You are on page 1of 151

Bab ini berisi pokok bahasan mengenai ruang lingkup dan perkembangan Biologi Molekuler

serta hubungannya dengan ilmu-ilmu lain, tinjauan sekilas tentang sel yang meliputi perbedaan
antara prokariot dan eukariot, diferensiasi dan organel subseluler pada eukariot. Selain itu,
sekilas juga dibahas tiga di antara makromolekul hayati, yaitu polisakarida, lemak, dan protein.
Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan:

ruang lingkup, perkembangan, dan hubungan Biologi Molekuler


1
dengan disiplin ilmu  lainnya
2 ciri-ciri sel prokariot
3 ciri-ciri sel eukariot
4 perbedaan antara sel prokariot dan eukariot
5 macam-macam organel subseluler pada sel eukariot
6 struktur molekul polisakarida penting seperti amilum dan selulosa
7 struktur molekul lemak
8 perbedaan antara lemak hewani dan lemak nabati
9 struktur molekul protein, dan
10 macam-macam asam amino penyusun protein

Agar dapat memahami pokok bahasan ini dengan lebih baik mahasiswa disarankan untuk
mempelajari kembali klasifikasi seluler dan makromolekul hayati seperti yang telah diberikan
pada mata kuliah Biologi Sel dan Biokimia. Urutan bahasan di dalam bab ini adalah ruang
lingkup, perkembangan, dan hubungan Biologi Molekuler dengan ilmu lain, tinjauan sekilas
tentang sel, dan makromolekul hayati.

Ruang Lingkup, Perkembangan, dan Hubungan dengan Ilmu Lain

Biologi Molekuler merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara
struktur dan fungsi molekul-molekul hayati serta kontribusi hubungan tersebut terhadap
pelaksanaan dan pengendalian berbagai proses biokimia. Secara lebih ringkas dapat dikatakan
bahwa Biologi Molekuler mempelajari dasar-dasar molekuler setiap fenomena hayati. Oleh
karena itu, materi kajian utama di dalam ilmu ini adalah makromolekul hayati, khususnya asam
nukleat, serta proses pemeliharaan, transmisi, dan ekspresi informasi hayati yang meliputi
replikasi, transkripsi, dan translasi.
Meskipun sebagai cabang ilmu pengetahuan tergolong relatif masih baru, Biologi Molekuler
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat semenjak tiga dasawarsa yang lalu.
Perkembangan ini terjadi ketika berbagai sistem biologi, khususnya mekanisme alih informasi
hayati, pada bakteri dan bakteriofag dapat diungkapkan. Begitu pula, berkembangnya teknologi
DNA rekombinan, atau dikenal juga sebagai rekayasa genetika, pada tahun 1970-an telah
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan Biologi Molekuler. Pada
kenyataannya berbagai teknik eksperimental baru yang terkait dengan manipulasi DNA memang
menjadi landasan bagi perkembangan ilmu ini.

Biologi Molekuler sebenarnya merupakan ilmu multidisiplin yang melintasi sejumlah disiplin
ilmu terutama Biokimia, Biologi Sel, dan Genetika. Akibatnya, seringkali terjadi tumpang tindih
di antara materi-materi yang dibahas meskipun seharusnya ada batas-batas yang
memisahkannya. Sebagai contoh, reaksi metabolisme yang diatur oleh pengaruh konsentrasi
reaktan dan produk adalah materi kajian Biokimia. Namun, apabila reaksi ini dikatalisis oleh
sistem enzim yang mengalami perubahan struktur, maka kajiannya termasuk dalam lingkup
Biologi Molekuler. Demikian juga, struktur komponen intrasel dipelajari di dalam Biologi Sel,
tetapi keterkaitannya dengan struktur dan fungsi molekul kimia di dalam sel merupakan cakupan
studi Biologi Molekuler. Komponen dan proses replikasi DNA dipelajari di dalam Genetika,
tetapi macam-macam enzim DNA polimerase beserta fungsinya masing-masing dipelajari di
dalam Biologi Molekuler.

Beberapa proses hayati yang dibahas di dalam Biologi Molekuler bersifat sirkuler. Untuk
mempelajari replikasi DNA, misalnya, kita sebaiknya perlu memahami mekanisme pembelahan
sel. Namun sebaliknya, alangkah baiknya apabila pengetahuan tentang replikasi DNA telah
dikuasai terlebih dahulu sebelum kita mempelajari pembelahan sel.

Tinjauan Sekilas tentang Sel

Oleh karena sebagian besar makromolekul hayati terdapat di dalam sel, maka kita perlu melihat
kembali sekilas mengenai sel, terutama dalam kaitannya sebagai dasar klasifikasi organisme.
Berdasarkan atas struktur selnya, secara garis besar organisme dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu prokariot dan eukariot. Di antara kedua kelompok ini terdapat kelompok
peralihan yang dinamakan Archaebacteria atau Archaea.

Prokariot

Prokariot merupakan bentuk sel organisme yang paling sederhana dengan diameter dari 1 hingga
10 µm. Struktur selnya diselimuti oleh membran plasma (membran sel) yang tersusun dari lemak
lapis ganda. Di sela-sela lapisan lemak ini terdapat sejumlah protein integral yang
memungkinkan terjadinya lalu lintas molekul-molekul tertentu dari dalam dan ke luar sel.
Kebanyakan prokariot juga memiliki dinding sel yang kuat di luar membran plasma untuk
melindungi sel dari lisis, terutama ketika sel berada di dalam lingkungan dengan osmolaritas
rendah.

Bagian dalam sel secara keseluruhan dinamakan sitoplasma atau sitosol. Di dalamya terdapat
sebuah kromosom haploid sirkuler yang dimampatkan dalam suatu nukleoid (nukleus semu),
beberapa ribosom (tempat berlangsungnya sintesis protein), dan molekul RNA. Kadang-kadang
dapat juga dijumpai adanya plasmid (molekul DNA sirkuler di luar kromosom). Beberapa di
antara molekul protein yang terlibat dalam berbagai reaksi metabolisme sel nampak menempel
pada membran plasma, tetapi tidak ada struktur organel subseluler yang dengan jelas
memisahkan berlangsungnya masing-masing proses metabolisme tersebut.

Permukaan sel prokariot adakalanya membawa sejumlah struktur berupa rambut-rambut pendek
yang dinamakan pili dan beberapa struktur rambut panjang yang dinamakan flagela. Pili
memungkinkan sel untuk menempel pada sel atau permukaan lainnya, sedangkan flagela
digunakan untuk berenang apabila sel berada di dalam media cair.

Sebagian besar prokariot bersifat uniseluler meskipun ada juga beberapa yang mempunyai
bentuk multiseluler dengan sel-sel yang melakukan fungsi-fungsi khusus. Prokariot dapat dibagi
menjadi dua subdivisi, yaitu Eubacteria dan Archaebacteria atau Archaea. Namun, di atas telah
disinggung bahwa Archaea merupakan kelompok peralihan antara prokariot dan eukariot. Dilihat
dari struktur selnya, Archaea termasuk dalam kelompok prokariot, tetapi evolusi molekul rRNA-
nya memperlihatkan bahwa Archaea lebih mendekati eukariot.
Perbedaan antara Eubacteria dan Archaea terutama terletak pada sifat biokimianya. Misalnya,
Eubacteria mempunyai ikatan ester pada lapisan lemak membran plasma, sedangkan pada
Archaea ikatan tersebut berupa ikatan eter.

Salah satu contoh Eubacteria (bakteri), Escherichia coli, mempunyai ukuran genom (kandungan
DNA) sebesar 4.600 kilobasa (kb), suatu informasi genetik yang mencukupi untuk sintesis
sekitar 3.000 protein. Aspek biologi molekuler spesies bakteri ini telah sangat banyak dipelajari.
Sementara itu, genom bakteri yang paling sederhana, Mycoplasma genitalium, hanya terdiri atas
580 kb DNA, suatu jumlah yang hanya cukup  untuk menyandi lebih kurang 470 protein.
Dengan protein sesedikit ini spesies bakteri tersebut memiliki kemampuan metabolisme yang
sangat terbatas.

Kelompok Archaea biasanya menempati habitat ekstrim seperti suhu dan salinitas tinggi. Salah
satu contoh Archaea, Methanocococcus jannaschii, mempunyai genom sebesar 1.740 kb yang
menyandi 1.738 protein. Bagian genom yang terlibat dalam produksi energi dan metabolisme
cenderung menyerupai prokariot, sedangkan bagian genom yang terlibat dalam replikasi,
transkripsi, dan translasi cenderung menyerupai eukariot.

Gambar 1.1.  Diagram skematik sel prokariot

Eukariot

Secara taksonomi eukariot dikelompokkan menjadi empat kingdom, masing-masing hewan


(animalia), tumbuhan (plantae), jamur (fungi), dan protista, yang terdiri atas alga dan
protozoa. Salah satu ciri sel eukariot adalah adanya organel-organel subseluler dengan fungsi-
fungsi metabolisme yang telah terspesialisasi. Tiap organel ini terbungkus dalam suatu membran.
Sel eukariot pada umumnya lebih besar daripada sel prokariot. Diameternya berkisar dari 10
hingga 100 µm. Seperti halnya sel prokariot, sel eukariot diselimuti oleh membran plasma. Pada
tumbuhan dan kebanyakan fungi serta protista terdapat juga dinding sel yang kuat di sebelah luar
membran plasma. Di dalam sitoplasma sel eukariot selain terdapat organel dan ribosom, juga
dijumpai adanya serabut-serabut protein yang disebut sitoskeleton. Serabut-serabut yang
terutama berfungsi untuk mengatur bentuk dan pergerakan sel ini terdiri atas mikrotubul
(tersusun dari tubulin) dan mikrofilamen (tersusun dari aktin).
 http://nobelprize.org/educational_games/medicine/dna/b/replication/cell.html

Gambar 1.2. Diagram skematik sel eukariot (hewan)

Sebagian besar organisme eukariot bersifat multiseluler dengan kelompok-kelompok sel yang
mengalami diferensiasi selama perkembangan individu. Peristiwa ini terjadi karena pembelahan
mitosis akan menghasilkan sejumlah sel dengan perubahan pola ekspresi gen sehingga
mempunyai fungsi yang berbeda dengan sel asalnya. Dengan demikian, kandungan DNA pada
sel-sel yang mengalami diferensiasi sebenarnya hampir selalu sama, tetapi gen-gen yang
diekspresikan berbeda antara satu dan lainnya.

Diferensiasi diatur oleh gen-gen pengatur perkembangan. Mutasi yang terjadi pada gen-gen ini
dapat mengakibatkan abnormalitas fenotipe individu, misalnya tumbuhnya kaki di tempat yang
seharusnya digunakan untuk antena pada lalat Drosophila. Namun, justru dengan mempelajari
mutasi pada gen-gen pengatur perkembangan, kita dapat memahami berlangsungnya proses
perkembangan embrionik.

Pada organisme multiseluler koordinasi aktivitas sel di antara berbagai jaringan dan organ diatur
oleh adanya komunikasi di antara sel-sel tersebut. Hal ini melibatkan molekul-molekul sinyal
seperti neurotransmiter, hormon, dan faktor pertumbuhan yang disekresikan oleh suatu jaringan
dan diteruskan kepada jaringan lainnya melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel.

Organel subseluler

Pada eukariot terdapat sejumlah organel subseluler seperti nukleus, mitokondria, kloroplas,
retikulum endoplasmik, dan mikrobodi. Masing-masing akan kita bicarakan sepintas berikut
ini.
Nukleus mengandung sekumpulan DNA seluler yang dikemas dalam beberapa kromosom. Di
dalam nukleus terjadi transkripsi DNA menjadi RNA dan prosesing RNA. Selain DNA, di dalam
nukleus juga terdapat nukleolus yang merupakan tempat berlangsungnya sintesis rRNA dan
perakitan ribosom secara parsial.

Mitokondria merupakan tempat berlangsungnya respirasi seluler, yang melibatkan oksidasi


nutrien menjadi CO2 dan air dengan membebaskan molekul ATP. Secara evolusi organel ini
berasal dari simbion-simbion prokariotik yang tetap mempertahankan beberapa DNA, RNA, dan
mesin sintesis proteinnya. Meskipun demikian, sebagian besar proteinnya disandi oleh DNA di
dalam nukleus. Sementara itu, kloroplas merupakan tempat berlangsungnya proses fotosintesis
pada tumbuhan  dan alga. Pada dasarnya kloroplas memiliki struktur yang menyerupai
mitokondria dengan sistem membran tilakoid yang berisi klorofil. Seperti halnya mitokondria,
kloroplas juga mempunyai DNA sendiri sehingga kedua organel ini sering dinamakan organel
otonom.

Retikulum endoplasmik merupakan sistem membran sitoplasmik yang meluas dan menyambung
dengan membran nukleus. Ada dua macam retikulum endoplasmik, yaitu retikulum endoplasmik
halus yang membawa banyak enzim untuk reaksi biosintesis lemak dan metabolisme xenobiotik
dan retikulum endoplasmik kasar yang membawa sejumlah ribosom untuk sintesis protein
membran. Protein-protein ini diangkut melalui vesikula transpor menuju kompleks Golgi
untuk prosesing lebih lanjut dan pemilahan sesuai dengan tujuan akhirnya masing-masing.

Mikrobodi terdiri atas lisosom, peroksisom, dan glioksisom. Lisosom berisi enzim-enzim
hidrolitik yang dapat memecah karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Organel ini
bekerja sebagai pusat pendaurulangan makromolekul yang berasal dari luar sel atau organel-
organel lain yang rusak. Sementara itu, peroksisom berisi enzim-enzim yang dapat mendegradasi
hidrogen peroksida dan radikal bebas yang sangat reaktif. Glioksisom adalah peroksisom pada
tumbuhan yang mengalami spesialisasi menjadi tempat berlangsungnya reaksi daur glioksilat.

Makromolekul
Secara garis besar makromolekul hayati meliputi polisakarida, lemak, protein, dan asam nukleat.
Selain itu, terdapat pula makromolekul kompleks, yang merupakan gabungan dua atau lebih di
antara makromolekul tersebut.

Polisakarida

Polisakarida merupakan polimer beberapa gula sederhana yang satu sama lain secara kovalen
dihubungkan melalui ikatan glikosidik. Makromolekul ini terutama berfungsi sebagai cadangan
makanan dan materi struktural.

Selulosa dan pati (amilum) sangat banyak dijumpai pada tumbuhan. Kedua-duanya adalah
polimer glukosa, tetapi berbeda macam ikatan glikosidiknya. Pada selulosa monomer-monomer
glukosa satu sama lain dihubungkan secara linier oleh ikatan 1,4 b glikosidik, sedangkan pada
amilum ada dua macam ikatan glikosidik karena amilum mempunyai dua komponen, yaitu a-
amilosa dan amilopektin. Monomer-monomer glukosa pada a-amilosa dihubungkan oleh ikatan
1,4 a glikosidik, sedangkan pada amilopektin, yang merupakan rantai cabang amilum, ikatannya
adalah 1,6 a glikosidik.

Pada tumbuhan selulosa merupakan komponen utama penyusun struktur dinding sel.  Sekitar 40
rantai molekul selulosa tersusun paralel membentuk lembaran-lembaran horizontal yang
dihubungkan oleh ikatan hidrogen sehingga menghasilkan serabut-serabut tak larut yang sangat
kuat.  Sementara itu, amilum berguna sebagai cadangan makanan yang dapat dijumpai dalam
bentuk butiran-butiran besar di dalam sel. Adanya dua macam ikatan glikosidik pada amilum
menjadikan molekul ini tidak dapat dikemas dengan konformasi yang kompak. Oleh karena itu,
amilum mudah larut di dalam air.

Fungi dan beberapa jaringan hewan menyimpan cadangan makanan glukosa dalam bentuk
glikogen, yang mempunyai ikatan glikosidik seperti pada amilopektin. Polisakarida lainnya,
kitin merupakan komponen utama penyusun dinding sel fungi dan eksoskeleton pada serangga
dan Crustacea. Kitin mempunyai struktur molekul menyerupai selulosa, hanya saja monomernya
berupa N-asetilglukosamin. Mukopolisakarida (glikosaminoglikan) membentuk larutan seperti
gel yang di dalamnya terdapat protein-protein serabut pada jaringan ikat.
Penentuan struktur polisakarida berukuran besar sangatlah rumit karena ukuran dan
komposisinya sangat bervariasi. Selain itu, berbeda dengan protein dan asam nukleat,
makromolekul ini tidak dapat dipelajari secara genetik.

Gambar 1.3. Perbedaan ikatan glikosidik antara amilum dan selulosa

Lemak (lipid)

Molekul lemak berukuran besar terutama berupa hidrokarbon yang sukar larut dalam air.
Beberapa di antaranya terlibat dalam penyimpanan dan transpor energi, sementara ada juga yang
menjadi komponen utama membran, lapisan pelindung, dan struktur sel lainnya.

Struktur umum lemak adalah gliserida dengan satu, dua, atau tiga asam lemak rantai panjang
yang mengalami esterifikasi pada suatu molekul gliserol. Pada trigliserida hewan, asam
lemaknya jenuh (tanpa ikatan rangkap) sehingga rantai molekulnya berbentuk linier dan dapat
dikemas dengan kompak menghasilkan lemak berwujud padat pada suhu ruang. Sebaliknya,
minyak tumbuhan mengandung asam lemak tak jenuh dengan satu atau lebih ikatan rangkap
sehingga rantai molekulnya sulit untuk dikemas dengan kompak, membuat lemak yang
dihasilkan berwujud cair pada suhu ruang.

Membran plasma dan membran organel subseluler mengandung fosfolipid, berupa gliserol yang
teresterifikasi pada dua asam lemak dan satu asam fosfat. Biasanya, fosfat ini juga teresterifikasi
pada suatu molekul kecil seperti serin, etanolamin, inositol, atau kolin (Gambar 1.4). Membran
juga mengandung sfingolipid, misalnya seramid, yang salah satu asam lemaknya dihubungkan
oleh ikatan amida. Pengikatan fosfokolin pada seramid akan menghasilkan sfingomielin.

Gambar 1.4. Struktur molekul fosfolipid, khususnya fosfatidilkolin

Protein

Secara garis besar dapat dibedakan dua kelompok protein, yaitu protein globuler dan protein
serabut (fibrous protein). Protein globuler dapat dilipat dengan kompak dan di dalam larutan
lebih kurang berbentuk seperti partikel-partikel bulat. Kebanyakan enzim merupakan protein
globuler. Sementara itu, protein serabut mempunyai nisbah aksial (panjang berbanding lebar)
yang sangat tinggi dan seringkali merupakan protein struktural yang penting,  misalnya fibroin
pada sutera dan keratin pada rambut dan bulu domba.

Ukuran protein berkisar dari beberapa ribu Dalton (Da), misalnya hormon insulin yang
mempunyai berat molekul 5.734 Da, hingga sekitar 5 juta Da seperti pada kompleks enzim
piruvat dehidrogenase. Beberapa protein berikatan dengan materi nonprotein, baik dalam bentuk
gugus prostetik yang dapat bekerja sebagai kofaktor enzim maupun dalam asosiasi dengan
molekul berukuran besar seperti pada lipoprotein (dengan lemak) atau glikoprotein (dengan
karbohidrat).

Protein tersusun dari sejumlah asam amino yang satu sama lain dihubungkan secara kovalen oleh
ikatan peptida. Ikatan ini menghubungkan gugus a-karboksil pada suatu asam amino dengan
gugus a-amino pada asam amino berikutnya sehingga menghasilkan suatu rantai molekul
polipeptida linier yang mempunyai ujung N dan ujung C. Tiap polipeptida biasanya terdiri atas
100 hingga 1.500 asam amino. Struktur molekul protein seperti ini dinamakan struktur primer.

Polaritas yang tinggi pada gugus C=O dan N-H di dalam tiap ikatan peptida, selain menjadikan
ikatan tersebut sangat kuat, juga memungkinkan terbentuknya sejumlah ikatan hidrogen di antara
asam-asam amino pada jarak tertentu. Dengan demikian, rantai polipeptida dapat mengalami
pelipatan menjadi suatu struktur yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan hidrogen tersebut. Struktur
semacam ini merupakan struktur sekunder molekul protein.

Struktur sekunder yang paling dikenal adalah a-heliks. Rantai polipeptida membentuk heliks
(spiral) putar kanan dengan 3,6 asam amino per putaran sebagai akibat terjadinya ikatan hidrogen
antara gugus N-H pada suatu residu asam amino (n) dan gugus C=O pada asam amino yang
berjarak tiga residu dengannya (n+3).  Struktur  a-heliks banyak dijumpai terutama pada protein-
protein globuler.

Di samping  a-heliks, terdapat juga struktur sekunder yang dinamakan lembaran b (b-sheet).
Struktur ini terbentuk karena gugus N-H dan C=O pada suatu rantai polipeptida dihubungkan
oleh ikatan hidrogen dengan gugus-gugus yang komplementer pada rantai polipeptida lainnya.
Jadi, gugus N-H berikatan dengan C=O dan gugus C=O berikatan dengan N-H sehingga kedua
rantai polipeptida tersebut membentuk struktur seperti lembaran dengan rantai samping (R)
mengarah ke atas dan ke bawah lembaran. Jika kedua rantai polipeptida mempunyai arah yang
sama, misalnya dari ujung N ke ujung C, maka lembarannya dikatakan bersifat paralel.
Sebaliknya, jika kedua rantai polipeptida mempunyai arah berlawanan, maka lembarannya
dikatakan bersifat antiparalel. Lembaran b merupakan struktur yang sangat kuat dan banyak
dijumpai pada protein-protein struktural, misalnya fibroin sutera.

Kolagen, suatu protein penyusun jaringan ikat, mempunyai struktur sekunder yang tidak lazim,
yaitu heliks rangkap tiga. Tiga rantai polipeptida saling berpilin sehingga membuat molekul
tersebut sangat kuat.

Gambar 1.5. Penampang rantai polipeptida, yang menunjukkan bahwa struktur a-heliks
terbentuk karena gugus C=O pada asam amino  ke-n berikatan dengan gugus N-H pada asam
amino ke-(n+3).

Beberapa bagian struktur sekunder dapat mengalami pelipatan sehingga terbentuk struktur tiga
dimensi yang merupakan struktur tersier molekul protein. Sifat yang menentukan struktur
tersier suatu molekul protein telah ada di dalam struktur primernya. Begitu diperoleh kondisi
yang sesuai, kebanyakan polipeptida akan segera melipat menjadi struktur tersier yang tepat
karena biasanya struktur tersier ini merupakan konformasi dengan energi yang paling rendah.
Akan tetapi, secara in vivo pelipatan yang tepat seringkali dibantu oleh protein-protein tertentu
yang disebut kaperon.

Gambar 1.6. Struktur protein sekunder 

a) a-heliks   b) lembaran b

Ketika pelipatan terjadi, asam-asam amino dengan rantai samping hidrofilik akan berada di
bagian luar struktur dan asam-asam amino dengan rantai samping hidrofobik berada di dalam
struktur. Hal ini menjadikan struktur tersier sangat stabil. Di antara sejumlah rantai samping
asam-asam amino dapat terjadi berbagai macam interaksi nonkovalen seperti gaya van der
Waals, ikatan hidrogen, jembatan garam elektrostatik antara gugus-gugus yang muatannya
berlawanan, dan interaksi hidrofobik antara rantai samping nonpolar pada asam amino alifatik
dan asam amino aromatik. Selain itu, ikatan disulfida (jembatan belerang) kovalen dapat terjadi
antara dua residu sistein yang di dalam struktur primernya terpisah jauh satu sama lain.

Banyak molekul protein yang tersusun dari dua rantai polipeptida (subunit) atau lebih. Subunit-
subunit ini dapat sama atau berbeda. Sebagai contoh, molekul hemoglobin mempunyai dua rantai
a-globin dan dua rantai b-globin. Interaksi nonkovalen dan ikatan disulfida seperti yang
dijumpai pada struktur tersier terjadi pula di antara subunit-subunit tersebut, menghasilkan
struktur yang dinamakan struktur kuaterner molekul protein. Dengan struktur kuaterner
dimungkinkan terbentuknya molekul protein yang sangat besar ukurannya. Selain itu,
fungsionalitas yang lebih besar juga dapat diperoleh karena adanya penggabungan sejumlah
aktivitas yang berbeda. Modifikasi interaksi di antara subunit-subunit oleh pengikatan molekul-
molekul kecil dapat mengarah kepada efek alosterik seperti yang terlihat pada regulasi enzim.

Di dalam suatu rantai polipeptida dapat dijumpai adanya unit-unit struktural dan fungsional yang
semi-independen. Unit-unit ini dikenal sebagai domain. Apabila dipisahkan dari rantai
polipeptida, misalnya melalui proteolisis yang terbatas, domain dapat bertindak sebagai protein
globuler tersendiri. Sejumlah protein baru diduga telah berkembang melalui kombinasi baru di
antara domain-domain. Sementara itu, pengelompokan elemen-elemen struktural sekunder yang
sering dijumpai pada protein globuler dikenal sebagai motif (struktur supersekunder). Contoh
yang umum dijumpai adalah motif bab, yang terdiri atas dua struktur sekunder berupa lembaran
b yang dihubungkan oleh sebuah a-heliks. Selain domain dan motif, ada pula famili protein,
yang dihasilkan dari duplikasi dan evolusi gen seasal. Sebagai contoh, mioglobin, rantai a- dan
b-globin pada hemoglobin orang dewasa, serta rantai g-, e-, dan z-globin pada hemoglobin janin
merupakan polipeptida-polipeptida yang berkerabat di dalam famili globin.

Asam amino

Di atas telah dikatakan bahwa protein merupakan polimer sejumlah asam amino. Bahkan ketika
membicarakan struktur molekul protein, khususnya struktur sekunder dan tersier, kita telah
menyinggung beberapa istilah yang berkaitan dengan struktur asam amino seperti rantai
samping, gugus karboksil, dan gugus amino. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas sekilas
struktur molekul asam amino.

Kecuali prolin, dari 20 macam asam amino yang menyusun protein terdapat struktur molekul
umum berupa sebuah atom karbon (a-karbon) yang keempat tangannya masing-masing berikatan
dengan gugus karboksil (COO-), gugus amino (NH3+), proton (H), dan rantai samping (R). Selain
pada glisin, atom a-karbon bersifat khiral (asimetrik) karena keempat tangannya mengikat gugus
yang berbeda-beda. Pada glisin gugus R-nya berupa proton sehingga dua tangan pada atom a-
karbon mengikat gugus yang sama.

Perbedaan antara asam amino yang satu dan lainnya ditentukan oleh gugus R-nya. Gugus R ini
dapat bermuatan positif, negatif, atau netral sehingga asam amino yang membawanya dapat
bersifat asam, basa, atau netral. Pengelompokan asam amino atas dasar muatan dan struktur
gugus R-nya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

 ASAM NUKLEAT

Pokok bahasan di dalam bab ini menguraikan struktur molekul dan komponen asam nukleat,
termasuk macam-macam ikatan kimia yang menghubungkan komponen-komponen tersebut.
Selain itu, dijelaskan pula perbedaan struktur antara DNA dan RNA, serta sifat-sifat fisika-kimia
dan spektroskopik-termal asam nukleat, khususnya DNA. Dengan mempelajari pokok bahasan
ini akan diperoleh gambaran mengenai perubahan struktur yang terjadi pada asam nukleat yang
dimanipulasi, dan juga mekanisme manipulasi asam nukleat yang pada dasarnya berkaitan
dengan sifat-sifat fisika-kimianya.

Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan:

1. struktur molekul dan komponen-komponen asam nukleat, termasuk macam-macam


ikatan kimia yang terdapat di dalamnya,
2. perbedaan struktur antara DNA dan RNA,
3. cara pembacaan sekuens suatu molekul asam nukleat,
4. sifat-sifat fisika-kimia asam nukleat, dan
5.  sifat-sifat spektroskopik-termal asam nukleat

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok bahasan ini
dengan lebih baik adalah sejarah penemuan asam nukleat beserta percobaan-percobaan yang
membuktikan bahwa DNA merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme dan RNA
merupakan materi genetik pada virus tertentu. Pengetahuan tersebut telah diperoleh melalui mata
kuliah Genetika pada semester VI. Adapun urutan bahasan di dalam bab ini adalah struktur
molekul asam nukleat, sifat-sifat fisika-kimia asam nukleat, dan sifat-sifat spektroskopik-temal
asam nukleat.

Struktur Molekul

Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan sangat penting
dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi genetik. Asam nukleat
sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari sejumlah molekul nukleotida sebagai
monomernya. Tiap nukleotida mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa,
dan basa nitrogen atau basa nukleotida (basa N).

Ada dua macam asam nukleat, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid
(DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Dilihat dari strukturnya, perbedaan
di antara kedua macam asam nukleat ini terutama terletak pada komponen gula pentosanya. Pada
RNA gula pentosanya adalah ribosa, sedangkan pada DNA gula pentosanya mengalami
kehilangan satu atom O pada posisi C nomor 2’ sehingga dinamakan gula 2’-deoksiribosa
(Gambar 2.1.b).

Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada
DNA maupun pada RNA, mempunyai struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung
C dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin. Basa
purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan basa pirimidin hanya mempunyai satu
cincin (monosiklik). Pada DNA, dan juga RNA, purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G).
Akan tetapi, untuk pirimidin ada perbedaan antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA basa
pirimidin terdiri atas sitosin (C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan sebagai gantinya
terdapat urasil (U). Timin berbeda dengan urasil hanya karena adanya gugus metil pada posisi
nomor 5 sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil.

Gambar 2.1. Komponen-komponen asam nukleat

a)      gugus fosfat b)      gula pentosa  c)      basa N

Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas, hanya basa N-lah yang
memungkinkan terjadinya variasi. Pada kenyataannya memang urutan (sekuens) basa N pada
suatu molekul asam nukleat merupakan penentu bagi spesifisitasnya. Dengan perkataan lain,
identifikasi asam nukleat dilakukan berdasarkan atas urutan basa N-nya sehingga secara skema
kita bisa menggambarkan suatu molekul asam nukleat hanya dengan menuliskan urutan basanya
saja.

Nukleosida dan nukleotida

Penomoran posisi atom C pada cincin gula dilakukan menggunakan tanda aksen (1’, 2’, dan
seterusnya), sekedar untuk membedakannya dengan penomoran posisi pada cincin basa. Posisi 1’
pada gula akan berikatan dengan posisi 9 (N-9) pada basa purin atau posisi 1 (N-1) pada basa
pirimidin melalui ikatan glikosidik atau glikosilik (Gambar 2.2).  Kompleks gula-basa ini
dinamakan nukleosida.

Di atas telah disinggung bahwa asam nukleat tersusun dari monomer-monomer berupa
nukleotida, yang masing-masing terdiri atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula pentosa, dan
sebuah basa N. Dengan demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat dapat dilihat sebagai
nukleosida monofosfat. Namun, pengertian nukleotida secara umum sebenarnya adalah
nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat. Sebagai contoh, molekul ATP (adenosin
trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan nukleosida dengan tiga gugus fosfat.

Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa
adenosin, guanosin, sitidin, dan uridin. Begitu pula, nukleotidanya akan ada empat macam, yaitu
adenosin monofosfat, guanosin monofosfat, sitidin monofosfat, dan uridin monofosfat.
Sementara itu, jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti halnya pada DNA, maka (2’-
deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin, deoksiguanosin, deoksisitidin, dan
deoksitimidin.

Ikatan fosfodiester

Selain ikatan glikosidik yang menghubungkan gula pentosa dengan basa N, pada asam nukleat
terdapat pula ikatan kovalen melalui gugus fosfat yang menghubungkan antara gugus hidroksil
(OH) pada posisi 5’ gula pentosa dan gugus hidroksil pada posisi 3’ gula pentosa nukleotida
berikutnya. Ikatan ini dinamakan ikatan fosfodiester karena secara kimia gugus fosfat berada
dalam bentuk diester (Gambar 2.2).  

Gambar 2.2. Ikatan fosfodiester dan ikatan glikosidik pada asam nukleat

Oleh karena ikatan fosfodiester menghubungkan gula pada suatu nukleotida dengan gula pada
nukleotida berikutnya, maka ikatan ini sekaligus menghubungkan kedua nukleotida yang
berurutan tersebut. Dengan demikian, akan terbentuk suatu rantai polinukleotida yang masing-
masing nukleotidanya satu sama lain dihubungkan oleh ikatan fosfodiester.

Kecuali yang berbentuk sirkuler, seperti halnya pada kromosom dan plasmid bakteri, rantai
polinukleotida memiliki dua ujung. Salah satu ujungnya berupa gugus fosfat yang terikat pada
posisi 5’ gula pentosa. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan ujung P atau ujung 5’.  Ujung yang
lainnya berupa gugus hidroksil yang terikat pada posisi 3’ gula pentosa sehingga ujung ini
dinamakan ujung OH atau ujung 3’. Adanya ujung-ujung tersebut menjadikan rantai
polinukleotida linier mempunyai arah tertentu.

Pada pH netral adanya gugus fosfat akan menyebabkan asam nukleat bermuatan negatif. Inilah
alasan pemberian nama ’asam’ kepada molekul polinukleotida meskipun di dalamnya juga
terdapat banyak basa N. Kenyataannya, asam nukleat memang merupakan anion asam kuat atau
merupakan polimer yang sangat bermuatan negatif.

Sekuens asam nukleat

Telah dikatakan di atas bahwa urutan basa N akan menentukan spesifisitas suatu molekul asam
nukleat sehingga biasanya kita menggambarkan suatu molekul asam nukleat cukup dengan
menuliskan urutan basa (sekuens)-nya saja. Selanjutnya, dalam penulisan sekuens asam nukleat
ada kebiasaan untuk menempatkan ujung 5’ di sebelah kiri atau ujung 3’ di sebelah kanan.
Sebagai contoh, suatu sekuens DNA dapat dituliskan 5’-ATGACCTGAAAC-3’ atau suatu
sekuens RNA dituliskan 5’-GGUCUGAAUG-3’.

Jadi, spesifisitas suatu asam nukleat selain ditentukan oleh sekuens basanya, juga harus dilihat
dari arah pembacaannya. Dua asam nukleat yang memiliki sekuens sama tidak berarti keduanya
sama jika pembacaan sekuens tersebut dilakukan dari arah yang berlawanan (yang satu 5’→ 3’,
sedangkan yang lain 3’→ 5’).  

Struktur tangga berpilin (double helix) DNA

Dua orang ilmuwan, J.D.Watson dan F.H.C.Crick, mengajukan model struktur molekul DNA
yang hingga kini sangat diyakini kebenarannya dan dijadikan dasar dalam berbagai teknik yang
berkaitan dengan manipulasi DNA. Model tersebut dikenal sebagai tangga berplilin (double
helix). Secara alami DNA pada umumnya mempunyai struktur molekul tangga berpilin ini.

Model tangga berpilin menggambarkan struktur molekul DNA sebagai dua rantai polinukleotida
yang saling memilin membentuk spiral dengan arah pilinan ke kanan.  Fosfat dan gula pada
masing-masing rantai menghadap ke arah luar sumbu pilinan, sedangkan basa N menghadap ke
arah dalam sumbu pilinan dengan susunan yang sangat khas sebagai pasangan – pasangan basa
antara kedua rantai. Dalam hal ini, basa A pada satu rantai akan berpasangan dengan basa T pada
rantai lainnya, sedangkan basa G berpasangan dengan basa C. Pasangan-pasangan basa ini
dihubungkan oleh ikatan hidrogen yang lemah (nonkovalen). Basa A dan T dihubungkan oleh
ikatan hidrogen rangkap dua, sedangkan basa G dan C dihubungkan oleh ikatan hidrogen
rangkap tiga. Adanya ikatan hidrogen tersebut menjadikan kedua rantai polinukleotida terikat
satu sama lain dan saling komplementer. Artinya, begitu sekuens basa pada salah satu rantai
diketahui, maka sekuens pada rantai yang lainnya dapat ditentukan.

Oleh karena basa bisiklik selalu berpasangan dengan basa monosiklik, maka jarak antara kedua
rantai polinukleotida di sepanjang molekul DNA akan selalu tetap. Dengan perkataan lain, kedua
rantai tersebut sejajar. Akan tetapi, jika rantai yang satu dibaca dari arah 5’ ke 3’, maka rantai
pasangannya dibaca dari arah 3’ ke 5’. Jadi, kedua rantai tersebut sejajar tetapi berlawanan arah
(antiparalel).

3’
5’
5’
3’

            

                  

                   Gambar 2.3. Model struktur tangga berpilin DNA

                                          P = fosfat     S =gula

                                          A = adenin, G = guanin, C = sitosin, T =timin 

Jarak antara dua pasangan basa yang berurutan adalah 0,34 nm. Sementara itu, di dalam setiap
putaran spiral terdapat 10 pasangan basa sehingga jarak antara dua basa yang tegak lurus di
dalam masing-masing rantai menjadi 3,4 nm. Namun, kondisi semacam ini hanya dijumpai
apabila DNA berada dalam medium larutan fisiologis dengan kadar garam rendah seperti halnya
yang terdapat di dalam protoplasma sel hidup. DNA semacam ini dikatakan berada dalam bentuk
B atau bentuk yang sesuai dengan model asli Watson-Crick. Bentuk yang lain, misalnya bentuk
A, akan dijumpai jika DNA berada dalam medium dengan kadar garam tinggi. Pada bentuk A
terdapat 11 pasangan basa dalam setiap putaran spiral. Selain itu, ada pula bentuk Z, yaitu bentuk
molekul DNA yang mempunyai arah pilinan spiral ke kiri. Bermacam-macam bentuk DNA ini
sifatnya fleksibel, artinya dapat berubah dari yang satu ke yang lain bergantung kepada kondisi
lingkungannya.

Modifikasi struktur molekul RNA

Tidak seperti DNA, molekul RNA pada umumnya berupa untai tunggal sehingga tidak memiliki
struktur tangga berpilin. Namun, modifikasi struktur juga terjadi akibat terbentuknya ikatan
hidrogen di dalam untai tunggal itu sendiri (intramolekuler).

Dengan adanya modifikasi struktur molekul RNA, kita mengenal tiga macam RNA, yaitu RNA
duta atau messenger RNA (mRNA), RNA pemindah atau transfer RNA (tRNA), dan RNA
ribosomal (rRNA). Struktur mRNA dikatakan sebagai struktur primer, sedangkan struktur
tRNA dan rRNA dikatakan sebagai struktur sekunder. Perbedaan di antara ketiga struktur
molekul RNA tersebut berkaitan dengan perbedaan fungsinya masing-masing.

Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat

Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa sifat fisika-kimia asam nukleat. Sifat-sifat
tersebut adalah stabilitas asam nukleat, pengaruh asam, pengaruh alkali, denaturasi kimia,
viskositas, dan kerapatan apung.

Stabilitas asam nukleat

Ketika kita melihat struktur tangga berpilin molekul DNA atau pun struktur sekunder RNA,
sepintas akan nampak bahwa struktur tersebut menjadi stabil akibat adanya ikatan hidrogen di
antara basa-basa yang berpasangan. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Ikatan hidrogen di
antara pasangan-pasangan basa hanya akan sama kuatnya dengan ikatan hidrogen antara basa
dan molekul air apabila DNA berada dalam bentuk rantai tunggal. Jadi, ikatan hidrogen jelas
tidak berpengaruh terhadap stabilitas struktur asam nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas
perpasangan basa. 

  Penentu stabilitas struktur asam nukleat terletak pada interaksi penempatan (stacking
interactions) antara pasangan-pasangan basa. Permukaan basa yang bersifat hidrofobik
menyebabkan molekul-molekul air dikeluarkan dari sela-sela perpasangan basa sehingga
perpasangan tersebut menjadi kuat. 

Pengaruh asam

Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya HClO4 dengan suhu lebih dari 100ºC, asam
nukleat akan mengalami hidrolisis sempurna menjadi komponen-komponennya. Namun, di
dalam asam mineral yang lebih encer, hanya ikatan glikosidik antara gula dan basa purin saja
yang putus sehingga asam nukleat dikatakan bersifat apurinik.

Pengaruh alkali

Pengaruh alkali terhadap asam nukleat mengakibatkan terjadinya perubahan status tautomerik
basa. Sebagai contoh, peningkatan pH akan menyebabkan perubahan struktur guanin dari bentuk
keto menjadi bentuk enolat karena molekul tersebut kehilangan sebuah proton. Selanjutnya,
perubahan ini akan menyebabkan terputusnya sejumlah ikatan hidrogen sehingga pada akhirnya
rantai ganda DNA mengalami denaturasi. Hal yang sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada
pH netral sekalipun, RNA jauh lebih rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA
karena adanya gugus OH pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.

Denaturasi kimia

Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat pada pH netral.
Contoh yang paling dikenal adalah urea (CO(NH2)2) dan formamid (COHNH2). Pada konsentrasi
yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat merusak ikatan hidrogen. Artinya, stabilitas
struktur sekunder asam nukleat menjadi berkurang dan rantai ganda mengalami denaturasi.

Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi karena diameternya
hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya dapat mencapai beberapa sentimeter. Dengan demikian,
DNA tersebut berbentuk tipis memanjang. Selain itu, DNA merupakan molekul yang relatif kaku
sehingga larutan DNA akan mempunyai viskositas yang tinggi. Karena sifatnya itulah molekul
DNA menjadi sangat rentan terhadap fragmentasi fisik. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri
ketika kita hendak melakukan isolasi DNA yang utuh.

Kerapatan apung

Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai dengan kerapatan apung (bouyant density)-
nya. Di dalam larutan yang mengandung garam pekat dengan berat molekul tinggi, misalnya
sesium klorid (CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang sama dengan larutan tersebut, yakni
sekitar 1,7 g/cm3.  Jika larutan ini disentrifugasi dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka
garam CsCl yang pekat akan bermigrasi ke dasar tabung dengan membentuk gradien
kerapatan. Begitu juga, sampel DNA akan bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai
dengan kerapatannya. Teknik ini dikenal sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat
kerapatan (equilibrium density gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik.

Oleh karena dengan teknik sentrifugasi tersebut pelet RNA akan berada di dasar tabung dan
protein akan mengapung, maka DNA dapat dimurnikan baik dari RNA maupun dari protein.
Selain itu, teknik tersebut juga berguna untuk keperluan analisis DNA karena kerapatan apung
DNA (ρ) merupakan fungsi linier bagi kandungan GC-nya.  Dalam hal ini,  ρ = 1,66 + 0,098%
(G + C).

Gambar 2.4.  Sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan

Sifat-sifat Spektroskopik-Termal Asam Nukleat

Sifat spektroskopik-termal asam nukleat meliputi kemampuan absorpsi sinar UV,


hipokromisitas, penghitungan konsentrasi asam nukleat, penentuan kemurnian DNA, serta
denaturasi termal dan renaturasi asam nukleat. Masing-masing akan dibicarakan sekilas berikut
ini.

Absorpsi UV

Asam nukleat dapat mengabsorpsi sinar UV karena adanya basa nitrogen yang bersifat aromatik;
fosfat dan gula tidak memberikan kontribusi dalam absorpsi UV. Panjang gelombang untuk
absorpsi maksimum baik oleh DNA maupun RNA adalah  260 nm atau dikatakan λmaks = 260 nm.
Nilai ini jelas sangat berbeda dengan nilai untuk protein yang mempunyai λ maks = 280 nm.  Sifat-
sifat absorpsi asam nukleat dapat digunakan untuk deteksi, kuantifikasi, dan perkiraan
kemurniannya.

Hipokromisitas

Meskipun λmaks untuk DNA dan RNA konstan, ternyata ada perbedaan nilai yang bergantung
kepada lingkungan di sekitar basa berada. Dalam hal ini, absorbansi pada λ 260 nm (A260)
memperlihatkan variasi di antara basa-basa pada kondisi yang berbeda. Nilai tertinggi terlihat
pada nukleotida yang diisolasi, nilai sedang diperoleh pada molekul DNA rantai tunggal
(ssDNA) atau RNA, dan nilai terendah dijumpai pada DNA rantai ganda (dsDNA). Efek ini
disebabkan oleh pengikatan basa di dalam lingkungan hidrofobik. Istilah klasik untuk
menyatakan perbedaan nilai absorbansi tersebut adalah hipokromisitas. Molekul dsDNA
dikatakan relatif hipokromik (kurang berwarna) bila dibandingkan dengan ssDNA. Sebaliknya,
ssDNA dikatakan hiperkromik terhadap dsDNA.

Penghitungan konsentrasi asam nukleat

Konsentrasi DNA dihitung atas dasar nilai A260-nya. Molekul dsDNA dengan konsentrasi 1mg/ml
mempunyai A260 sebesar 20, sedangkan konsentrasi yang sama untuk molekul ssDNA atau RNA
mempunyai A260 lebih kurang sebesar 25. Nilai A260 untuk ssDNA dan RNA hanya merupakan
perkiraan karena kandungan basa purin dan pirimidin pada kedua molekul tersebut tidak selalu
sama, dan nilai A260  purin tidak sama dengan nilai A260 pirimidin. Pada dsDNA, yang selalu
mempunyai kandungan purin dan pirimidin sama, nilai A260 -nya sudah pasti.
Kemurnian asam nukleat

Tingkat kemurnian asam nukleat dapat diestimasi melalui penentuan nisbah A260 terhadap A280.
Molekul dsDNA murni mempunyai nisbah  A260 /A280 sebesar 1,8. Sementara itu, RNA murni
mempunyai nisbah  A260 /A280  sekitar 2,0.  Protein, dengan λmaks = 280 nm, tentu saja mempunyai
nisbah A260 /A280  kurang dari 1,0.  Oleh karena itu, suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai
A260 /A280 lebih dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh RNA. Sebaliknya, suatu sampel DNA yang
memperlihatkan nilai A260 /A280  kurang dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh protein.

Denaturasi termal dan renaturasi

Di atas telah disinggung bahwa beberapa senyawa kimia tertentu dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi asam nukleat. Ternyata, panas juga dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat.
Proses denaturasi ini dapat diikuti melalui pengamatan nilai absorbansi yang meningkat karena
molekul rantai ganda (pada dsDNA dan sebagian daerah pada RNA) akan berubah menjadi
molekul rantai tunggal.

Denaturasi termal pada DNA dan RNA ternyata sangat berbeda. Pada RNA denaturasi
berlangsung perlahan dan bersifat acak karena bagian rantai ganda yang pendek akan
terdenaturasi lebih dahulu daripada bagian rantai ganda yang panjang. Tidaklah demikian halnya
pada DNA. Denaturasi terjadi sangat cepat dan bersifat koperatif karena denaturasi pada kedua
ujung molekul dan pada daerah kaya AT akan mendestabilisasi daerah-daerah di sekitarnya.

Suhu ketika molekul asam nukleat mulai mengalami denaturasi dinamakan titik leleh atau
melting temperature (Tm). Nilai Tm merupakan fungsi kandungan GC sampel DNA, dan berkisar
dari 80 ºC hingga 100ºC untuk molekul-molekul DNA yang panjang.

DNA yang mengalami denaturasi termal dapat dipulihkan (direnaturasi) dengan cara
didinginkan. Laju pendinginan berpengaruh terhadap hasil renaturasi yang diperoleh.
Pendinginan yang berlangsung cepat hanya memungkinkan renaturasi pada beberapa
bagian/daerah tertentu. Sebaliknya, pendinginan yang dilakukan perlahan-lahan dapat
mengembalikan seluruh molekul DNA ke bentuk rantai ganda seperti semula. Renaturasi yang
terjadi antara daerah komplementer dari dua rantai asam nukleat yang berbeda dinamakan
hibridisasi.

Superkoiling DNA

Banyak molekul dsDNA berada dalam bentuk sirkuler tertutup atau closed-circular (CC),
misalnya DNA plasmid dan kromosom bakteri serta DNA berbagai virus. Artinya, kedua rantai
membentuk lingkaran dan satu sama lain dihubungkan sesuai dengan banyaknya putaran
heliks (Lk) di dalam molekul DNA tersebut.

Sejumlah sifat muncul dari kondisi sirkuler DNA. Cara yang baik untuk membayangkannya
adalah menganggap struktur tangga berpilin DNA seperti gelang karet dengan suatu garis yang
ditarik di sepanjang gelang tersebut. Jika kita membayangkan suatu pilinan pada gelang, maka
deformasi yang terbentuk akan terkunci ke dalam sistem pilinan tersebut. Deformasi inilah yang
disebut sebagai superkoiling.

Interkalator

Geometri suatu molekul yang mengalami superkoiling dapat berubah akibat beberapa faktor
yang mempengaruhi pilinan internalnya. Sebagai contoh, peningkatan suhu dapat menurunkan
jumlah pilinan, atau sebaliknya, peningkatan kekuatan ionik dapat menambah jumlah pilinan.
Salah satu faktor yang penting adalah keberadaan interkalator seperti etidium bromid (EtBr).
Molekul ini merupakan senyawa aromatik polisiklik bermuatan positif yang menyisip di antara
pasangan-pasangan basa. Dengan adanya EtBr molekul DNA dapat divisualisasikan
menggunakan paparan sinar UV.

STRUKTUR MOLEKUL KROMOSOM


Pada bab ini akan dibahas struktur molekuler kromosom, baik pada prokariot maupun
pada eukariot. Dengan mempelajari pokok bahasan ini akan diperoleh gambaran
mengenai organisasi DNA di dalam kromosom kedua kelompok organisme tersebut.
Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan:

1 pengertian domain DNA


2 macam-macam protein yang terikat pada DNA prokariot,
3 struktur molekuler kromosom pada prokariot,
4 pengertian kromatin,
5 pengertian nukleosom,
6 macam-macam protein yang terikat pada DNA eukariot,
7 struktur molekuler kromosom pada eukariot, dan
8 kompleksitas genom eukariot.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok bahasan ini
dengan lebih baik adalah struktur sel dan struktur asam nukleat, khususnya DNA, yang masing-
masing telah dijelaskan pada Bab I dan Bab II.  Selain itu, konsep dasar tentang pembelahan sel
dan daur sel yang telah diperoleh pada mata kuliah Genetika juga sangat mendukung
pemahaman materi bahasan di dalam bab ini.

Struktur Molekuler Kromosom Prokariot

Gambaran umum genom prokariot dapat diwakili oleh kromosom E. coli, yang merupakan
gulungan DNA tunggal berbentuk sirkuler tertutup sepanjang 4,6 x 10 6 pb. Seperti telah
dijelaskan pada Bab I, DNA tersebut dikemas di suatu tempat di dalam sel yang dinamakan
nukleoid. Di tempat ini terdapat konsentrasi DNA yang sangat tinggi, mungkin mencapai 30
hingga 50 mg/ml, dan semua protein yang berhubungan dengan DNA seperti polimerase,
represor, dan lain sebagainya.

Percobaan-percobaan yang memungkinkan isolasi DNA E. coli dari semua protein yang melekat
padanya serta pengamatan melalui mikroskop elektron dapat menunjukkan satu tingkat
organisasi nukleoid. Ternyata, DNA terdiri atas 50 hingga 100 domain atau kala (loop), yang
ujung-ujungnya dipersatukan oleh suatu struktur yang diduga terdiri atas protein-protein terikat
membran plasma (Gambar 3.1). Masing-masing kala tersebut berukuran lebih kurang 50 hingga
100 kb. Belum diketahui apakah kala bersifat statis atau dinamis, tetapi ada satu model yang
menyebutkan bahwa DNA mungkin berputar-putar melalui struktur pemersatu yang ada di dasar
kala tersebut.

Gambar 3.1. Struktur skematik kromosom E. coli

Kromosom E. coli secara keseluruhan mengalami superkoiling negatif (berkebalikan


dengan arah putaran heliks untai ganda DNA) meskipun ada bukti bahwa masing-
masing domain dapat mengalami superkoiling secara independen. Bahkan, gambaran
mikrograf elektron menunjukkan bahwa beberapa domain tidak mengalami superkoiling,
mungkin karena salah satu untai DNAnya patah.

Protein-protein terikat membran plasma yang terdapat pada struktur pemersatu domain
ada beberapa macam. Protein yang paling banyak dijumpai adalah HU, suatu protein
dimerik (mempunyai dua subunit) yang bersifat basa dan H-NS (dulu disebut H1), suatu
protein monomerik netral. Kedua-duanya mengikat DNA secara nonspesifik dalam arti
tidak bergantung kepada sekuens tertentu, dan sering dikatakan sebagai protein mirip
histon. Akibat pengikatan oleh kedua protein tersebut DNA menjadi kompak. Hal ini
sangat penting bagi pengemasan DNA di dalam nukleoid dan stabilisasi superkoiling
kromosom.

Struktur Molekuler Kromosom Eukariot

Berbeda dengan DNA prokariot yang berbentuk sirkuler tertutup, DNA eukariot
merupakan molekul linier yang sangat panjang. Panjang DNA eukariot di dalam nukleus
jauh melebihi ukuran nukleus itu sendiri. Oleh karenanya, agar dapat dikemas di dalam
nukleus, DNA harus dimampatkan dengan suatu cara. Derajad pemampatan
(kondensasi) DNA dinyatakan sebagai nisbah pengepakan (packing ratio)-nya, yaitu
panjang molekul DNA dibagi dengan panjang pengepakannya. Sebagai contoh,
kromosom manusia yang terpendek, yaitu kromosom nomor 21, berisi 4,6 x 10 7 pb DNA
(sekitar 10 kali ukuran genom E. coli). Ukuran DNA kromosom ini setara dengan
panjang 14.000 μm jika DNA ditarik lurus. Pada kondisi yang paling mampat, yaitu
selama mitosis, kromosom tersebut panjangnya hanya sekitar 2 μm. Angka ini
memberikan nisbah pengepakan sebesar 7.000 (14.000/2).
Untuk mencapai nisbah pengepakan totalnya, DNA tidak langsung dikemas ke dalam
struktur terakhirnya (kromatin). Pengemasan DNA dilakukan melalui sejumlah tingkatan
organisasi kromosom. Tingkatan yang pertama diperoleh ketika DNA melilit-lilit di
sekeliling sumbu protein sehingga menghasilkan struktur seperti manik-manik yang
disebut nukleosom. Pada tingkatan ini terdapat nisbah pengepakan sebesar 6.
Tingkatan yang kedua adalah pemutaran sejumlah nukleosom membentuk struktur
heliks yang disebut serabut 30 nm. Struktur serabut 30 nm dijumpai baik pada
kromatin interfase maupun pada kromosom mitosis. Dengan struktur ini nisbah
pengepakan DNA meningkat menjadi sekitar 40. Pengemasan terakhir terjadi ketika
serabut 30 nm tersusun dalam sejumlah kala, struktur tangga, dan domain, yang
memberikan nisbah pengepakan tertinggi sebesar lebih kurang 1.000 pada kromatin
interfase dan 10.000 pada kromosom mitosis.

Kromosom eukariot terdiri atas suatu kompleks DNA-protein yang tersusun sangat
kompak sehingga memungkinkan DNA yang ukurannya begitu panjang tersimpan di
dalam nukleus. Istilah bagi struktur dasar kromosom adalah kromatin, sedangkan
satuan dasar kromatin adalah nukleosom. Dengan demikian, kromatin merupakan
satuan analisis kromosom yang menggambarkan struktur umum kromosom.

Nukleosom

Nukleosom dijumpai pada semua kromosom eukariot. Telah dikatakan di atas bahwa
nukleosom merupakan struktur yang paling sederhana dalam pengemasan DNA
eukariot. Pengemasan terjadi dengan cara pelilitan DNA di sekeliling sumbu
nukleosom, yang merupakan oktamer protein basa berukuran kecil dan disebut histon
sumbu. Protein histon sumbu ini bersifat basa atau bermuatan positif karena banyak
mengandung asam amino arginin dan lisin.

Ada empat macam histon sumbu yang menyusun sumbu nukleosom, yaitu H2A, H2B,
H3, dan H4. Keempat macam histon ini berada dalam bentuk oktamer karena masing-
masing terdiri atas dua molekul. Selain itu, ada satu macam histon lagi, yaitu H1, yang
letaknya bukan di sumbu nukleosom, melainkan di bagian tepi nukleosom. Dengan
adanya molekul H1 ini, ukuran nukleosom menjadi lebih besar 20 pb dan biasanya
disebut dengan kromatosom.

Setiap untai DNA sepanjang 146 pb mengelilingi satu sumbu nukleosom, sementara
bagian-bagian DNA lainnya menjadi penghubung (linker) antara satu sumbu nukleosom
dan sumbu nukleosom berikutnya. Pelilitan DNA di sekeliling sumbu nukleosom
berlangsung dengan arah ke kiri atau terjadi superkoiling negatif. Pelilitan terjadi
demikian kuat karena DNA bermuatan negatif, sedangkan histon sumbu bermuatan
positif.

Gambar 3.2. Struktur skematik nukleosom dan kromatosom

Serabut 30 nm

Telah dikatakan di atas bahwa terbentuknya rangkaian heliks nukleosom secara keseluruhan
terlihat sebagai serabut dengan diameter 30 nm yang dikenal sebagai serabut 30 nm (Gambar
3.3). Keberadaan histon H1 berfungsi menstabilkan struktur serabut 30 nm. Hal ini didukung
oleh bukti percobaan bahwa penghilangan histon tersebut dari kromatin ternyata tidak dapat
mempertahankan struktur serabut 30 nm meskipun struktur nukleosomnya tetap dipertahankan.

Hasil studi menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa nukleosom-nukleosom di


dalam serabut 30 nm membentuk heliks yang berputar ke arah kiri dengan jumlah nukleosom
sebanyak enam buah tiap putaran. Meskipun demikian, organisasi struktur serabut 30 nm yang
tepat sebenarnya masih berupa suatu perkiraan.

Struktur kromatin yang tertinggi

Organisasi kromatin pada tingkatan yang paling tinggi nampak agak menyerupai struktur DNA
prokariot. Hasil pengamatan menggunakan mikroskop elektron terhadap kromosom eukariot
yang telah dibersihkan dari protein-protein histonnya memperlihatkan gambaran struktur domain
(kala) seperti pada kromosom prokariot (Gambar 3.1). Bahkan, ukuran tiap kalanya pun lebih
kurang sama, yaitu hingga sekitar 100 kb. Meskipun demikian, pada kromosom eukariot terdapat
lebih banyak kala.
Kala-kala tersebut dipersatukan oleh kompleks protein yang dinamakan matriks nuklear. DNA
di dalam kala berada dalam bentuk serabut 30 nm, dan kala-kala tersebut membentuk susunan
yang membentang sekitar 300 nm (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Struktur skematik serabut 30 nm

Gambar 3.4. Organisasi serabut 30 nm ke dalam domain kromosom

Kromosom mitosis

Gambaran fisik kromosom eukariot yang dapat kita lihat dengan jelas adalah ketika kromosom
mengalami kondisi yang paling mampat pada tahap mitosis, khususnya metafase. Pada waktu
kromosom-kromosom hasil replikasi ditarik ke dua kutub yang berlawanan, DNA kromosom
yang mempunyai nisbah aksial sangat tinggi (sangat tipis memanjang) seharusnya akan
terpotong-potong oleh kekuatan penarikan tersebut. Namun, tidaklah demikian kenyataannya.
Hal ini karena, seperti telah disinggung di atas, DNA kromosom eukariot telah mencapai nibah
pengepakan yang paling tinggi.

Gambar 3.5. Struktur kromosom mitosis

Sentromir

Sentromir merupakan daerah pada kromosom eukariot yang mengalami penyempitan


dan menjadi tempat bersatunya dua kromatid kembar (kromosom hasil replikasi) pada
saat metafase. Di dalam sentromir terjadi perakitan kinetokor, suatu kompleks protein
yang berikatan dengan mikrotubulus dari benang spindel. Mikrotubulus akan bekerja
memisahkan kromatid kembar pada anafase. Oleh karena itu, dengan adanya
sentromir, segregasi kromatid kembar ke masing-masing kutub sel dapat berlangsung
dengan tepat.

DNA pada sentromir khamir diketahui hanya terdiri atas suatu sekuens pendek (88 pb)
yang kaya akan AT dan diapit oleh dua sekuens konservatif (selalu tetap) yang sangat
pendek. Sementara itu, DNA pada sentromir mamalia berupa sekuens yang agak lebih
panjang dan diapit oleh sejumlah besar sekuens repetitif (berulang) yang disebut
dengan DNA satelit.

Telomir

Telomir adalah ujung kromosom eukariot yang sekaligus juga merupakan ujung molekul
DNA. Sebuah telomir terdiri atas beratus-ratus salinan (copy) sekuens pendek repetitif
yang disintesis oleh enzim telomerase dengan mekanisme yang tidak bergantung
kepada replikasi DNA biasa. Pada manusia, misalnya, sekuens ini berupa 5’-TTAGGG-
3’.

DNA telomerik membentuk struktur sekunder tertentu, yang fungsinya untuk melindungi
ujung kromosom dari degradasi. Sintesis DNA telomerik yang bersifat independen dari
replikasi DNA lainnya akan mengimbangi terjadinya pemendekan kromosom secara
bertahap. Pemendekan itu sendiri terjadi karena ketidakmampuan replikasi biasa untuk
menyintesis bagian yang paling ujung pada suatu molekul DNA linier.

Kromosom interfase

Pada waktu interfase, gen-gen di dalam kromosom mengalami transkripsi. Demikian


pula, replikasi DNA berlangsung. Selama kurun waktu tersebut, yang merupakan
bagian terbesar di antara tahapan-tahapan daur sel, kromosom mempunyai struktur
yang sangat baur dan tidak dapat dilihat satu demi satu. Meskipun demikian, diyakini
bahwa kala-kala kromosomal seperti pada Gambar 3.4. tetap ada dan terikat pada
matriks nuklear.

Heterokromatin

Bagian kromatin yang selama interfase tetap nampak sangat kompak meskipun tidak
sekompak ketika metafase dinamakan heterokromatin. Jika diamati di bawah
mikroskop, heterokromatin terlihat sebagai daerah yang gelap di bagian tepi nukleus.
Dewasa ini telah diketahui bahwa heterokromatin berisi sejumlah sekuens repetitif yang
secara genetik tidak aktif atau tidak banyak mengalami transkripsi. Diyakini bahwa
kebanyakan heterokromatin terdiri atas DNA satelit yang letaknya berdekatan dengan
sentromir. Meskipun demikian, dalam kasus tertentu seluruh kromosom bisa saja
berupa heterokromatin, misalnya salah satu dari dua kromosom X pada mamalia
betina.

Eukromatin

Eukromatin adalah bagian kromatin yang berisi sekuens-sekuens nonrepetitif (tunggal,


tidak berulang) yang secara genetik sangat aktif atau banyak mengalami transkripsi.
Kenampakannya tidak sejelas heterokromatin. Meskipun demikian, eukromatin tidaklah
homogen sempurna. Masih banyak juga daerah-daerah yang secara genetik relatif
inaktif. Hanya sekitar 10% di antaranya merupakan daerah dengan gen-gen yang
sedang dan akan ditranskripsi. Di daerah semacam ini serabut 30 nm mengalami
disosiasi menjadi struktur seperti tasbih. Bahkan, beberapa bagian di antaranya
kehilangan nukleosom. Diduga hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengikatan
faktor-faktor transkripsi dan protein lainnya.

Sensitivitas kromatin terhadap enzim DNase I, yang memotong tulang punggung


molekul DNA kecuali jika DNA tersebut terlindungi oleh protein yang terikat padanya,
telah digunakan untuk memetakan daerah-daerah yang aktif mengalami transkripsi.
Daerah-daerah pendek yang hipersensitif terhadap DNase I dianggap menggambarkan
daerah yang serabut 30 nm-nya diselingi oleh pengikatan suatu protein regulator
tertentu sehingga memperlihatkan DNA yang tebuka dan mudah diserang oleh DNase I.
Sementara itu, daerah sensitif yang lebih panjang menggambarkan sekuens-sekuens
yang mengalami transkripsi. Daerah-daerah tersebut bevariasi di antara jenis sel yang
berbeda, sesuai dengan tempat gen yang akan diekspresikan pada sel tertentu.

Suatu modifikasi kimia penting yang diduga terlibat dalam sinyal pengemasan
kromosom di tempat gen-gen yang diekspresikan pada sel-sel mamalia adalah metilasi
atom C ke 5 pada basa sitosin (C) dengan sekuens 5’-CG-3’, yang biasa dikenal
sebagai metilasi CpG. Keberadaan CpG biasanya relatif jarang karena 5-metil sitosin
secara spontan akan mengalami deaminasi menjadi timin. Metilasi CpG berkaitan
dengan daerah-daerah kromatin yang tidak aktif mengalami transkripsi. Akan tetapi,
ada daerah sepanjang lebih kurang 2 kb yang dinamakan kepulauan CpG, yang berisi
CpG yang tidak mengalami metilasi dan ternyata sensitif terhadap DNase I. Kepulauan
CpG menjadi tempat pengikatan promoter gen-gen yang akan ditranskripsi.

Gambar 3.6. Eukromatin

Kompleksitas Genom Eukariot

Genom organisme eukariot dapat mengandung jumlah DNA lebih dari 1000 kali jumlah
yang ada pada genom prokariot seperti E. coli. Akan tetapi, banyaknya protein pada
eukariot, misalnya manusia, tidaklah 1000 kali jumlah protein pada E. coli. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa tidak semua sekuens DNA eukariot menyandi
pembentukan protein. Sekuens DNA eukariot yang tidak menyandi sintesis protein ini
dinamakan intron.

Intron akan menginterupsi daerah penyandi protein (coding sequence) di dalam gen-
gen eukariot sehingga sekuens gen-gen tersebut dapat mencakup panjang beberapa
kilobasa tetapi tidak semuanya merupakan coding sequence. Hingga sekarang fungsi
intron, kalau pun ada, tidak diketahui. Hal yang pasti adalah bahwa kebanyakan intron
terdiri atas sejumlah pengulangan salinan beberapa macam sekuens yang serupa atau
sama. Salinan sekuens tersebut dapat dijumpai berurutan (tandemly repeated)
seperti pada DNA satelit yang ada di dekat sentromir, atau tersebar (interspersed) di
sepanjang genom, misalnya pada elemen Alu pada genom manusia.

Kecepatan renaturasi atau kinetika reasosiasi sampel DNA kromosom digambarkan


sebagai kurva yang dikenal sebagai kurva Cot. Pemberian nama ini berkaitan dengan
variabel-variabel yang dihubungkan. Sumbu X memetakan variabel yang merupakan
hasil kali konsentrasi DNA awal (Co) dengan waktu yang dibutuhkan untuk renaturasi
(t). Sementara itu, sumbu Y memetakan banyaknya fragmen DNA yang masih tetap
berupa untai tunggal (f).
Kurva Cot untuk DNA kromosom manusia memperlihatkan adanya tiga fase, yaitu fase
cepat, fase sedang, dan fase lambat. Fase cepat menunjukkan bahwa fragmen-
fragmen untai tunggal membawa sekuens repetitif yang sangat banyak sehingga
mudah sekali untuk mengalami renaturasi. Fase sedang menunjukkan bahwa fragmen-
fragmen untai tunggal membawa sekuens repetitif dalam jumlah yang tidak terlalu besar
sehingga kecepatan renaturasinya pun sedang-sedang saja. Fase lambat menunjukkan
bahwa fragmen-fragmen untai tunggal sedikit sekali atau sama sekali tidak membawa
sekuens repetitif sehingga sangat sulit untuk mengalami renaturasi. Dengan demikian,
genom atau DNA kromosom manusia dapat dibagi dalam tiga daerah, yaitu daerah
dengan banyak sekuens repetitif (highly repetitive DNA), daerah dengan beberapa
sekuens repetitif (moderately repetitive DNA), dan daerah dengan sekuens unik atau
tanpa sekuens repetitif. Sementara itu, genom prokariot, misalnya E. coli, hanya terdiri
atas sekuens-sekuens unik

REPLIKASI DNA

Pokok bahasan di dalam bab ini mencakup prosesing RNA hasil transkripsi, struktur

ribosom sebagai tempat berlangsungnya translasi, kode genetik, dan sintesis protein.

Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu

menjelaskan:

1.  macam-macam prosesing RNA,

2.  struktur ribosom,

3.  sifat-sifat dan cara membaca kode genetik, serta

4.  mekanisme sintesis protein.


Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur asam nukleat, replikasi DNA, dan

transkripsi, yang masing-masing telah dijelaskan pada Bab II, Bab IV, dan Bab V. 

Prosesing RNA

Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses yang lebih rumit

karena melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh karena kebanyakan di antara

makromolekul ini terdapat dalam jumlah besar di dalam sel, maka sistem translasi

menjadi bagian utama mesin metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus

berperan dalam proses translasi tersebut meliputi

1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap ribosom

2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang akan

mengaktifkan asam amino

3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda

4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan terminasi

polipeptida.

Ribosom

Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di dalam ribosom, suatu

struktur organel yang banyak terdapat di dalam sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua

subunit, besar dan kecil, yang akan menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah

ketika translasi telah selesai. Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju

pengendapannya selama sentrifugasi sebagai satuan yang disebut satuan Svedberg


(S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai ukuran 70S, sedangkan pada

eukariot biasanya sekitar 80S. 

Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang masing-masing

dinamakan tapak aminoasil (tapak A) dan tapak peptidil (tapak P). Molekul

aminoasil-tRNA yang baru memasuki ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan

molekul tRNA yang membawa rantai polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di

tapak P.

Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini berlangsung dengan arah

tertentu sebagai berikut.

1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5’→ 3’, tetapi tidak dari ujung 5’ hingga

ujung 3’.

2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan menambahkan

asam-asam amino satu demi satu ke ujung karboksil. Sebagai contoh, sintesis

protein yang mempunyai urutan NH2-Met-Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai

dengan metionin dan diakhiri dengan serin.

Proses Translasi

Mekanisme translasi atau sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat pada

Gambar 6.1. Sebuah molekul mRNA akan terikat pada permukaan ribosom yang kedua

subunitnya telah bergabung. Pengikatan ini terjadi karena pada mRNA prokariot

terdapat urutan basa tertentu yang disebut sebagai tempat pengikatan ribosom

(ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno. Sementara itu, pada eukariot
pengikatan ribosom dilakukan oleh ujung 5’ mRNA. Selanjutnya, berbagai aminoasil-

tRNA akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini dengan urutan

sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya. Urutan ini ditentukan oleh

urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida terbentuk di antara asam-asam amino

yang terangkai menjadi rantai polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-

asam amino terjadi karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan

dengan gugus karboksil pada asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida yang

sedang diperpanjang. Penjelasan tentang mekanisme sintesis protein yang lebih rinci

disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan diberikan di bawah ini

Gambar 6.1. Skema garis besar sintesis protein

Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus, yaitu tRNA yang

membawa metionin (dilambangkan sebagai metionil-tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa

sintesis semua polipeptida selalu dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot

akan terjadi formilasi gugus amino pada metionil-tRNA iMet (dilambangkan sebagai

metionil-tRNAfMet) yang mencegah terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin

tersebut dengan gugus karboksil asam amino pada ujung polipetida yang sedang

diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida prokariot selalu berupa f-

metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak mengalami formilasi gugus amin, tetapi

molekul ini akan bereaksi dengan protein-protein tertentu yang berfungsi sebagai faktor

inisiasi (IF-1, IF-2, dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot, terdapat

pula metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal

(dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet).


Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA, metionil-tRNA fMet, dan subunit

kecil ribosom (30S) dengan bantuan protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul

GTP. Pembentukan kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa

antara suatu urutan di dekat ujung 3’ rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan

pengarah (leader sequence) pada mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi bergabung

dengan subunit besar ribosom (50S), dan metionil-tRNA fMet terikat pada tapak P. 

Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA dengan antikodon pada metionil-

tRNAfMet di tapak P menentukan urutan triplet kodon dan aminoasil-tRNA fMet berikutnya

yang akan masuk ke tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNA fMet berikutnya, misalnya

alanil- tRNAala, ke tapak A memerlukan protein-protein elongasi EF-Ts dan EF-Tu.

Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-tRNA fMet di tapak P

dan gugus amino pada alanil-tRNA ala di tapak A dikatalisis oleh enzim peptidil

transferase, suatu enzim yang terikat pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini

menghasilkan dipeptida yang terdiri atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNA ala

di tapak A.

Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1) perpindahan f-met-ala-

tRNAala dari tapak A ke tapak P dan (2) pergeseran posisi mRNA pada ribosom

sepanjang tiga basa sehingga triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke

tapak P.  Dalam contoh ini triplet kodon yang bergeser dari tapak A ke P tersebut

adalah triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon berikutnya, misalnya penyandi serin,

akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga translokasi akan terulang

kembali.  Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi berupa enzim yang biasa

dilambangkan dengan EF-G.


Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus berlangsung hingga suatu

tripet kodon yang menyandi terminasi memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai

polipeptida selesai disintesis terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin

menjadi metionin. Terminasi ditandai oleh terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan

rantai polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua subunit ribosom pun memisah. Pada

terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan sebagai faktor pelepas atau

releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2.

Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah ribosom. Pada

umumnya sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak oleh beberapa ribosom

yang satu sama lain berjarak sekitar 90 basa di sepanjang molekul mRNA. Kompleks

translasi yang terdiri atas sebuah mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan

poliribosom atau polisom. Besarnya polisom sangat bervariasi dan berkorelasi

dengan ukuran polipeptida yang akan disintesis. Sebagai contoh, rantai hemoglobin

yang tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh polisom yang terdiri atas lima

buah ribosom (pentaribosom).

Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi berakhir. Hal ini

dimungkinkan terjadi karena tidak adanya dinding nukleus yang memisahkan antara

transkripsi dan translasi. Dengan berlangsungnya kedua proses tersebut secara

bersamaan, ekspresi gen menjadi sangat cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-

turn off) ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan nanti, juga menjadi sangat efisien.

Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di dalam nukleus,

sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (ribosom). Pertanyaan yang muncul adalah


bagaimana mRNA hasil transkripsi dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor

apa yang menentukan saat dan tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan. Kita baru

mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot jauh lebih rumit daripada

proses yang ada pada prokariot. Salah satu di antaranya seperti telah kita bicarakan di

atas, yaitu bahwa mRNA hasil transkripsi (transkrip primer) pada eukariot memerlukan

prosesing terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi.

Kode Genetik

Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi genetik atau kode

genetik yang akan menyandi pembentukan suatu asam amino tertentu berawal dari

pemikiran bahwa macam basa nitrogen jauh lebih sedikit daripada macam asam amino.

Basa nitrogen pada mRNA hanya ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20

macam. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin tiap asam amino disandi oleh satu basa.

Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan menghasilkan 4 2 atau 16 macam duplet,

masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada. Kombinasi tiga basa akan

menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi jumlah macam asam amino. Dalam hal ini,

satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon.

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil penelitian F.H.C.

Crick dan kawan-kawannya yang mempelajari mutasi pada lokus rIIB bakteriofag T4.

Mutasi tersebut diinduksi oleh proflavin, suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela

pasangan basa nitrogen sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-

waktu, menghasilkan DNA yang kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa. Hal
ini akan menyebabkan perubahan rangka baca (reading frame), yaitu urutan

pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi urutan asam amino

tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan rangka baca akibat kelebihan atau

kekurangan pasangan basa disebut sebagai mutasi rangka baca (frameshift

mutation) (lihat Bab VIII).

Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh proflavin ditumbuhkan pada

medium yang mengandung proflavin, akan diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga

mutasi seolah-olah dapat dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation).

Pada awalnya mutasi balik diduga karena kelebihan pasangan basa dibuang dari

rangka baca yang salah sehingga rangka baca tersebut telah diperbaiki menjadi seperti

semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka mekanisme semacam itu kecil

sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan tersebut nampaknya tidak benar.

Crick dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa mutasi balik disebabkan oleh

hilangnya (delesi) satu pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari

pasangan basa yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan

urutan asam amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum terjadi mutasi.

Dengan perkataan lain, mutasi balik terjadi karena efek mutasi awal akibat

penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua akibat pengurangan basa sehingga

mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai mutasi penekan (suppressor mutation).

Tabel 6.1. Kode genetik

Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya dapat terjadi

perubahan urutan asam amino. Perubahan ini dapat berpengaruh atau tidak
berpengaruh terhadap fungsi proteinnya. Jika dua strain mutan T 4 yang satu sama lain

mengalami mutasi berbeda di dalam bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi

campuran pada suatu inang, maka T 4 tipe liar akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi

genetik antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu. Akan tetapi, ketika kedua strain

mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang diseleksi secara acak (tidak

harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak selalu diperoleh tipe liar. Hasil

ini menunjukkan bahwa strain-strain mutan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

strain + dan strain -. Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan strain –

tidak harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda + untuk mutan

adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula sebaliknya, sekali kita gunakan

tanda + untuk mutan delesi berarti strain + adalah mutan delesi.

Persilangan antara strain + dan strain – hanya menghasilkan rekombinasi berupa

fenotipe tipe liar, sedangkan persilangan antara sesama + atau sesama – tidak pernah

menghasilkan tipe liar. Hal ini karena persilangan sesama + atau sesama – akan

menyebabkan adisi atau delesi ganda sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan.

Sementara itu, persilangan antara starin + dan – akan menyebabkan terjadinya mutasi

penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh adisi) atau hanya

menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak berpengaruh terhadap fungsi

protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar.

Gambar 6.2. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca

 Oleh karena persilangan sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar,

kode genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua basa. Seandainya, kode genetik
berupa duplet, maka akan terjadi pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut.

Kenyataannya tidak demikian. Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru

terjadi apabila persilangan dilakukan antara strain + dan strain -.

Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis sesama + atau sesama –

akan menghasilkan fenotipe mutan, sesuai dengan hasil kenyataannya. Namun,

rekombinasi antara tiga + atau tiga – akan menghasilkan tipe liar. Hal ini

memperlihatkan bahwa kode genetik terdiri atas tiga basa.

Gambar 6.3. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang memperlihatkan bahwa

kode genetik berupa triplet kodon

a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan teoretis tidak sesuai dengan

kenyataan yang diperoleh.

b)Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan teoretis sesuai dengan kenyataan

yang diperoleh.

Sifat-sifat kode genetik

Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1.      Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama hampir di

setiap spesies organisme.

2.      Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu macam

asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Sebagai contoh, treonin
dapat disandi oleh ACU, ACC, ACA, dan ACG.  Sifat ini erat kaitannya dengan sifat

wobble basa ketiga, yang artinya bahwa basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa

selalu disertai perubahan macam asam amino yang disandinya. Diketahuinya sifat

wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa pertama pada

antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan basa A, U, atau

pun C.  Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA dapat mengenali lebih dari

satu macam kodon pada mRNA.

3.      Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan basa

mRNA, atau berarti juga DNA, mempunyai tiga rangka baca yang berbeda (open

reading frame). Di samping itu, di dalam suatu segmen tertentu pada DNA dapat

terjadi transkripsi dan translasi urutan basa dengan panjang yang berbeda. Dengan

perkataan lain, suatu segmen DNA dapat terdiri atas lebih dari sebuah gen yang

saling tumpang tindih (overlapping).  Sebagai contoh, bakteriofag фX174

mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih kurang hanya 5000

basa. Seandainya dari urutan basa ini hanya digunakan sebuah rangka baca, maka

akan terdapat sekitar 1700 asam amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika

sebuah molekul protein rata-rata tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar

1700 asam amino tersebut hanya akan terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein.

Padahal kenyataannya, bakteriofag фX174 mempunyai 11 protein yang secara

keseluruhan terdiri atas 2300 asam amino. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari

urutan basa DNA yang ada tidak hanya digunakan sebuah rangka baca, dan urutan

basa yang diekspresikan (gen) dapat tumpang tindih satu sama lain
TRANSKRIPSI

Pokok bahasan di dalam bab ini meliputi prinsip dasar transkripsi, yang mencakup ciri-

ciri dan tahapan transkripsi, transkripsi pada prokariot, dan transkripsi pada eukariot,

dengan penekanan pada karakteristik enzim RNA polimerasenya. Setelah mempelajari

pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. prinsip dasar transkripsi,

2. ranskripsi pada prokariot, khususnya pada bakteri Escherichia coli, dan

3. transkripsi pada eukariot.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur asam nukleat dan replikasi DNA, yang

masing-masing telah dijelaskan pada Bab II dan Bab IV.  Selain itu, konsep dasar

tentang gen dan transkripsi yang telah diperoleh pada mata kuliah Genetika juga sangat

mendukung pemahaman materi bahasan di dalam bab ini.

Prinsip Dasar Transkripsi

Pada Bab IV telah disebutkan bahwa fungsi dasar kedua yang harus dijalankan oleh

DNA sebagai materi genetik adalah fungsi fenotipik. Artinya, DNA harus mampu

mengatur pertumbuhan dan diferensiasi individu organisme sehingga dihasilkan suatu

fenotipe tertentu.  Fungsi ini dilaksanakan melalui ekspresi gen, yang tahap pertamanya

adalah proses transkripsi, yaitu perubahan urutan basa molekul DNA menjadi urutan
basa molekul RNA. Dengan perkataan lain, transkripsi merupakan proses sintesis RNA

menggunakan salah satu untai molekul DNA sebagai cetakan (templat)nya.

Transkripsi mempunyai ciri-ciri kimiawi yang serupa dengan sintesis/replikasi DNA,

yaitu

1. Adanya sumber basa nitrogen berupa nukleosida trifosfat. Bedanya dengan

sumber basa untuk sintesis DNA hanyalah pada molekul gula pentosanya

yang tidak berupa deoksiribosa tetapi ribosa dan tidak adanya basa timin

tetapi digantikan oleh urasil. Jadi, keempat nukleosida trifosfat yang

diperlukan adalah adenosin trifosfat (ATP), guanosin trifosfat (GTP), sitidin

trifosfat (CTP), dan uridin trifosfat (UTP).

2. Adanya untai molekul DNA sebagai cetakan. Dalam hal ini hanya salah satu

di antara kedua untai DNA yang akan berfungsi sebagai cetakan bagi sintesis

molekul RNA. Untai DNA ini mempunyai urutan basa yang komplementer

dengan urutan basa RNA hasil transkripsinya, dan disebut sebagai pita

antisens. Sementara itu, untai DNA pasangannya, yang mempunyai urutan

basa sama dengan urutan basa RNA, disebut sebagai pita sens. Meskipun

demikian, sebenarnya transkripsi pada umumnya tidak terjadi pada urutan

basa di sepanjang salah satu untai DNA. Jadi, bisa saja urutan basa yang

ditranskripsi terdapat berselang-seling di antara kedua untai DNA. 

3. Sintesis berlangsung dengan arah 5’→ 3’ seperti halnya arah sintesis DNA.

4. Gugus 3’- OH pada suatu nukleotida bereaksi dengan gugus 5’- trifosfat pada

nukleotida berikutnya menghasilkan ikatan fosofodiester dengan


membebaskan dua atom pirofosfat anorganik (PPi). Reaksi ini jelas sama

dengan reaksi polimerisasi DNA. Hanya saja enzim yang bekerja bukannya

DNA polimerase, melainkan RNA polimerase. Perbedaan yang sangat nyata

di antara kedua enzim ini terletak pada kemampuan enzim RNA polimerase

untuk melakukan inisiasi sintesis RNA tanpa adanya molekul primer.  

Secara garis besar transkripsi berlangsung dalam empat tahap, yaitu pengenalan

promoter, inisiasi, elongasi, dan teminasi. Masing-masing tahap akan dijelaskan secara

singkat sebagai berikut.

Pengenalan promoter

Agar molekul DNA dapat digunakan sebagai cetakan dalam sintesis RNA, kedua

untainya harus dipisahkan satu sama lain di tempat-tempat terjadinya penambahan

basa pada RNA. Selanjutnya, begitu penambahan basa selesai dilakukan, kedua untai

DNA segera menyatu kembali. Pemisahan kedua untai DNA pertama kali terjadi di

suatu tempat tertentu, yang merupakan tempat pengikatan enzim RNA polimerase di

sisi 5’ (upstream) dari urutan basa penyandi (gen) yang akan ditranskripsi. Tempat ini

dinamakan promoter.

Inisiasi

Setelah mengalami pengikatan oleh promoter, RNA polimerase akan terikat pada suatu

tempat di dekat promoter, yang dinamakan tempat awal polimerisasi atau tapak

inisiasi (initiation site). Tempat ini sering dinyatakan sebagai posisi +1 untuk gen
yang akan ditranskripsi. Nukleosida trifosfat pertama akan diletakkan di tapak inisiasi

dan sintesis RNA pun segera dimulai.

Elongasi

Pengikatan enzim RNA polimerase beserta kofaktor-kofaktornya pada untai DNA

cetakan membentuk kompleks transkripsi. Selama sintesis RNA berlangsung

kompleks transkripsi akan bergeser di sepanjang molekul DNA cetakan sehingga

nukleotida demi nukleotida akan ditambahkan kepada untai RNA yang sedang

diperpanjang pada ujung 3’ nya. Jadi, elongasi atau polimerisasi RNA berlangsung dari

arah 5’ ke 3’, sementara RNA polimerasenya sendiri bergerak dari arah 3’ ke 5’ di

sepanjang untai DNA cetakan.

Terminasi

Berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi kompleks transkripsi atau

terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-kofaktornya dari untai DNA

cetakan. Begitu pula halnya dengan molekul RNA hasil sintesis. Hal ini terjadi ketika

RNA polimerase mencapai urutan basa tertentu yang disebut dengan terminator.

Terminasi transkripsi dapat terjadi oleh dua macam sebab, yaitu terminasi yang hanya

bergantung kepada urutan basa cetakan (disebut terminasi diri) dan terminasi yang

memerlukan kehadiran suatu protein khusus (protein rho). Di antara keduanya terminasi

diri lebih umum dijumpai. Terminasi diri terjadi pada urutan basa palindrom yang diikuti

oleh beberapa adenin (A). Urutan palindrom adalah urutan yang sama jika dibaca dari

dua arah yang berlawanan. Oleh karena urutan palindom ini biasanya diselingi oleh
beberapa basa tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan akan mempunyai ujung

terminasi berbentuk batang dan kala (loop) seperti pada Gambar 5.1.

Inisiasi transkripsi tidak harus menunggu selesainya transkripsi sebelumnya. Hal ini

karena begitu RNA polimerase telah melakukan pemanjangan 50 hingga 60 nukleotida,

promoter dapat mengikat RNA polimerase yang lain. Pada gen-gen yang ditranskripsi

dengan cepat reinisiasi transkripsi dapat terjadi berulang-ulang sehingga gen tersebut

akan terselubungi oleh sejumlah molekul RNA dengan tingkat penyelesaian yang

berbeda-beda.

Transkripsi pada Prokariot

Telah dikatakan di atas bahwa transkripsi merupakan proses sintesis RNA yang

dikatalisis oleh enzim RNA polimerase. Berikut ini akan diuraikan sekilas enzim RNA

polimerase pada prokariot, khususnya pada bakteri E.coli, promoter s70, serta proses

transkripsi pada organisme tersebut.

Gambar 5.1 Terminasi sintesis RNA menghasilkan ujung berbentuk batang dan

kala

RNA polimerase E. coli

Enzim RNA polimerase pada E. coli sekurang-kurangnya terdiri atas lima subunit, yaitu

alfa (a), beta (b), beta prima (b’), omega (w), dan sigma (s). Pada bentuk lengkapnya,

atau disebut sebagai holoenzim, terdapat dua subunit a dan satu subunit untuk
masing-masing subunit lainnya sehingga sering dituliskan dengan a 2bb’ws.  Holoenzim

RNA polimerase diperlukan untuk inisiasi transkripsi. Namun, untuk elongasi transkripsi

tidak diperlukan faktor s sehingga subunit ini dilepaskan dari kompleks transkripsi

begitu inisiasi selesai. Sisanya, yakni a 2bb’w, merupakan enzim inti (core enzyme)

yang akan melanjutkan proses transkripsi.

Laju sintesis RNA oleh RNA polimerase E. coli dapat mencapai sekitar 40 nukleotida

per detik pada suhu 37°C. Untuk aktivitasnya enzim ini memerlukan kofaktor Mg 2+.

Setiap berikatan dengan molekul DNA enzim RNA polimerase E. coli dapat mencakup

daerah sepanjang lebih kurang 60pb.

Meskipun kebanyakan RNA polimerase seperti halnya yang terdapat pada E. coli

mempunyai struktur multisubunit, hal itu bukanlah persyaratan yang mutlak. RNA

polimerase pada bakteriofag T3 dan T7, misalnya, merupakan rantai polipeptida tunggal

yang ukurannya jauh lebih kecil daripada RNA polimerase bakteri. Enzim tersebut dapat

menyintesis RNA dengan cepat, yaitu sebanyak 200 nukleotida per detik pada suhu

37°C.

Subunit a

Dua subunit a yang identik terdapat pada RNA polimerase inti. Kedua-duanya disandi

oleh gen rpoA. Ketika bakteriofag T4 menginfeksi E.coli, subunit a akan dimodifikasi

melalui ribosilasi ADP suatu arginin. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya afinitas

pengikatan promoter sehingga subunit a diduga kuat memegang peranan dalam

pengenalan promoter.
Subunit b

Seperti halnya subunit a, subunit b juga terdapat pada RNA polimerase inti. Subunit ini

diduga sebagai pusat katalitik RNA polimerase, yang dibuktikan melalui hasil penelitian

mengenai penghambatan transkripsi menggunakan antibiotik. Antibiotik rifampisin

merupakan inhibitor potensial bagi RNA polimerase yang menghalangi inisiasi tetapi

tidak mempengaruhi elongasi. Kelompok antibiotik ini tidak menghambat polimerase

eukariot sehingga sering digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram positif dan

tuberkulosis. Rifampisin telah dibuktikan berikatan dengan subunit b, dan mutasi-mutasi

yang menyebabkan resistensi terhadap rifampisin telah dipetakan pada gen rpoB, yaitu

gen yang menyandi subunit b.  Selanjutnya, kelompok antibiotik yang lain, yakni

streptolidigin, ternyata menghambat elongasi transkripsi, dan mutasi-mutasi yang

menyebabkan resistesi terhadap antibiotik ini juga dipetakan pada gen rpoB.  Kedua

hasil penelitian tersebut mendukung pendapat bahwa subunit b diduga mempunyai dua

domain yang bertanggung jawab terhadap inisiasi dan elongasi transkripsi.

Subunit b’

Subunit b’ juga terdapat pada RNA polimerase inti. Subunit yang disandi oleh gen rpoC

ini mengikat dua ion Zn2+ yang diduga berpartisipasi dalam fungsi katalitik polimerase.

Suatu polianion, yakni heparin, terbukti mengikat subunit b’. Heparin menghambat

transkripsi secara in vitro dan juga berkompetisi dengan DNA dalam pengikatan RNA

polimerase. Hal ini mendukung pendapat bahwa subunit b’ diduga bertanggung jawab

terhadap pengikatan DNA cetakan.


Faktor s

Faktor s yang paling umum dijumpai pada E. coli adalah s70 (disebut demikian karena

mempunyai berat molekul 70 kDa). Pengikatan faktor s pada RNA polimerase inti akan

mengubah enzim tersebut menjadi holoenzim. Faktor s memegang peranan yang

penting dalam pengenalan promoter tetapi tidak diperlukan untuk elongasi transkripsi.

Kontribusi faktor s dalam pengenalan promoter adalah melalui penurunan afinitas enzim

inti terhadap tempat-tempat nonspesifik pada molekul DNA hingga 10 4, disertai dengan

peningkatan afinitas terhadap promoter.

Banyak organisme prokariot, termasuk E. coli, mempunyai beberapa faktor s.

Semuanya terlibat dalam pengenalan kelompok-kelompok promoter tertentu. Faktor s

dilepaskan dari RNA polimerase inti ketika sintesis RNA mencapai panjang 8 hingga 9

nukleotida. Enzim inti tersebut kemudian akan bergerak di sepanjang molekul DNA

sambil menyintesis untai RNA. Sementara itu, faktor s dapat segera bergabung dengan

RNA polimerase inti lainnya dan melakukan inisiasi transkripsi kembali. Jumlah faktor s

di dalam sel lebih kurang hanya 30% dari jumlah RNA polimerase inti sehingga hanya

sepertiga di antara kompleks RNA polimerase yang akan dijumpai dalam bentuk

holoenzim pada suatu waktu tertentu.

Promoter s70 pada E. coli

Seperti telah dikatakan di atas, promoter merupakan tempat tertentu pada molekul DNA

yang mempunyai urutan basa spesifik untuk pengikatan RNA polimerase dan inisiasi

transkripsi. Promoter yang berbeda akan dikenali oleh faktor s RNA polimerase yang
berbeda pula. Meskipun demikian, faktor s yang paling umum dijumpai pada E. coli

adalah s70.

Promoter pertama kali dikarakterisasi melalui percobaan mutasi yang meningkatkan

atau menurunkan laju transkripsi gen-gen seperti halnya gen-gen struktural pada

operon lac. Mutagenesis promoter-promoter pada E. coli menunjukkan bahwa urutan

basa yang menentukan fungsi promoter tersebut hanyalah suatu urutan yang sangat

pendek.

Promoter s70 terdiri atas urutan basa sepanjang 40 hingga 60 pb. Daerah antara –55

dan +20 telah diketahui merupakan daerah pengikatan RNA polimerase, sedangkan

daerah antara –20 dan +20 diketahui sangat terlindung dari aktivitas nuklease oleh

DNase I.. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat berkaitan dengan

polimerase yang menghalangi akses nuklease menuju DNA. Mutagenesis promoter

memperlihatkan bahwa urutan hingga lebih kurang –40 mempunyai peranan yang

penting bagi fungsi promoter. Selain itu, dua urutan sepanjang 6 pb pada posisi sekitar

–10 dan –35 terbukti sangat penting bagi fungsi promoter pada E. coli.

Urutan –10

Urutan yang paling lestari (konservatif) pada promoter s 70, atau sering dikatakan

sebagai urutan konsensus, adalah urutan sepanjang 6 pb yang dijumpai pada

promoter-promoter berbagai macam gen pada E. coli. Urutan ini terpusat di sekitar

posisi –10 jika dilihat dari tapak inisiasi transkripsi (Gambar 5.2), dan dinamakan kotak

Pribnow karena ditemukan oleh Pribnow pada tahun 1975. Urutan konsensus pada
kotak Pribnow adalah TATAAT. Kedua basa pertama (TA) dan T yang terakhir

merupakan basa-basa yang paling konservatif. Urutan heksamer ini dipisahkan sejauh

5 hingga 8 pb dari tapak inisiasi, dan urutan penyela yang memisahkan urutan -10

dengan tapak inisiasi tersebut tidaklah konservatif. Urutan –10 nampaknya merupakan

urutan tempat terjadinya inisiasi pembukaan heliks oleh RNA polimerase.

Gambar 5.2. Urutan konsensus pada promoter-promoter E. coli

Urutan -35

Pada Gambar 5.2  terlihat bahwa selain urutan -10, terdapat pula urutan heksamer lain

yang konservatif, yaitu urutan di sekitar posisi -35, yang terdiri atas TTGACA. Urutan ini

akan lebih konservatif lagi pada promoter-promoter yang efisien. Tiga basa pertama

(TTG) merupakan posisi yang paling konservatif. Pada kebanyakan promoter urutan -35

dipisahkan sejauh 16 hingga 18 pb dari kotak Pribnow, dan urutan penyelanya

bukanlah urutan yang penting.

Tapak inisiasi transkripsi

Pada 90% di antara semua gen, tapak inisiasi transkripsi (posisi +1) berupa basa purin,

dan dalam hal ini G lebih umum dijumpai daripada A. Di samping itu, basa C dan basa

T sering kali mengapit tapak inisiasi sehingga terdapat urutan CGT atau CAT (Gambar

5.2).

Efisiensi promoter
Urutan-urutan konsensus tersebut di atas khas dijumpai pada promoter-promoter yang

kuat. Akan tetapi, di antara promoter yang berbeda sebenarnya terdapat variasi urutan

yang cukup nyata, yang dapat mengakibatkan perbedaan efisiensi transkripsi hingga

1.000 kali. Secara garis besar, fungsi daerah-daerah pada promoter dapat dijelaskan

sebagai berikut. Urutan -35 merupakan urutan pengenalan yang akan meningkatkan

pengenalan dan interaksi dengan faktor s RNA polimerase, urutan -10 penting untuk

inisiasi pembukaan heliks, dan urutan di sekitar tapak inisiasi mempengaruhi inisiasi

transkripsi.

Sementara itu, urutan 30 basa pertama yang akan ditranskripsi juga mempengaruhi

transkripsi. Urutan ini mengatur laju pelepasan promoter dari RNA polimerase, yang

memungkinkan reinisiasi transkripsi dapat dilakukan oleh kompleks polimerase lainnya.

Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh terhadap laju transkripsi dan kekuatan

promoter.

Pentingnya pemisahan untai DNA pada reaksi inisiasi diperlihatkan oleh pengaruh

superkoiling negatif DNA cetakan yang pada umumnya akan memacu laju transkripsi.

Hal ini diduga karena struktur superkoil tersebut hanya memerlukan sedikit energi untuk

membuka heliks.

Beberapa urutan promoter tidak cukup mirip dengan urutan konsensus yang akan

ditranskripsi dengan kuat pada kondisi normal. Sebagai contoh, promoter lac (Plac),

yang memerlukan faktor aktivasi tambahan berupa protein reseptor cAMP atau cAMP

protein receptor (CPR) untuk mengikat suatu tempat pada DNA yang letaknya

berdekatan dengan urutan promoter tersebut agar pengikatan RNA polimerase dan
inisiasi transkripsi dapat ditingkatkan. Sejumlah promoter lainnya, misalnya untuk gen-

gen yang berhubungan dengan kejut panas, mempunyai urutan konsensus tertentu

yang hanya dapat dikenali oleh RNA polimerase dengan faktor s selain s 70.

Tahapan transkripsi pada prokariot

Seperti proses transkripsi pada umumnya, transkripsi pada prokariot berlangsung

dalam empat tahap, yaitu pengikatan promoter, inisiasi, elongasi, dan teminasi. Di

bawah ini akan dijelaskan pula sekilas tentang pembukaan heliks, yang terjadi antara

tahap pengikatan promoter dan insiasi transkripsi.

Pengikatan promoter

Pada awalnya, RNA polimerase inti (a2bb’w) mempunyai afinitas nonspesifik terhadap

DNA. Keadaan ini dikenal sebagai pengikatan longgar, dan sifatnya cukup stabil.

Namun, begitu faktor s bergabung dengan enzim inti tersebut hingga terbentuk

holoenzim, terjadilah pengurangan afinitas nonspesifik terhadap DNA hingga 20.000

kali. Sejalan dengan hal itu, faktor s juga meningkatkan pengikatan holoenzim pada

tempat pengikatan promoter yang tepat hingga 100 kali. Dengan demikian, akan terjadi

peningkatan spesifisitas holoenzim yang tajam dalam mengenali promoter.

Pada genom E. coli holoenzim dapat mencari dan mengikat promoter dengan sangat

cepat. Bahkan, karena begitu cepatnya, maka proses ini tidak mungkin terjadi melalui

pengikatan dan pelepasan holoenzim dari DNA secara berulang-ulang. Kemungkinan

yang masuk akal hanyalah melalui pergeseran holoenzim di sepanjang molekul DNA

hingga mencapai urutan promoter. Pada promoter, holoenzim mengenali urutan -35 dan
-10. Kompleks awal antara holoenzim dan promoter dikenal sebagai kompleks

tertutup (closed complex).

Pembukaan heliks

Agar pita antisens dapat diakses untuk perpasangan basa antara DNA dan RNA yang

disintesis, untai ganda (heliks) DNA harus dibuka terlebih dahulu oleh enzim RNA

polimerase. Pada kebanyakan gen pembukaan heliks oleh RNA polimerase akan

dimudahkan oleh struktur superkoiling negatif DNA sehingga transkripsi dapat

ditingkatkan. Namun, tidak semua promoter dapat diaktivasi oleh superkoiling negatif

sehingga terisyaratkan bahwa perbedaan topologi DNA dapat mempengaruhi

transkripsi. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan hubungan sterik pada urutan -35

dan -10 di dalam heliks. Sebagai contoh, promoter untuk subunit enzim DNA girase

justru dihambat oleh superkoiling negatif. Seperti kita ketahui, DNA girase adalah enzim

yang bertanggung jawab untuk superkoiling negatif pada genom E. coli (Bab IV)

sehingga superkoiling negatif ini dapat bertindak sebagai umpan balik yang

menghambat ekspresi DNA girase.

Pembukaan awal heliks DNA akan menyebabkan pembentukan kompleks terbuka

(open complex) dengan RNA polimerase. Proses ini dikenal sebagai pengikatan

ketat.

Inisiasi

Berbeda dengan sintesis DNA (Bab IV), sintesis RNA dapat berlangsung tanpa adanya

molekul primer. Oleh karena hampir semua tapak inisiasi transkripsi berupa basa G
atau A, maka nukleosida trifosfat pertama yang digunakan untuk sintesis RNA adalah

GTP atau ATP.

Mula-mula RNA polimerase akan menggabungkan dua nukleotida pertama dan

membentuk ikatan fosfodiester di antara kedua nukleotida tersebut. Selanjutnya,

sembilan basa pertama ditambahkan tanpa disertai pergeseran RNA polimerase di

sepanjang molekul DNA. Pada akhir penambahan masing-masing basa ini akan

terdapat peluang yang nyata terjadinya aborsi untai RNA yang baru terbentuk itu.

Proses inisiasi abortif mempengaruhi laju transkripsi secara keseluruhan karena proses

tersebut memegang peranan utama dalam menentukan waktu yang dibutuhkan oleh

RNA polimerase untuk meninggalkan promoter dan memungkinkan RNA polimerase

lainnya menginisiasi putaran transkripsi berikutnya. Waktu minimum untuk

pengosongan promoter ini adalah 1 hingga 2 detik, suatu waktu yang relatif lama bila

dibandingkan dengan waktu untuk tahap-tahap transkripsi lainnya.

Elongasi

Jika inisiasi berhasil, RNA polimerase melepaskan faktor s, dan bersama-sama dengan

DNA dan RNA nasen (RNA yang baru disintesis), akan membentuk kompleks terner

atau kompleks yang terdiri atas tiga komponen. Dengan adanya kompleks terner ini

RNA polimerase dapat berjalan di sepanjang molekul DNA. Artinya, promoter akan

ditinggalkannya untuk kemudian ditempati oleh holoenzim RNA polimerase berikutnya

sehingga terjadi reinisiasi transkripsi.


Bagian DNA yang mengalami pembukaan heliks, atau disebut dengan gelembung

transkripsi (transcription bubble), akan terlihat bergeser di sepanjang molekul DNA

sejalan dengan gerakan RNA polimerase. Panjang bagian DNA yang mengalami

pembukaan heliks tersebut relatif konstan, yakni sekitar 17 pb (Gambar 5.3),

sedangkan ujung 5’ molekul RNA yang disintesis akan membentuk heliks hibrid dengan

pita antisens DNA sepanjang lebih kurang 12 pb. Ukuran ini ternyata tidak mencapai

satu putaran heliks.

RNA polimerase E. coli bergerak dengan kecepatan rata-rata 40 nukleotida per detik.

Akan tetapi, angka ini dapat bervariasi sesuai dengan urutan lokal DNA (urutan DNA

yang telah dicapai oleh RNA polimerase). Tetap dipertahankannya bagian DNA yang

mengalami pembukaan heliks menunjukkan bahwa RNA polimerase membuka heliks

DNA di depan gelembung transkripsi dan menutup heliks DNA di belakangnya. Dengan

demikian, heliks hibrid RNA-DNA harus berputar setiap kali terjadi penambahan

nukleotida pada RNA nasen.

Terminasi

RNA polimerase tetap terikat pada DNA dan melangsungkan transkripsi hingga

mencapai urutan terminator (sinyal stop), yang pada umumnya berupa struktur

seperti tusuk konde (hairpin). Struktur yang terdiri atas batang dan kala (loop) ini

terjadi karena RNA hasil transkripsi mengalami komplementasi diri. Biasanya, bagian

batang sangat kaya dengan GC sehingga sangat stabil (GC mempunyai ikatan rangkap

tiga). Di sebelah downstream (3’) dari struktur tusuk kode sering kali terdapat urutan

yang terdiri atas empat U atau lebh seperti pada Gambar 5.1.
Nampaknya RNA polimerase akan segera berhenti begitu struktur tusuk konde RNA

disintesis. Bagian ujung RNA yang mengandung banyak U tersebut mempunyai ikatan

yang lemah dengan basa-basa A pada DNA cetakan sehingga molekul RNA hasil

sintesis akan dengan mudah terlepas dari kompleks transkripsi. Selanjutnya, pita DNA

cetakan yang sudah tidak berikatan atau membentuk hibrid dengan RNA segera

menempel kembali pada pita DNA komplemennya. RNA polimerase inti pun akhirnya

terlepas dari DNA.

Terminasi menggunakan protein rho

Telah disinggung di muka bahwa selain karena adanya struktur tusuk konde, terminasi

transkripsi dapat juga terjadi dengan bantuan suatu protein khusus yang dinamakan

protein rho (ρ). Rho merupakan protein heksamer yang akan menghidrolisis ATP

dengan adanya RNA untai tunggal. Protein ini nampak terikat pada urutan sepanjang

72 basa pada RNA, yang diduga lebih disebabkan oleh pengenalan suatu struktur

spesifik daripada karena adanya urutan konsensus. Rho bergerak di sepanjang RNA

nasen menuju kompleks transkripsi. Pada kompleks transkripsi ini rho memungkinkan

RNA polimerase untuk berhenti pada sinyal terminator tertentu. Sinyal-sinyal terminator

ini, seperti halnya sinyal terminator yang tidak bergantung kepada rho, lebih dikenali

oleh RNA daripada oleh DNA cetakannya. Adakalanya terminator tersebut juga berupa

struktur tusuk konde tetapi tidak dikuti oleh urutan poli U.

Gambar 5.3. Struktur skematik gelembung transkripsi selama elongasi


Transkripsi pada Eukariot

Mekanisme transkripsi pada eukariot pada dasarnya menyerupai mekanisme pada

prokariot. Namun, begitu banyaknya polipeptida yang berkaitan dengan mesin

transkripsi pada eukariot menjadikan mekanisme tersebut jauh lebih kompleks daripada

mekanisme pada prokariot.

Ada tiga macam kompleks RNA polimerase, yang masing-masing diperlukan untuk

transkripsi tipe-tipe gen eukariot yang berbeda. Perbedaan ketiga macam RNA

polimerase tersebut dapat diketahui melalui pemurnian menggunakan teknik

kromatografi dan elusi pada konsentrasi garam yang berbeda. Masing-masing RNA

polimerase mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap toksin jamur α-amanitin,

dan hal ini dapat digunakan untuk membedakan aktivitasnya satu sama lain.

 RNA polimerase I (RNA Pol I) mentranskripsi sebagian besar gen rRNA.

Enzim ini terdapat di dalam nukleoli dan tidak sensitif terhadap α-amanitin.

 RNA polimerase II (RNA Pol II) mentranskripsi semua gen penyandi protein

dan beberapa gen RNA nuklear kecil (snRNA). Enzim ini terdapat di dalam

nukleoplasma dan sangat sensitif terhadap α-amanitin.

 RNA polimerase III (RNA Pol III) mentranskripsi gen-gen tRNA, 5S rRNA, U6

snRNA dan beberapa RNA kecil lainnya. Enzim ini terdapat di dalam

nukleoplasma dan agak sensitif terhadap α-amanitin.

Di samping enzim-enzim nuklear tersebut, sel eukariot juga mempunyai RNA

polimerase lainnya di dalam mitokondria dan kloroplas.


Subunit-subunit RNA polimerase pada eukariot

Ketiga RNA polimerase pada eukariot merupakan enzim berukuran besar yang terdiri

atas 12 subunit atau lebih. Gen-gen yang menyandi dua subunit terbesar mempunyai

homologi satu sama lain. Sementara itu, ketiga RNA polimerase eukariot membawa

subunit-subunit yang mempunyai homologi dengan subunit-subunit RNA polimerase inti

pada E. coli (α2ββ’). Subunit terbesar RNA polimerase eukariot menyerupai subunit β’,

sedangkan subunit terbesar kedua menyerupai subunit β, yang merupakan pusat

katalitik RNA polimerase E.coli. Homologi struktur ini ternyata berkaitan dengan

homologi fungsional karena subunit terbesar kedua pada RNA polimerase eukariot juga

mengandung tapak aktif.

Dua subunit yang sama antara RNA Pol I dan RNA Pol III, serta satu subunit lainnya

yang khas pada RNA Pol II, memperlihatkan homologi dengan subunit α RNA

polimerase E. coli. Sekurang-kurangnya ada lima subunit lainnya yang lebih kecil, yang

memperlihatkan kesamaan di antara ketiga RNA polimerase eukariot. Masing-masing

RNA polimerase ini juga membawa empat hingga tujuh subunit tambahan yang hanya

dijumpai pada salah satu di antara ketiganya.

Aktivitas RNA polimerase eukariot

Seperti halnya RNA polimerase bakteri, masing-masing RNA polimerase eukariot

mengatalisis transkripsi dengan arah 5’ ke 3’ dan menyintesis RNA yang komplementer

dengan urutan DNA cetakan. Reaksi tersebut memerlukan prekursor berupa ATP, GTP,

CTP, UTP, dan tidak memerlukan primer untuk inisiasi transkripsi. Namun tidak seperti
pada bakteri, RNA polimerase eukariot yang dimurnikan memerlukan adanya protein

inisiasi tambahan sebelum enzim ini dapat berikatan dengan promoter dan melakukan

inisiasi transkripsi.

Gen-gen yang ditranskripsi oleh RNA Pol I

RNA Pol I bertanggung jawab dalam sintesis rRNA secara terus-menerus selama

interfase. Sel manusia mengandung lima rumpun (cluster) gen penyandi rRNA yang

terdiri atas sekitar 40 salinan dan terletak pada kromosom-kromosom yang berbeda.

Masing-masing gen rRNA menghasilkan transkrip 45S rRNA yang panjangnya lebih

kurang 13.000 nukleotida (nt). Transkrip ini akan terbagi menjadi sebuah 28S (5.000

nt), 18S (2.000 nt), dan 5,8S (160 nt) rRNA. Transkripsi salinan gen-gen rRNA secara

berkesinambungan diperlukan untuk mencukupi produksi rRNA yang selanjutnya akan

dikemas ke dalam ribosom.

Masing-masing rumpun gen rRNA dikenal sebagai daerah pengatur nukleolar

(nucleolar organizer region) karena nukleolus mengandung kala (loop) DNA

berukuran besar yang sesuai dengan rumpun-rumpun gen tersebut. Setelah sebuah sel

dihasilkan dari mitosis, sintesis rRNA akan dimulai kembali dan nukleoli yang kecil akan

muncul pada lokasi kromosomal yang ditempati oleh gen-gen rRNA. Selama sintesis

rRNA berlangsung aktif, transkrip pra-rRNA dikemas di sepanjang gen-gen rRNA dan

jika divisualisasikan menggunakan mikroskop elektron akan nampak sebagai ’struktur

pohon natal’. Di dalam struktur ini transkrip-transkrip RNA dikemas dengan rapat di

sepanjang molekul DNA dan masing-masing muncul tegak lurus dari DNA. Transkrip

yang pendek dapat dilihat pada bagian awal gen tersebut. Transkrip akan makin
bertambah panjang pada bagian-bagian berikutnya untuk kemudian menghilang ketika

mencapai ujung unit transkripsi.

Promoter-promoter gen pra-rRNA pada mamalia mempunyai suatu daerah kontrol

transkripsi bipartit, yang terdiri atas elemen inti atau core element dan elemen

kontrol hulu atau upstream control element (UCE), yang secara skema dapat dilihat

pada Gambar 5.5. Elemen inti meliputi tapak awal transkripsi dan terbentang dari posisi

-31 hingga +6, yang merupakan urutan esensial untuk transkripsi. Sementara itu, UCE

mempunyai panjang sekitar 50 hingga 80 pb yang dimulai dari posisi -100. UCE

bertanggung jawab untuk peningkatan transkripsi sekitar 10 hingga 100 kali bila

dibandingkan dengan laju transkripsi oleh elemen inti saja.

                        

           Gambar 5.5. Struktur promoter gen pra-rRNA pada mamalia

UCE akan berikatan dengan suatu protein spesifik pengikat DNA, yang disebut dengan

faktor pengikatan hulu atau upstream binding factor (UBF). Selain dengan UCE,

UBF juga berikatan dengan suatu urutan di sebelah hulu elemen inti. Kedua urutan

yang berikatan dengan UBF tersebut tidak mempunyai kesamaan yang nyata. Sebuah

molekul UBF diduga mengikat UCE, sedangkan sebuah molekul UBF lainnya mengikat

urutan yang kedua. Selanjutnya, kedua molekul UBF akan saling berikatan melalui

interaksi protein-protein sehingga terbentuk struktur kala (loop) pada segmen DNA di

antara kedua tempat pengikatan tersebut (Gambar 5.6).

 
                      Gambar 5.6. Model skematik inisiasi transkripsi rRNA

Selain UBF, terdapat faktor lain yang esensial untuk transkripsi RNA Pol I. Faktor ini

adalah faktor selektivitas atau selectivity factor (SL1), yang akan berikatan dengan

kompleks UBF-DNA dan kemudian menstabilkannya. SL1 berinteraksi dengan bagian

hilir elemen inti yang bebas. Pengikatan kompleks UBF-DNA oleh SL1 memungkinkan

RNA Pol I untuk memasuki kompleks tersebut dan melakukan inisiasi transkripsi.

Saat ini SL1 telah diketahui mengandung beberapa subunit, antara lain berupa suatu

protein yang dinamakan protein pengikat TATA atau TATA-binding protein (TBP).

TBP diperlukan untuk inisiasi ketiga RNA polimerase eukariot, dan nampaknya

merupakan faktor penting dalam transkripsi eukariot. Ketiga subunit SL1 lainnya dikenal

sebagai faktor-faktor yang berasosiasi dengan TBP atau TBP-associated factors

(TAFs), dan di antara subunit tersebut yang diperlukan untuk transkripsi RNA Pol I

dinamakan TAF1s.

Pada Acanthamoeba, suatu eukariot sederhana, terdapat elemen kontrol tunggal di

daerah promoter gen rRNA yang terletak sekitar 12 hingga 72 pb ke arah hulu dari titik

awal transkripsi. Tempat ini akan diikat oleh faktor TIF-1, yang homolog dengan SL1.

Dengan pengikatan ini RNA Pol I akan dapat melakukan inisiasi transkripsi. Pada waktu

RNA Pol I bergerak di sepanjang molekul DNA, faktor TIF-1 tetap terikat pada tempat

semula sehingga memungkinkan terjadinya inisiasi transkripsi oleh RNA Pol I yang lain,

dan beberapa putaran transkripsi dapat berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini

dapat dilihat sebagai sistem kontrol transkripsi yang sangat sederhana. Di sisi lain,
untuk vertebrata nampaknya terdapat suatu UBF tambahan yang bertanggung jawab

atas pengikatan promoter oleh SL1 secara spesifik.

Gen-gen yang ditranskripsi oleh RNA Pol III

RNA Pol III terdapat di dalam nukleoplasma dan sekurang-kurangnya terdiri atas 16

subunit yang berbeda. Enzim ini menyintesis prekursor tRNA, 5S rRNA, serta berbagai

snRNA dan RNA sitosolik.

Transkrip pertama yang dihasilkan dari gen-gen tRNA merupakan molekul prekursor

yang akan diproses menjadi RNA matang. Daerah kontrol transkripsi gen-gen tRNA

terletak di sebelah hilir tapak inisiasi transkripsi. Ada dua urutan yang sangat

konservatif di dalam gen tRNA, yaitu kotak A (5’- TGGCNNAGTGG – 3’) dan kotak B

(5’- GGTTCGANNCC – 3’). Kedua urutan ini juga menyandi urutan penting di dalam

tRNA sendiri, yang disebut dengan kala D (D-loop) dan kala TΨC.  Hal ini berarti

bahwa urutan yang sangat konservatif di dalam tRNA juga merupakan urutan promoter

yang sangat konservatif.

Dua faktor pengikatan DNA yang kompleks telah diketahui memegang peranan penting

dalam inisiasi transkripsi tRNA oleh RNA Pol III (Gambar 5.7). TFIIIC mengikat baik

kotak A maupun kotak B di dalam promoter tRNA. Sementara itu, TFIIIB mengikat

daerah sejauh 50 pb ke arah hulu dari kotak A. TFIIIB terdiri atas tiga subunit, yang

salah satu di antaranya adalah TBP, suatu faktor inisiasi umum yang diperlukan oleh

ketiga RNA polimerase. Subunit yang kedua dan ketiga masing-masing dinamakan
BRF dan B’’. Faktor TFIIIB tidak memiliki spesifisitas urutan sehingga tempat

pengikatannya bergantung kepada posisi pengikatan TFIIIC pada DNA. TFIIIB

memungkinkan RNA Pol III untuk melakukan inisiasi transkripsi. Begitu TFIIIB terikat,

TFIIIC dapat dikeluarkan tanpa mempengaruhi transkripsi. Oleh karena itu, TFIIIC dapat

dilihat sebagai faktor perakitan untuk penempatan faktor inisiasi TFIIIB.

            Gambar 5.7. Inisiasi transkripsi pada promoter tRNA eukariot

RNA Pol III mentranskripsi gen 5S rRNA, yang merupakan satu-satunya subunit rRNA

yang ditranskripsi secara terpisah. Seperti halnya gen-gen rRNA lainnya yang

ditranskripsi oleh RNA Pol I, gen-gen 5S rRNA tersusun secara tandem (berurutan) di

dalam suatu rumpun gen. Pada manusia terdapat suatu rumpun yang berisi sekitar

2.000 gen. Promoter gen 5S rRNA mengandung daerah kontrol internal yang

dinamakan kotak C. Letaknya sekitar 81 hingga 99 pb ke arah hilir dari tapak inisiasi

transkripsi. Selain itu, terdapat juga kotak A yang berada pada posisi sekitar +50 hingga

+65. 

Kotak C pada promoter 5S rRNA berperan sebagai tempat pengikatan protein spesifik,

yaitu TFIIIA (Gambar 5.8). TFIIIA bekerja sebagai faktor perakitan yang memungkinkan

TFIIIC berinteraksi dengan promoter 5S rRNA. Sementara itu, kotak A akan

menstabilkan pengikatan TFIIIC sehingga faktor ini berikatan dengan DNA pada posisi

yang relatif sama dengan posisi pengikatan pada promoter tRNA. Begitu TFIIIC terikat
pada DNA, TFIIIB dapat berinteraksi dengan kompleks pengikatan tersebut dan

memungkinkan RNA Pol III untuk melakukan inisiasi transkripsi.

 Gambar 5.8. Inisiasi transkripsi pada promoter 5S rRNA eukariot

Banyak gen yang ditranskripsi oleh RNA Pol III bergantung kepada urutan hulu untuk

regulasi transkripsinya. Beberapa promoter seperti U6 snRNA dan gen-gen RNA kecil

dari virus Epstein-Barr hanya menggunakan urutan regulator yang letaknya di sebelah

hulu dari tapak inisiasi transkripsinya. Daerah penyandi U6 snRNA mempunyai sebuah

kotak A yang khas. Akan tetapi, urutan ini tidak diperlukan untuk transkripsi. Daerah

hulu pada U6 snRNA mengandung urutan khas promoter RNA Pol II, yang meliputi

kotak TATA pada posisi -30 hingga -23. Promoter ini juga memiliki beberapa urutan di

daerah hulu sebagai tempat pengikatan faktor transkripsi lainnya seperti pada

kebanyakan gen U RNA yang ditranskripsi oleh RNA Pol II. Hal ini mendukung

pendapat bahwa faktor-faktor transkripsi umum dapat mengatur gen-gen yang

ditranskripsi baik oleh RNA Pol II maupun oleh RNA Pol III.

Terminasi transkripsi oleh RNA Pol III nampaknya hanya memerlukan pengenalan

polimerase berupa urutan nukleotida sederhana. Urutan ini terdiri atas sekelompok

residu dA yang efisiensi terminasinya dipengaruhi oleh urutan di sekitarnya. Urutan 5’-

GCAAAAGC – 3’ merupakan sinyal terminasi yang efisien untuk gen 5S rRNA pada

Xenopus borealis.

 
Gen-gen yang ditranskripsi oleh RNA Pol II

RNA Pol II terdapat di dalam nukleoplasma dan bertanggung jawab untuk transkripsi

semua gen penyandi protein dan beberapa gen snRNA. Pra-mRNA (transkrip primer)

yang baru disintesis harus mengalami prosesing melalui pembentukan pelindung (cap)

pada ujung 5’ RNA dan penambahan poli A pada ujung 3’ di samping pembuangan

intron dan penyatuan (splicing) ekson.

Banyak promoter eukariot mengandung suatu urutan konservatif yang dinamakan

kotak TATA. Letaknya sekitar 25 hingga 35 pb dari tapak inisiasi transkripsi, berisi

urutan konsensus sepanjang 7 pb, yaitu 5’- TATA(A/T)A(A/T) – 3’.  Meskipun demikian,

saat ini diketahui bahwa protein yang mengikat kotak TATA, yakni TBP, ternyata

berikatan dengan urutan sepanjang 8 pb. Tambahan sepasang basa ini letaknya di

sebelah hilir dari kotak TATA dan identitasnya tidaklah penting. Kotak TATA bekerja

dengan cara yang sama dengan urutan -10 pada promoter E. coli dalam menempatkan

RNA Pol II agar diperoleh inisiasi transkripsi yang benar. Meskipun urutan di antara

kotak TATA dan tapak inisiasi transkripsi bukan merupakan urutan yang penting, jarak

antara kedua tempat tersebut ternyata penting. Hampir 50% tapak inisiasi transkripsi

berupa residu A.

Beberapa gen eukariot tidak mempunyai kotak TATA tetapi memiliki suatu elemen

insiator, yang terletak di sekitar tapak inisiasi transkripsi. Namun, beberapa promoter

tidak memiliki baik kotak TATA maupun elemen inisiator. Gen-gen semacam ini

biasanya ditranskripsi dengan lambat, dan inisiasi transkripsi dapat terjadi di tempat-

tempat yang berbeda sepanjang 200 pb. Gen-gen ini sering kali mengandung daerah
yang kaya GC sepanjang 20 hingga 50 pb pada posisi 100 hingga 200 pb arah hulu dari

tapak inisiasi transkripsi.

Aktivitas promoter basal yang rendah akan sangat ditingkatkan oleh adanya elemen-

elemen lain di sebelah hulu promoter. Elemen-elemen ini dijumpai pada kebanyakan

gen dengan tingkat ekspresi yang sangat bervariasi di antara jaringan yang berbeda.

Dua contoh yang umum adalah kotak SP1, yang terletak di sebelah hulu dari banyak

gen baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai kotak TATA, dan kotak

CCAAT. Promoter dapat memiliki salah satu, keduanya, atau bahkan banyak salinan

urutan/kotak tersebut. Urutan yang pada umumnya terletak 100 hingga 200 pb arah

hulu dari promoter ini dinamakan elemen regulator hulu atau upstream regulatory

elements (UREs). UREs memegang peranan penting dalam menjamin berlangsungnya

transkripsi yang efisien.

Transkripsi kebanyakan promoter eukariot dapat dipacu oleh elemen kontrol yang

letaknya beribu-ribu pasang basa dari tapak inisiasi transkripsi. Hal ini pertama kali

ditemukan pada genom virus SV40. Suatu urutan sepanjang kira-kira 100 pb pada DNA

virus ini dapat dengan nyata meningkatkan transkripsi dari promoter basal. Urutan

pemacu (enhancer) ini mempunyai panjang 100 hingga 200 pb dan mengandung

banyak elemen yang menghasilkan aktivitas totalnya. Pemacu dapat dijumpai pada

sembarang sel atau hanya pada tipe sel tertentu.

Dengan makin banyaknya pemacu dan promoter yang ditemukan, terlihat bahwa motif

kedua elemen tersebut ternyata tumpang tindih, baik secara fisik maupun fungsional.

Dengan demikian, terdapat spektrum elemen regulator yang sinambung, mulai dari
elemen-elemen pemacu yang sangat panjang rentangnya hingga elemen-elemen

promoter yang pendek rentangnya.

Serangkaian faktor transkripsi basal yang kompleks telah diketahui berikatan dengan

promoter RNA Pol II dan bersama-sama melakukan inisiasi transkripsi. Urutan

pembentukan kompleks inisiasi transkripsi RNA Pol II dapat dilihat pada Gambar 5.9.

Gambar 5.9. Diagram pembentukan kompleks inisiasi transkripsi RNA Pol II

Pada promoter yang mengandung kotak TATA, TFIID merupakan faktor pertama yang

akan mengikat promoter tersebut. Faktor ini terdiri atas banyak molekul protein, tetapi

hanya salah satu di antaranya, yakni protein pengikat TATA atau TATA-binding

protein (TBP), yang akan berikatan dengan kotak TATA. Seperti pada RNA Pol I, pada

TFIID juga terdapat faktor-faktor yang berasosiasi dengan TBP atau TBP-

associated factors (TAFIIS). Pada sel-sel mamalia TBP nampaknya akan berikatan

dengan kotak TATA dan kemudian bergabung dengan sekurang-kurangnya delapan

TAFIIS untuk membentuk TFIID.

TBP dijumpai pada ketiga kompleks transkripsi eukariot (dalam SL1, TFIIIB, dan TFIID),

dan dapat dipastikan memegang peranan penting dalam inisiasi transkripsi. TBP

merupakan protein monomerik. Semua TBP eukariot mempunyai domain yang terdiri

atas 180 residu asam amino pada ujung C yang sangat konservatif, dan dapat

berfungsi sebagai molekul protein seutuhnya pada transkripsi in vivo. Oleh karena itu,

fungsi domain pada ujung N yang kurang konservatif belum sepenuhnya diketahui. TBP
mempunyai struktur fisik seperti pelana, yang akan mengikat lekukan kecil molekul DNA

pada kotak TATA dan menghasilkan sudut 45° di antara kedua pasang basa pertama

dan kedua pasang basa terakhir dari 8pb elemen TATA. Mutasi TBP pada domain

pengikatannya dengan kotak TATA tetap mempertahankan fungsinya sebagai faktor

transkripsi untuk RNA Pol I dan RNA Pol III, tetapi menghalangi inisiasi transkripsi oleh

RNA Pol II. Hal ini menunjukkan bahwa RNA Pol I dan RNA Pol III menggunakan TBP

untuk inisiasi transkripsi, tetapi peranan TBP itu sendiri yang sesungguhnya pada

kompleks transkripsi tersebut masih belum jelas.

Faktor transkripsi berikutnya, TFIIA, akan mengikat TFIID dan meningkatkan stabilitas

pengikatan TFIID pada kotak TATA. TFIIA sekurang-kurangnya tersusun dari tiga

subunit. Pada studi transkripsi in vitro, yang dilakukan dengan memurnikan TFIID, TFIIA

ternyata menjadi tidak dibutuhkan lagi. Namun, pada sel-sel yang utuh TFIIA

nampaknya akan menghilangkan pengaruh faktor-faktor penghambat yang berasosiasi

dengan TFIID. Jadi, pengikatan TFIIA pada TFIID rupanya akan mencegah masuknya

faktor-faktor penghambat tersebut sehingga proses transkripsi dapat berlanjut.

Begitu TFIID terikat dengan stabil pada DNA, faktor transkripsi lainnya, yakni TFIIB,

akan berikatan dengan TFIID. Faktor ini akan berperan sebagai perantara yang

memungkinkan masuknya RNA Pol II ke dalam kompleks inisiasi transkripsi bersama

dengan masuknya faktor berikutnya, TFIIF.

Setelah RNA Pol II terikat pada kompleks inisiasi transkripsi, tiga faktor lainnya, masing-

masing TFIIE, TFIIH, dan TFIIJ, segera berasosiasi dengan kompleks tersebut. Ketiga

faktor ini diperlukan untuk transkripsi in vitro dan penggabungannya dengan kompleks
tersebut terjadi melalui urutan tertentu. Di antara ketiga faktor tersebut, TFIIH

merupakan molekul protein terbesar yang sekurang-kurangnya terdiri atas lima subunit.

TFIIH mempunyai aktivitas kinase dan helikase. Aktivasi oleh TFIIH akan

menyebabkan fosforilasi domain ujung C atau carboxyl-terminal domain (CTD) pada

RNA Pol II sehingga terbentuk kompleks RNA Pol II yang siap untuk diproses dan

meninggalkan daerah promoter. Dengan demikian, TFIIH nampaknya mempunyai

fungsi yang sangat penting dalam kontrol elongasi transkripsi. Komponen-komponen

TFIIH juga penting dalam mekanisme perbaikan DNA dan dalam fosforilasi kompleks

kinase yang mengatur daur sel.

Pada kebanyakan promoter RNA Pol II yang tidak memiliki kotak TATA terdapat suatu

elemen inisiator yang letaknya tumpang tindih dengan tapak inisiasi transkripsi.

Rupanya pada promoter semacam ini TBP dimasukkan ke promoter oleh suatu protein

pengikat DNA yang terikat pada elemen inisiator. TBP kemudian memasukkan faktor-

faktor transkripsi lainnya beserta RNA Pol II dengan cara seperti pada promoter yang

mempunyai kotak TATA.

Struktur faktor transkripsi pada eukariot

Faktor-faktor transkripsi pada eukariot mempunyai dua aktivitas yang berbeda, yaitu

pengikatan spesifik pada DNA dan aktivasi transkripsi. Masing-masing aktivitas ini

dilaksanakan oleh domain-domain protein yang terpisah, yaitu domain pengikatan

DNA dan domain aktivasi. Selain itu, banyak faktor transkripsi berupa homodimer atau

heterodimer, yang bersama-sama disatukan melalui domain dimerisasi. Beberapa

faktor transkripsi mempunyai domain pengikatan ligan yang memungkinkan aktivitas


faktor regulasi transkripsi melalui pengikatan suatu molekul tambahan yang berukuran

kecil. Reseptor hormon steroid merupakan salah satu contoh protein yang mempunyai

keempat macam domain tersebut.

Dari percobaan-percobaan yang dikenal sebagai percobaan pertukaran domain atau

domain swap experiments, diketahui bahwa domain pengikatan DNA dan domain

aktivasi faktor transkripsi Gal4 dan Gcn4 pada khamir terletak pada bagian protein yang

berbeda. Domain aktivasi akan bergabung dengan represor LexA pada bakteri,

menghasilkan protein hibrid yang mengaktivasi transkripsi dari promoter dengan urutan

operator lexA. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi aktivasi transkripsi pada protein

khamir terpisah dari aktivitas pengikatan DNAnya.

Ada tiga macam domain pengikatan DNA, yaitu domain helix turn helix, domain zinc

finger, dan domain basic. Domain helix turn helix mempunyai sebuah heliks

pengenalan yang akan berinteraksi dengan DNA (Gambar 5.10.a). Domain zinc finger

mempunyai dua buah kala. Pada domain zinc finger C2H2 masing-masing kala berupa

enam asam amino yang berujung pada dua residu sistein dan dua residu histidin.

Keempat residu asam amino ini berkoordinat pada suatu ion zinkum (Gambar 5.10.b).

Domain basic biasanya berasosiasi dengan salah satu dari dua domain dimerisasi,

yaitu leucine zipper atau helix-loop-helix (HLH), sehingga masing-masing dikenal

sebagai protein basic leucine zipper (bZIP) dan basic HLH. Dimerisasi protein-protein

ini akan membawa kedua domain basic, yang kemudian dapat berinteraksi dengan

DNA.
Domain dimerisasi, seperti telah disinggung di atas, dapat berupa protein leucine zipper

atau HLH. Leucine zipper mengandung sebuah residu leusin hidrofobik pada setiap

posisi ketujuh yang akan berikatan dengan ujung C domain basic. Leusin-leusin pada

domain leucine zipper tersusun dalam struktur α-heliks (Gambar 5.11). Domain HLH

mempunyai struktur yang menyerupai domain leucine zipper, kecuali dalam hal adanya

suatu kala rantai polipeptida yang memisahkan kedua α-heliks protein monomeriknya.

Seperti halnya leucine zipper, motif HLH sering kali dijumpai berdekatan dengan

domain basic yang memerlukan dimerisasi dalam pengikatan DNA.

Domain aktivasi transkripsi dapat berupa domain aktivasi asam, domain kaya

glutamin, atau domain kaya prolin. Domain aktivasi asam mengandung banyak sekali

residu asam amino yang bersifat asam sehingga sering disebut juga dengan ’gumpalan

asam’ atau ’gumpalan negatif’. Masih belum diketahui dengan pasti gambaran struktur

lainya yang diperlukan oleh domain ini agar dapat berfungsi sebagai domain aktivasi

transkripsi yang efisien. Domain kaya glutamin pertama kali ditemukan pada faktor

transkripsi SP1. Pada domain ini banyak sekali ditemukan residu glutamin. Begitu juga,

pada domain kaya prolin banyak sekali ditemukan residu prolin.

Regulasi transkripsi dapat terjadi melalui interaksi tidak langsung dengan fungsi suatu

faktor transkripsi, antara lain dengan blokade tempat pengikatan faktor transkripsi pada

DNA (seperti pada kebanyakan represor prokariot), pembentukan kompleks pengikatan

non-DNA (misalnya protein inhibitor Id yang tidak mempunyai domain pengikatan DNA

akan menggangu interaksi protein HLH dengan DNA), dan blokade domain aktivasi

faktor transkripsi meskipun pengikatannya pada DNA tetap berlangsung (misalnya


Gal80 akan menutupi domain aktivasi faktor transkrispi Gal4 pada khamir). Di samping

itu, penghambatan transkripsi dapat juga terjadi secara langsung karena adanya

domain tertentu pada represor. Sebagai contoh, suatu domain reseptor hormon tiroid

pada mamalia akan menekan transkripsi apabila tidak ada hormon tiroid dan akan

mengaktifkannya apabila terikat pada hormon tersebut. Begitu pula, produk gen tumor

Wilms berupa protein WT1 yang akan menekan tumor, mempunyai domain represor

spesifik yang banyak mengandung prolin

TRANSLASI

Pokok bahasan di dalam bab ini mencakup prosesing RNA hasil transkripsi, struktur

ribosom sebagai tempat berlangsungnya translasi, kode genetik, dan sintesis protein.

Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu

menjelaskan:

1.  macam-macam prosesing RNA,

2.  struktur ribosom,

3.  sifat-sifat dan cara membaca kode genetik, serta

4.  mekanisme sintesis protein.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur asam nukleat, replikasi DNA, dan

transkripsi, yang masing-masing telah dijelaskan pada Bab II, Bab IV, dan Bab V. 

Prosesing RNA
Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses yang lebih rumit

karena melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh karena kebanyakan di antara

makromolekul ini terdapat dalam jumlah besar di dalam sel, maka sistem translasi

menjadi bagian utama mesin metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus

berperan dalam proses translasi tersebut meliputi

1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap ribosom

2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang akan

mengaktifkan asam amino

3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda

4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan terminasi

polipeptida.

Ribosom

Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di dalam ribosom, suatu

struktur organel yang banyak terdapat di dalam sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua

subunit, besar dan kecil, yang akan menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah

ketika translasi telah selesai. Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju

pengendapannya selama sentrifugasi sebagai satuan yang disebut satuan Svedberg

(S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai ukuran 70S, sedangkan pada

eukariot biasanya sekitar 80S. 

Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang masing-masing

dinamakan tapak aminoasil (tapak A) dan tapak peptidil (tapak P). Molekul
aminoasil-tRNA yang baru memasuki ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan

molekul tRNA yang membawa rantai polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di

tapak P.

Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini berlangsung dengan arah

tertentu sebagai berikut.

1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5’→ 3’, tetapi tidak dari ujung 5’ hingga

ujung 3’.

2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan menambahkan

asam-asam amino satu demi satu ke ujung karboksil. Sebagai contoh, sintesis

protein yang mempunyai urutan NH2-Met-Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai

dengan metionin dan diakhiri dengan serin.

Proses Translasi

Mekanisme translasi atau sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat pada

Gambar 6.1. Sebuah molekul mRNA akan terikat pada permukaan ribosom yang kedua

subunitnya telah bergabung. Pengikatan ini terjadi karena pada mRNA prokariot

terdapat urutan basa tertentu yang disebut sebagai tempat pengikatan ribosom

(ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno. Sementara itu, pada eukariot

pengikatan ribosom dilakukan oleh ujung 5’ mRNA. Selanjutnya, berbagai aminoasil-

tRNA akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini dengan urutan

sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya. Urutan ini ditentukan oleh

urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida terbentuk di antara asam-asam amino
yang terangkai menjadi rantai polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-

asam amino terjadi karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan

dengan gugus karboksil pada asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida yang

sedang diperpanjang. Penjelasan tentang mekanisme sintesis protein yang lebih rinci

disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan diberikan di bawah ini

Gambar 6.1. Skema garis besar sintesis protein

Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus, yaitu tRNA yang

membawa metionin (dilambangkan sebagai metionil-tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa

sintesis semua polipeptida selalu dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot

akan terjadi formilasi gugus amino pada metionil-tRNA iMet (dilambangkan sebagai

metionil-tRNAfMet) yang mencegah terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin

tersebut dengan gugus karboksil asam amino pada ujung polipetida yang sedang

diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida prokariot selalu berupa f-

metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak mengalami formilasi gugus amin, tetapi

molekul ini akan bereaksi dengan protein-protein tertentu yang berfungsi sebagai faktor

inisiasi (IF-1, IF-2, dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot, terdapat

pula metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal

(dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet).

Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA, metionil-tRNA fMet, dan subunit

kecil ribosom (30S) dengan bantuan protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul

GTP. Pembentukan kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa

antara suatu urutan di dekat ujung 3’ rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan
pengarah (leader sequence) pada mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi bergabung

dengan subunit besar ribosom (50S), dan metionil-tRNA fMet terikat pada tapak P. 

Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA dengan antikodon pada metionil-

tRNAfMet di tapak P menentukan urutan triplet kodon dan aminoasil-tRNA fMet berikutnya

yang akan masuk ke tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNA fMet berikutnya, misalnya

alanil- tRNAala, ke tapak A memerlukan protein-protein elongasi EF-Ts dan EF-Tu.

Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-tRNA fMet di tapak P

dan gugus amino pada alanil-tRNA ala di tapak A dikatalisis oleh enzim peptidil

transferase, suatu enzim yang terikat pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini

menghasilkan dipeptida yang terdiri atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNA ala

di tapak A.

Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1) perpindahan f-met-ala-

tRNAala dari tapak A ke tapak P dan (2) pergeseran posisi mRNA pada ribosom

sepanjang tiga basa sehingga triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke

tapak P.  Dalam contoh ini triplet kodon yang bergeser dari tapak A ke P tersebut

adalah triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon berikutnya, misalnya penyandi serin,

akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga translokasi akan terulang

kembali.  Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi berupa enzim yang biasa

dilambangkan dengan EF-G.

Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus berlangsung hingga suatu

tripet kodon yang menyandi terminasi memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai

polipeptida selesai disintesis terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin


menjadi metionin. Terminasi ditandai oleh terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan

rantai polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua subunit ribosom pun memisah. Pada

terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan sebagai faktor pelepas atau

releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2.

Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah ribosom. Pada

umumnya sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak oleh beberapa ribosom

yang satu sama lain berjarak sekitar 90 basa di sepanjang molekul mRNA. Kompleks

translasi yang terdiri atas sebuah mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan

poliribosom atau polisom. Besarnya polisom sangat bervariasi dan berkorelasi

dengan ukuran polipeptida yang akan disintesis. Sebagai contoh, rantai hemoglobin

yang tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh polisom yang terdiri atas lima

buah ribosom (pentaribosom).

Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi berakhir. Hal ini

dimungkinkan terjadi karena tidak adanya dinding nukleus yang memisahkan antara

transkripsi dan translasi. Dengan berlangsungnya kedua proses tersebut secara

bersamaan, ekspresi gen menjadi sangat cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-

turn off) ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan nanti, juga menjadi sangat efisien.

Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di dalam nukleus,

sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (ribosom). Pertanyaan yang muncul adalah

bagaimana mRNA hasil transkripsi dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor

apa yang menentukan saat dan tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan. Kita baru


mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot jauh lebih rumit daripada

proses yang ada pada prokariot. Salah satu di antaranya seperti telah kita bicarakan di

atas, yaitu bahwa mRNA hasil transkripsi (transkrip primer) pada eukariot memerlukan

prosesing terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi.

Kode Genetik

Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi genetik atau kode

genetik yang akan menyandi pembentukan suatu asam amino tertentu berawal dari

pemikiran bahwa macam basa nitrogen jauh lebih sedikit daripada macam asam amino.

Basa nitrogen pada mRNA hanya ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20

macam. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin tiap asam amino disandi oleh satu basa.

Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan menghasilkan 4 2 atau 16 macam duplet,

masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada. Kombinasi tiga basa akan

menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi jumlah macam asam amino. Dalam hal ini,

satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon.

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil penelitian F.H.C.

Crick dan kawan-kawannya yang mempelajari mutasi pada lokus rIIB bakteriofag T4.

Mutasi tersebut diinduksi oleh proflavin, suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela

pasangan basa nitrogen sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-

waktu, menghasilkan DNA yang kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa. Hal

ini akan menyebabkan perubahan rangka baca (reading frame), yaitu urutan

pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi urutan asam amino

tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan rangka baca akibat kelebihan atau
kekurangan pasangan basa disebut sebagai mutasi rangka baca (frameshift

mutation) (lihat Bab VIII).

Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh proflavin ditumbuhkan pada

medium yang mengandung proflavin, akan diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga

mutasi seolah-olah dapat dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation).

Pada awalnya mutasi balik diduga karena kelebihan pasangan basa dibuang dari

rangka baca yang salah sehingga rangka baca tersebut telah diperbaiki menjadi seperti

semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka mekanisme semacam itu kecil

sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan tersebut nampaknya tidak benar.

Crick dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa mutasi balik disebabkan oleh

hilangnya (delesi) satu pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari

pasangan basa yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan

urutan asam amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum terjadi mutasi.

Dengan perkataan lain, mutasi balik terjadi karena efek mutasi awal akibat

penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua akibat pengurangan basa sehingga

mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai mutasi penekan (suppressor mutation).

Tabel 6.1. Kode genetik

Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya dapat terjadi

perubahan urutan asam amino. Perubahan ini dapat berpengaruh atau tidak

berpengaruh terhadap fungsi proteinnya. Jika dua strain mutan T 4 yang satu sama lain

mengalami mutasi berbeda di dalam bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi

campuran pada suatu inang, maka T 4 tipe liar akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi
genetik antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu. Akan tetapi, ketika kedua strain

mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang diseleksi secara acak (tidak

harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak selalu diperoleh tipe liar. Hasil

ini menunjukkan bahwa strain-strain mutan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

strain + dan strain -. Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan strain –

tidak harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda + untuk mutan

adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula sebaliknya, sekali kita gunakan

tanda + untuk mutan delesi berarti strain + adalah mutan delesi.

Persilangan antara strain + dan strain – hanya menghasilkan rekombinasi berupa

fenotipe tipe liar, sedangkan persilangan antara sesama + atau sesama – tidak pernah

menghasilkan tipe liar. Hal ini karena persilangan sesama + atau sesama – akan

menyebabkan adisi atau delesi ganda sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan.

Sementara itu, persilangan antara starin + dan – akan menyebabkan terjadinya mutasi

penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh adisi) atau hanya

menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak berpengaruh terhadap fungsi

protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar.

Gambar 6.2. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca

 Oleh karena persilangan sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar,

kode genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua basa. Seandainya, kode genetik

berupa duplet, maka akan terjadi pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut.

Kenyataannya tidak demikian. Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru

terjadi apabila persilangan dilakukan antara strain + dan strain -.


Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis sesama + atau sesama –

akan menghasilkan fenotipe mutan, sesuai dengan hasil kenyataannya. Namun,

rekombinasi antara tiga + atau tiga – akan menghasilkan tipe liar. Hal ini

memperlihatkan bahwa kode genetik terdiri atas tiga basa.

Gambar 6.3. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang memperlihatkan bahwa

kode genetik berupa triplet kodon

a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan teoretis tidak sesuai dengan

kenyataan yang diperoleh.

b)Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan teoretis sesuai dengan kenyataan

yang diperoleh.

Sifat-sifat kode genetik

Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1.      Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama hampir di

setiap spesies organisme.

2.      Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu macam

asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Sebagai contoh, treonin

dapat disandi oleh ACU, ACC, ACA, dan ACG.  Sifat ini erat kaitannya dengan sifat

wobble basa ketiga, yang artinya bahwa basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa

selalu disertai perubahan macam asam amino yang disandinya. Diketahuinya sifat

wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa pertama pada
antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan basa A, U, atau

pun C.  Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA dapat mengenali lebih dari

satu macam kodon pada mRNA.

3.      Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan basa

mRNA, atau berarti juga DNA, mempunyai tiga rangka baca yang berbeda (open

reading frame). Di samping itu, di dalam suatu segmen tertentu pada DNA dapat

terjadi transkripsi dan translasi urutan basa dengan panjang yang berbeda. Dengan

perkataan lain, suatu segmen DNA dapat terdiri atas lebih dari sebuah gen yang

saling tumpang tindih (overlapping).  Sebagai contoh, bakteriofag фX174

mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih kurang hanya 5000

basa. Seandainya dari urutan basa ini hanya digunakan sebuah rangka baca, maka

akan terdapat sekitar 1700 asam amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika

sebuah molekul protein rata-rata tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar

1700 asam amino tersebut hanya akan terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein.

Padahal kenyataannya, bakteriofag фX174 mempunyai 11 protein yang secara

keseluruhan terdiri atas 2300 asam amino. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari

urutan basa DNA yang ada tidak hanya digunakan sebuah rangka baca, dan urutan

basa yang diekspresikan (gen) dapat tumpang tindih satu sama lain

PENGATURAN EKSPRESI GEN

Pokok bahasan di dalam bab ini mencakup prosesing RNA hasil transkripsi, struktur

ribosom sebagai tempat berlangsungnya translasi, kode genetik, dan sintesis protein.
Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu

menjelaskan:

1.  macam-macam prosesing RNA,

2.  struktur ribosom,

3.  sifat-sifat dan cara membaca kode genetik, serta

4.  mekanisme sintesis protein.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur asam nukleat, replikasi DNA, dan

transkripsi, yang masing-masing telah dijelaskan pada Bab II, Bab IV, dan Bab V. 

Prosesing RNA

Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses yang lebih rumit

karena melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh karena kebanyakan di antara

makromolekul ini terdapat dalam jumlah besar di dalam sel, maka sistem translasi

menjadi bagian utama mesin metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus

berperan dalam proses translasi tersebut meliputi

1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap ribosom

2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang akan

mengaktifkan asam amino

3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda


4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan terminasi

polipeptida.

Ribosom

Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di dalam ribosom, suatu

struktur organel yang banyak terdapat di dalam sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua

subunit, besar dan kecil, yang akan menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah

ketika translasi telah selesai. Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju

pengendapannya selama sentrifugasi sebagai satuan yang disebut satuan Svedberg

(S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai ukuran 70S, sedangkan pada

eukariot biasanya sekitar 80S. 

Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang masing-masing

dinamakan tapak aminoasil (tapak A) dan tapak peptidil (tapak P). Molekul

aminoasil-tRNA yang baru memasuki ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan

molekul tRNA yang membawa rantai polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di

tapak P.

Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini berlangsung dengan arah

tertentu sebagai berikut.

1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5’→ 3’, tetapi tidak dari ujung 5’ hingga

ujung 3’.

2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan menambahkan

asam-asam amino satu demi satu ke ujung karboksil. Sebagai contoh, sintesis
protein yang mempunyai urutan NH2-Met-Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai

dengan metionin dan diakhiri dengan serin.

Proses Translasi

Mekanisme translasi atau sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat pada

Gambar 6.1. Sebuah molekul mRNA akan terikat pada permukaan ribosom yang kedua

subunitnya telah bergabung. Pengikatan ini terjadi karena pada mRNA prokariot

terdapat urutan basa tertentu yang disebut sebagai tempat pengikatan ribosom

(ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno. Sementara itu, pada eukariot

pengikatan ribosom dilakukan oleh ujung 5’ mRNA. Selanjutnya, berbagai aminoasil-

tRNA akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini dengan urutan

sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya. Urutan ini ditentukan oleh

urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida terbentuk di antara asam-asam amino

yang terangkai menjadi rantai polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-

asam amino terjadi karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan

dengan gugus karboksil pada asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida yang

sedang diperpanjang. Penjelasan tentang mekanisme sintesis protein yang lebih rinci

disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan diberikan di bawah ini

Gambar 6.1. Skema garis besar sintesis protein

Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus, yaitu tRNA yang

membawa metionin (dilambangkan sebagai metionil-tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa

sintesis semua polipeptida selalu dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot
akan terjadi formilasi gugus amino pada metionil-tRNA iMet (dilambangkan sebagai

metionil-tRNAfMet) yang mencegah terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin

tersebut dengan gugus karboksil asam amino pada ujung polipetida yang sedang

diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida prokariot selalu berupa f-

metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak mengalami formilasi gugus amin, tetapi

molekul ini akan bereaksi dengan protein-protein tertentu yang berfungsi sebagai faktor

inisiasi (IF-1, IF-2, dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot, terdapat

pula metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal

(dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet).

Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA, metionil-tRNA fMet, dan subunit

kecil ribosom (30S) dengan bantuan protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul

GTP. Pembentukan kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa

antara suatu urutan di dekat ujung 3’ rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan

pengarah (leader sequence) pada mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi bergabung

dengan subunit besar ribosom (50S), dan metionil-tRNA fMet terikat pada tapak P. 

Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA dengan antikodon pada metionil-

tRNAfMet di tapak P menentukan urutan triplet kodon dan aminoasil-tRNA fMet berikutnya

yang akan masuk ke tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNA fMet berikutnya, misalnya

alanil- tRNAala, ke tapak A memerlukan protein-protein elongasi EF-Ts dan EF-Tu.

Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-tRNA fMet di tapak P

dan gugus amino pada alanil-tRNA ala di tapak A dikatalisis oleh enzim peptidil

transferase, suatu enzim yang terikat pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini
menghasilkan dipeptida yang terdiri atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNA ala

di tapak A.

Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1) perpindahan f-met-ala-

tRNAala dari tapak A ke tapak P dan (2) pergeseran posisi mRNA pada ribosom

sepanjang tiga basa sehingga triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke

tapak P.  Dalam contoh ini triplet kodon yang bergeser dari tapak A ke P tersebut

adalah triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon berikutnya, misalnya penyandi serin,

akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga translokasi akan terulang

kembali.  Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi berupa enzim yang biasa

dilambangkan dengan EF-G.

Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus berlangsung hingga suatu

tripet kodon yang menyandi terminasi memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai

polipeptida selesai disintesis terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin

menjadi metionin. Terminasi ditandai oleh terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan

rantai polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua subunit ribosom pun memisah. Pada

terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan sebagai faktor pelepas atau

releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2.

Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah ribosom. Pada

umumnya sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak oleh beberapa ribosom

yang satu sama lain berjarak sekitar 90 basa di sepanjang molekul mRNA. Kompleks

translasi yang terdiri atas sebuah mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan

poliribosom atau polisom. Besarnya polisom sangat bervariasi dan berkorelasi


dengan ukuran polipeptida yang akan disintesis. Sebagai contoh, rantai hemoglobin

yang tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh polisom yang terdiri atas lima

buah ribosom (pentaribosom).

Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi berakhir. Hal ini

dimungkinkan terjadi karena tidak adanya dinding nukleus yang memisahkan antara

transkripsi dan translasi. Dengan berlangsungnya kedua proses tersebut secara

bersamaan, ekspresi gen menjadi sangat cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-

turn off) ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan nanti, juga menjadi sangat efisien.

Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di dalam nukleus,

sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (ribosom). Pertanyaan yang muncul adalah

bagaimana mRNA hasil transkripsi dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor

apa yang menentukan saat dan tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan. Kita baru

mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot jauh lebih rumit daripada

proses yang ada pada prokariot. Salah satu di antaranya seperti telah kita bicarakan di

atas, yaitu bahwa mRNA hasil transkripsi (transkrip primer) pada eukariot memerlukan

prosesing terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi.

Kode Genetik

Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi genetik atau kode

genetik yang akan menyandi pembentukan suatu asam amino tertentu berawal dari

pemikiran bahwa macam basa nitrogen jauh lebih sedikit daripada macam asam amino.
Basa nitrogen pada mRNA hanya ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20

macam. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin tiap asam amino disandi oleh satu basa.

Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan menghasilkan 4 2 atau 16 macam duplet,

masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada. Kombinasi tiga basa akan

menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi jumlah macam asam amino. Dalam hal ini,

satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon.

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil penelitian F.H.C.

Crick dan kawan-kawannya yang mempelajari mutasi pada lokus rIIB bakteriofag T4.

Mutasi tersebut diinduksi oleh proflavin, suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela

pasangan basa nitrogen sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-

waktu, menghasilkan DNA yang kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa. Hal

ini akan menyebabkan perubahan rangka baca (reading frame), yaitu urutan

pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi urutan asam amino

tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan rangka baca akibat kelebihan atau

kekurangan pasangan basa disebut sebagai mutasi rangka baca (frameshift

mutation) (lihat Bab VIII).

Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh proflavin ditumbuhkan pada

medium yang mengandung proflavin, akan diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga

mutasi seolah-olah dapat dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation).

Pada awalnya mutasi balik diduga karena kelebihan pasangan basa dibuang dari

rangka baca yang salah sehingga rangka baca tersebut telah diperbaiki menjadi seperti

semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka mekanisme semacam itu kecil
sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan tersebut nampaknya tidak benar.

Crick dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa mutasi balik disebabkan oleh

hilangnya (delesi) satu pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari

pasangan basa yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan

urutan asam amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum terjadi mutasi.

Dengan perkataan lain, mutasi balik terjadi karena efek mutasi awal akibat

penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua akibat pengurangan basa sehingga

mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai mutasi penekan (suppressor mutation).

Tabel 6.1. Kode genetik

Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya dapat terjadi

perubahan urutan asam amino. Perubahan ini dapat berpengaruh atau tidak

berpengaruh terhadap fungsi proteinnya. Jika dua strain mutan T 4 yang satu sama lain

mengalami mutasi berbeda di dalam bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi

campuran pada suatu inang, maka T 4 tipe liar akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi

genetik antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu. Akan tetapi, ketika kedua strain

mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang diseleksi secara acak (tidak

harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak selalu diperoleh tipe liar. Hasil

ini menunjukkan bahwa strain-strain mutan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

strain + dan strain -. Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan strain –

tidak harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda + untuk mutan

adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula sebaliknya, sekali kita gunakan

tanda + untuk mutan delesi berarti strain + adalah mutan delesi.


Persilangan antara strain + dan strain – hanya menghasilkan rekombinasi berupa

fenotipe tipe liar, sedangkan persilangan antara sesama + atau sesama – tidak pernah

menghasilkan tipe liar. Hal ini karena persilangan sesama + atau sesama – akan

menyebabkan adisi atau delesi ganda sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan.

Sementara itu, persilangan antara starin + dan – akan menyebabkan terjadinya mutasi

penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh adisi) atau hanya

menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak berpengaruh terhadap fungsi

protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar.

Gambar 6.2. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca

 Oleh karena persilangan sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar,

kode genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua basa. Seandainya, kode genetik

berupa duplet, maka akan terjadi pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut.

Kenyataannya tidak demikian. Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru

terjadi apabila persilangan dilakukan antara strain + dan strain -.

Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis sesama + atau sesama –

akan menghasilkan fenotipe mutan, sesuai dengan hasil kenyataannya. Namun,

rekombinasi antara tiga + atau tiga – akan menghasilkan tipe liar. Hal ini

memperlihatkan bahwa kode genetik terdiri atas tiga basa.

Gambar 6.3. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang memperlihatkan bahwa

kode genetik berupa triplet kodon


a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan teoretis tidak sesuai dengan

kenyataan yang diperoleh.

b)Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan teoretis sesuai dengan kenyataan

yang diperoleh.

Sifat-sifat kode genetik

Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1.      Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama hampir di

setiap spesies organisme.

2.      Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu macam

asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Sebagai contoh, treonin

dapat disandi oleh ACU, ACC, ACA, dan ACG.  Sifat ini erat kaitannya dengan sifat

wobble basa ketiga, yang artinya bahwa basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa

selalu disertai perubahan macam asam amino yang disandinya. Diketahuinya sifat

wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa pertama pada

antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan basa A, U, atau

pun C.  Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA dapat mengenali lebih dari

satu macam kodon pada mRNA.

3.      Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan basa

mRNA, atau berarti juga DNA, mempunyai tiga rangka baca yang berbeda (open

reading frame). Di samping itu, di dalam suatu segmen tertentu pada DNA dapat
terjadi transkripsi dan translasi urutan basa dengan panjang yang berbeda. Dengan

perkataan lain, suatu segmen DNA dapat terdiri atas lebih dari sebuah gen yang

saling tumpang tindih (overlapping).  Sebagai contoh, bakteriofag фX174

mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih kurang hanya 5000

basa. Seandainya dari urutan basa ini hanya digunakan sebuah rangka baca, maka

akan terdapat sekitar 1700 asam amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika

sebuah molekul protein rata-rata tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar

1700 asam amino tersebut hanya akan terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein.

Padahal kenyataannya, bakteriofag фX174 mempunyai 11 protein yang secara

keseluruhan terdiri atas 2300 asam amino. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari

urutan basa DNA yang ada tidak hanya digunakan sebuah rangka baca, dan urutan

basa yang diekspresikan (gen) dapat tumpang tindih satu sama lain

DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN

Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta

tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom

dan DNA vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi, pembentukan

molekul DNA rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul DNA rekombinan.

Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu

menjelaskan:

1. pengertian teknologi DNA rekombinan,

2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan,


3. tahapan-tahapan kloning gen,

4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan

5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat-sifat asam nukleat seperti yang

telah dibahas pada Bab II.

Pengertian Teknologi DNA Rekombinan

Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme

ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk

memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu

teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah

tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas

ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu produk.

Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang

lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di

dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai

kloning gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian

teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling representatif,

menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi

genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor
sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam

suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.

Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan

mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang

fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya

produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi

secara konvensional.

Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui

teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1).

Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon,

pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi

DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul

DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan,

reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.

Isolasi DNA

Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat

dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh

maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah

lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam

medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu

diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium
dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan

membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang.

Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang tersisa

dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk kemudian

disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah

dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu

ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah

diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan

alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl (lihat Bab II).

Gambar 9.1. Skema tahapan kloning gen

Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA

vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini

yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada

umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai

bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih

longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi.

Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi

apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi

denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.

Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna

DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA

plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap
oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan

menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi

daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui

sentrifugasi kerapatan.

Enzim Restriksi

Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik

maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat

ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan

dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi

dua strain E. coli, yakni strain K dan C.  Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi

dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan

diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang

diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating

(EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.  Namun, jika l yang diisolasi dari strain C

digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10 -4. Artinya, hanya

ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l

yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan

pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem

restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.

Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul

DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di

sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga
mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada

sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition

sites) bagi enzim restriksi tersebut.

DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada

siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap

enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada

setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan

dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap

enzim restriksi.

Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA.

Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul

DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.

Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini

dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I. 

Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.

Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke

dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi

enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu

ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri.

Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja

rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai

berikut:

1.      mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di

dalam molekul DNA

2.      memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat

tempat pengenalannya

3.      menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan

basa.

Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal

yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim

restriksi beserta tempat pengenalannya.

Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf

pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan

huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk

spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama

strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda

tetapi diisolasi dari spesies yang sama.

Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa

pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan

menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing


untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang

runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula

disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.

Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat

pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan

mempunyai ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama

panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit

untuk disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua

fragmen DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul

adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai

tunggal homopolimerik 3’.

Ligasi Molekul – molekul DNA

Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus

menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA

genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah

berbentuk linier.

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in

vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi

menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T 4

atau lazim disebut sebagai enzim T 4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat

digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik
pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah

disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk

menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai tunggal semacam ini akan

diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA

ligase.

Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini

ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan

menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan

tersebut.  Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC

dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).

Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya

plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah

dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas

akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan

beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari

100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat

dari ujung 5’ pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker,

molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk

menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.

Transformasi Sel Inang


Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA

genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut.

menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan

bahwa fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor

sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke

dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam

campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah

fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap

memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi

karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki

molekul DNA rekombinan.

Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan

A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada

beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti

Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu

itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh

pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan

menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian

transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga

dikembangkan pada transformasi E.coli. 

Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid

(CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l.
Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang

diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi

transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan

CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih

kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl 2

tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial.

Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul

DNA kecil.

Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya

transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl 2 akan menyebabkan sel-

sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein

periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam

campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca 2+ yang

terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama perlakuan

kejut panas diberikan.

Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan

Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan,

maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang

membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa

DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA

rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.


Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid

(lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah

transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti

transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan

(3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang

diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat

perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat

marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi.

Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula

perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah

satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan

ketigalah yang terjadi.

Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan

mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya

dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau

polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat

dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan

melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel

rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan

protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya,

dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA

yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur
awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel

rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.

PERPUSTAKAAN GEN

Pokok bahasan di dalam bab ini menguraikan pengertian dan macam perpustakaan

gen, besarnya perpustakaan gen, prinsip kerja elektroforesis, dan prosedur skrining

DNA rekombinan dari perpustakaan gen. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam

bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan

1. pengertian perpustakaan gen,

2. perbedaan antara perpustakaan genom dan perpustakaan cDNA,

3. cara menghitung besarnya perpustakaan gen yang diperlukan,

4. prinsip kerja dan kegunaan elektroforesis, dan  

5. macam-macam prosedur skrining DNA rekombinan dari perpustakaan gen. 

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah pengertian teknologi DNA rekombinan beserta

tahapan-tahapan kloning gen seperti telah dibahas pada Bab IX.

Pengertian dan Macam Perpustakaan Gen

Suatu perpustakaan gen dapat diartikan sebagai sekumpulan sekuens (urutan) DNA

dari suatu organisme yang masing-masing telah diklon ke dalam vektor tertentu untuk

memudahkan pemurnian, penyimpanan, dan analisisnya. Pada dasarnya terdapat dua


macam perpustakaan gen yang dapat dikonstruksi, bergantung kepada sumber DNA

digunakan. Jika DNA yang digunakan adalah DNA genomik/kromosom, maka

perpustakaan yang dihasilkan disebut perpustakaan genom. Sementara itu, jika DNA

yang digunakan merupakan hasil transkripsi balik suatu populasi mRNA seperti yang

umum dijumpai pada eukariot, maka perpustakaan yang diperoleh dinamakan

perpustakaan cDNA.

Hal yang perlu diperhatikan ketika kita melakukan konstruksi suatu perpustakaan gen

adalah bahwa perpustakaan tersebut harus merepresentasikan semua gen yang ada di

dalam sumber DNA asalnya. Dengan perkataan lain, suatu perpustakaan gen dikatakan

representatif apabila berisi semua sekuens aslinya. Selain itu, jika suatu perpustakaan

tidak mengandung klon dalam jumlah yang mencukupi, maka sangat dimungkinkan

hilangnya beberapa gen tertentu.

Untuk mendapatkan perpustakaan genom yang representatif, DNA genomik harus

dimurnikan dan kemudian dipotong secara acak menjadi fragmen-fragmen yang

ukurannya sesuai dengan keperluan kloning menggunakan vektor yang dipilih.

Fraksionasi sel pada eukariot akan mengurangi kontaminasi oleh DNA organel

(mitokondria, kloroplas). Oleh karena itu, pemurnian DNA genomik eukariot biasanya

dilakukan dengan terlebih dahulu mengisolasi nukleus dan menghilangkan protein,

lemak, serta makromolekul lain yang tidak diinginkan dengan memberikan protease dan

melakukan ekstraksi fenol-kloroform. Sementara itu, DNA prokariot dapat diekstraksi

langsung.
DNA genomik hasil pemurnian tersebut selanjutnya dipotong-potong secara acak. Pada

dasarnya ada dua cara pemotongan, yaitu pemotongan fisik seperti sonikasi dan digesti

menggunakan enzim restriksi. Pemotongan dengan enzim restriksi akan menghasilkan

fragmen-fragmen dengan ujung tertentu (lihat Bab IX). Untuk mendapatkan fragmen-

fragmen dengan ukuran relatif besar dilakukan digesti parsial dengan cara

mengurangi jumlah enzim restriksi atau waktu pemotongan yang digunakan  Dengan

digesti parsial ini enzim restriksi tidak akan memotong DNA genomik pada setiap

tempat pengenalan yang ada sehingga akan diperoleh fragmen-fragmen DNA genomik

yang relatif panjang.

Besarnya Perpustakaan Gen

Besarnya suatu perpustakaan gen dilihat dari banyaknya rekombinan yang terdapat di

dalamnya. Untuk menghitung banyaknya rekombinan yang harus ada di dalam suatu

perpustakaan gen digunakan rumus sebagai berikut.

N = ln (1 – P) / ln (1 – f)

Pada rumus tersebut N adalah banyaknya rekombinan yang harus ada di dalam

perpustakaan gen, P peluang yang diinginkan, dan f nisbah panjang fragmen sisipan

terhadap panjang genom. Sebagai contoh, untuk mendapatkan fragmen sisipan

berukuran 20 kb (20.000 pb) dengan peluang 0,99 diperlukan perpustakaan gen yang

besarnya berbeda antara E .coli dan manusia.

N E. coli  = ln (1 –  0,99) / ln (1 –  20.000 / 4,6 x 106) = 1,1 x 103


N manusia = ln (1 –  0,99) / ln (1 –  20.000 / 3 x 109) = 6,9 x 105

Kita bisa melihat bahwa banyaknya rekombinan yang diperlukan untuk mendapatkan

fragmen dengan ukuran dan peluang yang sama ternyata berbeda, bergantung kepada

panjang genom organismenya. Pada E. coli dengan panjang genom yang lebih pendek

(4,6 x 106) daripada panjang genom manusia (3 x 10 9) diperlukan rekombinan yang

lebih sedikit (1,1 x 103) daripada rekombinan untuk perpustakaan gen manusia (6,9 x

105).

Perhitungan seperti tersebut di atas juga dapat menjelaskan alasan bahwa apabila

genom suatu prokariot dengan fragmen sisipan sepanjang 5 hingga 10 kb diklon

menggunakan plasmid akan menghasilkan perpustakaan gen yang baik meskipun

hanya membawa beberapa ribu rekombinan. Demikian pula, untuk genom-genom yang

besar cukup diperlukan sedikit rekombinan meskipun fragmen sisipannya panjang.

Penggunaan vektor yang dapat mengklon fragmen-fragmen panjang, misalnya kosmid

dan YAC, memungkinkan konstruksi perpustakaan genom dengan jumlah rekombinan

yang tidak terlalu besar.

Elektroforesis

Sebelum fragmen-fragmen DNA genomik hasil digesti restriksi diligasikan ke dalam

suatu vektor tertentu (lihat Bab IX) terlebih dahulu perlu dilakukan pemeriksaan atas

keberhasilan digesti tersebut. Untuk melihat keberhasilan digesti restriksi, DNA

divisualisasikan menggunakan teknik elektroforesis. Namun, elektroforesis sendiri


sebenarnya bukanlah teknik visualisasi DNA semata-mata karena teknik ini dapat juga

digunakan untuk keperluan isolasi dan pemurnian fragmen DNA tertentu. 

Prinsip kerja elektroforesis adalah memisahkan molekul-molekul bermuatan listrik

berdasarkan atas ukuran (berat molekul) dan muatan listriknya. Khusus untuk DNA,

pemisahan tidak didasarkan atas perbedaan muatan listriknya, tetapi menurut ukuran

dan konformasi atau struktur fisik molekulnya. Gel yang biasa digunakan adalah

agarosa dan poliakrilamid. Gel agarosa digunakan untuk memisahkan sampel DNA

dengan ukuran dari beberapa ratus hingga 20.000 pasang basa (pb), sedangkan gel

poliakrilamid digunakan untuk fragmen-fragmen DNA yang lebih kecil.

Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi

melalui matriks gel menuju kutub positif (anode). Makin besar ukuran molekulnya,

makin rendah laju migrasinya. Jika hubungan antara ukuran molekul dan laju migrasi

dipetakan dalam suatu grafik logaritmik, maka akan diperoleh kurva linier. Oleh karena

itu, kita dapat memperkirakan berat molekul suatu fragmen DNA dengan melihat atau

membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen-fragmen molekul DNA

strandar (marker) yang telah diketahui ukurannya.

Fragmen-fragmen DNA divisualisasikan di bawah sinar ultraviolet setelah terlebih dulu

direndam di dalam larutan etidium bromid, pewarna yang akan menyisip atau

melakukan interkalasi di sela-sela basa DNA. Perendaman dilakukan setelah migrasi

dianggap cukup untuk dihentikan. Fragmen DNA akan nampak sebagai pita berwarna

merah dengan posisi migrasi yang sesuai dengan berat molekulnya. Cara ini dapat

memvisualisasikan fragmen DNA hingga sekecil 0,05 µg.


Seperti telah dikatakan di atas bahwa selain karena perbedaan ukurannya, laju migrasi

DNA pada gel elektroforesis juga ditentukan oleh konformasi molekulnya. DNA dengan

bentuk covalently closed circular (CCC) akan bergerak paling cepat, disusul berikutnya

konformasi open circular (OC), dan yang terakhir linier. Oleh karena perbedaan

konformasi menyebabkan perbedaan laju migrasi, maka penentuan ukuran suatu

fragmen DNA selalu dilakukan pada konformasi linier.

Marilah kembali kita bicarakan visualisasi fragmen-fragmen DNA genomik hasil digesti

restriksi. DNA genomik, baik yang utuh maupun yang telah dipotong menggunakan

enzim restriksi, perlu divisualisasikan pada gel elektroforesis. Begitu pula halnya

dengan vektor utuh dan vektor yang telah dilinierkan serta vektor rekombinan hasil

ligasi dengan fragmen DNA genomik (lihat Bab IX). Selain itu, molekul DNA marker

yang telah diketahui ukurannya juga dimigrasikan sebagai standar untuk menentukan

ukuran sampel-sampel DNA yang kita analisis.

DNA genomik utuh pada lajur 2 nampak sebagai pita dengan laju migrasi paling lambat.

Jika dibandingkan dengan marker, akan terlihat bahwa ukurannya lebih besar dari 21,3

kb. Berikutnya pada lajur 3, DNA genomik yang telah dipotong menggunakan enzim

restriksi tertentu tervisualisasi sebagai pita melebar (smear). Pita ini merupakan

kumpulan fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan tersebut yang sangat bervariasi

ukurannya. Sementara itu, pada lajur 4 dan 5 terlihat jelas perbedaan laju migrasi

antara plasmid utuh yang mempunyai konformasi CCC dan plasmid linier hasil

pemotongan dengan suatu enzim restriksi. Plasmid linier bergerak lebih lambat

daripada plasmid CCC, dan posisi migrasinya digunakan untuk menentukan ukurannya
(sekitar 4,9 kb). Terakhir pada lajur 6, plasmid rekombinan hasil ligasi dengan fragmen

DNA genomik menunjukkan ukuran yang lebih besar dari 4,9 kb. Hal ini terlihat dari

migrasinya yang lebih lambat daripada plasmid linier tanpa fragmen sisipan.

Prosedur Skrining

Proses untuk mengidentifikasi suatu klon yang membawa gen tertentu yang diinginkan

di antara sejumlah besar klon lainnya di dalam perpustakaan gen dinamakan skrining.

Pada dasarnya skrining dilakukan dengan teknik hibridisasi menggunakan suatu

molekul pelacak DNA (DNA probe). Beberapa pengetahuan mengenai gen yang akan

dicari, atau produknya, diperlukan dalam pembuatan molekul pelacak bagi gen

tersebut. Di dalam proses skrining, molekul pelacak akan menempel pada sekuens

DNA yang komplementer dengannya sehingga klon yang diinginkan dapat dikenali.

Apabila diperoleh protein yang merupakan produk gen tertentu dalam jumlah yang

memungkinkan untuk penentuan sekuens asam aminonya, maka dari informasi

sekuens asam amino ini dapat disusun beberapa kemungkinan sekuens DNA yang

menyandinya. Selanjutnya, informasi sekuens DNA yang disusun dapat digunakan

untuk membuat molekul pelacak.

Hibridisasi koloni dan plak

Seleksi transforman dengan vektor rekombinan yang dikonstruksi menggunakan vektor

λ dilakukan dengan melihat terbentuknya plak pada medium kultur sel inang.

Sementara itu, seleksi transforman dengan vektor rekombinan yang dikonstruksi

menggunakan plasmid dilakukan dengan melihat pertumbuhan koloni pada medium


seleksi (lihat Bab XI). Namun, prosedur skrining bagi kedua sistem kloning tersebut

pada dasarnya sama saja.

Langkah pertama adalah mentransfer DNA di dalam plak atau koloni ke suatu

membran nilon atau nitroselulosa. Untuk plak, DNA λ dapat langsung diperoleh dan

ditransfer ke membran karena plak merupakan area tempat keberadaan bakteri inang

yang mengalami lisis. Akan tetapi, jika yang ditransfer ke membran adalah koloni-koloni

bakteri, maka perlu dilakukan lisis sel bakteri untuk mendapatkan DNA. Sebelumnya, 

dibuat replika bagi koloni-koloni yang ditransfer tersebut di dalam medium kultur yang

baru.

Lisis sel bakteri biasanya dilakukan dengan merendam membran nilon di dalam sodium

dodesil sulfat (SDS) dan protease. Selanjutnya, DNA yang keluar dari sel didenaturasi

menggunakan alkali sehingga diperoleh DNA untai tunggal, yang kemudian difiksasi ke

membran dengan pengeringan atau iradiasi UV. Membran dicelupkan ke dalam larutan

pelacak DNA dan diinkubasi agar terjadi hibridisasi antara pelacak, yang juga berupa

untai tunggal, dan beberapa DNA untai tunggal yang komplementer dengannya.

Pelacak DNA biasanya diberi label radioaktif.

Setelah hibridisasi, membran dicuci untuk menghilangkan sisa-sisa pelacak yang tidak

terhibridisasi. Beberapa DNA di dalam membran yang mengalami hibridisasi

divisualisasikan menggunakan autoradiografi dengan sinar X. Dengan membandingkan

posisi DNA yang terhibridisasi oleh pelacak dengan posisi koloni pada kultur replika

akan diketahui koloni-koloni yang membawa DNA rekombinan dengan fragmen sisipan

yang diinginkan.
                                Gambar 10.3. Skema hibridisasi koloni / plak

Skrining ekspresi

Pada dasarnya skrining ekspresi sama dengan skrining perpustakaan gen melalui

hibridisasi koloni/plak. Hanya saja pada skrining ekspresi, bukannya DNA yang

dideteksi pada membran, melainkan protein yang merupakan produk suatu gen yang

diinginkan. Sebagai pelacak digunakan antibodi, sedangkan untuk mengetahui

terjadinya hibridisasi digunakan antibodi lain atau bahan kimia yang dapat

mengenalinya. Dengan cara seperti ini dapat ditentukan koloni/plak yang

mengekspresikan protein yang dikehendaki.

Penghambatan dan pelepasan translasi oleh hibrid

Klon-klon cDNA dapat digunakan untuk menghibridisasi mRNA yang diisolasi. Setelah

dilakukan hibridisasi, populasi mRNA langsung ditranslasi menjadi protein. Translasi

tidak akan terjadi pada segmen mRNA yang terhibridisasi oleh cDNA, atau dengan

perkataan lain, translasi telah dihambat oleh hibrid (hybrid-arrest translation). Dengan

mendeteksi produk-produk protein yang tidak terbentuk dapat diketahui cDNA yang

menghambat translasi suatu protein. Artinya, cDNA ini dapat dipastikan membawa

sekuens yang menyandi protein yang tidak ditranslasi tersebut.

Cara kebalikannya juga dapat dilakukan. Hibrid-hibrid antara cDNA dan mRNA

dimurnikan. Kemudian, mRNA dilepaskan dari hibrid dengan pemanasan atau

menggunakan agen denaturasi. Setelah itu, mRNA ditranslasi (hybrid-release

translation) untuk menghasilkan produk protein tertentu. Dengan mengetahui protein


yang terbentuk dapat diketahui klon cDNA yang membawa sekuens penyandi protein

tersebut. Secara skema perbandingan kedua prosedur skrining tersebut dapat dilihat

pada Gambar 10.4.

Southern blotting dan Northern blotting

Kedua prosedur skrining ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan sekuens tertentu

tetapi tidak dilakukan langsung pada klon-klon rekombinannya. Skrining didasarkan

atas hasil hibridisasi antara molekul asam nukleat dan pelacaknya pada gel agarosa.

Istilah Southern blotting berasal dari nama penemunya, sedangkan Northern blotting

diekstrapolasi dari nama tersebut. Jika Southern blotting ditujukan untuk DNA, Northern

blotting digunakan untuk hibridisasi RNA.

Tahap pertama untuk kedua prosedur tersebut adalah migrasi molekul asam nukleat

pada gel agarosa. Khusus untuk Southern blotting, dilakukan denaturasi DNA (biasanya

menggunakan alkali) sehingga akan diperoleh DNA untai tunggal. Pita-pita untai

tunggal, baik DNA maupun RNA, kemudian dipindahkan ke membran nilon atau

nitroselulosa seperti halnya pada hibridisasi koloni.

Begitu asam nukleat dipindahkan ke membran, tahap-tahap selanjutnya pada kedua

prosedur skrining tersebut sama, yaitu fiksasi asam nukleat pada membran, hibridisasi

dengan pelacak, pencucian sisa pelacak, dan deteksi fragmen yang mengalami

hibridisasi menggunakan autoradiografi. Di antara tahap-tahap tersebut kondisi

hibridisasi merupakan faktor yang paling memerlukan perhatian. Jika antara pelacak

dan sekuens target terdapat homologi yang sangat tinggi (mendekati atau sama dengan
100%), maka dapat diberlakukan kondisi hibridisasi yang ketat, yaitu dengan suhu

hibridisasi tinggi dan konsentrasi garam rendah pada bufer hibridisasi. Sebaliknya, jika

sekuens pelacak tidak terlalu homolog dengan sekuens target, maka ketetatan kondisi

hibridisasi harus diturunkan sampai pada tingkatan yang memungkinkan terbentuknya

hibrid-hibrid yang kurang sempurna. Namun, jika keketatannya diturunkan terlalu

banyak, fragmen pelacak mungkin akan berikatan dengan sekuens-sekuens lain yang

tidak spesifik.

Southern blotting terhadap fragmen-fragmen DNA genomik yang diklon dapat dilakukan

menggunakan pelacak berupa cDNA untuk mencari bagian-bagian klon genomik yang

sesuai dengan fragmen cDNA pelacak. Jika fragmen DNA genomik yang membawa

suatu gen tertentu dapat dideteksi, maka akan diketahui ukuran fragmen yang

membawa gen tersebut. Blot-blot dengan sampel DNA atau RNA dari organisme yang

berbeda (zoo blots) dapat menunjukkan betapa konservatifnya suatu gen di antara

spesies yang satu dan lainnya.

VEKTOR KLONING

Bab ini akan membahas pengertian dan macam-macam vektor kloning, baik yang

digunakan pada sel inang prokariot maupun eukariot. Setelah mempelajari pokok

bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:


1. pengertian vektor kloning,

2. ciri-ciri plasmid,

3. ciri-ciri kosmid,

4. ciri-ciri bakteriofag, dan

5. ciri-ciri vektor kloning pada khamir dan eukariot tingkat tinggi.

Untuk dapat mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini dengan lebih baik mahasiswa

disarankan telah memahami pokok bahasan tentang dasar-dasar teknologi DNA

rekombinan dan konstruksi perpustakaan gen, yang masing-masing telah diberikan

pada Bab IX dan X.

Pengertian dan Macam-macam Vektor Kloning

Pada Bab IX antara lain telah dibicarakan bahwa transformasi sel inang dilakukan

menggunakan perantara vektor. Jadi, vektor adalah molekul DNA yang berfungsi

sebagai wahana atau kendaraan yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke

dalam sel inang dan memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi fragmen DNA

asing tersebut. Vektor yang dapat digunakan pada sel inang prokariot, khususnya E.

coli, adalah plasmid, bakteriofag, kosmid, dan fasmid. Sementara itu, vektor YACs dan

YEps dapat digunakan pada khamir. Plasmid Ti, baculovirus, SV40, dan retrovirus

merupakan vektor-vektor yang dapat digunakan pada sel eukariot tingkat tinggi.

Plasmid

Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA sirkuler untai ganda di

luar kromosom yang dapat melakukan replikasi sendiri. Plasmid tersebar luas di antara

organisme prokariot dengan ukuran yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga lebih dari
250 kb (1 kb = 1000 pb).

Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus memenuhi syarat-syarat

berikut ini:

1. mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding sel inang

sehingga dapat dengan mudah melintasinya,

2. mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai masuk

tidaknya plasmid ke dalam sel inang,

3. mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam salah

satu marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA,

dan

4. mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi di dalam

sel inang.

Salah satu contoh plasmid buatan yang banyak digunakan dalam kloning gen adalah

pBR322. Plasmid ini dikonstruksi oleh F. Bolivar dan kawan-kawanya pada tahun 1977.

Urutan basa lengkapnya telah ditentukan sehingga baik tempat marker maupun

pengenalan restriksinya juga telah diketahui. Sayangnya, tempat pengenalan EcoR I,

salah satu enzim restriksi yang sangat umum digunakan, terletak di luar marker. Oleh

karena salah satu marker akan menjadi tempat penyisipan fragmen DNA asing, maka

EcoR I tidak dapat digunakan untuk memotong pBR322 di tempat penyisipan tersebut.

Namun, saat ini telah dikonstruksi derivat-derivat pBR322 yang mempunyai tempat

pengenalan EcoR I di dalam marker, misalnya plasmid pBR324 dan pBR325 yang
masing-masing mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam gen struktural kolisin

dan di dalam gen resisten kloramfenikol.

Gambar 11.1. Plasmid pBR322

ampR = marker resisten ampisilin

tetR = marker resisten tetrasiklin

Misalnya saja kita menyisipkan suatu fragmen DNA pada daerah marker resisten

ampisilin dengan memotong daerah ini menggunakan enzim restriksi tertentu selain

EcoR I (mengapa harus selain EcoR I?). Plasmid pBR322 yang tersisipi oleh fragmen

DNA akan kehilangan sifat resistensinya terhadap ampisilin, tetapi masih mempunyai

sifat resistensi terhadap tetrasiklin. Oleh karena itu, ketika plasmid pBR322 rekombinan

ini dimasukkan ke dalam sel inangnya, yakni E. coli, bakteri transforman ini tidak

mampu tumbuh pada medium yang mengandung ampisilin, tetapi tumbuh pada medium

tetrasiklin. Secara alami E. coli tidak mampu tumbuh baik pada medium ampisilin

maupun tetrasiklin sehingga sel transforman dapat dengan mudah dibedakan dengan

sel nontransforman yang tidak mengandung pBR322 sama sekali. Sementara itu, E.

coli transforman yang membawa plasmid pBR322 utuh (religasi) mampu tumbuh pada

kedua medium antibiotik tersebut. Jadi, untuk memperoleh sel E. coli transforman yang

membawa DNA rekombinan dicari koloni yang hidup di tetrasiklin tetapi mati di

ampisilin. Secara teknis pekerjaan ini dilakukan menggunakan transfer koloni atau

replica plating (lihat Bab X).

Plasmid yang digunakan pada bakteri gram negatif seperti halnya pBR322 tidak dapat

digunakan pada bakteri gram positif. Namun, saat ini telah tersedia plasmid untuk
kloning pada bakteri gram positif, misalnya pT127 dan pC194, yang dikonstruksi oleh

S.D. Erlich pada tahun 1977 dari bakteri Staphylococcus aureus. Demikian juga, telah

ditemukan plasmid untuk kloning pada eukariot, khususnya pada khamir, misalnya

yeast integrating plasmids (YIps), yeast episomal plasmids (YEps), yeast replicating

plasmids (YRps), dan yeast centromere plasmid (YCps).

Bakteriofag

Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan daur hidupnya yang

bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat digunakan sebagai vektor kloning pada sel

inang bakteri. Ada beberapa macam bakteriofag yang biasa digunakan sebagai vektor

kloning. Dua di antaranya akan dijelaskan berikut ini.

Bakteriofag l

Bakteriofag atau fag l merupakan virus kompleks yang menginfeksi bakteri E. coli.

Berkat pengetahuan yang memadai tentang fag ini, kita dapat memanfaatkannya

sebagai vektor kloning semenjak masa-masa awal perkembangan rekayasa genetika.

DNA l yang diisolasi dari partikel fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda

dengan panjang 48,5 kb. Namun, masing-masing ujung fosfatnya berupa untai tunggal

sepanjang 12 pb yang komplementer satu sama lain sehingga memungkinkan DNA l

untuk berubah konformasinya menjadi sirkuler. Dalam bentuk sirkuler, tempat

bergabungnya kedua untai tunggal sepanjang 12 pb tersebut dinamakan kos.

Seluruh urutan basa DNA l telah diketahui. Secara alami terdapat lebih dari satu tempat

pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi yang biasa digunakan. Oleh karena itu,

DNA l tipe alami tidak cocok untuk digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi, saat

ini telah banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA l yang memenuhi syarat sebagai
vektor kloning. Ada dua macam vektor kloning yang berasal dari DNA l, yaitu

vektor insersional, yang dengan mudah dapat disisipi oleh fragmen DNA asing, vektor

substitusi, yang untuk membawa fragmen DNA asing harus membuang sebagian atau

seluruh urutan basanya yang terdapat di daerah nonesensial dan menggantinya

dengan urutan basa fragmen DNA asing tersebut.

Di antara kedua macam vektor l tersebut, vektor substitusi lebih banyak digunakan

karena kemampuannya untuk membawa fragmen DNA asing hingga 23 kb. Salah satu

contohnya adalah vektor WES, yang mempunyai mutasi pada tiga gen esensial, yaitu

gen W, E, dan S. Vektor ini hanya dapat digunakan pada sel inang yang dapat

menekan mutasi tersebut.

Cara substitusi fragmen DNA asing pada daerah nonesensial membutuhkan dua

tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi. Jika suatu enzim restrisksi

memotong daerah nonesensial di dua tempat berbeda, maka segmen DNA l di antara

kedua tempat tersebut akan dibuang untuk selanjutnya digantikan oleh fragmen DNA

asing. Jika pembuangan segmen DNA l tidak diikuti oleh substitusi fragmen DNA asing,

maka akan terjadi religasi vektor DNA l yang kehilangan sebagian segmen pada daerah

nonesensial. Vektor religasi semacam ini tidak akan mampu bertahan di dalam sel

inang. Dengan demikian, ada suatu mekanisme seleksi automatis yang dapat

membedakan antara sel inang dengan vektor rekombinan dan sel inang dengan vektor

religasi.

 
Gambar 11.2. DNA bakteriofag l

konformasi linier (di luar sel inang)

konformasi sirkuler (di dalam sel inang)

Bakteriofag l mempunyai dua fase daur hidup, yaitu fase litik dan fase lisogenik. Pada

fase litik, transfeksi sel inang (istilah transformasi untuk DNA fag) dimulai dengan

masuknya DNA l yang berubah konformasinya menjadi sirkuler dan mengalami replikasi

secara independen atau tidak bergantung kepada kromosom sel inang. Setelah

replikasi menghasilkan sejumlah salinan DNA l sirkuler, masing-masing DNA ini akan

melakukan transkripsi dan translasi membentuk protein kapsid (kepala). Selanjutnya,

tiap DNA akan dikemas (packaged) dalam kapsid sehingga dihasilkan partikel l baru

yang akan keluar dari sel inang untuk menginfeksi sel inang lainnya. Sementara itu,

pada fase lisogenik DNA l akan terintegrasi ke dalam kromosom sel inang sehingga

replikasinya bergantung kepada kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak menimbulkan

lisis pada sel inang.

Di dalam medium kultur, sel inang yang mengalami lisis akan membentuk plak (plaque)

berupa daerah bening di antara koloni-koloni sel inang yang tumbuh. Oleh karena itu,

seleksi vektor rekombinan dapat dilakukan dengan melihat terbentuknya plak tersebut.

Bakteriofag M13

Ada jenis bakteriofag lainnya yang dapat menginfeksi E. coli. Berbeda dengan l yang

mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag jenis kedua ini mempunyai struktur berupa

filamen. Contoh yang paling penting adalah M13, yang mempunyai genom berupa untai

tunggal DNA sirkuler sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung

melalui pili, suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma.


Ketika berada di dalam sel inang genom M13 berubah menjadi untai ganda sirkuler

yang dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan. Salinan-salinan

ini membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak ke permukaan sel

inang. Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh membran dan keluar

dari sel inang menjadi partikel fag yang infektif tanpa menyebabkan lisis. Oleh karena

fag M13 terselubungi dengan cara pembentukan kuncup pada membran sel inang,

maka tidak ada batas ukuran DNA asing yang dapat disisipkan kepadanya. Inilah salah

satu keuntungan penggunaan M13 sebagai vektor kloning bila dibandingkan dengan

plasmid dan l. Keuntungan lainnya adalah bahwa M13 dapat digunakan untuk

sekuensing (penentuan urutan basa) DNA dan mutagenesis tapak terarah (site directed

mutagenesis) karena untai tunggal DNA M13 dapat dijadikan cetakan (templat) di

dalam kedua proses tersebut.

Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah pada DNAnya yang

dapat disisipi oleh DNA asing. Di samping itu, tempat pengenalan restriksinya pun

sangat sedikit. Namun, sejumlah derivat M13 telah dikonstruksi untuk mengatasi

masalah tersebut.

Kosmid

Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggabungkan kos dari DNA l

dengan plasmid. Kemampuannya untuk membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga

47 kb menjadikan kosmid lebih menguntungkan daripada fag l dan plasmid.

Fasmid

Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetis yang merupakan gabungan antara plasmid

dan fag l. Vektor yang dinamakan fasmid ini membawa segmen DNA l yang berisi
tempat att. Tempat att digunakan oleh DNA l untuk berintegrasi dengan kromosom sel

inang pada fase lisogenik.

Vektor YACs

Seperti halnya kosmid, YACs (yeast artifisial chromosomes atau kromosom buatan dari

khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan antara DNA plasmid dan segmen tertentu

DNA kromosom khamir. Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri atas

sekuens telomir, sentromir, dan titik awal replikasi.

YACs dapat membawa fragmen DNA genomik sepanjang lebih dari 1 Mb. Oleh karena

itu, YACs dapat digunakan untuk mengklon gen utuh manusia, misalnya gen penyandi

cystic fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan kemampuannya itu YACs sangat

berguna dalam pemetaan genom manusia seperti yang dilakukan pada Proyek Genom

Manusia.

Vektor YEps

Vektor-vektor untuk keperluan kloning dan ekspresi gen pada Saccharomyces

cerevisiae dirancang atas dasar plasmid alami berukuran 2 μm, yang selanjutnya

dikenal dengan nama plasmid 2 mikron. Plasmid ini memiliki sekuens DNA sepanjang 6

kb, yang mencakup titik awal replikasi dan dua gen yang terlibat dalam replikasi.

Vektor-vektor yang dirancang atas dasar plasmid 2 mikron disebut YEps (yeast

episomal plasmids). Segmen plasmid 2 mikronnya membawa titik awal replikasi,

sedangkan segmen kromosom khamirnya membawa suatu gen yang berfungsi sebagai

penanda seleksi, misalnya gen LEU2 yang terlibat dalam biosintesis leusin. Meskipun

biasanya bereplikasi seperti plasmid pada umumnya, YEps dapat terintegrasi ke dalam

kromosom khamir inangnya.


Plasmid Ti Agrobacterium tumefaciens

Sel-sel tumbuhan tidak mengandung plasmid alami yang dapat digunakan sebagai

vektor kloning. Akan tetapi, ada suatu bakteri, yaitu Agrobacterium tumefaciens, yang

membawa plasmid berukuran 200 kb dan disebut plasmid Ti (tumor inducing atau

penyebab tumor). Bakteri A. tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotil seperti

tomat dan tembakau serta tanaman monokotil, khususnya padi. Ketika infeksi

berlangsung bagian tertentu plasmid Ti, yang disebut T-DNA, akan terintegrasi ke

dalam DNA kromosom tanaman, mengakibatkan terjadinya pertumbuhan sel-sel

tanaman yang tidak terkendali. Akibatnya, akan terbentuk tumor atau crown gall.

Plasmid Ti rekombinan dengan suatu gen target yang disisipkan pada daerah T-DNA

dapat mengintegrasikan gen tersebut ke dalam DNA tanaman. Gen target ini

selanjutnya akan dieskpresikan menggunakan sistem DNA tanaman.

Dalam prakteknya, ukuran plasmid Ti yang begitu besar sangat sulit untuk dimanipulasi.

Namun, ternyata apabila bagian T-DNA dipisahkan dari bagian-bagian lain plasmid Ti,

integrasi dengan DNA tanaman masih dapat terjadi asalkan T-DNA dan bagian lainnya

tersebut masih berada di dalam satu sel bakteri A. tumefaciens. Dengan demikian,

manipulasi atau penyisipan fragmen DNA asing hanya dilakukan pada T-DNA dengan

cara seperti halnya yang dilakukan pada plasmid E.coli. Selanjutnya, plasmid T-DNA

rekombinan yang dihasilkan ditransformasikan ke dalam sel A. tumefaciens yang

membawa plasmid Ti tanpa bagian T-DNA. Perbaikan prosedur berikutnya adalah

pembuangan gen-gen pembentuk tumor yang terdapat pada T-DNA.

Baculovirus

Baculovirus merupakan virus yang menginfeksi serangga. Salah satu protein penting
yang disandi oleh genom virus ini adalah polihedrin, yang akan terakumulasi dalam

jumlah sangat besar di dalam nuklei sel-sel serangga yang diinfeksi karena gen

tersebut mempunyai promoter yang sangat aktif. Promoter ini dapat digunakan untuk

memacu overekspresi gen-gen asing yang diklon ke dalam genom bacilovirus sehingga

akan diperoleh produk protein yang sangat banyak jumlahnya di dalam kultur sel-sel

serangga yang terinfeksi.

Vektor Kloning pada Mamalia

Vektor untuk melakukan kloning pada sel-sel mamalia juga dikonstruksi atas dasar

genom virus. Salah satu di antaranya yang telah cukup lama dikenal adalah SV40, yang

menginfeksi berbagai spesies mamalia. Genom SV40 panjangnya hanya 5,2 kb.

Genom ini mengalami kesulitan dalam pengepakan (packaging) sehingga pemanfaatan

SV40 untuk mentransfer fragmen–fragmen berukuran besar menjadi terbatas.

Retrovirus mempunyai genom berupa RNA untai tunggal yang ditranskripsi balik

menjadi DNA untai ganda setelah terjadi infeksi. DNA ini kemudian terintegrasi dengan

stabil ke dalam genom sel mamalia inang sehingga retrovirus telah digunakan sebagai

vektor dalam terapi gen. Retrovirus mempunyai beberapa promoter yang kuat

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Di dalam bab ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi

Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan

tahapan reaksinya. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa

diharapkan mampu menjelaskan:

1.      pengertian dan kegunaan PCR,


2.      komponen-komponen PCR,

3.      tahapan PCR, dan

4.      dasar-dasar perancangan primer

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah dasar-dasar teknologi DNA rekombinan dan

konstruksi perpustakaan genom, yang masing-masing telah dibicarakan pada Bab IX

dan X.

Pengertian dan Kegunaan PCR

Pada bagian akhir Bab IX telah disinggung bahwa fragmen pelacak yang diperlukan

dalam seleksi rekombinan merupakan molekul DNA untai ganda yang urutan basanya

harus komplementer dengan sebagian urutan basa fragmen (gen) yang dilacak.

Fragmen pelacak ini dibuat secara in vitro menggunakan teknik PCR. Namun, teknik

yang ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1987 ini, tidak hanya digunakan untuk

membuat fragmen pelacak, tetapi secara umum teknik ini merupakan cara untuk

menggandakan urutan basa nukleotida tertentu secara in vitro.

Komponen dan Tahapan PCR

Penggandaan urutan basa nukleotida berlangsung melalui reaksi polimerisasi yang

dilakukan berulang-ulang secara berantai selama beberapa putaran (siklus). Tiap reaksi

polimerisasi membutuhkan komponen-komponen sintesis DNA seperti untai DNA yang

akan digunakan sebagai cetakan (templat), molekul oligonukleotida untai tunggal


dengan ujung 3’-OH bebas yang berfungsi sebagai prekursor (primer), sumber basa

nukleotida berupa empat macam dNTP (dATP, dGTP, dCTP, dTTP), dan enzim DNA

polimerase.

DNA templat adalah DNA untai ganda yang membawa urutan basa fragmen atau gen

yang akan digandakan. Urutan basa ini disebut juga urutan target (target sequence).

Penggandaan urutan target pada dasarnya merupakan akumulasi hasil polimerisasi

molekul primer.

Primer adalah molekul oligonukleotida untai tunggal yang terdiri atas sekitar 30 basa.

Polimerisasi primer dapat berlangsung karena adanya penambahan basa demi basa

dari dNTP yang dikatalisasi oleh enzim DNA polimerase. Namun, pada PCR enzim

DNA polimerase yang digunakan harus termostabil karena salah satu tahap reaksinya

adalah denaturasi untai ganda DNA yang membutuhkan suhu sangat tinggi (sekitar

95ºC). Salah satu enzim DNA polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA

polimerase, yang berasal dari bakteri termofilik Thermus aquaticus.

Tiap putaran reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi templat, penempelan

primer, dan polimerisasi primer, yang masing-masing berlangsung pada suhu lebih

kurang 95ºC, 50ºC, dan 70ºC. Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat

dipisahkan satu sama lain sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya,

masing-masing untai tunggal akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer

yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA templat. Biasanya, kedua

primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur

(reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA templat, primer mengalami
polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga ujung 5’ DNA templat (ingat

polimerisasi DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai

templatnya). Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi pertama akan diperoleh dua

pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa sepasang untai DNA.

Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi akan

menjadi templat pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada

putaran yang ke n diharapkan akan diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2 n – 2n.

Fragmen DNA pendek yang dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya sama

dengan jarak antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang

merupakan urutan target yang memang dikehendaki untuk digandakan (diamplifikasi).

Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada

akhir reaksi akan diperoleh fragmen urutan target sebanyak 2 20 – 2.20 = 1.048576 – 40

= 1.048536 ! Jumlah ini masih dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya hanya satu

untai ganda. Padahal kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA templat awal hanya

berupa satu untai ganda. Jika DNA templat awal terdiri atas 20 untai ganda saja, maka

jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720, suatu jumlah yang sangat cukup

bila akan digunakan sebagai fragmen pelacak.

                           Gambar 12. 1. Putaran pertama PCR                                           

Perancangan Primer

Tahapan PCR yang paling menentukan adalah penempelan primer. Sepasang primer

oligonukleotida (primer maju dan primer mundur) yang akan dipolimerisasi masing-
masing harus menempel pada sekuens target, tepatnya pada kedua ujung fragmen

yang akan diamplifikasi. Untuk itu urutan basanya harus komplementer atau setidak-

tidaknya memiliki homologi cukup tinggi dengan urutan basa kedua daerah ujung

fragmen yang akan diamplifikasi itu. Padahal, kita belum mengetahui dengan pasti

urutan basa sekuens target. Oleh karena itu, diperlukan cara tertentu untuk merancang

urutan basa kedua primer yang akan digunakan.

Dasar yang digunakan adalah urutan basa yang diduga mempunyai kemiripan dengan

urutan basa sekuens target. Urutan ini adalah urutan serupa dari sejumlah

spesies/strain organisme lainnya yang telah diketahui/dipublikasikan. Sebagai contoh,

untuk merancang sepasang primer yang diharapkan dapat mengamplifikasi sebagian

gen lipase pada isolat Bacillus termofilik tertentu dapat digunakan informasi urutan basa

gen lipase dari strain-strain Pseudomonas fluorescens, P. mendocina , dan sebagainya,

yang sebelumnya telah diketahui.

Urutan-urutan basa fragmen tertentu dari berbagai strain tersebut kemudian dijajarkan

dan dicari satu daerah atau lebih yang memperlihatkan homologi tinggi antara satu

strain dan lainnya. Daerah ini dinamakan daerah lestari (conserved area).

Sebagian/seluruh urutan basa pada daerah lestari inilah yang akan menjadi urutan

basa primer.

Sebenarnya, daerah lestari juga dapat ditentukan melalui penjajaran urutan asam

amino pada tingkat protein. Urutan asam amino ini kemudian diturunkan ke urutan basa

DNA. Dari satu urutan asam amino sangat mungkin akan diperoleh lebih dari satu

urutan basa DNA karena setiap asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet
kodon. Dengan demikian, urutan basa primer yang disusun dapat merupakan

kombinasi beberapa kemungkinan. Primer dengan urutan basa semacam ini dinamakan

primer degenerate. Selain itu, primer yang disusun melalui penjajaran urutan basa

DNA pun dapat merupakan primer degenerate karena urutan basa pada daerah lestari

di tingkat DNA pun tidak selamanya memperlihatkan homologi sempurna (100%).

Urutan basa pasangan primer yang telah disusun kemudian dianalisis menggunakan

program komputer untuk mengetahui kemungkinan terjadinya primer-dimer akibat

homologi sendiri (self-homology) atau homologi silang (cross-homology). Selain itu,

juga perlu dilihat kemungkinan terjadinya salah tempel (mispriming), yaitu

penempelan primer di luar sekuens target. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui

titik leleh (Tm) masing-masing primer dan kandungan GC-nya. Sepasang primer yang

baik harus mempunyai Tm yang relatif sama dengan kandungan GC yang cukup tinggi.

SEKUENSING DNA

Pokok bahasan di dalam Bab XIII ini meliputi prinsip kerja sekuensing DNA, khususnya

pada metode Sanger, pangkalan data sekuens DNA, dan proyek-proyek sekuensing

genom yang ada di dunia. Setelah mengikuti pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan

mampu:

1. menjelaskan prinsip kerja sekuensing DNA dengan metode Maxam-Gilbert,

2. menjelaskan prinsip kerja sekuensing DNA dengan metode Sanger,

3. menyebutkan beberapa pangkalan data sekuens DNA, dan

4. menyebutkan beberapa proyek sekuensing DNA.


Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah dasar-dasar teknologi DNA rekombinan,

konstruksi perpustakaan gen, vektor kloning, dan teknik PCR, yang masing-masing

telah dibicarakan pada Bab IX hingga XII.

Prinsip Sekuensing DNA

Molekul DNA rekombinan yang memperlihatkan hasil positif dalam reaksi hibridisasi

dengan fragmen pelacak sangat diduga sebagai molekul yang membawa fragmen

sisipan atau bahkan gen yang diinginkan. Namun, hal ini masih memerlukan analisis

lebih lanjut untuk memastikan bahwa fragmen tersebut benar-benar sesuai dengan

tujuan kloning. Analisis antara lain dapat dilakukan atas dasar urutan (sekuens) basa

fragmen sisipan.

Penentuan urutan (sekuensing) basa DNA pada prinsipnya melibatkan produksi

seperangkat molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah satu

ujungnya selalu sama. Selanjutnya, fragmen-fragmen ini dimigrasikan/dipisahkan

menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid atau polyacrylamide gel

electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens dapat dilakukan. Di bawah ini akan

diuraikan sekilas dua macam metode sekuensing DNA.

Metode Maxam-Gilbert

Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode kimia yang

dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977. Pada metode ini

fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya,
biasanya menggunakan fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3’. Metode

Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai

tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap.

Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial menggunakan piperidin.

Pengaturan masa inkubasi atau konsentrasi piperidin akan menghasilkan fragmen-

fragmen DNA yang bermacam-macam ukurannya. Selanjutnya, basa dimodifikasi

menggunakan bahan-bahan kimia tertentu. Dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa

G, asam format menyerang A dan G, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi

garam yang tinggi akan menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan

demikian, akan dihasilkan empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G,

ujung A atau G, ujung C atau T, dan ujung C.

                                                       

 Gambar 13.1. Contoh PAGE sekuensing dengan metode Maxam-Gilbert

Dari hasil PAGE pada Gambar 13.1 dapat diketahui sekuens fragmen DNA yang

dipelajari atas dasar laju migrasi masing-masing pita. Lajur kedua berisi fragmen-

fragmen yang salah satu ujungnya adalah A atau G. Untuk memastikannya harus dilihat

pita-pita pada lajur pertama. Jika pada lajur kedua terdapat pita-pita yang posisi

migrasinya sama dengan posisi migrasi pada lajur pertama, maka dapat dipastikan

bahwa pita-pita tersebut merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G.

Sisanya adalah pita-pita yang merupakan fragmen dengan basa A pada salah satu
ujungnya. Cara yang sama dapat kita gunakan untuk memastikan pita-pita pada lajur

ketiga, yaitu dengan membandingkannya dengan pita-pita pada lajur keempat.

Seperti halnya pada elektroforesis gel agarosa (Bab X), laju migrasi pita

menggambarkan ukuran fragmen. Makin kecil ukuran fragmen, makin cepat migrasinya.

Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh tersebut di atas dapat diurutkan atas

dasar laju/posisi migrasinya. Jadi, kalau diurutkan dari yang terkecil hingga yang

terbesar, hasilnya adalah fragmen-fragmen dengan ujung

TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG. Inilah sekuens fragmen DNA yang dipelajari.

Metode Sanger

Dewasa ini metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena

ada metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang dikembangkan oleh

A. Sanger dan kawan-kawan pada tahun 1977 juga.

Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit enzim DNA

polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut adalah kemampuannya

untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk

membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus

hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi

nukleotida juga mengalami kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak

dapat membentuk ikatan fosfodiester. Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen

klenow dengan suatu molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi
atau terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya

adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.

Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan

pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi

DNA dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan sedikit

ddNTP sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat tertentu

sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan

sejumlah fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3’nya selalu berakhir

dengan basa yang sama. Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung ddATP

akan diperoleh fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran yang semuanya

mempunyai basa A pada ujung 3’nya. 

Pada Gambar 13.2 diberikan sebuah contoh sekuensing sebuah fragmen DNA. Tabung

ddATP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran tiga dan tujuh basa; tabung ddCTP

menghasilkan tiga fragmen dengan ukuran satu, dua, dan empat basa; tabung ddGTP

menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima dan sembilan basa; tabung ddTTP

menghasilkan dua fragmen dengan ukuran enam dan delapan basa. Di depan (arah 5’)

tiap fragmen ini sebenarnya terdapat primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi

polimerisasi sekaligus untuk kontrol hasil sekuensing karena urutan basa primer telah

diketahui. 

Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut dilakukan

elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi perbedaan migrasi

sesuai dengan ukurannya masing-masing. Setelah ukurannya diketahui, dilakukan


pengurutan fragmen mulai dari yang paling pendek hingga yang paling panjang, yaitu

fragmen dengan ujung C (satu basa) hingga fragmen dengan ujung G (sembilan basa).

Dengan demikian, hasil sekuensing yang diperoleh adalah CCACGTATG. Urutan basa

DNA yang dicari adalah urutan yang komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu

GGTGCATAC. 

Gambar 13.1. Skema sekuensing DNA

a)      reaksi polimerisasi dan terminasi

b)      PAGE untuk melihat ukuran fragmen

Pangkalan Data Sekuens DNA

Selama bertahun-tahun telah banyak sekuens DNA yang ditentukan oleh para ilmuwan

di seluruh dunia, dan saat ini kebanyakan jurnal ilmiah mempersyaratkan penyerahan

sekuens DNA terlebih dahulu untuk keperluan pangkalan data publik sebelum mereka

menerima naskah selengkapnya dari para penulis/ilmuwan. Pengelola pangkalan data

akan saling bertukar informasi tentang sekuens-sekuens yang terkumpul dan

menyediakannya untuk akses publik sehingga semua pangkalan data yang ada akan

menjadi nara sumber yang sangat bermanfaat.

Sekuens-sekuens baru terus bertambah dengan kecepatan yang kian meningkat.

Begitu pula, sejumlah perangkat lunak komputer diperlukan agar data yang tersedia

dapat dimanfaatkan dengan lebih baik.


EMBL di Eropa dan GenBank di Amerika Serikat merupakan dua pangkalan data

sekuens DNA terbesar di dunia. Selain sekuens DNA, mereka juga mengelola data

sekuens RNA dan protein. Sementara itu, beberapa perusahaan mempunyai pangkalan

data sekuens DNA sendiri.

Ketika sekuens suatu fragmen DNA telah diketahui, hanya ada sedikit sekali gambaran

yang dapat diperoleh dari sekuens tersebut. Analisis sekuens perlu dilakukan untuk

mengetahui beberapa karakteristik pentingnya seperti peta restriksi, rangka baca,

kodon awal dan kodon akhir, atau kemungkinan tempat promoternya. Di samping itu,

perlu juga dipelajari hubungan kekerabatan suatu sekuens baru dengan beberapa

sekuens lainnya yang telah terlebih dahulu diketahui. Biasanya, analisis semacam itu

dilakukan menggunakan paket-paket perangkat lunak, misalnya paket GCG

Universitas Wisconsin dan DNAstar.

Proyek-proyek Sekuensing Genom

Sejalan dengan berkembangnya mesin-mesin sekuensing DNA automatis (automatic

DNA sequencer), sejumlah organisasi telah memberikan perhatian dan dukungan dana

bagi penentuan sekuens genom berbagai spesies organisme penting. Beberapa genom

yang ukurannya sangat kecil seperti genom virus HIV dan fag λ telah disekuens

seluruhnya. Genom sejumlah bakteri, misalnya E. coli (4,6 x 106 pb), dan khamir

Saccharomyces cerevisiae (2,3 x 107 pb) juga telah selesai disekuens. Sementara itu,

proyek sekuensing genom tanaman Arabidopsis thaliana (6,4 x 107 pb) dan nematoda 

Caenorhabditis elegans saat ini masih berlangsung. Proyek Genom Manusia (Human

Genom Project), yang diluncurkan pada tahun 1990 dan sebenarnya diharapkan selesai
pada tahun 2005, ternyata berakhir dua tahun lebih cepat daripada jadwal yang telah

ditentukan.

Pada genom manusia dan genom-genom lain yang berukuran besar biasanya

dilakukan pemetaan kromosom terlebih dahulu untuk mengetahui lokus-lokus gen pada

tiap kromosom. Selanjutnya, perpustakaan gen untuk suatu kromosom dikonstruksi

menggunakan vektor YACs (lihat Bab XI) dan klon-klon YACs yang saling tumpang

tindih diisolasi hingga panjang total kromosom tersebut akan tercakup. Demikian

seterusnya untuk kromosom-kromosom yang lain hingga akhirnya akan diperoleh

sekuens genom total yang sambung-menyambung dari satu kromosom ke kromosom

berikutnya

Organism transgenic

Dalam bab ini akan dibicarakan manfaat aplikasi teknologi DNA rekombinan dalam

berbagai bidang kehidupan manusia beserta sejumlah permasalahan yang timbul

dalam pemanfaatan produk teknologi tersebut. Setelah mempelajari pokok bahasan di

dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang dihasilkannya, dan

2. permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan produk teknologi DNA

rekombinan.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok

bahasan ini dengan lebih baik adalah konsep dasar teknologi DNA rekombinan beserta

tahapan-tahapan kloning gen seperti telah dibahas pada Bab IX. Selain itu,
pengetahuan tentang vektor kloning, khususnya untuk eukariot tingkat tinggi seperti

yang diberikan pada Bab XI, juga sangat membantu pemahaman materi bahasan pada

bab ini.

Pemanfaatan Organisme Transgenik dan Produk yang Dihasilkannya

Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan revolusi baru

dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai revolusi gen. Produk

teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme hasil modifikasi

genetik (OHMG), yang dalam bahasa Inggris disebut dengan genetically modified

organism (GMO). Namun, sering kali pula aplikasi teknologi DNA rekombinan bukan

berupa pemanfaatan langsung organisme transgeniknya, melainkan produk yang

dihasilkan oleh organisme transgenik. Dewasa ini cukup banyak organisme transgenik

atau pun produknya yang dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Beberapa di

antaranya bahkan telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh pemanfaatan organisme transgenik dan

produk yang dihasilkannya dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

1.      Pertanian

Aplikasi teknologi DNA rekombinan di bidang pertanian berkembang pesat dengan

dimungkinkannya transfer gen asing ke dalam tanaman dengan bantuan bakteri

Agrobacterium tumefaciens (lihat Bab XI). Melalui cara ini telah berhasil diperoleh

sejumlah tanaman transgenik seperti tomat dan tembakau dengan sifat-sifat yang
diinginkan, misalnya perlambatan kematangan buah dan resistensi terhadap hama dan

penyakit tertentu.

Pada tahun 1996 luas areal untuk tanaman transgenik di seluruh dunia telah mencapai

1,7 ha, dan tiga tahun kemudian meningkat menjadi hampir 40 juta ha. Negara- negara

yang melakukan penanaman tersebut antara lain Amerika Serikat (28,7 juta ha),

Argentina (6,7 juta ha), Kanada (4 juta ha), Cina (0,3 juta ha), Australia (0,1 juta ha),

dan Afrika Selatan (0,1 juta ha). Indonesia sendiri pada tahun 1999 telah mengimpor

produk pertanian tanaman pangan transgenik berupa kedelai sebanyak 1,09 juta ton,

bungkil kedelai 780.000 ton, dan jagung 687.000 ton. Pengembangan tanaman

transgenik di Indonesia meliputi jagung (Jawa Tengah), kapas (Jawa Tengah dan

Sulawesi Selatan), kedelai, kentang, dan padi (Jawa Tengah). Sementara itu, tanaman

transgenik lainnya yang masih dalam tahap penelitian di Indonesia adalah kacang

tanah, kakao, tebu, tembakau, dan ubi jalar.

Di bidang peternakan hampir seluruh faktor produksi telah tersentuh oleh teknologi DNA

rekombinan, misalnya penurunan morbiditas penyakit ternak serta perbaikan kualitas

pakan dan bibit. Vaksin-vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada sapi, rabies pada

anjing, blue tongue pada domba, white-diarrhea pada babi, dan fish-fibrosis pada ikan

telah diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Di samping itu, juga telah

dihasilkan hormon pertumbuhan untuk sapi (recombinant bovine somatotropine atau

rBST), babi (recombinant porcine somatotropine atau rPST), dan ayam (chicken growth

hormone). Penemuan ternak transgenik yang paling menggegerkan dunia adalah ketika

keberhasilan kloning domba Dolly diumumkan pada tanggal 23 Februari 1997.


Pada dasarnya rekayasa genetika di bidang pertanian bertujuan untuk menciptakan

ketahanan pangan suatu negara dengan cara meningkatkan produksi, kualitas, dan

upaya penanganan pascapanen serta prosesing hasil pertanian. Peningkatkan produksi

pangan melalui revolusi gen ini ternyata memperlihatkan hasil yang jauh melampaui

produksi pangan yang dicapai dalam era revolusi hijau. Di samping itu, kualitas gizi

serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga secara ekonomi

memberikan keuntungan yang cukup nyata. Adapun dampak positif yang sebenarnya

diharapkan akan menyertai penemuan produk pangan hasil rekayasa genetika adalah

terciptanya keanekaragaman hayati yang lebih tinggi. 

2.      Perkebunan, kehutanan, dan florikultur

Perkebunan kelapa sawit transgenik dengan minyak sawit yang kadar karotennya lebih

tinggi saat ini mulai dirintis pengembangannya. Begitu pula, telah dikembangkan

perkebunan karet transgenik dengan kadar protein lateks yang lebih tinggi dan

perkebunan kapas transgenik yang mampu menghasilkan serat kapas berwarna yang

lebih kuat.

Di bidang kehutanan telah dikembangkan tanaman jati transgenik, yang memiliki

struktur kayu lebih baik. Sementara itu, di bidang florikultur antara lain telah diperoleh

tanaman anggrek transgenik dengan masa kesegaran bunga yang lama. Demikian

pula, telah dapat dihasilkan beberapa jenis tanaman bunga transgenik lainnya dengan

warna bunga yang diinginkan dan masa kesegaran bunga yang lebih panjang.
Sentuhan teknologi DNA rekombinan pada florikultur antara lain dilakukan dengan

mengisolasi dan memanipulasi gen biru dan gen etilen biru sesuai dengan tujuan yang

dikehendaki. Di Amerika Serikat dan Eropa bibit violet carnation akan diproduksi melalui

teknik rekayasa genetika. Bibit violet carnation transgenik ini disebut dengan

moonshadow. Bunga moonshadow memiliki sangat sedikit benang sari, dan bahkan

sesudah dipotong bunga tidak mempunyai benang sari lagi sehingga kemungkinan

perpindahan gen ke tanaman lain dapat dicegah.

3.      Kesehatan

Di bidang kesehatan, rekayasa genetika terbukti mampu menghasilkan berbagai jenis

obat dengan kualitas yang lebih baik sehingga memberikan harapan dalam upaya

penyembuhan sejumlah penyakit di masa mendatang. Bahan-bahan untuk

mendiagnosis berbagai macam penyakit dengan lebih akurat juga telah dapat

dihasilkan. 

Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk industri farmasi

penting seperti insulin, interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan dengan cara

yang lebih efisien. Hal ini karena gen yang bertanggung jawab atas sintesis produk-

produk tersebut diklon ke dalam sel inang bakteri tertentu yang sangat cepat

pertumbuhannya dan hanya memerlukan cara kultivasi biasa.

Berbagai macam vaksin juga telah diproduksi menggunakan teknik rekayasa genetika,

misalnya vaksin herpes, vaksin hepatitis B, vaksin lepra, vaksin malaria, dan vaksin

kolera. Kecuali vaksin kolera, vaksin-vaksin tersebut dapat diproduksi dengan lebih
efisien dan dalam jumlah yang lebih besar daripada produksi secara konvensional.

Penggunaan vaksin malaria sangat diperlukan karena banyak nyamuk malaria yang

saat ini sudah resisten terhadap DDT.

Contoh lain kontribusi potensial rekayasa genetika di bidang kesehatan yang hingga

kini masih menjadi tantangan besar bagi para peneliti dari kalangan kedokteran dan ahli

biologi molekuler adalah upaya terapi gen untuk mengatasi penyakit-penyakit seperti

kanker dan sindrom hilangnya kekebalan bawaan atau acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS). Begitu juga, berkembangnya resistensi bakteri patogen terhadap

antibiotik masih membuka peluang penelitian rekayasa genetika di bidang kesehatan.

4.      Lingkungan

Rekayasa genetika ternyata sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam upaya

penyelamatan keanekaragaman hayati, bahkan dalam bioremidiasi lingkungan yang

sudah terlanjur rusak. Dewasa ini berbagai strain bakteri yang dapat digunakan untuk

membersihkan lingkungan dari bermacam-macam faktor pencemaran telah ditemukan

dan diproduksi dalam skala industri. Sebagai contoh, sejumlah pantai di salah satu

negara industri dilaporkan telah tercemari oleh metilmerkuri yang bersifat racun keras

baik bagi hewan maupun manusia meskipun dalam konsentrasi yang kecil sekali.

Detoksifikasi logam air raksa (merkuri) organik ini dilakukan menggunakan tanaman

Arabidopsis thaliana transgenik yang membawa gen bakteri tertentu yang dapat

menghasilkan produk untuk mendetoksifikasi air raksa organik.

5.       Industri
Pada industri pengolahan pangan, misalnya pada pembuatan keju, enzim renet yang

digunakan juga merupakan produk organisme transgenik. Hampir 40% keju keras (hard

cheese) yang diproduksi di Amerika Serikat menggunakan enzim yang berasal dari

organisme transgenik. Demikian pula, bahan-bahan food additive seperti penambah cita

rasa makanan, pengawet makanan, pewarna pangan, pengental pangan, dan

sebagainya saat ini banyak menggunakan produk organisme transgenik.

Permasalahan dalam Pemanfaatan Produk Teknologi DNA Rekombinan

Meskipun terlihat begitu besar memberikan manfaat dalam berbagai bidang kehidupan

manusia, produk teknologi DNA rekombinan (organisme transgenik beserta produk

yang dihasilkannya) telah memicu sejumlah perdebatan yang menarik sekaligus

kontroversial apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang. Kontroversi pemanfaatan

produk rekayasa genetika antara lain dapat dilihat dari aspek sosial, ekonomi,

kesehatan, dan lingkungan.

Aspek sosial

1.       Aspek agama

Penggunaan gen yang berasal dari babi untuk memproduksi bahan makanan dengan

sendirinya akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemeluk agama Islam.

Demikian pula, penggunaan gen dari hewan dalam rangka meningkatkan produksi

bahan makanan akan menimbulkan kekhawatiran bagi kaum vegetarian, yang

mempunyai keyakinan tidak boleh mengonsumsi produk hewani. Sementara itu, kloning

manusia, baik parsial (hanya organ-organ tertentu) maupun seutuhnya, apabila telah
berhasil menjadi kenyataan akan mengundang kontroversi, baik dari segi agama

maupun nilai-nilai moral kemanusiaan universal. Demikian juga,  xenotransplantasi

(transplantasi organ hewan ke tubuh manusia) serta kloning stem cell dari embrio

manusia untuk kepentingan medis juga dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran

terhadap norma agama.

2.       Aspek etika dan estetika

Penggunaan bakteri E coli sebagai sel inang bagi gen tertentu yang akan diekspresikan

produknya dalam skala industri, misalnya industri pangan, akan terasa menjijikkan bagi

sebagian masyarakat yang hendak mengonsumsi pangan tersebut. Hal ini karena E

coli merupakan bakteri yang secara alami menghuni kolon manusia sehingga pada

umumnya diisolasi dari tinja manusia.

Aspek ekonomi

Berbagai komoditas pertanian hasil rekayasa genetika telah memberikan ancaman

persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional.

Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan derajad kemanisan

jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas menimbulkan

kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang menggunakan bahan alami.

Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari tanaman rapeseeds transgenik dapat

berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan produksi dari kelapa atau kelapa sawit

sehingga mengancam eksistensi industri minyak goreng konvensional. Di bidang

peternakan, enzim yang dihasilkan oleh organisme transgenik dapat memberikan


kandungan protein hewani yang lebih tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam

keberadaan pabrik-pabrik tepung ikan, tepung daging, dan tepung tulang.

Aspek kesehatan

1.      Potensi toksisitas bahan pangan

Dengan terjadinya transfer genetik di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul

bahan kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan

pangan. Sebagai contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak

pernah berlangsung secara alami, berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang

membahayakan kesehatan. Rekayasa genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat

mengintroduksi alergen atau toksin baru yang semula tidak pernah dijumpai pada

bahan pangan konvensional. Di antara kedelai transgenik, misalnya, pernah dilaporkan

adanya kasus reaksi alergi yang serius. Begitu pula, pernah ditemukan kontaminan

toksik dari bakteri transgenik yang digunakan untuk menghasilkan pelengkap makanan

(food supplement) triptofan. Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak

pernah terbayangkan terkait dengan akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan,

atau mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya

genetik lainnya di dalam pangan manusia.

Beberapa organisme transgenik telah ditarik dari peredaran karena terjadinya

peningkatan kadar bahan toksik. Kentang Lenape (Amerika Serikat dan Kanada) dan

kentang Magnum Bonum (Swedia) diketahui mempunyai kadar glikoalkaloid yang tinggi

di dalam umbinya. Demikian pula, tanaman seleri transgenik (Amerika Serikat) yang
resisten terhadap serangga ternyata memiliki kadar psoralen, suatu karsinogen, yang

tinggi.

2.      Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan

WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia

baru, baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya, berpotensi

menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi penyakit lain. Sebagai

contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik dapat berpindah ke bakteri

penyebab kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae. Akibatnya, bakteri ini menjadi

kebal terhadap antibiotik streptomisin dan spektinomisin. Padahal, selama ini hanya

dua macam antibiotik itulah yang dapat mematikan bakteri tersebut. Oleh karena itu,

penyakit GO dikhawatirkan tidak dapat diobati lagi dengan adanya kapas transgenik.

Dianjurkan pada wanita penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari bahan kapas

transgenik.

Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui menghasilkan lateks dengan

kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam pembuatan sarung tangan dan

kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik. Namun, di Amerika Serikat pada

tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita alergi akibat pemakaian sarung

tangan dan kondom dari bahan karet transgenik.

Selain pada manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan penyakit

pada hewan. A. Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa tikus percobaan

yang diberi pakan kentang transgenik memperlihatkan gejala kekerdilan dan


imunodepresi. Fenomena yang serupa dijumpai pada ternak unggas di Indonesia, yang

diberi pakan jagung pipil dan bungkil kedelai impor. Jagung dan bungkil kedelai tersebut

diimpor dari negara-negara yang telah mengembangkan berbagai tanaman transgenik

sehingga diduga kuat bahwa kedua tanaman tersebut merupakan tanaman transgenik.

Aspek lingkungan

1.      Potensi erosi plasma nutfah

Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan

tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah

tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai

contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek

pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies

kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan

gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma nutfah kupu-kupu

tersebut. Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam jagung Bt

dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang berada pada

jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja

sehingga larva kupu-kupu raja yang memakan daun gulma milkweed yang telah

kemasukan gen resisten pestisida tersebut akan mengalami kematian. Dengan

demikian, telah terjadi kematian organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat

memberikan ancaman bagi eksistensi plasma nutfahnya.

2.      Potensi pergeseran gen


Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera setelah

10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme dan

organisme tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah

mengalami pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi

kemudian dapat juga mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman

tomat transgenik semacam ini dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur

tanah di areal pertanamannya.

3.      Potensi pergeseran ekologi

Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang

pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat

memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap

faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat

menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi. 

Tanaman transgenik dapat menghasilkan protease inhibitor di dalam sari bunga

sehingga lebah madu tidak dapat membedakan bau berbagai sari bunga. Hal ini akan

mengakibatkan gangguan ekosistem lebah madu di samping juga terjadi gangguan

terhadap madu yang diproduksi.

4.      Potensi terbentuknya barrier species

Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan terbentuknya barrier

species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan

adalah terbentuknya superpatogenitas pada mikroorganisme.


5.      Potensi mudah diserang penyakit

Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan kompetisi dengan

gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan

yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman transgenik berpotensi mudah diserang

penyakit dan lebih disukai oleh serangga.

Sebagai contoh, penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap herbisida

akan mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya, akan makin

banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman tersebut. Dengan

perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis mikroorganisme yang menyerang

tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi, tanaman transgenik tahan herbisida justru

memerlukan penggunaan pestisida yang lebih banyak, yang dengan sendirinya akan

menimbulkan masalah tersendiri bagi lingkungan.

You might also like