w2 = volume gel yang terbentuk (mL)
ws = berat sampel (g)
ka = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah.
stabil. Batas akhir penambahan minyak ketika minyak terpisah dari sitem emulsi.
Jumlah minyak yang ditambahkan merupakan nilai kapasitas emulsi mL/g (bk).
a
Kapasitas emulsi (mL/g bk) 100%
b(1 ka)
38
a = volume total minyak yang ditambahkan (mL)
b = berat sampel (g)
ka = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah
o. Sifat amilografi (metode AACC 22-12 dalam Hung and Morita, 2005)
dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala
dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal
diatur dengan termoregulator pada suhu 300C kemudian diswitch pengatur suhu
berada dibawah suhu 970C dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl
berputar pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1,50C per menit. Mesin
kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya sampai suhu 600C
dengan laju penurunan suhu 1,50C per menit, setelah itu mesin dinyalakan
kembali. Pada saat mencapai suhu 500C selama 10 menit mesin dimatikan
39
Time (minute)
Keterangan : = perubahan viskositas sampel
= profil suhu gelatinisasi
Gambar 6. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung beras.
40
Stabilitas selama pendinginan = viskositas pada suhu 500C – viskositas
suhu setelah holding 500C selama 10 menit
Sampel yang akan dianalisis harus bersih dan tidak ada kontaminasi, karena
kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisis. Sampel
kadar air kurang dari 5%. Sampel kering diletakkan diatas stap yang sudah
ditempeli dengan carbon double tape. Carbon double tape berfungsi untuk
sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating
dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.
Selain berfungsi agar sampel bersifat konduktif terhadap elektron (baik mengantar
elektron, karena sampel biologis tidak baik dalam mengantar elektron), coating
sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisis SEM dilakukan pada dua
perbesaran X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada
terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang ditetapkan
pada gambar yaitu 10 μm dan 5 μm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang
41
E. Analisis Data
Apabila ada pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Penelitian pendahuluan
penyosohan yang dicoba yaitu 1, 3, 5 dan 7 kali. Selanjutnya jagung yang telah
Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan meliputi kadar serat, derajat putih,
Tepung jagung sosoh 1kali memberikan nilai rendemen paling rendah, hal ini
disebabkan masih banyak lembaga yang terikut sehingga tepung yang dihasilkan
mengandung lemak yang tinggi sehingga sulit untuk diayak. Rendemen tepung
pengayakan. Hal ini akan menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi.
42
Sedangkan dilihat dari derajat putih didapat makin tinggi tingkat penyosohan,
derajat putih (L) juga makin tinggi hal ini disebabkan jumlah tipcap dan lembaga
makin sedikit yang terikut serta butir tepung yang dihasilkan makin halus. Apabila
pemisahan tip cap tidak sempurna dapat membuat tepung menjadi kasar dan
terdapat butir-butir hitam pada tepung (Lestari, 2009). Kadar serat tepung yang
sudah sesuai SNI 01-3727-1993 yaitu tepung dari penyosohan 5 dan 7 kali, hal ini
mungkin karena kulit sudah terbuang optimal pada penyosohan 5 dan 7 kali.
Kadar serat yang tinggi dapat menyebabkan tepung yang dihasilkan terasa kasar
bagian endosperma sehingga terjadi kehilangan pati dan rendemen menjadi lebih
dan biaya produksi sehingga dipilih 5 kali penyosohan untuk tahap selanjutnya.
menyebabkan makin rendah nilai derajat putih (L). Hal itu menunjukkan warna
tepung menjadi kuning kusam. Makin tinggi nilai a (+) menunjukkan intensitas
43
warna merah meningkat pada tepung sehingga menyebabkan warna makin kusam.
Warna kusam yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh reaksi maillard yang
menjadi panas dan kering. Sedang makin tinggi nilai b (+) menunjukkan warna
xantofil yang ada dibagian horny endosperm ikut terbawa menjadi tepung
Perendaman 15 jam dihentikan karena sudah berbau asam. Bau asam tersebut
menunjukkan sudah terjadi fermentasi spontan yang akan mengubah sifat alami
nilai setback pati serta meningkatkan viskositas breakdown (Setiawan, 2008) yang
tidak sesuai untuk pembuatan mi. Setelah direndam kemudian digiling 1 kali lalu
dikeringkan menggunakan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C untuk
44
Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan yaitu derajat putih dan rendemen
tepung sedikit menurun, terlihat nilai b sedikit menurun sejalan dengan makin
lama perendaman. Hal ini disebabkan selama perendaman, jagung terpapar oleh
sehingga warna kuning pada bahan menurun. Kandungan karotenoid pada biji
jagung kuning berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% diantaranya adalah beta-karoten
dan 51% xantofil. Beta-karoten dan xantofil ini bersifat lebih tidak stabil dan lebih
mudah terdegradasi oleh sinar UV dibanding jenis karoten yang lain (Siems et al.,
1999 dalam Ramachandran 2010). Sedang nilai a (-) makin rendah menunjukkan
sehingga mudah dihancurkan menjadi tepung. Pada perendaman 12 jam, pati dan
yaitu 1, 2, dan 3 kali. Dari segi warna tidak terdapat perubahan yang signifikan
45
namun terjadi sedikit penurunan nilai derajat putih (L). Sedangkan rendemen
1d). Dengan mempertimbangan nilai derajat putih (L), rendemen dan efisiensi
2. Penelitian lanjutan
tepung jagung dengan metode basah dan kering pada berbagai varietas jagung
kuning hibrida. Proses metode kering meliputi sortasi jagung kering pipil,
mesh. Sedangkan metode basah meliputi sortasi jagung kering pipil, penyosohan
selama 2,5 jam pada suhu 50˚C, pengayakan 80 mesh, pengemasan dengan plastik
polipropilen kemudian disimpan dalam toples yang diberi silika gel (Lampiran 3
dan 4).
46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida (V) dan jenis
sedangkan nilai rata-rata pengaruh perlakuan terhadap variabel kimia, fisik dan
Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida dan metode
penggilingan terhadap variabel kimia, fisik dan fungsional tepung jagung
hibrida.
Perlakuan
No Variabel
V M VxM
A. Variabel kimia
1 Kadar air ** ** *
2 Kadar abu ** ** tn
3 Kadar lemak ** ** tn
4 Kadar protein total ** ** tn
5 Kadar amilosa ** ** tn
6 Kadar pati ** ** **
B. Variabel fisik
1 Rendemen ** ** tn
2 Starch damage ** ** **
3 Densitas kamba ** ** tn
4 pH ** ** tn
5 Derajat putih (L) tn ** tn
C. Variabel fungsional
1 Kapasitas penyerapan air ** ** tn
2 Swelling volume ** ** tn
3 Kelarutan ** ** tn
4 Kapasitas emulsi ** ** tn
Keterangan: V = varietas jagung hibrida; M = metode penggilingan; Vx M =
interaksi antara jenis varietas jagung hibrida dan metode
penggilingan; tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%; (*) =
berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**) = berpengaruh sangat nyata
pada taraf 1%.
47
A. Variabel Kimia
1. Kadar air
pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas
Prima dan P-12 mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah jika dibandingkan
tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,91% dan 6,99% bb, sedangkan tepung
jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar air yang lebih tinggi yaitu 9,48%
bb (Gambar 7). Hal ini disebabkan perbedaan kadar air pada jagung pipil kering
yang digunakan. Jagung pipil kering varietas Prima dan P-12 mempunyai kadar
air yang lebih rendah (8,39% dan 8,41% bb) daripada jagung pipil kering varietas
Nusantara 1, NT 10, P-21, C-7 dan Bisi 16, masing-masing sebesar 9,56% bb;
10,64% bb; 8,84% bb; 10,10% bb dan 11,18% bb. Hal ini serupa dengan
penelitian Kaur et al. (2006) yang menyatakan bahwa perbedaan kadar air pada
10
9,48a
9,25ab
9 8,68bc
Kadar air (%bb)
8,18cd
7,86d
8
6,91e 6,99e
7
5
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah
48
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,48% bb (Gambar 8).
Hal ini disebabkan pada metode penggilingan basah terjadi kehilangan komponen
dengan gugus hidroksil yang mampu mengikat air seperti karbohidrat, serat,
protein dan garam selama perendaman. Menurut Winarno (2008), molekul air
terikat dengan molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen. Molekul air
membentuk hidrat dengan molekul lain sepeti karbohidrat, protein dan garam.
Selain itu pada metode penggilingan basah dilakukan pengeringan sehingga kadar
air menjadi lebih rendah. Menurut Taib (2000), pengeringan adalah proses
pemindahan panas dari udara ke bahan dan sebaliknya terjadi pemindahan air dari
9,5
9 8,90a
Kadar air (%bb)
8,5
8
7,48b
7,5
6,5
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 8. Kadar air tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air
tepung jagung. Nilai rata-rata kadar air terendah dihasilkan dari kombinasi V2M2
yaitu 5,54% bb, sedangkan nilai rata-rata kadar air tertinggi dihasilkan dari
kombinasi V6M1 yaitu 9,75% bb (Gambar 9). Hal ini disebabkan kadar air biji
pipil kering varietas Prima paling rendah dan dibuat tepung dengan
49
12 10,8a
10,38ab 10,17ab 10,59a
9,79abc 10,15ab
10 9,02cd 9,29bcd
8,65de 8,22de
4 M1
2 M2
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
Menurut Earle (1969), tepung yang baik memiliki kadar air tidak lebih dari
14%. Kadar air tepung lebih dari 14% lebih mudah mengalami kerusakan
kadar air tepung jagung maksimum adalah 10% bb. Jika dibandingkan dengan
SNI tepung jagung, maka kadar air tepung dari seluruh kombinasi telah memenuhi
standar mutu tepung jagung dengan kadar air kurang dari 10% bb, sehingga telah
2. Kadar abu
pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Varietas Bisi 16
mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari
varietas lain yaitu 0,50% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12 memiliki rata-
rata kadar abu yang lebih tinggi yaitu 1,04% bk (Gambar 10). Perbedaan varietas
menyebabkan kadar abu jagung pipil berbeda sehingga dihasilkan tepung jagung
dengan kadar abu yang berbeda antar varietas. Hal tersebut juga disebabkan
penambahan pupuk dan perbedaan kondisi tanah tempat tumbuh (Wagiono, 1987).
50
1,2
1,04a
1 0,93ab
0,88abc
0,4
0,2
0
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 10. Kadar abu tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Tepung jagung yang
dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,62% bk (Gambar 11). Hal
ini disebabkan pada proses perendaman dengan metode basah, sebagian mineral
larut ke dalam media perendam. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah
air menyebabkan larutnya sebagian mineral, vitamin larut air, albumin dan gula ke
1 0,95a
Kadar abu(%bk)
0,8
0,62b
0,6
0,4
0,2
0
Metode kering Metode basah
Metode Penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 11. Kadar abu tepung jagung dari metode penggilingan basah dan kering.
kadar abu tepung jagung. Nilai rata-rata kadar abu (%bb) dari kombinasi V1M1,
51
V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1,
V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 1,01%; 0,69%; 0,86%; 0,60%;
0,76%; 0,54%; 0,74%; 0,44%; 1,01%; 0,62%; 0,60%; 0,30%; 1,11%; dan 0,82%.
Kadar abu semua kombinasi telah sesuai dengan SNI 01-3727 (1993), yaitu
kurang dari 1,5% bb. Kombinasi V7M1 memiliki rata-rata kadar abu paling tinggi
dibanding kombinasi lainnya yaitu 1,20% bk (Gambar 12). Jika kadar abu di atas
penepungan dan jika kadar abu kurang dari 1,5% bb menunjukkan kandungan
1,4
1,20a
1,2 1,11ab 1,11ab
0,93bc 0,87bcd
kadar abu (%bk)
1 0,84cde 0,82cde
0,8 0,75cdef
0,64def 0,67cdef 0,67cdef
0,58efg
0,6 0,49fg M1
0,4 0,33g
M2
0,2
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
3. Kadar lemak
pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas
Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan
tepung dari varietas lain yaitu 0,73% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12
52
memiliki rata-rata kadar lemak yang lebih tinggi yaitu 3,61% bk (Gambar 13). Hal
ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang
lebih rendah (4,15% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-
21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 6,45% bk; 5,84% bk; 4,26% bk; 6,73%
bk; 6,50% bk dan 7,04% bk. Perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh
bervariasinya kadar lemak jagung pipil kering masing-masing varietas. Kaur et al.
(2006) menyatakan bahwa perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh
4 3,61a
3,17c 3,33b
3,05d
Kadar lemak (%bk)
3
2,31e
2 1,70f
1 0,73g
0
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 2,40%bk (Gambar 14).
Hal ini disebabkan selama proses perendaman terjadi aktivasi enzim lipase yang
lebih mudah larut kedalam larutan perendam sehingga kadar lemaknya menurun.
Menurut Chen et al. (1999) bahwa penggilingan basah pada beras menghasilkan
53
3
2,5 2,40b
2
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
kadar lemak tepung jagung. Nilai rata-rata kadar lemak relatif rendah pada semua
kombinasi. Nilai rata-rata kadar lemak kombinasi V6M2 paling rendah dibanding
kadar lemak kombinasi lainnya (Gambar 15). Kadar lemak yang rendah pada
tepung jagung disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat jagung
diproses menjadi tepung. Kandungan lemak jagung pada bagian lembaga yaitu
4 3,72a
3,39cd 3,42bc 3,51b
3,5 3,26d 3,23d
2,99e 2,85f
kadar lemak (%bk)
3
2,52g
2,5
2,11h
1,89i
2
1,52j
1,5 M1
0,87k
1
0,59l M2
0,5
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
54
Kadar lemak tidak termasuk ke dalam syarat mutu yang ditetapkan dalam
SNI. Kadar lemak semua kombinasi lebih tinggi jika dibanding kadar lemak terigu
tipe hard dan medium flour (1,3%bk) yang umum digunakan untuk membuat mi,
kadar lemak yang rendah. Dekie (1988) menyebutkan bahwa kadar lemak yang
bahan lebih mudah tengik. Selain itu kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu
pengikatan air oleh granula. Jika pengikatan air oleh granula pati terhambat dapat
mengakibatkan gelatinisasi yang diharapkan tidak tercapai dan tidak merata. Hal
ini dapat menyebabkan tekstur mi yang dihasilkan mudah patah dan kasar karena
pengaruh sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung jagung
varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar protein total lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,62% bk (Gambar 16). Hal
ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar protein total
yang lebih rendah (8,57% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT
10, P-21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 10,25% bk; 9,57% bk; 10,56%
bk; 10,45% bk; 10,89% bk dan 10,74% bk. Perbedaan kadar protein total pada
tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein total jagung pipil kering
protein pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein bahan mentah.
55
9 8,77a 8,78a
8,54a 8,55a 8,57a
6 5,62c
4
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar protein
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,95% bk
(Gambar 17). Hal ini disebabkan pada proses perendaman pada metode basah,
terjadi proses aktivasi enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi
komponen sederhana seperti peptida dan asam amino yang lebih larut (Triantarati
1989 dalam Pangkey 1991). Menurut Anglemei and Montglomery (1976), kadar
protein turun karena lepasnya ikatan struktur protein selama perendaman sehingga
8,3
Kadar protein total (%bk)
8,25a
8,2
8,1
8 7,95b
7,9
7,8
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
56
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
protein total tepung jagung. Kombinasi V6M1 dan V6M2 memiliki rata-rata kadar
protein total paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 5,76% dan 5,48%
bk (Gambar 18). Hal ini terutama disebabkan kadar protein total jagung pipil
varietas Bisi 16 paling rendah dibanding yang lain. Protein terbanyak pada jagung
adalah zein dan glutelin. Walaupun kadar protein sebagian besar kombinasi
tepung jagung tergolong sedang, tetapi jagung tidak memiliki protein gluten yang
merupakan protein utama pada terigu. Oleh karena itu, protein jagung tidak
10 8,89a 8,89a
8,65ab 8,83ab 8,64ab 8,67ab
kadar protein total (%bk)
8,67ab
9 8,24cd 8,05d 8,45bc 8,47bc
8 7,69e
7
5,76f
6 5,48f
5
4
3
M1
2
M2
1
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
5. Kadar amilosa
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa,
amilopektin dan bahan antara seperti lipid dan protein (Pomeranz, 1976). Amilosa
57
pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan
menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74-
pengaruh sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung jagung
varietas Prima mempunyai rata-rata kadar amilosa lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung dari varietas lain yaitu 23,43% bk, sedangkan tepung dari varietas
C-7 memiliki rata-rata kadar amilosa yang lebih tinggi yaitu 33,94% bk (Gambar
varietas, kondisi lingkungan dan praktek kultur (Kaur et al., 2006). Hal ini serupa
35 33,94a
33 31,86b
Kadar amilosa (%bk)
31,26b 30,96b
31
29
27 25,66c 25,16c
25 23,43d
23
21
19
17
15
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar amilosa
58
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 28% bk
(Gambar 20). Hal ini disebabkan selama proses perendaman pada matode basah
terjadi proses aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi
dekstrin yang bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009). Menurut Winarno (1988),
enzim yang terdapat pada tanaman yang dapat menghidrolisis pati adalah beta-
dan sedikit glukosa serta alfa limit dekstrin. Sedangkan enzim alfa amilase dapat
menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari enam sampai
30 29,79a
Kadar amilosa (%bk)
29,5
29
28,5
28b
28
27,5
27
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
diharapkan dalan pembuatan mi non terigu karena memiliki daya ikat yang lebih
kuat, cooking loss dan swelling yang rendah (Kim et al., 1996). Namun bila
kandungan amilosa terlalu tinggi dapat menyebabkan mi menjadi terlalu keras dan
viskositas yang tidak stabil dan sulit mengalami retrogradasi guna mempertahankan
59
struktur mi (Tam et al., 2004). Menurut Guo et al. (2003) pada umumnya mi di
Asia dibuat dari tepung dengan kandungan amilosa 1-29% bk namun kandungan
40
35,05a
35 32,83b 32,18bc 31,68bc 32,74b
30,35c 30,23c 30,97bc
kadar amilosa (%bk)
30 26,62d 25,97de
24,29ef 24,69de 24,36ef
25 22,57f
20
15 M1
10 M2
5
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
6. Kadar pati
pengaruh sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Perbedaan varietas
mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung
dari varietas lain yaitu 82,32% bk, sedangkan tepung dari varietas C-7 memiliki
rata-rata kadar pati yang lebih tinggi yaitu 88,66% bk (Gambar 22). Menurut
Hoseney (1998), perbedaan jumlah pati disebabkan oleh perbedaan varietas, faktor
60
90
89
88,66a
88
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 83,05% bk (Gambar
23). Hal ini disebabkan proses perendaman pada matode basah terjadi proses
aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi dekstrin yang
bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009) sehingga terjadi penurunan kadar pati
tepung jagung.
87 86,58a
Kadar pati (%bk)
86
85
84
83,05b
83
82
81
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
61
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
kadar pati tepung jagung. Nilai rata-rata kadar pati (%bb) dari kombinasi V1M1,
V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1,
V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 82,10; 79,58; 80,03; 77,73;
77,27; 75,98; 77,02; 75,10; 80,63; 78,49; 75,92; 74,03; 81,09;dan 78,85. Kadar
pati semua kombinasi telah sesuai dengan SII yaitu lebih dari 75% bb kecuali
kombinasi V6M2. Nilai rata-rata kadar pati terendah dihasilkan dari kombinasi
V3M2 dan V6M2 yaitu 81,25 dan 81,26% bk, sedangkan nilai rata-rata kadar pati
tertinggi dihasilkan dari interaksi perlakuan tepung jagung yang terbuat dari
kombinasi V1M1 yaitu 90,78% bk (Gambar 24). Hal ini disebabkan varietas Bisi
16 dan Nusantara 1 memiliki kadar pati yang rendah dan dibuat tepung
yang terendah.
92 90,78a
90
87,81b
88 86,97cd 87,27bc
kadar pati (%bk)
86,53d
86 84,71ef 85,15e
83,39g 84,28f
84 83,21g
82,39h 82,41h
82 81,26i 81,25i M1
80 M2
78
76
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
62
Kadar pati semua kombinasi tergolong tinggi, hal ini disebabkan
Endosperma tersusun atas 80% pati dan dibantu proses penggilingan dan
reologi mi yang dihasilkan. Kandungan pati yang tinggi sangat diharapkan. Pati
berperan membentuk pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk, dengan
dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri dari granula pati yang mengembang
B. Variabel Fisik
1. Rendemen
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 48,98% bb sedangkan tepung
jagung varietas C-7 memiliki rata-rata rendemen yang lebih rendah yaitu 34,20%
bb (Gambar 25). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16
mempunyai berat 100 butir biji yang labih tinggi (33,66 g per 100 butir biji)
daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, P-12 dan C-7, masing-
masing sebesar 30,00g; 27,93g; 28,80g; 30,46g; 29,26g dan 23,50g per 100 butir
biji. Semakin tinggi berat tiap 100 butir biji maka total padatan juga makin tinggi
63
dari masing-masing varietas jagung kuning hibrida berbeda-beda. Tingginya
Menurut Master (1979) dan Bolade (2009), dengan makin tingginya total padatan
60
48,98a
Rendemen (%bb)
50
44,33b
41,59b 40,48b 40,14b 41,31b
40
34,20c
30
20
10
0
C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 25. Rendemen tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
pengaruh yang sangat nyata terhadap rendemen tepung jagung. Tepung yang
dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata rendemen lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 47,97% bb (Gambar 26).
berkurangnya kekerasan biji (Haros et al., 2003) sehingga jumlah biji yang keras
lebih sedikit akibatnya rendemen tepung metode kering lebih tinggi. Meyer
(1973) dalam Pengkey (1991) menyebutkan bila cairan antar sel berupa air atau
larutan disekitar sel akan masuk ke dalam sel hingga terjadi keseimbangan dan
biji mengembang sehingga biji mejadi lunak. Hal ini memudahkan proses
64
60
4 7 ,9 7 a
50
Rendemen (%bb)
40 3 5 ,1 8 b
30
20
10
0
M e to d e k e rin g M e to d e b a s a h
M e to d e p e n g g ilin g a n
tepung jagung. Nilai rata-rata rendemen tepung jagung paling tinggi terdapat pada
kombinasi V6M2 yaitu 55,62% bb (Gambar 27). Hal ini menunjukkan kombinasi
60 55,62a
49,57bc 50,33b
50 46,15bc 47,59bc 47,68bc
42,34cd
Rendemen (%bb)
38,83de 38,32de
40 34,93ef
33,62ef 34,80ef
32,70ef
29,56f M1
30 M2
20
10
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
Varietas
2. Starch damage
sangat nyata terhadap starch damage tepung jagung. Tepung jagung varietas
Nusantara 1 mempunyai rata-rata kadar starch damage lebih tinggi jika
65
dibandingkan tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,65% bk, sedangkan tepung
jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar starch damage yang lebih rendah
yaitu 4,20% bk (Gambar 28). Hal ini disebabkan perbedaan proporsi horny
endosperm pada biji jagung. Terlihat dari nilai presentase berat biji setelah
direndam selama 9 jam yang berbeda-beda, makin tinggi jumlah air yang terserap
menandakan proporsi horny endosperm yang lebih sedikit sehingga makin tinggi
laju difusi air ke dalam biji (Haros et al., 2003). Jagung pipil kering varietas
Nusantara 1 (V3) mempunyai presentase berat biji setelah direndam selama 9 jam
yang lebih rendah (115%) daripada jagung pipil kering varietas P-12, NT 10, P-
21, C-7, Prima dan Bisi 16, masing-masing sebesar 125%, 127%, 130%, 134%,
133% dan 136%. Bila proprorsi horny endosperm lebih sedikit maka resistensi
selama penggilingan. Robuti et al. (2000) dalam Haros et al. (2003) menyatakan
bahwa pati dari bagian horny endosperm lebih cenderung rusak selama
penggilingan karena susunan sel yang kecil dan rapat serta sifat adhesi yang lebih
7 6,65a
Starch damage (%bk)
5,49b 5,51b
5,20c
5 4,77d 4,80d
4,20e
3
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
66
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar starch damage tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata starch damage
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 4,14% bk
(Gambar 29). Hal ini dikerenakan pada metode penggilingan basah terdapat
proses perendaman dimana terjadi difusi air perendam kedalam biji. Menurut
Meyer (1973) dalam Pangkey (1991), apabila cairan antar sel berupa air atau
disekitar sel akan masuk ke dalam sel sampai terjadi keseimbangan yang baik. Air
yang terserap selama perendaman akan menurunkan sifat adhesi horny endosperm
diantara matriks protein dan pati sehingga biji menjadi lebih lunak. Air yang
terserap juga berfungsi sebagai lubrican sehingga menurunkan gaya mekanis yang
kering, biji masih dalam keaadaan utuh dan keras sehingga meningkatkan
8
Starch damage (%bk)
6,33a
6,5
5
4,14b
3,5
2
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
67
Nilai rata-rata interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode
jagung. Nilai rata-rata jumlah starch damage tertinggi dihasilkan dari kombinasi
V3M1 yaitu 8,49 % bk (Gambar 30). Hal ini disebabkan proporsi horny
endosperm yang lebih besar pada varietas Nusantara 1 dan pembuatan tepung
9 8,49a
8
starch damage (%bk)
7 6,54b 6,6b
6,23c
5,79d 5,86d
6
4,8e 4,79e
5 4,44f 4,43f
4,16g
4 3,76h 3,75h 3,61h
M1
3
M2
2
1
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
3. Densitas kamba
pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas
Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata densitas kamba lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,598 g/mL (Gambar 31). Hal ini
disebabkan kandungan lemak dan pati lebih rendah (82,32% bk dan 0,73% bk)
daripada kandungan lemak dan pati tepung jagung berturut-turut dari varietas C-7,
Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, dan P-12 masing-masing sebesar 88,66 dan
68
3,17% bk; 83,68 dan 3,05% bk; 82,99 dan 2,31%bk; 83,79 dan 1,70% bk; 85,24
dan 3,33% bk; 86,05 dan 3,61% bk. Menurut Bhatacharya and Prakash (1994),
kadar lemak dan pati yang tinggi pada tepung menyebabkan densitas kamba
menjadi meningkat. Hal ini disebabkan lemak dan pati memiliki berat molekul
0,67
Densitas kamba (g/ml)
0,649a
0,637ab
0,64 0,635abc
0,628bc 0,630bc
0,616c
0,61
0,598d
0,58
C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
pengaruh yang sangat nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata densitas kamba
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,58 g/mL
bk (Gambar 32). Hal ini disebabkan selama perendaman terjadi degradasi molekul
polimer penyusun bahan seperti karbohidrat, protein dan lemak oleh enzim
menjadi molekul yang sederhana dengan berat molekul lebih rendah sehingga
densitas kamba menurun (Fagbemi et al.,2006). Selain itu, tepung yang dihasilkan
dari metode penggilingan basah memiliki kadar air yang lebih rendah daripada
peningkatan kadar air pada beras menyebabkan peningkatan nilai densitas kamba.
69
Densitas kamba (g/ml)
0,7 0,675a
0,66
0,62
0,581b
0,58
0,54
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 32. Densitas kamba tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
densitas kamba tepung jagung. Nilai rata-rata densitas kamba kombinasi V2M1
dan V7M1 paling tinggi dibanding kandungan lemak kombinasi yang lain yaitu
0,69% bk (Gambar 33). Produk tepung diharapkan memiliki densitas kamba yang
gudang yang digunakan untuk menyimpan. Tepung dengan densitas kamba yang
tinggi juga dapat mengurangi kelengketan pada pasta yang dihasilkan (Udensi and
0,8
0,68ab 0,69a 0,67abc 0,68abc 0,69a
0,7 0,66bc 0,65c
densitas kamba (g/ml)
0,4
M1
0,3
0,2 M2
0,1
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
70
4. pH
pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas
dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,4 (Gambar 34). Perbedaan pH disebabkan
Fennema (1996), sejumlah kecil asam organik terdapat pada tanaman sebagai
hasil metabolisme lanjut (dalam siklus TCA atau glikosilat) yang terakumulasi
dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman
6,2
6,05a
5,98a 5,95a
6
5,8 5,75b
5,6c
pH
5,6
5,40d 5,43d
5,4
5,2
5
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
yang dihasilkan dari metode basah (M2) mempunyai rata-rata pH lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 5,89 (Gambar 35). Hal ini
perendam akibatnya jumlah asam organik bahan menjadi menurun dan pH tepung
71
meningkat. Menurut Wikipedia (2008) dan Bolade (2009), sebagian besar asam
organik yang disimpan dalam tanaman bersifat polar sehingga larut dalam air.
6
5,89a
5,9
5,8
pH 5,7
5,58b
5,6
5,5
5,4
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
gelatinisasi yaitu pada karakter pembentukan gel yang optimum. Nilai pH yang
tinggi dapat menyebabkan perubahan sifat fungsional pati dalam tepung jagung,
yaitu pembentukan gel yang makin cepat tercapai namun viskositasnya cepat pula
turun dan bila pemanasan dilanjutkan viskositas akan turun lagi. Pada pH 4-7
kecepatan pembentukan gel lebih lambat daripada pH 10, tetapi jika pemanasan
dilanjutkan, viskositas tidak berubah (Winarno, 2008). Gel pati yang diharapkan
pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki viskositas yang cenderung tinggi
dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan (Tam et al., 2004).
Menurut Hoseney (1998), pada pH sekitar 5 hingga 7 pati jagung normal memiliki
viskositas relatif tinggi dan dapat dipertahankan. Nilai pH dari semua kombinasi
tepung jagung berada dalam kisaran yang diungkapkan Hoseney (Gambar 36).
72
6,4
6,15a 6,15a 6,2a
6,2
6 5,9b 5,85bc
5,75bcd 5,8bcd 5,75bcd
5,8
5,6def 5,65cde
5,6
5,55ef
5,45f
pH
5,4
5,25g 5,25g
5,2 M1
5
M2
4,8
4,6
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
secara objektif penting dilakukan karena bagi produk pangan, warna merupakan
daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya.
dihasilkan (Oti and Okobundu, 2007) sehingga perlu dilakukan penilaian warna
putih (L) tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah dan
jenis pigmen yang terkandung relatif sama antar varietas (Mukprasirt and
Sajjanantakul, 2004). Jenis pigmen pada jagung kuning hibrida adalah karotenoid.
Kandungan karotenoid pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-
36 mg/kg sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2,8 mg/kg (Watson, 2003).
73
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap derajat putih tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata derajat putih (lightness)
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 80,42 %
(Gambar 37). Berdasarkan hasil analisis ragam 5% pada notasi a dan b didapat
panas yang lebih besar saat penggilingan akibat gaya mekanis. Nilai a lebih tinggi
makin kusam. Menurut Mc. Donough et al. (2004), perlakuan panas yang tinggi
dapat meningkatkan warna coklat/ kusam pada biji-bijian akibat reaksi maillard.
Reaksi maillard yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil
dari gula pereduksi, yang nantinya membentuk senyawa berwarna coklat yang
disebut melanoidin (Winarno, 2008). Intensitas reaksi maillard lebih rendah pada
metode basah karena gula dan protein larut selama perendaman sehingga
menurunkan kemungkinan terjadinya reaksi maillard. Hal ini terlihat dari nilai
rata-rata a yang negatif yaitu -1,07% yang menunjukkan warna kromatik hijau
pada tepung yang dihasilkan. Pada metode kering nilai rata-rata b (+) lebih rendah
yaitu 7,74% disebabkan karena terjadi degradasi pigmen karoten oleh panas
memudar. Sedangkan pada metode basah dihasilkan nilai rata-rata b yang lebih
tinggi yaitu 28,5% karena efek dari air yang terserap selama perendaman berfungsi
74
berfungsi sebagai pendingin dan lubrican sehingga degradasi betakaroten lebih
rendah. Gabungan nilai a yang tinggi dan nilai b yang rendah menghasilkan
tingkat kecerahan yang rendah pada metode kering sedangkan pada metode basah
90 80,42a
80
Derajat putih (%)
70
60 55,35b
50
40
30
20
10
0
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 95%
Gambar 37. Derajat putih tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
derajat putih tepung jagung. Nilai rata-rata derajat putih (L) kombinasi V1M1,
V2M1, V3M1, V4M1, V5M1, V6M1 dan V7M1 relatif lebih rendah dibanding
derajat putih kombinasi V1M2, V2M2, V3M2, V4M2, V5M2, V6M2 dan V7M2
(Gambar 38). Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang
75
90
80,36b 80,28b 80,46b 80,57b 80,49b 80,42b 80,38b
80
70
60 54,19b 54,39a 55,38a 55,9a 55,46a 55,93a 56,2a
derajat putih(%)
50
40 M1
30
M2
20
10
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
Gambar 39. Hasil pengamatan SEM tepung jagung hibrida P-12 dengan
pemberian tekanan manual 20kV X 11000 (X2000) : a) metode kering,
b) metode basah. BK = breaks (starch damage dalam bentuk serpihan).
(10-25 μm) (Gambar 39b). Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil
76
granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak,
lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom
et al., 2004). Ukuran partikel tepung jagung metode kering lebih besar daripada
metode basah. Partikel tepung metode kering memiliki ukuran partikel sekitar 20-40
μm sedangkan pada metode basah ukuran partikel tepung sekitar 10-25 μm. Pada
metode kering, partikel tepung berupa bentuk agregat granula pati dan matriks protein
sehingga berukuran relatif lebih besar. Menurut Suarni (2008), ukuran partikel yang
lebih kecil akan memberikan tekstur produk yang lebih halus dan lembut.
tepung dari metode basah lebih halus, dikarenakan pada metode kering lebih
39a didapat informasi jenis starch damage pada metode kering adalah bentuk
granula pati. Menurut Chiang dan Yeh (2002), selama perendaman terjadi
leaching matriks protein dan komponen lainnya dari granula pati menyebabkan
struktur partikel pada metode basah lebih halus dan sedikit kerusakan pati.
C. Variabel Fungsional
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung. Tepung
jagung varietas Prima mempunyai kapasitas penyerapan air lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 268,52% bk (Gambar 40).
77
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan
amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara
1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 25,66% bk;
280
268,52a
266,25ab
262,50ab
260
KPA (%bk)
253,13bc
249,18cd
243,45d 244,49d
240
220
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
amilosa dan derajat kristalinitas. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi
cenderung memiliki kapasitas penyerapan air yang rendah (Grenus et al. 1993;
Kibar et al., 2009). Hal ini didukung oleh pendapat Laga (2006), menyatakan
membentuk susunan paralel yang rapat satu sama lain melalui ikatam hidrogen
antar atom oksigen pada masing-masing rantainya. Kadar amilosa yang tinggi
pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kapasitas penyerapan air. Tepung yang
dihasilkan dari metode kering mempunyai rata-rata kapasitas penyerapan air lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu 274,46% bk
78
(Gambar 41). Hal ini disebabkan pada metode penggilingan kering, kerusakan pati
akibat gaya mekanis lebih tinggi. Hal ini terlihat dari data starch damage yang
menunjukkan nilai lebih besar pada metode kering yaitu 6,33% bk. Adanya
berat molekul rendah (Morrison and Tester, 1990). Menurut Suksomboon et al.
(2005), makin tinggi jumlah starch damage menandakan makin banyak daerah
280 274,46a
270
KPA (%bk)
260
250
240 236,25b
230
220
210
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
kapasitas penyerapan air tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas penyerapan air
kombinasi V2M1 dan V3M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu
jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila
79
jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak mencapai kondisi optimum
(Asfiyah, 1997). Tepung dengan kapasitas penyerapan air yang tinggi akan
menghasilkan mi dengan tekstur yang lembut dan untaian mi yang lebih mudah
350
200
M1
150
M2
100
50
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
daya serap air yang tinggi cenderung lebih cepat dihomogenkan. Adonan
homogen ini akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Tepung yang
homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai
tidak terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan yang telah
pengaruh sangat nyata terhadap sifat swelling volume tepung jagung. Tepung
Jagung varietas Prima mempunyai rata-rata swelling volume lebih tinggi jika
80
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 11,63 mL/g bk (Gambar 43).
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan
amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara
1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33.94% bk; 25,66% bk;
14
11,63a
Swelling volume (ml/g bk)
12 10,98b 10,76c
9,88d 9,89d
10 9,41e 9,31e
0
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 43. Swelling tepung jagung dari beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin rendah tingkat swelling volume.
swelling pati sangat tergantung pada kekuatan inter dan intra molekuler dari
granula pati. Menurut Leach (1965) dalam Goldworth (1999), daya ikat tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (1) perbandingan amilosa dan amilopektin,
(2) bobot molekul amilosa dan amilopektin, (3) distribusi bobot molekul, (4)
derajat percabangan dan (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang
dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Namun pada varietas Bisi 16 memiliki
81
(30,96% bk) yaitu 10,76 mL/g bk, hal ini disebabkan varietas Bisi 16 memiliki
kandungan lemak yang lebih rendah dibanding varietas lain yaitu 0,73% bk.
Menurut Sung and Stone (2004), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi,
maka akan terjadi swelling semakin cepat. Inglett (1970) menyatakan bahwa
pengaruh sangat nyata terhadap kelarutan tepung jagung. Tepung jagung varietas
tepung dari varietas lain yaitu 13,37% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12
memiliki rata-rata kelarutan yang lebih rendah yaitu 7,35% bk (Gambar 44). Hal
ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak dan
protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk) daripada varietas lain.
Jagung varietas C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12 mempunyai kadar
lemak dan protein total masing-masing sebesar 3,17% bk dan 8,77% bk; 3,05% bk
dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan 8,54% bk; 3,33% bk dan
8,57% bk; 3,61% bk dan 8,78% bk. Keberadaan lemak dan protein yang
82
14
12,37a
12 11,07b 11,00b
0
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 44. Kelarutan tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
pengaruh sangat nyata terhadap sifat kelarutan dan swelling volume tepung
jagung. Tepung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kelarutan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 10,08% bk
pada pati. Penggilingan kering menghasilkan jumlah starch damage lebih tinggi
dibanding penggilingan basah yaitu 6,33% bk. Jumlah starch damage yang lebih
granula lebih mudah, namun disisi lain lebih banyak bagian larut yang keluar dari
mempunyai komposisi kimia yang tidak banyak berubah dari bahan mentahnya
83
10,2 10,08a
10
Kelarutan (%bk)
9,8
9,6
9,4
9,2 9,14b
9
8,8
8,6
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 45. Kelarutan tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
volume lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu
10,46 mL/gr bk (Gambar 46). Hal ini disebabkan pada metode kering dihasilkan
kerusakan pati lebih besar daripada metode basah yaitu 6,33% bk. Makin tinggi
10,5 10,46a
Swelling volume (ml/g bk)
10,4
10,3
10,2
10,1 10,07b
10
9,9
9,8
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 46. Swelling volume tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
84
V6M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu 12,45% dan 12,88% bk
(Gambar 47). Semakin tinggi kelarutan tepung, semakin mudah tepung larut
dalam air dan menyebabkan nilai cooking loss serta kelengketan mi meningkat
(Tan et al., 2010) dan terjadi penurunan hardness mi (Ghasemi et al., 2008).
14 12,88a
12,45a 11,32bc 11,85ab
12
10,68cd
9,29ef 9,69de
10 8,58efg
8,65efg
kelarutan (%bk)
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
air. Menurut Schoch and Maywald (1968) dalam Shimelis et al. (2006), tingkatan
swelling volume terbagi atas 4 taraf yaitu tinggi (lebih dari 30 mL/g bk), sedang
(20-30 mL/g bk), rendah (10-20 mL/g bk),dan sangat rendah (kurang dari 10
mL/g bk). Tepung jagung seluruh kombinasi memiliki swelling volume rendah,
85
memiliki swelling volume sangat rendah (Gambar 48). Swelling volume dapat
tinggi setelah direbus atau memiliki diameter mi yang cukup besar dan mudah
volume dan kelarutan yang rendah (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010).
14
11,82a 11,11c
12 11,45b 10,94cd
swelling volume (ml/gr bk)
10,85d
10,05f 10,22f 10,57e
9,56g 9,71g 9,57g 9,53g
10 9,25h 9,09h
8
M1
6
M2
4
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
3. Kapasitas emulsi
Adanya protein yang terkandung pada tepung dapat berfungsi sebagai emulsifier
86
digunakan untuk mencegah leaching amilosa selama perebusan (Numfor, 1996).
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung jagung
varietas Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,18 mL/g bk (Gambar 49).
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kandungan
protein total yang lebih rendah (5,62% bk) daripada jagung varietas C-7, Prima,
Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12, masing-masing sebesar 8,77% bk; 8,53% bk;
7,87% bk; 8,55% bk; 8,57% bk dan 8,78% bk. Protein merupakan surface active,
memperkecil tegangan permukaan dan membentuk emulsi minyak dalam air yang
sangat stabil (Philips, 1981). Pada konsentrasi protein yang rendah terjadi
permukaan pembatas minyak dan air sehingga menghasilkan emulsi yang tidak
0,6
0,507a
0,489a
0,5
Kapasitas emulsi (ml/g bk)
0,380b 0,385b
0,4 0,352b 0,362b
0,3
0,2 0,179c
0,1
0
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
87
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung dari
metode kering mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih tinggi dari tepung
dengan metode basah yaitu 0,406 mL/g bk (Gambar 50). Hal ini disebabkan gaya
mekanis yang dihasilkan lebih tinggi selama penggilingan kering. Gaya mekanis
reaktif yang ada pada rantai polipeptida (Winarno, 2008). Cramp (2007),
protein pada metode kering lebih tinggi dari metode basah yaitu 8,25% bk,
0,41
0,4
0,39
0,38
0,37
0,36 0,352b
0,35
0,34
0,33
0,32
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 50. Kapasitas emulsi tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
88
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
kapasitas emulsi tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas emulsi kombinasi V6M1
dan V6M2 paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 0,187 mL/g bk dan
0,172 mL/g bk (Gambar 51). Hal ini terutama disebabkan kandungan protein Bisi
dibanding isolat protein kedelai. Kapasitas isolat protein kedelai yaitu 100 mL/g
emulsi tepung jagung disebabkan terutama oleh pH tepung yang cukup rendah
yaitu 5-6. Menurut Wu (2001), sifat kohesivitas dan kestabilan lapisan protein
zein meningkat ketika pH isolat protein zein mendekati titik isoelektrik sekitar 7-
8,5 sehingga kapasitas emulsi dapat mencapai titik maksimal mendekati kapasitas
0,5 0,463b
0,432bc
kapasitas emulsi (ml/g bk)
0,399cd 0,404cd
0,372de 0,381de
0,4 0,361de 0,367de
0,343e
0,332e
0,3
M1
0,187f
0,2 0,172f M2
0,1
0
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
89
4. Sifat amilografi
viskositas breakdown yang rendah, dan setback yang tinggi, serta swelling volume
dan kelarutan yang terbatas (Collado et al 2001; Sung and Stone 2004; Purwani et
al 2006). Menurut Chen (2003) tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi
sehingga belum sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk mi. Masih diperlukan
modifikasi pati untuk mengubah tipe B menjadi tipe C. Menurut Sasaki (2005),
tipe amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik
maupun kimia. Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan dapat diubah
menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture
Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) (Pukkahuta et al., 2008) dan
penambahan gum ionik (Lim et al., 2002) sehingga dapat dihasilkan sedikit
mungkin atau bahkan tidak ada breakdown viscosity. Sifat amilografi dan gambar
90
Tabel 6. Sifat amilografi tepung jagung hibrida
Suhu awal Suhu Viscosity
gelatinisasi puncak Peak Breakdown Set Tipe
Varietas
(˚C) gelatinisasi (BU) (BU) back gelatinisasi1
(˚C) (BU)
C-7
metode kering 72,45 93,00 785 85 930 B
metode basah 73,50 94,00 775 35 945 B
Prima
metode kering 71,25 82,5 790 190 725 B
metode basah 73,50 87,75 770 140 745 B
Nusantara 1
metode kering 70,50 87,75 800 155 775 B
metode basah 72,75 90,00 780 105 775 B
NT 10
metode kering 69,75 85,50 815 185 740 B
metode basah 72,45 88,50 795 125 760 B
P-21
metode kering 73,50 91,50 770 95 805 B
metode basah 76,50 93,00 740 50 830 B
Bisi 16
metode kering 67,50 87,00 850 160 750 B
metode basah 72,00 89,25 810 115 765 B
P-12
metode kering 73,00 91,50 770 95 805 B
metode basah 76,50 93,75 720 45 825 B
1
Keterangan : = Tipe gelatinisasi menurut Schoch and Maywald (1963) dalam
Chen (2003).
2100
varietas C-7 100
90
1800
80
viskositas (BU)
1500 70
su h u (o C )
1200 60
50
900 40
600 30
20
300
10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
91
varietas P-12
1600 100
1400 90
80
1200
viskositas (BU)
70
suhu (oC)
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
varietas P-21
1600 100
1400 90
80
viskositas (BU)
1200
70
s u h u (o C )
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
varietas NT 10
1600 100
1400 90
80
1200
viskositas (BU)
70
s u h u (o C )
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
92
varietas Bisi 16
1600 100
1400 90
80
1200
70
viskositas (BU)
s uhu (oC)
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
varietas Nusantara I
1600 100
1400 90
80
viskositas (BU)
1200
70
suhu (oC)
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
varietas Prima
1600 100
1400 90
80
1200
viskositas (BU)
70
suhu (oC)
1000 60
800 50
600 40
30
400
20
200 10
0 0
0 20 40 60 80 100
waktu (menit)
metode kering metode basah suhu
93
a. Suhu awal gelatinisasi
75˚C; 72,975˚C; 72,375˚C; 71,625˚C; 71,1˚C dan 69,75˚C (Tabel 12). Suhu
lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata
kadar lemak dan protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk)
daripada varietas lain. Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima,
sebesar 3,61% bk dan 8,78% bk; 3,33% bk dan 8,57% bk; 3,17% bk dan
8,77%; 3,05% bk dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan
8,54% bk. Suhu awal gelatinisasi merupakan suatu fenomena fisik pati yang
Hal yang sama terjadi pada pengaruh lemak. Kadar lemak yang tinggi dapat
kompleks inklusi dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari
granula pati. Oleh karena itu diperlukan energi yang lebih besar untuk
94
Tepung jagung yang dihasilkan dari metode kering dan metode basah
memiliki suhu awal gelatinisasi 71,13˚C dan 73,89˚C (Tabel 12). Tepung
gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung jagung
metode basah. Hal ini disebabkan kerusakan pati pada metode kering lebih
besar sehingga meningkatkan daerah amorph yang lebih mudah dimasuki air
dan mengembang akibatnya diperlukan energi yang lebih rendah (Sanni et al.,
2006).
mengandung arti bahwa tepung akan mulai tergelatinisasi pada suhu tersebut
sehingga terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak ketika
keluar dari ekstruder (Tan et al., 2010). Jika suhu yang digunakan dibawah
suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan mi yang kurang elastis dan
atau kuning pada untaian mi serta mudah patah ketika dicetak karena belum
dengan ekstruder.
95
b. Suhu puncak gelatinisasi
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10,
12). Suhu awal gelatinisasi varietas Prima relatif lebih rendah dibanding
varietas lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai
kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada tepung varietas
lain. Tepung jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12,
memiliki kadar amilosa sebesar 33,94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66%
bk; 30,96% bk; 25,16% bk. Tepung Bisi 16 meskipun memiliki kadar amilosa
yang relatif lebih tinggi dibanding P-21 namun memiliki suhu awal
gelatinisasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan tepung Bisi 16 memiliki
Colado and Corke (1997) peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan suhu
energi yang lebih besar (Jane et al., 1999 dalam Baah 2009). Hal ini
96
Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering dan
90,89˚C (Tabel 12). Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode
kering menghasilkan suhu puncak gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika
kerusakan pati pada metode kering menghasilkan pati dengan intergritas yang
rendah sehingga diperlukan energi yang lebih rendah untuk penetrasi air untuk
dicapai saat tahapan hot water blanching setelah mi dicetak dari ekstruder.
dengan tekstur halus dan tidak mudah patah. Pada pembuatan mi tahapan ini
c. Viskositas maksimum
755BU, 780BU, 780BU, 790BU, 805BU dan 830BU (Tabel 12). Viskositas
maksimum varietas Bisi 16 relatif lebih tinggi dibanding varietas lainnya. Hal
ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang
lebih rendah (0,73% bk) daripada jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima,
97
pengembangan granula dengan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak
dengan tepung jagung metode basah. Pada metode basah terdapat proses
jumlah starch damage lebih besar sehingga daerah kristalinitas lebih sedikit.
pada granula (Aticokudomchai et al., 2001). Oleh karena itu tepung yang
menghasilkan persen elongasi mi yang makin tinggi artinya tidak cepat patah
98
d. Breakdown viscosity
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10,
70BU, 72,5BU, 130 BU, 137,5BU, 155BU dan 165BU (Tabel 12).
kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas
33.94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk, 25,16% bk.
Menurut Jane (1999) dalam Baah (2009), molekul linier dan kuatnya asosiasi
antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan
Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah
yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung jagung metode
basah. Hal ini disebabkan karena metode kering menghasilkan pati yang rusak
dalam jumlah lebih besar sehingga lebih rapuh selama pemanasan dan
damage lebih besar memiliki integritas granula yang rendah sehingga cepat
hancur dan patah selama pemasakan karena dan tidak tahan pemanasan dan
pengadukan.
99
Menurut Beta dan Corke (2001) dan Vongsawasdi (2009), secara
cooking loss yang rendah dan persen elongasi yang tinggi. Aplikasinya pada
(Panikulata, 2008).
e. Setback viscosity
sedangkan sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel
dari pati (Winarno, 2008). Menurut Munarso (1998), pada produk mi tidak
retrogradasi semakin kuat dan bila nilainya semakin negatif yang terjadi
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara 1, Bisi 16, NT 10,
815BU, 817,5BU, 775BU, 757,5BU, 750BU dan 735BU (Tabel 12). Setback
viscosity varietas Prima relatif lebih rendah dibanding varietas lainnya hal ini
yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT
10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 31,86% bk;
100
31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk dan 25,16% bk. Nilai setback dipengaruhi
oleh jumlah amilosa pada bahan. Bila jumlah amilosa rendah maka nilai
setback akan menurun. Hal ini disebabkan ketika pasta mendingin molekul-
molekul amilosa akan bersatu kembali (Winarno, 2008). Adanya rantai cabang
Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah
setback viscosity yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung
jagung metode basah. Hal ini disebabkan degradasi amilopektin dengan berat
molekul dan derajat polimerisasi yang tinggi pada metode kering cenderung
yang lebih rendah dan bersifat amorph (Einde 2004; Suksomboon et al.,
2005). Menurut French (1972) dalam Fen (2007), amilopektin tersusun atas
dua jenis yaitu amilopektin dengan berat molekul rendah (DP 10-16) dan
dengan berat molekul tinggi (DP 40-45). Amilopektin dengan berat molekul
bersifat amorf. Makin banyak jumlah amilopektin dengan berat molekul lebih
101
Gambar 53. Mekanisme fragmentasi amilopektin akibat perlakuan
termomekanis pada suasana kering (Einde, 2004).
kohesif dan hardness yang tinggi pada mi, kelengketan dan cooking loss yang
D. Pembahasan Umum
Jagung hibrida merupakan salah satu jenis jagung yang semakin banyak
dengan beras atau terigu, jagung hibrida mengandung pangan fungsional seperti
serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten serta memiliki produktivitas yang tinggi,
namun saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas untuk produk pangan.
lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi konsumen seperti produk
varietas jagung yang terbaik. Selain itu, metode penggilingan yang tepat perlu
Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan karakterisasi tepung.
102
Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan kadar
pati. Variabel fisik meliputi rendemen, starch damage, derajat putih, pH, densitas
yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi kapasitas penyerapan
air, kelarutan dan swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat amilogafi. Perlakuan
pengaruh sangat nyata pada semua variabel. Ada interaksi antara varietas jagung
kuning hibrida dan metode penggilingan terhadap kadar air, pati, dan starch
damage.
amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik
maupun kimia (Sasaki, 1999). Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan
dapat diubah menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik HMT (Heat
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3727 (1993) dan SII, maka kombinasi
perlakuan telah memenuhi standar SNI, sedangkan kadar pati hanya varietas Bisi
16 yang belum memenuhi standar SII. Tepung yang ideal menurut SNI 01-3727
(1993) adalah memiliki bau, rasa dan warna normal, kadar air maksimum 10%,
103
kadar abu maksimum 1,5% (b/b), serat kasar 1,50% (b/b) sedangkan kadar pati
menurut SII (Standar Industri Indonesia) tidak boleh kurang dari 75%. Pada
penelitian kadar serat kasar tidak dianalisis karena pada penelitian pendahuluan
didapat kadar serat kasar pada semua varietas tidak berbeda jauh dan telah
memenuhi standar SNI. Perbandingan hasil penelitian dengan syarat mutu tempe
Berdasarkan syarat mutu SNI 01-3727 (1993), dari hasil penelitian yang
telah dilakukan varietas jagung hibrida layak untuk digunakan sebagai bahan baku
nutrisi tepung jagung dari metode kering lebih unggul dari metode basah, namun
104
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
ditinjau dari sifat fisik dan fungsionalnya meliputi densitas kamba 0,65 g/mL;
rendemen 45,18% bk; derajat putih (L) 68,29%; kapasitas penyerapan air 244,49%
bk; swelling volume 9,31 mL/g bk; kelarutan 7,35% bk; kapasitas emulsi 0,51
mL/g bk; suhu awal gelatinisasi 74,75˚C; suhu viskositas maksimum 92,63˚C;
viskositas maksimum 745 BU; breakdown visc. 70 BU dan setback visc. 815 BU.
fungsional yang lebih baik daripada metode kering, namun memiliki komposisi
3. Ada interaksi antara varietas jagung kuning hibrida dan metode penggilingan
ditinjau dari sifat fisik dan fungsional adalah tepung jagung varietas C-7
dengan metode basah (V1M2) meliputi kadar air 7,96% bb; kadar abu 0,75%
bk; kadar lemak 2,99% bk; kadar protein total 8,65% bk; kadar amilosa 32,83%
bk; kadar pati 86,53% bk; densitas kamba 0,64 g/mL; rendemen 43,19% bk; pH
5,55; derajat putih (L) 80,36%; kapasitas penyerapan air 225% bk; swelling
volume 9,25 mL/g bk; kelarutan 8,16% bk; kapasitas emulsi 0,43 mL/g bk;
maksimum 775 BU; breakdown visc. 35 BU dan setback visc. 945 BU.
105
B. Saran
modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic
3. Perlu penelitian lebih lanjut aplikasi tepung jagung hibrida varietas terbaik
impor terigu.
106
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 2008. Seri Jagung Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius, Jakarta.
Ali, M. 2009. JHS siapkan benih jagung untuk NTT. http:// tv.pos-kupang.com.
Diakses tanggal 15 Juni 2009.
Arora, S. 2003. The Effect of Enzymes and Starch Damage on Wheat Flour
Tortilla Quality. Thesis. Texas A&M University, USA.
Babiker, E.E., B.A. Hassan, M.M. Elitayeb, G.A. Osman, M.N. Hassan and K.A.
Hassan. 2007. Solubility and functional properties of boiled and fried
Sudanese tree locust flour as a function of NaCl concentration. Medwell
Journal. 5(3):210-214.
107
Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. SNI 0-3727 -
1993. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Bhattachrya, S. and M. Prakash. 1994. Extrusion blends of rice and chicken pea
flours: A response surface analysis. J. Food Enginering. 21:315-330.
Bian, Y., D.J. Myers, K. Dias, M.A. Lihono, S. Wu, and P.A. Murphy. 2003.
Functional properties of soy protein fraction produced using a pilot plant-
scale process. J. Am. Chem. Soc. 80:45-549.
Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 1999. Effect of milling n physicochemical
characteristics of waxy rice in Taiwan. Cereal Chemistry. 76:796-799.
Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 2003. Physicochemical and morphological
analyses on damaged rice starches. Journal of Food and Drug Analysis.
4:283-289.
Chiang, P.Y. and A.I. Yeh. 2002. Effect of soaking on wet milling rice. J. Cereal
Science. 35:85-94.
Collado, L.S., and H. Corke. 1998. Heat moisture treatment effect on sweet potato
starch differing in amylose content. J. Food Chemistry. (65)339-346.
Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon type noodle
from heat moisture treated sweet potato starch. J. Food Sci. 66:604-609.
Dubat, A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of
Measuring Methods. Sdmatic, New York.
108
Damardjati, D.S., S. Widowati, J. Wargiono, dan S. Purba. 2000. Potensi dan
Pendayagunaan Sumber Daya Bahan Pangan Lokal Serealia, Umbi-
umbian, dan Kacang-kacangan untuk Penganekaragaman Pangan.
Makalah pada Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif. Jakarta, 24
Oktober 2000. 24 hal.
Fagbemi, T.N., A.A. Oshodi and K.O. Ipin. 2006. Effect of processing on the
functional properties of full fat and defatted fluted pumpkin (Telfairia
occidentalus) seed flour. Journal of Food Technology. 4(1):70-79
Grenus, K.M., F. Hscih, and H.E. Huff. 1993. Extrusion and extrudate properties
of rice flour. J. Food Enginering. 18:229-245.
Guo, G., D.S. Jackson, R.A, Graybosch, and A.M. Parkhurst. 2003. Asian salted
noodle quality impact of amylose content adjustment using waxy wheat
flour. J. Cereal Chemistry. (80):437-445.
Haros, M., O. E. Perez, and C. M. Rosell. 2003. Effect of steeping corn with lactic
acid on starch properties. Cereal Chemistry. 81(1):10-14.
109
Hung, P.V. and N. Morita. 2005. Physicochemical properties and enzymatic
digestibility of starch from edible canna (Canna edulis) gown in Vietnam.
Carbohydrate Polymers, 61:314-321.
Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc., Maryland.
Ikegwu, O.J., P.E. Okechukwu and E.O. Ekumankare. 2010. Physicochemical and
pasting characteristic of flour and starch from Achi brachtegia. Medwell
Journal. (8):58-66.
Iriany, R.N dan T. M. Andi. 2007. Jagung Hibrida Unggul Baru. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, 29 (4): 26-39.
Jugenheimer R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Wiley and Sons, New York.
Kadan, R.S., R.J. Bryant, and A.B. Pepperman. 2003. Functional properties of
extruded rice flours. J. Food Science. 68:1669-1672.
Kaur, A., N. Singh, R. Ezekiel and S.H. Guraya. 2006. Physicochemical, thermal
and pasting properties of flour from different potato cultivars grown at
different location. J. Food Chemistry. 101:643-641.
Kibar, A.A., Gonenç, and F. Us. 2009. Gelatinization of waxy, normal, and high
amylose corn starches. Journal of Food Technology. 4(3):02-10.
Kulp K., and G. P. Joseph. 2000. Hand Book of Cereal Science and Technology.
Marcel Dekker Inc., New York.
110
Lewis, M.J. 1987. Physical Properties of Food and Food Processing Systems.
Hartnolls Limited, Bodman Cornwall, Great Britain.
Lim, S.T., H.J. Han, H.S. Lim, and J.N. BeMiller. 2002. Modification of starch by
dry heating with ionic gum. Cereal Chemistry. 79(5):601-606.
Lindeboom, N., P.R. Chang and R.T. Tyler. 2004. Analytical, biochemical, and
physicochemical aspect of starch granule size with emphasis on small
granula starches : A Review. Starch/starke. 56:89-99.
Master, K. 1979. Spray Drying Handbook. John wiley and Sons, New York.
Morrison, W.R. and R. F. Tester. 1994. Properties of damaged starch ganules. IV.
Composition of ball-milled wheat starches and of fractions. J. Cereal
Science. 20:69-77.
Munarso, S.J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya
dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Nobel, P., dan Andrizal. 2003. Pedoman Penanganan Pasca Pasca Panen Jagung.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Numfor, A.F., M.W. Walter, and J.S. Schwartz. 1996. Effect of emulsifier on the
physical properties of native and fermented Starches. J. Agriculture Food
Chemistry. (44):2595-2599.
Onwuka, G.I. and N.J. Ogbagu. 2007. Effect of fermentation on the quality and
physical properties of cassava based fufu product made from two cassava
varieties NR8212 and Nwangbisi. Medwell Journal. (3):261-264.
111
Oti, E. And E.N.T Akobundu. 2007. Physical, functional and amylograph pasting
properties of cocoya-soybean-crayfish flour blends. Nigerian food
Journal. 25(1):161-169.
Ratnayake, W.S., R. Hoover dan W. Tom. 2002. Pea starch: composistion, structure
and properties – review. Starch/Starke. 54: 217 – 234.
112
Shimelis, E., M. Meaza, and S. Rakhsit. 2006. Physicochemical properties,
pasting behavior and functional characteristics of flours and starches from
improved bean (Phaseolus vulgaris L.) varieties grown in east Africa.
CIGR Ejournal,. Vol. VIII.
Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan
Kue Basah (cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai
Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vol 6. hlm 55-60.
Sung, C.W. and M. Stone. 2004. Characterization of legume starches and their
noodle quality. Journal of Marine Science and Technology. 12(1):25-52.
Suprapto dan H.A.R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung. Edisi Revisi, Cetakan ke-
14. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tam, L.M., H. Corke, W.T. Tan, J. Li, and L.S. Collado. 2004. Production of
bihon-type noodle from maize starch differing in amylosa content. J Cereal
Chemistry. 81(4):475-480.
113
Tan, H., Z. Li, and B. Tan. 2010. Starch noodles: History, classification,
materials, processing, structure, nutrition, quality evaluating and improving.
Food Research International. 42:551-576.
Thompson, A.W., M. Blades, dan J. Suthering. 2006. The G.I. Diet Cook Book.
Http:www.indomemo.com. Diakses tanggal 2 Februari 2010.
Udensi, E.A. and K.A. Okoronkwo. 2006. effect of fermentation and germination
on the physicochemical properties of Mucuna cochinchinensis protein
isolate. African Journal of Biotecnology. 5(10):896-900.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
WSI. 1997. Westfalia Separator Industry. Starch from Corn Separation Technology
for Cereals. http://www.westfaliaseparator. com/downloads/pdf/9997-0681-
(20 Juni 2010).
Wu, V. Y. 2001. Emulsfying capacity and emulsion stability of corn gluten meal.
J. Science Food Agriculture. 81:1223-1227.
Xu, J., and S. Kim. 2008. Aggregate formation of zein and its structure inversion
in aqueous ethanol. Journal of Cereal Science 47:1-5.
114
Lampiran 1. Hasil pengamatan penelitian pendahuluan tepung jagung hibrida P-12
a. Sifat kimia dan fisik tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat
penyosohan.
Tingkat Penyosohan
Variabel pengamatan tepung
1 kali 3 kali 5 kali 7 kali
Kadar serat tepung (%b/b) 2,52 1,71 1,42 1,02
Derajat putih tepung (%) L 60,11 61,25 63,86 63,97
a 3,25 3,18 2,45 2,41
b 7,22 7,37 7,31 7,82
Rendemen jagung sosoh (%) 83 72 65 53
Rendeman tepung terhadap biji 17,65 22,18 26,53 23,12
jagung utuh (%b/b)
Tekstur (sensoris) agak halus halus halus halus
b. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai
tingkat penggilingan metode kering.
Variabel Tingkat penggilingan
yang diamati 3 kali 5 kali 7 kali 9 kali
L 63,86 58,21 53,4 49,91
Derajat putih
a 2,45 3,89 6,11 6,52
tepung
b 7,31 7,91 9,09 11,13
Rendeman tepung 26,53 33,62 34,88 35,14
terhadap biji jagung
utuh (%b/b)
c. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai lama
perendaman pada metode basah.
Variabel Lama perendaman
yang diamati 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam
L 77,29 77,89 79,65 79,1
Derajat
a -0,71 -0,65 -0,59 -0,46
putih tepung
b 31,95 31,03 30,71 29,56
Rendemen terhadap biji 35,09 40,15 44,23 41,51
jagung utuh (%b/b)
115
d. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat
penggilingan pada metode basah.
variabel Tingkat penggilingan
yang diamati 1 kali 2 kali 3 kali
L 79,65 79,0 78,2
Derajat
a -0,59 -0,63 -0,62
putih tepung
b 30,71 32,3 32,11
Rendemen tepung (% b/b) 45 46,7 47,0
116
Lampiran 2. Denah percobaan
V2M2 V1M2
V3M2 V3M2
V2M1 V2M2
V1M2 V3M1
V4M2 V2M1
V5M2 V1M1
V4M1 V5M1
V1M1 V7M2
V3M1 V6M2
V5M2 V7M1
V6M2 V4M1
V7M2 V7M1
V6M1 V5M2
V7M1 V4M2
Blok I Blok II
117
Lampiran 3. Proses pembuatan tepung jagung metode kering
Jagung sosoh
Digiling 5 kali
Diayak Menir
80 mesh
Tepung jagung
Dikemas dengan
plastik PP hitam
Tepung jagung
siap pakai
118
Lampiran 4. Proses pembuatan tepung jagung metode basah
Jagung sosoh
Digiling
2 kali
Diayak 80
mesh Menir
Tepung jagung
Dikemas dengan
plastik PP hitam
Tepung jagung
siap pakai
119
Lampiran 5. Jagung hibrida pipil kering dari beberapa varietas
120
Lampiran 6. Jagung hibrida 5 kali sosoh dari beberapa varietas
121
Lampiran 7. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode kering
122
Lampiran 8. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode basah
123
Lampiran 9. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel kimia tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
Kadar air Kadar pati Kadar lemak Kadar amilosa Kadar protein total Kadar abu
Data
(% bk) (%bk) (%bk) (%bk) (%bk) (%bk)
V1 9.5203 bc 88.65700 a 3.16665 c 33.94135 a 8.77463 a 0.93345 ab
V2 7.448 e 84.68152 d 3.05588 d 23.43500 d 8.53775 a 0.78518 bcd
V3 8.9275 cd 82.98865 f 2.31293 e 25.65718 c 7.87598 b 0.71085 cd
V4 10.1923 ab 83.78655 e 1.70383 f 25.16240 c 8.54648 a 0.65163 de
V5 8.5370 d 85.24343 c 3.33250 b 31.26358 b 8.57180 a 0.88680 abc
V6 10.4763 a 82.32035 g 0.73263 g 30.95775 b 5.61803 c 0.50045 e
V7 7.5245 e 86.04728 b 3.61493 a 31.85703 b 8.78105 a 1.03765 a
F hit V 25.68 ** 180.63 ** 1197.52 ** 79.14 ** 195.81 ** 9.93 **
F tab 5% 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92
F tab 1% 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62
M1 9.7838 a 86.58616 a 2.71857 a 29.79082 a 8.25054 a 0.95391 a
M2 8.1084 b 83.04949 b 2.40124 b 28.00183 b 7.95109 b 0.61924 b
F hit M 87.33 ** 875.45 ** 196.10 ** 27.04 ** 23.81 ** 58.26 **
F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67
F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07
V1M1 10.3850 ab 90.78200 a 3.33910 cd 35.05350 a 8.89950 a 1.11270 ab
V1M2 8.6555 de 86.53200 d 2.99420 e 32.82920 b 8.64975 ab 0.75420 cdef
V2M1 9.0185 cd 86.97050 cd 3.26285 d 24.29555 ef 8.83040 ab 0.93420 bc
V2M2 5.8710 g 82.39255 h 2.84890 f 22.57445 f 8.24510 cd 0.63615 def
V3M1 10.1765 ab 84.71775 ef 2.51740 g 26.61935 d 8.05295 d 0.83605 cde
V3M2 7.6785 ef 81.25955 i 2.10845 h 24.69500 de 7.69900 e 0.58565 efg
V4M1 10.5900 a 85.15585 e 1.88690 i 25.96730 de 8.64250 ab 0.81695 cde
V4M2 9.7945 abc 82.41725 h 1.52075 j 24.35750 ef 8.45045 bc 0.48630 fg
V5M1 9.2870 bcd 87.27200 bc 3.42940 bc 32.17720 bc 8.67405 ab 1.10745 ab
V5M2 7.7870 ef 83.21485 g 3.23560 d 30.34995 c 8.46955 bc 0.66615 cdef
V6M1 10.8050 a 83.38970 g 0.87540 k 31.68270 bc 5.75900 f 0.66600 cdef
V6M2 10.1475 ab 81.25100 i 0.58985 l 30.23280 c 5.47705 f 0.33490 g
V7M1 8.2245 de 87.81530 b 3.7189 a 32.74015 b 8.89540 a 1.20400 a
V7M2 6.8245 fg 84.27925 f 3.51090 b 30.97390 bc 8.66670 ab 0.87130 bcd
F hit VXM 3.53 * 7.43 ** 2.28 tn 0.07 tn 0.71 tn 0.25 tn
F tab 5% 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92
F tab 1% 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62
Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
124
Lampiran 10. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fisik tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
Densitas kamba Starch damage Rendemen Derajat putih
Data pH
(g/mL) (%bk) (%bb) L (%) a (%) b (%)
V1 5.40 d 0,63485 abc 4.77470 d 34.19798 c 67.27918 1.35248 18.86253
V2 5.60 c 0,63753 ab 4.80563 d 41.59590 b 67.3375 1.25668 18.43665
V3 5.43 d 0,62865 bc 6.64745 a 40.47765 b 67.92415 1.81835 16.24668
V4 5.98 a 0,61643 c 5.49023 b 40.14375 b 68.23585 1.26083 16.54500
V5 5.95 a 0,63001 bc 5.20018 c 44.32623 b 67.97335 1.84165 17.97503
V6 6.05 a 0,59880 d 4.20513 e 48.98173 a 68.17418 1.565 19.75418
V7 5.75 b 0,64941 a 5.51308 b 41.30913 b 68.28918 1.50165 18.92750
F hit V 39.51 ** 4.39 * 313.71 ** 11.68 ** 0.83 ns 0.34 ns 2.83 ns
F tab 5% 2.92 2. 92 2.92 2.92 2.92 2.92 2.92
F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62
M1 5.58 b 0.67528 a 6.32912 a 35.18300 b 55.35191 b 4.10191 a 7.74071 b
M2 5.89 a 0.58063 b 4.13841 b 47.96910 a 80.42334 a -1.07430 b 28.47287 a
F hit M 95.33 ** 30.04 ** 4396.56 ** 55.51 ** 5207.39 ** 268.58 ** 3540.57 **
F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67
F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07
V1M1 5.25 g 0,68071 ab 5.78630 d 29.56385 f 54.195 b 3.6083 7.58670
V1M2 5.55 ef 0,58900 de 3.76310 h 38.83210 de 80.36335 a -0.90335 30.13835
V2M1 5.45 f 0,69100 a 5.85830 d 33.61905 ef 54.39335 b 3.8367 8.32830
V2M2 5.75 bcd 0,58405 e 3.75295 h 49.57275 bc 80.28165 a -1.32335 28.54500
V3M1 5.25 g 0,6756 abc 8.49385 a 34.80305 ef 55.385 b 4.42335 7.26500
V3M2 5.60 def 0,58165 e 4.80105 e 46.15225 bc 80.4633 a -0.78665 25.22835
V4M1 5.80 bcd 0,66102 bc 6.53830 b 32.69765 ef 55.90335 b 4.315 7.27000
V4M2 6.15 a 0,57185 e 4.44215 f 47.58985 bc 80.56835 a -1.79335 25.82000
V5M1 5.75 bcd 0,67732 abc 6.23515 c 38.31965 de 55.45835 b 4.48665 7.71335
V5M2 6.15 a 0,58270 e 4.16520 g 50.33280 b 80.48835 a -0.80335 28.23670
V6M1 5.90 b 0,65234 c 4.79565 e 42.34280 cd 55.93 b 4.39835 7.92165
V6M2 6.20 a 0,54525 f 3.61460 h 55.62065 a 80.41835 a -1.26835 31.58670
V7M1 5.65 cde 0,68892 a 6.59630 b 34.93495 ef 56.19835 b 3.645 8.10000
V7M2 5.85 bc 0,60990 d 4.42985 f 47.68330 bc 80.38 a -0.6417 29.75500
F hit VXM 0.54 tn 0.89 tn 72.75 ** 0.66 tn 0.63 tn 0.56 tn 2.00 tn
F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92 2,92 2,92 2,92
F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62
Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
125
Lampiran 11. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fungsional tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
KPA Swelling volume Kelarutan Kapasitas emulsi
Data
(%bk) (mL/g bk) (% bk) (mL/g bk)
V1 243.44850 d 9.40703 e 8.36990 cd 0.48905 a
V2 268.51775 a 11.63438 a 8.97155 c 0.38005 b
V3 266.24700 ab 9.88257 d 11.07343 b 0.35208 b
V4 262.49825 ab 10.98175 b 11.00415 b 0.36208 b
V5 249.18225 cd 9.89685 d 8.14980 d 0.38533 b
V6 253.12925 bc 10.75683 c 12.36778 a 0.17983 c
V7 244.48725 d 9.30993 e 7.35240 e 0.50753 a
F hit V 5.96 ** 359.41 ** 57.06 ** 100.15 **
F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92
F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62
M1 274.46493 a 10.46237 a 10.08583 a 0.40595 a
M2 236.25229 b 10.07172 b 9.13960 b 0.35289 b
F hit M 141.43 ** 126.27 ** 25.71 ** 42.70 **
F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67
F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07
V1M1 261.517 cdef 9.5595 g 8.5838 efg 0.54585 a
V1M2 225.38 i 9.25455 h 8.156 fgh 0.43225 bc
V2M1 287.054 a 11.8194 a 9.2892 ef 0.39885 cd
V2M2 249.9815 defg 11.44935 b 8.6539 efg 0.36125 de
V3M1 284.821 a 10.0554 f 12.451 a 0.37235 de
V3M2 247.673 efgh 9.70975 g 9.69585 de 0.33180 e
V4M1 282.2195 ab 11.10905 c 11.3245 bc 0.38130 de
V4M2 242.777 fghi 10.85445 d 10.6838 cd 0.34285 e
V5M1 268.579 abcd 10.22405 f 8.487 fg 0.40380 cd
V5M2 229.7855 hi 9.56965 g 7.8126 gh 0.36685 de
V6M1 274.019 abc 10.94 cd 12.88215 a 0.18725 f
V6M2 232.2395 ghi 10.57365 e 11.8534 ab 0.17240 f
V7M1 263.045 bcde 9.5292 g 7.58315gh 0.55225 a
V7M2 225.9295 i 9.09065 h 7.12165h 0.46280 b
F hit VXM 0.05 tn 1.98 tn 2.77 tn 2.64 tn
F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92
F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62
Keterangan: V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
126
Lampiran 12. Penentuan varietas terbaik dengan metode Indeks Efektivitas
Perlakuan
Variabel fisik dan
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
fungsional
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP
Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 0,06 0,01 0,64 0,06 0,95 0,10 0,69 0,07 0,89 0,09 1,00 0,10
Viskositas maks. 1 0,10 0,41 0,04 0,41 0,04 0,53 0,05 0,71 0,07 0,12 0,01 1,00 0,10 0,00 0,00
Breakdown visc 0,9 0,09 1,00 0,09 0,00 0,00 0,33 0,03 0,10 0,01 0,88 0,08 0,26 0,02 0,90 0,08
Swelling power 0,9 0,09 0,96 0,09 0,00 0,00 0,75 0,07 0,28 0,03 0,75 0,07 0,38 0,03 1,00 0,09
Kelarutan 0,9 0,09 0,80 0,07 0,68 0,06 0,26 0,02 0,27 0,02 0,84 0,08 0,00 0,00 1,00 0,09
Setback visc 0,9 0,09 1,00 0,09 0,00 0,00 0,20 0,02 0,07 0,01 0,41 0,04 0,11 0,01 0,40 0,04
Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 0,43 0,03 0,39 0,03 0,40 0,03 0,62 0,05 1,00 0,08 0,42 0,03
KPA 0,8 0,08 0,00 0,00 1,00 0,08 0,91 0,07 0,76 0,06 0,23 0,02 0,39 0,03 0,04 0,00
Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,94 0,08 0,61 0,05 0,53 0,04 0,56 0,04 0,63 0,05 0,00 0,00 1,00 0,08
Densitas kamba 0,7 0,07 0,71 0,05 0,77 0,05 0,59 0,04 0,35 0,02 0,62 0,04 0,00 0,00 1,00 0,07
Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 0,39 0,02 0,50 0,03 0,64 0,04 0,74 0,05 0,00 0,00 1,00 0,06 0,05 0,00
Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 0,00 0,00 1,00 0,06 0,55 0,03 0,78 0,05 0,15 0,01 0,64 0,04 0,10 0,01
Jumlah 9,9 1,00 0,53 0,42 0,52 0,49 0,51 0,47 0,60*
Lampiran 13. Penentuan metode penggilingan terbaik dengan metode Indeks Efektivitas.
Perlakuan
Variabel fisik dan
fungsional M1 M2
BV BN NE NP NE NP
Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 1,00 0,10
Viskositas maksimum 1 0,10 1,00 0,10 0,00 0,00
Breakdown viscosity 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09
Swelling power 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09
Kelarutan 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09
Setback viscosity 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09
Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 1,00 0,08
KPA 0,8 0,08 1,00 0,08 0,00 0,00
Kapasitas emulsi 0,8 0,08 1,00 0,08 0,00 0,00
Densitas kamba 0,7 0,07 1,00 0,07 0,00 0,00
Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 1,00 0,06 0,00 0,00
Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 1,00 0,06 0,00 0,00
Jumlah 1,00 0,45 0,55*
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida (V1= C-7, V2= Prima,
V3= Nusantara 1, V4 = NT 10, V5= P-21, V6= Bisi 16, V7= P-12), M = metode penggilingan (M1= metode kering, M2 = metode basah)
*= Perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
127
Lampiran 14. Penentuan kombinasi terbaik dengan metode Indeks Efektivitas
Perlakuan
Variabel fisik dan
V1M1 VIM2 V2M1 V2M2 V3M1 V3M2 V4M1
fungsional
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP
Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 0,99 0,10 0,01 0,00 0,99 0,10 0,05 0,00 1,00 0,10 0,06 0,01
Viskositas maks. 1 0,10 0,50 0,05 0,42 0,04 0,54 0,05 0,38 0,04 0,62 0,06 0,46 0,05 0,73 0,07
Breakdown visc 0,9 0,09 0,68 0,06 1,00 0,09 0,00 0,00 0,32 0,03 0,23 0,02 0,55 0,05 0,03 0,00
Swelling power 0,9 0,09 0,83 0,08 0,94 0,09 0,00 0,00 0,14 0,01 0,65 0,06 0,77 0,07 0,26 0,02
Kelarutan 0,9 0,09 0,75 0,07 0,82 0,07 0,62 0,06 0,73 0,07 0,07 0,01 0,55 0,05 0,27 0,02
Setback visc 0,9 0,09 0,93 0,08 1,00 0,09 0,00 0,00 0,09 0,01 0,23 0,02 0,23 0,02 0,07 0,01
Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 0,35 0,03 0,13 0,01 0,71 0,06 0,19 0,02 0,61 0,05 0,12 0,01
KPA 0,8 0,08 0,59 0,05 0,00 0,00 1,00 0,08 0,40 0,03 0,96 0,08 0,36 0,03 0,92 0,07
Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,98 0,08 0,68 0,06 0,60 0,05 0,50 0,04 0,53 0,04 0,42 0,03 0,55 0,04
Densitas kamba 0,7 0,07 1,00 0,07 0,27 0,02 0,99 0,07 0,13 0,01 0,92 0,07 0,15 0,01 0,86 0,06
Suhu awal
gelatinisasi 0,6 0,06 0,45 0,03 0,33 0,02 0,58 0,04 0,33 0,02 0,67 0,04 0,42 0,03 0,75 0,05
Suhu puncak
gelatinisasi 0,6 0,06 0,09 0,01 0,00 0,00 1,00 0,06 0,54 0,03 0,54 0,03 0,35 0,02 0,74 0,04
Jumlah 9,9 1,00 0,57 0,61* 0,42 0,45 0,45 0,51 0,42
Perlakuan
Variabel fisik dan
fungsional V4M2 V5M1 V5M2 V6M1 V6M2 V7M1 V7M2
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP
Derajat putih (L) 1 0,10 1,00 0,10 0,05 0,00 1,00 0,10 0,07 0,01 0,99 0,10 0,08 0,01 0,99 0,10
Viskositas maks. 1 0,10 0,58 0,06 0,38 0,04 0,15 0,02 1,00 0,10 0,69 0,07 0,38 0,04 0,00 0,00
Breakdown visc 0,9 0,09 0,42 0,04 0,61 0,06 0,90 0,08 0,19 0,02 0,48 0,04 0,61 0,06 0,94 0,09
Swelling power 0,9 0,09 0,35 0,03 0,58 0,05 0,82 0,07 0,32 0,03 0,46 0,04 0,84 0,08 1,00 0,09
Kelarutan 0,9 0,09 0,38 0,03 0,76 0,07 0,88 0,08 0,00 0,00 0,18 0,02 0,92 0,08 1,00 0,09
Setback visc 0,9 0,09 0,16 0,01 0,36 0,03 0,48 0,04 0,11 0,01 0,18 0,02 0,36 0,03 0,45 0,04
Rendemen 0,8 0,08 0,69 0,06 0,31 0,02 0,75 0,06 0,50 0,04 1,00 0,08 0,18 0,01 0,65 0,05
KPA 0,8 0,08 0,28 0,02 0,70 0,06 0,07 0,01 0,79 0,06 0,11 0,01 0,61 0,05 0,01 0,00
Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,45 0,04 0,61 0,05 0,51 0,04 0,04 0,00 0,00 0,00 1,00 0,08 0,76 0,06
Densitas kamba 0,7 0,07 0,19 0,01 0,93 0,07 0,17 0,01 0,79 0,06 0,00 0,00 0,96 0,07 0,32 0,02
Suhu awal
gelatinisasi 0,6 0,06 0,45 0,03 0,33 0,02 0,00 0,00 1,00 0,06 0,50 0,03 0,39 0,02 0,00 0,00
Suhu puncak
gelatinisasi 0,6 0,06 0,48 0,03 0,22 0,01 0,01 0,01 0,61 0,04 0,09 0,01 0,09 0,01 0,02 0,00
Jumlah 1,00 0,46 0,49 0,52 0,43 0,41 0,54 0,55
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan,
*= kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
128
RIWAYAT HIDUP
129
130