You are on page 1of 5

SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA

Oleh: Imron Rosidi

            Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya.
Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban
pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata
pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah
catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
            Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan
kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya
yang menawan".
            Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni
Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan
pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat
melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah
mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
            Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup
meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat
tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak
berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
            Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah
retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak
ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang
"teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan
umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik
kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan
kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke
pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan
untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia
berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika memang mirip "ilmu silat
lidah".
            Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia
membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan
kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
            Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh.
Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani,
menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani
mem¬beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing
berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat
dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah
dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum
istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
            Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof,
mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai
filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai
mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan
yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi
dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip
retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
            Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh
sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih
banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan,
orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan
persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias
menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II).
Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid
saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain.
Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
            Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan
menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan
mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi
pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk
meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan
prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi
adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan
pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh;
dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan
dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
            Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak
berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan
argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant,
"ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih
pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-
bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya
sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan
tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali
mengeraskan suaranya seperti menjerit.
            Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan
atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan
memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri,
ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang
Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes
dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus
retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk
membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
            Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang
dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis.
Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif
adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat;
bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua
orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka
yang berbakat.
            Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya
menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan
anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak
mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia
menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini
dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami
tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund
Burke.
            Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu
berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para
pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka
mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar
tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
            Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan
Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates
mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk
memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual
kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
            Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika
yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada
filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada
pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada
hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog,
Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian,
Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika
sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
            Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia
menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
            Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato:
terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
            Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak
untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain
daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode
persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan
bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
            Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus
sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas,
kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh
hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak,
para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda
Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda
mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
            Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif
untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam
dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan
pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena
sebagian premis dihilangkan.
            Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan
kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor).
Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika
saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata,
"Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang
menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya
dihilangkan.
            Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa
contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film
menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
            Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus
dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti
kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles,
pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan
tujuan.
            Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa
yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa
yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat
yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
            Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin
disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan
"jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik,
me¬mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
            Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara
lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini
muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan¬gerakan,
anggota badan (gestus moderatio cum venustate).

You might also like