You are on page 1of 6

Kendala Penanganan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


H. Ridwan Muchtar Daulay
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN akibat inflamasi saluran nafas karena adanya invasi infecting


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan kurang agent. Dikatakan bangkitan baru bila tanda dan gejala tersebut
gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada terjadi sekurang-kurangnya setelah 48 jam bebas gejala bangkit-
anak di negara maju dan berkembang, terutama pads usia di an akhir dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
bawah 5 tahun. Definisi praktis sangat didambakan; dengan pemeriksaan
ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pads negara klinis sederhana berupa penglihatan, pendengaran dan perabaan,
maju; tidak demikian keadaannya pada negara berkembang di indentifikasi penyakit dapat diterapkan.
mana morbiditasnya relatif lebih kecil. Mortalitas yang tinggi
pada umumnya akibat ISPA bawah yang berat. Keadaan-keadaan KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS
ini merupakan penalar bagi kita agar segera memikirkan dan Klasifikasi ISPA dibedakan berdasarkan anatomi, etiologi,
melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan ISPA berat ringannya ataupun gabungan sesamanya seperti yang
sesuai dengan usaha WHO pads tahun-tahun terakhir ini. diajukan International Classification of Diseases (ICD). Klasi-
Perumusan masalah seperti definisi, klasifikasi ISPA dis- fikasi ICD-revisi 9 berdasarkan anatomi, etiologi dan fungsi
ertai pengumpulan data, hipotesis dan kesimpulan merupakan hanya dapat diterapkan tenaga kesehatan formal seperti dokter
kunci utama untuk berhasilnya program ini. Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai sarana pen-
Tulisan ini mencoba menguraikan kendala penanganan dukung, tidak sesuai dengan usaha penanggulangan ISPA di
Infeksi Saluran Pernafasan Akut pads bayi dan anak. Indonesia saat ini. WHO (1985) mengajukan konsep perubahan
klasifikasi ISPA berupa ICD-revisi 10 yang lebih menggam-
DEFINISI barkan perkembangan penanggulangan ISPA di Indonesia saat
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara ini.
anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidung Klasifikasi berdasarkan etiologi sangat ideal. Dengan me-
sampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari laring ngetahui etiologinya dapat diketahui pola kuman atau virus
sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi infecting penyebab serta pola mikrobiologi untuk terlaksananya usaha
agents yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas yang pencegahan dan penanggulangan yang akurat sehingga ter-
terlibat. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri wujudnya rasionalisasi penggunaan antibiotika di satu pihak dan
dan virus sebagai penyebab ISPA°. Berdasarkan definisi ini merupakan kendala bagi para ahli terutama di Indonesia di pihak
diagnosis ISPA ditegakkan dengan pembuktian jenis infecting lain.
agent dan adanya inflamasi saluran nafas. Pembuktian ini Berdasarkan klasifikasi anatomis dibedakan alas rhinitis,
membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tidak sederhana faringitis, tonsilitis, laringitis, trakheitis, bronkitis, bronkiolitis,
sehingga tidak praktis diterapkan pada saat ini di Indonesia dan pneumonia, abses pulmonum dan empiema.
kadangkala di negara maju. Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang
Klinik ISPA merupakan bangkitan tanda dan gejala akut mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 47


o)
harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus di- bayi berusia 0-1 tahun dan 35,0% pads anak 1-4 tahun .
rujuk ke Rumah Sakit. Penelitian BIKA FKUSU Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menggunakan oleh Fuad Arsyad (1981-1982) menunjukkan mortalitas pender-
pedoman klasifikasi ISPA untuk petugas kesehatan sesuai de- ita bronkopneumonia yang dirawat mondok adalah 41,46% sedang
ngan klasifikasi sederhana WHO berupa ISPA ringan, sedang Charles Hutasoit (1985-1989) melaporkan 46,99%, tidak ter-
dan berat( 2). masuk neonatus yang dirawat di Sub-Bagian - Perinatologi"·
'4)

Pada dasamya terjadinya ISPA bawah merupakan kom-


3
plikasi ISPA atas kecuali pads bayi baru lahir . FAKTOR-FAKTOR YANG MUNGKIN MEMPENGA-
RUHI
MORBIFDITAS DAN MORTALITAS
Cuaca dan Musim
Morbiditas ISNA lebih banyak pads negara maju; tidak
Di negara dengan 4 musim, kejadian ISPA cenderung
demikian keadaannya dengan diare, pads negara berkembang )
meningkat pads musim dingin" ; di negara tropis yang umum-
morbiditasnya 4 - 5 kali lebih besar dari negara maje). Di
nya mempunyai 2 musim ISPA 2 atau 3 kali lebih sering terjadi
Indonesia morbiditas ISNA di pedesaan relatif lebih rendah dari pada musim hujan l16.17 )
perkotaan.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980 dan 1986 Kepadatan penduduk
di Indonesia memperlihatkan ISPA atas dan bawah merupakan David Morley (1973) menekankan, yang paling bertanggung
penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi dan anak balita. jawab terhadap terjadinya ISPA adalah kepadatan penghuni di
Survei tahun 1986 menunjukkan, 25,7% penduduk menderita dalam atau di luar rumah; dikatakannya meningkatnya kejadian
ISPA dengan penyebaran 42,4% pada anak di bawah 1 tahun, ISPA pada musim-musim tertentu bukan diakibatkan perubahan
40,6% pada usia 1- 4 tahun dan 32,5% pada anak berumur 5 - cuaca atau musim").
14 tahun (4 ). Penelitian terhadap 877 anak balita di Pondok Pinang Di Inggris kejadian infeksi RSV pada anak lebih sering
Jakarta sejak 1 April 1970 sampai dengan 31 Maret 1971 ditemui pada anak yang mempunyai saudara dibandingkan dengan yang
dari 3121 episode penyakit, 1428 (45,3%) disebabkan ISPA A5
. tidak; disebutkan juga puncak kejadian ISPA berhubungan
Dari 12 besar penyakit anak di Rumah Sakit Dr. Kariadi Se- dengan masa masuknya anak sekolah kembali setelah masa
)
marang (1979) ISPA menduduki tempat ke dua setelah penyakit libur" .
(6)
saluran cerna . Umur dan Jenis Kelamin
Untuk daerah Sumatera Utara basil survei Kesehatan Ru- Anak berusia di bawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat
mah Tangga pada tahun 1972, ISPA atas menduduki tempat ISPA lebih besar daripada anak yang lebih tua. Keadaan ini
pertama (16,5%), sedang ISPA bawah pada urutan ke enam yaitu mungkin karena pada anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya
5,2%('). Dari 15.960 pengunjung Poliklinik Anak Sakit Rumah belum sempuma dan lumen saluran nafasnya relatip sempit.
Sakit Dr. Pimgadi Medan pada tahun 1981, 65,60% anak men- Kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara anak laki-kaki
E
derita ISPA atas dan 19,74% ISPA bawah( ). Soemardi Umar dick dengan perempuan, sedang ISPA bawah pada umur kurang dari
(1983) juga melaporkan kejadian ISPA bawah di ruang rawat 6 tahun lebih sering pada anak laki-laki"
mondok Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan pada tahun 1981 dan
Keadaan Nutrisi dan Anemia
1982 adalah 29,2%; 49,23% daripadanya adalah penderita
Sejauh mana hubungan nutrisi dan anemnia terhadap kejadi-
bronkopneumonia yang merupakan 20,39% dari seluruh ISPA
an ISPA belum diketahui dengan jelas. Menurut David Morley
bawah.
(1973) karena hubungan nutrisi dengan ISPA belum jelas; apa-
Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui.
bila gizi jelek tidak diperhitungkan, kekurangan gizi di negara
Kematiannya kebanyakan akibat bronkopneumonia dan bron-
berkembang tidak dapat dianggap sebagai penyebab utama dari
kiolitis. Pada negara berkembang diperkirakan 20-25% kemati-
tingginya angka kematian ISPA.
an anak Balita diakibatkan ISPA 0 10) . Mortalitas ISPA di Amerika
·

Anemia terutama anemia defisiensi besi yang sering ditemui


Utara 0,5% per 1000 anak di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per
l,11) pada bayi dan anak di Indonesia mempunyai hubungan timbal
1000 anak usia 1-5 tahun° ; sedangkan laporan dari berbagai
balik dengan ISPA.
negara berkembang berkisar 10-44 per 1000 anak di bawah 1 o.9.11
tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5 tahun )
Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu ETIOLOGI
penduduk 100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang dari- Walaupun penyebab ISPA beranekaragam namun penyebab
pada negara maju. terbanyak adalah infeksi virus dan bakteri. Penyebab infeksi ini
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980, 19,9% dapat sendirian atau bersama-sama secara simultan. Penyebab
kematian penduduk akibat ISPA bawah, 22,1% pada bayi ber- ISPA akibat infeksi virus berkisar 90-95% terutama ISPA atas.
z
umur 0-1 tahun dan 28,1% pada anak berumur 1-4 tahun° ; Kendatipun demikian peranan bakteri belum dapat disingkirkan.
basil survei 1986 mortalitas ISPA seluruhnya termasuk difteri, Data penelitian ISPA kebanyakan berasal dari negara-ne-
pertusis dan campak pada seluruh penduduk 13,7%, 22,1% pada gara barat walaupun sebenarnya penyakit ini merupakan ma-

48 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992


salah penting di negara-negara tropis. kejang dan pneumonia pada bayi dan virus Influenzae B me-
Penelitian di negara maju dan beberapa daerah perkotaan nyerang anak yang lebih besar dengan gejala influenzae disertai
negara sedang berkembang membuktikan bahwa ISPA bawah nyeri perut. Virus Parainfluenzae tipe 1 dan 2 menimbulkan
juga diakibatkan infeksi virus p7.2 .21>
' . Turner dkk (1987) me- gejala mirip croup, tipe 3 sering menyerang bayi berumur di
laporkan dari 98 anak yang menderita pneumonia di Amerika bawah 6 bulan dengan gejala mirip bronkiolitis dan pneumonia.
39% disebabkan infeksi virus, dan 19% oleh bakteri 53% dari- Adenovirus serotipe 1, 2, 5 sering menimbulkan ISPA bawah
22
padanya dijumpai juga infeksi virus( ). yang berat sedangkan serotipe 3, 4, 7 sering menyebabkan
Penyebab ISPA yang pasti pads negara berkembang belum faringitis pads anak dengan umur yang lebih tua. Virus lain
diketahui. Fakta menunjukkan bahwa bakteri patogen meru- misalnya virus morbili dapat menyebabkan ISPA yang apabila
pakan penyebab ISPA bawah yang berat baik primer maupun diikuti infeksi bakteri akan menyebabkan ISPA bawah yang
sekunder. Virus respiratorik memegang peranan pads fase per- berat (pneumonia). Ong dkk (1977) dengan melakukan biakan
tamao.23> . WHO melaporkan dari anak-anak yang menderita paranasal swab menemui virus sebagai penyebab ISPA adalah
ISPA berat yang dirawat di Rumah Sakit di 7 negara sedang ber- 47,7% dan Bakteria, 15,4% 01> .
kembang dan belum mendapat antibiotika ternyata basil pungsi
parunya 60% positif terhadap bakterP. Dijumpainya kultur PENGELOLAAN
darah yang positif dan adanya perbaikan klinis akibat pemberian Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka
antibiotika terhadap anak yang menderita pneumonia, secara sebaiknya pengelolaan ISPA dilaksanakan secara menyeluruh
tidak langsungs.26> menyokong penyebab infeksinya adalah meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan imu-
bakteri e , ' nisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana
Dan data di atas diperkirakan penyebab pneumonia berat lazimnya. Walaupun morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil
[ada negara sedang berkembang 50% oleh karena infeksi bakteria dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang dibutuhkan dalam
dan sensitif terhadap pemberian antibiotika. penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan
ISPA bawah diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha
Bakteri
penekanan morbiditas ISPA bawah baik sebagai lanjutan ISPA
Peranan bakteri sebagai penyebab ISPA lebih sulit ditentu-
atas atau tidak dan mortalitasnya.
kan karena bakteri juga dapat ditemui pads anak-anak yang tidak
(19
menderita ISPA ). H. influensa, streptokokkus, dan pneumo- Penyuluhan Kesehatan
kokkus merupakan bakteri patogen yang banyak ditemui, diikuti Penyuluhan kesehatan berperan mengurangi risiko morta-
dengan stafilokokus aureus dan streptokokkus beta hemolitikus. lity ISPA berupa bayi berat badan lahir rendah, gizi kurang,
Di negara berkembang penyebab utama ISPA berat pada kebiasaan ibu merokok dan keengganan ibu menyusukan bayi-
anak adalah S. pneumonia dan H. influenzae(1.' 1. 6. 2°.2s.2s. Th nya. Penyuluhan ini penting sekali bagi ibu-ibu sebagai tenaga
penye-
bab ISPA berat lain adalah S. aureus, B. pertusis, M. pneumonia, kesehatan non-formal untuk mengenal ISPA ringan, sedang dan
Chlamydia dan Branhemella catarrhalis. M. pneumonia dan B. berat untuk pengelolaan penderita selanjutnya.
pertusis dapat menyebabkan epidemi dan umumnya basil kultur Imunisasi
hapusan tenggorok pads anak usia sekolah hasilnya negatip Peningkatan cakupan imunisasi penyakit ISPA dengan
(
kecuali M. pneumonia 1015% basil biakan positip '). Pala menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbili sangat
masa neonatus bakteri penyebab ISPA yang paling sering adalah berberan dalam usaha pemberantasan ISPA.
S. aureus, E. coli di samping Stafilokokkus agalactiae (grup B),
a28>
S. pneumonia, Pseudomonas dan Klebsiella . PENATALAKSANAAN
Ong dkk mendapatkan hanya 15,4% biakan bakteri positif Penatalaksanaan penderita dilaksanakan tenaga medik
dari nasal swab. Soejono, Moeljono ST dkk (1975) memperoleh (formal) dengan prosedur medik berupa diagnosis, pengobatan
stafilokokkus 36,1% pads anak berumur di bawah 1 tahun dan dan rujukan serta tenaga non-medik dimulai tingkat ibu rumah
4,8% pads anak berumur di atas 1 tahun yang menderita tangga sampai dengan kaderkesehatan desa dengan menggunakan
bronkopneumonia a29 sedangkan Tatty, H. Moeljono ST dkk
j,
pedoman dan klasifikasi sederhana.
(1980) dengan melakukan biakan nasofaring penderita ISPA me-
Diagnosis
nemukan S. aureus 5,06%, S. albus 5,06%, ALfa streptokokkus
0 Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinik walaupun
34,18% dan Beta streptokokkus 8,86% >

diagnosis etiologik sangat menentukan keberhasilan pengobat-


Virus an. Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat
Virus-virus yang sering menyebabkan ISPA adalah virus membedakan penyebabnya bakteri atau virus.
Influenzae A, B, C, virus Parainfluenzae 1, 2, 3, 4, virus Respi- Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan naso-
ratory Syncytial (RSV), Adenovirus, Rhinovirus dan Entero- faring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae,
virus. Virus yang sering dilaporkan sebagai penyebab ISPA. ba- 6.4.23.25,27>
basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah
o. " '
wah adalah RSV, Parainfluenzae dan Adenovirus yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru
Virus Influenzae C menyebabkan ISPA dengan gejala yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda
ringan, virus Influenzae A sering menimbulkan demam tinggi, paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 49


masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan Alan Tumbelaka dkk (1987) membandingkan pengobatan
pemeriksaan serologis terhadap S. pneumonia dan H. influenzae pneumonia berat pads anak berumur 2 bulan 2 tahun dengan
berupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan kotrimoksazol dan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol de-
CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau ngan hasil pengobatan yang tidak bermakna, masing-masing
04
virus. 93,2% dan 91,0% ).
Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan Diagnosis etiologik belum pernah dilaporkan, sebaiknya
pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan. dilakukan walaupun merupakan tantangan akibat sulit mahal
Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat naso- untuk dilaksanakan. Para ahli menduga pneumonia yang terjadi
faring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini pads stadium awal morbili biasanya diakibatkan invasi virus
dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells morbili; bila terjadi pada stadium rekonvalensi dialdbatkan
atau human lung fibroblast. infeksi bakteri sekunder. Cissy B. Kartasasmita dkk (1987)
Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim, melaporkan hasil penelitian terhadap 142 anak berumur 6 bulan
redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption dan 9 tahun dengan pneumonia morbili ternyata 77% pneumonia
deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga terjadi pada stadium awal dengan 27% leukositosis dan 23%3s
pada stadium rekonvalensi dengan 53% leukositosis( )
deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penye-
baran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Pengobatan Bronkiolitis
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika. Williams dan Phelan (1975) menyatakan bronkiolitis umum-
19)
Penyebab ISPA atas yang terbanyak adalah infeksi virus maka nya dijumpai antara usia 1 6 bulan( . Penyebab utamanya 86%
pemberian antibiotika pads infeksi ini tidaklah rasional kecuali oleh karena infeksi RSV dan dapat juga oleh virus Parainfluen-
m
pada sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang zae . Banyak laporan kepustakaan menyatakan bahwa anak
l
telinga tengah° ). yang sembuh dari ISPA sebagian akan meninggalkan gejala sisa
yang bersifat sementara atau menetap. Gejala sisa ini merupakan
KEADAAN DAN KENDALA ISPA PADA BAYI DAN faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa men-
ANAK datang. Gejala sisa yang ditimbulkan bronkiolitis tidak hanya
Pneumonia terbatas pada asthma tapi dapat berupa obstruksi, emfisema,
Diagnosis Rumah Sakit merupakan diagnosis klinik; bila di- infeksi berulang dan atelektase akibat necrotizing bronkiolitis
ikuti pemeriksaan radiologik paru dan analisa gas darah, diagno- akibat infeksi adeno virus. Kemungkinan keadaan ini tidak ter-
sis anatomik dan fungsional dapat ditegakkan. lepas dari faktor ras dan sosio-ekonomi(36.37.3s)
Tanda klinik berupa panas, sesak nafas dengan frekuensi Bentuk lain adalah bronkiolitis obliterans, akibat kerusakan
pernafasan yang bertambah dan adanya retraksi suprasternal, jaringan otot, elastis dan epitel bronkiolus pada penyembuhan
interkostal dan epigastrium disertai ronki basah halus nyaring. nantinya akan terbentuk fibrosis yang mengakibatkan obliterasi
Penelitian Marjanis Said (1980) pads anak dengan bron- lumen bronkiolus. Keadaan ini diakibatkan oleh infeksi virus
kopneumonia berat menemui frekuensi pernafasan dan jantung Influenzae, Rubeola, Adeno virus dan inhalasi gas-gas
36.37,38)
toksik( .
meningkat, ronki basah halus nyaring pada semua penderita,
gelisah 60%, gangguan kesadaran 56,6% dan sianosis 53,3%. Bronkitis Akut
Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemi pada semua Infeksi bronkus ditandai dengan adanya demam, batuk pro-
penderita dan setelah pemberian oksigen sebanyak 3 1/menit duktif, pilek serta tanda-tanda radang pads saluran nafas atas dan
masih ditemui 42,4% penderita hipoksemi. Peneliti juga me- ronki basah kasar tidak nyaring. Menurut kepustakaan penyebab
nemui insufisiensi dan kegagalan ventilasi dan asidosis meta- bronkitis akut pada umumnya adalah virus.
bolik pads 44,4%. Tanda klinik yang mempunyai korelasi baik Pemeriksaan kadar CRP (C-reaktive Protein) dapat digunakan
terhadap adanya hipoksi dan penurunan saturasi oksigen adalah sebagai test penyaring untuk menentukan penyebab. Untuk
32)
sianosis( . Penelitian ini menunjukkan, walaupun terapi kausal menguji kebenarannya sebaiknya dikonfirmasi dengan kultur
sangat didambakan namun terapi suportif tidak dapat diabaikan. bakteri dan pemeriksaan virus. Penelitian-penelitian mendatang
Penyuluhan terhadap keluarga dan tenaga kesehatan non- untuk validitas virus sebagai penyebab bronkitis akut sangat
formal sangat diperlukan sehingga mereka mengenal ISPA diharapkan sehingga penggunaan antibiotika yang tidak rasional
ringan, sedang dan berat untuk tindakan selanjutnya. dapat dihindari.
Pertanda untuk perujukan penderita ISPA bagi tenaga non- Nastiti N Rahajoe dkk (1987) mendapatkan dari 60 anak
medis adalah frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali/menit dan yang umurnya berkisar 1 12 tahun menderita bronkitis akut
33
adanya retraksi dada( ) ternyata, penderita terbanyak pada umur 1 3 tahun (58,33%),
Penyebab pneumonia di negara berkembang kebanyakan secararadiologis telah disingkirkan adanya pneumonia (93,02%)
adalah bakteri terutama S. pneumonia dan H. influenzae maka dan tidak bertentangan dengan infeksi virus, pemeriksaan CRP
3
WHO menggariskan pemberian antibiotika terhadap ISPA sedang normal, leukosit kurang dari 10.000/mm (90%) dan suhu tubuh
(28) 04
dan berat berupa penisilin, kotrimoksazol atau amoksisilin . kurang dari 38,3 C sebanyak 75,50% ).

50 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992


Laringitis akut non difterika nya. Kendala lain yang juga berperan tapi belum semua ter-
Umumnya ditemukan pads usia 1 -- 3 tahun t19. 0l
' , manifes- ungkapkan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
tasinya berupa laringitis supra atau sub-glotis dan dapat meng- dan mortalitas ISPA.
akibatkanobstruksi saluran nafas alas menyebabkan keadaan Adanyapenyakit-penyakit ISPA yang sembuh dengan gejala
darurat medik yang mengancam jiwa anak. sisa yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru
Diagnosis etiologik belum ada yang melaporkannya se- kronis di masa mendatang menjadi tantangan bagi kita semua.
dangkan diagnosis klinik di Rumah Sakit tidak menjadi per- Sangat dibutuhkan penelitian-penelitian berikutnya untuk
masalahan. mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi pada program
Prognosis dapat dipengaruhi umur penderita. Makin muda pemberantasan ISPA dalam usaha menurunkan angka kematian
usia anak makin kecil ukuran laringnya makin berat pula gejala bayi dan anak untuk menunjang program pcmerintah di tahun
o11
yang ditimbulkannya 2000 mendatang.
Untuk mencegah obstruksi laring yang berat pads awal
penyakit diberikan kortikosteroid dan antibiotika dan bila KEPUSTAKAAN
obstruksi telah terjadi sebaiknya dilakukan intubasi atau tra-
1. WHO. A Programme for Controlling Acute Respiratory Infections in
keostomi. Children : Memorandum from a WHO Meeting Bull WHO 1984; 62:
Pengamatan dan penatalaksanaannya yang tepat sangat 47-58.
diharapkan terlebih-lebih lagi sampai saat ini pencegahan de- 2. WHO. Case Management of Acute respiratory Infections in Children in
Developing Countries. WHO/RSD/85.15. Rev 1.
ngancara imunisasi belum ditemukan.
3. Smith MHD. Bacterial Pneumonias. dalam Kendig's Disorders of the
Laringitis akut difterika Respiratory Tract in Children, WB Saunders, 1977. pp 378-401.
Seperti laryngitis nondifterika, laryngitis ini sangat cepat 4. L Ratna Budiarso dkk (eds). Presiding Survei Kesehatan Rumah Tangga
1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Ke-
menimbulkan gawat anak. sehatan, 1987.
Diagnosis klinik di Rumah Sakit selalu dikonfirmasi dengan 5. Saroso JS, Supamadi, Retnawati, Manikoro. A Longitudinal Survey of
pemeriksaan basil kultur yang disertai pemeriksaan test sensiti- Diseases Occuring in Children Under 5 Yeras Age In Pondok Pinang,
vitas. Jakarta, Paediatr Indon 1972; 12: 469-478.
6. Moeljono S Trastotenojo. Beberapa masalah dan perspektif kesehatan
Untuk mencegah angka kematian yang lebih besar dibu- anak di Indonesia. Pidato pengukuhan penerimaan Guru Besar Tetap
tuhkan diagnosis dini yang segera diikuti dengan pemberian Universitas Diponegoro, 1981.
ADS dan antibiotika. 7. Kanwil Depkes RI, Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan epidemiologi pe-
nyakit saluran nafas bagian alas di Propinsi Sumatera Utara. Pertemuan
Faringitis dan Tonsilitis karena streptokokkus Ilmiah Sehari Penanggulangan Penyakit Saluran Nafas Atas dan Rongga
Adanya kemungkinan korelasi faringitis dan tonsilitis Mulut. Medan, 1983.
streptokokkus ini dengan sakit jantung rematik sehingga kedua 8. Soe mardiUmardkk. KejadianPenyakitlnfeksiSaluran Nafas diPoliklinik
Anak Sakit RS. Dr. Pimgadi Medan: Konas IDPI ke III, Medan 1983.
infeksi ini hams selalu ditanggapi dengan serius. 9. WHO. Clinical Manageme nt of Acute Respiratory Infections in Children:
A WHO Memorandum. Bull WHO 1981; 59: 707-16.
Pertusis
10. WHO. Global Medium-Term Programme, Acute Respiratory Infections,
Rendahnya cakupan imunisasi DPT dan sedikitnya pene- Seventh General Programme of Work Covering the Period 1984-1989,
muan diagnosa pertusis merupakan suatu keadaan yang sumir. WHO TRI/ARI/MTP/83.1, Geneva, September 1983.
Permasalahan yang timbul apakah gambaran atau manifestasi 11. WHO. Research on Acute Respiratory Infections, Advisory Committee on
klinis pertusis saat sekarang ini telah mengalami perubahan. Medical Research, ACMR 24/82.13, Geneva, October 1982.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1980), Survey Kesehatan
Syafitri Siregar dkk (1987) melakukan pemeriksaan kultur Rumah Tangga, Data Statistik, hal 27-81, 92-104.
dan pengukuran S-IgA usap nasofaring terhadap 21 anak ter- 13. Hutasoit C, Mardiana K.Dj, Daulay RM, Lubis HM, Siregar Z. Bronko-
sangka pertusis dan 28 anak kelompok kontrol, temyata S-IgA pneumonia dengan Morbili pada bayi dan anak yang dirawat di RS. Dr.
positif pada penderita tersangka pertusis dibandingkan dengan Pimgadi Medan. KONIKA VIII, Ujung Pandang 1990.
14. Fuad Arsyad, Rusdid jas, Siregar Z, Siregar H. Kejadian Bronkopneumonia
basil biakan kuman berbeda bermakna 58,1% dan 25%. Dengan di Bagian Bmu Kesehatan Anak FK. USU/RS Dr. Pimgadi Medan. KONAS
demikian untuk menegakkan diagnosis pertusis pada biakan Ke III IDPI, Medan, 1983.
kuman yang negatip sebaiknya dilakukan.pengukuran S-IgA l42l
. 15. WHO. Viral Respiratory Infections, WHO Techn Rep Ser, 642, 1980.
16. Herrero L. Respiratory Infection in Central America, Pediatr Res 1983; 17:
1035-1038.
17. Reeves WC, Dillman L, Quiroz E, Centano R. Opportunities for studies of
'
KESIMPULAN children s respiratory infection in Panama, Pediatr Res 1983; 17: 1045-9.
Telah diutarakan kepustakaan ISPA pads bayi dan anak di 18. Morley D. Acute Respiratory Infections. dalam: Paediatric Priorities in the
Developing World, Butterworths & Co Ltd, 1973.
Indonesia dengan membandingkannya dengan kepustakaan ba- 19. Williams HE, Phelan PD. Respiratory illness in children. 1st ed. Ozford-
rat. Ternyata morbiditas dan mortalitas ISPA bayi dan anak di ·London-Edinburg-Melboume: Blackwell Scient Publ.
Indonesia masih tinggi. 20. Sutmoller F, Naccimento JP. Studies on Acute Respiratory Infections in
Brazil (A Status Report) Pediatr Res 1983; 17: 1038-40.
Kendala yang ditemui antara lain belum ditemukannya pola
21. Denny FW, Clyde WA. Acute Respiratory Tract Infection: An Overview,
bakteriologi, mikrobiologi dan virologi sehingga penggunaan Pediatric Research, 1983; 17: 1026-1029.
antibiotika yang rasional belum terlaksana sebagaimana mesti- 22. Tumer RB et al. Pneumonia in paediatric outpatients: Cause and clinical

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 51


manifestations, J. Pediatr 1987; 111: 194-200. 33. Kartasasmita CB, Widjajaningsih, Alisjahbana A, Rarasati. Infeksi Salur-
23. Steinhoff MC, John TJ. Acute Respiratory Infections of Children in India, an Pemafasan Akut: Bilakah seorang penderita hams dirujuk oleh petugas
Paediatr Res 1983; 17: 1032-5. kesehatan di pedesaan (dukun paraji?). KONIKA VII, Jakarta 1987.
24. Mc Cord C, Kielmann AA. Successful Programme for Medical Auxiliaries 34. Tumbelaka AR, M. Harjono Abdoerrachman, Bulan Ginting Munthe.
Treating Childhood Diarrhoea and Pneumonia, Tropical Doctor 1978; 8: Pengobatan bronkopneumonia dupleks pads anak dengan Trimetoprim
220-225. dan Sulfametoksazol. KONIKA VII, Jakarta 1987.
25. Riley I et al. Status of Research on Acute Respiratory Infections in Children 35. Kartasasmita CB, Dedi Rachmadi. Beberapa aspek dari Bronkopneumonia
in Papua New Guinea, Pediatr Res 1983; 47: 1041-3. pada ai ak dengan campak. KONIKA VII, Jakarta 1987.
26. Weissenbacher MC. Opportunities for studies of children's respiratory 36. Phelan PD, Landau LI, Olinsku. A respiratory illness in children 2nd ed.
infections in Argentina, Pediatr Res 1983; 17: 1058-60. Oxford, London, Melbourne: Blackwell Scient Pub, 1982.
27. Duenas A. Opportunities for Studies on Acute Respiratory Infections in 37. Kendig E, Chemick V. Disorders of the Respiratory tract in Children. 4th
Children of Columbia, Pediatr Res 1983; 17: 1058-1060. ed. St. Louis, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983.
28. WHO. Antigen Detection in Bagterial Respiratory Infections in Children. 38. Kattan M. Long-Term Sequelae of Respiratory illness infancy and child-
WHO/RSD/87.39. hood. Pediat Clin N Am, 1979; 26: 525.
29. Soejono, Moeljono ST, Harsoyo N. Treatment of bronchopneumonia with 39. Rahajoe NN, Rahajoe N, Marjanis Said, Siti Rozanah. Gambaran bronki-
spiramycine (rovamycine). Paediatr Indon 1976; 16: 396-402. tis pada anak. Peranan CRP dalam penyaringan etiologi. KONIKA VII,
30. Tatty H, Moeljono ST, Soemantri Ag, Moedrik T. Bacteriological pattern Jakarta 1987.
in respiratory tract infection in Children (unpublished, 1983). 40. Krugman S, Katz SL. Infections diseases of children. 7th ed. St. Louis,
31. Ong SB, Thong ML, Tay LK. Viruses and bacteria associated with acute Toronto, London: C.V Mosby Co, 1981.
respiratory illnesses in young children in general practice. SE Asian J Trop 41. Moffet HL. Paediatrics infections diseases. A problem oriented apprqach.
Med Pub Hit 1978; 9: 98-102. 2nd ed. Philadelphia, Toronto: JB Lippincou Co, 1981.
32. Mardjanis Said et al. Acid-Base Balance and Blood Gas Analysis in 42. Siregar S, Harahap F, Matondang CS, dkk. Pengukuran kadar sekret IgA
Bronchopneumonia in Infancy and Childhood. Paediatr Indon 1980; 20: untuk membantu menegakkan diagnosis pertusis. KONIICA VII, Jakarta
68-76. 1987.

5fe who asks a question is a fool for five minutes,


he who does not, remains a fool forever
(Chinese proverb)

52 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

You might also like