You are on page 1of 4

Hubungan Pasar Bebas Terhadap Identitas Suatu bangsa

Dengan dimenangkannya perang Dingin. Peradaban Barat berada pada puncaknya dan
menunjukkan kecenderungan untuk membungkus seluruh dunia dalam berbagai bentuk,
termasuk gelombang globalisasi yang sekarang menjadi sebuah kecenderungan yang tidak
terhindari sama sekali.

Proses gobalisasi (penduniaan) yang bergerak berlandaskan pada liberalisme fundamental itu
telah memengaruhi seluruh aspek kehidupan di hampir semua lapisan masyarakat dunia, baik
pada masyarakat di negara-negara maju maupun berkembang. Proses globalisasi ini mencakup
lintas bangsa yang di dukung oleh berkembangnya ideologi kapitalisme yang mampu
mengalahkan ideologi komunisme dan sosialisme, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(terutama teknologi informasi dan komunikasi), serta berkembangnya ekonomi liberal yang
menghasilkan terciptanya pasar bebas. Pada pembahasan berikut ini, akan dibahas hubungan
globalisasi dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan politik, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

1. Hubungan Globalisasi dalam Bidang Ekonomi


Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L. Friedman dan
beberapa tokoh lainnya, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan manusia
untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang
menjadi rival kapitalisme, telah meyakinkan sebagian kelompok ini bahwa globalisasi dan
liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi,
kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi, sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh
sosialisme maupun komunisme.

Namun, pandangan-pandangan dari kelompok ini tidak dapat memberi penjelasan yang cukup
memadai mengenai semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antara negara-
negara kaya dengan negara-negara miskin. Bahkan, seiring dengan globalisasi, pendapatan di
negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang jauh lebih menurun
dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya, negara-negara industri maju
semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh lebih tinggi. Ini karena
globalisasi dengan liberalisasi dan perdagangan bebasnya, selain menawarkan suatu
alternatifjalan yang lebih mudah untuk meningkatkan standar hidup dan efisiensi ekonomi, tetapi
juga membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan
politik pada segelintir orang atau kelompok yang sering disebut sebagai elite-elite internasional.

Kesuksesan kapitalisme Barat di era globalisasi ini telah didukung pula oleh lembaga-lembaga
ekonomi dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International
Monetery Fund/IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO),
kelompok negara-negara G-8, serta perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional.
Organisasi-organisasi tersebut demikian berpengaruhnya dalam menciptakan tata ekonomi
kapitalis dan dibutuhkan oleh banyak negara, terutama negara yang sedang menghadapi kesulitan
ekonomi, seperti Indonesia, Argentina, Afghanistan, Irak, Brazil, dan Kamboja.

Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, dalam bukunya Globalization
and Its Discontent menyebutkan bahwa IMF dan Bank Dunia bahu-membahu mengusung
neoliberalisme dan neokolonialisme di muka bumi. Kritik Stiglitz yang pernah menjadi Wakil
Presiden Bank Dunia ini menggaris bawahi, tentang kebijakan IMF, terutama di negara-negara
miskin. dibuat tanpa memerhatikan kesiapan costal, politik, dan kelembagaan sebuah negara.

Kecenderungan-kecenderungan globalisasi dalam bidang ekonomi juga terlihat dari munculnya


perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak
hanya dimiliki oleh individu, tetapijuga oleh masyarakat di seluruh dunia melalui penjualan
saham dan bursa efek. Kegiatan operasional perusahaannya pun tersebar di berbagai kawasan
Junta. Sebagai contoh. perusahaan minuman Coca-cola dan restoran last food (makanan siapsaji)
McDonalds yang berpusat di Amerika Serikat, telah membuka cabangnya di berbagai negara,
termasuk di Indonesia. Hal Yang samajuga dilakukan oleh perusahaan perusahaan besar lainnya,
seperti IBM, General Motors, Shell, British Petroleum, Freeport, Sony, dan Honda. Perusahaan-
perusahaan ini mempunyai banyak cabang di luar negeri, mereka mempunyai sumber dana,
teknologi, dan kemampuan lobi yang hampir tiada bandingnya. Keberadaan perusahaan
multinasional dan transnasional tersebut beserta investasi yang mereka bawa menjadi harapan
banyak negara, baik miskin maupun kaya. Investasi yang mereke tanamkan sangat diharapkan
untuk melakukan pembangunan dan memacu pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan
kerja, dan dengan demikian meningkatkan taraf hidup masyarakat.

2. Hubungan Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya


Melalui arus informasi dan komunikasi, telah membuat makin globalnya berbagai nilai budaya
kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Gaya berpakaian warga kota-kota besar di negara-
negara berkembang tidak dapat dibedakan dengan gaya berpakaian warga kota di Amerika
Serikat dan Eropa. Celana jeans dan potongan rambut, misalnya, telah menunjukkan betapa
globalisasi telah memengaruhi
warga dunia. Demikian pula jenis musik jazz dan rock, turut pula menjadi “budaya dunia”. Di
samping jenis makanan Italia (seperti pizza), Amerika Serikat (seperti kentucky fried chicken)
dan Eropa lainnya, tumbuh pula “budaya lain” seperti chopstick (sumpit), sushi (jenis makanan
Jepang), noodle (mi), yang tadinya jenis makanan yang sangat lokal (nasional), sekarang telah
menjadi “budaya dunia”.

Hal yang sama juga terjadi di dunia hiburan, di mana film-film Hollywood (seperti Mickey
Mouse dan Donald Duck, dan James Bond) dapat dinikmati oleh warga masyarakat di berbagai
dunia, termasuk negara-negara yang tadinya anti-Barat, seperti Afghanistan setelah rezim
Taliban terguling. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/VCD atau
DVD di berbagai kota di dunia, telah menunjukkan gaya hidup yang diciptakan oleh kaum
kapitalis menjadi gaya hidup global. Kehidupan seks bebas (free sex), sekuralisme,
individualisme, konsumerisme, gaya hidup mewah, sudah menjadi gaya hidup global pula. Oleh
karena itu, kita harus bersikap waspada dan selektif dalam menghadapi keragaman budaya dunia
tersebut.
3. Hubungan Globalisasi dalam Bidang Politik
Hubungan globalisasi dalam bidang politik, antara lain, adalah negara tidak lagi dianggap
sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Pasca-Perang Dunia kedua, banyak negara
baru muncul dan menjadi negara nasional yang berdaulat. Negara-negara baru ini, yang
kemudian sering disebut sebagai negara-negara sedang berkembang (developing countries) atau
negara-negara dunia ketiga (the third world), dihadapkan pada dua masalah utama, yakni
kehancuran ekonomi akibat perang dan penjajahan, dan masalah identitas nasional sebagai
negara bangsa (nation building).

Di bidangsosial dan ekonomi, negara-negara yang baru merdeka ini dihadapkan pada rendahnya
pendapatan perkapita yang berarti juga kemiskinan pada sebagian besar penduduk yang tinggal
di daerah pedesaan, kondisi kesehatan yang berada di bawah standar, demikian juga halnya
dengan sarana pendidikan yang kurang memadai. Di sisi yang lain, sebagian besar
masyarakatnya hidup dari pertanian tradisional. Industri tidak berkembang karena penjajahan
membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembangunan. Akibatnya,
dibandingkan dengan negara-negara Eropa (yang sebagian besar adalah negara penjajah mereka),
mereka jauh tertinggal di belakang.

Dihadapkan pada masalah-masalah ini, para pengambil kebijakan publik di negara sedang
berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dan
dalam rangka mengejar ketertinggalan mereka dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat
yang lebih maju. Selain itu, juga ditujukan untuk membangun legitimasi kekuasaan mereka yang
masih rapuh. Para penguasa baru ini berharap bahwa melalui pembangunan ekonomi, mereka
akan mendapatkan legitimasi yang kuat untuk memerintah sebagian besar rakyatnya.

Dihadapkan pada kemiskinan penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, para
elite politik di negara-negara berkembang terdorong untuk segera melakukan pembangunan.
Pada periode 1950-an dan 1960-an, hampir sebagian besar negara sedang berkembang, bahkan
termasuk Jepang yang kalah dalam Perang Dunia kedua, menyusun berbagai strategi untuk
melakukan pembangunan ekonomi dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi dan
memperbaiki taraf kehidupan rakyat.

Kondisi inilah yang membuat peran negara begitu signifikan dalam pembangunan. Demikian
juga yang terjadi di Eropa Barat selama Program Marshall Plan, negara menjadi salah satu aktor
dominan dalam pembangunan ekonomi. Indonesia, misalnya, dalam masa pemerintahan Orde
Baru mengembangkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ditujukan untuk
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan peran negara bangsa dalam pembangunan bergaung pada tahun 1970-an, dimana
pengurangan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi dan menyerahkan mekanisme ini
sepenuhnya pada pasar. Sekarang ini, liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah
menjadi ciri khas perekonomian abad ini. Setiap negara bangsa harus melakukan reorientasi
menyangkut paradigma pembangunan mereka. Mereka tidak mungkin mengambil jalan ekstrim
dengan menerapkan kebijakan proteksi ketat terhadap pasar dan mengisolasi diri dari
perekonomian internasional. Cina, misalnya, yang bertahun-tahun melakukan proteksi ketat
terhadap pasar dalam negeri lambat-laun mulai membuka diri dengan pasar internasional.
Hasilnya dalam lebih kurang 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, Cina diprediksi akan menjadi
kekuatan ekonomi politik yang signifikan.

Hubungan globalisasi di bidang politik lainnya adalah adanya gelombang demokratisasi di


sejumlah negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Setelah berakhirnya Perang
Dingin dan runtuhnya komunisme, dambaan akan kebebasan dan keinginan untuk menegakkan
demokrasi memacu perubahan politik di banyak negara. Rezim-rezim otoriter apa pun warna
politiknya tumbang satu per satu dilanda arus perubahan ini.

Angin demokratisasi berdampak bagi masyarakat Cina dengan munculnya tuntutan kebebasan
demokrasi pada tahun 1989. Peristiwa berdarah yang dikenal dengan “Peristiwa Tiananmen”
tersebut berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan yang menewaskan ribuan
mahasiswa dan pemuda. Di Filipina, rakyat melakukan gerakan sosial (people power) dan
berhasil menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Pada tahun 1991,
politik apartheid dihapuskan di Afrika Selatan. Perubahan yang sama juga terjadi di Eropa
Timur, rakyat melakukan demonstrasi menggulingkan rezim komunis yang berkuasa. Kasus
serupa juga terjadi di Indonesia, yaitu dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada
tahun 1998.

You might also like