You are on page 1of 16

c c

   

  

Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan
istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberikan vaksin (antigen) yang dapat merangsang
pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam dalam tubuh. Imunitas secara
pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non
spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari
plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu.
Imunogloulin non spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga
memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari
kematian. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum
terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya
penyakit difteri, tetanus, hepatitis A dan B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada
suatu antigen berasal dari suatu patogen. Tujuannya adalah memberikan ³infeksi ringan´
yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila
terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena
tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk
tersebut.

Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu :

° ?ertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.


° Vaksinasi ˜ ˜ karena murah dan efektif.
° Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang
daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alamiah.

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi
penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan
pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh,
bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang
diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen
seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung
lebih lama karena adanya memori imunologik.





Mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan


penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar variola.

   

   !

?enyebaran masalah kesehatan berbeda untuk tiap individu, kelompok dan masyarakat
dibedakan atas tiga macam yaitu : Ciri-ciri manusia/karakteristik, tempat dan waktu. Salah
satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia
atau karakteristik .Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain: umur, jenis
kelamin, pendidikan, status perkawinan,status sosial ekonomi,ras/etnik,dan agama.
Sedangkan dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh
keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan. Selanjutnya
penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipengaruhi oleh kecepatan perjalanan
penyakit dan lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status
imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat,dalam hal ini
adalah jarak rumah dengan puskesmas/tempat pelayanan kesehatan.

  

Beberapa studi menemukan bahwa usia ibu, ras, pendidikan, dan status sosial ekonomi
berhubungan dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan
dengan status imunisasi anak mereka.
Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan
pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi (p < 0,05). ?enelitian ini menunjukkan
hasil yang sama dengan penelitian Lubis (1990;dalam Ali,Muhammad,2002).?enelitian
Salma ?adri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor utama yang berhubungan dengan
imunisasi campak adalah umur ibu (OR 2,53 95% CI: 1.21 -5.27). Selanjutnya hasil
penelitian Ibrahim D.?.(2001) menunjukkan bahwa karakteristik ibu yang erat hubungannya
dengan status imunisasi campak anak umur 9-36 bulan adalah: umur ibu yaitu umur ibu yang
dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.

!   ""

?endidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin
tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan
semakin diperhitungkan. ?eran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting.
Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.
?emahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan ibu.

Semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin


membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan
keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan semakin bertambah
dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi
untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ibu yang
berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran
lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di
sekolah.

˜  #$

Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan status sosial


ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu :a). Karena terdapatnya
perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau mendapatkan pelayanan
kesehatan, b). Karena terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku hidup yang
dimiliki.Status sosio ekonomi erat hubungannya dengan pekerjaan/jenisnya, pendapatan
keluarga, daerah tempat tinggal/geografis, kebiasaan hidup dan lain sebagainya
Selanjutnya Depkes RI (2000) menyebutkan komponen pendukung ibu melakukan
imunisasi dasar pada bayi antara lain kemampuan individu menggunakan pelayanan
kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan, sumber
pendapatan atau penghasilan.


   ! 

Tanggung jawab keluarga terutama para ibu terhadap imunisasi bayi/ balita sangat
memegang peranan penting sehingga akan diperoleh suatu manfaat terhadap keberhasilan
imunisasi serta peningkatan kesehatan anak. ?emanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi
oleh komponen-komponen pendorong yang menggambarkan faktor-faktor individu secara
tidak langsung berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan yang mencakup
beberapa faktor, terutama faktor pengetahuan ibu tentang kelengkapan status imunisasi dasar
bayi atau anak. Komponen pendukung antara lain kemampuan individu menggunakan
pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan, pengetahuan,
sumber pendapatan atau penghasilan. (Depkes RI, 2000)

Faktor pengetahuan memegang peranan penting dalam menjaga kebersihan dan hidup
sehat. Dengan adanya pendidikan dan pengetahuan mendorong kemauan dan kemampuan
yang ditujukan terutama kepada para ibu sebagai anggota masyarakat memberikan dorongan
dan motivasi untuk menggunakan sarana pelayanan kesehatan.

?engetahuan ibu dapat diperoleh dari pendidikan atau pengamatan serta informasi yang
didapat seseorang. ?engetahuan dapat menambah ilmu dari seseorang serta merupakan proses
dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-
perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas yang
dilakukan para ibu seperti dalam pelaksanaan imunisasi bayi tidak lain adalah hasil yang
diperoleh dari pendidikan.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi terlaksananya kegiatan


pelaksanaan imunisasi anak/ bayi, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Anak mempunyai kesempatan lebih besar untuk tidak diimunisasi lengkap bagi yang
ibunya tinggal di perdesaan, berpendidikan rendah, kurang pengetahuan, tidak memiliki KMS
(Kartu Menuju Sehat), tidak punya akses ke media massa ( surat kabar/majalah, radio, TV),
dan ayahnya berpendidikan SD ke bawah. Semakin banyak jumlah anak, semakin besar
kemungkinan seorang ibu tidak mengimunisasikan anaknya dengan lengkap. Semakin tinggi
tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat
pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan
berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan semakin
menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk
melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Hasil penelitian Ramli,M.R(1988) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh


terhadap kejadian drop out atau tidak lengkapnya status imunisasi bayi adalah : pengetahuan
ibu tentang imunisasi, faktor jumlah anak balita, faktor kepuasan ibu terhadap pelayanan
petugas imunisasi, faktor keterlibatan pamong dalam memotivasi ibu dan faktor jarak rumah
ke tempat pelayanan imunisasi.

Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan
sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang
kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang
tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan
kesehatan yang memadai tentang hal itu diberikan.?eran seorang ibu pada program imunisasi
sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk
kalangan tersebut.

%&˜˜

Macam-macam / jenis-jenis imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi pasif yang
merupakan kekebalan bawaan dari ibu terhadap penyakit dan imunisasi aktif di mana
kekebalannya harus didapat dari pemberian bibit penyakit lemah yang mudah dikalahkan
oleh kekebalan tubuh biasa guna membentuk antibodi terhadap penyakit yang sama baik yang
lemah maupun yang kuat.

'!()

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DT? dan campak.

%  & c*+

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG
pada umur antara 0-12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk
anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada
insersio M. Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini
mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan
lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur otot setempat.
Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi
tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya, dan merupakan vaksin hidup, maka
tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat
steroid jangka panjang, atau menderita HIV). Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji
tuberkulin negatif.

Untuk pemberian imunisasi BCG pertama-tama bersihkan lengan dengan kapas air.
Letakkan jarum hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum yang berlubang
menghadap keatas. Lalu suntikan 0,05 ml intra kutan, perhatikan apakah terdapat tahanan dan
benjolan kulit yang pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm. Suntikan diberikan
secara intrakutan, tetapi karena kulit bayi yang terlalu tipis suntikan terkadang terlalu dalam
(subkutan).

Terdapat 2 reaksi sesudah imunisasi BCG, yaitu :

1. Reaksi normal lokal

‡ 2 minggu indurasi, eritema, kemudian menjadi pustula

‡ 3-4 minggu pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)

‡ 8-12 minggu ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm.

2. Reaksi regional pada kelenjar

‡ Merupakan respon seluler pertahanan tubuh


‡ Kadang terjadi di kelj axila dan servikal (normal BCG-it is)

‡ Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi

‡ Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)

‡ Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan.

Setelah dilakukan penyuntikan BCG, bisa terjadi komplikasi, yaitu:

1. Abses di tempat suntikan

‡ Abses bersifat tenang (cold abses) tidak perlu terapi

‡ Oleh karena suntikan sub kutan

‡ Abses matang aspirasi

2. Limfadenitis supurativa

‡ Oleh karena suntikan sub kutan atau dosis tinggi

‡ Terjadi 2-6 bulan sesudah imunisasi

‡ Terapi tuberkulostatik mempercepat pengecilan.

Imunisasi BCG sebaiknya harus dilakukan kurang dari usia 2 bulan. Apabila
Imunisasi dilakukan pada bayi dengan usia >3 bulan harus dilakukan tes tuberkulin
(Mantoux). Tes ini untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan TBC. Dilakukan
dengan menyuntikkan 0,1 ml ??D di daerah flexor lengan bawah secara intra
kutan.?embacaan dilakukan setelah 48 ± 72 jam penyuntikan. Lalu diukur besarnya diameter
indurasi di tempat suntikan. Apabila:

‡ < 5 mm : negatif

‡ 6-9 mm : meragukan

‡ >10 mm : positif
Bila tes mantoux dinyatakan negatif, imunisasi dapat diberikan.

Kontraindikasi imunisasi BCG:

‡ Respon imunologik terganggu : infeksi HIV, def imun kongenital, leukemia, keganasan

‡ Respon imunologik tertekan: kortikosteroid, obat kanker, radiasi

‡ Kehamilan

%
& ,$ c

Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi
hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan
melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Jadwal imunisasi hepatitis B

° Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9 % ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko
penularan kepada bayinya sebesar 45%
° Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu
saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi
hepB-2 dengan hep-B 3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3
diberikan pada umur 3-6 bulan.
° Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAg ibu saat
melahirkan yaitu 1. ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, 2. Ibu HbsAg
positif, atau 3. Ibu HbsAg negatif.

Cara pemberian :

° ?ada anak vaksin diberikan secara intramuskular di daerah pangkal lengan atas(m.
deltoid), sedangkan pada bayi didaerah paha. Imunisasi ini diberikan sedini mungkin
segera setelah bayi lahir. Imunisasi dasar diberikan 3 kali.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB


° ?ada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak
memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi
oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

° fek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat
sementara, kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

% & -.-

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, 3

° O?V (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes oral


° I?V (inactivated polio vaccine),in-aktif suntikan

Jadwal pemberian imunisasi ?olio

° ?olio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman ??I sebagai tambahan untuk
mendpatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia
rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India,
Afganistan, Sudan)
° Untuk imunisasi dasar (polio-2,3,4) diberikan pada umur 2,4,6 bulan, interval antara
dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu

Dosis

° O?V diberikan 2 tetes peroral


° I?V diberikan 0,5 ml, intramuskular
° Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat
masuk sekolah (5-6 tahun)

Kontraindikasi :

° ?enyakit akut atau demam (suhu >38.50C ), vaksinasi harus ditunda


° Muntah atau diare berat, vaksinasi ditunda
° Dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun
suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum (termasuk kontak dengan pasien,
boleh diberikan IV?)
° Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial
(limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya
terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia
° Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak
° Walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, O?V jangan diberikan
kepada ibu hamil pada 4 bulan pertama kehamilan, kecuali terdapat alasan mendesak
misalnya berpergian ke daerah endemis poliomielitis
° VO? dapat diberikan bersama dengan vaksin activated dan virus hidup lainnya, tetapi
jangan bersama vaksin oral tifoid.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

° Setelah divaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan,
dan nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejala yang timbul
setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.
° Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien
(VAPP = ˜˜   ˜
p  p  ˜) maupun yang kontak dengan virus yang
menjadi neurovirulen. (VD?V = ˜˜ 
 
p   )
° Kasus VA?? terjadi kira-kira 1 kasus per 1 juta dosis pertama penggunaan O?V dan
setiap 2,5 juta dosis O?V lengkap yang diberikan.
° ?ada pemberian O?V, virus asal vaksin ini dapat bereplikasi di dalam usus manusia,
ekskersi melalui tinja biasanya selama 2-3 bulan. ?ada saat replikasi tersebut mungkin
terjadi mutasi virus yang dikenal dengan   menyebabkan virus polio yang
sebelumnya sudah dilemahkan kembali berbentuk yang lebih neovirulen, yang kemudian
menyebabkan kelumpuhan layu kulit akut (VA??). Disamping itu virus yang
neurovirulen tersebut dapat diekskresi melalui tinja mengakibatkan kelumpuhan orang
disekitarnya (VD?V). Defenisi WHO tentang VA?? ialah suatu lumpuh layu akut (AF?)
yang terjadi 4-30 hari setelah menerima O?V, atau 4-75 hari setelah kontak dengan
penerima O?V (terinfeksi oleh VD?V) dengan kelainan neurologi masih ada pada 60 hari
setelah onset, atau meninggal.
° Terdapat 2 jenis virus vaksin yang menjadi neurovirulen dan di ekskresi (VDV?) yaitu
' cVDV? (˜ ˜   VDVP), virus yang dapat menyebabkan wabah merupakan
rekombinasi dengan entrovirus species C.
' iVDV? ( 
˜ ˜ VDVP), virus berasal dari pasien defisiensi imun
° ?ada saat ini di Indonesia masih menggunakan O?V yang ternyata mampu mengeliminasi
virus polio liar, namun sebagai konsekuensinya masih ada resiko terjadinya VA?? dan
menyebarnya VDV?. Untuk mengatasi ini dapat dipertimbangkan mengunkan vaksi I?V
( ˜ p  ˜˜ ), yang diberikan dengan cara suntikan.
° Beberapa negara yang telah bebas polio, telah menggunakan vaksin I?V ( ˜

p    ˜˜ ) yang merupakan virus polio hidup yang dimatikan, diberikan secara
subkutan atau intramuskular.

% %& /

DTw? (whole-cell pertusis) dan Dta? (acellular pertusis)

Saat ini telah ada vaksin Dta? (DT? dengan komponen acelluler pertusis) disamping
vaksin DTw? (DT? dengan komponen whole cell pertusis) yang telah dipakai selama ini.
Kedua vaksin DT? tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.

Jadwal imunisasi

Imunisasi DT? primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DT? tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,
jadi DT?-1 diberikan pada umur 2 bulan, DT?-2 pada umur 4 bulan dan DT?-3 pada umur 6
bulan. Ulangan booster DT? selanjutnya diberikan satu tahun setelah DT?-3 yaitu pada umur
18-24 bulan dan DT?-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Dosis vaksinasi DT?

DTw? atau Dta? atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun
ulangan

° Dosis vaksinasi DT?


' DTw? atau Dta? atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.
Kejadian Ikutan ?asca Imunisasi
Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena
selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin
pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin DT
(dosis dewasa) sering ditemukan lebih banyak daripada pemberian toksoid tetanus saja.
Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan
berat. Untuk menekan kejadian ikutan akibat hiperreaktifitas terhadap toksoid difteri, telah
dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut yaitu: (1)
meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2)
menyerapkan toksoid kedalam garam aluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid
perinokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dari vaksin pertusis :
Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada kira-kira
separuh penerima D?T. ?roporsi yang sama juga akan menderita demam ringan dan 1%
dapat menjadi hiperpireksia. Anak sering juga gelisah dan menangis terus-menerus selama
beberapa jam pasca suntikan. Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang (0,06%)
sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Kejadian ikutan yang
paling serius adalah terjadinya ensefalopati akuta reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan
oleh pemberian vaksin pertusis
Saat ini dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin
pertussis baik whole cell maupun aselular, yaitu :
° Riwayat anafilaksis
° nsefalopati sesudah pemberian vaksin pertussis sebelumnya
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (percaution), sebelum pemberian
vaksin pertussis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat hiperpireksia,
keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dari vaksin teanus terutama reaksi lokal sangat
dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi
vaksin itu


% 0 & * &
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam 1 dosis 0,5 ml secara subkutan
dalam, pada umur 9 bulan.Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi
campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59
bulan dan SD kelas 1-6. Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program
school based catch up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam
program BIAS. Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan
umur 6 tahun, ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan. Dosis 0,5 ml diberikan sub kutan
di lengan kiri.

Kontraindikasi
Indikasi kontra imunisasi campak berlaku bagi :
° Mereka yang sedang menderita demamtinggi
° Yang sedang memperoleh pengobatan imunosupresi
° Orang hamil
° Yang memiliki riwayat alergi
° Sedang memperoleh pengobatan immunoglobulin atau bahan-bahanberasal dari darah.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi KI?I imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari
virus yang dimatikan. Kejadian KI?I imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya
vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KI?I berupa demam yang lebih dari 39,5oC yang
terjadi pada 5-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2 hari. Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun
demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan 

  akibat
imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi
penyakit alami. raksi KI?I berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi. Landrigan dan Witte memperkirakan resiko
terjadinya kedua efek samping tersebut selama 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara
1 milyar dosis vaksin (tahun 1963-1971).

 *-&c-
Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk
mencegah penyakit yang berbeda, misal D?T + hepatitis B +HiB atau Gabungan beberapa
antigen dari galur multipel yg berasal dari organisme penyakit yang sama, misal: O?V

Tujuan pemberian

‡ Jumlah suntikan kurang

‡ Jumlah kunjungan kurang

‡ Lebih praktis, compliance dan cakupan naik

‡ ?enambahan program imunisasi baru mudah

‡ Imunisasi terlambat mudah dikejar

‡ Biaya lebih murah

Daya proteksi

Titer antibodi salah satu antigen lebih rendah namun masih diatas ambang protektif.
fektivitasnya sama di berbagai jadwal imunisasi. Bisa terjadi kemampuan membuat antibodi
utk mengikat antigen berkurang. Dapat terjadi respon imun antigen kedua berubah.
Reaktogenitas yang ditentukan terutama oleh ajuvan tidak berbeda jauh. Nyeri berat lebih
sering terjadi pada vaksin kombo (Bogaerts, Belgia). Cakupan imunisasi menjadi lebih tinggi.
KI?I pada dosis vaksin ekstra tidak bertambah

COLD CHAIN (RANTAI DINGIN)

‡ Vaksin harus disimpan dalam keadaan dingin mulai dari pabrik sampai ke sasaran.

‡ Simpan vaksin di lemari es pada suhu yang tepat

‡ ?intu lemari es harus selalu tertutup dan terkkunsi

‡ Simpan termometer untuk memonitor lemari es.

‡ Taruh vaksin ?olio, Campak, pada rak I dekat freezer.


‡ Untuk membawa vaksin ke ?osyandu harus menggunakan vaccine carrier/ termos yang
berisi es

/  1 

Departemen Kesehatan RI, P


 Op   P    I , Jakarta, 2000

Achmadi, Umar. Imunisasi, mengapa ?erlu?. ?enerbit Kompas. Jakarta. 2006

Ranuh, I, G, N, dkk. ?edoman Imunisasi Di Indonesia. ?enerbit Badan ?enerbit Ikatan dokter
Anak Indonesia. Jakarta. 2008

Tawi, Mirzal, Imunisasi dan Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta, 2008. http://
syehaceh.wordpress.com [21 November, 2010]



You might also like