You are on page 1of 8

Sesuatu Indonesia

Profil Buku
Judul : Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca-yang-Tak-Bersih
Pengarang : Afrizal Malna
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya
Bahasa : Indonesia
Tahun terbit : 2000
Kota terbit : Yogyakarta

Sinopsis
Tulisan-tulisan dalam buku Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca-yang-Tak-
Bersih awalnya adalah esei yang tersebar di berbagai media dan makalah untuk
seminar di berbagai kota di Indonesia. Khusus demi koherensi pembahasan dalam
buku ini, semua esei dan makalah itu mengalami proses tulis-ulang.

Sesuatu Indonesia secara umum membicarakan fenomena sastra, khususnya puisi,


sebagai “kompleks teks”, yakni “kompleks yang dibangun antara sastra sebagai
‘pernyataan’ yang melahirkannya dan kehidupan sastra sebagai ‘kenyataan’ yang
membentuknya.” Maka, tema yang diangkat dalam buku ini pun beragam,
dilahirkan dari kehidupan puisi itu sendiri, beserta realitas lain yang hidup
bersamanya, termasuk pernyataan penyair maupun hadirnya televisi di ruang tamu
kita.

Buku ini dibagi menjadi 7 bab ditambah Prolog (Epilog masuk dalam bab terakhir).
Bab I, Puisi dari Teks-teks Pertama, yang dibagi lagi menjadi empat sub-bab,
berbicara mengenai puisi dan dunia kepenyairan. Dalam sub-bab pertama,
Lingkungan Penalaran dari Negari, Afrizal menjabarkan bahwa dari 73 puisi dari 51
penyair yang ia periksa, secara umum definisi atas puisi didominasi oleh kata
“rahasia” dan “misteri” (ruang menyelenggarakan sunyi, kata-kata sepi, pertemuan
sepi, suara aneh, suara nyawa). Semua kata-kata “misteri” itu memiliki fungsi
estetis untuk memenuhi daya pesona. Ini juga menunjukkan adanya pergeseran
prosedur estetis, yakni dari alam ke kesunyian (penyair-penyair lama, seperti J.E.
Tatengkeng, memperlakukan alam sebagai prosedur baku estetika). Dalam sub-bab
selanjutnya, Afrizal menggeser fokus pembicaraan mengenai kepenyairan. Setelah
memeriksa teks-teks mengenai kepenyairan, Afrizal kemudian membagi realitas
kepenyairan menjadi dua, yakni realitas sosiologis dan realitas dunia kreatif. Sub-
bab ketiga membicarakan puisi pada dekade 70an. Di masa ini, menurut Afrizal,
“puisi tidak hanya tetap mempertahankan penalaran-penalaran utamanya yang
bersikukuh pada otoritas kata”, tapi juga “muncul usaha untuk melakukan
liberalisasi media puisi untuk menggoyahkan otoritas itu.” Sub-bab terakhir,
Biografi Pembaca dan Biografi Penyair, membicarakan dominasi biografi penyair
atau tokoh sebagai prosedur pemaknaan puisi.

Bab II, Rumah Tangga Jurnalisme Puisi, dibagi menjadi tiga sub-bab, menjabarkan
fenomena kritik puisi di Indonesia beserta media yang melahirkannya. Jumlah
kritikus yang jauh lebih kecil daripada sastrawan, padahal tanggungjawab kritikus
sangat besar, membuat korespondensi teks-teks puisi jadi minim. Kerja pembacaan
puisi pun masih dianggap kerja penafsiran. Akibatnya, transformasi wacana jadi
macet. Dalam bab ini juga dibicarakan kisah kritik “puisi gelap” sebagai bagian dari
sejarah kritik puisi yang pernah hadir di Indonesia.

Bab selanjutnya, Narasi-narasi Manusia dalam Puisi, dibagi menjadi tiga sub-bab,
membahas antroposentrisme puisi, teologi puisi, dan gender puisi. Sub-bab
pertama membicarakan kualitas subjektif aku-lirik dari masa ke masa, mengikuti
perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sub-bab kedua membahas pergeseran
“spiritualisme keindahan” ke “spiritualisme kerusakan”. Sub-bab terakhir
membahas bagaimana penyair perempuan Indonesia berbicara mengenai laki-laki
dan kekuasaannya; dan penyair laki-laki mengenai perempuan. Penyair perempuan
sering berbicara mengenai laki-laki yang menindas dan sering berkhianat,
sedangkan penyair laki-laki di satu sisi tampak menganggap perempuan sebagai
ibu dan rumah tempat ia mendapatkan kasih tiada akhir dan tempat pulang, dan di
sisi lain sebagai sosok yang kejam dan penuh misteri.

Bab IV, Arsitektur Komunikasi Puisi, membahas puisi sebagai salah satu cara
komunikasi manusia dan membandingkannya dengan cara komunikasi yang lain di
sub-bab pertama; rasionalisasi kata dan benda-benda di sub-bab kedua. Perubahan
yang berlangsung dalam masyarakat mencipta tegangan sendiri dalam dunia puisi
dalam membangun arsitektur komunikasinya. Benda-benda mulai masuk ke dalam
puisi, menggugat otoritas kata.

Bab V, Kolonialisme, Urbanisasi, dan Modernisme, dibagi menjadi tiga bagian,


membahas apa yang sudah maktub dalam tajuknya, terutama di dalam puisi. Sub-
bab pertama, Geografi Sastra dan Struktur Keterasingan, membahas struktur
pengasingan sastra yang berlangsung lewat kolonialisme dan modernisme. Di sini,
karena Afrizal melihat bahwa “kesusastraan Indonesia kehilangan toleransinya
terhadap ruang hábitat pertumbuhan sastra derah”. Di sub-bab selanjutnya, Afrizal
mengandaikan perjalanan puisi modern sebagai perjalanan dari desa ke kota-kota
besar. Puisi modern, kemudian, tampak sebagai produk dari kota. Sedangkan desa
atau dusun bergeser dari realitas nyata menjadi realitas transenden dan realitas
moral. Afrizal fokus di desa dalam sub-bab ini, dan mengalihkan fokus ke kota di
sub-bab berikutnya, Ruang Kota dan Teks-teks Modernisme. Hubungan puisi dengan
kota-kota besar adalah hubungan satu konteks dalam kerangka modernisasi di
Indonesia. Puisi sering menggambarkan ruang kota sebagai ruang kekerasan dari
teks-teks modernisasi yang berlangsung. Bahkan, ada kecenderungan dalam puisi
untuk menegasikan teks-teks modernisme. Fenomena ini membuat Afrizal menarik
kesimpulan bahwa “pemberontakan konvensi sebagai prosedur besar dalam
modernisme, di baliknya ternyata masih mempertahankan satu bentuk harmoni
yang belum jelas konsepnya.”
Bab VI, Kolonialisme Puisi, membahas puisi dalam hubungannya dengan politik.
Sub-bab pertama, Subnasional Sastra dan Rasialisme Sastra, menggambarkan
terjadinya pemusatan dan hierarki sastra beserta lembaga-lembaga publik yang
mendukungnya. Pemusatan dan hierarki ini tetap berdiri tegak meski mendapat
banyak perlawanan dan kritik; menjadi tempat bersarang sastrawan yang
menyembunyikan dirinya dalam menara pusat, menghindari dialog yang mampu
menggoyahkan reputasi mereka. Akibatnya, terjadi perang dingin yang tidak
produktif. Sub-bab kedua, “Puisi dari Kisah-Kisah Politik” menjabarkan fenomena
sastra/puisi yang tersubordinasi dari politik dan sebaliknya, menjadi kontrol atas
kekuasaan. Sub-bab terakhir membicarakan “Beban-Beban Politik Antargenerasi”
dari Pujangga Baru-Angkatan ’45-Angkatan Baru-Lekra-Manikebu. Politik antar-
generasi, yang hampir selalu membangun kerangka ideologisnya lewat klaim-klaim
budaya, seperti berada dalam ketegangan tesis dan antítesis. Hadirnya angkatan
beserta konflik-konfliknya ini, bagi Afrizal, tidak hanya merupakan bentuk
legitimasi, tetapi juga penerapan dari kebutuhan untuk selalu mentautkan sastra
dengan sejarah-sejarah besar yang berkaitan dengan sejarah nasional. “Dengan
personifikasi ini,” tulis Afrizal, “setiap angkatan seperti telah memberikan kontribusi
yang spesifik terhadap nasionalisme.”

Bab terakhir, Epilog, dibagi menjadi tiga bagian, memberikan kesimpulan atas apa
yang terjadi dalam dunia sejarah puisi dan kepenyairan di Indonesia; mengajukan
argumen pengutipan teks; dan mendaftar leksikon para penyair. Afrizal menyatakan
bahwa “pembaca tidak memesan sastra modern”. Sastra hidup dalam
lingkungannya sendiri, bergejolak dengan kegelisahannya sendiri; sedangkan
masyarakat di satu sisi masih menganggap sastra sebagai panutan dan pedoman,
dan di sisi lain hidup dalam budaya konsumeris dengan beragam hasil teknologi
yang masuk ke ruang paling privat dalam hidup mereka.

Kutipan Berkesan

“Pembaca Tidak Memesan Sastra Modern”

dan

“Dan, sastra mungkin tidak perlu lagi disejajarkan dengan bahasa, konstitusi,
pemerintah baru atau militer untuk melihat eksistensi sebuah bangsa… Ia mungkin
cukup dihadapkan kepada rezim pemaknaan yang menguasai kognisi kita, yang
telah meninggalkan sastra di sebuah tempat, yang laten membuatnya ragu akan
posisi dan perannya sendiri.”

Ulasan Kritis

Prolog: Dasar Argumentasi


Sebaiknya kita membaca prolog buku ini dan tidak loncat ke pembahasan guna
mengetahui dasar argumentasi Afrizal Malna dalam analisis tiap bab seluruh
bukunya. Ini bukan berarti kita kehilangan kebebasan untuk menafsirkan isi
bukunya atau mematikan referensi yang telah kita miliki ketika membaca buku ini.
Namun, lebih untuk menyocokkan frekuensi pikiran kita dengan Afrizal perihal
posisi teks, terutama puisi. Penyesuaian frekuensi ini akan membantu kita
memahami kosakata-kosakata, susunan sintaksis (bangun kalimat), dan wacana
yang dibangun Afrizal.

Dalam Prolog, Afrizal mendeskripsikan titik keberangkatan tulisan-tulisannya, yakni


pemetaan letak penyair, puisi, dan pembaca. Penyair dan pembaca membawa
referensinya masing-masing dalam menghadapi puisi. Akibatnya, (maksud) penyair
dan (pemaknaan) pembaca mungkin tidak bertemu. Dan kemungkinan yang tak
terelakkan ini harus diterima dalam kehidupan puisi. Pembaca, menurut Afrizal,
disesaki bukan hanya oleh kata-kata, tapi juga oleh bunyi, benda-benda, warna,
bau, ruang dan waktu, impian, harapan, dan ketakutan-ketakutan. Afrizal pun
berangkat dari posisi pembaca yang seperti itu ditambah keterlibatannya yang
mendalam dengan puisi-puisi tahun 70-80an beserta kehidupan intelektual yang
melatarinya.

Dalam sejarahnya, puisi modern Indonesia, bagi Afrizal, terlalu bergantung pada
bahasa Indonesia sedangkan bahasa Indonesia berakar pada politik (persatuan
Indonesia). Sebagian besar penyair Indonesia juga tidak tumbuh dalam bahasa
Indonesia, melainkan bahasa ibunya masing-masing—Afrizal tampaknya
menyamakan bahasa daerah dengan bahasa ibu, padahal keduanya berbeda.
Karenanya, “Indonesia adalah ‘sesuatu’ di sekitar imajinasi nasional yang hidup
dalam setiap individu orang Indonesia”. Ketergantungan yang terlalu besar inilah
yang memunculkan kesan sastra Indonesia berjalan di tempat, ungkapannya
seragam, dan timbulnya kegiatan untuk saling melakukan reproduksi. Pembaca
yang hidup dengan mitos-mitos serta media komunikasi mereka sendiri (baca:
tradisi dan budaya massa), yang berlainan dengan penyair-penyair modern
Indonesia (baca: modernisme dan konvensi-konvensi kesusastraannya), juga
mencipta permasalahan tersendiri dalam kehidupan puisi, khususnya dalam hal
penyerapan/resepsi puisi.

Atas dasar permasalahan itu, Sesuatu Indonesia jadi usaha untuk “mengembalikan
puisi ke lingkungan teks pembacanya sendiri,” yakni fenomena komunikasi yang
berstruktur majemuk dalam masyarakat, dengan cara menyandingkan puisi dengan
media-media komunikasi yang lain.

Pembaca-yang-Tak-Bersih dan Jargon-jargon Lainnya: Bentuk Praksis


Semiotika

Bagian dari judul buku ini, yakni Personifikasi Pembaca-yang-Tak-Bersih, beserta


penjelasannya dalam Prolog, ditambah argumen pengutipan teks yang dijabarkan
dalam Epilog (pentingnya “mobilisasi teks” daripada makna yang ingin dibangun
pengarang), semuanya merupakan upaya teoretis untuk menjadikan pembaca
sebagai pemberi dan pencipta makna. Ini sekaligus upaya untuk ‘membunuh’
pengarang (author dan bukan writer), yakni pihak atau lembaga (penulis karya
sastra bisa jadi berada di dalamnya) yang dianggap mempunyai wewenang untuk
menentukan makna final atau paling otentik. Pembaca yang sudah akrab dengan
kata-kata ‘kematian pengarang’ mungkin akan langsung teringat pada buku Roland
Barthes, The Death of the Author. Memang ada kesamaan ide di sana. Dari
‘kematian pengarang’ ini, saya akan lebih merinci turunan konsep-konsepnya yang
ada di dalam Sesuatu Indonesia.

Saya akan mulai dari tujuan membaca. ‘Pembunuhan’ pengarang berarti juga
penghentian usaha pencarian makna (meaning) dan maksud dari pengarang yang
bersangkutan, melainkan usaha untuk mencipta makna (significance). Tindakan
yang radikal dari ide pembaca-yang-mencipta-makna ini dilakukan oleh Afrizal
Malna dalam Sesuatu Indonesia, yakni: membuat ‘analisis tekstual’ puisi-puisi di
Indonesia dengan cara memecah-mecahnya, menghilangkan konteks asli puisi, dan
melakukan korespondensi teks puisi dengan teks-teks lain, atau tema-tema yang
ingin diangkat. ‘Analisis tekstual’ yang dimaksud di sini bukanlah analisis tentang
teks, melainkan upaya untuk menciptakan teks baru lewat teks yang sedang
dianalisis guna mengembangkan subjektivitas pembaca atau pembuat teks. Dengan
kata lain, kegiatan analisis bukanlah kegiatan untuk mencari struktur (teks),
melainkan untuk melakukan strukturasi; bukan untuk mengkonsumsi, melainkan
untuk memproduksi (teks baru). Dalam ‘analisis tekstual’-nya, Afrizal ‘mencari’
makna puisi dengan menghubungkannya dengan teks-teks lain, yakni teks-teks
puisi lain, teks tentang dunia puisi dan kepenyairan, dan teks-teks modernisme.
Pengulangan banyak terjadi dalam analisis model ini, terutama pemaparan sejarah
dan tema-tema yang diangkat. Dan mungkin karena berangkat dari makalah dan
esei, kita akan menemukan satu ide di beberapa tulisan yang berbeda (entah dalam
bab atau sub-bab lain).

Diperlakukan seperti itu, yakni dipecah dan dilepaskan dari kesatuan teksnya
sendiri kemudian disandingkan dengan teks-teks lain, puisi sebenarnya dianggap
apa? Tidak lain daripada cara komunikasi manusia, seperti cara-cara komunikasi
yang lain. Apa ini tidak merendahkan posisi puisi? Tidak. Pemahaman yang senada
dengan pengertian budaya dalam antropologi struktural yang menggunakan
semiotika ini (budaya: sistem komunikasi, bentuk-bentuk ekspresi dan representasi)
justru bertindak sebaliknya. Dari sejarah dunia perpuisian modern Indonesia
(melalui media yang melahirkannya maupun kritik-kritik puisi yang berlangsung),
puisi telah menempati singgasana yang agung di suatu tempat, dimana orang
awam (alias bukan penyair) tidak bisa pergi ke sana. Kritik puisi di Indonesia
didominasi oleh kritik biografis yang menghambat gerak puisi itu sendiri.
Sedangkan di sisi lain, banyak penyair yang berusaha untuk “membersihkan lorong
semantik” puisi-puisinya karena menganggap penafsiran yang dilakukan orang lain
(kritikus) terhadap puisinya salah. Akibatnya, sistem komunikasi puisi jadi macet. Di
satu sisi, kita menemukan kehadiran puisi sebagai sesuatu yang aneh, dan mungkin
juga indah tapi jauh; di sisi lain kita tidak bisa menutup telinga kita dari suara
identitas puisi yang minta diakui. Kemacetan itulah yang ingin diatasi oleh Afrizal
dengan cara bukan lagi melakukan kerja penafsiran puisi, tapi kerja “mobilisasi
teks”—menggerakkan teks puisi keluar dari puisi itu sendiri dan tidak
mengembalikannya lagi.

Jargon semiotika lain yang juga kuat dalam Sesuatu Indonesia adalah mitos dalam
budaya modern. Sederhananya: produksi mitos (kisah yang tidak benar tetapi
diperlukan untuk memahami lingkungan) tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
‘primitif’, tetapi juga oleh masyarakat modern. Manusia modern adalah konsumen
dari produk-produk, dari HP di kantong hingga sabun di kamar mandi. Mitos cantik,
ganteng, bersih, gaul, keren, modern, global, adalah yang menggerakkan manusia
dalam budaya massa. Identifikasi manusia modern, mau tidak mau, mesti ditempuh
melalui produk-produk massal hasil kapitalisme semacam itu. Untuk mampu
bernapas dan melawan, seseorang harus masuk ke dalamnya dan menjadi
konsumen aktif. Puisi pun jadi representasi dari kebudayaan itu dan musti ambil
bagian dalam menciptakan mitos baru. Dalam kaitan dengan pemahaman ini,
Afrizal tampak sigap. Ia menyambut kehadiran “budaya benda-benda” dengan
kepala tegak, mengapresiasi usaha untuk memainkannya menjadi media bagi puisi.
Ini kentara pada Bab I sub-bab 2 berjudul “Narasi Baru dari Kematian Kata dan
Pluralisasi Media”. Di dalamnya, Afrizal menjabarkan usaha-usaha para penyair
Indonesia (tahun 70an dan 80an) untuk menggunakan media-media baru yang juga
baru dikenal mereka untuk menulis puisi atau menjadikannya bahan untuk
kreativitas penulisan puisi. Nada tulisan Afrizal mengenai kehadiran benda-benda
itu senada dengan pendapat Barthes (lagi): bahwa mitos-mitos tidak bisa dilawan
secara frontal, sehingga mereka perlu dilawan dengan mitos baru yang dibuat
berdasarkan mitos-mitos yang sudah ada. Mungkin pemahaman seperti ini juga bisa
dipakai sebagai prosedur untuk membaca puisi-puisi Afrizal.

Letak Buku: Radikalisme Pembaca

Meski sama sekali tidak mencantumkan referensi teoretis dalam bukunya, jelaslah
bahwa Afrizal Malna menggunakan nalar semiotika dalam analisisnya. Maka,
Sesuatu Indonesia bisa diletakkan dalam tradisi kritik semiotika di Indonesia.

Dalam Kritik Sastra Indonesia Modern yang ditulis oleh Rachmat Djoko Pradopo,
nama Afrizal Malna tidak masuk dalam jajaran kritikus semiotika. Ini karena buku
Rachmat membatasi lingkup penelitiannya hingga tahun 1988, sedangkan buku
Afrizal baru terbit tahun 2000. Pun demikian, dalam buku yang awalnya disertasi
itu, menggunakan teori Sastra MH Abrams, Rachmat menjabarkan beberapa orang
yang melakukan kritik semiotik. Di antaranya, Umar Junus, Sudjijono, A. Teew, dan
Made Sukada.
Menurut Rachmat Djoko Pradopo, penggunaan teori semiotika untuk menganalisis
karya sastra berangkat dari ketidakpuasan para kritikus sastra atas kritik sastra
strukturalisme. Kritik sastra yang terakhir disebut ini dianggap mengasingkan
kerangka kesejarahan sastra dan latar belakang sosial-budayanya. Gabungan unsur
strukturalisme dan semiotika ini kemudian disebut “strukturalisme dinamis”.

Saya belum membaca tulisan-tulisan Umar Junus, Sudjijono, dan Made Sukada.
Namun, beberapa buku A. Teeuw telah saya baca. Nalar kritik A. Teeuw memang
seperti dijabarkan di atas, yakni mempraktikkan “strukturalisme dinamis”. Jika
dibandingkan dengan A. Teeuw, Afrizal Malna cenderung lebih radikal. Dalam arti: ia
telah melepaskan kesatuan struktur teks dan lebih fokus pada hubungan sastra
(puisi) dengan bentuk-bentuk komunikasi lain. “Saya tidak lagi memerlukan puisi
sebagai sebuah kesatuan dalam pengutipan ini. Sebab saya memang tidak sedang
membicarakan puisi-puisi tersebut sebagai sebuah kesatuan. Melainkan sebagai
fenomena teks yang berkait dengan tema pembicaraan yang sedang saya periksa
itu.” Begitulah ‘pembelaan’ yang dilakukan Afrizal dalam Epilognya (Argumen
Pengutipan untuk Mobilisasi Teks).

Batas Kerangka Penalaran

Nalar semiotik yang dipakai Afrizal dalam Sesuatu Indonesia seperti dijabarkan di
atas terang memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai dunia dan sejarah
puisi modern di Indonesia, terutama kaitannya dengan modernitas yang
berlangsung dalam masyarakat (termasuk diri penyair). Akan tetapi, perlakuan
radikal Afrizal terhadap teks puisi tentu saja membuat kecewa orang yang ingin
memiliki gambaran puisi sebagai kesatuan teks dengan konvensi-konvensi sastra
yang melingkupinya. Konsep-konsep semacam ironi, yang begitu kuat dalam puisi
modern, tidak akan ditemukan pembahasannya dalam buku ini.

Meski membandingkan secara diakronik puisi-puisi di Indonesia, Afrizal tidak


membicarakan pengaruh yang terjadi dari satu penyair besar generasi tertentu ke
generasi selanjutnya. Yang dilakukannya adalah menyandingkan beberapa ide yang
mirip dalam beberapa puisi. Akibatnya, yang tampak mendominasi seorang penyair
adalah kondisi sosio-politik dan modernisme yang terjadi dalam masyarakat pasca-
kolonial, sementara modernisme sebagai konvensi-konvensi puisi, meski sempat
disinggung, tidak dijabarkan secara mendalam. Ini adalah konsekuensi logis dari
pemecahan teks yang dilakukannya.

Kata Benda Menjadi Kata Sifat: Kesalahan kecil yang Mengganggu

Dalam Sub-bab 2, Rasionalisasi Kata dan Benda-benda, dari Bab II, Arsitektur
Komunikasi Puisi, Afrizal Malna membahas bagaimana benda-benda hadir dalam
puisi dan 'mengusir' aku-lirik. Dunia visual yang berkembang melalui media
elektronik dan lahirnya budaya benda yang didasari kapitalisme telah membuat
aku-lirik kehilangan singgasananya dalam puisi. Oleh karenanya, kata dan benda
dalam puisi harus dirasionalisasi-ulang dan dipakai untuk mengenali "reproduksi-
reproduksi mitos dan ideologi yang berlangsung dalam budaya benda."

Di tengah analisisnya, tepatnya di halaman 281, saat sedang berusaha


menghadirkan fakta penggunaan benda-benda dalam puisi, khususnya dari puisi
Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna membuat kesalahan dalam menerangkan
pangkat kata dalam frasa-frasa puisi Sutardji. Berikut kutipan lengkapnya:
"Sebelumnya batu cukup banyak digunakan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan
mengubah batu sebagai kata benda menjadi kata-kata sifat: batu duka, batu luka,
batu ngilu, atau batu diam. Hal yang dilakukan Sutardji ini, juga bisa dilihat sebagai
"pembendaan" dari kata-kata sifat: duka, luka, ngilu, atau dim, semuanya telah jadi
batu.”

Kata batu dalam frasa-frasa yang dicipta Sutardji dalam puisinya itu tidak berubah
menjadi kata sifat, seperti yang diungkapkan Afrizal. Batu tetap kata benda.
Sedangkan kata duka, ngilu, dan diam juga tidak berubah menjadi kata benda,
melainkan tetap kata sifat; hanya kata luka yang merupakan kata benda, dan
dalam frasa itu, ia justru lebih dekat sebagai kata sifat.

Kesalahan yang dilakukan Afrizal memang tidak berpengaruh pada kesimpulan sub-
bab yang dibuatnya, karena di sana, ia hanya mendata benda-benda yang banyak
mengisi puisi-puisi Sutardji. Kesalahan hanya terdapat pada kesimpulan analisis
dari puisi Sutardji.

Penutup

Saya pikir Sesuatu Indonesia layak masuk dalam deretan buku kanon dalam kritik
sastra praktis di Indonesia. Namun, entah karena susah dipahami atau terlalu
banyak kritik yang dianggap mengguncang kemapanan dan otoritas pihak tertentu
atau sastra secara umum, buku yang terbit tahun 2000 ini, yang waktunya
bersamaan dengan mulai ramainya Sastra Wangi sekaligus simbol tegaknya
otoritas “Jakarta” sebagai pusat sastra, buku ini tidak ramai dibicarakan.

Padahal, melalui Sesuatu Indonesia, Afrizal Malna telah dengan cerdas memetakan
ide-ide puisi-puisi di Indonesia, dalam kaitannya dengan kehidupan yang
berlangsung dalam masyarakat. Afrizal Malna tidak hanya memberikan sumbangan
dalam tradisi kritik semiotik, tetapi juga mampu menghadirkan kesimpulan yang
segar dari analisis-analisisnya. Kedekatannya pada dunia sastra membuatnya tidak
‘ditelan’ teori, dalam arti, puisi tetap menjadi teks primernya.Kesimpulan Afrizal
yang paling menyegarkan, sekaligus mencerahkan, bagi saya, adalah yang
ditariknya dalam Epilog. Berikut kutipannya:

“Dan, sastra mungkin tidak perlu lagi disejajarkan dengan bahasa, konstitusi,
pemerintah baru atau militer untuk melihat eksistensi sebuah bangsa... Ia mungkin
cukup dihadapkan kepada rezim pemaknaan yang menguasai kognisi kita, yang
telah meninggalkan sastra di sebuah tempat, yang laten membuatnya ragu akan
posisi dan perannya sendiri.”

You might also like