You are on page 1of 12

KEDARURATAN ORAL MEDICINE

A. Erythema Multiforme

Etiologi

Erythema multiforme merupakan reaksi yang disebabkan oleh


hipersensitivitas yang timbul baik secara ringan maupun berat yang terjadi
pada kulit maupun membran mukosa, pada banyak kasus biasanya eritema
multiform ini muncul karena adanya faktor lain yang menginisiasi. Faktor-
faktor tersebut adalah infeksi, obat-obat tertentu, kondisi gastrointestinal, dan
kondisi lainnya seperti malignansi, terapi radiasi, dan vaksinasi.

Patogenesis

Patogenesis dari eritema multiform ini masih banyak yang belum diketahui. Menurut
penelitian, pengaruh dari imun dapat menyebabkan infeksi ini, selain itu juga dapat
disebabkan oleh herpes, mycoplasma, dan reaksi alergi dari penggunaan obat. Bagian
permukaan epithelium dan dinding pembuluh darah pada lamina propia merupakan target
serangan dari eritema multiform ini.

Erythema multiforme memiliki tiga bentuk yaitu:

1. Erythema multiforme minor

Erythema multiforme minor adalah penyakit yang biasa menyerang bagian


kulit, 25% kasus menyerang mukosa mulut. Sebelum munculnya lesi, biasanya
dalam 3 sampai 7 hari, yang merupakan tahap prodormal, penderita akan demam,
malaise, dan sakit kepala.
Pada tahap awal penyakit ini terdapat gambaran klinis dimana terdapat lesi
stomatitis dan kutan, dimana tanda berupa macula cincin, merah putih, konsentrik,
berukuran 0,5 sampai 2 cm disebut lesi “target”, ”mata sapi”, atau “iris” yang
timbul cepat pada permukaan ekstensor lengan dan kaki, lutut dan telapak tangan.
Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri dalam jangka waktu 2-3 minggu, tetapi
perawatan dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan.

Gambaran khas bentuk iris (target lesion):

a. Tipe makulaeritem

Bagian tengah berupa vesikel atau eritem keunguan dikelilingi


lingkaran kosentris yang pucat dan kemudian lingkaran merah.

b. Tipe vesikobulosa

Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian


timbul lesi vesiko-bulosa di tengahnya.

Eritema multiform pada palatum Eritema multiform pada bibir


2. Erythema multiforme minor kronik

Erythema multiforme minor kronis di mana penderita penyakit ini akan


mengalami proses lesi yang berkelanjutan dalam jangka satu sampai beberapa
tahun. Lesi tersebut mirip pada penderita erythema multiforme minor dan
perkembangan dari lesi tersebut cenderung akan menghilang dan timbul lagi
daripada bertambah ukuranya. Biasanya dilakukan biopsi pada bagian ini untuk
mengetahui faktor penyebab dari erythema multiforme minor kronis ini.

3. Erythema multiforme major

Erythema multiforme major merupakan penyakit akut yang jarang diketahui


dan banyak ditemukan pada orang dewasa muda yang biasa dikenal dengan nama
SJS (Steven Johnson Syndrome) di mana kondisi selanjutnya berupa TEN (Toxic
Epidermal Necrolysis) dia bersifat lebih berat dengan tingkat kematian yang lebih
tinggi.

Perawatan

Kasus ringan dari eritema multiform oral dapat dirawat hanya dengan perawatan
suportif saja, termasuk anestesi topikal, kumur-kumur, dan soft/liquid diet. Pada erythema
multiforme menengah sampai parah dapat dirawat dengan pemakaian kortikosteroid sitemik
secara singkat tanpa kontraindikasi yang signifikan. Pasien anak kecil dapat diberikan steroid
secara sistemik, sedangkan pada orang dewasa dapat diberikan steroid sistemik dengan
jangka waktu pendek. Untuk pasien recurrent dapat diberikan dapsone, azathioprine,
levamisole, atau thalidomide. Pada kasus yang resisten, oophorectomy dapat dilakukan.

B. Steven Johnson Syndrome

Etiopatogenesis

SJS dapat disebabkan oleh obat-obatan di mana penyakit akan diikuti dengan TEN
yang sifatnya lebih parah. Tanda histopatologi dari SJS-TEN adalah nekrosis epidermal.
Beberapa obat yang seringkali mengimplikasikan SJS-TEN adalah sulfa drugs, allopurinol,
hydantoins, dan carbamazepine. Patogenesis yang tepat masih belum diketahui, tapi mungkin
lebih karena respon imun.

Manifestasi Klinis

Pasien SJS memiliki manifestasi klinis berupa permukaan kulit dan mukosa yang
lunak dan kemerahan (erythema) dan dapat meluas. Oleh karena itu penyakit ini mengancam
jiwa disebabkan oleh keterlibatan dari banyak sistem (multisystem involvement).

Prodormal sistemik seperti berupa demam, batuk, sore throat, arthalgia, myalgia,
diare, dan lain lain dapat mengawali terjadinya bullae dan erosi pada membran mukosa.

Mukosa oral terlibat dengan pembentukan bullae yang meluas diikuti dengan erosi
yang sangat sakit ditutupi oleh pseudomembran yang bewarna putih keabu-abuan atau
pseudomembran yang hemoragik.

Perawatan

Dosis besar dari steroid sistemik dan antibiotik biasanya dibutuhkan. Agen-agen yang
mendorong terjadinya SJS harus dihilangkan. Pasien dapat dimasukkan ke Intensive Care
Unit (ICU) atau burn unit untuk dilakukan penanganan yang secepatnya. Cairan intravena
harus diberikan pada pasien dengan luka bakar yang tebal, dan dilakukan debridement pada
epidermis yang devital, perawatan kulit pada luka dengan tipe luka bakar, monitoring, dan
perawatan secara cepat pada semua infeksi termasuk sepsis.
C. TEN

Etiopatogenesis

TEN merupakan penyakit kulit yang parah dengan angkat mortalitas yang tinggi dan
dikarakteristikan dengan erupsi yang meluas dan pelepasan dari epidermis yang nekrosis.

Manifestasi Klinis

Pasien dengan TEN melaporkan fase prodormal dapat berupa demam, gejala pada
traktus respiratorius bagian atas, conjunctival burning, dan skin tenderness yang bersamaan
dengan demam, sakit kepalam sakit pada otot dan persendian, nausea, vomiting, dan diare.
Manifestasi kulit pada pasien TEN bersifat akut dan berkembang dengan sangat cepat.

Patofisiologi

Sebab terjadinya TEN yang utama adalah obat-obatan seperti antibiotik, sulfonamide,
sulfone, nonopiate analgesic, NSAIDs, dan obat-obatan antiepilepsi. Infeksi virus, bakteri,
dan fungi, penyakit ganas, dan radiasi juga dapat menyebabkan terjadinya TEN. Patogenesis
dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, dan mekanisme dari imun merupakan
hal yang paling memungkinkan terjadinya TEN.
Perawatan

Perawatannnya dapat berupa steroid sistemik, antibiotik, cairan dan elektrolit. Pasien
dapat dikirim ke unit dermatologis atau burn unit. Pasien dengan keterlibatan TEN pada oral
seringkali mengalami resiko dehidrasi dan malnutrisi, dan manajemen cairan menjadi kritis.
Antibiotik harus dimulai secara empiris apabila terdapat tanda-tanda infeksi. Perawatan
streroid sistemik merupakan perawatan yang kontroversial dan intravenous immunoglobulin
G (IVIG) telah diusulkan untuk menjadi terapi adjunctif.

D. Reaksi Alergi

Reaksi alergi adalah reaksi antara antigen dan antibodi yang menyebabkan pelepasan
histamin dan slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). substansi ini menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga leukosit meninggalkan
pembuluh darah dan berkumpul di jaringan, menimbulkan edema.

Reaksi anafilaksis dapat bersifat lokal dan general. Reaksi anafilaksis general
merupakan keadaan gawat darurat. Mekanisme reaksi anafilaksis adalah reaksi antibodi IgE
pada suatu allergen, sehingga melepaskan histamin, bradykinin, dan SRS-A. mediator kimia
ini menyebabkan kontraksi otot polos pada sistem pernapasan dan saluran pencernaan, begitu
juga dengan permeabilitas pembuluh darah.

Faktor-faktor yang meningkatkan resiko anafilaksis pada pasien:

1. Riwayat alergi pada obat atau makanan


2. Riwayat asthma
3. Riwayat keluarga alergi
4. Administrasi obat secara parenteral
5. Administrasi beresiko tinggi sebagai allergen seperti penicillin.

Reaksi anafilaksis dapat terjadi beberapa detik setelah obat diadministrasikan atau
dapat juga terjadi 30-40 menit kemudian, membuat komplikasi diagnosis. Gejala anafilaksis
general harus diketahui agar perawatan yang tepat dapat dilakukan. Reaksi anafilaksis general
dapat mempengaruhi kulit, sistem jantung dan peredaran darah, sistem pencernaan, dan
sistem pernapasan.

Tanda pertama terlihat pada kulit dan seperti yang terjadi pada anafilaksis lokal
(urticaria, angioedema, erythema, dan pruritus). Gejala pernapasan yang terjadi meliputi
dyspnea, wheezing, dan asthma. Pada GI tract terjadi vomitting, kram, dan diare, terkadang
menyertai gejala pada kulit. Jika hal ini tidak ditangani, gejala hipotensi muncul akibat
kekurangan cairan intravaskular, jika hal ini tidak ditangani juga, akan menyebabkan syok.
Pasien dengan reaksi anafilaksis memiliki resiko kematian akibat gagal pernapasan, syok
hipotensif, atau edema laryng.

Penatalaksanaan

Yang harus kita lakukan bila berhadapan dengan penderita syok anafilaksis:

1. Posisi: Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman dengan posisi kaki
ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang baik dan jangan
lupa melonggarkan pakaian.
2. Airways: Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 I/menit, dan jika
penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.

3. Intravena access: Pasang IV line dengan cairan NaCl 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1
liter/30 menit

4. Drug: Epinefrin/adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan


diberikan sesgera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turun <
90 MmHg). Namun harus hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari
memang hipotensi.

Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.

Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak


dosis : 0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal 0,4 ml/dose).

Bila anafilaksis berat atau tidak respon dengan pemberian dengan cara SK/IM
pemberian epinefrin/adrenalin dapat langsung melalui intavena atau intratekal (bila pasien
sudah dilakukan intubasi melalui ETT) dengan dosis 1-5 ml. Selain pemberian
epinefrin/adrenalin pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk mengontrol keluhan
yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi yang terjadi.

Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan first line therapy.
Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih berefek untuk jangka panjang.
Dapat diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal prednisolon 50-100 mg IV. Bila
terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat diberikan aminophylin.

Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan harus diobservasi minimal 6 jam


atau dirujuk ke RS bila belum menujukan respons.

E. Pemphigus Vulgaris

Pemphigus vulgaris merupakan kelainan autoimun, di mana system imun tubuh


menyerang protein-protein pada kulit. Pemphigus biasanya terjadi pada remaja dan orangtua.
Banyak kasus pemphigus vulgaris yang diawali dengan blister di mulut yang kemudian
diikuti blister pada kulit. Blister timbul secara asimptomatik, tetapi lesi akan menyebar dan
komplikasi sering terjadi, dapat menyebabkan debilitasi (penurunan imun) dan dapat pula
berakibat fatal.

PV merupakan bentuk pemphigus yang paling sering terjadi, sekitar 80% kasus. Telah
dilaporkan bahwa pemphigus dalam waktu yang bersamaan dengan penyakit autoimun
lainnya, terutama myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma juga memiliki insidensi tinggi
untuk mengalami pemphigus. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan terjadi pada pasien
dengan kelainan autoimun multiple atau pada pasien yang mengalami neoplasma seperti
lymphoma. Kematian biasanya terjadi pada pasien yang tua dan pada pasien yang
membutuhkan dosis kortikosteroid yang tinggi yang mana akan menambah infeksi dan
septikemia yang disebabkan oleh bakteri, terutama oleh Staphylococcus aureus.

Manifestasi klinis

Lesi klasik dari pemphigus adalah bulla berdinding tipis yang timbul pada kulit yang
normal atau mukosa. Bulla secara terus menerus merusak tetapi selanjutnya memanjang ke
sekeliling, dan kemudian meninggalkan daerah luas kulit yang gundul. Ciri-ciri utama dari
penyakit ini diperoleh dengan memberikan tekanan pada bulla. Pada pasien dengan PV, bulla
diperbesar oleh perluasan permukaan normal. Ciri-ciri lain dari penyakit ini adalah tekanan
pada daerah normal akan menghasilkan pembentukan bulla baru. Kejadian ini, disebut
Nikolsky sign, biasanya berhubungan dengan pemphigus tetapi juga dapat terjadi pada
epidermolisis bullosa.

Beberapa pasien dengan pemphigus dapat terjadi secara akut, tetapi pada kebanyakan
kasus, penyakit ini terjadi secara lebih lambat, biasanya memerlukan waktu berbulan-bulan
untuk berkembang sampai tingkat sempurna.
Manifestasi oral

80-90% dari pasien dengan pemphigus vulgaris terkadang timbul lesi oral selama
masa sakitnya, dan pada 60% kasus, lesi oral merupakan tanda pertamanya. Lesi oral dapat
timbul sebagai bulla klasik pada dasar non inflamasi; lebih sering lagi, dokter melihat ulser
dangkal yang irregular, hal ini dikarenakan oleh pecahnya bulla secara terus menerus.
Lapisan tipis epithelium mengelupas dalam pola yang irregular, meninggalkan dasar yang
gundul. Tepi lesi memanjang ke sekelilingnya selama beberapa minggu sampai mencapai
bagian yang lebar di mukosa oral. Lesi paling sering terjadi pada mukosa bukal, biasanya
pada daerah yang mengalami trauma pada sepanjang bidang oklusal. Palatum dan gingival
merupakan lokasi lesi lainnya.

Biasanya lesi oral muncul sekitar 4 bulan sebelum timbulnya lesi pada kulit. Jika
perawatan dimulai selama masa ini, penyakitnya akan lebih mudah untuk dikontrol, dan
kemungkinan untuk remisi awal dari kelainan ini tinggi. Biasanya, diagnosis awal
terlewatkan, dan lesi salah diagnosa menjadi infeksi herpes atau candidiasis. Jika riwayat
penyakit dilihat, dokter pasti mampu untuk membedakan lesi pemphigus dari lesi lainnya
dalam kategori RAS. Lesi RAS dapat menjadi parah, tetapi lesi individual dapat disembuhkan
dan timbul kembali. Pada pemphigus, lesi yang sama berlanjut meluas ke sekelilingnya dalam
waktu mingguan sampai bulanan. Lesi pemphigus tidaklah bulat dan simetris seperti lesi
RAS, tetapi lesinya dangkal dan iregular dan terkadang melepaskan epitelium pada bagian
perifernya. Pada tahap awal penyakit, pengelupasan pada epitel oral menyerupai mengelupas
kulit yang terjadi setelah terbakar sinar matahari yang parah. Pada beberapa kasus, lesi
dimulai pada gingiva dan dikenal dengan nama desquamative gingivitis. Harus diingat bahwa
desquamative gingivitis bukan diagnosanya sendiri, lesi ini harus dibiopsi untuk mengetahui
kemungkinan lesi ini adalah PV, pemphigus bullous, pemphigoid membran mukosa, dan
lichen planus yag erosif. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui tes laboratorium.

Perawatan

Aspek penting dari tatalaksana pasien adalah diagnosis awalnya, di mana dosis
pengobatan yang rendah dapat digunakan pada periode waktu yang pendek untuk mengontrol
penyakit. Alur utama dari pengobatan adalah dosis yang tinggi dari kortikosteroid sistemik,
biasanya diberikan dalam dosis 1-2 mg/kg/d. Saat steroid harus digunakan untuk periode
waktu yang lama, adjuvant seperti azathioprine atau cyclophosphamide ditambahkan untuk
mengurangi komplikasi dari terapi kortikosteroid jangka panjang.

Tidak ada perawatan yang diterima untuk pemphigus pada mulut, tetapi pada 5 tahun
pertama penelitian dari perawatan oral pemphigusmemperlihatkan tidak adanya keuntungan
tambahan dari penambahan cyclophosphamide atau cyclosporine pada prednison
dibandingkan dengan pengobatan yang menggunakan prednison saja, dan hal ini
memperlihatkan angka komplikasi yang lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan obat-
obatan immunosupresif.

Terapi lainnya yang bermanfaat adalah penggunaan terapi emas parenteral, dapsone,
tetrasiklin, dan plasmapheresis. Plasmapheresis sangat berguna pada pasien yang sukar
disembuhkan dengan kortikosteroid. Terapi yang dijelaskan oleh Rook dan rekan-rekannya
termasuk di dalamnya adalah penggunaan 8-methoxypsoralen yang diikuti oleh pemaparan
darah perifer dengan menggunakan radiasi ultraviolet.
Daftar Pustaka

Burket, Lester William, Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship. 2008.
Burket's Oral Medicine 10th Edition. Ontario: BC Decker Inc.

Laskaris, G. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. New York: Thieme

Soames, J. V and J.C. Southam. 2005. Oral Pathology 4th edition. New York: Oxford
University Press Inc.

http://dokterkwok.blog.com/2009/09/10/syok-anafilaksis-reaksi-anafilaksis/

http://www.dokteranakku.net/2010/05/reaksi-anafilaksis-alergi.html

You might also like