You are on page 1of 1

Waktunya yang Waras Bersuara!

Sebagai salah satu warga negara Indonesia, saya sungguh bersedih menyaksikan tan
ah air saya yang carut marut ini. Indonesia masih jauh (dan makin jauh!) dari ga
mbaran ideal tentang sebuah negara yang saya pelajari di bangku sekolah dan kuli
ah. Bahkan, hampir-hampir tidak ada yang dapat diharapkan dari negeri ini, kecua
li keyakinan saya bahwa "Gusti ora sare." Tuhan tidak tidur.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Negeri ini terbentuk dengan darah dan keringat p
ara pendahulu kita yang membayangkan tentang sebuah tempat yang lebih baik untuk
ditinggali, bebas dari penjajahan yang menggerus sumber daya alam dan manusia n
egeri jajahannya. Namun, seolah kita ini hanya berpindah dari mulut macan ke mul
ut buaya!
Korupsi, kekerasan, dan berbagai pelanggaran hukum menghiasi pemberitaan media s
etiap hari, mengalir deras seperti air terjun dan seolah takkan berhenti. Indone
sia menjadi seperti rimba yang buas, di mana yang kuatlah yang akhirnya akan men
ang, bukan yang benar. Kebenaran sudah dianggap sampah, dan keadilan diperlakuka
n layaknya embun pagi, yang hanya muncul sejenak di pagi hari namun kemudian tak
nampak lagi.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia, hukum, dan konstitusi sudah bukan barang
langka lagi. Aparat negara yang mengemban amanah dari Tuhan dan rakyat untuk me
laksanakan pemerintahan dengan jujur dan adil sulit ditemukan lagi, persis seper
ti sulitnya menemukan jarum di tumpukan jerami. Mayoritas kepala daerah tersandu
ng masalah korupsi. Agama yang seharusnya sakral dan tidak diurusi, sekarang mal
ah menjadi komoditas politik untuk mencari kursi. Maka, yang minoritas pun terpa
ksa mengalah, dilarang beribadah.
Sementara itu, mereka yang di pusat sibuk bersolek dan baru menggeram ketika cit
ra baik yang mereka bangun dicolek. Masa jabatan yang tinggal sebentar lagi mere
ka manfaatkan semaksimal mungkin untuk memperkaya diri. Kebijakan-kebijakan yang
diambil hanya bersifat artifial, sama sekali tak menyentuh kebutuhan kaum marji
nal. mereka justru lepas tangan untuk masalah-masalah yang pelik, tak peduli neg
aranya tercabik-cabik.
Di sisi lain, jutaan kaum terdidik dan terpelajar yang masih "waras" justru memi
lih untuk diam. Kegelisahan mereka telah mereka kubur dalam-dalam.Mereka bukanny
a tidak tahu bahwa negeri ini terancam bahaya, tapi entah mengapa, mereka memili
h untuk diam seribu bahasa. Yang disiarkan oleh media-media nasional justru sege
lintir orang yang vokal, meski argumentasi mereka tak pernah masuk di akal.
Dan, seperti iklan yang ditayangkan berulang-ulang, khalayak ramai pun tergiring
untuk mempercayai opini mereka yang tiap hari ditayangkan di koran maupun telev
isi. Pembunuhan pun seolah dibenarkan, hanya karena berbeda keyakinan. Logika pu
n diputarbalikkan, hingga korban pembunuhan justru disalahkan. Relawan Merapi ya
ng membawa pisau lipat masuk bui, sementara mereka yang membawa gobang dan belat
i justru bebas berseliweran di depan polisi.
Masih adakah orang-orang waras di negeri ini? Masih, hanya saja mereka memilih u
ntuk mengabaikan ibu pertiwi dan sibuk mengurus diri sendiri. Untuk apa belajar
tinggi-tinggi, kalau tak berdampak bagi bangsa ini? Untuk apa jadi sarjana kalau
tak berfaedah bagi sesama? Lihatlah, Indonesia sedang di ujung murka Allah. Sek
arang bukang waktunya bagi yang waras untuk mengalah. Jangan biarkan Indonesia d
ihukum seperti Sodom dan Gomora. Sekaranglah waktunya yang waras bersuara. Selam
atkanlah Indonesia!

You might also like