You are on page 1of 74

Dunia Menurut Sang Putra Fajar......................................................................................................................

1
Bung Karno, Arsitek-seniman..........................................................................................................................6
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger.............................................................................................................8
Di Seberang Jembatan Emas..........................................................................................................................16
Bung Karno, Seni, dan Saya...........................................................................................................................23
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S............................................................................................29
Soekarno di Masa Krisis PDRI.......................................................................................................................38
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno................................................................53
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian...............................................................................................................59
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno........................................................................................................65

Dunia Menurut Sang Putra Fajar


Budiarto Shambazy

DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata
baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum.
Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama
kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M
Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno
menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia,
antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-
PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari
PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK
begitu marah dan kecewa.
Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang
pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial.
Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen
Koffi Annan, menjatuhkan sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak.
Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi
negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang
sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di
Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi
ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu
diisolasi Barat.
"Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai
dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina," kata
Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan
cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota
tetap DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina
sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam persoalan-
persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam
mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah
terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin.
Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata "globalisasi" atau
saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis.
Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah
mengucapkannya. "Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling
berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan
dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan
senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum
berkembang," ujar Sang Putra Fajar.
Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia
Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka
kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan
Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah
Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri,
Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun,
yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera,
melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun
dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang
film berusia muda.
Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight
Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang
terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun
1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya
di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu
berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di
Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times,
sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang
menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari
Bung Karno.
Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi
tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang
charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan,
pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan,
mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20,
yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah
Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala
negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara
mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan
militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri
semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat "senasib dan
sepenanggungan" di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang
bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang
bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai
akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun
1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan
Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk
digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin
Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak
hubungan yang sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun
Timur.
Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan
tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika
pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia
sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada
paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan
ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan
berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.
Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri
yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis,
peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi "soko guru"
sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai
posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah,
pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi,
membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.
Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral
AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis
sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu
pemberontakan PRRI-Permesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan
pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar
pemimpin yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang
containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik
yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina
meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang
memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno
mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung
internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari
gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat
akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Il-sung, pemimpin
Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk.
Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan
pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo
Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum
konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi
PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan,
wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga
Ganefo belaka.
***
SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan
politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan
keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber
pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang
dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar
negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.
Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik
Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun
penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung
Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia
yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai
kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.
Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada
kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat
Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika
menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya
terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi
mereka.
Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi "politik global"
Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan
antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau
Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di
Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai
etnis. Pendek kata, ia lebih "Indonesia" ketimbang menjadi seorang yang
"Jawasentris."
Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah "Indonesia
kecil" yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-
akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan
setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan
semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang
kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah "visi dunia"
seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia
belaka.
Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan
sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di
kemudian hari. Kebijakan anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk
membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah
pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua
bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan
GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis
ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin.
Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan
ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi
global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik
dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang
kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat
ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-
kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.
***
ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang
sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja,
satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah
ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang "stabil" pada
masa itu.
Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh
perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru
meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba
senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan
mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan
NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir
antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah
yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara
Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung
Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara,
dan antara Kuba dengan AS.
Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas
semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan
perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau
krisis militer. Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya
merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis
militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-
khususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno
mesti dilenyapkan.
Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat
ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri
yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno
bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih
kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.
Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik
luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde
Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma
mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga
merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa
tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih
hebat dari politik global Bung Karno?
Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya
melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita
masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak
harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita
pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang
diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.
* Budiarto Shambazy Wartawan Kompas.

Bung Karno, Arsitek-seniman


Eko Budihardjo

PENDIDIKAN kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang


diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia
perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke
depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali
karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai
tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan.
Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi
cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat
dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak
kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark
dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia.
Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York
(Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia).
Sampai saat ini, Monas dan lingkungan atau
ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat sebagai kawasan yang amat
bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai
suatu ruang publik yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun
pendatang, menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan
Lapangan Merdekanya yang luas dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin
malah surganya kota, mengacu pada pendapat seorang pakar bahwa park is
urban paradise.
Arsitek-seniman
Sepanjang pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang
memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa
dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang
pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia arsitektur. Boleh saja
George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota
Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern.
Namun, ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak
jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek
dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-
gedung atau monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan
perhatiannya. Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai
skala kota pun digagas dan direalisasikan.
Patung Pembebasan Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel
Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua
itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan,
kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan
keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa
menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak
kehilangan arah.
Taman Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang
terbuka yang begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang
layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang
presiden yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan
kemungkinan memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa.
Kalau tidak salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai
salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus dibangun.
Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu
tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya ternyata berkembang
dengan baik sampai sekarang.
Senang sayembara
Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang
arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan yang
dihasilkan melalui sayembara.
Monas yang terbangun sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut
tokoh arsitek senior Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada,
pemenang kedua adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan
pemenang ketiga adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang
memenangkan sayembara tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana
(kalau tidak salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan
sehingga terbangun seperti yang tampak sekarang ini.
Prinsip bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara
lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak
ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak bermunculan di
kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan yang termasuk
kategori junk architecture atau arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa
kaidah paling dasar dari suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang
dicanangkan Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau
kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau
keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau keindahan itulah
yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.
Begitu pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan
Conference of the New Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung
pertemuan yang sekarang menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan
pembangun antara lain Ir Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo.
Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu
sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong,
melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari.
Tak berpikir sempit
Mengenai perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak
peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk
mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud nyata. Manakala
Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali bukanlah
berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang Kristen, terpilih untuk
merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan
berita yang mestinya mengejutkan?
Gedung Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta,
saya dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di
Menteng juga bukan karya seorang pribumi melainkan karya pematung
mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic
berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah membanggakan
adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di mancanegara.
Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh
informasi bahwa bangunan dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai
(berjalan dan berlari dari bukit Safa ke Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas
saran Bung Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya
setiap tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan
dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang
insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.
Dalam suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver
pertarungan kekuasaan yang
amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini,
sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan seperti Bung Karno. Pemimpin
negara yang tidak hanya tinggi kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa
sebagai arsitek dan seniman yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata
yang bermanfaat bagi bangsa.
* Eko Budihardjo Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia
dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah.

Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger


Julius Pour

"BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka


justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan
istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi
sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula
mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk
memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya,
begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk
memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka
jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru
tidak akan pernah bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam
Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno
terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan
kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar dan sangat dibutuhkan.
Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan.
Tetapi yang menarik, buku tersebut sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita
tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan
jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang,
apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi,
Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku.
Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak
menghendaki bekas jajahannya merdeka, Pemerintah Republik terpaksa
mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno
menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan.
Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya,
dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan
menjadi buku.
Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah,
sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama
Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima
rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai
orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan
membalas kebaikannya."
Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa
Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Sukarno, An
Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901)
dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan
setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno
menjadi namaku sebenarnya dan satu-satunya. Pernah ada wartawan goblok
menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno.
Dan memang, dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama.
Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden
Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan
Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah
beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah
tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami
makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk
mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai
mengajarku mencintai rakyat."
Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah
memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia
kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu.
Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus
mencintai manusia pada umumnya."
Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah
yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam
hidupku."

Kurang kasih sayang ibu


Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya,
sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan
yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya,
namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung
Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah
kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan
yang mencoba menghindari pertempuran.
Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan
begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam
analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok
Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-
benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam
membentuk kepribadian Bung Karno?
Prof SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah
Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan
masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di
hadapan wanita tua tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian
Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan.
Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta
maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan,
bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah
diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah
dikukuhkan (lagi) sebagai presiden.
Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang.
Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh
untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di
Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno
kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba
ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida
Ajoe Njoman Rai?
Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung
Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya
malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang
sepenuhnya memberikan kasih sayangnya."
Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi
dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari,
perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir
Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung.

Benih cinta pertama


"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan
hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya
sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat
percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang
kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan
membikin mereka tunduk kepada kemauanku."
Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya
khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian
mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak
gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda,
yakni Laura, Raat, Mien Hessels.
Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan,
hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap
20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia
16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto,
pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas.
Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah
ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto,
ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi
teman lamanya, Sanusi, seorang guru.
Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung
Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke
rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa
kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama
justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak
jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil,
sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum
menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi."
Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki
berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah
menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang
dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar
Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang
baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan
aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun
tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru
saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak."
Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu,
menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam
terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga
apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan
pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang
selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul.
Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian itu kemudian
tumbuh".
Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap
menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang
mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi
dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia
menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan."
Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua
janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi
saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu
kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah
meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak."
Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam
bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk
ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama
empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan
tahun 1923.
Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia
menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan
luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil
mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia
ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan.

Memulai hidup baru lagi


Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia
tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan
sangat mendasar, soal anak.
Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya
menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam
masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah
menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri
dari bekas suami ibu angkatnya.
Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya,
Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia
anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno.
Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan
pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati
dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan
menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya
sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal
bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari
dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang
berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki."
Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun,
menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah
sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia
memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan,
salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan
kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya
kasih sayang seorang bapak."
Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-
bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini.
Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa
berbohong dengan sorot matanya."
Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya
seperti anakku sendiri."
Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki.
Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-
hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."
Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan
cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia
istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada
usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan.
Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal
demikian"
Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan
izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya
Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Gar-nasih, Bung Karno
sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara
kita tidak usah bercerai?"
"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus
dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi
ceraikan diriku lebih dulu."
Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia
dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin
dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih
tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad
Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup
melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan
akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak."

Menyembunyikan nama istri


Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy
Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah
perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi,
melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret
1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).
Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit
tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut
juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas
anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara
Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji
kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir".
Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika
menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini
mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota
tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat
tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima
orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan
masih tetap secantik ini?"
Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno
menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu
romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal
tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang
kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa
itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati,
sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak.
Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan
Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952
untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama,
bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu?
Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh
mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya?
Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan
pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak.
Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin
percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi
teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan
yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno
dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan,
seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti
ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih
dahulu.
Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang
poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari
sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan
memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya."
Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan,
setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung
Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah,
oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi
Presiden, Mangil Martowidjojo.
Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini.
Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah
pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama."
Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima
orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab,
tidak sopan dan tindakan kejam."
Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua.
Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali,
semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal.
Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului
rombongan resmi.
Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak
berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan
kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi
berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya
sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru
23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena
situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the
Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel
Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut
membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno
mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.
Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah
Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah,
Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko,
seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah
dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki
Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."
Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil
orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami
disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan
bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat
memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya,
Bapak dengan setia membawakan buah-buahan."

Kelemahan dan kekuatan


Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno
sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung
Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan
bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika
otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat
marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati
diceriterakan panjang lebar.
Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali
tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung
Karno, oleh karena dia langsung memerintahkan penerjemahan ke dalam
bahasa Indonesia.
Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan
kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di
sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a
very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan
meluap kepada Cindy Adams.
Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada
situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut,
dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal
oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang
selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul.
Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali
tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak
akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk
kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.
Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin
kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya
khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok
Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya
kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung
Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti
Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian
dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan
sepenuh jiwa raganya.
Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding
para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau
Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul
atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak
sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung
Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual
sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di
sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih.
Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi
"ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa
tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan
mungkin merasa tidak memerlukan sayap pelindung, yang selama ini tanpa dia
sadari menghangatkan batinnya.
Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian
menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali
tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha
mencari perlindungan.
* Julius Pour Wartawan Kompas.

Di Seberang Jembatan Emas


Franz Magnis-Suseno SJ

WAKTU Soekarno, Bung Karno, menulis brosurnya Mencapai Indonesia


Merdeka, 1933 (saya memakai terbitan Yayasan Pendidikan Soekarno/Yayasan
Idayu, Jakarta 1982), pergerakan nasional di Indonesia kelihatan hang. Sesudah
pemberontakan komunis 1926/1927 dan krisis ekonomi dunia 1928, pemerintah
kolonial dengan sangat represif menindas kaum nasionalis Indonesia.
Sedangkan kaum nasionalis sendiri tidak bersatu tentang bagaimana perjuangan
kebangsaan mereka harus diteruskan. Dalam situasi ini, Bung Karno
menyerukan bahwa "di timur matahari mulai bercahaya, fajar mulai
menyingsing". Kalau kaum Marhaen percaya akan cita-cita mereka, mereka,
begitu Bung Karno, tidak dapat dikalahkan.Banyak pembaca sudah mencatat
sesuatu yang dalam tulisan ini mau sedikit ditelusuri: Betapa Bung Karno dalam
brosur ini terpengaruhi oleh pemikiran Lenin tentang revolusi sosialis. Berikut ini
saya akan menunjukkan keterpengaruhan itu, lalu mempertanyakan sejauh
mana Bung Karno dapat dikatakan menganut leninisme untuk, akhirnya, menarik
beberapa kesimpulan.
1. Mengalahkan kapitalisme dan imperialisme
Yang langsung menarik perhatian: Tujuan perjuangan kemerdekaan menurut
Bung Karno bukan kemerdekaan itu sendiri, melainkan pembebasan dari
"kapitalisme dan imperialisme". Kalau "imperialisme" jelas karena tak terpisah
dari kolonialisme. Tetapi bahwa Bung Karno begitu saja, dalam tradisi wacana
marxis murni, menganggap masa pascakolonial sebagai pascakapitalis, bagi
banyak dari kita terasa asing. Tujuh puluh tahun sesudah Bung Karno kita
semua sudah tahu bahwa sosialisme dalam arti penggantian mekanisme pasar
dengan perekonomian berdasarkan perencanaan sentral negara sudah gagal,
kita menyaksikan kejayaan masyarakat konsumis pasca-Perang Dunia II yang
justru berdasarkan ekonomi pasar, kita barangkali sudah membaca Third Way-
nya Anthony Giddens yang-seperti banyak ilmuwan lain-menganggap dikotomi
"sosialisme lawan kapitalisme" sebagai jauh ketinggalan (third way itu bukan
jalan ketiga di antara sosialisme dan kapitalisme, melainkan antara bentuk-
bentuk perekonomian pascadikotomi itu!).
Akan tetapi, di tahun 1920-an dan 1930-an, abad ke-20 situasi masih lain.
Komunisme dan sosialisme radikal baru saja muncul di panggung dunia. Negara-
negara demokratis di Eropa dengan perekonomian "kapitalis" mengalami
kesulitan besar (dan akan dilanda oleh fasisme). Dalam situasi itu tidak
mengherankan bahwa para nasionalis Indonesia dengan sendirinya menolak
kapitalisme yang memang jelas mendorong perkembangan kolonialisme ke
imperialisme sejak permulaan abad ke-19. Penolakan itu tidak khas Bung Karno
saja. Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan banyak tokoh lain sama saja menolak
kapitalisme.
2. Ajaran Lenin tentang revolusi sosialis
Namun, ciri "leninis" brosur Mencapai Indonesia Merdeka bukan hanya karena
penolakan terhadap kapitalisme itu. Sebagaimana mau saya perlihatkan, seluruh
strategi perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang diajukan Bung Karno
mengikuti, kadang-kadang secara harfiah, apa yang ditulis Lenin antara lain
dalam dua buku yang paling termashyur, What is to be Done? (1903) dan The
State and Revolution (1917).
Demi perbandingan, mari kita lihat garis besar teori revolusi sosialis Wladimir I
Lenin sebagaimana dimuat dalam dua buku itu. Lenin mengembangkan
pandangannya berhadapan dua faham yang ditolaknya dengan tajam:
ekonomisme dan anarkisme (sindikalis). Pandangan ekonomisme mengatakan
bahwa revolusi sosialis tidak perlu diusahakan. Kapitalisme akan- karena
dinamikanya sendiri-semakin runtuh dan dengan demikian menciptakan situasi
yang matang untuk revolusi.
Melawan pandangan itu Lenin menegaskan bahwa revolusi sosialis hanya
terlaksana apabila proletariat mau melaksanakannya. Tak akan ada revolusi
tanpa kesadaran sosialis-revolusioner. Akan tetapi, kesadaran sosialis tidak
dapat timbul dengan sendirinya. Proletariat dengan sendirinya hanya akan
mencapai sebuah kesadaran "serikat buruh" (trade unionalist), artinya,
berdasarkan pengalaman langsung perjuangan di tempat kerja mereka selalu
hanya akan menuntut upah lebih tinggi dan kondisi-kondisi kerja lebih baik.
Kesadaran sosialis yang sungguh-sungguh, karena itu, harus dimasukkan dari
luar ke dalam proletariat. Hal itu juga jelas karena sosialisme merupakan sebuah
teori ilmiah yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang terlatih secara
intelektual, tetapi tidak oleh kaum buruh yang tidak memiliki pendidikan tinggi.
Memasukkan kesadaran revolusioner ke dalam proletariat adalah tugas partai.
Inti leninisme adalah ajaran tentang peran kunci partai. Partai harus merupakan
partai pelopor yang terdiri atas kaum revolusioner profesional purnawaktu. Partai
itu harus memimpin proletariat. Partai sendiri diatur menurut asas sentralisme
demokratis: Demokratis, karena para pemimpin dipilih dalam musyawarah partai
itu, sentralistik karena sesudah pimpinan dipilih, pimpinan harus ditaati dengan
mutlak dan partai dipimpin secara sentralistik dan hierarkis dari atas.
Apakah revolusi memang perlu? Ada aliran dalam marxisme yang berpendapat
bahwa sosialisme dapat diciptakan tanpa revolusi. Untuk itu, cukup kalau
proletariat memakai mekanisme demokrasi. Bukankah proletariat akan
merupakan mayoritas masyarakat? Kalau begitu, proletariat melalui pemilihan
umum dapat mencapai mayoritas dan mengadakan sosialisme melalui undang-
undang. Lenin menolak garis pikiran ini. Baginya demokrasi hanyalah tipuan
borjuasi yang kalau proletariat membatasi diri padanya, akan mematikan
semangat revolusioner proletariat. Dalam kerja sama dengan borjuasi sosialisme
tidak mungkin tercapai.
Lawan kedua Lenin adalah kaum anarko-sindikalis. Mereka menuntut agar
sesudah revolusi negara dengan segala aparatnya dihapus. Tetapi bagi Lenin
anggapan ini naif. Meskipun sesudah revolusi kekuasaan politik dipegang oleh
proletariat, namun semua struktur kekuasaan masih sama dengan masa
kekuasaan borjuasi. Oleh karena itu, perlu proletariat mengadakan kediktatoran
dulu untuk menghancurkan borjuasi dan kapitalisme. Maka, untuk mewujudkan
sosialisme sebagai tujuan terakhir, proletariat harus memantapkan dulu monopoli
kekuasaan dalam tangannya. Dan karena lawan sementara ini hanya kalah
secara politik, serta proletariat masih minoritas terhadap kelas-kelas sekutu,
kaum tani dan borjuasi kecil, maka bukan demokrasi, melainkan kediktatoran
proletariat yang perlu dibikin.
3. Massa aksi dan partai pelopor
Mari kita sekarang melihat pandangan Bung Karno tentang perjuangan demi
Indonesia Merdeka. Yang sangat mencolok dalam tulisan yang berjudul
Mencapai Indonesia Merdeka adalah bahwa hal merdeka- yang tentu saja tidak
pernah hilang dari fokus Bung Karno: "syarat yang pertama ialah: kita harus
merdeka" (41)-seakan-akan terdesak oleh sebuah keprihatinan lebih jauh, yaitu
penolakan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Bung Karno sangat khawatir
jangan sampai sesudah Indonesia merdeka, Indonesia jatuh ke tangan "kaum
ningrat dan kaum kapitalis". Kemerdekaan bukan tujuan atau nilai pada dirinya
sendiri, melainkan "jembatan". "Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa
bercancut tali wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme" (41).
Tujuan perjuangan kaum marhaen adalah "suatu masyarakat yang adil dan
sempurna," jadi "yang tidak ada tindasan dan hisapan," dan oleh karena itu
"tidak ada kapitalisme dan imperialisme"(41). Seperti telah saya sebutkan di
atas, penolakan kapitalisme dan imperialisme bukan khas Bung Karno,
melainkan menjadi pandangan seluruh tokoh nasionalis waktu itu, namun
menunjukkan pengaruh perspektif Leninis.
Karena itu, kaum Marhaen tidak cukup asal berjuang. Mereka harus berjuang
dengan kesadaran yang tepat. Mengikuti bahasa Lenin, Bung Karno
menegaskan bahwa yang perlu adalah kesadaran yang radikal. Radikal bagi
Bung Karno berarti sadar akan adanya dua golongan dalam masyarakat yang
berlawanan. Bung Karno tidak memakai bahasa "pertentangan kelas", tentu
karena faham "Marhaen" justru mau menegaskan bahwa analisa kelas marxis
tidak cocok dengan kenyataan sosial di Indonesia. Namun, ia menegaskan
bahwa kaum Marhaen harus selalu sadar bahwa ada yang "sana" dan yang
"sini", ada "golongan 'atas'" dan "golongan 'bawah'" dan bahwa antara dua-
duanya hanya bisa ada pertentangan. "Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana
dan sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, sana dan sini akan
selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain" (47) karena "inilah yang oleh
kaum marxis disebutkan dialektiknya sesuatu keadaan" (ib.).
Seperti Lenin menolak kemungkinan untuk mencapai sosialisme secara damai,
begitupun Bung Karno menuntut sikap nonkooperasi. Nonkooperasi bukan
hanya dengan pemerintahan kolonial, tetapi juga dalam arti "tidak mau duduk di
dalam dewan-dewan kaum pertuanan" (49). Oleh karena itu, seperti Lenin
membedakan antara kesadaran "serikat buruh" dan "kesadaran sosialis
revolusioner", Bung Karno membedakan "massa aksi" yang radikal dari massale
actie yang hanya kelihatan radikal (62). Dalam yang terakhir "kaum lunak"
sekadar membatasi diri pada "rapat-rapat umum". Begitu misalnya Sarekat Islam
"dulu tidak bisa membangkitkan massa aksi karena ia tidak berdiri di atas
pendirian yang radikal". Artinya, ia tidak mempunyai perspektif "sana-sini",
perspektif Marhaen lawan kaum ningrat dan kaum kapitalis (63). "Massa aksi"
harus "100 persen radikal: perlawanan sonder damai, kemarhaenan,
melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan
masyarakat baru" (ib.).
Namun, lagi-lagi mengikuti Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa "kesadaran
kemarhaenan" akan terlalu lama kalau ditunggu berkembang dengan sendirinya.
Harus ada satu partai Marhaen yang berjalan di depan. Seperti perjuangan
proletariat harus dipimpin oleh partai pelopor, begitu perjuangan kaum Marhaen
harus dipimpin oleh sebuah "partai pelopor". "Partai yang memegang obor,
partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan
penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang" (37). Partai itu
"memimpin massa", "memegang komando", "harus memberi ke-bewust-an pada
pergerakan massa", "memberi keradikalan". Adalah tugas partai untuk
"menjelmakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi
suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insaf
akan jalan dan maksud-maksudnya" (37). "Partai yang dengan gagah berani
pandai memimpin dan membangkitkan bewuste massa aksi" "kemenangan
sudah bisa datang" (38). Maka, partai harus "memberi pendidikan dan keinsafan
pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang" (67). Partai
harus menjaga dan menyalakan "radikalisme" yang tidak melupakan tujuan akhir
dalam massa.
Namun, justru karena itu perlu ada partai yang terus-menerus mengingatkan
tujuan perjuangan yang sebenarnya. Partai perlu menjaga agar rakyat jangan
sampai karena "tertarik oleh manisnya hasil-hasil kecil itu lantas lupa akan
maksud besar", yaitu mencapai "puncak gunung Indonesia Merdeka" (69).
Secara lebih konkret, yang harus dilakukan oleh partai pelopor itu adalah
mengadakan "propaganda di mana-mana, kursus di mana-mana, perlawanan di
mana-mana, anak-anak organsiasi, vakbond-vakbond, sarekat-sarekat tani,
majalah-majalah dan pamflet-pamflet" (72).
Partai sendiri, mengikuti Lenin, harus waswas terhadap dua macam lawan, yaitu
reformisme dan "anarcho-syndicalisme" (65). "Tiap-tiap anggota partai yang
nyeleweng ke arah reformisme harus ditendang dari kalangan partai zonder
pardon dan zonder ampun" (64; ungkapan "tanpa maaf dan tanpa ampun"
hampir di setiap halaman The State and Revolution diulangi Lenin).
Kalau pada Lenin kaum reformasi adalah kaum sosial demokrat Internasionale II
yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan secara demokratis,
maka bagi Bung Karno kaum reformis adalah kaum "kooperasi", mereka yang
mau mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bekerja sama dengan
pemerintahan Belanda. Mengharapkan kemerdekaan dari kerja sama dengan
kaum kolonialis adalah percuma. Mereka hanya akan melepaskan kekuasaan
kalau dipaksa. Bung Karno mengutip Karl Marx: "Tak pernahlah sesuatu kelas
suka melepaskan hak-haknya dengan ridanya kemauan sendiri" (55). Maka, tak
mungkin ada kemerdekaan yang tidak diperjuangkan oleh rakyat dalam "massa
aksi".
Faham "anarcho-syndikalisme" langsung diambil alih dari Lenin. Lenin menolak
tuntutan mereka agar sesudah revolusi sosialis negara dengan segala aparatnya
dihapus. Sesudah revolusi kekuatan negara perlu dipegang oleh proletariat untuk
menghancurkan para musuh proletariat. Yang dimaksud Bung Karno dengan
anarcho-syndikalisme adalah "penyelewengan ke arah amuk-amukan zonder
pikiran, penyelewengan ke arah perbuatan-perbuatan atau pikiran-pikiran cap
mata gelap" (65). Melawan penyelewengan itu partai pelopor harus menegakkan
"disiplin": "Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder
ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani
melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai pelopor itu!" Di dalam partai
pelopor Marhaen tidak boleh ada demokrasi. Sebagai prinsip kepemimpinan
dalam partai Bung Karno mengambil "democratisch centralisme"-nya Lenin.
"Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi dalam makna segala
'isme' boleh leluasa" (64). Dan ia mengutip "seorang pemimpin besar": "Di dalam
partai tak boleh ada kemerdekaan pikiran yang semau-maunya saja; kokohnya
persatuan partai itu adalah terletak di dalam persatuan keyakinan" (65).
Lalu apa yang harus dilakukan menurut Bung Karno, apabila Kemerdekaan
sudah tercapai? Bung Karno menegaskan bahwa perjuangan dengan perolehan
kemerdekaan belum selesai. Harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan
kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan. Kemerdekaan
harus dilihat sebagai "hanyalah sebuah jembatan, sekalipun suatu jembatan
emas!" (76). Harus disadari bahwa "di seberang jembatan itu jalan pecah jadi
dua: satu ke dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia Kesengsaraan
Marhaen; satu ke dunia Sama Rata Sama Rasa, satu ke dunia sama Ratap
sama Tangis" (ib.). "Kereta Kemenangan" di atas jembatan itu jangan "dikusiri
oleh lain orang selainnya Marhaen" (ib.). Jadi, harus dipastikan bahwa kaum
Marhaen, dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis mengambil alih
kekuasaan.
Oleh karena itu, Bung Karno menolak demokrasi politik sebagai tujuan revolusi.
Untuk memastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan pihak lain, "menggenggam
kekuasaan pemerintahan" (46) demokrasi tidak memadai. Mengikuti kritik Lenin
terhadap demokrasi, Bung Karno menunjuk pada Revolusi Perancis di mana
rakyat jelata "akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang
bergembar-gembor 'demokrasi'" (77). Karena kekayaan dan penguasaan media
komunikasi, kaum borjuasi akan menjadi penguasa yang sebenarnya. Menurut
Bung Karno "negeri-negeri sopan", Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Swedia,
Swiss, dan Jerman dikuasai oleh kapitalisme, dan karena itu di semua negara itu
"rakyat jelata tidak selamat, bahkan sengsara kelewat sengsara" (79). Dan ia
mengutip seorang Caillaux bahwa "kini Eropa dan Amerika ada di bawah
kekuasaan feodalisme baru" (81). Maka, yang harus tercapai bukanlah
demokrasi, melainkan "kekuasaan 100 persen pada rakyat", bukan hanya
kekuasaan politik, melainkan kekuasaan ekonomis (bdk 82).
Istilah untuk apa yang diidam-idamkan Bung Karno adalah "sosio-demokrasi"
dan "sosio-nasionalisme" (83). Ia tidak menguraikan secara konkret operasional
apa yang dimaksud dengan dua istilah itu. Memang, "tidak boleh ada satu
perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemukkan kantong seseorang
borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat" (82). Tetapi, kata
"sosialisme" atau "sosialisasi hak milik produktif" tidak kita temukan. Selain
bahwa "penyakit individualisme" harus disembuhkan dengan "benih 'gotong
royong'" sehingga terwujud "'manusia baru' yang merasa dirinya 'manusia
masyarakat' yang selamanya mementingkan keselamatan umum" serta petunjuk
pada "koperasi-koperasi yang radikal, vakbond-vakbond dan srikat-srikat tani
radikal" tidak ada petunjuk lagi.
4. Soekarno dan Leninisme
Dari uraian di atas kelihatan betapa Bung Karno terpengaruh oleh pemikiran
Lenin. Apakah penghapusan kapitalisme sebagai tujuan revolusi, perlunya
kesadaran radikal dalam kaum Marhaen, perlunya perspektif "sana" dan "sini",
perlu adanya partai pelopor, penolakan terhadap cara damai atau kooperatif
untuk mencapai kemerdekaan, perang terhadap reformisme dan "anarcho-
syndicalisme", penegasan bahwa sesudah kemerdekaan tercapai, perjuangan
belum selesai karena harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum
ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan, serta bahwa untuk itu
demokrasi tidak cocok, semua itu mengikuti garis pikiran Lenin.
Jadi, Bung Karno seorang leninis? Itulah pertanyaan yang sekarang perlu
diajukan. Saya bertolak dari perbedaan yang langsung mencolok. Bung Karno
bukan hanya tidak bicara tentang proletariat, melainkan juga tidak tentang kelas-
kelas. Bung Karno bicara tentang "kaum Marhaen". Di sini tidak perlu
diceriterakan kembali bagaimana Bung Karno sampai ke nama itu. Yang mau
dikatakannya dengan memakai istilah itu jelas: Bahwa pemisahan keras dan
terinci antara pelbagai kelas yang khas bagi marxisme tidak sesuai dengan
kenyataan di Indonesia. Di Indonesia yang mencolok adalah pertentangan antara
"orang kecil" dan "kaum atas", dan "orang kecil" bukan kata dari perbendaharaan
marxisme. Apakah perbedaan ini relevan? Jawaban hanya dapat berbunyi:
Perbedaan ini bersifat prinsipiil dan berarti bahwa Bung Karno-berbeda dari
persepsinya sendiri-bukan seorang Marxis sama sekali. Bagi Karl Marx justru
tidak semua "kelas bawah" di segala zaman bersifat revolusioner. Agar sebuah
kelas dapat diharapkan menumbangkan kapitalisme (tujuan yang juga diiyakan
oleh Bung Karno), situasi khas kelas itu dalam proses produksi harus kondusif ke
perkembangan kesadaran kelas revolusioner itu. "Orang kecil" bagi analisa
Marxis terlalu kabur, tidak dapat dipakai.
Dilihat dari perbedaan perspektif sangat mendalam ini, perbedaan-perbedaan
"kecil" lainnya antara bahasa Lenin dan bahasa Bung Karno justru relevan.
Pertama, partai pelopor Bung Karno tidak memiliki ciri-ciri partai pelopor Lenin.
Kedua, tidak ada syarat-syarat keanggotaan, syarat bahwa anggota harus kaum
revolusioner profesional purnawaktu dan sebaiknya diambil dari kaum intelektual.
Tidak ada faham ajaran revolusioner ilmiah yang karena itu tidak dapat diketahui
oleh proletariat yang kurang berpendidikan, dan karena itu harus dimasukkan
dari luar ke dalamnya oleh partai. Bung Karno, lebih dekat dengan Marx
daripada Lenin, melihat fungsi partai membuat sadar apa yang sudah dimiliki
massa Marhaen secara tak sadar. "Kesadaran" pada Bung Karno lain daripada
kesadaran revolusioner pada Lenin karena yang terakhir dimaksud sebagai
kepercayaan pada sebuah teori dan pandangan dunia, yaitu Materialisme,
Dialektis, dan Historis.
Ketiga, tak ada sama sekali pada Bung Karno padanan terhadap kediktatoran
proletariat yang dalam kenyataan, tetapi juga menurut ucapan Lenin,
dilaksanakan sebagai kediktatoran partai komunis di atas proletariat. Tak ada
tanda bahwa Bung Karno sesudah revolusi politik mengharapkan penghancuran
total terhadap struktur kepemilikan dalam masyarakat sebagaimana menjadi
program Lenin. Wacana "sosio-demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" hanya diisi
dengan menunjuk pada "koperasi radikal", serikat buruh dan serikat tani "radikal"
tanpa menjelaskan apa itu "radikal", unsur-unsur mana semua, barangkali yang
"radikal" itu juga terdapat dalam negara-negara "kapitalis" di Barat. Bung Karno
bukan seorang revolusioner sosial.
Maka, retorika leninis Bung Karno jangan menipu kita. Di sini tidak bicara
seorang leninis, melainkan seorang yang mencita-citakan pembebasan
rakyatnya dari penindasan kolonialisme dan keterpurukan di bawah kaum feodal
tradisional serta kapitalisme baru. Bahasa keras Lenin yang tidak pernah main-
main melainkan merupakan cetak biru prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan
begitu ia memegang kekuasaan, dipakai Bung Karno bukan karena ia seorang
Leninis, melainkan karena menyediakan kamus ungkapan-ungkapan
bersemangat yang sangat cocok untuk menjadi wahana romantika revolusi yang
mempesona.
5. Akhirul kata
Tidak ada tanda apa pun bahwa Bung Karno sendiri menganggap diri sebagai
seorang le-ninis. Jauh lebih masuk akal bahwa Bung Karno-sama seperti rekan-
rekan nasionalisnya lain-melihat kepada Revolusi Oktober dengan simpati,
bukan karena menyetujuinya, melainkan karena di sini ada bangsa besar yang
membebaskan diri dari kapitalisme. Berbeda dengan anggapan Bung Karno
sendiri, marhaenisme-yang dalam pandangan saya jauh lebih realistik daripada
analisa kelas Marx yang tidak pernah peka terhadap apa yang sebenarnya
menggerakkan orang-bukan sebuah marxisme.
Namun, kecenderungan untuk seakan-akan lebur dalam romantika bahasa
program revolusi Lenin yang sedikit pun tidak romantik, menunjuk juga pada
kelemahan Bung Karno yang akan menjadi faktor dalam kejatuhannya. Bahwa
pergerakan nasional Indonesia ditentukan oleh tiga alam makna, yaitu
nasionalisme, Islam, dan marxisme, pasti betul. Namun, waktu Bung Karno 35
tahun kemudian melontarkan triade itu sebagai nasionalisme, agama, dan
komunisme (Nasakom), Bung Karno masuk ke dalam sebuah perangkap
daripadanya ia tidak lepas lagi. Romantikanya membuatnya tidak percaya bahwa
omongan "progresif-revolusioner" kaum komunis Indonesia, wacana keras
revolusioner mereka, bukan romantika hiperbolis sebagaimana ia sendiri
memahaminya dalam "Mencapai Indonesia Merdeka", melainkan sebuah
program keras dan realistik untuk merebut kekuasaan, bukan demi "kaum
Marhaen" Indonesia, melainkan demi kekuasaan komunis sedunia.
Bung Karno jatuh cinta dengan kata revolusi, tetapi tidak memahami implikasi
kata itu, yaitu bahwa struktur pemilikan masyarakat yang ada harus dihancurkan
dan bahwa penghancuran itu, sebagaimana disadari sepenuhnya oleh Lenin,
hanya dapat melalui kediktatoran partai yang tidak takut memakai senjata teror.
Maka, ia tidak siap dalam hati untuk melepaskan kaum komunis yang andaikata
secara dini dilarang, barangkali dapat luput dari pembunuhan mengerikan yang
akhirnya menimpa apa pun yang berbau komunis.
Dan masih satu hal. Lain daripada Hatta-yang juga mengkritik bahwa demokrasi
Barat tidak sampai ke bidang ekonomi-Soekarno tidak mengembangkan sikap
hati yang positif terhadap demokrasi (Barat!). Begitu saja ia termakan oleh
hasutan anti demokrasi Lenin-dengan tidak memperhatikan bahwa mayoritas
kaum sosialis sedunia 1918 memilih demokrasi daripada sosialisme yang
berdasarkan teror (dan karena itu berpisah dengan Lenin). Ketertutupan hati
Bung Karno terhadap demokrasi prosedural, tendensinya ke arah populisme,
merupakan sebuah tragika ka-rena Bung Karno tentu akan bisa menjadi pendidik
bangsanya ke arah demokrasi yang paling baik.
* Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan, menulis lebih dari 300 karangan
dan 26 buku, terutama bidang etika, filsafat, dan pandangan dunia Jawa;
sekarang Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.

Bung Karno, Seni, dan Saya


Daoed Joesoef
Dok Kompas
Top of Form
Bottom of Form
SEWAKTU ber-SMA di Yogyakarta selama periode revolusi fisik, saya
menggabungkan diri pada organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan dipilih
menjadi ketuanya di saat organisasi itu mula-mula didirikan pada tahun 1946.
Organisasi ini berpusat di Solo, dengan S Soedjojono sebagai Ketua Umum SIM,
dan mempunyai dua cabang, di Yogya dan Madiun. Anggota SIM cabang Yogya
tidak banyak jumlahnya, namun terdiri dari para pelukis senior yang sudah "jadi",
yaitu Affandy, Hendra, Roesli, Soedarso, Dullah, Hariadi, dan beberapa pelukis
muda "harapan", seperti Troeboes, Zaini, Nasyah Djamin, Nazhar, Soeharto, dan
Tino Sidin.Sanggar SIM di Alun-alun Lor sering dikunjungi oleh tamu-tamu
negara dari negara asing, atas anjuran Bung Karno, dan ada kalanya SIM
diminta membawa koleksi lukisan anggota-anggotanya ke Istana Negara untuk
dipamerkan oleh Presiden kepada para tamu.
Pada suatu pagi, tiba-tiba datang utusan dari Bung Karno yang meminta SIM
segera membawa karya-karya yang bermutu ke Istana. Saya memang tinggal
sendirian di sanggar dan kebetulan belum berangkat ke sekolah. Mengingat
waktu yang disediakan hanya dua jam, tidak ada kesempatan bagi saya untuk
mengabarkan hal ini kepada para anggota senior yang tinggal bertebaran jauh
dari sanggar. Maka saya sendirilah-seorang diri-yang akhirnya membawa
lukisan-lukisan dengan andong ke Istana Negara di Jalan Malioboro.
Tidak lama setelah lukisan siap dipajang di serambi depan Istana, dari ruang
dalam keluar ketiga Bung Besar, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Rupanya
mereka ingin melihat lebih dahulu lukisan-lukisan yang ada sebelum
membanggakannya nanti di muka para tamu. Bung Karno menanyakan kepada
saya-dengan nada kebapakan-apakah tidak keberatan kalau mereka berbahasa
Belanda. Saya katakan sama sekali tidak, karena saya mengerti bahasa
tersebut.
Sebelum Jepang datang, saya sudah sempat duduk di kelas satu MULO. "Wel,
in dat geval mag ik u dan verzoeken, meneer de voorzitter, om mee te praten
met ons?!", kata Bung Karno dengan nada kepresidenan, namun dengan sikap
bercanda. "Met genoegen, meneer de president," jawab saya, "en dank u zeer."
Lalu sambil berkeliling menatap lukisan satu per satu, yang untuk sebagian
besar bercorak ekspresionistis dan impresionistis, Bung Karno dan Bung Sjahrir
bertukar pikiran mengenai apresiasi masing-masing. Dalam berdiskusi mereka
saling "bertutoyer" saja-kelihatan intim sekali-namun saya tetap membahasakan
mereka dengan sebutan "u". Walaupun umur saya jauh lebih muda dan bicara
Belanda saya tentu tidak selancar mereka, saya tidak merasa mereka remehkan.
Mereka mendengarkan dengan saksama uraian dan ulasan saya, termasuk
tentang pendapat mereka, dan tidak memotong pembicaraan sebelum saya
selesai berbicara.
Dari perdebatan seni itu saya berkesimpulan bahwa Bung Karno lebih
merupakan seorang "pencinta seni" (kunst liefhebber). Bagi dia seni lukis, atau
seni rupa pada umumnya, adalah identik dengan keindahan visual. Maka itu
tidak mengherankan kalau dia menggandrungi lukisan-lukisan wanita cantik dari
Basoeki Abdoellah. Wanita dengan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya
adalah by nature simbol dari keindahan par excellence. Inilah idee fixe yang
kiranya menentukan pula sikap dan perlakuannya terhadap wanita. Baginya,
tarikan atau jalannya kuas yang ekspresif tidak begitu penting untuk diperhatikan
apalagi diperhitungkan. Kalaupun dia "tertarik" pada lukisan Affandy yang serba
impresionistis dan karya Soedjojono yang begitu ekspresif, saya pikir-menurut
kesan saya-karena dia telah mengenal baik kepribadian dan kemanusiaan kedua
seniman tersebut dan naluri humanitasnya-bukan penalaran seninya-mengakui
ketinggian mutu seni karya-karya mereka.
Bung Sjahrir, sebaliknya, mengesankan benar-benar seorang "pengenal seni"
(kunstkenner) dan sangat mengetahui sejarah perkembangan seni rupa modern.
Saya sendiri sebelumnya tidak menduga bahwa pengetahuan umumnya tentang
seni sedalam dan seluas itu. Mungkin sekali selama studi di negeri Belanda
dahulu dia telah melihat sendiri lukisan-lukisan modern yang asli di berbagai
museum Eropa. Dia ternyata seorang intelektual hasil tempaan nalar akademis
Eropa Barat yang berpembawaan luas. Dia dan Bung Karno lama
memperdebatkan "konsep" seni mengingat "keindahan visual" tidak selalu
disepakati sebagai "de standaard" mutu seni. Akhirnya kedua Bung Besar
menantang jawaban saya yang, menurut Bung Karno, memegang leiderschap
SIM cabang Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, "membawahi" beberapa
pelukis senior yang dia kenal baik.
Saya katakan bahwa "keindahan" bukan berupa "harga mati" yang terpatri di
mata atau kertas uang, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan lain dengan
nilai yang sama tetap. Tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa
apa yang diperlukan bagi kreasi suatu seni yang baik adalah sebuah konsep
yang baik mengenai seni. Namun, saya bisa mengatakan bahwa suatu konsep
seni yang tidak memadai dapat menghambat-bahkan merusak-jalannya
kreativitas. Di kalangan para seniman sendiri mungkin ada yang tidak tertarik
secara khusus pada teori estetika dan di antara mereka yang mungkin relatif
lemah dalam teori tersebut, atau bahkan tidak mempedulikannya sama sekali,
tentu ada yang mungkin mampu mengombinasikan bakat kreasi artistik dengan
flair untuk estetika. Kelihatannya bila pikiran tidak bisa menjelaskan, naluri punya
alasan-alasannya sendiri. Maka bila otak manusia belum mampu mengatur,
biarkanlah kodrat alam membimbing sewajarnya. Dalam berkarya perlu bagi
seniman tetap memupuk individualitas, eigen persoonlijkheid, dalam artian tidak
ikut-ikutan dan bisa menjelaskan sendiri mengapa karyanya dianggap baik dan
waardig genceg untuk dipamerkan.
Selama perdebatan seni ini Bung Hatta diam saja. Sikapnya bagai "guru" yang
sedang mengawasi "murid-muridnya" sedang bertengkar. Dia ikut
mendengarkan dengan serius, menatap muka setiap pembicara dan sesekali
tersenyum lembut. Saya berkeringat dingin bukan karena berdebat dengan Bung
Karno dan Bung Sjahrir, tetapi karena tahu sedang diawasi terus-menerus oleh
Bung Hatta. Saya tidak yakin kalau tokoh yang saya kagumi ini tidak tertarik
pada seni. Betapa tidak. Saya ingin benar ketika masih remaja di zaman Belanda
dahulu saya pernah menghadiri malam deklamasi di gedung organisasi Jong
Islamieten Bond (JIB) di Medan. Ketika itu para anggota senior dari JIB
membacakan berbagai soneta, sajak, dan syair dari beberapa pujangga "Pulau
Masa Depan", yaitu Muhammad Jamin, Sanusi dan Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah, dan ... Mohammad Hatta.
Cobalah perhatikan tanda tangan negarawan kita yang satu ini. Ia benar-benar
merupakan ekspresi dari suatu jiwa seni. Sebagai tanda tangan ia bukan
sembarang ungkapan jati diri, tetapi merupakan pula suatu gubahan kaligrafis
yang bermutu, suatu persenyawaan yang sungguh artistik dari dua jenis huruf,
yaitu Latin dan Arab.
***
SATU kejadian lain lagi, masih di Yogyakarta, menambah kenangan pribadi saya
dengan Bung Karno, humanis dan pencinta seni. Saya diajak oleh pelukis
Affandy menemui Bung Karno di Istana Negara. Dia ingin menjual lukisannya
kepada Bung Presiden karena istrinya sakit berat dan perlu uang untuk obat
serta dokter. Walaupun kunjungan ini mendadak dan tanpa membuat janji lebih
dahulu, Bung Karno, toh, bersedia menerima Sang Pelukis dengan ramah.
Mereka berbicara dengan akrab dalam bahasa Belanda. Setelah mendengar
maksud kedatangan Affandy, Bung Karno lama termenung dan diam saja.
Akhirnya dengan suara bernada rendah dia berkata: "Mas, terus terang sekarang
ini saya tidak punya uang. Tapi, terimalah pulpen saya ini. Nama saya ada diukir
di situ. Barangkali saja bisa dijual dan pakai uangnya untuk biaya pengobatan
yang diperlukan."
Pak Affandy menolak pemberian pulpen itu sambil berkata dengan lirih, "Bung,
terima kasih. Saya butuh uang, bukan pulpen. Saya juga tidak tahu di mana bisa
menjualnya. Lagi pula jangan-jangan saya nanti dituduh mencuri." Mendengar
ucapan Affandy yang terakhir itu Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Tanpa
disadari, Pak Affandy dan saya ikut pula tertawa sejadinya. Lalu Bung Karno
bangkit dari duduknya, berdiri dan menepuk bahu Pak Affandy. "Tunggu
sebentar Mas Affandy", katanya, "saya akan menemui Bu Fat di dalam." Tidak
lama kemudian, Bung Karno keluar, lalu memilih sebuah lukisan yang
ditawarkan, dan memberikan sebuah amplop kepada Sang Pelukis. "Terimalah
ini, saya pinjam dulu dari Bu Fat, diambil dari uang belanja sehari-hari", katanya.
"Jumlahnya memang tidak seberapa. Kekurangannya akan saya angsur bulan
depan. Sudah saya perintahkan kepada dokter kepresidenan supaya memeriksa
Bu Affandy di rumah. Tolong tinggalkan alamat rumah kepada ajudan sebelum
pulang."
Setelah mengucapkan terima kasih kami berdua segera meninggalkan Bung
Karno dengan membawa si2sa lukisan yang tidak dibeli. Di tengah jalan saya
katakan kepada Pak Affandy betapa mahal harga pulpen Bung Karno itu di
kemudian hari, lebih-lebih kelak bila revolusi Indonesia telah selesai dan
berhasil. "Ah, dik", jawab Sang Maestro, "bila harus menunggu selama itu tanpa
uang buat beli obat, istri saya sudah keburu mati." Saya pikir-pikir, betul juga
ungkapan polos Pak Affandy ini.
Mengingat betapa pentingnya karya seni sebagai wahana untuk menaikkan citra
bangsa, berdasarkan pengalaman berpameran di Istana selama ini, saya pikir ia
bisa juga dipakai sebagai wahana diplomasi untuk menembus blokade Belanda.
Kira-kira sama dengan diplomasi beras dengan India dari Sutan Sjahrir. Saya
lalu menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di situ saya usulkan supaya
pemerintah mengirim Pak Affandy berpameran di luar negeri agar Indonesia
dikenal luas di kalangan internasional dan dengan demikian menguak tabir
kebohongan Belanda yang selalu mengecilkan martabat bangsa kita.
Saya pilih Pak Affandy, karena pelukis kita yang satu ini sudah memiliki koleksi
yang cukup untuk berpameran tunggal. Dia betul-betul kreatif, siang dan malam
terus berkarya. Kalau sedang melukis seperti orang kesurupan dan mutu
lukisannya pantas dibanggakan. Pada Pak Affandy bisa saja dititipkan karya
pelukis-pelukis lainnya, dan kalau keuangan negara memungkinkan
diikutsertakan pula satu atau dua pelukis
senior.
Perbuatan saya ini disalahkan oleh Ketua Umum SIM karena dianggap
melampaui wewenang Ketua Cabang SIM tanpa berkonsultasi lebih dahulu
dengan pengurus pusat. Saya dipanggil ke Solo dan diadili di dalam rapat yang
dihadiri oleh pelukis-pelukis senior dan yunior yang ada di pusat. Setelah Ketua
Umum SIM menjatuhkan vonisnya yang menyatakan saya bersalah, saya
bangkit dan mendatangi mejanya. Saya gebrak meja itu dan berkata keras,
"Persetan!". Saya segera keluar dari ruang rapat dan langsung pulang ke
Yogyakarta.
***
DI tahun 1960-an Bung Karno membiarkan-kalaupun bukan membenarkan-
penghancuran Gedung Proklamasi, rumah kediamannya dahulu, yang terletak di
Jalan Pegangsaan Timur. Bersamaan dengan itu diruntuhkan pula sebuah tugu
kecil sederhana di halaman gedung yang biasa disebut Tugu Proklamasi. Ketika
itu ada yang mengkritik penghancuran tersebut, dan saya kira per-buatan
destruktif ini memang merupakan satu blunder yang sangat tercela.
Apa pun alasan penghancuran ini, Bung Karno telah melenyapkan satu saksi
penting dari sejarah bangsa, padahal di Yogya dahulu dia sering mengatakan
kepada pemuda-pelajar betapa pentingnya orang mempelajari sejarah. Maka,
sebagai tanda protes, ketika proses penghancuran gedung bersejarah itu sedang
dilaksanakan, saya kirim sebuah lukisan cat air kepada Bung Karno. Lukisan ini
berukuran 15 x 20 cm dan di situ saya gambarkan Bung Karno berhadap-
hadapan dengan saya. Lukisan saya beri judul "Soekarno sainganku". Saya kirim
per pos dan sebagai pengirim saya sebut: Daoed Joesoef, ex-voor-zitter van SIM
Yogyakarta.
Pernah terpikir oleh saya apakah perbuatan Bung Karno ini bukan suatu gerak
refleks spontan dari seorang seniman. Bukankah seorang seniman biasa
menghancurkan karyanya-lukisan, patung, partitur musik-bila dia kesal atau tidak
puas dan orang lain tidak berhak melarangnya karena yang dihancurkannya itu
adalah miliknya sendiri. Hal seperti ini memang sering terjadi dalam sejarah.
Namun, yang dihancurkan oleh Bung Karno itu bukan sekadar bangunan rumah
miliknya sendiri. Yang dilenyapkannya bersama-sama dengan kehancuran
rumah dan tugu di Pegangsaan Timur itu adalah sebuah bukti otentik dari suatu
sejarah kolektif, sejarah perjuangan nasional, walaupun memang diakui betapa
besar peranannya dalam kejadian bersejarah yang pantas dibanggakan itu.
Di awal tahun 1950-an, halaman Gedung Proklamasi sering menjadi tempat
berkumpul para pemuda yang dahulu turut aktif dalam perjuangan revolusi fisik
di daerah-daerah. Halaman ini cukup luas, teduh, dan di senja hari cukup
nyaman sebagai ajang pertemuan. Pertemuan itu sendiri terjadi secara spontan,
tanpa rencana apa dan oleh siapa pun sebelumnya. Masing-masing datang atas
keinginannya sendiri, termasuk saya, dan lalu terjalinlah perkenalan yang akrab.
Dengan membentuk lingkaran di atas rumput, setiap orang duduk menceritakan
pengalaman masing-masing, anekdot suka duka berjuang dalam kesatuan
Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), atau pasukan
perjuangan kedaerahan lainnya. Pernah satu kali saya gelar di muka mereka
semua sketsa perjuangan yang saya buat di tempat kejadian selama di
Sumatera dan di berbagai front Jawa Tengah sewaktu aksi polisional Belanda
yang pertama.
Namun, lama-kelamaan, dari hari ke hari, cerita-cerita nostalgia ini berubah
menjadi ungkapan kejengkelan dan ketidakpuasan tentang suasana politik dan
tingkah laku para elite partai. Mereka asyik saling memaki dan menuduh, tetapi
diam-diam sibuk memperebutkan aset yang berangsur-angsur ditinggal Belanda,
berupa pabrik, perkebunan, rumah, dan harta benda lainnya. Yang paling
menjengkelkan para peserta pertemuan di halaman rumah Pegangsaan Timur ini
bukanlah keserakahan para Bapak itu saja, tetapi kenyataan bahwa para
pemuda eks-pejuang sudah ikut memperebutkan harta karun. Idealisme mulai
sirna dan masing-masing mulai menyalahgunakan surat-surat perjuangan masa
lalu sebagai kunci masuk ke khazanah harta peninggalan Belanda, padahal
dahulu baik TP maupun TRIP telah berikrar akan berjuang demi kemerdekaan
tanpa pamrih pribadi.
Oleh karena jengkel dan muak melihat keadaan itu, beberapa orang pemuda
mengumpulkan dokumen-dokumen perjuangan pribadi untuk dibakar sebagai
bukti dari tekad tidak akan menggunakan partisipasi perjuangan masa lalu guna
mendapatkan berbagai keistimewaan dan fasilitas. Dan pembakaran ini
dilakukan dengan khidmat, pada suatu senja, di kaki tugu sederhana yang ada di
halaman depan Gedung Proklamasi.
Saya pernah mendapat kesempatan melihat-lihat keadaan rumah bersejarah ini
dari dalam. Tanpa saya minta, kesempatan ini ditawarkan oleh Bapak dan Ibu
Moenar S Hamidjojo yang saya kenal sejak remaja di Medan. Suami-istri
terpelajar ini adalah tokoh-tokoh pergerakan yang berkiprah di bidang
pendidikan, kepanduan, dan pembinaan semangat kebangsaan di kalangan
remaja. Di awal tahun 50-an ini, Pak Moenar rupanya ditarik oleh Pemerintah
Pusat ke Jawa dan sementara menunggu penempatannya di jajaran
pemerintahan daerah Jawa Tengah, dia dan istrinya diizinkan tinggal di Gedung
Proklamasi Pegangsaan Timur sekaligus menjaga keamanannya.
Saya kadang-kadang mampir menjenguk mereka di siang hari kalau ada kuliah
malam hari di Salemba. Mungkin karena melihat saya lelah sekali, pada suatu
hari yang cukup terik, mereka menawarkan saya istirahat sejenak di ruang
tengah. Tikar yang mereka berikan saya gelar di lantai. Sebelum tertidur saya
bayangkan kesibukan, ketegangan, kecemasan, dan harapan yang dialami oleh
orang-orang di rumah ini menjelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Kira-kira sebulan setelah saya dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan di tahun 1978, saya diundang untuk memberikan pidato dalam
rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, bertempat di
Gedung Pola yang dahulu dibangun Bung Karno di atas puing reruntuhan
Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Keengganan berpidato di
tempat itu saya katakan terus terang kepada panitia perayaan. Mereka jelaskan
bahwa yang diundang cukup banyak: tokoh-tokoh dari generasi pergerakan di
zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi fisik dan pemuda, mahasiswa,
pelajar, pramuka serta pimpinan dari berbagai organisasi sosial, termasuk tiga
orang mantan Menteri P dan K, dua di antaranya asal Aceh. Maka satu-satunya
tempat yang mampu menampung orang sebanyak itu dengan ongkos sewa yang
relatif murah adalah Gedung Pola yang berdiri di atas lahan Gedung Proklamasi
dahulu.
Sesudah berpidato, saya tidak segera pulang. Saya jalani perlahan-lahan
halaman gedung, di mana terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sambil
mencoba membayangkan semua yang telah terjadi di sini, termasuk apa-apa
yang pernah saya lakukan sendiri. Beberapa orang dari panitia penyelenggara
peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanpa diminta mengiringi saya berkeliling.
Salah seorang di antaranya memberanikan diri untuk menanyakan mengapa
saya dahulu sangat menyesali penghancuran Gedung Proklamasi. "Karena saya
pernah makan dan tidur di situ", jawab saya singkat.
*Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan mantan
Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S


Maruli Tobing

JANUARI 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu
kudeta merebak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap
di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk
menukarkan kupon pemerintah dengan minyak goreng, gula, beras, tekstil, dan
kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilainya. Di hampir segala pelosok
kota di Jawa, barisan pengemis menadahkan tangan, berharap orang lain
mengasihani. Di pesisir selatan Jawa Tengah dan Timur, kelaparan mirip hama,
merembet dari desa ke desa lainnya. Di Kabupaten Gunung Kidul, DIY,
misalnya, ribuan penduduk berbondong-bondong meninggalkan desa menuju
kota dengan berjalan kaki. Dalam eksodus dengan perut kosong itu, mereka
memakan daun-daunan dan apa saja yang dilihat sepanjang jalan. Sedang
rekannya yang tidak kuat menahan derita dan kemudian tewas, mayatnya
ditinggal begitu saja.
Inilah kondisi Republik Indonesia yang tercabik-cabik oleh pertikaian dan perang
saudara. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari dilalui tanpa konflik
terbuka. Mirip kapal bocor di tengah terjangan badai dahsyat, republik yang baru
belajar merangkak itu nyaris tenggelam. Bahkan, ketika babak-belur menghadapi
agresi bersenjata Belanda, pecah Peristiwa Madiun (1948). Setelah itu
gelombang badai perang saudara susul-menyusul menghantam republik.
Di Jawa Barat, SM Kartosuwirjo memproklamirkan DI/ TII, diikuti oleh Daud
Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Di Maluku, mereka
yang kecewa pada pemerintah pusat, bergabung dengan elemen-elemen eks
tentara kolonial, membentuk RMS (Republik Maluku Selatan). Belanda ikut pula
membantu persenjataan melalui Papua Barat.
Belum lagi usai pemberontakan DI/TII dihadapi, muncul PRRI dan Permesta di
Sumatera dan Sulawesi. Ketika gerakan pemberontak ini mulai dapat
dipatahkan, Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat, yang
kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai perhelatan besar ini, lahir pula konfrontasi
menentang pembentukan federasi Malaysia tahun 1963.
Semua ini menguras energi nasional. Pembangunan ekonomi terbengkalai.
Kehidupan di berbagai sektor morat-marit. Namun bagi angkatan darat, keadaan
ini membuka peluang untuk tampil sebagai garda republik. Mereka
mentransformasikan organisasinya menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Bung Karno tidak mampu mengimbangi permainan Angkatan Darat, yang
bergerak secara sistematis dengan roda organisasinya.
Bung Karno sendiri bukannya tidak menyadari keadaan yang membahayakan
itu. Namun, semangat revolusionernya yang tidak pernah pudar, yang
dirumuskannya sebagai "maju terus pantang mundur," mengharuskan bekerja
sama dengan Angkatan Darat. Tanpa dukungan angkatan bersenjata,
khususnya Angkatan Darat, semangat itu tidak akan terdengar gaungnya, karena
revolusi tidak dapat lepas dari konfrontasi dan sejenisnya. Sedang konfrontasi
membutuhkan angkatan perang.
Bagi Angkatan Darat di bawah Kolonel Nasution, inilah jembatan emas menuju
puncak kekuasaan. Transformasi itu mencapai puncaknya pada periode Orde
Baru. Atau seperti tulis Adam Schawarz dalam bukunya A Nation in Waiting,
Indonesia in 1990's, mereka yang tadinya berada di bawah pemerintahan sipil,
berbalik mendominasi sipil.
ANGKATAN Darat sendiri sesungguhnya penuh dengan bisul konflik. Namun,
dialihkan kepada sipil, hingga membuat citra sistem demokrasi parlementer
mengalami degradasi. Jatuh-bangunnya kabinet menjadi bulan-bulanan. Bahkan
dianggap sebagai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Elite politik
diidentikkan dengan pengacau. Sedang jajaran pejabat sipil dituding korup dan
tidak becus mengurus pemerintah.
Padahal nyaris tidak satu pun konflik yang membahayakan bangsa absen dari
keterlibatan para perwira Angkatan Darat. Singkatnya, konflik bersenjata yang
terjadi selama ini sebagai solusi terhadap masalah-masalah politik, baik itu
Peristiwa Madiun, DI/TII, RMS, PRRI-Permesta, hingga G30S, tidak lepas dari
konflik dalam tubuh angkatan perang Indonesia, khususnya Angkatan Darat.
Bahkan gelombang perang saudara yang melanda Aceh dan Maluku, juga tidak
luput dari intervensi sejumlah anggota militer.
Sebagai institusi, tindakan paling berani dilakukan pada 17 Oktober 1952. KSAD
Kolonel AH Nasution marah setelah konsep reorganisasi dan rasionalisasi
Angkatan Darat tidak didukung pemerintah. Selain mengerahkan 30.000 orang
menuntut dibubarkannya kabinet, di depan Istana, perwira yang loyal kepada
Nasution juga mengarahkan meriam ke Istana.
Percobaan kudeta ini gagal, karena Bung Karno tidak mempan digertak.
Sebaliknya, Nasution malah dipecat. Waktu itu pemerintah terpaksa menolak
gagasan Nasution akibat munculnya protes dari para perwira eks Pembela
Tanah Air (Peta). Dalam hal ini Nasution bukannya melakukan konsolidasi
menyelesaikan masalah internal, sebaliknya justru mencari sasaran ke Istana.
Sejak peristiwa itu, Angkatan Darat makin percaya diri. Apalagi setelah berhasil
mendesak mundur Kabinet PM Ali Sastroamidjojo tahun 1955. Tanggal 15
November 1956, Kolonel Zukifli Lubis malah mencoba melakukan kudeta dengan
menduduki Jakarta. Perwira yang loyal kepada Nasution itu berhasil
menghempang masuknya beberapa batalyon pasukan Siliwangi ke Jakarta.
Setahun kemudian, 30 November 1957, Saleh Ibrahim, ajudan Kolonel Lubis,
mencoba membunuh Bung Karno dalam apa yang kemudian dikenal sebagai
Peristiwa Cikini.
Semua peristiwa itu bersumber pada konflik intern Angkatan Darat. Bung Karno
mendukung penunjukan kembali Nasution sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia
menaruh harapan besar atas rencana reorganisasi dan rasionalisasi Nasution
yang pernah ditolaknya. Tapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Konflik
internal Angkatan Darat makin memanas. Para panglima militer di daerah malah
mengambil alih pemerintahan dari tangan sipil, dan memberlakukan darurat
perang. Puncaknya adalah PRRI-Permesta, 1958.
Disadari atau tidak, harapan Bung Karno untuk "mengandangkan" Angkatan
Darat dan menjauhinya dari kudeta militer, mirip suatu kemustahilan. Angkatan
darat telanjur ikut dalam proses politik. Lantas jika muncul ambisinya untuk
memperoleh kekuasaan politik lebih besar, jelas sulit untuk dihempang.
Persoalannya, seperti kata Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics
in Indonesia, Angkatan Darat lahir dari situasi perjuangan politik kemerdekaan.
Embrionya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh masing-masing partai
maupun organisasi politik. Faksi-faksi menjadi lumrah. Seperti halnya dalam
politik, Angkatan Darat juga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan bisnis.
Jika pendapat ini diformulasikan dalam suatu proposisi, maka sebaliknya adalah
benar bahwa penolakan Angkatan Darat terhadap demokrasi parlemen tidak
dapat dilepaskan dari substansi sistem parlementer, yang mustahil memberi
tempat bagi hegemoni militer. Dengan konsep one men one vote saja, Angkatan
Darat tidak akan pernah di atas sipil. Pendapat yang hampir sama dikemukakan
Adam Schwarz.
BUNG Karno yang sejak awal tidak menyukai sistem demokrasi parlementer,
gusar setelah kabinet baru hasil Pemilu 1955, mengabaikan perintahnya agar
PKI disertakan. PKI secara mengejutkan berhasil menempati urutan ke-4 dalam
jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955. Namun, Mohammad Hatta yang anti-
PKI dan memandang sistem parlementer masih yang terbaik, merespons Bung
Karno dengan mengundurkan diri sebagai wapres pada tanggal 1 Desember
1956.
Mundurnya Hatta, meningkatnya perlawanan di daerah, dan pertarungan antar-
elite politik di Jakarta, tidak membuat Bung Karno mundur. Tanggal 21 Februari
1957, secara resmi diumumkan Demokrasi Terpimpin berikut kabinet Nasakom
(koalisi PNI, Masyumi, NU, dan PKI), didampingi Dewan Nasional sebagai
penasihat. Dewan ini beranggotakan wakil-wakil golongan fungsional yang ada
dalam masyarakat.
Ada beberapa argumentasi Bung Karno menyertakan PKI. Antara lain agar partai
ini ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Selama ini kabinet hanya
jadi bulan-bulanan PKI. Tapi di balik itu sesungguhnya Bung Karno ingin
menciptakan kekuatan tandingan bagi Angkatan Darat untuk mencegah kudeta
maupun konsentrasi kekuasaan yang berlebilihan.
Bagi Bung Karno, PKI yang merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia
dalam jumlah anggota, dapat pula dipakai mencegah subversi imperialis AS dan
sekutu-sekutunya melalui solidaritas negara-negara sosialis.
Sebaliknya PKI merasa aman di bawah payung Bung Karno. Sebagai balas budi,
PKI merapatkan barisan mendukung kepemimpinan Bung Karno secara
konsekuen, dan mengganyang mereka yang menentang Pemimpin Besar
Revolusi. Kedekatan Bung Karno dengan PKI menimbulkan kejengkelan di
kalangan Angkatan Darat dan juga parpol, khususnya Masyumi dan PKI. Tahun
1960 Nasution memerintahkan penangkapan Aidit dan anggota politbiro PKI
lainnya. Namun, segera dibebaskan setelah intervensi Bung Karno.
Dalam konteks Perang Dingin yang sedang mencapai titik didih ketika itu, sikap
politik Bung Karno dipandang Presiden Eisenhower sebagai membahayakan
kepentingan AS di Asia Tenggara. Terlebih lagi setelah PKI mendapat suara
yang begitu besar dalam pemilu. Sedang sukses Konferensi Asia Afrika di
Bandung adalah bukti Soekarno condong ke kiri. Maka jika awal 1950 Gedung
Putih masih hati-hati menyikapi Bung Karno, setelah pertengahan 1950-an
pendapatnya bulat, Bung Karno berbahaya. CIA, Dinas Intelijen AS, mulai
menyusun rencana rahasia.
CIA sendiri sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya bergerak di
Indonesia. Tapi operasinya terbatas pada memberi dukungan dan bantuan
keuangan bagi kelompok anti-PKI. Salah satu parpol yang anti-PKI dan anti-
Bung Karno, pernah mendapat bantuan satu juta dollar AS. Dana yang ditransfer
melalui Hongkong itu untuk membiayai kampanye Pemilu 1955.
Peristiwa Cikini yang hampir menewaskan Bung Karno adalah indikasi
perubahan sikap AS. Bung Karno sendiri menuding CIA dalangnya, walaupun
sulit membuktikannya. Tapi tahun 1975 komisi yang diprakarsai Senator Frank
Chuch mengusut kegiatan CIA, menemukan indikasinya. Di depan komisi ini,
Richard M. Bissel Jr, mantan wakil direktur CIA pada masa pemerintahan
Eisenhower, mengaku dinas intelijen pernah mempertimbangkan membunuh
Bung Karno. Namun perencanaannya terbatas pada mengumpulkan aset yang
memungkinkan untuk melaksanakannya.
Bagi Eisenhower, tidak ada jalan lain kecuali menetralisasi (baca: meniadakan)
Bung Karno, entah dengan cara apa pun. Sebab, jika Indonesia jatuh ke tangan
komunis, Malaysia hanya tinggal menunggu waktu saja, kemudian Thailand dan
negara-negara tetangganya.
Kebijakan garis keras ini diteruskan oleh Presiden Kennedy dan Lyndon B
Johnson. Tapi apa sesungguhnya yang membuat AS habis-habisan intervensi di
wilayah RI tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi
dan geopolitiknya, karena kekayaan sumber alam Indonesia disebut menempati
urutan kelima di dunia. Jepang, misalnya, sangat bergantung pada pasokan
bahan bakar minyak dari Indoensia.
Selain kepentingan ekonomi, posisi Indonesia yang strategis di jalur pelayaran
internasional menjadi penting bagi geopolitik AS. "Vietnam dan negara
tetangganya boleh jatuh ke tangan komunis, tapi kita tidak akan melepaskan
Indonesia dengan taruhan apa pun," ujar Eisenhower dalam pidato awal 1950.
Tahun 1962, satu memorandum Presiden Kennedy dengan PM Inggris
Macmillan, berisi kesepakatan untuk "melikuidasi" (baca: membunuh) Presiden
Soekarno, jika ada peluang untuk itu. Tahun 1966, setahun setelah
meninggalkan posnya sebagai duta besar AS di Jakarta, Howard Jones
mengatakan, sedikitnya ada tiga kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno setelah Peristiwa Cikini. Semuanya hampir berhasil.
Dalam bukunya Killing Hope, William Blumn malah menyebut, CIA dengan
bantuan agen FBI di Los Angeles, membuat film cabul dengan pemeran pria
mirip Bung Karno. Di situ dikisahkan, wanita kulit putih teman kencannya,
ternyata agen Soviet yang sedang melakukan pemerasan.
Mantan anggota CIA menambahkan, dinas intelijen AS pernah pula
menyebarkan berita bohong mengenai tindakan tidak senonoh Bung Karno
terhadap pramugari Soviet dalam suatu penerbangan. Semua ini, ujar Blumn,
dimaksud untuk mendiskreditkan Bung Karno. Namun tidak berhasil, karena
rakyat Indonesia masih mencintai pemimpinnya itu.
Mantan penerbang CIA, Poultry Fletcher yang menulis buku The Secret War,
menyebut begitu ambisiusnya Gedung Putih menggusur Bung Karno, hingga
operasi rahasia membantu PRRI-Permesta merupakan terbesar dalam sejarah
CIA. Mantan kolonel penerbang AU-AS ini mengatakan, CIA telah menyiapkan
peralatan militer bagi 40.000 personel PRRI-Permesta. CIA juga
mengoperasikan 15 pesawat pembom B-26 yang dikemudikan penerbang
Taiwan, Korsel, Filipina, dan AS.
Akan tetapi sejarawan terkemuka George McT Kahin (Subversion as Foreign
Policy) mengatakan, AS memasok sebagian besar persenjataan bagi 8.000
personel pemberontak di Sumatera. AS juga melibatkan elemen-elemen Armada
VII dan kapal-kapal selam untuk memasok senjata.
Setelah PRRI-Permesta mulai surut, Gedung Putih menerapkan politik bermuka
dua. Selain membantu militer dan perguruan tinggi Indonesia, CIA masih
mensuplai senjata bagi sisa-sisa Permesta dan DI/TII. Bantuan program
pelatihan militer AS kepada TNI meningkat drastis antara tahun 1960-1965.
David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia
mengatakan, pada periode itu AS mengirim Guy Pauker untuk menginfiltrasi
Angkatan Darat melalui pembenahan Sekolah Komando Angkatan Darat
(Seskoad). Pauker juga membangun jaringan dengan intelektual PSI dan
Masyumi, yang sejak lama dikenal CIA dan disebut sebagai patriot. Pauker
mengenalkan konsep bakti sosial, yang tidak lain adalah bagian dari teror dan
perang urat syaraf, dalam kurikulum Seskoad. Istilah "sapu bersih" pertama kali
digunakan oleh Pauker. Menurut Dr Peter Dale Scott (How the US and the
Overthrow of Sukarno, 1965-1967), Pauker dan sahabatnya, Mayjen Suwarto,
merancang struktur kurikulum yang menyiapkan Angkatan Darat mengambil alih
bisnis dan pemerintahan.
Selain pembenahan Seskoad, CIA membantu program pendidikan di AS bagi
perwira Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, sedikitnya dua pertiga perwira
menengah dan tinggi Angkatan Darat pernah dididik di AS.
DENGAN diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, porsi kekuasaan Angkatan
Darat makin besar. Sebagai golongan fungsional, kini mereka berhak
mempunyai wakil di pemerintahan. Kekuasaannya makin tidak tertandingi lagi,
karena sebelum mengembalikan mandatnya PM Ali Sastroamidjojo memenuhi
permintaan Nasution bagi keadaan darurat perang (SOB) secara nasional.
Nasution dengan cerdik segera memerintahkan para perwiranya mengambil alih
perusahaan-perusahaan eks Belanda dari tangan buruh. Melalui perusahaan
yang disita Pemerintah RI ini, Angkatan Darat berkembang menjadi kekuatan
ekonomi. Kampanye merebut Irian Jaya, yang berubah menjadi konfrontasi
meletihkan, juga atas prakarsa Nasution dengan membentuk Front Nasional.
Nasution secara ajaib berhasil mengangkat Angkatan Darat menjadi kekuatan
sosial, politik, dan ekonomi, hanya dalam tempo dua tahun. Sedang Bung Karno
yang gembira diakhirinya sistem parlementer, tidak keberatan atas SOB. Ia
mengira SOB akan menunjang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara
konsekuen. Padahal kedua hal ini merupakan jembatan emas bagi Angkatan
Darat menuju puncak kekuasaan.
Demikian pula ketika November 1958 ia menawarkan konsep Jalan Tengah
(dwifungsi) dan kembali ke UUD 1945, yang disebutnya untuk mencegah kudeta
militer. Bung Karno menyambutnya gembira melalui Dekrit 5 Juli 1959, kembali
ke UUD 1945, serta pembubaran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955.
Sejak itu hampir sepertiga anggota kabinet diisi kalangan militer. Demikian pula
pemerintahan di daerah. Tahun 1964 misalnya, dari 24 jabatan gubernur 12
dipegang oleh perwira Angkatan Darat.
Angkatan Darat de facto sudah memegang kendali kekuasaan RI. Itu sebabnya
ketika Bung Karno menyerukan konfrontasi terhadap Malaysia, 1963, reaksi
Angkatan Darat agak dingin. Mereka tidak lagi melihat ada manfaatnya.
Bung Karno amat terpukul setelah kemudian mendapat laporan dari TNI AU dan
AL pada tahun 1964. Kedua angkatan ini mengalami kerugian yang besar dalam
konfrontasi, akibat Angkatan Darat belum juga melakukan ofensif, sementara
formasi dari udara dan laut sudah dibuka. Akhirnya AU dan AL mengandalkan
tenaga sukarelawan.
Wakil Panglima Siaga Mayjen Soeharto, yang juga Pangkostrad, ternyata bukan
saja enggan bergerak, tapi malah melakukan kontak-kontak rahasia dengan
Malaysia dan Singapura untuk menghindari konfrontasi. Melalui kurirnya, Kolonel
Ali Moertopo, berulang kali diadakan pertemuan dengan Norman Breddway,
pakar perang urat syaraf MI-6, dinas intelijen Inggris, dan juga penasihat politik
panglima militer Inggris di Singapura.
TANGGAL 21 Januari 1965 pukul 21.48, satu telegram dari Kedubes AS di
Jakarta masuk ke Deplu di Washington. Isinya informasi pertemuan pejabat teras
Angkatan Darat pada hari itu. Mengutip seorang perwira tinggi yang hadir
disebutkan, ada rencana untuk mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno
berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan, tergantung pada keadaan
konflik yang sedang dibangun beberapa pekan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari
kemudian Angkatan Darat akan menyapu PKI.
Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B Johnson Lybrary dengan nomor
kontrol 16687 itu menyebut, berberapa perwira yang hadir malah menghendaki
agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Maret tahun itu juga Dubes Howard Jones, sebagai mana dikemukakan George
Kahin, mengatakan kepada pejabat senior Pemerintah AS, "dari sudut pandang
kami tentu saja percobaan kudeta yang ternyata gagal, merupakan
perkembangan yang paling efektif untuk membelokkan arah politik Indonesia".
(Dan Angkatan Darat mendapat kebebasan untuk menghancurkan PKI). Tahun
sebelumnya, Dubes Jones pernah membujuk Jenderal Nasution agar Angkatan
Darat mengambil tindakan tegas terhadap PKI.
Dalam analisa intelijen AS, merontokkan PKI akan membuat Bung Karno
lumpuh. Atau meminjam pendapat Dr John W. Tate (From the Sukarno to the
Soeharto Regimes), PKI merupakan pendukung utama Bung Karno. Tanpa PKI,
Presiden Soekarno akan berhadapan dengan Angkatan Darat dan kelompok
Islam yang menudingnya sekuler.
Bulan Agustus 1965 tiba-tiba muncul isu merosotnya kondisi kesehatan Presiden
Tidak jelas dari mana sumber isu ini, walaupun disebut-sebut nama tim dokter
RRC. Namun dalam kabel perwakilan CIA di Jakarta dengan nomor TDCS-314/
11665-65, salah satu bagian mengutip informasi dari salah satu pembantu dekat
Soekarno mengenai penyakit ginjal presiden yang sangat kronis. "Diperkirakan
Soekarno bisa saja meninggal mendadak dalam waktu dekat".
Dua pekan kemudian muncul pamflet gelap yang mengungkap detail rapat-rapat
CC-PKI, membahas kemungkinan mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno
meninggal secara mendadak. Isi pamflet itu menimbulkan kecemasan di
kalangan perwira tinggi Angkatan Darat, karena memuat daftar nama-nama
jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI juga mendapat pamflet gelap yang
berisi rencana detail Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan kemudian akan
mengeksekusi pimpinan dan kader-kader PKI.
Dua minggu sebelum meletusnya G30S, Dubes AS yang baru Marshall Green,
meminta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Demikian pula
MI-6, yang terus-menerus menyiarkan berita menyesatkan. Pada waktu hampir
bersamaan, muncul berita di salah satu surat kabar di Jakarta mengenai kapal
bermuatan senjata kiriman RRC untuk PKI, sedang berlayar dari Hongkong
menuju Jakarta. Menurut Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), surat kabar Malaysia itu sendiri mengutip sebuah surat kabar di Bangkok.
Sedang Bangkok mengutip sebuah kantor berita yang memperoleh informasi dari
sumber di Hongkong.
Mantan veteran CIA itu menyebut, inilah rekayasa disinformasi. Bahkan
kemudian dibuat dokumen-dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan
aslinya, seperti halnya juga dokumen (palsu) PKI berikut daftar nama jenderal
yang akan dibunuh. Dengan cara ini CIA berhasil menimbulkan ketegangan dan
saling curiga yang gawat. Sebuah pemantik kecil akan menyulutnya menjadi
banjir darah.
Puncak dari semua ini adalah ketika sekelompok perwira dipimpin Letkol Untung,
mantan bawahan Soeharto di Kodam Diponegoro, mencoba anggota Dewan
Jenderal kepada Bung Karno. Namun entah bagaimana kemudian, atas perintah
Syam (Kamaruzaman), para jenderal itu dieksekusi.
Syam-yang disebut-sebut tokoh misterius-menurut berbagai peneliti asing,
pernah menjadi kader PSI dan dekat dengan Soeharto ketika di Semarang.
Syam juga disebut-sebut sebagai intel Kodam Jaya, yang berhasil disusupkan
dalam tubuh PKI. Dalam pengakuannya kepada aparat yang memeriksa, ia
dipercaya DN Aidit membentuk Biro Khusus untuk menginfiltrasi TNI. Anehnya,
kecuali Aidit, tidak satu pun jajaran anggota Politbiro maupun CC PKI yang
mengetahui ihwal Biro Khusus. Suatu hal yang sesungguhnya mustahil dalam
organisasi partai yang berideologi marxisme. Aidit sendiri dieksekusi Angkatan
Darat, sehari setelah ditangkap di tempat persembunyiannya di Solo. Eksekusi
ini membuat tertutupnya kemungkinan membuktikan ada tidaknya Biro Khusus
itu.DOKTOR Peter Dale Scott melihat banyak keanehan dalam peristiwa ini.
Contohnya saja, dua pertiga dari kekuatan satu brigade pasukan para komando,
ditambah satu kompi dan satu peleton pasukan lainnya, yang merupakan
kekuatan keseluruhan G30S, sehari sebelumnya diinspeksi Mayjen Soeharto.
Sedangkan pasukan elite dari Batalyon 454 dan 530 Banteng Raiders datang ke
Jakarta atas radiogram Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk parade HUT ABRI 5
Oktober. Kedua batalyon pendukung utama G30S ini sejak tahun 1962 rutin
memperoleh bantuan pelatihan AS.
Dalam siaran RRI tanggal 1 Oktober, tambah Peter Scott, Letkol Untung
mengatakan, Presiden Soekarno berada dalam keadaan aman di bawah
perlindungan Dewan Revolusi. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bung
Karno berada di tempat lain. Dalam susunan Dewan Revolusi yang berkuasa,
Untung sama sekali tidak menyebut nama Bung Karno.
Melalui corong RRI tersebut Untung mengatakan adanya rencana jahat Dewan
Jenderal untuk menggulingkan Bung Karno. Pasukan didatangkan dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Padahal pasukan ini disiapkan untuk parade HUT ABRI
5 Oktober. Untung sendiri ikut dalam perencanaan parade tersebut. Anehnya
lagi, di seberang stasiun RRI yang dikuasai gerakan ini terletak markas utama
Kostrad, yang sama sekali tidak disentuh.
Sama seperti Biro Khusus, peran Untung yang sesungguhnya sulit diketahui. Ia
mengalami nasib yang sama seperti Aidit. Dieksekusi ketika tertangkap dalam
pelarian ke Jawa Tengah.
Situasi Jakarta sendiri tidak menentu setelah meletusnya G30S. Namun, Norman
Reedway, pakar perang urat syaraf MI-6 yang berpangkalan di Singapura,
mengaku bekerja sama dengan CIA menyebarkan disinformasi keterlibatan PKI.
Saluran radio Indonesia sempat ditutup mereka dan dimunculkan berita dari BBC
yang seolah-olah mendapat laporan dari Hongkong, mengenai keterlibatan RRC
membantu PKI dalam gerakan tersebut.
Presiden Johnson melalui radiogram tanggal 9 Oktober 1965 memberi petunjuk
ke Kedubes AS di Jakarta. Isinya antara lain berbunyi, inilah saat kemenangan
yang paling tepat bagi pimpinan Angkatan Darat untuk bertindak, karena posisi
mereka sangat menentukan atas kekuasaan Soekarno. Jika momentum ini tidak
dimanfaatkan, bukan mustahil akan mendapat pembalasan yang lebih keras dari
oposisi. Tapi jika Angkatan Darat memenangkannya, Soekarno tidak akan
pernah kembali berkuasa.
Itu pula sebabnya ketika utusan Mayjen Soeharto meminta bantuan melalui
Kedubes AS di Jakarta untuk mempersenjatai milisi Muslim menghancurkan PKI
di Jateng dan Jatim, Gedung Putih segera memenuhinya dengan bersembunyi di
balik kiriman bantuan obat-obatan. Bahkan, seperti ungkap wartawati Kathy
Cadane, Pemerintah AS melalui Kedubesnya di Jakarta memberi daftar nama
5.000 kader PKI kepada Mayjen Soeharto melalui Adam Malik.
Kolonel Latief-yang dalam pledoinya menyebut amat sangat dekat dengan
mantan komandannya, Mayjen Soeharto-mengaku telah dua kali menyampaikan
informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak
memberi reaksi apa pun. Latief yang disebut-sebut pada masa itu sebagai orang
kedua setelah Letkol Untung, berkesimpulan dalam pledoinya, Dewan Jenderal
itu terbukti memang ada dan berhasil menggulingkan Bung Karno.
Tapi apa pun bukti-bukti sejarah yang kelak diperoleh dalam peristiwa ini, semua
tidak akan menolong 500.000-1 juta jiwa korban tewas dibunuh dalam tragedi
berdarah itu hanya karena diduga kader, anggota atau simpatisan PKI.
Pengungkapan kasus ini kembali tidak akan bisa pula memulihkan penderitaan
700.000 orang rakyat Indonesia, berikut keluarganya, yang ditangkap dan disiksa
selama bertahun-tahun atas tuduhan yang sama.
Laporan CIA tahun 1967 menyebut, pembantaian setelah peristiwa G30S
sebagai salah satu peristiwa yang sangat mengerikan dalam abad kedua puluh.
Tidak kalah dengan pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman.
Inilah yang disebut sebagai tumbal tujuh Pahlawan Revolusi. Banyak elite politik
kita yang hingga saat ini bangga atas pembantaian rakyat Indonesia itu.
Kekejaman mereka atas kematian tujuh Pahlawan Revolusi dianggap pantas
dibayar dengan nyawa sedemikian banyak.
Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi pro Jenderal
Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada Januari
1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama pimpinan Angkatan Darat tersebut.
Ahmad Yani sendiri dikenal sebagai sangat loyal kepada Bung Karno.
Sedangkan tiga dari lima jenderal anti-Yani, termasuk Mayjen Soeharto, adalah
figur utama dalam menumpas G30S. "Tidak seorang pun di antara jenderal anti-
Bung Karno menjadi target Gestapu," tulis Peter Scott. Sedang yang dialami
Jenderal Nasution disebutnya sebagai salah sasaran. Pangkostrad, orang kedua
setelah KSAD, yang memegang komando pasukan, malah tidak masuk dalam
target G30S. Bahkan posisi pasukan pendukung utama G30S, berada di
lapangan Monas, persis berhadapan dengan Markas Mayjen Soeharto.
Peter Scott melihat peristiwa ini lebih merupakan konflik intern Angkatan Darat,
yang kemudian digiring menghancurkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Tapi
peneliti lainnya ada yang melihat peristiwa ini memang melibatkan unsur PKI.
Ada beragam versi. Tapi di Indonesia sendiri Angkatan Darat di bawah Jenderal
Soeharto berhasil membentuk opini publik ke arah penghakiman Bung Karno,
sebagai terlibat dalam G30S.
Bung Karno dipaksa mendelegasikan kekuasaan melalui Surat Perintah 11
Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto. Seperti halnya misteri G30S,
Supersemar juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Apakah benar ada,
apakah benar sudah ditandatangani Soekarno. Naskah aslinya sendiri "lenyap".
Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolir Bung
Karno. Proklamator ini, seperti dikemukakan Adam Schwarz dan John Tate,
kembali dipaksa menyerahkan kedudukannya, setelah diancam akan diseret ke
pengadilan. Bung Karno akhirnya lengser dan dikenai status tahanan rumah. Ia
diinterogasi secara maraton oleh perwira militer. Proklamator dan Bapak Bangsa
ini menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri.
Lantas apakah masuk akal Proklamator ini terlibat dalam pembunuhan para
jenderal yang loyal kepadanya, dan tidak disukai oleh Soeharto yang anti-Bung
Karno?
* Maruli Tobing Wartawan Kompas.

Soekarno di Masa Krisis PDRI


Mestika Zed

BULAN-bulan terakhir tahun 1948 adalah saat terberat dalam perjuangan


kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan saja karena Republik yang masih usia
balita itu harus menghadapi musuh di depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari
belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan
Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September
1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada
19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta,
diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap. Sejak itu Belanda
menganggap Republik sudah tamat riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan
militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke
tangan Belanda dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan
sejumlah menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar
seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga oleh
Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya
dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan
Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis
yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam
sumber "menguasakan") kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan
kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-
government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat
"dikawatkan" karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda.
Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang
Republieken.
Kedua, sewaktu mengetahui (via radio) bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin
Prawiranegara (waktu itu Menteri Kemakmuran) yang sedang bertugas di
Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan
pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif "spontan",
Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan
sebagai "pemerintah alternatif" bagi Republik yang tengah menghadapi "koma".
Sebagaimana terbukti kemudian, selama delapan bulan keberadaannya
(Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan Sjafruddin di
Sumatera mampu memainkan peran penting sebagai pusat gravitasi baru dalam
mempersatukan kembali kekuatan Republik yang bercerai-berai di Jawa dan
Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima Soedirman sendiri, yang kecewa
dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan
kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan dengan bergerilya di
hutan-hutan belantara dalam keadaan sakit parah sekalipun.
Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke dunia internasional membuat
kemenangan militer Belanda semakin tak berarti, suatu Pyrrhic victory, suatu
kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan sia-sia
karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik kembali. Hanya dalam tempo
tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal 22-23 Desember, Dewan
Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua negara, kecuali
Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda benar-
benar dibuat sebagai "pesakitan" yang kehilangan muka di panggung pengadilan
dunia.
Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan Konferensi Asia di New
Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut pembebasan segera para
pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga pengembalian ibu kota Yogya
dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang demokratis tanpa campur
tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya negara bekas
penjajah itu tidak bisa lagi mengelak dari campur tangan internasional. Sejak itu,
kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda lewat manipulasi informasi
untuk mempengaruhi opini dunia semakin kelihatan belangnya sehingga
membuat posisinya semakin terpojok, baik di Indonesia maupun di mata dunia.
Tulisan ini ingin mendiskusikan sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa
PDRI, yang selama ini terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh sejumlah penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah
bangsa umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka
perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang
terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis waktu
itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak
disentuh selama ini?
Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis
Telah berpuluh-puluh tahun "Bapak Bangsa" (the founding fathers)-jika yang
dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-
berjuang mendirikan sebuah nation-state, negara bangsa yang akhirnya
diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu: Republik Indonesia atau sering disingkat
dengan Republik saja. Dalam usianya yang masih bayi itu, Republik yang
dimerdekakan dengan revolusi itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang
bertubi-tubi. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak
sesudahnya, kecuali hanya pada masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota
negara jatuh ke tangan musuh, Presiden dan Wakil Presidennya beserta
sejumlah menteri ditangkap Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya,
kecuali pada masa ini, simpati dan dukungan dunia internasional terhadap
Indonesia demikian intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada
akhirnya haruslah ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri.
Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator
dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan
gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi "kata-putus"
di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi,
misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno
bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok.
Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan
Ikada-satu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh
Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah
dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang
dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya
ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan senjata modern,
memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak
korban 'mati-konyol' karena pasukan bambu runcing yang siap "berjibaku" untuk
Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa?
Akan tetapi, di masa kritis pada penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno
sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar dari keadaan gawat itu?
Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret hitam putih. Seperti
dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah "pribadi yang kompleks dan
tokoh penuh aneka warna". Namun, untuk satu hal, "Bung Karno adalah sebuah
gelora", tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya
(1991). Sebuah gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga
merupakan sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan.
Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi yang
persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu sehimpun
bintang yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut bercahaya.
Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan pidato-
pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa berbalik menjadi
kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah
yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu agresi Belanda kedua itu.
Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno sangat sibuk mengadakan
perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato politiknya yang gegap gempita,
guna mengangkat moral perjuangan yang semakin merosot karena ditusuk dari
muka dan belakang. Di depan ada Belanda, yang setelah Perjanjian Renville
(Januari 1948) terus-menerus menggembosi dukungan Republik dengan
mendirikan negara-negara federal versi Van Mook. Waktu itu hampir semua
wilayah Indonesia sudah berada di bawah pengaruh Belanda dengan berdirinya
negara-negara federal ciptaan Van Mook di sana, kecuali di tiga daerah:
Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat
tempat karena kesetiaan kepada Republik sudah merupakan harga mati yang
tak bisa ditawar-tawar.
Sementara tekanan politik federal Van Mook semakin gencar, terjadi pula
pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan September 1948. Pemberontakan
itu bukan hanya suatu pengkhianatan, melainkan juga "tusukan dari belakang",
yang memperlemah Republik di saat posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan
diperkirakan akan melakukan serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau
balau dan terombang-ambing "di antara dua karang" seperti dilukiskan Hatta
waktu itu Soekarno-Hatta adalah "dwitunggal" yang membuat kepastian dalam
ketidakpastian. Sebuah pesan radio dari Presiden Soekarno meminta ketegasan
kepada rakyat untuk memilih pemerintahan yang sah atau Muso.
Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan
yang menggugah. Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering
diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih
diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten
(menghimpun segala kekuatan). "Saya menyaksikan bagaimana pidatonya
mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di
kota", kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu
berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal
detak jantung rakyatnya dan "tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun
juga", tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).
Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering
dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam
pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah, "Jika Belanda ngotot
menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia
dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit
berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya." (Merdeka, 29 Mei
1948)
Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya
diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di
dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi dari kalangan militer,
terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya
bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa
yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir
menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu
memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di
atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan
sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
Akan tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya kepercayaan kepada obor,
sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di hari
itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia pun
senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib Republik
dan terhadap nyawanya. "Pada akhirnya saya hanya manusia biasa. Siapa yang
tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya perasaan mereka akan
membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang asing, saya berpikir:
sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke depan pleton
penembak", begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya
yang terkenal.
Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil Presiden dengan sejumlah anggota
kabinet ditawan Belanda, suasana kritis dan mencekam waktu itu tidak perlu
membuat kedua tokoh puncak Republik itu kehilangan akal sehat. Pada detik-
detik sebelum kejatuhan Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah
terakhir dari busurnya: mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang
menentukan perjalanan sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka
ditangkap dan tak lagi tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan
mereka.
Menurut keterangan Hatta di belakang hari, keputusan apakah pemerintah akan
tetap berada dalam kota atau ikut bergerilya bukan atas kemauan pribadi
Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet
berdasarkan pemungutan suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih
sikap pertama, artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer, terutama
Panglima Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan
untuk meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan prajurit TNI.
Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya
"ikut perang gerilya". Namun, karena tidak tersedia cukup pasukan pengawal
untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap resmi pemerintah. (Hatta,
1982: 541-2)
Hidup dalam pembuangan
Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda selepas pendudukan Yogya,
diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga orang pemimpin besar
Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir ditawan di Brastagi,
Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta,
dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes
Salim adalah yang paling tua, tetapi paling singkat masa penahanannya. Di
zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara, kecuali sebentar di zaman Jepang.
Karena penahanan itu dianggap kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan
dengan "permintaan maaf" dari pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga
dapat ditemukan dalam setiap zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga
dalam periode yang lebih belakangan.
Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama pernah mengalami hidup dalam
penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis,
tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan di Digul, Papua, kemudian
dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika dihitung ada sekitar 10 tahun
lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda. Sedang Soekarno juga
menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan Belanda. Mula-mula
masuk penjara berdasarkan keputusan "Landraad" Bandung tahun 1930,
kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu. Sewaktu
dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah
menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama 10 tahun.
Antara Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian
dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa kesamaan nasib dalam berurusan
dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10
tahun-keduanya adalah korban exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus
pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang
dianggap membahayakan rust en orde (keamanan dan ketertiban). Tentu saja
"membahayakan" menurut tafsiran yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan
"kezaliman", orang tak begitu keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan
tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat.
Sebab, korban exorbitante rechten tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan
ditahan dan juga tidak tahu tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun
tahu terasa sekali mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui
apa yang dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara
terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh
pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis
hukumannya.
Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir amat
mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga sejarah
bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya. Sjahrir ditahan
oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati pembebasan karena dalam masa
tahanan ia meninggal dunia di tempat pengobatannya di Zurich. Soekarno
ditawan oleh Soeharto dan sampai meninggalnya ia juga tak pernah mengalami
pembebasan. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno
hidup begitu dekat kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji
Agus Salim dalam satu kamar.
Sjahrir pendiam dan suka marah kalau ketenangannya merasa terusik,
sementara Soekarno adalah pribadi yang ceria suka "membunuh" waktunya
dengan menyanyi atau apa saja yang disukainya. Ketika mereka dibolehkan
pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan, Sjahrir minta dibawakan buku-
bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan kemeja "Arrow". Sekali waktu Bung
Karno pernah mengatakan, "saya tak keberatan menjadi tawanan Belanda
karena ada tujuh cermin di kamar saya...." Sjahrir dibuat jengkel dengan sikap-
sikap Bung Karno yang dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan
serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya.
Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno menyanyi di
kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir dirasakannya membuat
ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa Belanda): houd je mond (tutup
mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali
Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia
mengatakan, "Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia
menghardik saya seperti itu?"
Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem Drees datang ke Indonesia,
Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir bersedia
datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali lagi ke Prapat karena sudah
dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk memanfaatkannya sebagai
"perantara" dalam rencana perundingan baru, Roem-Roijen. Kejadian ini
membuat Bung Karno tambah marah. "Mengapa ia tidak kembali ke sini"
(Prapat). "Kalau begitu ia tidak setia," sambungnya lagi seperti diceritakannya
kepada Haji Agus Salim.
Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA
Salim. Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di
Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia
minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak mau
tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk menemani Bung
Karno di sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo.
Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok Manumbing di bawah pimpinan
Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah pimpinan Bung Karno.
Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai bulan April 1949, Sjahrir yang
sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat sebagai penasihat delegasi
perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir menolak karena
mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat keputusan itu. "Apa dia
itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang yang seharusnya
mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara", (Ketua PDRI di
Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno
setelah mendengar itu.
Pengalaman yang kurang menyenangkan selama dalam masa tahanan, dan
kekecewaan dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya pada saat memilih
ditawan Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan Yogya, agaknya
merupakan bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung Karno, dan
sekaligus penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah episode
PDRI. Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will,
sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam ingatan
kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy
Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam perundingan-perundingan
selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah sebagai Perdana Menteri yang
menjadi nakhoda Republik hingga pengakuan kedaulatan di pengujung 1949.
PDRI, ujian pertama integrasi bangsa
Pada detik-detik terakhir yang menegangkan sebelum pemimpin puncak
Republik ditawan Belanda, Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya
untuk diedarkan ke seluruh wilayah Republik. "Musuh mau mengepung
pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang
mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam pemerintahan.... Rakjat harus
berdjoang terus...." Memang, Republik tidak hanya punya Soekarno-Hatta, tetapi
juga sederetan nama besar lainnya. Salah seorang yang paling diremehkan
agaknya ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-
1950 sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi
intern di bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar. Sjafruddin
Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-
Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak
ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh
tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya
menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik.
Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi
kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam
serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang
dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang
membiayai semua keperluan Republik ketika "kembali ke Yogya". Sekitar 6 juta
gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik.
Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke tangannya menyimpulkan
bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau tak mau peduli bahwa
Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945 itu, telah tercerahkan
(enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal abad lalu. Ia bukanlah
sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana yang ada dalam
benak kaum kolonialis Belanda, melainkan sebuah "negara-bangsa" yang
modern yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Pembukaan UUD '45 dan
bangunan konstitusi itu sendiri, sesungguhnya adalah blue-print dari Republik
yang baru itu, dan keduanya disusun oleh para "bapak bangsa" dengan penuh
kesadaran dan kecerdasan sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika
pimpinan puncak Republik ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu
memerankan dirinya sebagai faktor integratif, yang menjadi pusat jaringan
perjuangan Republik via India ke dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX di ibu kota Yogya dan Jenderal Soedirman di medan gerilya.
Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya era PDRI, teori politik
klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika raja atau
pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya
tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat shock karena kemenangan militernya
hanya sebuah kemenangan yang sia-sia.
Sesungguhnya inilah periode di mana proses integrasi nasional menunjukkan
hasil, ketika panggung sejarah beralih dari kota ke desa-desa dan hutan-hutan,
ketika rakyat tidak lagi sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di
panggung sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau
bukan disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya
seakan-akan dilupakan?
Memang wacana sejarah bangsa kita, seperti dikatakan sejarawan Taufik
Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang ingin dilupakan dan yang ingin
diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang semena-mena terhadap sejarah
bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya ialah like and dislike yang
berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI seperti juga
biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan keduanya merupakan
wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya.
* Mestika Zed Sejarawan, lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, tinggal di
Padang.
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda
Valina Singka Subekti

MEMAHAMI manusia besar seperti Bung Karno tidaklah mudah. Setiap episode
perjalanan hidupnya merupakan proses menuju pematangan pribadi sebagai
seorang manusia biasa maupun sebagai pemimpin. Episode itu sangat panjang,
sejak ia dilahirkan sampai akhir hidupnya.Bila kita membaca berbagai tulisan
mengenai Soekarno, tampak benang merah yang memperlihatkan Soekarno
sebagai manusia multidimensi. Di satu sisi adalah manusia yang sangat rasional
ketika berhadapan dengan kepentingan bangsanya, tetapi di sisi lain ia bisa
menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan penjajah Belanda. Atau ia
bisa menjadi sangat sentimental dan perasa ketika berhadapan dengan
perempuan. Boleh dikatakan Soekarno adalah manusia yang rasional, sekaligus
perasa dan sentimental.
Seluruh perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi sifat personalitasnya itu. Salah
satu episode penting adalah masa awal abad ke-20, khususnya periode 1927
sampai ketika ia dibuang ke Ende, Flores. Sebagaimana para pemimpin
pergerakan kebangsaan lainnya, penjara atau pengasingan sudah merupakan
bagian yang inheren sebagai konsekuensi perjuangan. Soekarno pun menyadari
hal itu, dan secara mental sudah menyiapkan diri. Untuk membesarkan hatinya
ia suka mengulangi apa yang diucapkan pemimpin revolusi Perancis, Danton,
dalam perjalanan gerobak sampah sebelum menuju tiang gantungan, "Audace,
Danton, Toujours de l'audace", artinya, "Keberanian, Danton, Junjunglah Selalu
Keberanian"!.
Maka Soekarno tidak pernah berhenti berpidato dari satu tempat ke tempat
lainnya. Ia menggerakkan dan menggelorakan semangat rakyat untuk merebut
kembali kemerdekaan asasinya yang telah direbut dan dinjak-injak oleh
pemerintah kolonial Belanda. Katanya, "Hayolah kita bergabung menjadi satu
keluarga yang besar dengan satu tujuan yang besar, menggulingkan pemerintah
kolonial, melawannya, dan bangkit bersama-sama". Agitasi semacam ini
dilakukannya terus-menerus dalam setiap orasinya di depan rakyat.
Semua tahu, Soekarno adalah singa podium yang mempunyai kemampuan
menerapkan berbagai gaya bahasa orasi seperti retorika, personifikasi, dan
hiperbola. Ia mempersonifikasikan realitas dengan perumpamaan benda-benda
yang mampu mendatangkan efek 'menekan', dan pidatonya itu mampu
menggetarkan emosi rakyat. Inggit Ganarsih misalnya, menceritakan bagaimana
Soekarno membandingkan potensi ledakan kemarahan rakyat yang selalu
ditekan dan ditindas pemerintah kolonial Belanda dengan Gunung Kelud yang
ketika meledak mendatangkan suara gemuruh hebat. Kata Soekarno, "Manakala
perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara". Tidak heran rakyat
selalu berkerumun manakala mendengar Soekarno akan berpidato. Ia memang
pandai memainkan emosi rakyatnya.
***
PERIODE 1926 sampai dengan ketika Soekarno ditangkap pada tahun 1929
merupakan periode bergolaknya semangat perlawanan terhadap pemerintah
kolonial. Pada waktu itu PKI baru saja gagal dalam pemberontakan melawan
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1926, sehingga partai tersebut dilarang dan
tokohnya seperti Semaun dan Alimin dikucilkan. Maka PNI mulai berkembang
pesat, sementara Perhimpunan Indonesia di Belanda juga melakukan
propaganda gerakan nasionalis untuk disebarluaskan di Indonesia. Ada
semacam pertemuan kepentingan antara gerakan di Tanah air dengan yang di
negeri Belanda. Tokoh nasionalis mulai bermunculan seperti Soekarno, Sjahrir,
Hatta, Sartono, dan Sukiman, di samping sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh
pergerakan dari kalangan Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan Haji
Agus Salim.
Ketika agitasi Soekarno dan kawan-kawannya dari kalangan gerakan nasionalis
semakin mampu menciptakan gerakan massa yang sadar politik dan dianggap
membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda, maka pemerintah
kolonial mulai mengawasi segala gerak-gerik Soekarno dan kawan-kawannya.
Pengalaman pertamanya di penjara adalah ketika ia ditangkap bersama dengan
Gatot, Maskun, dan Supriadinata pada malam tanggal 29 Desember 1929. Ia
dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung, selama delapan bulan, sebelum pada
akhirnya menetap di Penjara Sukamiskin selama dua tahun. Di sini Soekarno
tidak hanya dipenjarakan, tetapi juga diasingkan, tidak boleh berkomunikasi
dengan orang luar maupun sesama tahanan. Soekarno mengatakan, hanya
cicaklah yang menjadi temannya.
Banceuy adalah penjara tingkat rendah yang didirikan abad ke-19. Keadaannya
kotor, bobrok, dan tua. Di sana ada dua macam sel, untuk tahanan politik dan
tahanan pepetek (rakyat jelata). Kalau yang pepetek tidur di atas lantai semen,
maka yang satu lagi tidur di atas velbed yang dialasi tikar rumput. Soekarno
menceritakan pada Cindy Adams betapa tertekan dirinya dalam penjara itu.
"Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali
menghadapi hal ini semua dengan
diam-diam jauh dalam kalbuku sebelum ini. Akan tetapi ketika pintu yang berat
itu tertutup rapat dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati".
Pengadilan politik mulai digelar pada tanggal 18 Agustus 1930 di pengadilan
Landraad, Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, Soekarno dijatuhi
hukuman empat tahun penjara. Soekarno naik banding, menyusun pledoi, dan
membacakan pidato pembelaannya yang sangat terkenal berjudul Indonesia
Menggugat. Pidatonya itu menjelma menjadi suatu dokumen politik historis
menentang kolonialisme dan imperialisme. Di situ Soekarno menampilkan diri
sebagai manusia 'penggerak', juga intelektual muda yang sedang berusaha
memahami persoalan bangsanya berhadapan dengan kolonialisme Belanda.
Boleh dikatakan isi pidato itu merupakan intisari hasil jelajah pikiran Soekarno
selama 15 tahun belakangan terhadap tulisan para pemikir besar dunia yang
menentang segala bentuk penindasan atau eksploitasi sesama manusia.
Sejak masih tinggal dengan keluarga HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Soekarno
sudah membaca tulisan pemikir-pemikir besar dunia. Ia membaca Gladstone dari
Britania serta Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh Inggris.
Ia gandrung pada karya-karya Karl Marx, Friederich Engels, termasuk Lenin dari
Rusia. Karya Karl Kautsky juga dibacanya. Ia pun sangat menyukai Jean
Jacques Rousseau, serta ahli pidato dari Perancis Aristide Briand dan Jean
Jaures. Ia juga sering menyamakan dirinya sebagai Danton atau Voltaire, karena
begitu kagumnya kepada dua orang itu.
Dan sebenarnya cita-cita dan dasar pemikiran politiknya sudah terbentuk pada
tahun 1920 itu, yakni sintesa antara tiga aliran besar yaitu nasionalisme,
marxisme dan Islamisme. Soekarno selalu mengatakan bahwa menyatukan
ketiga aliran itu merupakan keharusan dalam rangka menyatukan kekuatan
bangsa Indonesia menentang kolonialisme untuk mencapai pintu gerbang
kemerdekaan. Ketiga aliran itu bisa saling mengisi.
***
TESIS yang diajukannya dalam Indonesia Menggugat sebenarnya juga diilhami
oleh dasar-dasar pemikiran politiknya itu. Yang paling dominan adalah
analisisnya mengenai kejahatan ekonomi dan kejahatan kemanusiaan yang telah
dilakukan pemerintah kolonial selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Soekarno memaparkan data mengenai penderitaan rakyat Indonesia. Misalnya
dikatakan, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun rata-rata
161 gulden, sementara beban setahun rata-rata 22,50 gulden, sehingga
penghasilan bersih setahun adalah 138,50 gulden. Kalau dihitung, maka rata-
rata pengeluaran setiap bulan adalah 12 gulden dan pengeluaran per hari 0,40
gulden. Maka apabila dimakan untuk lima orang, setiap harinya adalah sebesar
0,08 gulden per orang. Tidak heran, kondisi rakyat hari ini makan, besok belum
tentu makan. Kondisi kesehatan sangat buruk, sekitar 20 persen angka
kematian, bahkan di kota-kota besar seperti di Pasuruan, Betawi, dan Makassar
bisa mencapai 30 sampai 40 persen kematian setiap tahunnya. Kalaupun bisa
bertahan hidup, badan mereka kurus kering dan sangat kekurangan gizi.
Kata Soekarno, "rakyat kami hidup dalam jajahan yang sengsara, imperialisme
modern telah menunjukkan kejahatannya".
Dengan penghasilan yang hanya sekian gulden per tahun, setiap marhaen harus
membayar pajak 10 persen, sementara bangsa Eropa pajak setinggi itu hanya
dikenakan pada mereka yang mempunyai penghasilan tidak kurang dari 8.000-
9.000 gulden per tahun. Bayangkan betapa kejamnya penghisapan yang
dilakukan pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia yang tidak berdaya itu.
Soekarno dianggap bersalah, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara,
kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia menerima perlakuan
relatif baik di sini. Walaupun diasingkan pada beberapa bulan pertama, namun
sesudahnya Inggit, istrinya, dibolehkan membesuk. Soekarno secara mental
lebih kuat dibandingkan ketika di Penjara Banceuy. Muncul kesadaran untuk
menerima keadaannya dan bahkan kemudian menganggap penjaranya itu
sebagai sekolah. Di Sukamiskin inilah Soekarno mulai mendalami agama Islam
secara intens dengan cara mempelajari isi Al Quran.
Pembelaan Soekarno Indonesia Menggugat ternyata memperoleh simpati tidak
hanya dari kalangan ahli hukum yang ada di negeri Belanda, tetapi juga mereka
yang terlibat dalam gerakan anti- imperialisme dan kolonialisme di Eropa Barat.
Banyak kritik ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang memberi
hukuman terlampau berat kepada Soekarno. Karena itu pada akhirnya hukuman
dikurangi menjadi hanya dua tahun. Ia dibebaskan oleh Gubernur Jenderal De
Graeff pada pagi hari tanggal 31 Desember 1931.
Baru beberapa bulan menghirup udara kebebasan, Soekarno ditangkap lagi
dengan tuduhan tetap menyebarkan agitasi melawan pemerintah kolonial.
Memang selepas dari penjara-seperti biasanya-mulai lagi bergerak memimpin
partai. Ia mengadakan pertemuan massa dan membakar semangat massa
dengan berbagai pidatonya. Seperti kita ketahui ketika Soekarno dipenjara, PNI-
partai yang didirikannya-pecah dan gerakan nasionalis menurun kegiatannya.
Sebagai gantinya berdiri PNI Baru dan Partindo. Soekarno kemudian bergiat
dalam Partindo.
***
UNTUK kedua kalinya Soekarno masuk penjara. Waktu itu usianya 32 tahun.
Kali ini mereka mengurung Soekarno dalam sebuah sel khusus supaya tidak
bisa bertemu dengan orang lain. Pemerintah kolonial Belanda menyadari,
kekuatan Soekarno terletak pada komunikasinya dengan rakyat, karena itu
hubungannya dengan rakyat harus diputuskan. Kalau pada waktu masuk penjara
yang pertama dulu masih ada kesenangan bisa berkomunikasi dengan tiga
kawannya yang lain yang sama-sama ditahan, maka di sini Soekarno benar-
benar dikucilkan. Dan seperti yang diakui oleh Soekarno, keadaan itu telah
membunuh seluruh kekuatannya. Rakyat atau massa adalah sumber kekuatan
Soekarno. Manakala sumber kekuatan itu ditutup, maka habislah semangatnya.
Maka seperti halilintar di siang bolong, semua orang terkejut ketika mendengar
Soekarno telah menulis surat 'meminta ampun' pada pemerintah jajahan. Kabar
buruk tersebut cepat tersebar di antara kaum pergerakan dan menjadi bahan
pembicaraan. Termasuk Inggit sendiri, merasa sangat tidak enak mendengar
kabar tak sedap itu. Yang menjadi pertanyaan adalah darimana mereka
memperoleh kabar tersebut?
Ternyata berdasarkan tulisan Ingleson, ada laporan pemerintah kolonial pada
akhir bulan Oktober yang diperkuat oleh pengumuman pegurus Partindo, bahwa
Soekarno telah mengundurkan diri dari partai, menyesali kegiatannya di masa
lalu dan menawarkan kerja sama dengan pemerintah di masa mendatang.
Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apakah memang benar Soekarno telah
meminta ampun kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda?
Sebenarnya tidak banyak orang yang mengetahui mengenai soal permintaan
ampun Soekarno itu. Soal ini memang tidak banyak ditulis atau dikupas buku-
buku yang terbit di Indonesia. Sampai ketika tahun 1979, John Ingleson, seorang
mahasiswa pascasarjana pada Jurusan Sejarah Universitas Monash, Australia,
menulis buku yang berjudul Road to Exile: The Indonesia Movement, 1927-1934,
diterbitkan oleh Asian Studies Association of Australia, Southeast Asian
Publication Series. Buku yang berasal dari disertasi itu ditulis berdasarkan
penelitian perpustakaan arsip dokumen pemerintah Hindia Belanda di
Kementerian Dalam Negeri Belanda.
Bukunya itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983 dengan judul Jalan ke Pengasingan:
Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 itu tentu saja
menggemparkan. Buku itu kontan menimbulkan perdebatan seputar kebenaran
cerita itu. Yang menarik adalah kolumnis kawakan Rosihan Anwar termasuk
yang percaya dengan surat-surat Soekarno seperti yang terdapat dalam tulisan
Ingleson. Padahal sebenarnya Ingleson sendiri dalam bukunya itu, selain berpikir
kemungkinan kebenaran dari surat-surat itu, juga tidak mengabaikan
kemungkinan surat itu sebagai surat-surat palsu.
Rosihan Anwar dalam kolomnya berjudul Perbedaan Analisa Politik antara
Sukarno dengan Hatta di Kompas, 15 September 1980, menulis, "Sebuah
perbedaan lain ialah dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Hindia
Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno,
ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut, jika menghadapi
keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya".
Seterusnya Rosihan menulis, "Demikianlah dalam kurun waktu satu bulan, ketika
Sukarno berada dalam penjara Sukamiskin di Bandung, ia menulis empat pucuk
surat bertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933 kepada Jaksa
Agung Hindia-Belanda. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon kepada Hindia
Belanda supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno
berjanji tidak akan lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup
selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada dewan
pimpinan Partindo dan dalam surat itu ia memajukan permintaan berhenti dari
partai. Selain daripada itu dia mengakui, betapa tidak bertanggung jawabnya
kegiatan-kegiatan politiknya. Seterusnya ia bertaubat dalam hal pandangan-
pandangannya yang bersifat non-koperatif. Apabila pemerintah
membebaskannya, maka dia akan bekerja sama dengan pemerintah. Akhirnya
dia menawarkan akan menandatangani apa saja yang dikehendaki oleh
pemerintah guna memperoleh pembebasannya".
Selanjutnya dalam tulisan kolomnya di harian yang sama, 14 Februari 1981,
Rosihan menegaskan kembali pendiriannya yang cenderung meyakini
kebenaran surat-surat tersebut. Ia memberi contoh bahwa Soekarno pada
tanggal 19 Desember 1948 tatkala tentara Belanda menduduki Lapangan
Terbang Maguwo dan sedang bergerak menuju Kota Yogyakarta, Soekarno
menyuruh Kepala Rumah tangga Istana mengibarkan bendera putih tanda
menyerah pada Belanda dan membiarkan dirinya ditawan tentara Belanda.
Tulisnya, "Ini sekedar ilustrasi, memanglah Sukarno itu lekas bertekuk lutut atau
minta ampun, bila ada berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang superior
atau sedang mengalami ancaman bahaya dan ketidak-enakan bagi dirinya.
Semua ini kedengarannya tidak sedap bagi mereka yang mengagung-agungkan
atau mengkultuskan pemimpin. Tetapi suka atau tidak suka, saya pikir, kita
sebagai bangsa harus berusaha mendidik diri kita, supaya mencapai
kedewasaan. Marilah kita hadapi realitas ini."
Namun demikian pada akhirnya Rosihan mengatakan bahwa itu semua sama
sekali tidak mengurangi penghargaan kepada Soekarno sebagai proklamator
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Tulisnya, "Kita mengakuinya
sebagai pemimpin yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia".
Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra, terutama
mereka yang mencintai Soekarno dan menganggapnya sebagai manusia
pejuang tanpa cacat. Yang mengomentari adalah Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar,
Anwar Luthan dan Mr Mohammad Roem. Semuanya menulis di harian ini,
Kompas.
Berlainan dengan Rosihan, keempatnya menyangsikan kebenaran isi surat
tersebut. Mr Mohammad Roem dalam tulisannya di Kompas, 25 Januari 1981,
berjudul Surat-Surat dari Penjara Sukamiskin, mempertanyakan apa yang
dituliskan oleh Ingleson itu, sebab dibuat tidak berdasarkan otentitas surat asli. Ia
mempertanyakan otentitas empat surat itu, sebab surat-surat yang dikutip dari
arsip Kerajaan Belanda itu bukanlah tulisan asli Soekarno, melainkan salinan
dari surat asli Soekarno yang diketik oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
peraturan pemerintah kolonial waktu itu. Salinan itu diketik dan tidak membawa
tanda tangan asli Soekarno, melainkan hanya "tertanda" atau ditandatangani
oleh Soekarno.
Mr Roem pada kesimpulan tulisannya mengatakan, sangat meragukan
kebenaran salinan surat-surat tersebut. Mr Roem berkata: "Waktu saya
membaca surat-surat itu, saya menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa
Belandanya. Pengetahuan bahasa Belanda Bung Karno (HBS) paling sedikit
sama dengan pengetahuan saya (AMS). Di waktu itu, kalau kita membuat surat
dalam bahasa Belanda untuk pembesar Belanda, kita hati-hati benar jangan
sampai membuat kesalahan. Surat Soekarno yang keempat sangat emosional
akhirnya. Meskipun tidak selamanya saya dapat mengikuti Bung Karno, akan
tetapi ini: Het te mooi om waar te zijn, atau terlalu indah untuk benar".
***
BAGAIMANA sebenarnya salinan surat-surat Soekarno itu sehinggamembuat Mr
Roem tidak yakin?
Surat kedua Soekarno kepada Jaksa Agung tertanggal 7 September 1933
seperti tertulis dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 adalah sebagai berikut:
"Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari proses
pengusutan hukum atau penahanan lebih lanjut, dan untuk memerintahkan
pembebasan saya dengan segera. Hukuman penjara atau penahanan Saya
mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari akan berarti
malapetaka bagi saya, keluarga saya, terutama ibu saya-bagi ibu saya hukuman
atas diri saya itu mungkin berarti kematiannya. Setiap hari dalam tahanan ini
sekarang ini saya menderita kesedihan yang amat sangat dan perasaan putus
asa. Saya akan berterimakasih kepada kemurahan hati pemerintah dan dengan
sepenuh hati bersedia memperlihatkan rasa terimakasih itu dalam tindakan-
tindakan saya setelah bebas nanti. Maafkanlah sikap saya yang tak tahu syukur
setelah pengampunan yang dulu. Saya telah menyatakan dalam surat saya
terdahulu bahwa sekarang ini jiwa saya sepenuhnya telah berubah. Di dalam
hati, saya telah membuang politik dan memohon tuan melepaskan saya dengan
segera dari penderitaan ini. Setiap jam dari penahanan ini bagiku bagaikan satu
hari penderitaan panjang dan berat. Selanjutnya saya berharap bahwa tuan akan
mempertimbangkan keadaan pikiran saya sekarang yang patut dikasihani, dan
bahwa janji saya ini cukup memadai sehingga saya bisa segera dibebaskan.
Tetapi, apabila janji yang saya buat ini belum cukup, maka bermurah hatilah
terhadap diri saya (karena
keadaan saya benar-benar parah) dengan memberitahu pejabat yang
berwenang syarat-syarat mana yang masih harus saya penuhi bagi pembebasan
saya. Saya bersedia menerima semua tuntutan. Penderitaan saya sendiri dan
penderitaan keluarga serta ibu saya terlalu besar, penanggungan saya demikian
beratnya, sementara tanpa kepastian ini amat memakan syaraf, sehingga tak
mungkinlah saya tak menerima syarat-syarat itu seluruhnya. Bahkan saya juga
bersedia, bila tuan dan pemerintah benar-benar menghendakinya sebagai syarat
penglepasan saya, untuk mencabut kembali permintaan saya dulu agar surat-
surat saya tetap dirahasiakan, dan menyatakan setuju kalau pemerintah
mengadakan pengumuman dengan kalimat-kalimat berikut: "Pemerintah telah
menerima permintaan dari Ir Sukarno untuk dibebaskan dengan janji bahwa ia
akan berhenti dari segala kegiatan politik lebih lanjut".
Sementara surat keempat tertanggal 28 September 1933 yang termuat dalam
Laporan Surat Rahasia 1933/1276 yang menurut Mr Roem adalah terlalu indah
untuk benar yaitu, antara lain, sebagai berikut:
"Saya meratapkan sekali lagi dan sekali lagi permohonan dihadapan tuan dan
pemerintah, kembalikan saya kepada isteri saya dan kepada ibu saya yang tua
dan manis, akan tetapi sakit-sakitan. Saya sudah berbuat jahat tapi saya
menyesalinya yang sedalam-dalamnya. Limpahkan ampun kepadaku dan
dahulukan rasa kasihan daripada hukum. Saya menjatuhkan diri di hadapan tuan
dan pemerintah agar dibebaskan dari penderitaan".
Roem berpendapat bahwa itu bagian taktik licik Belanda untuk mengacaukan
pikiran rakyat dan mengacaukan barisan perjuangan pergerakan nasional
Indonesia yang pada waktu itu sedang mencapai puncaknya. Pembunuhan
karakter manusia sekaliber Soekarno akan mampu menghancurkan kekuatan
mobilisasi massa rakyat menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Yang menarik adalah polemik itu tidak selesai sampai di situ, sebab kemudian
Rosihan Anwar menjawabnya kembali dan dijawab sekali lagi oleh Mr Roem.
Kemudian polemik itu ditutup oleh sebuah tulisan sejarawan Taufik Abdullah
berjudul Biografi dan Surat-surat Itu dalam Majalah Tempo tanggal 28 Februari
1981. Taufik Abdullah berusaha membedakan antara seseorang sebagai
manusia biasa dan sebagai aktor sejarah. Sebagai manusia biasa seseorang
dalam kediriannya tampil sebagaimana adanya, yang bisa mencintai, membenci,
takut, nekat dan apa saja. Sementara sebagai aktor sejarah, seorang manusia
dapat luluh dalam kaitannya dengan masyarakat dan dinamika sejarah. Artinya,
apa pun yang sudah berlangsung dalam pengalaman pribadinya sebagai
manusia biasa dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tidak akan
mengurangi kontribusinya sebagai manusia pembuat sejarah bangsanya.
Soekarno pernah mengatakan pada Cindy Adams mengenai masa-masa itu
sebagai berikut, "Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling jauh. Berapa
lamakah? Hingga semangat dan jasadku menjadi busuk. Aku akan menghadapi
pembuangan itu". Namun, hal ini diceritakan Soekarno pada tahun 1960-an,
yaitu pada saat empat buah surat soal 'minta ampun' belum dipublikasikan,
sehingga Soekarno tidak bisa menjawab tentang kebenarannya.
Apabila demikian halnya, tetap ada baiknya untuk melakukan penelitian sejarah
lebih lanjut mengenai kebenaran dari surat-surat tersebut. Bagaimanapun surat-
surat tersebut berkaitan dengan periode tertentu yang amat penting dalam
sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia.
* Valina Singka Subekti Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia.

Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama


Soekarno
Daniel Dhakidae

BIOGRAFI yang ditulis oleh orang lain,


apalagi dalam kategori "as told to" selalu
membagi dua pendapat antara yang memuja
dan mencaci-makinya. Tentang biografi
semacam itu sastrawati Inggris, profesor
sastra dari University College, London, AS
Byatt, mengatakan sebagai:
...bentuk rusak dan upaya mengejar
pengetahuan murahan. Cerita tuturan mereka
yang tidak mampu menangkap penemuan
sejati, cerita sederhana bagi orang yang tidak
mampu menyelam lebih dalam. Bentuk rumpi
dan kekosongan jiwa yang sakit. (On
Histories and Stories, Selected Essays,
dalam The New York Times, 18 Maret 2001).
Penilaian sekeras ini kontra-produktif karena
kalau semata-mata itu yang dipakai, hampir
tidak terbuka kemungkinan mengenal
seorang lain melalui naskah-naskah warisan.
"Tales of the two presidents"
Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang
pernah menjadi presiden Indonesia. Presiden
Soekarno dan Soeharto, sama sekali tidak
ada waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana batinnya tidak
pernah diketahui umum secara "asli". Soekarno dengan seluruh kemampuan
intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan menulis tidak pernah
meluangkan waktu menulis tentang dirinya sendiri selain beberapa keping cerita
anekdotal yang tercecer sana-sini. Soeharto tidak pernah terbukti menulis
sesuatu yang berarti untuk publik, selain pidato-pidato kepresidenan dengan
intervensi begitu banyak tangan dan otak.
Namun, kalau biografi "as told to" menjadi satu-satunya sumber yang bisa
dipakai, maka berikut ini adalah "ucapan asli" dengan mana kedua presiden itu
mengungkapkan dirinya--Soekarno kira-kira beberapa waktu sebelum atau di
sekitar tahun 1965 kepada penulis Amerika, Cindy Adams, dalam buku Sukarno,
An Autobiography as Told to Cindy Adams, pada saat Soekarno berumur 65
tahun; Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1989
kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan Ramadhan, dalam buku
Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi Seperti Dipaparkan
Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., pada saat Soeharto berumur kira-
kira hampir sama, 67 tahun.
Membandingkan apa yang dikatakan kedua orang ini tentang dirinya mungkin
bisa memberikan wawasan tentang kepribadiannya masing-masing dan apa
yang dibuatnya. Tentang dirinya Soekarno mengatakan:
"Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal
dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari
Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah
gelar bangsawan yang berarti "Tuan". Bapak adalah keturunan Sultan Kediri...
Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas
yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir,
pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah
ahli-warisnya.
Suatu yang sangat berbeda berlangsung dengan Soeharto, yang tentang dirinya
berkata:
Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani
di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu... Saya
adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo ...yang secara pribadi tidak
memiliki sawah sejengkal pun.
Bila diperhatikan ada beberapa perbedaan besar yang menarik perhatian antara
keduanya. Pertama, keturunan ningrat langsung saja diangkat Soekarno, baik
dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Dari pihak ibu garis keturunan disusur-
mundur sampai ke Raja Singaraja, Bali, dan dari pihak ayah disusur-mundur
sampai ke Sultan Kediri, yang kelak berurusan dengan kerajaan besar
Majapahit.
Sedangkan Soeharto hanya menyebut Desa Kemusuk, desa kecil di luar Kota
Yogyakarta, dan pangkat bapaknya seorang "ulu-ulu, petugas desa pengatur
air". Kedua, bukan saja keningratan akan tetapi adanya suatu suratan takdir
bahwa Soekarno, bukan karena kemauannya atau keinginan pribadinya akan
tetapi sejarah menetapkan demikian, akan dan bahkan harus memimpin
Indonesia karena dari asal-muasal sebagai bagian dari the ruling class. Ketiga,
meski dengan seluruh kesadaran tentang "silsilah" ke masa lalu dan suratan
takdir ke masa depan tidak satu kata pun disebut Soekarno tentang harta, milik,
atau kekayaan apa pun. Sebaliknya, Soeharto sudah dalam halaman-halaman
pertama membicarakan harta-tanah sejengkal, tanah jabatan, pangkat
bapaknya, yang dalam halaman-halaman susulannya berbicara lagi tentang
kambing, baju dan lain-lain lagi-meski semuanya dihubungkan dengan "...banyak
penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain".
Keempat, Soekarno bukan saja berbicara tentang keningratan, suratan takdir,
kelas berkuasa dan memerintah akan tetapi tentang freedom of the people,
suatu cita-cita abstrak-filosofis tinggi yang mencerminkan idealisme Soekarno-
isch. Semuanya ini tentu saja berhubungan dengan kekuasaan, power, akan
tetapi Soekarno tidak berbicara tentang kekuasaan dirinya. Dia berbicara tentang
kelas berkuasa dan bukan tentang dirinya dan kekuasaan akan tetapi suratan
takdir untuk memimpin.
Dalam hal Soeharto bisa dilihat sesuatu yang berbeda karena Soeharto
berbicara tentang kekuasaan. Hal itu bisa diperiksa hanya dalam satu halaman
sebelumnya ketika Soeharto kepada pewawancara untuk penulisan bukunya,
dengan bangga dan sedikit sombong, mengenang saat ketika dia berdiri di
depan forum dunia tahun 1985 di Food and Agriculture Organization, FAO, milik
PBB, di Kota Roma:
Saudara bayangkan, seorang yang lebih dari enam puluh tahun ke belakang
masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan petani di Desa Kemusuk saat
itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak ahli dan negarawan dunia,
sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil memecahkan persoalan yang paling
besar bagi lebih dari 160 juta mulut.
Suatu loncatan besar dari suatu desa kecil di Yogyakarta, ke Roma, kota
metropolitan; dari seorang anak berlumur lumpur di Kemusuk yang langsung
dihubungkan dengan mimbar yang harus dipahami dalam arti ex cathedra, dan
berbicara, yang juga harus dipahami lebih dalam arti memberikan maklumat di
depan para ahli dan negarawan dunia. Dia menyebut dirinya pemimpin rakyat
sambil menjejerkan prestasinya-bukan dalam hubungan dengan freedom of the
people akan tetapi dengan kemampuannya memecahkan soal paling besar;
bukan soal abstrak-filosofis Soekarno-isch akan tetapi persoalan "lebih dari 160
juta mulut". Ketika dia menyebut rakyat maka dia reduksikan rakyat itu menjadi
bukan orang akan tetapi mulut.
Satu Abad Bersama Nusantara
Dengan itu sebagai titik tolak-idealisme, sense of destiny, dan apa yang
dicapainya-penerbitan khusus ini mau memeriksa Soekarno pada hari ulang
tahunnya yang ke-100 sebagai suatu gejala historis. Kalau Soekarno sendiri
mungkin tidak dengan mudah menilai dirinya, semakin besar pula kesulitan itu
untuk kita. Kesulitan itu semakin besar lagi ketika kita harus memeriksa kembali
diri Soekarno-30 tahun setelah meninggalkan dunia ini, 45 tahun setelah
dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun setelah dilahirkan ibunya. Semuanya
menjadi suatu kompleks dari persoalan karena meninggalnya 30 tahun lalu
bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib Sein zum Tode akan tetapi
karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi-betulkah dia mati wajar?
Kejatuhannya lebih membingungkan ketika semuanya berpusat pada
pembunuhan enam jenderal-betulkah PKI yang membunuh dengan konsekuensi
menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau mereka dibunuh
oleh anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan dengan itu tidak
perlu menjatuhkan Soekarno.
Hannah Arendt tidak mengalami kesulitan ketika harus mengucapkan eulogia
kepada Karl Jaspers, filosof eksistensialis-teman, kolega, yang mendapatkan
hadiah perdamaian Jerman. Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt,
daripada puja-pujian, laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya "in
laudationibus...ad personarum dignitatem omnia referrentur", dalam puja-pujian
semuanya mengacu kembali kepada kebesaran pribadi-pribadi itu, terutama
karena mereka membuktikan dirinya dalam hidup.
Di sana justru letak seluruh kegemasan memeriksa Soekarno, karena jajaran
antara dignitas personae dan pembuktian diri dalam hidup tidak selalu seiring,
apalagi persoalan yang ditinggalkan Soekarno, seperti konsekuensi ekonomi-
politik dan karena itu kemanusiaan yang berasal dari keputusan-keputusannya.
Menilai Soekarno semata-mata dari kebesarannya-kalau bukan pendasar maka
Soekarno adalah penganjur paling vokal nasionalisme Indonesia, proklamator
kemerdekaan-selalu membingungkan dan juga memusingkan karena di samping
kebesaran di sana langsung menyusul kekerdilan, di samping kecemerlangan
langsung menyusul diletantisme, di samping keberanian revolusioner langsung
saja menyusul kekecutan, dan ke-pengecut-an. (Baca: Valina Singka Subekti)
Di pihak lain mengecilkan Soekarno hanya karena persoalan yang
ditinggalkannya-semua masalah pra dan pascaperistiwa tanggal 1 Oktober 1965,
pembunuhan jenderal-jenderal oleh para perwira bawahannya--sungguh
menyesatkan dari satu ujung ke ujung lainnya dan bagi generasi-generasi
berikutnya menjadi penipuan terencana. Lantas pertanyaan-untuk siapa pun
yang berminat memeriksa Soekarno secara sungguh-sungguh-harus diajukan
kembali lagi ke dasar paling awal: siapa Soekarno? Apa yang dibuat Bung
Karno? Apa yang ditinggalkan Presiden Republik Indonesia pertama, Pemimpin
Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat?
Satu Abad Nusantara Bersama Soekarno
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis
dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende,
Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera
Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh
dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno
sebagai Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan
pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme" yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-
tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang
pemuda berumur 26 tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30
tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis.
Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata "a spectre is
haunting Europe--the spectre of Communism", ada hantu yang menggerayangi
Eropa--hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan suatu
pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch:
Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka
Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang
rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak
senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak
senang dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa
adanja", sudahlah lalu. Zaman baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai
fadjar jang terang tjuatja.
Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di
sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di
sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang
didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club, yang juga
didirikannya: "Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman
perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus menjadi secerdik-cendekia
Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi orang terakhir
yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji Soekarno
tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang Gatotkaca,
yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik-pandai, waspada, gesit,
tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia
sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai ksatria yang mempunyai 'otot kawat
balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron...
(Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, 1991)
"Hantu" Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam
keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam
standing order:"...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil
Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam "hantu", spectre, das
Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus
dipahami dalam arti hantologie-dan bukan ontologie sebagaimana Marx selalu
ditafsirkan--sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi.
Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan
dari mana tidak ada reduksi lagi-yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan
melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan
beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan. Hantu
kemerdekaan itulah yang selalu kembali seperti Gatotkaca untuk menuntut
keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan nasibnya,
yaitu nasib kolonial yang tidak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme itu tidak
lain dari soal kekurangan rezeki, dan "kekurangan rezeki itulah jang mendjadi
sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!".
Dalam paham Soekarno di Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi
ketika "rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia" (untuk para
pembaca muda "mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah
Asia-Penulis). Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa
pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada
mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja".
Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa
yang dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat
beberapa hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja.
Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno
menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama
iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich
Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno
mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan
tahun 1847--tahun sesungguhnya adalah bulan Februari 1848. Semua
kekeliruan "kecil" di atas harus dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai
kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di
Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah tamat karena Soekarno
menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda, tidak
diperoleh).
Apa sesungguhnya yang dipahami Soekarno tentang ketiganya? Bisalah
dikatakan di sini bahwa apa yang dicita-citakan Soekarno adalah suatu mission
impossible baik dari segi teoretis maupun dari segi praktis. Nasionalisme
Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal
dengan tujuan hampir satu-satunya yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas
ekonomi-politik. Karena itu ketika Soekarno mengatakan bahwa:
...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja
akan ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin
sentausa" ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan
antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking
baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa
persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua
yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar
persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme,
Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan
fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam,
dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz)
Soekarno dan suratan takdir
Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu
selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin Indonesia
dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi
jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto
Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta.
Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan
publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya. (Baca: Agus
Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar
ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak
terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang, maupun bagi imperialis,
Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka.
Secara intelektual dan politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi
Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam
jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia
menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat dibencinya yaitu menjadi fasis
dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing,
yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian dia dikhianati militer.
Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan
persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari
kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan-Soekarno menjadi anti-Soekarno-
sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih
ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan
sawomatang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham
tentang penderitaan itu dari Soekarno.
* Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas.

Bung Besar, Ideolog yang Kesepian


Bagus Takwin

"AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku
berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat." Pengakuan ini
meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api
Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di
sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat
tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia
menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat
dukungan dari orang lain.
Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena langka yang
mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan "Apakah
kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya
berhubungan dengan kepribadiannya?" Analisis terhadap kepribadian Soekarno
melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang
memuat sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan
menggunakan pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan
Lindzey, 1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa
menjadi pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan
teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan
dukungan sosial.
Pribadi yang kesepian
Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam
autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat, ia menceritakannya.
"Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-
kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti
misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah
ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah
suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan
kalau saya tertidur, maafkanlah.'... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai
makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah."
(Adams, 2000:3)
"Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu
pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah,
bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu."
(Adams, 2000:14)
Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia
diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri
menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa
mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah
di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang
dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya.
Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal
sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91).
Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-
malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-
dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan
badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu.
"Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah
pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat
dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku
merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya
aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam
diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal." (Adams, 2000:135)
Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup
dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang
diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan
mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu
ia menangis mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya.
Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak
Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi.
Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno
pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang
berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang
tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan
kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan
secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul
perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Untungnya
dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya tentang makna
pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama
pejuang besar.
Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat
dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya
bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas
kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian
menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan
belajar yang tinggi.
Mitos-mitos dari masa kecil
Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang
besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan
makna kelahiran di waktu fajar.
"Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin
dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar
mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa
orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih
dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini
putra dari sang fajar." (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik.
"Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam.
Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang
Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat
yang berlawanan." (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai
satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
"Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku
dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara
kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan
dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya."
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya
Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, "Orang yang percaya
kepada takhayul meramalkan, 'Ini adalah penyambutan terhadap bayi
Soekarno," Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi
Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya
sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya.
Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno
memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa
kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut
fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan),
tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia
untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400). Riwayat
hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan
dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa
Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana
dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-
elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun
pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa
pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk.
Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang
yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya,
ia berseru, "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di
masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." Di sini ada indikasi ia
menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga
memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki
semangat yang sama dengannya.
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang
perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti.
"Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun
soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal
itu."
(Pidato 17 Agustus 1948)
"Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari
Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya."
(Pidato 17 Agustus 1956)
"Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: "Terlepas
dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah
Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang
akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta."
(Pidato 17 Agustus 1966)
Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa
Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang
mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno
yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan
kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat.
"Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya
antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan
sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum."
(Pidato 17 Agustus 1951)
"Kembali kepada jiwa Proklamasi .... kembali kepada sari-intinya yang sejati,
yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional... kedua jiwa ichlas... ketiga jiwa
persatuan... keempat jiwa pembangunan."
(Pidato 17 Agustus 1952)
"Dalam pidatoku "Berilah isi kepada kehidupanmu" kutegaskan: "Sekali kita
berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner....
jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan..." kita adalah "fighting nation"
yang tidak mengenal "journey's-end"
(Pidato 17 Agustus 1956)
Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari
kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat
untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai
oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat
diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak
mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti "Laksana
Malaikat yang menyerbu dari langit", "adakanlah simfoni yang seharmonis-
harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum", "Bangsa yang
gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat", dan "memindahkan Gunung Semeru
atau Gunung Kinibalu sekalipun." Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya
bahasa yang digunakan untuk memikat massa.
"Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau
adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa
yang akan datang."
(Pidato 17 Agustus 1966)
"Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem"? Bangsa yang
'zelfgenoegzaam'? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum
teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak
mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!"
(Pidato 17 Agustus 1960)
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh,
bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas
tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato 17 Agustus 1963)
Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat dalam pidato Soekarno.
Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat "Saya akan memberi kursus
tentang". Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno sebagai
pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa
gambaran itu bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi
dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya
terutama kondisi ekonomi.
Strategi penyebaran ideologi dalam tulisan Soekarno
Lalu jadilah Soekarno sebagai ideolog yang piawai menyebarkan kepercayaan-
kepercayaannya. Strategi penyebaran ideologi yang oleh Terry Eagleton (1991)
terdiri dari rasionalisasi, universalisasi, dan naturalisasi, dengan baik
dimanfaatkan Soekarno dalam tulisan-tulisannya.
Rasionalisasi tampil dalam argumentasi-argumentasi yang diusahakan tersusun
selogis mungkin dan menggunakan rujukan-rujukan teori-teori ilmuwan
terkemuka seperti Herbert Spencer, Havelock Ellis, dan Ernst Renan.
Rasionalisasi dapat ditemukan dalam setiap karangannya, termasuk
penggunaan data statistik demi memperkuat pendapatnya.
Strategi universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-
ajaran agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting
dalam peradaban manusia. Gagasan-gagasannya seolah berlaku universal dan
diperlukan di mana-mana."Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus
menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma
biamfusihim"
(Pidato 17 Agustus 1964)
"Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad
baja, kita bisa memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun."
(Pidato 17 Agustus 1965)
"Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia!
Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi
kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."
(Pidato Lahirnya Pancasila,
1 Juni 1945)
Strategi naturalisasi merupakan usaha menampilkan sebuah ideologi atau
kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah. Ini banyak ditemukan
dalam pidato-pidato Soekarno. Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila
sangat jelas menggunakan naturalisasi.
"Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan
Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang
nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia."
(Pancasila sebagai Dasar Negara, hal:38)
Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang menjadi seorang ideolog.
Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan dan kepemimpinannya,
mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya. Gambaran diri
yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri tampil berapi-api
di depan lautan massa.
Dari mitos ke ideologi, dari kesepian ke kekuasaan
Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu
jelas. Masa dewasanya merupakan proyeksi dari keinginan masa kecil.
Soekarno membayangkan dirinya sebagai pembaru bangsa sejak kecil. Ia
tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang
baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan belajar berbagai hal tak
lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa.
Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh besar terhadap hal ini.
Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Kamar tidurnya
penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar
biasa.
Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang
memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi
sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi
perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan
terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek
spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan.
Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di
benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak
bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial.
Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang
dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya
sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat.
Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa
jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang
diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan
tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak
ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung
munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi
menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan
perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan
sosial.
Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang
memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan
nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun,
ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa
kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita
sebagai pegangan.
Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga
menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami
Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa
yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan
besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang
dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal
besar dan mengabaikan hal-hal kecil.
Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa
memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi
dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu
berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat
bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang
tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa
mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian.
Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan
rumah dan meninggal dalam kesepian.
Penutup
Liku-liku kepribadian Soekarno menunjukkan ada beberapa kelemahan pada
dirinya. Lepas dari kekurangan-kekurangannya, ia adalah orang besar.
Kekurangan yang dimiliki adalah kekurangan yang sangat wajar dimiliki oleh
manusia. Namun, kelebihannya dan cara mengatasi kekurangannya merupakan
hal yang luar biasa. Ia mampu melampaui banyak orang dengan kelebihannya.
Analisis ini sekadar menunjukkan bahwa sebagai manusia biasa, Soekarno
memiliki kelemahan, tetapi bukan untuk mengecilkan arti sebagai manusia
dengan segudang prestasi. Soekarno tetap layak menjadi orang yang dipuji,
dihormati, dan dikenang selalu baik sebagai orang yang berjasa mendirikan
Republik Indonesia maupun sebagai pribadi yang selalu terus berusaha
mencapai kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
* Bagus Takwin Pengajar psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno


James Luhulima

PERISTIWA penjemputan paksa sejumlah jenderal Angkatan Darat pada tanggal


30 September 1965 tengah malam, yang dikenal dengan nama Peristiwa
Gerakan 30 September (G30S), sampai saat ini masih menyimpan misteri.Siapa
dalang di balik peristiwa G30S itu? Partai Komunis Indonesia (PKI), atau Central
Intelligence Agency (CIA), atau jangan-jangan gerakan itu hanya merupakan
letupan dari konflik intern Angkatan Darat saja? Apakah Presiden Soekarno
terlibat? Ataukah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto? Atau jangan-jangan peristiwa itu
tidak ada dalangnya? Jangan-jangan semua pihak yang terkait dalam peristiwa
itu hanya bereaksi sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke
waktu?
Gerakan yang mengakibatkan tewasnya enam orang jenderal dan seorang
perwira Angkatan Darat itu, memang meninggalkan banyak pertanyaan, yang
masih harus dicarikan jawabannya.
Kalaupun ada yang pasti dari peristiwa penjemputan paksa yang berlangsung
tengah malam itu, adalah berubahnya perjalanan hidup Presiden Soekarno.
Sinar Matahari yang menyinari Bumi pada tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari
sesudahnya, tidak lagi tampak sama di mata Presiden Soekarno. Sejak pagi hari
itu, perlahan tetapi pasti Presiden Soekarno mulai surut ke belakang.
Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan turning point (titik balik) dalam perjalanan
hidup Presiden Soekarno. Karena peristiwa penjemputan paksa para jenderal
Angkatan Darat, sehari sebelumnya, mengawali kejatuhan Soekarno dari tampuk
kekuasaannya.
Mulai tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi merupakan satu-
satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Pada hari yang sama, Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto mulai membangun kekuatan tandingan dengan secara
sepihak mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dari tangan Menteri/ Panglima
Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, yang belum diketahui keberadaannya.
Bukan itu saja, Mayjen Soeharto pun mencegah Panglima Kodam V Jaya
Brigadir Jenderal (Brigjen) Umar Wirahadikusumah memenuhi panggilan
Presiden Soekarno untuk menghadap.
"Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Panglima Kodam V Jaya tidak
dapat menghadap. Dan, karena saat ini Panglima Angkatan Darat tidak ada di
tempat, harap semua instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui saya,
Panglima Kostrad," ujar Mayjen Soeharto kepada Komisaris Besar Polisi Sumirat
dan Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko, Ajudan Presiden Soekarno, yang
menjemput Panglima Kodam V Jaya. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang
Widjanarko, PT Gramedia, 1988)
Presiden Soekarno kelihatan kurang senang karena Panglima Kodam V Jaya
tidak diizinkan menghadap oleh Panglima Kostrad. Sebab, Pasal 10 Undang-
Undang Dasar 1945 menggariskan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Siang hari, dalam pertemuan dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara
Laksamana Madya (Laksdya) Omar Dani, Menteri/Panglima Angkatan Laut
Laksdya RE Martadinata, dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur
Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, Presiden Soekarno memutuskan untuk
mengambil alih seluruh tanggung jawab dan tugas Menteri/Panglima Angkatan
Darat, serta mengangkat Asisten Menteri/ Panglima Angkatan Darat Bidang
Personel Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima
Angkatan Darat.
Usai pertemuan itu, pukul 17.00, Presiden Soekarno memerintahkan ajudannya,
Kolonel Bambang Widjanarko, memanggil Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk
menghadap.
Namun, seperti pada pagi harinya, Mayjen Soeharto kembali menegaskan
bahwa untuk sementara ia memegang kendali Angkatan Darat. Dan, ia tidak
mengizinkan Mayjen Pranoto Reksosamudro menghadap Presiden Soekarno.
Dengan alasan, ia tidak ingin Angkatan Darat kehilangan jenderalnya lagi.
Soeharto tidak berhenti sampai di sana. Ia meminta kepada Bambang
Widjanarko untuk membujuk Presiden Soekarno agar meninggalkan Pangkalan
Udara Halim Perdanakusuma.
Namun, pembangkangan terhadap Presiden Soekarno itu, bukanlah yang
pertama kali dilakukan oleh Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Sebab, di saat
Presiden Soekarno gencar berkonfrontasi dengan Malaysia, di Kostrad dibentuk
Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Letnan Kolonel (Letkol) Ali Moertopo,
dan dibantu Mayor LB Moerdani, Letkol AR Ramli, dan Letkol Sugeng Djarot.
Personel-personel Opsus secara diam-diam melakukan kontak-kontak rahasia
dengan pihak-pihak di Malaysia untuk mengupayakan perdamaian antara kedua
negara.
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri yang dipimpin
Presiden Soekarno, dalam bukunya yang berjudul Memoar Oei Tjoe Tat
Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra tahun 1995, menggambarkan
situasi tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari sesudahnya. Oei Tjoe Tat
menuturkan, ...dengan cepat iklim dan suasana politik di ibu kota bergeser 180
derajat. Menurut pengamatan saya, sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de
facto sudah terlepas dari tangan Presiden selaku penguasa Republik Indonesia.
Memang padanya masih ada corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol atas
jalannya situasi sudah hilang.
PADA tanggal 30 September 1965, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana
Merdeka. Menjelang tengah malam, Presiden Soekarno meninggalkan Istana
Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Jalan Gatot
Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Presiden
Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah
menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pada pukul 06.30, Presiden
Soekarno ke luar rumah, memasuki mobil kepresidenan Buick Chrysler hitam
dengan nomor polisi B 4747, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi hari itu,
Presiden Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena
dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani pada acara minum
kopi (koffie uurtje) pukul 07.00.
Di dalam mobil, Suparto, sopir pribadi Presiden, memberi tahu informasi yang
diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi
Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr
Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan
mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil
dan meminta penjelasan tentang penembakan di rumah Nasution dan Leimena
itu.
Kemudian Presiden Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini
dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak
tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I
Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan mengecek
kebenaran berita tersebut. Sampai sekarang, Jatiman belum melaporkan
hasilnya."
Mendengar jawaban itu, Presiden Soekarno menghardik Mangil dengan nada
keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum
kamu ketahui dengan jelas...."
Presiden Soekarno kemudian menyuruh Suparto untuk berangkat. Mobil yang
ditumpangi Presiden Soekarno kemudian bergerak perlahan-lahan meninggalkan
rumah Ny Dewi menuju Istana Merdeka dengan rute Jembatan Semanggi, Jalan
Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan
Medan Merdeka Utara.
Di depan mobil Presiden Soekarno ada satu jip DKP, dan di belakangnya, mobil
yang ditumpangi Mangil. Saat iring-iringan rombongan Presiden Soekarno
melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Hotel Indonesia, Jatiman
menghubungi Mangil dan membenarkan terjadinya penembakan di rumah
Jenderal AH Nasution dan rumah Dr Leimena. Jatiman juga menginformasikan
adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar
Istana, termasuk di kawasan Monumen Nasional (Monas).
Pada saat itu, Jalan Medan Merdeka Barat ditutup dan dijaga oleh pasukan
Angkatan Darat dari Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya dan Batalyon
454/Para/Diponegoro. Kendaraan-kendaraan yang datang dari arah Hotel
Indonesia diharuskan membelok ke kiri.
Mangil tidak sempat menanyakan Jatiman tentang pasukan "yang terasa sangat
mencurigakan" itu, karena iring-iringan rombongan Presiden Soekarno sudah
semakin mendekati Bundaran Air Mancur. Mangil berpikir cepat: Presiden
Soekarno harus dijauhkan dari pasukan itu. Pada saat yang bersamaan, Wakil
Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi
Mangil lewat handy-talkie dan meminta agar Presiden Soekarno jangan dibawa
ke Istana karena banyak tentara yang tidak dikenal. Saelan meminta agar
Presiden Soekarno dibawa ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan
Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang).
Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan,
Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny
Harjati.
Saelan menunggu Presiden Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba pada
pukul 07.00, Presiden Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan.
Saelan melaporkan tentang penembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan
rumah Dr Leimena, serta adanya pasukan tidak dikenal di sekitar Istana.
Presiden Soekarno terkejut mendengar semua itu. Ia segera memerintahkan
Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, pagi itu, jaringan telepon
lumpuh sehingga Saelan meminta sopir pribadi Presiden, Suparto, untuk
menghubungi langsung.
Saelan mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat
yang aman bagi Presiden Soekarno. Mangil mengusulkan agar Presiden
Soekarno dibawa ke bekas rumah Sie Bian Ho di Jalan Wijaya I, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, yang sudah dibeli Resimen Tjakrabirawa. Usul itu
disetujui oleh Saelan.
Namun, setelah Suparto kembali pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia hanya
berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya
Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Saelan
berubah pendapat. Ia kemudian menyarankan agar Presiden Soekarno dibawa
ke Halim saja.
Itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa
jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang
mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden
dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju
ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada
pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut,
tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor
karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V.
Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan kepada Presiden Soekarno. Dan,
Soekarno memutuskan pergi ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Saelan kemudian ke luar dan memberi tahu Mangil. Dan, agar tidak menarik
perhatian, Presiden Soekarno menggunakan mobil VW Kodok biru laut nomor
polisi B 75177. Pengawalan pun hanya dilakukan oleh anggota DKP yang
mengenakan pakaian sipil.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan
Udara Halim Perdanakusuma. Presiden disambut Menteri/Panglima Angkatan
Udara Laksdya Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena.
Sekitar pukul 10.00, Brigjen Soepardjo, pimpinan G30S, melapor kepada
Presiden Soekarno bahwa ia dan kawan-kawannya telah mengambil tindakan
terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat. Namun, Presiden Soekarno
memerintahkan kepada Soepardjo untuk menghentikan gerakannya guna
menghindari pertumpahan darah. Presiden Soekarno, pada kesempatan itu, juga
menolak permintaan Soepardjo untuk mendukung G30S.
Presiden Soekarno kemudian memerintahkan ajudannya, Komisaris Besar
Sumirat untuk memanggil Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE
Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto
Joedodihardjo, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah, Jaksa
Agung Brigjen Soetardio, dan Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena.
PANGLIMA Kostrad Mayjen Soeharto, pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.00
diberi tahu oleh Mashuri, tetangganya di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, bahwa
pada dini hari terdengar suara tembakan. Mashuri mencatat bahwa pagi itu,
Soeharto sudah mengenakan pakaian tempur.
Soeharto dalam bukunya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya-Otobiografi seperti yang dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan
KH, terbitan PT Lamtoro Gung Persada tahun 1989, mengaku bahwa pada 1
Oktober 1965 pukul 00.15 ia pulang ke rumah, setelah seharian menjaga
anaknya, Tommy (Hutomo Mandala Putra), yang tersiram sup panas, di rumah
sakit.
Pada pukul 04.30, ia didatangi oleh Hamid, juru kamera TVRI, yang baru saja
menyelesaikan syuting. Hamid bercerita bahwa ia mendengar tembakan di
beberapa tempat. Setengah jam kemudian, datang tetangganya, Mashuri, yang
juga mendengar suara tembakan.
Pukul 05.30, datang Broto Kusmardjo yang memberi tahu berita yang
mengejutkan, yakni beberapa pati (Perwira Tinggi) Angkatan Darat telah diculik.
Maka segeralah Soeharto bersiap dengan pakaian lapangan.
Menurut Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya Kolonel Abdul
Latief, yang dianggap sebagai salah satu tokoh penting di balik peristiwa G30S,
seharusnya Mayjen Soeharto tidak perlu terkejut. Sebab, Mayjen Soeharto
sudah diberi tahu sebelumnya tentang akan dilakukannya penjemputan paksa
terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat.
Latief mengungkapkan bahwa dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965, ia
dan keluarga mendatangi rumah Mayjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Di
samping menghadiri acara kekeluargaan, Latief juga bermaksud memberitahu
adanya info bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan coup d'etat terhadap
pemerintahan Presiden Soekarno.
Saat info itu disampaikan, menurut Latief, Mayjen Soeharto mengatakan bahwa
ia sudah mengetahui info itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta
yang bernama Subagyo, yang datang sehari sebelumnya.
Dan, malam menjelang terjadinya peristiwa G30S, Latief, yang datang
menjenguk putra Soeharto ke Rumah Sakit Angkatan Darat, melaporkan akan
adanya gerakan pada esok harinya untuk menggagalkan rencana coup d'etat
dari Dewan Jenderal.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Mayjen Soeharto tidak pernah
menyebut-nyebut mengenai kedatangan Latief ke rumahnya. Soeharto hanya
menyebut tentang kedatangan Latief ke rumah sakit. Akan tetapi, itu pun dalam
versi yang berbeda.
Dalam wawancara dengan Arnold Brackman dalam buku The Communist
Collaps in Indonesia (1970), Soeharto mengatakan, Latief datang ke rumah sakit
untuk mengecek keberadaannya. Sedangkan dalam wawancara dengan Der
Spiegel bulan Juni 1970, Soeharto mengatakan, Latief dan komplotannya datang
ke rumah sakit untuk membunuhnya, tetapi tampaknya tidak jadi karena mereka
khawatir melakukannya di tempat umum.
Dan, dalam bukunya yang berjudul Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya, Soeharto hanya menyebut, kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat
menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal tempat Tommy dirawat.
Oei Tjoe Tat dalam memoarnya menceritakan tentang pertemuan dan
persahabatannya dengan Subagyo, yang namanya disebut Soeharto dalam
percakapan Latief di rumah Soeharto Jalan Haji Agus Salim dua hari menjelang
G30S.
Subagyo yang ditahan bersama Oei Tjoe Tat di rumah tahanan militer (RTM)
menceritakan bahwa ia beberapa kali mendatangi Mayjen Soeharto untuk
memberi tahu akan terjadinya sesuatu yang membahayakan negara.
Sekitar pukul 06.00, Mayjen Soeharto kemudian berangkat ke Markas Kostrad,
Jalan Medan Merdeka Timur. Di sana ia mengumpulkan anak buahnya dan
melakukan langkah-lang-kah konsolidasi. Langkah pertama yang diambilnya
adalah mengambil alih kepemimpinan dalam Angkatan Darat yang kosong,
karena Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani belum diketahui
keberadaannya.
Menurut Soeharto, sebelum ia berangkat, datang Letkol Sadjiman, atas perintah
Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah, dan
menginformasikan adanya pasukan tak dikenal di sekitar Monas dan Istana.
Oleh sebab itu, pada pukul 06.30, ia memerintahkan seorang perwira Kostrad,
Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530/Para Brigade
3/Brawijaya Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di
sekitar Monas dan Istana.
Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan itu di
lapangan, bertanya, apakah ia bisa mewakili, karena Mayor Bambang Soepeno
sedang ke Istana. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira
itu datang lagi dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan
Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang pula menghadap Wakil
Komandan Batalyon 454/Para/ Diponegoro Kapten Koencoro.
Kepada Mayjen Soeharto, Soekarbi dan Koencoro melaporkan mengenai
briefing Mayor Bambang Soepeno yang menyebut tentang Ibu Kota Jakarta dan
Panglima Tertinggi ABRI dalam keadaan gawat. Serta, ada kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Mayjen
Soeharto kemudian mengatakan bahwa isi briefing itu tidak benar. Dan, Mayjen
Soeharto memerintahkan kedua wakil komandan batalyon itu untuk mengambil
alih pasukan dan kembali ke Kostrad.
Soekarbi, kini Mayor (Purnawirawan), dalam wawancara yang dimuat tabloid
berita Detak edisi 29 September-5 Oktober 1998, mengemukakan, kehadiran
pasukannya di Jakarta adalah untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI
tanggal 5 Oktober 1965.
Muncul pertanyaan, mengapa dalam radiogram Panglima Kostrad Nomor 220
dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayjen
Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawidjaja disiapkan
dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan
"perlengkapan tempur garis pertama". Apalagi kemudian, sebagian dari anggota
pasukan itu dilibatkan dalam G30S.
Lepas tengah hari, Ajudan Presiden Komisaris Besar Sumirat yang diminta untuk
memanggil Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah tiba di
Markas Kodam V Jaya di Lapangan Banteng. Namun, Brigjen Umar
Wirahadikusumah tidak ada di tempat, ia sedang berada di Markas Kostrad
Jalan Medan Merdeka Timur. Sumirat, yang didampingi Ajudan Presiden lainnya,
Kolonel Bambang Widjanarko, kemudian menyusul ke Kostrad. Di Kostrad,
keduanya mendapat penjelasan dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto bahwa
ia melarang Panglima Kodam V Jaya untuk menghadap, dan Soeharto juga
minta keduanya memberi tahu Presiden Soekarno agar semua instruksi untuk
Angkatan Darat disampaikan melalui dia.
Penjelasan yang sama diberikan sore harinya kepada Kolonel Bambang
Widjanarko, saat Mayjen Soeharto melarang Mayjen Pranoto Reksosamudro
menghadap Presiden Soeharto.
Rupanya, langkah Mayjen Soeharto tidak berhenti di sana. Kemudian ia juga
mengambil alih peranan Panglima Tertinggi ABRI dari Presiden Soekarno. Dan,
secara sepihak, ia memberlakukan keadaan darurat. Ia juga menelepon
Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi
Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka,
Soeharto memberi tahu untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang
olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan
tanpa sepengetahuan Panglima Kostrad.
NAMUN, langkah Mayjen Soeharto yang paling efektif adalah memonopoli media
massa sehingga ia dengan leluasa dapat membentuk opini publik (public
opinion) sesuai yang dikehendakinya. Suatu langkah yang kemudian terus
dilanjutnya selama memerintah negara ini lebih dari 31 tahun.
Soeharto tidak hanya menguasai stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan
mengambil alih stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dari tangan pasukan
G30S, tetapi ia juga menguasai surat kabar. Melalui Panglima Kodam V Jaya
Brigjen Umar Wirahadikusumah, Soeharto melarang terbit semua surat kabar, di
luar surat kabar milik Angkatan Darat. Kompas termasuk surat kabar yang tidak
diizinkan terbit. Mulai tanggal 2 Oktober-5 Oktober 1965 media cetak yang terbit
hanya Harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, kantor berita Antara, dan
Pemberitaan Angkatan Bersenjata.
Di mulai dengan pemberitaan RRI, TVRI, dan surat kabar-surat kabar Angkatan
Darat, yang diikuti surat kabar-surat kabar lain mulai tanggal 6 Oktober 1965,
disebarkanlah cerita-cerita tentang kekejaman G30S. Walaupun hasil visum et
repertum terhadap tujuh korban G30S itu menyebutkan tidak ada penyiksaan
seperti yang digambarkan dalam pemberitaan media massa, berita-berita yang
berisi cerita mendetail tentang penyiksaan itu tidak surut.
Dan, dengan mengontrol media massa, Mayjen Soeharto dapat dengan leluasa
menentukan informasi apa yang ia ingin atau tidak ingin sampaikan kepada
masyarakat.
Itu sebabnya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 21.00, melalui RRI Mayjen
Soeharto mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Padahal, saat itu, ia sudah mengetahui bahwa Presiden Soekarno telah
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Mayjen Pranoto
Reksosamudro sebagai caretaker.
Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil Mayjen Soeharto
ke Istana Bogor. Kepada Presiden Soekarno, Mayjen Soeharto mengatakan,
pengambilalihan pimpinan Angkatan Darat dilakukannya agar tidak terjadi
kekosongan kepemimpinan.
Kepada Mayjen Soeharto, Presiden Soekarno memberi tahu bahwa ia
mengambil alih pimpinan Angkatan darat dan mengangkat Mayjen Pranoto
Reksosamudro sebagai caretaker. Menanggapi pemberitahuan itu, dengan nada
mengancam Soeharto mengatakan, dengan diangkatnya Pranoto sebagai
caretaker, ia tidak lagi bertanggung jawab atas situasi keamanan saat itu.
Sebagai alasan, Soeharto mengatakan, ia tidak ingin terjadi dualisme dalam
kepemimpinan Angkatan Darat.
Mengingat Mayjen Soeharto secara de facto sudah "mengendalikan" pasukan,
maka Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Namun, walaupun
Mayjen Pranoto Reksosamudro adalah caretaker Menteri/Panglima Angkatan
Darat, tetapi dalam kenyataannya Pangkopkamtib Mayjen Soeharto-lah yang
menguasai Angkatan Darat.
Bukan itu saja, dengan wewenangnya sebagai Pangkopkamtib, Soeharto
"membersihkan" Angkatan Darat dari orang-orang yang dianggap terlibat G30S.
Bahkan, Mayjen Pranoto Reksosamudro, pada tanggal 14 Oktober 1965,
ditangkap dengan tuduhan terlibat G30S. Dengan demikian, Presiden Soekarno
tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengangkat Soeharto jadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat.
Tetapi Soeharto tidak berhenti. Ia terus mengganggu pemerintahan Presiden
Soekarno-meskipun ia merupakan salah seorang menteri dalam pemerintahan
itu-dengan mengarahkan mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Gangguan itu mencapai puncaknya pada tanggal 11 Mei 1966, yang ditandai
dengan pengerahan pasukan-pasukan yang tak beridentitas di balik para
mahasiswa yang mengadakan unjuk rasa.
Kehadiran pasukan tak beridentitas itu mengakibatkan Sidang Kabinet 100
Menteri (Kabinet Dwikora) yang diadakan di Istana Merdeka dihentikan. Sore
harinya, tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen
Basuki Rachmat, dan Brigjen Amirmachmud, menemui Presiden Soekarno di
Istana Bogor, dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto bahwa kalau ia
diberikan kepercayaan, maka ia bisa mengatasi keadaan. Lahirlah Surat
Perintah 11 Maret, yang lebih dikenal lewat singkatannya, Supersemar.
Mendapatkan Supersemar, gerakan Soeharto tak tertahankan lagi. Keesokan
harinya, ia langsung membubarkan PKI dan organisasi massanya, serta
menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Tanggal 17 Maret 1966, Soeharto
menahan 15 menteri anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat G30S. Ia
juga membersihkan MPRS dari orang-orang yang diduga terlibat dalam G30S,
dan memasukkan orang-orang yang mendukung. Presiden Soekarno berulang
kali memprotes tindakan Soeharto, dan menyebutnya sebagai bertindak di luar
wewenangnya, tetapi Soeharto tidak peduli.
Situasi itu membuat ajudannya, Bambang Widjanarko menulis dalam bukunya,
Sewindu Dekat Bung Karno, "Berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) yang ditandatangani oleh BK sendiri itulah jalan hidup BK berubah
dan karier politiknya berakhir."
PRESIDEN Soekarno sesungguhnya sangat bisa jika ia ingin bertahan, dan
menghadapi rongrongan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto terhadap
kekuasaannya.
Masih banyak rakyat yang berdiri di belakangnya, demikian juga kesatuan-
kesatuan Angkatan Bersenjata, seperti Divisi Brawijaya, Divisi Diponegoro, dan
kesatuan-kesatuan Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian.
Bahkan, Komandan Korps Komando (KKO) Mayjen Hartono secara terbuka
menyatakan siap membela Presiden Soekarno.
"Mereka semua menunggu instruksi Presiden untuk bertindak. Dan instruksi itu
tak kunjung... tak kunjung datang," tulis Oei Tjoe Tat di dalam memoarnya.
Dari orang-orang yang dekat dengan Presiden Soekarno, diketahui bahwa ia
tidak ingin melihat perang saudara merobek-robek Negara Kesatuan Indonesia.
Oei Tjoe Tat bercerita, "Kalau perlu", demikian menurut sementara orang
menirukan ucapannya, "biarlah aku lepaskan jabatan kepresidenanku daripada
harus menyaksikan perang saudara yang nantinya bisa dimanfaatkan kekuatan-
kekuatan Nekolim."
Cerita ini dipertegas oleh Roeslan Abdulgani, dalam tulisannya di buku Tuhan,
Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, Pledoi Omar Dani, terbitan PT Media
Lintas Inti Nusantara, tahun 2001. Dalam pertemuan pada awal tahun 1967 di
Istana Bogor, Presiden Soekarno mengatakan, "Cak! Kalau saya maju selangkah
lagi memenuhi tuntutan mereka, akan pecah perang saudara. Brawijaya di Jawa
Timur sudah mau mengajak saya ke sana. Saya tidak ingin ada perang saudara.
Nekolim terang-terangan akan masuk. Dan kita akan dirobek-robek. Sekali lagi
Cak, relakan saya tenggelam. Asal jangan bangsa ini dirobek-robek oleh
Nekolim dan kaki tangannya."
Pada tanggal 7-12 Maret 1967, berlangsung Sidang Istimewa MPRS. Sidang itu
kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/ 1967 tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Ketetapan MPRS itu memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dari Presiden Soekarno, berlaku surut mulai 22 Februari 1967, dan
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Saat menerima berita tentang Ketetapan MPRS itu, Presiden Soekarno tengah
berada di Istana Bogor.
Bambang Widjanarko, dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno
menyebutkan, Kelihatan benar betapa terpukul hatinya saat itu. Lama ia duduk
diam tanpa berkata sepatah pun. Akhirnya ia menarik napas panjang dan
berkata, "Aku telah berusaha memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik
bagi nusa dan bangsa Indonesia."
* James Luhulima WartawanKompas.

You might also like