Professional Documents
Culture Documents
1
Bung Karno, Arsitek-seniman..........................................................................................................................6
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger.............................................................................................................8
Di Seberang Jembatan Emas..........................................................................................................................16
Bung Karno, Seni, dan Saya...........................................................................................................................23
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S............................................................................................29
Soekarno di Masa Krisis PDRI.......................................................................................................................38
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno................................................................53
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian...............................................................................................................59
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno........................................................................................................65
DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata
baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum.
Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama
kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M
Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno
menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia,
antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-
PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari
PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK
begitu marah dan kecewa.
Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang
pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial.
Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen
Koffi Annan, menjatuhkan sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak.
Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi
negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang
sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di
Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi
ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu
diisolasi Barat.
"Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai
dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina," kata
Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan
cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota
tetap DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina
sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam persoalan-
persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam
mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah
terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin.
Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata "globalisasi" atau
saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis.
Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah
mengucapkannya. "Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling
berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan
dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan
senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum
berkembang," ujar Sang Putra Fajar.
Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia
Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka
kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan
Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah
Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri,
Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun,
yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera,
melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun
dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang
film berusia muda.
Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight
Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang
terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun
1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya
di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu
berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di
Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times,
sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang
menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari
Bung Karno.
Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi
tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang
charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan,
pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan,
mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20,
yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah
Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala
negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara
mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan
militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri
semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat "senasib dan
sepenanggungan" di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang
bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang
bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai
akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun
1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan
Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk
digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin
Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak
hubungan yang sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun
Timur.
Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan
tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika
pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia
sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada
paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan
ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan
berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.
Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri
yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis,
peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi "soko guru"
sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai
posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah,
pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi,
membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.
Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral
AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis
sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu
pemberontakan PRRI-Permesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan
pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar
pemimpin yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang
containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik
yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina
meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang
memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno
mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung
internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari
gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat
akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Il-sung, pemimpin
Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk.
Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan
pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo
Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum
konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi
PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan,
wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga
Ganefo belaka.
***
SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan
politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan
keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber
pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang
dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar
negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.
Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik
Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun
penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung
Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia
yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai
kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.
Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada
kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat
Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika
menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya
terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi
mereka.
Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi "politik global"
Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan
antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau
Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di
Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai
etnis. Pendek kata, ia lebih "Indonesia" ketimbang menjadi seorang yang
"Jawasentris."
Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah "Indonesia
kecil" yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-
akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan
setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan
semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang
kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah "visi dunia"
seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia
belaka.
Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan
sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di
kemudian hari. Kebijakan anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk
membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah
pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua
bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan
GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis
ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin.
Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan
ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi
global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik
dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang
kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat
ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-
kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.
***
ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang
sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja,
satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah
ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang "stabil" pada
masa itu.
Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh
perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru
meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba
senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan
mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan
NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir
antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah
yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara
Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung
Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara,
dan antara Kuba dengan AS.
Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas
semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan
perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau
krisis militer. Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya
merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis
militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-
khususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno
mesti dilenyapkan.
Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat
ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri
yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno
bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih
kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.
Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik
luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde
Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma
mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga
merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa
tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih
hebat dari politik global Bung Karno?
Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya
melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita
masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak
harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita
pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang
diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.
* Budiarto Shambazy Wartawan Kompas.
JANUARI 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu
kudeta merebak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap
di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk
menukarkan kupon pemerintah dengan minyak goreng, gula, beras, tekstil, dan
kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilainya. Di hampir segala pelosok
kota di Jawa, barisan pengemis menadahkan tangan, berharap orang lain
mengasihani. Di pesisir selatan Jawa Tengah dan Timur, kelaparan mirip hama,
merembet dari desa ke desa lainnya. Di Kabupaten Gunung Kidul, DIY,
misalnya, ribuan penduduk berbondong-bondong meninggalkan desa menuju
kota dengan berjalan kaki. Dalam eksodus dengan perut kosong itu, mereka
memakan daun-daunan dan apa saja yang dilihat sepanjang jalan. Sedang
rekannya yang tidak kuat menahan derita dan kemudian tewas, mayatnya
ditinggal begitu saja.
Inilah kondisi Republik Indonesia yang tercabik-cabik oleh pertikaian dan perang
saudara. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari dilalui tanpa konflik
terbuka. Mirip kapal bocor di tengah terjangan badai dahsyat, republik yang baru
belajar merangkak itu nyaris tenggelam. Bahkan, ketika babak-belur menghadapi
agresi bersenjata Belanda, pecah Peristiwa Madiun (1948). Setelah itu
gelombang badai perang saudara susul-menyusul menghantam republik.
Di Jawa Barat, SM Kartosuwirjo memproklamirkan DI/ TII, diikuti oleh Daud
Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Di Maluku, mereka
yang kecewa pada pemerintah pusat, bergabung dengan elemen-elemen eks
tentara kolonial, membentuk RMS (Republik Maluku Selatan). Belanda ikut pula
membantu persenjataan melalui Papua Barat.
Belum lagi usai pemberontakan DI/TII dihadapi, muncul PRRI dan Permesta di
Sumatera dan Sulawesi. Ketika gerakan pemberontak ini mulai dapat
dipatahkan, Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat, yang
kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai perhelatan besar ini, lahir pula konfrontasi
menentang pembentukan federasi Malaysia tahun 1963.
Semua ini menguras energi nasional. Pembangunan ekonomi terbengkalai.
Kehidupan di berbagai sektor morat-marit. Namun bagi angkatan darat, keadaan
ini membuka peluang untuk tampil sebagai garda republik. Mereka
mentransformasikan organisasinya menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Bung Karno tidak mampu mengimbangi permainan Angkatan Darat, yang
bergerak secara sistematis dengan roda organisasinya.
Bung Karno sendiri bukannya tidak menyadari keadaan yang membahayakan
itu. Namun, semangat revolusionernya yang tidak pernah pudar, yang
dirumuskannya sebagai "maju terus pantang mundur," mengharuskan bekerja
sama dengan Angkatan Darat. Tanpa dukungan angkatan bersenjata,
khususnya Angkatan Darat, semangat itu tidak akan terdengar gaungnya, karena
revolusi tidak dapat lepas dari konfrontasi dan sejenisnya. Sedang konfrontasi
membutuhkan angkatan perang.
Bagi Angkatan Darat di bawah Kolonel Nasution, inilah jembatan emas menuju
puncak kekuasaan. Transformasi itu mencapai puncaknya pada periode Orde
Baru. Atau seperti tulis Adam Schawarz dalam bukunya A Nation in Waiting,
Indonesia in 1990's, mereka yang tadinya berada di bawah pemerintahan sipil,
berbalik mendominasi sipil.
ANGKATAN Darat sendiri sesungguhnya penuh dengan bisul konflik. Namun,
dialihkan kepada sipil, hingga membuat citra sistem demokrasi parlementer
mengalami degradasi. Jatuh-bangunnya kabinet menjadi bulan-bulanan. Bahkan
dianggap sebagai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Elite politik
diidentikkan dengan pengacau. Sedang jajaran pejabat sipil dituding korup dan
tidak becus mengurus pemerintah.
Padahal nyaris tidak satu pun konflik yang membahayakan bangsa absen dari
keterlibatan para perwira Angkatan Darat. Singkatnya, konflik bersenjata yang
terjadi selama ini sebagai solusi terhadap masalah-masalah politik, baik itu
Peristiwa Madiun, DI/TII, RMS, PRRI-Permesta, hingga G30S, tidak lepas dari
konflik dalam tubuh angkatan perang Indonesia, khususnya Angkatan Darat.
Bahkan gelombang perang saudara yang melanda Aceh dan Maluku, juga tidak
luput dari intervensi sejumlah anggota militer.
Sebagai institusi, tindakan paling berani dilakukan pada 17 Oktober 1952. KSAD
Kolonel AH Nasution marah setelah konsep reorganisasi dan rasionalisasi
Angkatan Darat tidak didukung pemerintah. Selain mengerahkan 30.000 orang
menuntut dibubarkannya kabinet, di depan Istana, perwira yang loyal kepada
Nasution juga mengarahkan meriam ke Istana.
Percobaan kudeta ini gagal, karena Bung Karno tidak mempan digertak.
Sebaliknya, Nasution malah dipecat. Waktu itu pemerintah terpaksa menolak
gagasan Nasution akibat munculnya protes dari para perwira eks Pembela
Tanah Air (Peta). Dalam hal ini Nasution bukannya melakukan konsolidasi
menyelesaikan masalah internal, sebaliknya justru mencari sasaran ke Istana.
Sejak peristiwa itu, Angkatan Darat makin percaya diri. Apalagi setelah berhasil
mendesak mundur Kabinet PM Ali Sastroamidjojo tahun 1955. Tanggal 15
November 1956, Kolonel Zukifli Lubis malah mencoba melakukan kudeta dengan
menduduki Jakarta. Perwira yang loyal kepada Nasution itu berhasil
menghempang masuknya beberapa batalyon pasukan Siliwangi ke Jakarta.
Setahun kemudian, 30 November 1957, Saleh Ibrahim, ajudan Kolonel Lubis,
mencoba membunuh Bung Karno dalam apa yang kemudian dikenal sebagai
Peristiwa Cikini.
Semua peristiwa itu bersumber pada konflik intern Angkatan Darat. Bung Karno
mendukung penunjukan kembali Nasution sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia
menaruh harapan besar atas rencana reorganisasi dan rasionalisasi Nasution
yang pernah ditolaknya. Tapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Konflik
internal Angkatan Darat makin memanas. Para panglima militer di daerah malah
mengambil alih pemerintahan dari tangan sipil, dan memberlakukan darurat
perang. Puncaknya adalah PRRI-Permesta, 1958.
Disadari atau tidak, harapan Bung Karno untuk "mengandangkan" Angkatan
Darat dan menjauhinya dari kudeta militer, mirip suatu kemustahilan. Angkatan
darat telanjur ikut dalam proses politik. Lantas jika muncul ambisinya untuk
memperoleh kekuasaan politik lebih besar, jelas sulit untuk dihempang.
Persoalannya, seperti kata Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics
in Indonesia, Angkatan Darat lahir dari situasi perjuangan politik kemerdekaan.
Embrionya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh masing-masing partai
maupun organisasi politik. Faksi-faksi menjadi lumrah. Seperti halnya dalam
politik, Angkatan Darat juga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan bisnis.
Jika pendapat ini diformulasikan dalam suatu proposisi, maka sebaliknya adalah
benar bahwa penolakan Angkatan Darat terhadap demokrasi parlemen tidak
dapat dilepaskan dari substansi sistem parlementer, yang mustahil memberi
tempat bagi hegemoni militer. Dengan konsep one men one vote saja, Angkatan
Darat tidak akan pernah di atas sipil. Pendapat yang hampir sama dikemukakan
Adam Schwarz.
BUNG Karno yang sejak awal tidak menyukai sistem demokrasi parlementer,
gusar setelah kabinet baru hasil Pemilu 1955, mengabaikan perintahnya agar
PKI disertakan. PKI secara mengejutkan berhasil menempati urutan ke-4 dalam
jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955. Namun, Mohammad Hatta yang anti-
PKI dan memandang sistem parlementer masih yang terbaik, merespons Bung
Karno dengan mengundurkan diri sebagai wapres pada tanggal 1 Desember
1956.
Mundurnya Hatta, meningkatnya perlawanan di daerah, dan pertarungan antar-
elite politik di Jakarta, tidak membuat Bung Karno mundur. Tanggal 21 Februari
1957, secara resmi diumumkan Demokrasi Terpimpin berikut kabinet Nasakom
(koalisi PNI, Masyumi, NU, dan PKI), didampingi Dewan Nasional sebagai
penasihat. Dewan ini beranggotakan wakil-wakil golongan fungsional yang ada
dalam masyarakat.
Ada beberapa argumentasi Bung Karno menyertakan PKI. Antara lain agar partai
ini ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Selama ini kabinet hanya
jadi bulan-bulanan PKI. Tapi di balik itu sesungguhnya Bung Karno ingin
menciptakan kekuatan tandingan bagi Angkatan Darat untuk mencegah kudeta
maupun konsentrasi kekuasaan yang berlebilihan.
Bagi Bung Karno, PKI yang merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia
dalam jumlah anggota, dapat pula dipakai mencegah subversi imperialis AS dan
sekutu-sekutunya melalui solidaritas negara-negara sosialis.
Sebaliknya PKI merasa aman di bawah payung Bung Karno. Sebagai balas budi,
PKI merapatkan barisan mendukung kepemimpinan Bung Karno secara
konsekuen, dan mengganyang mereka yang menentang Pemimpin Besar
Revolusi. Kedekatan Bung Karno dengan PKI menimbulkan kejengkelan di
kalangan Angkatan Darat dan juga parpol, khususnya Masyumi dan PKI. Tahun
1960 Nasution memerintahkan penangkapan Aidit dan anggota politbiro PKI
lainnya. Namun, segera dibebaskan setelah intervensi Bung Karno.
Dalam konteks Perang Dingin yang sedang mencapai titik didih ketika itu, sikap
politik Bung Karno dipandang Presiden Eisenhower sebagai membahayakan
kepentingan AS di Asia Tenggara. Terlebih lagi setelah PKI mendapat suara
yang begitu besar dalam pemilu. Sedang sukses Konferensi Asia Afrika di
Bandung adalah bukti Soekarno condong ke kiri. Maka jika awal 1950 Gedung
Putih masih hati-hati menyikapi Bung Karno, setelah pertengahan 1950-an
pendapatnya bulat, Bung Karno berbahaya. CIA, Dinas Intelijen AS, mulai
menyusun rencana rahasia.
CIA sendiri sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya bergerak di
Indonesia. Tapi operasinya terbatas pada memberi dukungan dan bantuan
keuangan bagi kelompok anti-PKI. Salah satu parpol yang anti-PKI dan anti-
Bung Karno, pernah mendapat bantuan satu juta dollar AS. Dana yang ditransfer
melalui Hongkong itu untuk membiayai kampanye Pemilu 1955.
Peristiwa Cikini yang hampir menewaskan Bung Karno adalah indikasi
perubahan sikap AS. Bung Karno sendiri menuding CIA dalangnya, walaupun
sulit membuktikannya. Tapi tahun 1975 komisi yang diprakarsai Senator Frank
Chuch mengusut kegiatan CIA, menemukan indikasinya. Di depan komisi ini,
Richard M. Bissel Jr, mantan wakil direktur CIA pada masa pemerintahan
Eisenhower, mengaku dinas intelijen pernah mempertimbangkan membunuh
Bung Karno. Namun perencanaannya terbatas pada mengumpulkan aset yang
memungkinkan untuk melaksanakannya.
Bagi Eisenhower, tidak ada jalan lain kecuali menetralisasi (baca: meniadakan)
Bung Karno, entah dengan cara apa pun. Sebab, jika Indonesia jatuh ke tangan
komunis, Malaysia hanya tinggal menunggu waktu saja, kemudian Thailand dan
negara-negara tetangganya.
Kebijakan garis keras ini diteruskan oleh Presiden Kennedy dan Lyndon B
Johnson. Tapi apa sesungguhnya yang membuat AS habis-habisan intervensi di
wilayah RI tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi
dan geopolitiknya, karena kekayaan sumber alam Indonesia disebut menempati
urutan kelima di dunia. Jepang, misalnya, sangat bergantung pada pasokan
bahan bakar minyak dari Indoensia.
Selain kepentingan ekonomi, posisi Indonesia yang strategis di jalur pelayaran
internasional menjadi penting bagi geopolitik AS. "Vietnam dan negara
tetangganya boleh jatuh ke tangan komunis, tapi kita tidak akan melepaskan
Indonesia dengan taruhan apa pun," ujar Eisenhower dalam pidato awal 1950.
Tahun 1962, satu memorandum Presiden Kennedy dengan PM Inggris
Macmillan, berisi kesepakatan untuk "melikuidasi" (baca: membunuh) Presiden
Soekarno, jika ada peluang untuk itu. Tahun 1966, setahun setelah
meninggalkan posnya sebagai duta besar AS di Jakarta, Howard Jones
mengatakan, sedikitnya ada tiga kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno setelah Peristiwa Cikini. Semuanya hampir berhasil.
Dalam bukunya Killing Hope, William Blumn malah menyebut, CIA dengan
bantuan agen FBI di Los Angeles, membuat film cabul dengan pemeran pria
mirip Bung Karno. Di situ dikisahkan, wanita kulit putih teman kencannya,
ternyata agen Soviet yang sedang melakukan pemerasan.
Mantan anggota CIA menambahkan, dinas intelijen AS pernah pula
menyebarkan berita bohong mengenai tindakan tidak senonoh Bung Karno
terhadap pramugari Soviet dalam suatu penerbangan. Semua ini, ujar Blumn,
dimaksud untuk mendiskreditkan Bung Karno. Namun tidak berhasil, karena
rakyat Indonesia masih mencintai pemimpinnya itu.
Mantan penerbang CIA, Poultry Fletcher yang menulis buku The Secret War,
menyebut begitu ambisiusnya Gedung Putih menggusur Bung Karno, hingga
operasi rahasia membantu PRRI-Permesta merupakan terbesar dalam sejarah
CIA. Mantan kolonel penerbang AU-AS ini mengatakan, CIA telah menyiapkan
peralatan militer bagi 40.000 personel PRRI-Permesta. CIA juga
mengoperasikan 15 pesawat pembom B-26 yang dikemudikan penerbang
Taiwan, Korsel, Filipina, dan AS.
Akan tetapi sejarawan terkemuka George McT Kahin (Subversion as Foreign
Policy) mengatakan, AS memasok sebagian besar persenjataan bagi 8.000
personel pemberontak di Sumatera. AS juga melibatkan elemen-elemen Armada
VII dan kapal-kapal selam untuk memasok senjata.
Setelah PRRI-Permesta mulai surut, Gedung Putih menerapkan politik bermuka
dua. Selain membantu militer dan perguruan tinggi Indonesia, CIA masih
mensuplai senjata bagi sisa-sisa Permesta dan DI/TII. Bantuan program
pelatihan militer AS kepada TNI meningkat drastis antara tahun 1960-1965.
David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia
mengatakan, pada periode itu AS mengirim Guy Pauker untuk menginfiltrasi
Angkatan Darat melalui pembenahan Sekolah Komando Angkatan Darat
(Seskoad). Pauker juga membangun jaringan dengan intelektual PSI dan
Masyumi, yang sejak lama dikenal CIA dan disebut sebagai patriot. Pauker
mengenalkan konsep bakti sosial, yang tidak lain adalah bagian dari teror dan
perang urat syaraf, dalam kurikulum Seskoad. Istilah "sapu bersih" pertama kali
digunakan oleh Pauker. Menurut Dr Peter Dale Scott (How the US and the
Overthrow of Sukarno, 1965-1967), Pauker dan sahabatnya, Mayjen Suwarto,
merancang struktur kurikulum yang menyiapkan Angkatan Darat mengambil alih
bisnis dan pemerintahan.
Selain pembenahan Seskoad, CIA membantu program pendidikan di AS bagi
perwira Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, sedikitnya dua pertiga perwira
menengah dan tinggi Angkatan Darat pernah dididik di AS.
DENGAN diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, porsi kekuasaan Angkatan
Darat makin besar. Sebagai golongan fungsional, kini mereka berhak
mempunyai wakil di pemerintahan. Kekuasaannya makin tidak tertandingi lagi,
karena sebelum mengembalikan mandatnya PM Ali Sastroamidjojo memenuhi
permintaan Nasution bagi keadaan darurat perang (SOB) secara nasional.
Nasution dengan cerdik segera memerintahkan para perwiranya mengambil alih
perusahaan-perusahaan eks Belanda dari tangan buruh. Melalui perusahaan
yang disita Pemerintah RI ini, Angkatan Darat berkembang menjadi kekuatan
ekonomi. Kampanye merebut Irian Jaya, yang berubah menjadi konfrontasi
meletihkan, juga atas prakarsa Nasution dengan membentuk Front Nasional.
Nasution secara ajaib berhasil mengangkat Angkatan Darat menjadi kekuatan
sosial, politik, dan ekonomi, hanya dalam tempo dua tahun. Sedang Bung Karno
yang gembira diakhirinya sistem parlementer, tidak keberatan atas SOB. Ia
mengira SOB akan menunjang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara
konsekuen. Padahal kedua hal ini merupakan jembatan emas bagi Angkatan
Darat menuju puncak kekuasaan.
Demikian pula ketika November 1958 ia menawarkan konsep Jalan Tengah
(dwifungsi) dan kembali ke UUD 1945, yang disebutnya untuk mencegah kudeta
militer. Bung Karno menyambutnya gembira melalui Dekrit 5 Juli 1959, kembali
ke UUD 1945, serta pembubaran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955.
Sejak itu hampir sepertiga anggota kabinet diisi kalangan militer. Demikian pula
pemerintahan di daerah. Tahun 1964 misalnya, dari 24 jabatan gubernur 12
dipegang oleh perwira Angkatan Darat.
Angkatan Darat de facto sudah memegang kendali kekuasaan RI. Itu sebabnya
ketika Bung Karno menyerukan konfrontasi terhadap Malaysia, 1963, reaksi
Angkatan Darat agak dingin. Mereka tidak lagi melihat ada manfaatnya.
Bung Karno amat terpukul setelah kemudian mendapat laporan dari TNI AU dan
AL pada tahun 1964. Kedua angkatan ini mengalami kerugian yang besar dalam
konfrontasi, akibat Angkatan Darat belum juga melakukan ofensif, sementara
formasi dari udara dan laut sudah dibuka. Akhirnya AU dan AL mengandalkan
tenaga sukarelawan.
Wakil Panglima Siaga Mayjen Soeharto, yang juga Pangkostrad, ternyata bukan
saja enggan bergerak, tapi malah melakukan kontak-kontak rahasia dengan
Malaysia dan Singapura untuk menghindari konfrontasi. Melalui kurirnya, Kolonel
Ali Moertopo, berulang kali diadakan pertemuan dengan Norman Breddway,
pakar perang urat syaraf MI-6, dinas intelijen Inggris, dan juga penasihat politik
panglima militer Inggris di Singapura.
TANGGAL 21 Januari 1965 pukul 21.48, satu telegram dari Kedubes AS di
Jakarta masuk ke Deplu di Washington. Isinya informasi pertemuan pejabat teras
Angkatan Darat pada hari itu. Mengutip seorang perwira tinggi yang hadir
disebutkan, ada rencana untuk mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno
berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan, tergantung pada keadaan
konflik yang sedang dibangun beberapa pekan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari
kemudian Angkatan Darat akan menyapu PKI.
Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B Johnson Lybrary dengan nomor
kontrol 16687 itu menyebut, berberapa perwira yang hadir malah menghendaki
agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Maret tahun itu juga Dubes Howard Jones, sebagai mana dikemukakan George
Kahin, mengatakan kepada pejabat senior Pemerintah AS, "dari sudut pandang
kami tentu saja percobaan kudeta yang ternyata gagal, merupakan
perkembangan yang paling efektif untuk membelokkan arah politik Indonesia".
(Dan Angkatan Darat mendapat kebebasan untuk menghancurkan PKI). Tahun
sebelumnya, Dubes Jones pernah membujuk Jenderal Nasution agar Angkatan
Darat mengambil tindakan tegas terhadap PKI.
Dalam analisa intelijen AS, merontokkan PKI akan membuat Bung Karno
lumpuh. Atau meminjam pendapat Dr John W. Tate (From the Sukarno to the
Soeharto Regimes), PKI merupakan pendukung utama Bung Karno. Tanpa PKI,
Presiden Soekarno akan berhadapan dengan Angkatan Darat dan kelompok
Islam yang menudingnya sekuler.
Bulan Agustus 1965 tiba-tiba muncul isu merosotnya kondisi kesehatan Presiden
Tidak jelas dari mana sumber isu ini, walaupun disebut-sebut nama tim dokter
RRC. Namun dalam kabel perwakilan CIA di Jakarta dengan nomor TDCS-314/
11665-65, salah satu bagian mengutip informasi dari salah satu pembantu dekat
Soekarno mengenai penyakit ginjal presiden yang sangat kronis. "Diperkirakan
Soekarno bisa saja meninggal mendadak dalam waktu dekat".
Dua pekan kemudian muncul pamflet gelap yang mengungkap detail rapat-rapat
CC-PKI, membahas kemungkinan mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno
meninggal secara mendadak. Isi pamflet itu menimbulkan kecemasan di
kalangan perwira tinggi Angkatan Darat, karena memuat daftar nama-nama
jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI juga mendapat pamflet gelap yang
berisi rencana detail Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan kemudian akan
mengeksekusi pimpinan dan kader-kader PKI.
Dua minggu sebelum meletusnya G30S, Dubes AS yang baru Marshall Green,
meminta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Demikian pula
MI-6, yang terus-menerus menyiarkan berita menyesatkan. Pada waktu hampir
bersamaan, muncul berita di salah satu surat kabar di Jakarta mengenai kapal
bermuatan senjata kiriman RRC untuk PKI, sedang berlayar dari Hongkong
menuju Jakarta. Menurut Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), surat kabar Malaysia itu sendiri mengutip sebuah surat kabar di Bangkok.
Sedang Bangkok mengutip sebuah kantor berita yang memperoleh informasi dari
sumber di Hongkong.
Mantan veteran CIA itu menyebut, inilah rekayasa disinformasi. Bahkan
kemudian dibuat dokumen-dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan
aslinya, seperti halnya juga dokumen (palsu) PKI berikut daftar nama jenderal
yang akan dibunuh. Dengan cara ini CIA berhasil menimbulkan ketegangan dan
saling curiga yang gawat. Sebuah pemantik kecil akan menyulutnya menjadi
banjir darah.
Puncak dari semua ini adalah ketika sekelompok perwira dipimpin Letkol Untung,
mantan bawahan Soeharto di Kodam Diponegoro, mencoba anggota Dewan
Jenderal kepada Bung Karno. Namun entah bagaimana kemudian, atas perintah
Syam (Kamaruzaman), para jenderal itu dieksekusi.
Syam-yang disebut-sebut tokoh misterius-menurut berbagai peneliti asing,
pernah menjadi kader PSI dan dekat dengan Soeharto ketika di Semarang.
Syam juga disebut-sebut sebagai intel Kodam Jaya, yang berhasil disusupkan
dalam tubuh PKI. Dalam pengakuannya kepada aparat yang memeriksa, ia
dipercaya DN Aidit membentuk Biro Khusus untuk menginfiltrasi TNI. Anehnya,
kecuali Aidit, tidak satu pun jajaran anggota Politbiro maupun CC PKI yang
mengetahui ihwal Biro Khusus. Suatu hal yang sesungguhnya mustahil dalam
organisasi partai yang berideologi marxisme. Aidit sendiri dieksekusi Angkatan
Darat, sehari setelah ditangkap di tempat persembunyiannya di Solo. Eksekusi
ini membuat tertutupnya kemungkinan membuktikan ada tidaknya Biro Khusus
itu.DOKTOR Peter Dale Scott melihat banyak keanehan dalam peristiwa ini.
Contohnya saja, dua pertiga dari kekuatan satu brigade pasukan para komando,
ditambah satu kompi dan satu peleton pasukan lainnya, yang merupakan
kekuatan keseluruhan G30S, sehari sebelumnya diinspeksi Mayjen Soeharto.
Sedangkan pasukan elite dari Batalyon 454 dan 530 Banteng Raiders datang ke
Jakarta atas radiogram Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk parade HUT ABRI 5
Oktober. Kedua batalyon pendukung utama G30S ini sejak tahun 1962 rutin
memperoleh bantuan pelatihan AS.
Dalam siaran RRI tanggal 1 Oktober, tambah Peter Scott, Letkol Untung
mengatakan, Presiden Soekarno berada dalam keadaan aman di bawah
perlindungan Dewan Revolusi. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bung
Karno berada di tempat lain. Dalam susunan Dewan Revolusi yang berkuasa,
Untung sama sekali tidak menyebut nama Bung Karno.
Melalui corong RRI tersebut Untung mengatakan adanya rencana jahat Dewan
Jenderal untuk menggulingkan Bung Karno. Pasukan didatangkan dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Padahal pasukan ini disiapkan untuk parade HUT ABRI
5 Oktober. Untung sendiri ikut dalam perencanaan parade tersebut. Anehnya
lagi, di seberang stasiun RRI yang dikuasai gerakan ini terletak markas utama
Kostrad, yang sama sekali tidak disentuh.
Sama seperti Biro Khusus, peran Untung yang sesungguhnya sulit diketahui. Ia
mengalami nasib yang sama seperti Aidit. Dieksekusi ketika tertangkap dalam
pelarian ke Jawa Tengah.
Situasi Jakarta sendiri tidak menentu setelah meletusnya G30S. Namun, Norman
Reedway, pakar perang urat syaraf MI-6 yang berpangkalan di Singapura,
mengaku bekerja sama dengan CIA menyebarkan disinformasi keterlibatan PKI.
Saluran radio Indonesia sempat ditutup mereka dan dimunculkan berita dari BBC
yang seolah-olah mendapat laporan dari Hongkong, mengenai keterlibatan RRC
membantu PKI dalam gerakan tersebut.
Presiden Johnson melalui radiogram tanggal 9 Oktober 1965 memberi petunjuk
ke Kedubes AS di Jakarta. Isinya antara lain berbunyi, inilah saat kemenangan
yang paling tepat bagi pimpinan Angkatan Darat untuk bertindak, karena posisi
mereka sangat menentukan atas kekuasaan Soekarno. Jika momentum ini tidak
dimanfaatkan, bukan mustahil akan mendapat pembalasan yang lebih keras dari
oposisi. Tapi jika Angkatan Darat memenangkannya, Soekarno tidak akan
pernah kembali berkuasa.
Itu pula sebabnya ketika utusan Mayjen Soeharto meminta bantuan melalui
Kedubes AS di Jakarta untuk mempersenjatai milisi Muslim menghancurkan PKI
di Jateng dan Jatim, Gedung Putih segera memenuhinya dengan bersembunyi di
balik kiriman bantuan obat-obatan. Bahkan, seperti ungkap wartawati Kathy
Cadane, Pemerintah AS melalui Kedubesnya di Jakarta memberi daftar nama
5.000 kader PKI kepada Mayjen Soeharto melalui Adam Malik.
Kolonel Latief-yang dalam pledoinya menyebut amat sangat dekat dengan
mantan komandannya, Mayjen Soeharto-mengaku telah dua kali menyampaikan
informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak
memberi reaksi apa pun. Latief yang disebut-sebut pada masa itu sebagai orang
kedua setelah Letkol Untung, berkesimpulan dalam pledoinya, Dewan Jenderal
itu terbukti memang ada dan berhasil menggulingkan Bung Karno.
Tapi apa pun bukti-bukti sejarah yang kelak diperoleh dalam peristiwa ini, semua
tidak akan menolong 500.000-1 juta jiwa korban tewas dibunuh dalam tragedi
berdarah itu hanya karena diduga kader, anggota atau simpatisan PKI.
Pengungkapan kasus ini kembali tidak akan bisa pula memulihkan penderitaan
700.000 orang rakyat Indonesia, berikut keluarganya, yang ditangkap dan disiksa
selama bertahun-tahun atas tuduhan yang sama.
Laporan CIA tahun 1967 menyebut, pembantaian setelah peristiwa G30S
sebagai salah satu peristiwa yang sangat mengerikan dalam abad kedua puluh.
Tidak kalah dengan pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman.
Inilah yang disebut sebagai tumbal tujuh Pahlawan Revolusi. Banyak elite politik
kita yang hingga saat ini bangga atas pembantaian rakyat Indonesia itu.
Kekejaman mereka atas kematian tujuh Pahlawan Revolusi dianggap pantas
dibayar dengan nyawa sedemikian banyak.
Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi pro Jenderal
Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada Januari
1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama pimpinan Angkatan Darat tersebut.
Ahmad Yani sendiri dikenal sebagai sangat loyal kepada Bung Karno.
Sedangkan tiga dari lima jenderal anti-Yani, termasuk Mayjen Soeharto, adalah
figur utama dalam menumpas G30S. "Tidak seorang pun di antara jenderal anti-
Bung Karno menjadi target Gestapu," tulis Peter Scott. Sedang yang dialami
Jenderal Nasution disebutnya sebagai salah sasaran. Pangkostrad, orang kedua
setelah KSAD, yang memegang komando pasukan, malah tidak masuk dalam
target G30S. Bahkan posisi pasukan pendukung utama G30S, berada di
lapangan Monas, persis berhadapan dengan Markas Mayjen Soeharto.
Peter Scott melihat peristiwa ini lebih merupakan konflik intern Angkatan Darat,
yang kemudian digiring menghancurkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Tapi
peneliti lainnya ada yang melihat peristiwa ini memang melibatkan unsur PKI.
Ada beragam versi. Tapi di Indonesia sendiri Angkatan Darat di bawah Jenderal
Soeharto berhasil membentuk opini publik ke arah penghakiman Bung Karno,
sebagai terlibat dalam G30S.
Bung Karno dipaksa mendelegasikan kekuasaan melalui Surat Perintah 11
Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto. Seperti halnya misteri G30S,
Supersemar juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Apakah benar ada,
apakah benar sudah ditandatangani Soekarno. Naskah aslinya sendiri "lenyap".
Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolir Bung
Karno. Proklamator ini, seperti dikemukakan Adam Schwarz dan John Tate,
kembali dipaksa menyerahkan kedudukannya, setelah diancam akan diseret ke
pengadilan. Bung Karno akhirnya lengser dan dikenai status tahanan rumah. Ia
diinterogasi secara maraton oleh perwira militer. Proklamator dan Bapak Bangsa
ini menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri.
Lantas apakah masuk akal Proklamator ini terlibat dalam pembunuhan para
jenderal yang loyal kepadanya, dan tidak disukai oleh Soeharto yang anti-Bung
Karno?
* Maruli Tobing Wartawan Kompas.
MEMAHAMI manusia besar seperti Bung Karno tidaklah mudah. Setiap episode
perjalanan hidupnya merupakan proses menuju pematangan pribadi sebagai
seorang manusia biasa maupun sebagai pemimpin. Episode itu sangat panjang,
sejak ia dilahirkan sampai akhir hidupnya.Bila kita membaca berbagai tulisan
mengenai Soekarno, tampak benang merah yang memperlihatkan Soekarno
sebagai manusia multidimensi. Di satu sisi adalah manusia yang sangat rasional
ketika berhadapan dengan kepentingan bangsanya, tetapi di sisi lain ia bisa
menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan penjajah Belanda. Atau ia
bisa menjadi sangat sentimental dan perasa ketika berhadapan dengan
perempuan. Boleh dikatakan Soekarno adalah manusia yang rasional, sekaligus
perasa dan sentimental.
Seluruh perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi sifat personalitasnya itu. Salah
satu episode penting adalah masa awal abad ke-20, khususnya periode 1927
sampai ketika ia dibuang ke Ende, Flores. Sebagaimana para pemimpin
pergerakan kebangsaan lainnya, penjara atau pengasingan sudah merupakan
bagian yang inheren sebagai konsekuensi perjuangan. Soekarno pun menyadari
hal itu, dan secara mental sudah menyiapkan diri. Untuk membesarkan hatinya
ia suka mengulangi apa yang diucapkan pemimpin revolusi Perancis, Danton,
dalam perjalanan gerobak sampah sebelum menuju tiang gantungan, "Audace,
Danton, Toujours de l'audace", artinya, "Keberanian, Danton, Junjunglah Selalu
Keberanian"!.
Maka Soekarno tidak pernah berhenti berpidato dari satu tempat ke tempat
lainnya. Ia menggerakkan dan menggelorakan semangat rakyat untuk merebut
kembali kemerdekaan asasinya yang telah direbut dan dinjak-injak oleh
pemerintah kolonial Belanda. Katanya, "Hayolah kita bergabung menjadi satu
keluarga yang besar dengan satu tujuan yang besar, menggulingkan pemerintah
kolonial, melawannya, dan bangkit bersama-sama". Agitasi semacam ini
dilakukannya terus-menerus dalam setiap orasinya di depan rakyat.
Semua tahu, Soekarno adalah singa podium yang mempunyai kemampuan
menerapkan berbagai gaya bahasa orasi seperti retorika, personifikasi, dan
hiperbola. Ia mempersonifikasikan realitas dengan perumpamaan benda-benda
yang mampu mendatangkan efek 'menekan', dan pidatonya itu mampu
menggetarkan emosi rakyat. Inggit Ganarsih misalnya, menceritakan bagaimana
Soekarno membandingkan potensi ledakan kemarahan rakyat yang selalu
ditekan dan ditindas pemerintah kolonial Belanda dengan Gunung Kelud yang
ketika meledak mendatangkan suara gemuruh hebat. Kata Soekarno, "Manakala
perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara". Tidak heran rakyat
selalu berkerumun manakala mendengar Soekarno akan berpidato. Ia memang
pandai memainkan emosi rakyatnya.
***
PERIODE 1926 sampai dengan ketika Soekarno ditangkap pada tahun 1929
merupakan periode bergolaknya semangat perlawanan terhadap pemerintah
kolonial. Pada waktu itu PKI baru saja gagal dalam pemberontakan melawan
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1926, sehingga partai tersebut dilarang dan
tokohnya seperti Semaun dan Alimin dikucilkan. Maka PNI mulai berkembang
pesat, sementara Perhimpunan Indonesia di Belanda juga melakukan
propaganda gerakan nasionalis untuk disebarluaskan di Indonesia. Ada
semacam pertemuan kepentingan antara gerakan di Tanah air dengan yang di
negeri Belanda. Tokoh nasionalis mulai bermunculan seperti Soekarno, Sjahrir,
Hatta, Sartono, dan Sukiman, di samping sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh
pergerakan dari kalangan Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan Haji
Agus Salim.
Ketika agitasi Soekarno dan kawan-kawannya dari kalangan gerakan nasionalis
semakin mampu menciptakan gerakan massa yang sadar politik dan dianggap
membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda, maka pemerintah
kolonial mulai mengawasi segala gerak-gerik Soekarno dan kawan-kawannya.
Pengalaman pertamanya di penjara adalah ketika ia ditangkap bersama dengan
Gatot, Maskun, dan Supriadinata pada malam tanggal 29 Desember 1929. Ia
dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung, selama delapan bulan, sebelum pada
akhirnya menetap di Penjara Sukamiskin selama dua tahun. Di sini Soekarno
tidak hanya dipenjarakan, tetapi juga diasingkan, tidak boleh berkomunikasi
dengan orang luar maupun sesama tahanan. Soekarno mengatakan, hanya
cicaklah yang menjadi temannya.
Banceuy adalah penjara tingkat rendah yang didirikan abad ke-19. Keadaannya
kotor, bobrok, dan tua. Di sana ada dua macam sel, untuk tahanan politik dan
tahanan pepetek (rakyat jelata). Kalau yang pepetek tidur di atas lantai semen,
maka yang satu lagi tidur di atas velbed yang dialasi tikar rumput. Soekarno
menceritakan pada Cindy Adams betapa tertekan dirinya dalam penjara itu.
"Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali
menghadapi hal ini semua dengan
diam-diam jauh dalam kalbuku sebelum ini. Akan tetapi ketika pintu yang berat
itu tertutup rapat dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati".
Pengadilan politik mulai digelar pada tanggal 18 Agustus 1930 di pengadilan
Landraad, Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, Soekarno dijatuhi
hukuman empat tahun penjara. Soekarno naik banding, menyusun pledoi, dan
membacakan pidato pembelaannya yang sangat terkenal berjudul Indonesia
Menggugat. Pidatonya itu menjelma menjadi suatu dokumen politik historis
menentang kolonialisme dan imperialisme. Di situ Soekarno menampilkan diri
sebagai manusia 'penggerak', juga intelektual muda yang sedang berusaha
memahami persoalan bangsanya berhadapan dengan kolonialisme Belanda.
Boleh dikatakan isi pidato itu merupakan intisari hasil jelajah pikiran Soekarno
selama 15 tahun belakangan terhadap tulisan para pemikir besar dunia yang
menentang segala bentuk penindasan atau eksploitasi sesama manusia.
Sejak masih tinggal dengan keluarga HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Soekarno
sudah membaca tulisan pemikir-pemikir besar dunia. Ia membaca Gladstone dari
Britania serta Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh Inggris.
Ia gandrung pada karya-karya Karl Marx, Friederich Engels, termasuk Lenin dari
Rusia. Karya Karl Kautsky juga dibacanya. Ia pun sangat menyukai Jean
Jacques Rousseau, serta ahli pidato dari Perancis Aristide Briand dan Jean
Jaures. Ia juga sering menyamakan dirinya sebagai Danton atau Voltaire, karena
begitu kagumnya kepada dua orang itu.
Dan sebenarnya cita-cita dan dasar pemikiran politiknya sudah terbentuk pada
tahun 1920 itu, yakni sintesa antara tiga aliran besar yaitu nasionalisme,
marxisme dan Islamisme. Soekarno selalu mengatakan bahwa menyatukan
ketiga aliran itu merupakan keharusan dalam rangka menyatukan kekuatan
bangsa Indonesia menentang kolonialisme untuk mencapai pintu gerbang
kemerdekaan. Ketiga aliran itu bisa saling mengisi.
***
TESIS yang diajukannya dalam Indonesia Menggugat sebenarnya juga diilhami
oleh dasar-dasar pemikiran politiknya itu. Yang paling dominan adalah
analisisnya mengenai kejahatan ekonomi dan kejahatan kemanusiaan yang telah
dilakukan pemerintah kolonial selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Soekarno memaparkan data mengenai penderitaan rakyat Indonesia. Misalnya
dikatakan, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun rata-rata
161 gulden, sementara beban setahun rata-rata 22,50 gulden, sehingga
penghasilan bersih setahun adalah 138,50 gulden. Kalau dihitung, maka rata-
rata pengeluaran setiap bulan adalah 12 gulden dan pengeluaran per hari 0,40
gulden. Maka apabila dimakan untuk lima orang, setiap harinya adalah sebesar
0,08 gulden per orang. Tidak heran, kondisi rakyat hari ini makan, besok belum
tentu makan. Kondisi kesehatan sangat buruk, sekitar 20 persen angka
kematian, bahkan di kota-kota besar seperti di Pasuruan, Betawi, dan Makassar
bisa mencapai 30 sampai 40 persen kematian setiap tahunnya. Kalaupun bisa
bertahan hidup, badan mereka kurus kering dan sangat kekurangan gizi.
Kata Soekarno, "rakyat kami hidup dalam jajahan yang sengsara, imperialisme
modern telah menunjukkan kejahatannya".
Dengan penghasilan yang hanya sekian gulden per tahun, setiap marhaen harus
membayar pajak 10 persen, sementara bangsa Eropa pajak setinggi itu hanya
dikenakan pada mereka yang mempunyai penghasilan tidak kurang dari 8.000-
9.000 gulden per tahun. Bayangkan betapa kejamnya penghisapan yang
dilakukan pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia yang tidak berdaya itu.
Soekarno dianggap bersalah, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara,
kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia menerima perlakuan
relatif baik di sini. Walaupun diasingkan pada beberapa bulan pertama, namun
sesudahnya Inggit, istrinya, dibolehkan membesuk. Soekarno secara mental
lebih kuat dibandingkan ketika di Penjara Banceuy. Muncul kesadaran untuk
menerima keadaannya dan bahkan kemudian menganggap penjaranya itu
sebagai sekolah. Di Sukamiskin inilah Soekarno mulai mendalami agama Islam
secara intens dengan cara mempelajari isi Al Quran.
Pembelaan Soekarno Indonesia Menggugat ternyata memperoleh simpati tidak
hanya dari kalangan ahli hukum yang ada di negeri Belanda, tetapi juga mereka
yang terlibat dalam gerakan anti- imperialisme dan kolonialisme di Eropa Barat.
Banyak kritik ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang memberi
hukuman terlampau berat kepada Soekarno. Karena itu pada akhirnya hukuman
dikurangi menjadi hanya dua tahun. Ia dibebaskan oleh Gubernur Jenderal De
Graeff pada pagi hari tanggal 31 Desember 1931.
Baru beberapa bulan menghirup udara kebebasan, Soekarno ditangkap lagi
dengan tuduhan tetap menyebarkan agitasi melawan pemerintah kolonial.
Memang selepas dari penjara-seperti biasanya-mulai lagi bergerak memimpin
partai. Ia mengadakan pertemuan massa dan membakar semangat massa
dengan berbagai pidatonya. Seperti kita ketahui ketika Soekarno dipenjara, PNI-
partai yang didirikannya-pecah dan gerakan nasionalis menurun kegiatannya.
Sebagai gantinya berdiri PNI Baru dan Partindo. Soekarno kemudian bergiat
dalam Partindo.
***
UNTUK kedua kalinya Soekarno masuk penjara. Waktu itu usianya 32 tahun.
Kali ini mereka mengurung Soekarno dalam sebuah sel khusus supaya tidak
bisa bertemu dengan orang lain. Pemerintah kolonial Belanda menyadari,
kekuatan Soekarno terletak pada komunikasinya dengan rakyat, karena itu
hubungannya dengan rakyat harus diputuskan. Kalau pada waktu masuk penjara
yang pertama dulu masih ada kesenangan bisa berkomunikasi dengan tiga
kawannya yang lain yang sama-sama ditahan, maka di sini Soekarno benar-
benar dikucilkan. Dan seperti yang diakui oleh Soekarno, keadaan itu telah
membunuh seluruh kekuatannya. Rakyat atau massa adalah sumber kekuatan
Soekarno. Manakala sumber kekuatan itu ditutup, maka habislah semangatnya.
Maka seperti halilintar di siang bolong, semua orang terkejut ketika mendengar
Soekarno telah menulis surat 'meminta ampun' pada pemerintah jajahan. Kabar
buruk tersebut cepat tersebar di antara kaum pergerakan dan menjadi bahan
pembicaraan. Termasuk Inggit sendiri, merasa sangat tidak enak mendengar
kabar tak sedap itu. Yang menjadi pertanyaan adalah darimana mereka
memperoleh kabar tersebut?
Ternyata berdasarkan tulisan Ingleson, ada laporan pemerintah kolonial pada
akhir bulan Oktober yang diperkuat oleh pengumuman pegurus Partindo, bahwa
Soekarno telah mengundurkan diri dari partai, menyesali kegiatannya di masa
lalu dan menawarkan kerja sama dengan pemerintah di masa mendatang.
Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apakah memang benar Soekarno telah
meminta ampun kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda?
Sebenarnya tidak banyak orang yang mengetahui mengenai soal permintaan
ampun Soekarno itu. Soal ini memang tidak banyak ditulis atau dikupas buku-
buku yang terbit di Indonesia. Sampai ketika tahun 1979, John Ingleson, seorang
mahasiswa pascasarjana pada Jurusan Sejarah Universitas Monash, Australia,
menulis buku yang berjudul Road to Exile: The Indonesia Movement, 1927-1934,
diterbitkan oleh Asian Studies Association of Australia, Southeast Asian
Publication Series. Buku yang berasal dari disertasi itu ditulis berdasarkan
penelitian perpustakaan arsip dokumen pemerintah Hindia Belanda di
Kementerian Dalam Negeri Belanda.
Bukunya itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983 dengan judul Jalan ke Pengasingan:
Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 itu tentu saja
menggemparkan. Buku itu kontan menimbulkan perdebatan seputar kebenaran
cerita itu. Yang menarik adalah kolumnis kawakan Rosihan Anwar termasuk
yang percaya dengan surat-surat Soekarno seperti yang terdapat dalam tulisan
Ingleson. Padahal sebenarnya Ingleson sendiri dalam bukunya itu, selain berpikir
kemungkinan kebenaran dari surat-surat itu, juga tidak mengabaikan
kemungkinan surat itu sebagai surat-surat palsu.
Rosihan Anwar dalam kolomnya berjudul Perbedaan Analisa Politik antara
Sukarno dengan Hatta di Kompas, 15 September 1980, menulis, "Sebuah
perbedaan lain ialah dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Hindia
Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno,
ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut, jika menghadapi
keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya".
Seterusnya Rosihan menulis, "Demikianlah dalam kurun waktu satu bulan, ketika
Sukarno berada dalam penjara Sukamiskin di Bandung, ia menulis empat pucuk
surat bertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933 kepada Jaksa
Agung Hindia-Belanda. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon kepada Hindia
Belanda supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno
berjanji tidak akan lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup
selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada dewan
pimpinan Partindo dan dalam surat itu ia memajukan permintaan berhenti dari
partai. Selain daripada itu dia mengakui, betapa tidak bertanggung jawabnya
kegiatan-kegiatan politiknya. Seterusnya ia bertaubat dalam hal pandangan-
pandangannya yang bersifat non-koperatif. Apabila pemerintah
membebaskannya, maka dia akan bekerja sama dengan pemerintah. Akhirnya
dia menawarkan akan menandatangani apa saja yang dikehendaki oleh
pemerintah guna memperoleh pembebasannya".
Selanjutnya dalam tulisan kolomnya di harian yang sama, 14 Februari 1981,
Rosihan menegaskan kembali pendiriannya yang cenderung meyakini
kebenaran surat-surat tersebut. Ia memberi contoh bahwa Soekarno pada
tanggal 19 Desember 1948 tatkala tentara Belanda menduduki Lapangan
Terbang Maguwo dan sedang bergerak menuju Kota Yogyakarta, Soekarno
menyuruh Kepala Rumah tangga Istana mengibarkan bendera putih tanda
menyerah pada Belanda dan membiarkan dirinya ditawan tentara Belanda.
Tulisnya, "Ini sekedar ilustrasi, memanglah Sukarno itu lekas bertekuk lutut atau
minta ampun, bila ada berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang superior
atau sedang mengalami ancaman bahaya dan ketidak-enakan bagi dirinya.
Semua ini kedengarannya tidak sedap bagi mereka yang mengagung-agungkan
atau mengkultuskan pemimpin. Tetapi suka atau tidak suka, saya pikir, kita
sebagai bangsa harus berusaha mendidik diri kita, supaya mencapai
kedewasaan. Marilah kita hadapi realitas ini."
Namun demikian pada akhirnya Rosihan mengatakan bahwa itu semua sama
sekali tidak mengurangi penghargaan kepada Soekarno sebagai proklamator
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Tulisnya, "Kita mengakuinya
sebagai pemimpin yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia".
Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra, terutama
mereka yang mencintai Soekarno dan menganggapnya sebagai manusia
pejuang tanpa cacat. Yang mengomentari adalah Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar,
Anwar Luthan dan Mr Mohammad Roem. Semuanya menulis di harian ini,
Kompas.
Berlainan dengan Rosihan, keempatnya menyangsikan kebenaran isi surat
tersebut. Mr Mohammad Roem dalam tulisannya di Kompas, 25 Januari 1981,
berjudul Surat-Surat dari Penjara Sukamiskin, mempertanyakan apa yang
dituliskan oleh Ingleson itu, sebab dibuat tidak berdasarkan otentitas surat asli. Ia
mempertanyakan otentitas empat surat itu, sebab surat-surat yang dikutip dari
arsip Kerajaan Belanda itu bukanlah tulisan asli Soekarno, melainkan salinan
dari surat asli Soekarno yang diketik oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
peraturan pemerintah kolonial waktu itu. Salinan itu diketik dan tidak membawa
tanda tangan asli Soekarno, melainkan hanya "tertanda" atau ditandatangani
oleh Soekarno.
Mr Roem pada kesimpulan tulisannya mengatakan, sangat meragukan
kebenaran salinan surat-surat tersebut. Mr Roem berkata: "Waktu saya
membaca surat-surat itu, saya menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa
Belandanya. Pengetahuan bahasa Belanda Bung Karno (HBS) paling sedikit
sama dengan pengetahuan saya (AMS). Di waktu itu, kalau kita membuat surat
dalam bahasa Belanda untuk pembesar Belanda, kita hati-hati benar jangan
sampai membuat kesalahan. Surat Soekarno yang keempat sangat emosional
akhirnya. Meskipun tidak selamanya saya dapat mengikuti Bung Karno, akan
tetapi ini: Het te mooi om waar te zijn, atau terlalu indah untuk benar".
***
BAGAIMANA sebenarnya salinan surat-surat Soekarno itu sehinggamembuat Mr
Roem tidak yakin?
Surat kedua Soekarno kepada Jaksa Agung tertanggal 7 September 1933
seperti tertulis dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 adalah sebagai berikut:
"Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari proses
pengusutan hukum atau penahanan lebih lanjut, dan untuk memerintahkan
pembebasan saya dengan segera. Hukuman penjara atau penahanan Saya
mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari akan berarti
malapetaka bagi saya, keluarga saya, terutama ibu saya-bagi ibu saya hukuman
atas diri saya itu mungkin berarti kematiannya. Setiap hari dalam tahanan ini
sekarang ini saya menderita kesedihan yang amat sangat dan perasaan putus
asa. Saya akan berterimakasih kepada kemurahan hati pemerintah dan dengan
sepenuh hati bersedia memperlihatkan rasa terimakasih itu dalam tindakan-
tindakan saya setelah bebas nanti. Maafkanlah sikap saya yang tak tahu syukur
setelah pengampunan yang dulu. Saya telah menyatakan dalam surat saya
terdahulu bahwa sekarang ini jiwa saya sepenuhnya telah berubah. Di dalam
hati, saya telah membuang politik dan memohon tuan melepaskan saya dengan
segera dari penderitaan ini. Setiap jam dari penahanan ini bagiku bagaikan satu
hari penderitaan panjang dan berat. Selanjutnya saya berharap bahwa tuan akan
mempertimbangkan keadaan pikiran saya sekarang yang patut dikasihani, dan
bahwa janji saya ini cukup memadai sehingga saya bisa segera dibebaskan.
Tetapi, apabila janji yang saya buat ini belum cukup, maka bermurah hatilah
terhadap diri saya (karena
keadaan saya benar-benar parah) dengan memberitahu pejabat yang
berwenang syarat-syarat mana yang masih harus saya penuhi bagi pembebasan
saya. Saya bersedia menerima semua tuntutan. Penderitaan saya sendiri dan
penderitaan keluarga serta ibu saya terlalu besar, penanggungan saya demikian
beratnya, sementara tanpa kepastian ini amat memakan syaraf, sehingga tak
mungkinlah saya tak menerima syarat-syarat itu seluruhnya. Bahkan saya juga
bersedia, bila tuan dan pemerintah benar-benar menghendakinya sebagai syarat
penglepasan saya, untuk mencabut kembali permintaan saya dulu agar surat-
surat saya tetap dirahasiakan, dan menyatakan setuju kalau pemerintah
mengadakan pengumuman dengan kalimat-kalimat berikut: "Pemerintah telah
menerima permintaan dari Ir Sukarno untuk dibebaskan dengan janji bahwa ia
akan berhenti dari segala kegiatan politik lebih lanjut".
Sementara surat keempat tertanggal 28 September 1933 yang termuat dalam
Laporan Surat Rahasia 1933/1276 yang menurut Mr Roem adalah terlalu indah
untuk benar yaitu, antara lain, sebagai berikut:
"Saya meratapkan sekali lagi dan sekali lagi permohonan dihadapan tuan dan
pemerintah, kembalikan saya kepada isteri saya dan kepada ibu saya yang tua
dan manis, akan tetapi sakit-sakitan. Saya sudah berbuat jahat tapi saya
menyesalinya yang sedalam-dalamnya. Limpahkan ampun kepadaku dan
dahulukan rasa kasihan daripada hukum. Saya menjatuhkan diri di hadapan tuan
dan pemerintah agar dibebaskan dari penderitaan".
Roem berpendapat bahwa itu bagian taktik licik Belanda untuk mengacaukan
pikiran rakyat dan mengacaukan barisan perjuangan pergerakan nasional
Indonesia yang pada waktu itu sedang mencapai puncaknya. Pembunuhan
karakter manusia sekaliber Soekarno akan mampu menghancurkan kekuatan
mobilisasi massa rakyat menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Yang menarik adalah polemik itu tidak selesai sampai di situ, sebab kemudian
Rosihan Anwar menjawabnya kembali dan dijawab sekali lagi oleh Mr Roem.
Kemudian polemik itu ditutup oleh sebuah tulisan sejarawan Taufik Abdullah
berjudul Biografi dan Surat-surat Itu dalam Majalah Tempo tanggal 28 Februari
1981. Taufik Abdullah berusaha membedakan antara seseorang sebagai
manusia biasa dan sebagai aktor sejarah. Sebagai manusia biasa seseorang
dalam kediriannya tampil sebagaimana adanya, yang bisa mencintai, membenci,
takut, nekat dan apa saja. Sementara sebagai aktor sejarah, seorang manusia
dapat luluh dalam kaitannya dengan masyarakat dan dinamika sejarah. Artinya,
apa pun yang sudah berlangsung dalam pengalaman pribadinya sebagai
manusia biasa dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tidak akan
mengurangi kontribusinya sebagai manusia pembuat sejarah bangsanya.
Soekarno pernah mengatakan pada Cindy Adams mengenai masa-masa itu
sebagai berikut, "Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling jauh. Berapa
lamakah? Hingga semangat dan jasadku menjadi busuk. Aku akan menghadapi
pembuangan itu". Namun, hal ini diceritakan Soekarno pada tahun 1960-an,
yaitu pada saat empat buah surat soal 'minta ampun' belum dipublikasikan,
sehingga Soekarno tidak bisa menjawab tentang kebenarannya.
Apabila demikian halnya, tetap ada baiknya untuk melakukan penelitian sejarah
lebih lanjut mengenai kebenaran dari surat-surat tersebut. Bagaimanapun surat-
surat tersebut berkaitan dengan periode tertentu yang amat penting dalam
sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia.
* Valina Singka Subekti Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia.
"AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku
berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat." Pengakuan ini
meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api
Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di
sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat
tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia
menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat
dukungan dari orang lain.
Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena langka yang
mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan "Apakah
kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya
berhubungan dengan kepribadiannya?" Analisis terhadap kepribadian Soekarno
melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang
memuat sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan
menggunakan pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan
Lindzey, 1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa
menjadi pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan
teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan
dukungan sosial.
Pribadi yang kesepian
Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam
autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat, ia menceritakannya.
"Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-
kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti
misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah
ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah
suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan
kalau saya tertidur, maafkanlah.'... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai
makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah."
(Adams, 2000:3)
"Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu
pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah,
bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu."
(Adams, 2000:14)
Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia
diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri
menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa
mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah
di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang
dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya.
Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal
sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91).
Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-
malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-
dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan
badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu.
"Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah
pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat
dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku
merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya
aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam
diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal." (Adams, 2000:135)
Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup
dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang
diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan
mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu
ia menangis mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya.
Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak
Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi.
Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno
pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang
berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang
tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan
kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan
secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul
perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Untungnya
dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya tentang makna
pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama
pejuang besar.
Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat
dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya
bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas
kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan
ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian
menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan
belajar yang tinggi.
Mitos-mitos dari masa kecil
Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang
besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan
makna kelahiran di waktu fajar.
"Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin
dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar
mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa
orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih
dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini
putra dari sang fajar." (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik.
"Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam.
Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang
Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat
yang berlawanan." (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai
satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
"Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku
dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara
kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan
dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya."
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya
Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, "Orang yang percaya
kepada takhayul meramalkan, 'Ini adalah penyambutan terhadap bayi
Soekarno," Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi
Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya
sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya.
Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno
memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa
kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut
fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan),
tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia
untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400). Riwayat
hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan
dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa
Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana
dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-
elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun
pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa
pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk.
Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang
yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya,
ia berseru, "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di
masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." Di sini ada indikasi ia
menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga
memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki
semangat yang sama dengannya.
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang
perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti.
"Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun
soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal
itu."
(Pidato 17 Agustus 1948)
"Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari
Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya."
(Pidato 17 Agustus 1956)
"Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: "Terlepas
dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah
Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang
akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta."
(Pidato 17 Agustus 1966)
Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa
Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang
mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno
yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan
kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat.
"Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya
antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan
sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum."
(Pidato 17 Agustus 1951)
"Kembali kepada jiwa Proklamasi .... kembali kepada sari-intinya yang sejati,
yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional... kedua jiwa ichlas... ketiga jiwa
persatuan... keempat jiwa pembangunan."
(Pidato 17 Agustus 1952)
"Dalam pidatoku "Berilah isi kepada kehidupanmu" kutegaskan: "Sekali kita
berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner....
jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan..." kita adalah "fighting nation"
yang tidak mengenal "journey's-end"
(Pidato 17 Agustus 1956)
Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari
kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat
untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai
oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat
diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak
mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti "Laksana
Malaikat yang menyerbu dari langit", "adakanlah simfoni yang seharmonis-
harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum", "Bangsa yang
gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat", dan "memindahkan Gunung Semeru
atau Gunung Kinibalu sekalipun." Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya
bahasa yang digunakan untuk memikat massa.
"Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau
adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa
yang akan datang."
(Pidato 17 Agustus 1966)
"Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem"? Bangsa yang
'zelfgenoegzaam'? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum
teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak
mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!"
(Pidato 17 Agustus 1960)
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh,
bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas
tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato 17 Agustus 1963)
Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat dalam pidato Soekarno.
Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat "Saya akan memberi kursus
tentang". Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno sebagai
pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa
gambaran itu bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi
dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya
terutama kondisi ekonomi.
Strategi penyebaran ideologi dalam tulisan Soekarno
Lalu jadilah Soekarno sebagai ideolog yang piawai menyebarkan kepercayaan-
kepercayaannya. Strategi penyebaran ideologi yang oleh Terry Eagleton (1991)
terdiri dari rasionalisasi, universalisasi, dan naturalisasi, dengan baik
dimanfaatkan Soekarno dalam tulisan-tulisannya.
Rasionalisasi tampil dalam argumentasi-argumentasi yang diusahakan tersusun
selogis mungkin dan menggunakan rujukan-rujukan teori-teori ilmuwan
terkemuka seperti Herbert Spencer, Havelock Ellis, dan Ernst Renan.
Rasionalisasi dapat ditemukan dalam setiap karangannya, termasuk
penggunaan data statistik demi memperkuat pendapatnya.
Strategi universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-
ajaran agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting
dalam peradaban manusia. Gagasan-gagasannya seolah berlaku universal dan
diperlukan di mana-mana."Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus
menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma
biamfusihim"
(Pidato 17 Agustus 1964)
"Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad
baja, kita bisa memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun."
(Pidato 17 Agustus 1965)
"Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia!
Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi
kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."
(Pidato Lahirnya Pancasila,
1 Juni 1945)
Strategi naturalisasi merupakan usaha menampilkan sebuah ideologi atau
kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah. Ini banyak ditemukan
dalam pidato-pidato Soekarno. Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila
sangat jelas menggunakan naturalisasi.
"Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan
Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang
nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia."
(Pancasila sebagai Dasar Negara, hal:38)
Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang menjadi seorang ideolog.
Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan dan kepemimpinannya,
mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya. Gambaran diri
yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri tampil berapi-api
di depan lautan massa.
Dari mitos ke ideologi, dari kesepian ke kekuasaan
Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu
jelas. Masa dewasanya merupakan proyeksi dari keinginan masa kecil.
Soekarno membayangkan dirinya sebagai pembaru bangsa sejak kecil. Ia
tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang
baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan belajar berbagai hal tak
lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa.
Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh besar terhadap hal ini.
Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Kamar tidurnya
penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar
biasa.
Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang
memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi
sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi
perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan
terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek
spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan.
Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di
benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak
bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial.
Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang
dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya
sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat.
Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa
jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang
diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan
tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak
ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung
munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi
menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan
perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan
sosial.
Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang
memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan
nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun,
ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa
kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita
sebagai pegangan.
Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga
menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami
Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa
yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan
besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang
dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal
besar dan mengabaikan hal-hal kecil.
Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa
memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi
dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu
berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat
bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang
tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa
mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian.
Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan
rumah dan meninggal dalam kesepian.
Penutup
Liku-liku kepribadian Soekarno menunjukkan ada beberapa kelemahan pada
dirinya. Lepas dari kekurangan-kekurangannya, ia adalah orang besar.
Kekurangan yang dimiliki adalah kekurangan yang sangat wajar dimiliki oleh
manusia. Namun, kelebihannya dan cara mengatasi kekurangannya merupakan
hal yang luar biasa. Ia mampu melampaui banyak orang dengan kelebihannya.
Analisis ini sekadar menunjukkan bahwa sebagai manusia biasa, Soekarno
memiliki kelemahan, tetapi bukan untuk mengecilkan arti sebagai manusia
dengan segudang prestasi. Soekarno tetap layak menjadi orang yang dipuji,
dihormati, dan dikenang selalu baik sebagai orang yang berjasa mendirikan
Republik Indonesia maupun sebagai pribadi yang selalu terus berusaha
mencapai kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
* Bagus Takwin Pengajar psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.