Professional Documents
Culture Documents
BAPPENAS
Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
Oktober 2004
Pengarah
Dedi M. Masykur Riyadi
Penanggung Jawab
Agus Prabowo
Tim Penulis
- Medrizam
- Sudhiani Pratiwi
- Wardiyono
Kontributor
- Anton Wijonarno
- Arief Wicaksono
- Bambang Suherman
- Sasmita Nugroho
Pengantar
Dokumen ini merupakan salah satu initiatif yang dilakukan dalam rangka
mengimplementasikan dokumen nasional Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan (IBSAP) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 2003.
Atas dasar kebutuhan diatas, buku ini disusun sebagai dokumentasi suatu proses
kegiatan identifikasi kawasan yang kritis keanekaragaman hayatinya. Dilengkapi
dengan manual aplikasi sistem informasi geografis (SIG) sebagai salah satu
ii
metode pemindaian cepat untuk pengambil kebijakan, diharapkan buku ini bisa
dijadikan sebagai salah satu referensi untuk mencari data dan menyusun informasi
mengenai kawasan yang kritis KH di wilayah masing-masing.
Dokumen ini masih jauh dari sempurna. Peran serta semua pihak masih dibutuhkan
untuk dapat memberikan masukan agar penyusunan buku selanjutnya dapat
lebih baik dan lebih bermanfaat.
Akhir kata, kami mengucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu disini, atas segala bantuan,
kontribusi, kerja keras dan dedikasi yang tinggi dalam rangka menyelesaikan
kegiatan buku ini.
1 September 2004
Tim Penulis
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
b. Tujuan Studi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22
3.2 Gambaran Umum Keanekaragaman Hayati Pesisir Dan Laut . . . . . . . 23
3.2.1 Keanekaragaman Hayati Pesisir Dan Laut Indonesia . . . . . . . . . . . . . . 23
a. Mangrove . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
b. Terumbu Karang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
c. Padang Lamun . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.2.2 Kondisi Saat Ini . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
a. Kekayaan Keanekaragaman Hayati Pesisir-Laut Indonesia . . . . . . . 25
b. Perkiraan Kemerosotan Keanekaragaman Hayati Pesisir-Laut
Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3.3 Metodologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
3.3.1 Penjajakan Kebutuhan Data Dan Informasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
a. Pertanyaan Kunci Dan Identifikasi Kebutuhan Data . . . . . . . . . . . . . 31
b. Kategorisasi Data. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
c. Identifikasi Sumber Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
3.3.2 Pengumpulan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
3.3.3 Pengolahan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
a. Kategorisasi Data. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
b. Alur Pengisian Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
c. Content Analysis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 42
3.4 Hasil Analisa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
a. Jenis Krisis Dan Ancamaan Keanekaragaman Hayati Pesisir-Laut
Di Indonesia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
b. Sebaran Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati Pesisir-Laut . . . . . . 45
c. Prakarsa-Prakarsa Penanganan Krisis Keanekaragaman Hayati
Pesisir-Laut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
Bagian Pertama
Pendahuluan
Namun nampaknya sampai saat ini kita masih belum mampu menjawab dengan
tepat pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa besar keanekaan sumberdaya
hayati kita? Bagaimana sebaran potensi sumberdaya hayati kita? Dimana saja
lokasinya? Apakah jenis-jenis sumberdaya hayati tersebut masih punya
kemampuan lestari? dan lain sebagainya. Saat ini, yang paling mendesak ialah
dimanakah wilayah-wilayah kritis keanekaragaman hayati yang perlu segera
2
ditangani? Karena tiap tahun, jenis yang masuk Red List akibat semakin langka dan
terancam punah semakin bertambah.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah tidak adanya suatu
sistem informasi yang terintegrasi antara instansi terkait di pusat dan daerah. Sistem
informasi ini diperlukan sebagai acuan bagi pemerintah di pusat maupun daerah
agar perumusan kebijakan dan program pembangunan SDA dan LH lebih
komprehensif, sinergis (antar sektor), cepat, dan tepat.
BAPPENAS dalam hal ini Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
c.q Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dengan
dukungan United Nation Development Program (UNDP) telah mencoba melakukan
studi untuk mengisi gap dalam penyediaan data dan sistem informasi ini.
Dokumentasi proses studi ini berikut hasilnya disajikan dalam buku ini sebagai
media untuk berbagi pengalaman dengan para penggiat di bidang keaneka
ragaman hayati.
1.2 Tujuan
! mengembangkan alternatif cara pemindaian wilayah kritis
keanekaragaman hayati secara cepat untuk mendukung pengambilan
keputusan;
! menyusun suatu instrumen cara pemindaian wilayah kritis
keankearagaman hayati dengan menggunakan aplikasi SIG dan
informasi publik yg tersedia;
! menyajikan informasi terkini, relevan dan menyeluruh tentang wilayah kritis
keanekaragaman hayati dalam bentuk sistem informasi geografis;
1.3 Keluaran
! Dokumentasi proses studi kasus KH di Kawasan Pesisir-Laut sebagai
pembelajaran
! Panduan aplikasi SIG untuk identifikasi wilayah kritis KH di Indonesia;dan
! Peta Sebaran wilayah Pesisir Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia.
3
Bagian keempat: pada bab ini diuraikan mengenai catatan proses studi dari
aspek kelebihan dan kekurangannya serta catatan penulis
sebagai penutup
4
5
Bagian Kedua
Keanekaragaman Hayati di Indonesia1
Uraian dalam bab II ini dimaksudkan untuk memberikan suatu pengantar ringkas
bagi pembaca untuk memahami berbagai aspek dari keanekaragaman hayati
(KH) seperti definisi, nilai, kebijakan yang terkait, gambaran umum kemerosotan
dan penyusutannya. Dari pemahaman aspek-aspek ini diharapkan dapat
tumbuhnya kesadaran akan pentingnya ketersediaan data dan
pengembangan Sistem Informasi keanekaragaman hayati yang dapat
mendukung pengambilan keputusan untuk pemanfaatan secara lestari dann
pengelolaan yang berkelanjutan. Uraian dalam bab ini juga diharapkan bisa
mengantar pembaca untuk memahami metodologi penilaian dan pemindaian
cepat dalam upaya mencermati tingkat ke kritisan keanekargaman hayati disuatu
wilayah yang akan diuraikan pada bab selanjutnya. Metode pemindaian cepat ini
merupakan salah satu inisiatif untuk pengembangan sistem informasi KH dalam
konteks peta sebaran wilayah kritis pesisir keanekaragaman hayati di Indonesia
sebagai studi kasus.
1 Data dan informasi yang diuraikan dalam sub-bab ini diambil dan diringkas dari buku
Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003 dan berbagai sumber.
6
2.1.1 Definisi
! Keanekaragaman ekosistem:
mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan
maupun perairan, di mana makhluk atau organisme hidup (tumbuhan,
hewan dan mikroorganisme) berinteraksi dan membentuk keterkaitan
dengan lingkungan fisiknya.
! Keanekaragaman spesies:
adalah keanekaan spesies organisme yang menempati suatu ekosistem,
di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing
organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain.
! Keanekaragaman genetis:
adalah keanekaan individu di dalam suatu spesies. Keanekaan ini
disebabkan oleh perbedaan genetis antarindividu. Gen adalah faktor
2 Uraian mengenai definisi dan pemahaman akan nilai diambil dan diringkas dari buku
Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003.
7
pembawa sifat yang dimiliki oleh setiap organisme serta dapat diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Contoh keterkaitan ketiga tingkat keanekaragaman hayati tersebut dapat dilihat
pada kawasan yang mempunyai keanekaan ekosistem yang tinggi, biasanya juga
memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dengan variasi genetis yang tinggi
pula. Ada beberapa hal lain yang perlu dipahami mengenai keanekaragaman
hayati, yaitu:
Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan. Ia tidak
hanya bermakna sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja (aspek
ekonomi) karena keanekargaman hayati juga mencakup aspek sosial, lingkungan,
aspek sistem pengtahuan, dan etika serta kaitan di antara berbagai aspek ini.
Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini setidaknya ada 6 nilai keanekaragaman
hayati yang bisa diuraikan:
a) Nilai Eksistensi
3 Takson adalah unit dalam klasifikasi taksonomi, dan taksonomi adalah ilmu yang
mengklasifikasikan seluruh makhluk hidup di dunia.
4 Pusat keanekaragaman belum tentu juga sebagai pusat asal-usul.
5 Definisi pusat asal-usul, pusat keanekaragaman, pusat endemisme diambil dari web
www.flmnh.ufl.edu/fish/tropical/JSA/terms1.htm
8
Nilai jasa lingkungan yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati ialah dalam
bentuk jasa ekologis bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
Sebagai contoh jasa ekologis ,misalnya, hutan, salah satu bentuk dari
ekosistem keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi
lingkungan sebagai:
c) Nilai Warisan
Nilai warisan adalah nilai yang berkaitan dengan keinginan untuk menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi
mendatang. Nilai ini acap terkait dengan nilai sosio-kultural dan juga nilai
pilihan. Spesies atau kawasan tertentu sengaja dipertahankan dan diwariskan
turun temurun untuk menjaga identitas budaya dan spiritual kelompok etnis
tertentu atau sebagai cadangan pemenuhan kebutuhan mereka di masa
datang.
d) Nilai Pilihan6
e) Nilai Konsumtif
6 Nilai pilihan, yang juga dapat diartikan sebagai tabungan, memungkinkan manusia untuk
mengembangkan pilihannya dalam upaya beradaptasi menghadapi perubahan
lingkungan fisik maupun sosial.
9
f) Nilai Produktif
Nilai produktif adalah nilai pasar yang didapat dari perdagangan keaneka-
ragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Persepsi dan
pengetahuan mengenai nilai pasar ditingkat lokal dan global berbeda. Pada
umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum terdokumentasikan
dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun
perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati di tingkat global
(Vermeulen dan Koziell, 2002). Perbedaan antara nilai keanekaragaman
hayati global dan lokal dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.2.1 Sejarah
mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.
5/1994. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah fokal point nasional bagi
pelaksanaan KKH. Tujuan utama dari KKH yaitu: (1)konservasi keanekaragaman
hayati, (2)pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian
keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis,
termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber
pendanaan yang sesuai. Sesuai dengan tujuannya KKH mewajibkan negara-
negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia, untuk :
! Membuat strategi dan rencana aksi nasional (seperti BAPI 1993 dan IBSAP
2003);
! Memfasilitasi partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pelaksanaan
KKH;
! Mendukung pengembangan kapasitas bagi pendidikan dan komunikasi
keanekaragaman hayati;
! Menerapkan pendekatan ekosistem, bilamana memungkinkan, dan
memperkuat kapasitas nasional serta lokal;
! Mengembangkan peraturan tentang akses pada sumber daya genetis dan
pembagian keuntungan yang adil;
! Dll.
Pada awal 1990an, ada beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi
panduan komprehensif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati. Misalnya,
tahun 1993 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH sekarang Kementrian
Lingkungan Hidup, KLH) menerbitkan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman
Hayati. Pada saat yang hampir bersamaan, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk
Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 - BAPI 1993). Dokumen BAPI ini
pada tahun 2003 direvisi menjadi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan (IBSAP) juga oleh BAPPENAS. Dokumen ini telah didokumentasikan oleh
sekretariat UNCBD sebagai dokumen nasional Indonesia (lihat:
http://www.biodiv.org/world/report.aspx? Type=all&alpha=1).
a. Undang-undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Keputusan Presiden
d. Keputusan Menteri
Ada 3 (tiga) aspek yang masuk kedalam kategori faktor teknis yaitu kegiatan
manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu sendiri. Ketiga aspek ini
diperkirakan mampu menimbulkan kerusakan dan kepunahan keanekaragaman
hayati seperti yang diuraikan berikut ini:
b. Pemilihan Teknologi
Sebagai contoh:
! Jenis alat yang diketahui merusak habitat sumber daya hayati pesisir
adalah penggunaan alat pengumpul ikan, bahan peledak, bahan
beracun dan pukat harimau. Sebagai ilustrasi, pukat udang dengan lebar
20 meter mampu menggerus dasar laut seluas 1 km2 dalam waktu 1 jam.
Tingkat kerusakan ini melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
gelombang.
! Di bidang pertanian, teknologi pertanian yang intensif, misalnya revolusi
hijau (untuk padi) dan revolusi biru (untuk pertambakan udang) telah
mengubah cara budidaya polikultur yang kaya spesies dan kultivar
dengan budidaya monokultur. Seperti disebutkan diatas, pola monokultur
ini mengarah pada ketidakseimbangan dan akhirnya menimbulkan
keterancaman spesies serta erosi keanekaragaman genetik.
! Di laut, sumber pencemaran adalah tumpahan minyak dari kapal, dan
kegiatan industri. Sedangkan diperairan tawar, sumber pencemar
kebanyakan dari limbah kegiatan industri dan rumah tangga.
c. Faktor Alam
Salah satu faktor alam yang bisa mempengaruhi kerusakan dan penyusutan
keanekaragaman hayati ialah Perubahan iklim global. Perubahan iklim global,
yang disebabkan antara lain oleh pemanasan global, mempunyai pengaruh
pada sistem hidrologi bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur
dan fungsi ekosistem alami dan penghidupan manusia. Beberapa tahun
terakhir ini, perubahan iklim telah berdampak pada pertanian, ketahanan
pangan, kesehatan manusia dan permukiman manusia, lingkungan,
termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Dampak yang
mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir dan musim kering yang
panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia, termasuk Indonesia.
Kebakaran hutan besar yang terjadi tahun 1997/1998 disebabkan oleh
kegiatan manusia, tetapi diperparah oleh perubahan iklim, karena musim
kemarau menjadi lebih panjang daripada biasanya. Dampak perubahan
iklim pada keanekaragaman hayati secara langsung masih harus diteliti,
tetapi diduga pengaruhnya cukup besar.
12 Belum ada istilah yang baku untuk 'governance' dalam bahasa Indonesia. Ada yang
menyebutnya tata pemerintahan, tata kepemerintahan, praktik kepemerintahan, praktik
bernegara dsb. Tata kelola atau governance merujuk pada 'sebuah proses yang
mempertimbangkan kepentingan politis dari berbagai pihak, pemerintah dan non-
pemerintah, yang saling berinteraksi dalam praktik pengelolaan negara' (World Bank,
1992 dalam Weller, 2000).
15
Selain pemerintah, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh Organisasi non-
pemerintah (Ornop), swasta dan juga kelompok-kelompok masyarakat seperti:
Bentuk dokumentasi lain yang bisa digunakan untuk membangun sistem informasi
keanekaragaman hayati, di antaranya:
! dokumen yang berjudul Seri Sumber Daya Ekonomi yang diterbitkan oleh LIPI
sejak tahun 1960-an. Pembahasan dalam dokumen ini di antaranya
menyangkut Sumber Daya Hayati yang dikenal sebagai Seri Buku Hijau. Balai
Pustaka kemudian menerbitkan dokumen ini sebagai buku pegangan untuk
sekolah.
19
Apa yang sudah dilakukan dalam hal pengembangan sistem informasi keaneka
ragaman hayati memang belum cukup. Masih dibutuhkan penyajian informasi
geografis yang integrasi agar bisa secara komunikatif menampilkan peta sebaran
permasalah keanekaragaman hayati di Indonesia. Beberapa kekurangan dari
sistem informasi yang sudah ada diantaranya ialah:
! Lokasi: data yang digali dan ditampilkan belum menyeluruh atau hanya
pada lokasi-lokasi tertentu saja. Biasanya hanya lokasi yang potensial
mendapatkan bantuan proyek dalam bentuk hibah maupun pinjaman
luar negeri;
! Jenis data: kedalaman dan cakupannya tidak sama, tergantung dari
kebutuhan instansi masing-masing;
! Waktu: tidak berkesinambungan;dan
! Sumber data: kebanyakan diambil secara langsung di lapangan
(primer), data sekunder atau dalam bentuk statistik sulit diperoleh.
Bagi para pengambil keputusan, informasi yang terintegrasi sangat berharga untuk
digunakan sebagai dasar intervensi maupun usulan penyelesaian suatu masalah
yang prioritas dilakukan. Bab selanjutnya akan menguraikan proses penyusunan
dan pengembangan sistem informasi berupa pemindaian cepat kawasan kritis
keanekaragaman hayati untuk pengambil keputusan.
20
21
Bagian Ketiga
Identifikasi Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati
di Indonesia: sebuah studi kasus wilayah kritis
1
keanekaragaman hayati ekosistem pesisir dan laut
Dua pertiga luas seluruh wilayah kepulaun Indonesia adalah laut. Luas ini
mencakup perairan kepulauan, perairan teriotorial, dan Zone Ekonomi Ekslusif
seluas lebih dari 5,8 juta km2. Dengan potensi lestari sumber daya ikan mencapai
sekitar 6,4 juta ton pertahun (DirJen Perikanan Tangkap, 2004), laut memiliki nilai
penting bagi jutaan manusia yang menggantungkan hidupnya pada ekonomi
perikanan. Ekosistem laut tropis juga memilikin tingkat keanekaragaman hayati
tumbuhan dan hewan yang tinggi untuk membangun industri pariwisata melalui
kegiatan ekoturisme dan penemuan produk-produk biochemical (English et al.,
1997).
Proses perubahan fisik, seperti pasang-surut, pola arus, serta aliran materi dan
enerji, berlangsung secara alami dan terus-menerus yang kemudian berpengaruh
kepada bentuk pola kehidupan lingkungan laut, menjadikan lingkungan ini sangat
dinamis. Lingkungan laut juga memiliki pula pembatas-pembatas fisik dan
1 Tulisan di bagian ini disadur dan ditulis ulang berdasarkan laporan studi kasus yang dibuat untuk IDEN
(Wicaksono, 2004) serta sumber-sumber lainnya.
22
geografik (terrain) seperti halnya lingkungan daratan yang ditimbulkan oleh proses-
proses geologik, kimia dan fisik. Keanekaragaman ekosistem yang terbentuk di
lingkungan laut ini saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Apabila terjadi
pelenyapan salah satu unsurnya, maka seluruh ekosistem akan berubah. Sebagai
contoh, pelenyapan ekosistem mangrove akan secara langsung berdampak
kepada penyusutan keanekaragaman dan populasi biota laut yang hidup
bergantung kepadanya. Hal sama juga berlaku untuk terumbu karang dan
ekosistem pesisir.
b. Tujuan studi
Beberapa hal yang ingin dicapai dalam studi kasus ini antara lain:
Setidaknya teridentifikasi tiga (3) ekosistem pesisir dan laut yang penting dalam
studi kasus yang mendasari penulisan ini. Ekosistem-ekosistem ini berfungsi pula
sebagai indikator baik-buruknya keanekaragaman hayati pesisir dan laut.
Ketiganya adalah: mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
a. Mangrove
Ekosistem mangrove diseluruh dunia saat ini meliputi areal seluas 20 juta hektar
(English et al., 1997). Mangrove merupakan jenis tumbuhan utama yang
melindungi daerah pasang surut sepanjang wilayah pantai tropis dan subtropis.
Mangroves tumbuh di wilayah dengan kondisi kelembaban tinggi sampai wilayah
arid, diatas beragam tipe tanah dari tanah liat sampai gambut, pasir, atau
kepingan terumbu karang yang hancur. Tidak mengherankan jika ekosistem
mangrove memiliki variasi yang sangat ekstirm dalam hal komposisi tumbuhan,
struktur hutan, dan tingkat pertumbuhannya (English et al., 1997).
Nilai ekologi, lingkungan dan sosioekonomi yang penting dari ekosistem ini
meliputi:
2 GESAMP (1997) memperkirakan, daratan memiliki 11 bentuk hidupan utama atau filum, sedangkan di
lingkungan perairan laut memiliki 28 filum, meskipun jumlah tersebut sangat jarang diperoleh pada
satu kawasan sempit.
24
b. Terumbu karang
Karang adalah binatang yang sangat kecil, dikenal sebagai polyp. Setiap karang
menghasilkan substrat kapur disekitar tubuhnya untuk membentuk rangka dimana
polyp-polyp dapat menempel dan kemudian membentuk koloni di atasnya,
dengan cara berkembang biak mebelah diri untuk membentuk terumbu karang.
Spesies pembentuk karang sangat menentukan bentuk terumbu karang yang ada
di perairan tropis. Pertumbuhan karang amat lambat dan diperkirakan dapat
mencapai usia ribuan tahun mengingat tingkat pertumbuhannya sangat
dipengaruhi oleh dinamika dan perubahan lingkungan sekitarnya.
c. Padang lamun
permukaan air laut. Habitatnya terdapat di perairan dangkal wilayah pantai yang
membedakannya dengan padang rumput di daratan. Ekosistem padang lamun
dikenal memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran dan sumber pakan serta
nutrisi bagi spesies penting hewan-hewan laut.
Padang lamun bisa terdiri dari satu jenis spesies atau komunitas dari banyak spesies
hingga mencapai 12 jenis (Kirkman, 1985 dalam English et al., 1997). Diseluruh
dunia hanya ditemukan 58 speises rumput laut yang menckup 12 genus, 4 famili,
dan 2 ordo (Kuo dan McComb, 1989 dalam English et al., 1997).
Selain fungsi yang telah disebutkan sebelumnya, areal padang lamun membantu
mengurangi kekuatan gelombang dan arus laut, memisahkan air dan endapan
sedimen, dan menetralisir endapan di dasar permukaan. Kompleksitas habitat di
areal padang lamun meningkatkan keanekaragaman dan jumlah hewan-hewan
laut. Rumput laut di atas hamparan karang dan didekat estuarin, juga
mengendapkan nutrien, menyaring atau menahan kandungan kimia yang
terbawa air bagi lingkungan laut.
Nilai ekonomis laut juga amat besar. Untuk melihat potensi perikanan misalnya,
terutama perikanan tangkap, luas laut Indonesia dibagi menjadi sembilan Wilayah
Pengelolaan Perikanan. Dari laporan pencapaian pembangunaan perikanan
tangkap DKP tahun 2001-2003 menyebutkan, jumlah tangkapan dari seluruh
potensi sumber daya ikan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80% angka
pemanfaatan potensi lestari sumber daya ikan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2004).
Sementara potensi perikanan budidaya sendiri baru dimanfaatkan sebesar
0,002% untuk budidaya laut, 45,42% untuk budidaya air payau, dan 25% untuk
budidaya air tawar (Dirjen Perikanan Budidaya, 2004). Angka-angka ini
menunjukkan peluang pengembangan pengelolaan sumber daya perikanan
dan usaha perikanan diperairan Indonesia masih memiliki prospek yang baik.
Tabel 3.3. Ringkasan informasi keanekaragaman hayati peisir dan laut Indonesia
Satuan Nilai
Luas wilayah perairan laut km2 2,915,000
Luas paparan (shelf) km2 1,847,700
Panjang garis pantai km 95,181
Luas wilayah daratan km2 1,826,440
Luas wilayah terumbu km2 51,020
Kekayaan spesies karang (versi CITES) spesies 443
Kekayaan spesies karang (tafsir basis data GIS) spesies 602
Ekosistem terumbu karang yang terancam % 82
Luas wilayah ekosistem mangrove km2 42,550
Kekayaan spesies mangrove spesies 45
Kawasan ekosistem mangrove yang dilindungi % 33
Kekayaan spesies lamun (seagrass ) spesies 13
Kekayaan spesies ikan
Ikan laut (keseluruhan) spesies 2,741
Ikan karang spesies 1,343
Kekayaan spesies reptilia
Penyu laut spesies 6
Kekayaan spesies mamalia laut
Paus dan lumba-lumba spesies 29
Dugong spesies 1
Luas lahan-basah yang bernilai penting internasional, 2000 km2 2,427
Jumlah kawasan lindung pesisir laut, 1999 102
Produktifitas
Jumlah rata-rata tangkapan ikan, 2000 (di luar budidaya) metrik ton/tahun 3,705,745
Jumlah rata-rata tangkapan krustasea & moluska, 1997 metrik ton/tahun 320,670
Konsumsi
Jumlah penduduk keseluruhan jiwa 228,437,870
Penduduk yang tinggal di wilayah pesisir % 95.5
Tingkat konsumsi ikan kg/jiwa 18
sumber: Reefbase (2000), Eart Trends (2002), WCMC (1999), Moosa (1999).
28
Pada kasus mangrove, salah satu ancaman penting adalah perluasan usaha
tambak air payau di wilayah pesisir untuk komoditas udang dan bandeng.
Pertumbuhan perluasan usaha tambak air payau mencapai 47% sepanjang 16
tahun terakhir. Kira-kira 4,9% luas mangrove, atau 15,96% (tanpa mengikutsertakan
Papua) dikonversi menjadi tambak udang (Siregar, 1999). Gambaran paling buruk
terjadi pada ekosistem mangrove di Jawa Tengah. Pada 1999 luas mangrove di
Jawa Tengah adalah 95.377 ha, dan sekitar 35.814 ha diantaranya hancur setelah
dikonversi menjadi tambak udang (Thoha, 1999). Konsekuensi konversi mangrove
adalah penyusutan dan pelenyapan ekosistem mangrove yang pada gilirannya
akan berdampak kepada lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Selain
penyusutan dan kemerosotan populasi tumbuhan dan hewan, konversi mangrove
akan menyebabkan pula abrasi pantai.
Pantai utara pulau Jawa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pantura,
merupakan potret kemerosotan wilayah pesisir yang sangat serius, dengan
pelenyapan ekosistem-ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun,
serta merosot drastisnya populasi ikan. Menyusutnya luas kawasan Cagar Alam
Muara Angke akibat perluasan pembangunan permukiman di Jakarta Utara,
menyebabkan memburuknya banjir musiman yang secara konstan melanda
Jakarta. Pada Januari 2002, banjir musiman Jakarta tidak hanya melanda wilayah
Jakarta Utara, tetapi telah mencapai beberapa kawasan penting di Jakarta Pusat
29
dan Jakarta Selatan. Mengabaikan pelajaran penting dari banjir Januari 2002,
proyek reklamasi pantai di sepanjang Pantura terus berlanjut, meliputi areal
sepanjang 1,5 km, dari Kabupaten Bekasi (Jawa Barat) hingga sebagian dari
Kabupaten Tangerang (Propinsi Banten).
Potret serupa juga terlihat di Pantura di Propinsi Jawa Timur, yang meliputi Kota
Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban,
Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo. Penyebab utamanya adalah
perluasan kawasan permukiman, kawasan industri serta konversi mangrove secara
ekstensif untuk pembangunan tambak udang dan bandeng (www.terranet.or.id,
31 Juli, 2002).
3.3 Metodologi
Untuk dapat memanfaatkan potensi yang masih tersisa, diperlukan informasi yang
akurat agar dapat diperoleh hasil yang optimal dan lestari. Neraca sumberdaya
ikan misalnya, harus dapat diketahui setiap saat agar pemanfaatannya terencana
dengan menghasilkan produksi maksimal. Selain angka potensi dan
pemanfaatan, permasalahan kelautan yang timbul dari proses pengerukan
sumberdaya juga harus dipantau agar dapat menanggulangi krisis yang muncul.
Dengan demikian kondisi kritis keanekaragaman hayati pesisir laut di lapangan
termonitor dengan baik.
Namun tidak mudah untuk dapat memperoleh gambaran sesungguhnya tentang
kondisi pesisir laut secara menyeluruh. Pemahaman tentang sumberdaya laut
yang belum sepenuhnya, ketersediaan data sumberdaya itu sendiri, dan luas
areal yang harus dipantau menjadi bagian penghambat utama. Diperlukan
alat/metode alternatif untuk melihat hal ini dengan lebih cepat dan memberikan
gambaran awal yang memadai dalam mendukung pengambilan keputusan.
Melalui analisa media, studi kasus yang menjadi dasar penulisan mencoba
menawarkan alternatif mewujudkan hal tersebut.
Secara garis besar proses pengumpulan informasi publik mengawali seluruh
kegiatan studi. Kemudian diikuti proses analisis media untuk mendaptkan
pemahaman kondisi yang sesungguhnya. Pemahaman ini juga tidak terlepas dari
analisa kognitif yang harus dilakukan dalam membaca informasi publik yang
diperoleh tadi. Proses pemahaman menghasilkan pengelompokkan (clustering)
atau kategorisasi. Membaca informasi media dengan analisa kognitif juga
menghasilkan data-data baru yang kemudian diolah berdasarkan kategorisasi
untuk menghasilkan informasi berupa analisa cepat kondisi terkini, bisa dalam
format temporal maupun spasial. Dalam bentuk skema kasar, proses studi ini
digambarkan sebagai berikut:
Analisa Kognitif
Konteks
Konteks Monitoring &
Kebijakan Evaluasi
Sumber data: Analisa
Informasi Publik Media (Content Konteks Konteks
Analysis) Perencanaan Pengelolaan
Temporal Informasi
Baru
Spasial
Penyajian
Konteks
Lainnya
31
1. Apa saja jenis krisis yang ada dan ancaman terhadap keanekaragaman
hayati pesisir dan laut di Indonesia?
b. Kategorisasi data
Agar kita dapat memahami tingkat kritis suatu wilayah, akan lebih mudah
melakukannya jika berangkat dari situasi keadaan krisis, dimana ekosistem sudah
mendapatkan tekanan, kualitasnya sudah menurun, juga kuantitasnya makin
menyusut. Mengidentifikasi kerusakan apa saja yang muncul disuatu wilayah harus
dilakukan lebih dahulu untuk mendapatkan gambaran umum yang terjadi saat itu.
Dari gambaran-gambaran umum ini dibentuk bingkai (framing) berdasarkan
kesamaan tipologi tertentu yang akan mengelompokan krisis tersebut. Dengan
melakukan pembingkaian yang tepat akan menyediakan kelompok tindakan
intervensi yang paling sesuai baik untuk mengelola, pengembangan kapasitas,
komunikasi, juga kebijakan terhadap setiap kelompok krisis/kerusakan tersebut.
Hasil proses identifikasi krisis antara lain akan menghasilkan jenis-jenis kerusakan
apa saja yang terjadi diwilayah yang kritis. Dengan melihat dalam batas bingkai
yang serupa, krisis dapat saling dibandingkan satu dengan lainnya atau bahkan
diberikan penilaian bobot untuk setiap krisis. Masing-masing krisis/kerusakan ini bisa
saja memiliki kaitan satu sama lain atau bisa jadi berdiri sendiri. Jika suatu daerah
ternyata memiliki kerusakan lebih dari satu macam, maka tingkat kekritisan wilayah
tersebut akan semakin tinggi. Proses identifikasi ini tidak lain adalah mencari
penyebab-penyebab kritis suatu wilayah.
Untuk mempertajam pemahaman kritis wilayah, dilakukan pula identifikasi jenis
33
ekosistem yang terkena atau yang mengalami kerusakan. Khusus untuk studi,
identifikasi jenis ekosistem pesisir laut perlu dilakukan mengingat banyaknya sistem
klasifikasi yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satu sistem bisa dipakai atau
disusun sebuah sistem klasifikasi yang akan mendukung hasil keluaran yang
diharapkan. Dalam studi kasus kali ini dokumen IBSAP 2003/2020 menjadi salah
satu rujukan penting untuk membangun kategori jenis ekosistem pesisir laut.
Pembentukan kategori juga dilakukan terhadap kegiatan interversi/prakarsa yang
dilakukan terhadap krisis dan bentuk acaman yang timbul. Kategori intervensi
diharapkan dapat menampilkan pola dan pendekatan tindakan campur tangan
atau intervensi yang telah dilakukan untuk menangani masalah dan isu
kemerosotan dan penyusutan keanekaragaman hayati. Sementara bentuk
ancaman diharapkan dapat membantu melihat rantai sebab akibat dari setiap
kerusakan.
c. Identifikasi sumber data
! Aksesibilitas
Sumber data harus dapat diakes dengan mudah yang akan
meningkatkan kecepatan akses serta mengurangi waktu pengumpulan
data. Pemindaian cepat membutuhkan kecepatan pengumpulan data
yang sebanding pula.
! Real time
Sedapat mungkin diperoleh data terkini agar dapat membantu melihat
krisis dan menampilkan keadaan yang sebenarnya dilapangan.
! Data publik.
Informasi publik merupakan refleksi dari kebijakan dan kondisi publik.
34
2. Media masa
Jenis informasi yang diusulkan dalam studi kasus dan memenuhi kriteria seperti
penjelasan sebelumnya adalah berita di media masa. Secara tidak langsung,
berita di media masa menggambarkan tingkat kesadaran dan pemahaman
publik terhadap isu yang terjadi. Informasi dari media masa secara tidak langsung
juga dapat menyediakan petunjuk dan evaluasi terhadap strategi inisatif
penanggulangan krisis yang terjadi di lapangan.
Sumber berita ditemukan dalam bentuk tercetak atau elektronik. Layanan kliping
berita yang disediakan oleh berbagai lembaga penelitian dapat menjadi pilihan
selain upaya membangun koleksi kliping sendiri. Bentuk elektronik (online)
menawarkan lebih banyak kemudahan dengan tersedianya sarana pencarian
dan penelusuran krisis sampai beberapa tahun kebelakang. Situs koran online atau
portal-portal berita di internet merupakan pilihan terbaik untuk jenis berita elektronik.
Selama pelaksanaan pengumpulan data studi kasus, diperoleh 124 artikel yang
terkait dengan krisis keanekaragaman hayati pesisir dan laut. Diawal proses,
pencarian dilakukan pada situs koran (media masa) yang bisa ditemukan.
Kemudian proses pencarian lebih mengandalkan portal-portal berita lingkungan
seperti www.pili.or.id (Pusat Informasi Lingkungan Indoesia), www.forek.or.id,
dengan kemudahan pencarian arsip berita 3-4 tahun sebelumnya. Pecarian
berita online juga menunjukkan pemberitaan krisis di daratan (teresterial) lebih
dominan dibandingkan berita pesisir dan laut.
Contoh-contoh kata kunci yang digunakan dalam pencarian berita melalui situs
berita online antara lain:
Metode workshop diawal kegiatan yang melibatkan para pemimpin proyek dari
35
a. Kategorisasi data
Ide disusunnya kategorisasi data dalam studi kasus ini adalah untuk bisa melihat
tingkat krisis suatu wilayah. Usulan kategorisasi didasarkan pada hasil analisa media
dan analisa kognitif diawal proses dalam membaca data yang dikumpulkan.
Setiap data yang diekstrak dari informasi publik yang diperoleh kemudian melalui
kembali proses analisa lewat kategorisasi data yang dikembangkan. Bahan-bahan
rujukan keanekaragaman hayati dan ekosisitem pesisir laut yang dipergunakan
dalam proses penyusunan dapat dilihat dalam daftar bacaan. Berikut asalah
penjabaran kategori data tersebut:
Tabel 3.4. Kategori krisis keanekaragaman hayati
EKOSISTEM · Kemerosotan ekosistem
· Penyusutan ekosistem
· Pelenyapan ekosistem
SPESIES & VARIETAS · Keterancaman spesies dan varietas
· Kelangkaan spesies dan varietas
· Kepunahan spesies dan varietas
KEHIDUPAN MANUSIA · Pemiskinan sumber dan ruang hidup
· Penyingkiran dari ruang hidup
· Kematian
Derajat dan rangkaian proses keterancaman spesies yang digunakan IUCN sulit
untuk dijadikan acuan kategori keterancaman spesies karena persyaratannya
yang terlalu ketat, sementara ada masalah lemahnya data dan informasi tentang
keragaman spesies serta persebaran geografiknya. Dalam laporan ini diusulkan
kategori , yang dimulai dari keterancaman populasinya (endangered),
kelangkaan (rarity) dan kepunahan (extinction) dengan penjelasan sebagai
berikut,
Krisis keanekaragaman hayati tidak dapat dipisahkan dari krisis yang dihadapi
kehidupan manusia, baik sebagai akibat maupun sebagai pangkal
penyebabnya. Laporan ini mengkategorikan krisis kehidupan manusia sebagai
berikut,
Menurut IBSAP 2003/2020 klasifikasi resmi ekosistem laut telah dikembangkan untuk
tingkat dan lingkup terbatas. Diduga masih terdapat eksosistem laut penting yang
belum diidentifikasi dan diselidiki secara seksama karena keterbatasan rujukan
maupun kendala teknologi pendukung. Mengakses wilayah tersebut. Untuk wilayah
pesisir terhadap banyak sistem klasifikasi berbeda. Namun secara umum ada dua
jenis data yang digunakan dalam mengklasifikasikan wilayah pesisir, yakni (IBSAP
2003/2020),
Panah mendatar dalam matriks usulan kategori ekosistem menunjuk titik pandang
dari daratan/pulau ke arah laut lepas. Sedangkan panah vertikal menunjuk titik
pandang dari arah daratan ke bagian yang terendam air laut (baik pada pasang
38
Bentuk ancaman dalam laporan ini diadopsi dari IBSAP 2003/220. Namun penulis
menggunakan pengkategorian yang berbeda. Pada IBSAP 2003/2020 kategori
yang digunakan adalah teknikal dan struktural. Sedangkan laporan ini mengacu
kepada model konseptual dari kajian ancaman (threat analysis), yakni langsung,
tidak langsung, pendorong dan akar. Kategori dan bentuk ancaman yang
menyebabkan kemerosotan dan penyusutan keanekaragaman hayati (pesisir-
laut) disajikan pada Tabel 6 di bawah ini.
Di dalam pangkalan data, setiap informasi krisis diwakili oleh deskripsi info krisis itu
sendiri, sumber info dari krisis, status krisis, serta waktu pemberitaan krisis. Setiap
satuan wilayah terkecil yang terkena krisis harus dapat diidentifikasi mengingat
data-data kategori pengolahan harus dikaitkan dengan setiap satuan wilayah
terkecil ini. Penggunaan satuan wilayah terkecil sangat tergantung dari sumber
informasi krisis yang diperoleh, dan cakupan hasil analisa yang diharapkan. Dalam
studi, batas wilayah terkecil yang bisa diidentifikasi adalah kabupaten dan analisa
keluaran diharapkan dapat digunakan untuk pengambilan keputuasn ditingkat
nasional dengan wilayah administrasi untuk pelaporan setingkat propinsi. Untuk
informasi proyek inisiatif yang diperoleh, analisa data hanya dapat dilakukan pada
tingkatan regional (pulau besar) mengingat keterbatasan data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen proyek yang tersedia.
41
Identifikasi ekosistem Torus jenis ka tegori Identifikasi pelaku/aktor Identifikasi penyebab Identifikasi intervensi
terkena krisis/kerusakan krisis terkait krisis krisis di lokasi krisis
Selesai
harus terkait langsung langsung dengan jenis ekosistem yang terkena. Demikian
pula tabel penyebab krisis dan penyebab intervensi harus dikaitakan langsung
dengan tabel jenis ekosistem ketimbang lokasi wilayah administrasi. Tentu hal ini
juga akan mengubah proses analisa yang digunakan dan tampilan yang akan
dihasilkan.
C. Content Analysis
Untuk memindahkan data dari berita koran kedalam pangkalan data, pembaca
berita harus melakukan analisa isi berita dengan seksama. Sesungguhnya, data
yang dikumpulkan dalam pangkalan data akan sangat bergantung dari analisa
yang dilakukan pembaca. Pemahaman ekosistem pesisir laut sebagai latar
belakang analisa sangat berpengaruh terhadap hasil analisa berita yang
dihasilkan. Penyusunan kategoriasi dibagian sebelumnya diharapkan dapat
membantu memudahkan pembaca berita melakukan analisis yang lebih tajam
agar data yang dihasilkan menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
43
Gambar 3.5. Sebagian dari daftar berita dalam tabel artikel media masa didalam
pangkalan data
Data yang digunakan laporan ini bersumber dari pemberitaan sepanjang tahun
1998, 1999, 2001, 2002 dan 2003 yang berhasil diperoleh. Meskipun hanya
bersumber dari pemberitaan media massa, sebagai data ia sangat konsisten,
dapat dipertanggungjawabkan dan realtime. Tingkat akurasi data diakui memang
mengandalkan ketajaman penulis berita serta kecermatan tafsir berita untuk
dapat diperlakukan sebagai data. Manfaat sampingan selain kandungan berita
adalah gambaran tentang tingkat kesadaran publik (dalam hal ini diwakili oleh
perhatian pihak media massa) terhadap keanekaragaman hayati pesisir-laut serta
efektifitas upaya-upaya mengarusutamakan isu keanekaragaman hayati kepada
publik.
Jumlah record data mengenai krisis ekosistem paling tinggi dibandingkan krisis
44
Secara umum, pulau Jawa di laporkan sebagai pulau yang paling kritis.
Dibandingkan dengan krisis spesies dan varietas serta kehidupan manusia, krisis
ekosistem di Jawa muncul sebagai yang tertinggi. Nilai yang ditampilkan
menunjukkan kemunculan krisis dalam artikel yang diperoleh. Semua kategori krisis
dihitung berdasarkan perhitungan torus sederhana.
McAllister (1998) mengajukan pertanyaan kritis, bahwa dengan hanya 15% spesies
tumbuhan, hewan dan mikro-organisma laut yang telah diidentifikasi, bagaimana
mungkin sebuah daftar yang serius seperti Red Data List CITES dari spesies-spesies
yang populasinya terancam dapat dihasilkan? Diduga ada spesies yang terlanjur
punah tanpa pernah diidentifikasi. Keprihatinan tersebut terutama untuk kelompok
besar dari organisma sederhana seperti bakteria, jamur dan ganggang yang
ketersediaan datanya sangat terbatas, bahkan pemahaman tentang fungsi-
fungsi kunci ekologisnya. Lebih jauh McAllister (1998) bertanya, “Bagaimana
mungkin kita begitu yakin telah cukup memahami dan merasa mampu
mengelola ekosistem pesisir-laut dengan pemahaman dan pengetahuan yang
masih sangat terbatas?”
1. Ekosistem
! Jawa
! Sumatra
47
! Kalimantan
! Sulawesi
! Bali dan Nusatenggara
! Maluku
! Papua
Penentuan krisis spesies dan varietas merupakan bagaian yang tersulit karena
pelaporan kejadian diberitakan dalam artikel online, kecuali untuk kasus penyu laut.
Interpretasi dan analisis berdasarkan laporan lain untuk melihat kaitan antara
degradasi ekosistem dan ancaman terhadap spesies biota laut disusun dalam
urutan kejadian sebelum sampai pada sebuah kesimpulan. Pernyataan bahwa
produktifitas yang menurun dari perikanan lokal sebagai dampak dari krisis
ekosistem adalah salah satu contohnya bagaimana penulis sampai pada
kesimpulan terjadinya krisis spesies dan varietas.
48
Khusus untuk pulau Jawa, data krisis spesies dan varietas dihasilkan dari kesimpulan
analisis bahwa setiap keadaan krisis selalu terkait dengan adanya krisis ekosistem.
Kelangkaan spesies di Bali dan Nusatenggara menjadi yang tertinggi karena
adanya laporan intensif tentang perdagangan dan pemotongan penyu. Dilain
pihak, keterancaman spesies dan varietas di Maluku tergolong tinggi karena
laporan yang menyatakan bahwa penyu hijau yang dipotong di Bali
berasal/ditangkap dari pulau Dobo di kepulauan Aru.
3. Kehidupan Manusia
Berbeda dengan krisis spesies dan varietas, krisis kehidupan manusia relatif lebih
mudah untuk dipahami dan disimpulkan karena hampir sebagian besar tulisan
menyatakan hal tersebut secara eksplisit. Meskipun demikian, ketika pernyataan
krisis kehidupan manusia ini tidak muncul, dilakukan intepretasi dan analisis untuk
melihat apakah ada kaitannya dengan krisis ekosistem yang dilaporkan. Krisis
kehidupan manusia akibat degradasi keankearagaman hayati pesisir dan laut
disajikan sebagai berikut.
Yang mengejutkan, tulisan terkait krisis ini, muncul paling tinggi di Sumatra. Hal ini
terjadi akibat berita koran yang amat gencar sehubungan isu penambangan pasir
laut di Riau dan tebang-habis hutan mangrove di pantai timur Sumatra. Sementara
di Bali, yang merupakan peringkat kedua untuk pemiskinan dan berkurangnya
ruang hidup, erosi pantai dan longsor di wilayah pantai yang merusakkan ruang
hidup masyarakat menjadi penyebab dengan banyaknya berita yang muncul.
Berita kematian di Kalimantan muncul akibat dampak penambangan Pulau Laut
(Kalimantan Selatan) yang menyebabkan konflik antara nelayan setempat dan
perusahaan swasta yang didukung oleh aparat keamanan.
Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai penting global serta dianggap
sebagai hotspots keanekaragaman hayati pesisir-laut. Namun, meski begitu
banyak upaya dilakukan untuk merespon hirauan tersebut kecenderungan
menurunnya mutu lingkungan hidup dan kekayaan alam terus berlangsung
secara cepat. Kenyataannya, pembangunan di Indonesia masih sangat
bergantung kepada kekayaan dan sumber-sumber alamnya, termasuk
keanekaragaman hayati.
Mempelajari pengalaman dan hikmah dari berbagai usaha dan prakarsa lewat
proyek-proyek negara dengan dampingan organisasi-organisasi bantuan
internasional serta LSM dalam mengatasi kemerosotan dan penyusutan
keanekaragaman hayati merupakan hal penting untuk meletakan landasan yang
kuat bagi perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
terintegrasi, pemantauan dan perlindungan yang lebih baik, penelitian yang lebih
intensif tentang kekayaan dan sumber-sumber alam laut, serta prakarsa
pengembangan masyarakat yang lebih intensif untuk memberdayakan dan
memperbaiki mutu hidupnya. Untuk itu dibutuhkan proses belajar bersama
diantara pelaku pengelolaan untuk saling berbagi pengalaman, untuk mengatasi
berbagai keterbatasan, baik perspektif maupun ketersediaan data.
Tabel 3.9. Gambaran umum prakarsa dan tindakan intervensi di wilayah pesisir laut,
sebagian besar adalah proyek pemerintah
Berdasarkan hasil diskusi kelompok khusus yang diadakan untuk membahas hasil
temuan ini, informasi kontribusi prakarsa terhadap penanganan krisis
keanekaragman hayati dikeluarkan dalam laporan akhir studi kasus. Hal ini
dilakukan mengingat data prakarsa yang berhasil dikumpulkan dianggap belum
mewakili keseluruhan prakarsa/inisiatif yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Masih banyak prakasa yang tidak teridentifikasi yang dilakukan ditingkat lokal baik
oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat selama proses studi. Jika model
studi ini dilakukan ditingkat yang lebih sempit, kabupaten misalnya, informasi
prakarsa/inisatif harus digali lebih detil dan mendalam. Ini akan menghindari bias
kegiatan prakarsa berskala besar yang biasanya terekspos dan terdokumentasi
dengan lebih baik.
51
Bagian Keempat
Penutup: 'Small step toward a far jump'
Proses penentuan krisis suatu wilayah yang dihasilkan studi juga dapat diterapkan
untuk jenis ekosistem lainnya. Jika dilengkapi dengan sumber yang menyeluruh
maka nilai dari setiap kategori krisis sebaiknya tidak hanya terbatas pada
perhitungan torus. Perhitungan nilai torus dalam studi hanya menampilkan jumlah
liputan yang muncul terhadap krisis dan tidak sepenuhnya menggambarkan
tingkatan kerusakan yang terjadi sesungguhnya.
52
Untuk penggunaan pada ekosistem lain, jenis ekosistem harus disepakati bersama
terlebih dahulu sebelum menganalisa perolehan data. Kesepakatan bisa didasari
pada penetapan jenis ekosistem menurut ilmu pengetahuan yang umum atau
disusun sesuai kebutuhan analisa data yang diperlukan. Dengan demikian
gambaran krisis yang diharapkan bisa diperoleh dengan lebih tepat.
Ketika memilih media masa sebagai sumber data, analisa media dan analisa
kognitif harus benar-benar dipahami atau subjektifitas penulis yang akan
menentukan hasil penyajian. Sebagai contoh, berita penangkapan penyu besar-
besaran yang terkait dengan tertangkapnya kapal penangkap penyu di Bali. Isi
berita lebih dominan membahas Bali sebagai tempat kejadian penangkapan
daripada tentang daerah asal penangkapan. Jika dilihat sepintas dengan alur
pengisian data dipenjelasan tentang struktur data, maka krisis yang terjadi mungkin
hanya terdeteksi di Bali tapi tidak di daerah asal penyu ditangkap. Untuk itu proses
analisa media dengan dukungan analisa kognitif menjadi sangat penting untuk
dapat mengimbangi subjektifitas para penulis di media masa.
kerusakan kehati, namun penyajian informasi geografis ini secara komunikatif telah
berhasil menampilkan peta sebaran permasalah keanekaragaman hayati di
wilayah pesisir pantai Indonesia. Bagi para pengambil keputusan, informasi
berharga ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk intervensi maupun
usulan penyelesaian suatu masalah yang urgent untuk dilakukan.
Memang, satu hal yang tidak dapat dihindari oleh pembaca berita adalah
subyektifitas media massa dalam pemberitaan yang terkadang tidak berimbang
dan sering terkontaminasi oleh masalah sosial dan politik khususnya di wilayah
kejadian bersangkutan. Hal ini sering terjadi bila kejadian atau masalah
keanekaragaman hayati sifatnya hanya memiliki dampak setempat (locally
based) sehingga tidak diliput oleh media nasional. Karena sifatnya yang 'locally
based' tersebut, seringkali pembaca berita terpaksa harus mengacu kepada satu
sumber berita berupa media setempat yang sebenarnya rawan akan unsur
subyektifitas. Oleh karena itu, memang disarankan untuk kejadian seperti
diperlukan verifikasi langsung di lokasi yang bersangkuta sehingga dapat
menambah bobot informasi yang ditampilkan dalam analisis ke-kritisan wilayah.
Namun tentunya hal ini bukanlah suatu hal yang 'cost effective' bila kita ingin
melakukan suatu pemindaian cepat untuk mengambil suatu keputusan cepat.
Walaupun dalam studi ini pemindaian hanya dilakukan pada wilayah pesisir laut,
metode ini juga berlaku umum dan dapat digunakan untuk pemindaian aspek lain
misalnya keanekaragaman hayati di wilayah darat. Identifikasi wilayah ke-kritisan
keanekaragaman hayati diyakini cukup banyak memiliki data dan dihimpun
dalam sistem data base yang cukup baik. Untuk itu di sarankan agar
pengklasifikasian awal perlu untuk dilakukan agar data-data yang cukup
berlimbah tersebut tidak menimbulkan kebingungan dalam analisisnya.
Sebagai penutup, para pembaca sebaiknya lebih memahami bahwa tujuan dari
kajian ini adalah semata-mata untuk melakukan pemindaian cepat bagi para
pengambil keputusan. Metodologi dengan analisis media on line dan media
cetak diharapkan menjadi perangkat data yang sahih sebagai masukan awal
bagi pengambil keputusan. Walaupun demikian, tentunya analisis Uji materi atau
verifikasi perlu dilakukan di wilayah yang dinyatakan kritis sehingga lebih
memperjelas status ke kritisan dan sekaligus up dating informasi yang ada dalam
sistem data base kajian ini.
Semoga bermanfaat…!!!
55
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran A.
Daftar ringkas sebagian proyek dan program lingkungan laut dan pesisir (sedang
berjalan dan yang sudah selesai)
United Nations Environmental ! Regional Seas Program - Coordinating Body on the Seas of
Programme (UNEP) East Asia (COBSEA)
! Conference of Parties (COP) II on the Convention on Biological
Diversity (Jakarta, November 1995)
UN-Food and Agriculture Organization ! Cenderawasih Bay Coastal Area Development Project
(FAO)
United States Agency for International ! ASEAN-US Cooperative Program on marine Science (Coastal
Development (USAID) Resources Management Project in Segara Anakan) co-funded
by ASEAN
! Natural Resource Management Project (NRMP)/Bunaken
Marine National Park Development
! Natural Resource Management (NRM) Phase II and III/Bunaken
Marine National Park Development
! Coastal Resources Management Project (CRMP)/North
Sulawesi, East Kalimantan, Lampung
United States of America (USA) ! Columbia University - Indonesia Project on Marine Tracers
World Wide Fund for Nature (WWF) ! Strategy on Coral Reefs Ecosystem Conservation and
Indonesia Management (with MoE and EMDI Project)
! Primary Environmental Care (PEC) Project
Asian Wetland Bureau Indonesia ! Bintuni Bay and Pulau Dolok Reserves, Wasur National Park
Programme (Papua)
Lampiran B.
Peta sebaran wilayah krisis lingkungan laut dan pesisir
Daftar Peta:
! Tingkatan Kritis Wilayah Kabupaten di Sumatra
! Tingkatan Kritis Wilayah Kabupaten di Jawa dan Bali
! Tingkatan Kritis Wilayah Kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi
! Tingkatan Kritis Wilayah Kabupaten di Maluku dan Papua
! Tingkatan Kritis Wilayah Kabupaten di Nusa Tenggara
64