Professional Documents
Culture Documents
INDONESIA
LAPORAN
Oleh
Ahmad Muajis
Tingkat II A
a. Zaman Purba
Pada zaman ini orang percaya bahwa sesuatu yang ada di bumi mempunyai suatu
kekuatan mistik yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini biasa
disebut animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan
alam atau pengaruh kekuatan gaib seperti batu besar, gunung tinggi, pohon besar, sungai
besar. Jiwa yang baik membawa kesehatan, jika yang jahat membawa kesakitan dan
kematian (Calor, taylor, Lilis & Lemone,1997). Peran tabib dan perawat jelas berbeda,
tabib adalah medicineman yang mengobati penyakit dengan jalan melantunkan nyanyian,
memberi semangat dari ketakutan atau membuka otak untuk menghilangkan jiwa yang
jahat (Dolan, Fitzpatrick & Herman, 1983). Perawat biasanya berperan sebagai ibu yang
merawat familinya sewaktu sakit dengan memberikan perawatan fisik dan memberikan
obat dari tumbuh-tumbuhan. Peran ini diteruskan sampai saat ini.
b. Zaman Keagamaan
Pada zaman ini, kuil menjadi pusat perawatan medis sebab orang percaya bahwa penyakit
disebabkan oleh dosa dan kutukan Tuhan. Pemimpin agama dijunjung tinggi sebagai
tabib, perawat dianggap sebagai budak dan mendapat penghargaan yang rendah karena
pekerjaannya didasarkan perintah dari pempimpin agam yang berperan sebagai tabib.
c. Permulaan Masehi
Pada permulaan masehi, agama Kristen mulai berkembang. Pada masa ini keperawatan
mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan kepesatan perkembangan agama
Kristen. Organisasi wanita pertama yang dibentuk pada saat itu dinamakan Deaconesses,
mengunjungi orang-orang sakit dan anggota keagamaan laki-laki memberikan perawatan
serta mengubur orang mati. Pada perang salib perawat laki-laki dan perempuan bertugas
merawat orang-orang yang luka dalam peperangan tersebut.
Kemajuan profesi keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas dengan berdirinya rumah
sakit terkenal di Roma yang bernama Monastik hospital. Rumah sakit ini dilengkapi
dengan fasilitas bangsal-bangsal perawatan untuk merawat orang sakit serta bangsal-
bangsal lain sebagai tempat merawat orang cacat, miskin dan yatim piatu.
Seperti halnya di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi keperawatan juga berkembang
di benua Asia. Tepatnya di timur tengah seiring dengan perkembangan agama Islam.
Tokoh keperawatan yang terkenal di dunia Arab pada masa ini adalah Rafidah.
Struktur dan orientasi masyarakat berubah dari orientasi keagamaan menjadi orientasi
pada kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam, serta perkembangan
pengetahuan. Akibatnya banyak gereja dan tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini
digunakan oleh ordo-ordo keagamaan untuk merawat orang sakit. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan keperawatan. Untuk memenuhi kebutuhan perawat,
wanita yang pernah melakukan kejahatan dan telah berobat dapat diterima bekerja
sebagai perawat. Akibat reputasi yang jelek ini, perawat menerima gaji yang rendah
dengan jam kerja lama pada kondisi yang buruk (Taylor C.,dkk, 1989)
Florence Nightingale (1820-1910) merupakan tokoh pembaharu perawatan pada saat itu
dan bahkan sering disebut Ibu Perawatan. Pada waktu itu, Florence Nightingale sudah
menyadari pentingnya suatu sekolah untuk mendidik para calon perawat, agar dapat
diberikan pengetahuan, keterampilan dan pembinaan mental sehingga dihasilkan tenaga
perawatan yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil dalam melaksanakan
perawatan. Beliau menetapkan struktur dasar sebagai prasyarat dalam pendidikan perawat
:
3) Menetapkan pengetahuan yang harus dimiliki para calon sebagai dasar perawatan
Di samping itu, Florence Nightingale telah berpendapat bahwa.
1) Perlu persiapan pendidikan yang berlainan bagi perawat pelaksana dan perawat
administrator atau supervisor.
2) Perlu diperhatikan bahwa harus ada perubahan tentang jam kerja perawat yang
waktu itu berlangsung 12 jam/hari dan 7 hari/minggu.
Selama perang, banyak kejadian yang merupakan “tekanan” bagi setiap bangsa di dunia.
Tekanan perang ini mendorong manusia mengadakan perubahan-perubahan. Kemajuan
teknologi dimaksudkan untuk berlomba menaklukan dunia. Penerapan teknologi modern
dalam bidang pelayanan orang sakit telah mulai diperkenalkan waktu itu sebagai jawaban
atas kebutuhan pelayanan kesehatan akibat penderitaan sakit selama perang. Timbulnya
penyakit akibat perang, menyebabkan dibutuhkannya peningkatan pengetahuan dan
keterampilan tenaga medis maupun perawat. Kemampuan satu bidang profesi tertentu
tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan waktu itu.
Inipun merupakan tantangan baru bagi perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan
bersama dengan profesi lain.
Akibat Perang dunia II yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi penduduk dunia
telah menggugah semua pihak untuk memperbaiki keadaan dunia. Dasar pemikiran
semula, “the nurse must give total patient care” dalam arti sempit telah berkembang,
dalam arti luas perawat lebih menyadari atas makna totality of the individual client dari
sebelumnya. Oleh karena itu terjadi perubahan dari perawat bekerja sendiri menjadi
bekerja team.
Dalam dekade ini telah dilancarkan perjuangan untuk pengakuan keperawatan sebagai
profesi. Lucille Brown (1948) menulis sebuah laporan tentang pengakuan perawat
sebagai profesi merupakan titik tolak yang besar untuk kehidupan perawat dan profesi
perawat. Ia memperhatikan penghargaan pada perawat dalam kaitannya dengan tanggung
jawab sebagai penyelenggara pelayanan perawatan yang bermutu. Untuk itu disadari
perlunya suatu pengelolaan pelayanan keperwatan yang baik untuk menjamin mutu dan
sekaligus tersedia alat evaluasi keperawatan tersebut.
Pendidikan perawat pada tingkat “Bachelor” dimulai tahun 1919. Pada tahun 1977 telah
terdapat 3830 orang lulusan master di bidang keperawatan dan pada tahun 1972 terdapat
9 institusi yang melaksanakan program Doktor di bidang keperawatan. Di Thailand
pendidikan keperawatan pada tingkat “Bachelor” dimulai tahun 1966, dan pada tingkat
“Master” dimulai tahun 1986.
Proses keperawatan yang dimulai tahun 1950 dianggap sebagai stadium embrio. Pada
saat itu proses keperawatan belum dipahami dan juga belum bisa diterima, tetapi sudah
dilakukan sehari-hari. Baru pada tahun 1955 Lydia Hall memberikan presentasinya
tentang “Perawatan adalah suatu proses”. Pada hakikatnya keperawatan menyangkut
empat hal pokok yaitu :
Fase dalam proses keperawatn diidentifikasi oleh para dosen keperawatan Universitas
Katolik Amerika pada tahun 1967 meliputi : pengkajian, perencanaan, implementasi,
dan evaluasi.
Pengertian keperawatan menurut International Council of Nurses (ICN) pada tahun 1973
adalah, ”Fungsi yang unik dari perawat adalah menolong sesorang yang sakit atau sehat
dalam usaha-usaha menjaga kesehatan atau penyembuhan atau untuk menghadapi
sakaratul maut dengan tenang, yaitu usaha yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri
apabila dia cukup kuat, berkemampuan atau sadar dan melakukannya sedemikian rupa
sehingga si pasien dalam waktu singkat dapat mandiri”.
Untuk memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi, menurut Taylor C, et al. (1997)
keperawatan harus memiliki:
4) Kode etik
7) Otonomi
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang
disebut Verpleger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit. Mereka
bekerja pada rumah sakit Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan pada tahun 1799
untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah Belanda pada
masa itu antara lain membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan
Rakyat. Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha Deandels mendirikan rumah sakit di
Semarang dan Surabaya. Karena tujuannya hanya untuk kepentingan tentara belanda,
maka tidak diikuti perkembangan keperawatan.
Kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang tahun 1942-1945 menyebabkan
perkembangan keperawatan mengalami kemunduran karena pekerja perawat pada masa
Belanda dan Inggris sudah dikerjakan oleh perawat yang telah dididik, maka pada masa
Jepang tugas perawat dilakukan oleh mereka yang tidak dididik untuk menjadi perawat.
Pendidikan keperawatan dari awal kemerdekaan sampai tahun 1953 masih berpola
pada pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai contoh,
sampai dengan tahun 1950 pendidikan tenaga keperawatan yang ada adalah
pendidikan tenaga keperawatan dengan dasar pendidikan umum Mulo +3 tahun untuk
mendapatkan ijazah A (perawat umum) dan ijazah B untuk perawat jiwa. Ada juga
pendidikan perawat dengan dasar sekolah rakyat +4 tahun pendidikan yang
lulusannya disebut mantri juru rawat. Baru pada tahun 1953 dibuka sekolah pengatur
rawat dengan tujuan untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang lebih berkualitas.
Namun, pendidikan dasar umum tetap SMP yang setara dengan Mulo dengan lama
pendidikan tiga tahun. Pendidikan ini dibuka di tiga tempat (yaitu di Jakarta, di
Bandung dan di Surabaya), kecuali pendidikan perawat di Bandung, keduanya berada
dalam institusi rumah sakit.
Tahun 1955 di buka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan pendidikan dasar umum
sekolah rakyat ditambah pendidikan satu tahun dan Sekolah Pengamat Kesehatan
yaitu sebagai pengembangan SDK ditambah pendidikan satu tahun. Ditinjau dari
aspek pengembangannya sampai dengan tahun 1955 ini tampak pengembangan
keperawatan tidak berpola, baik tatanan pendidikannya maupun pola ketenagaan yang
diharapkan.
Pada masa tahun 1963 hingga 1982 tidak terlalu banyak perkembangan di bidang
keperawatan, sekalipun sudah banyak perubahan dalam pelayanan, tempat tenaga
lulusan Akademi Keperawatan banyak diminati oleh rumah sakit-rumah sakit,
khususnya rumah sakit besar.
Sejak adanya kesepakatan pada lokakarya nasional (Januari 1983) tentang pengakuan
dan diterimanya keperawatan sebagai suatu profesi, dan pendidikannya berada pada
pendidikan tinggi, terjadi perubahan mendasar dalam pandangan tentang pendidikan
keperawatan. Pendidikan keperawatan bukan lagi menekankan pada penguasaan
keterampilan, tetapi lebih pada penumbuhan, pembinaan sikap dan keterampilan
profesional keperawatan, disertai dengan landasan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
keperawatan.
Dari sinilah awal pengembangan profesi keperawatan Indonesia, yang sampai saat ini
masih perlu perjuangan, karena keperawatan di Indonesia sudah diakui sebagai suatu
profesi maka pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan. Hal ini sejalan dengan tuntutan UU No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, terutama pada pasal 32 yang berbunyi :
Ayat 3: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tahun 1992 merupakan tahun penting bagi profesi keperawatan karena pada tahun ini
secara hukum keberadaan tenaga keperawatan sebagai profesi diakui dalam undang-
undang yaitu yang dikenal dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
sebagai penjabarannya.
Tahun 1998 dibuka kembali program Keperawatan yang ketiga yaitu Program Studi
Ilmu Keperawatan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kurikulum Ners
disahkan, digunakannya kurikulum ini merupakan hasil pembaharuan kurikulum S1
Keperawatan tahun 1985.
Tahun 1999 Program S1 kembali dibuka, yaitu Program Studi Ilmu Keperawatan
(PSIK) di Universitas Airlangga Surabaya, PSIK di Universitas Brawijaya Malang,
PSIK di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, PSIK di Universitas Sumatera
Utara, PSIK di Universitas Diponegoro Jawa Tengah, PSIK di Universitas Andalas,
dan dengan SK Mendikbud No. 129/D/0/1999 dibuka juga Sekolah Tinggi Ilmu
Keperawatan (STIK) di St. Carolus Jakarta. Pada tahun ini juga (1999) kurikulum
DIII Keperwatan selesai diperbaharui dan mulai didesiminasikan serta diberlakukan
secara nasional.
Tahun 2000 diterbitkan SK Menkes No. 647 tentang Registrasi dan Praktik Perawat
sebagai regulasi praktik keperawatan sekaligus kekuatan hukum bagi tenaga perawat
dalam menjalankan praktik keperawatan secara profesional.
PENDIDIKAN KEPERAWATAN
Selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pendidikan keperawatan tahap demi tahap
mengalami peningkatan baik jenjang maupun mutu pendidikan. Pendidikan keperawatan yang
dahulu hanya merupakan pendidikan dasar atau menengah, kini telah ditingkatkan pada jenjang
pendidikan tinggi. Variasi jenjang pendidikan keperawatan yang ada saat ini seringkali
membingungkan masyarakat, perawat, maupun para pejabat. Jenjang utama pendidikan
keperawatan di Indonesia saat ini adalah Sekolah Perawat Kesehatan, Akademi atau Pendidikan
Ahli Madya Keperawatan/Politeknik Kesehatan dengan tiga tahun program diploma
keperawatan, dan Program strata satu keperawatan dan program S2 yang terkait dengan
keperawatan.
Pendidikan tenaga keperawatan di Indonesia secara umum bertujuan untuk menyediakan tenaga
kesehatan dalam jumlah dan jenis yang sesuai, yang memiliki cirri-ciri berbudi luhur, tangguh,
serdas, terampil, mandiri, memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif,
inovatif, disiplin, serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan asas profesionalismenya
masing-masing (Pusdiknakes, 2001).
Walaupun jumlah perawat dari pendidikan tinggi telah meningkat, namun kita perlu mencatat
bahwa sebagian besar perawat berlatar belakang pendidikan menengah. Jumlah perawat di
Indonesia menurut data dari Depkes RI (Republika, 2004) adalah sekitar 180 ribu orang dengan
latar belakang pendidikan: 76,65 persen lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), 22 persen
perawat lulusan D3 Keperawatan, dan 2,35 persen lulusan S-1. Jumlah bidan adalah sekitar
70.600 orang dan 98 persen di antaranya adalah lulusan Program Pendidikan Bidan.
Perkembangan pendidikan keperawatan pada saat ini dipengaruhi berbagai faktor nasional
maupun internasional. Dari kaca mata nasional, situasi politik di tanah air dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-haknya telah memicu reformasi di berbagai bidang termasuk
pendidikan. Maraknya ide desentralisasi/otonomi daerah juga telah memengaruhi bagaimana
pengelolaan pendidikan keperawatan dan penempatan kerja lulusan harus diselenggarakan.
Sementara tantangan dari kaca mat internasional telah mendorong kesadaran kita dalam upaya
menyiapkan tenaga keperawatan yang handal dengan kompetisi global. Untuk ini undang-
undang harus disesuaikan di antaranya undang-undang tentang registrasi dan praktik
keperawatan dan penyesuaian pendidikan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang baru
(Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003).
Bagian berikut akan membahas jenis pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia, yaitu:
Sekolah Perawat Kesehatan, Pendidikan Ahli Madya Keperawatan (Politeknik Kesehatan),
Program Sarjana, dan Pasca- Sarjana Keperawatan.
Dari beberapa jenis jenjang pendidikan keperawatan, Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
merupakan institusi yang telah menyumbang tenaga keperawatan dalam jumlah paling besar.
Ini karena mayoritas pendidikan keperawatan di Indonesia pada saat didirikan adalah SPK.
SPK sebelumnya bernama SPR (Sekolah Pengatur Rawat) yang mulai dirintis pada tahun
1960. Pada tahun yang sama juga mulai didirikan pendidikan dengan jenjang lebih tinggi,
yaitu akademi perawatan yang saat ini menawarkan program diploma tiga keperawatan.
Dasar pendidikan keperawatan pada awal kemerdekaan adalah sekolah dasar ditambah
keperawatan yang lamanya bervariasi. Kemudian pada tahun 1960 mulai dikembangkan
Sekolah Perawat Kesehatan (SPR) dengan latar belakang pendidikan SMP yang sekarang ini
bernama SPK (Jahmono, 1993). Tujuan pendidikan SPK adalah meluluskan perawat
kesehatan yng mampu sebagai pelaksana maupun pengelola keperawatan. Lama pendidikan
dirancang tiga tahun. Pada masa tersebut pendirian SPK merupakan jawaban tepat bagi
pemerintah untuk mencukupi kebutuhan jumlah tenaga keperawatan. Karena kebutuhan
tenaga keperawatan masih sangat dibutuhkan, lulusan SPK rata-rata tidak mengalami
kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Hal ini yang menyebabkan salah satu animo untuk
mendaftarkan diri ke SPK cukup besar pada masa itu.
Permasalahan kesehatan lain kemudian muncul, tidak saja upaya untuk memenuhi tenaga
keperawatan, tetapi juga penyediaan tenaga bidan. Untuk mencukupi tenaga bidan,
pemerintah menyelenggarakan program pendidikan bidan satu tahun yang pesertanya diambil
dari lulusan SPK. Penyelenggaraan ini diharapkan dapat menghasilkan tenaga bidan untuk
ditempatkan di desa-desa (bidan desa).
Sistem Kesehatan Nasional (2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan vokasi,
sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah institusi pendidikan tenaga kesehatan yang telah
diakreditasi oleh asosiasi institusi pendidikan kesehatan yang bersangkutan. Penyelenggaraan
pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi pendidikan (university based) dan institusi
pelayanan kesehatan (hospital based) yang diakreditasi oleh kolegium profesi yang
bersangkutan.
Adanya tuntutan bahwa perawat harus dipersiapkan melalui pendidikan tinggi seperti
tercantum dalam SKN yang lama dan yang baru (diatas) telah lama ditanggapi antara lain
dengan mengonversikan SPK menjadi jenjang pendidikan diploma tiga dan menunjuk
AKPER yang melaksanakan program ini (Nugroho Imam Santosa, 1992) dan dengan
memberi kesempatan kepada perawat lulusan SPK untuk melanjutkan pendidikannya tanpa
harus meninggalkan pekerjaannya. Namun, seperti diakui oleh beberapa pengelola dari
Pusdiknakes bahwa daya serap upaya ini masih mengalami kendala.
Penyelenggaraan program diploma tiga keperawatan merupakan salah satu upaya antisipasi
terhadap perkembangan pelayanan kesehatan. Program ini pertama-tama diselenggarakan
pada tahun 1960-an, yaitu dengan berdirinya Akper Bandung. Persyaratan peserta adalah
lulusan SMU atau lulusan SPR/SPK yang sudah bekerja. Tahun demi tahun pendirian Akper
semakin berkembang dan untuk saat ini institusi pendidikan ini dapat ditemukan di setiap
provinsi.
Seperti halnya SPK, secara administrative program diploma tiga dibawah koordinasi Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan. Pada beberapa tahun lalu, kurikulum
program diploma tiga adalah kurikulum inti yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, kurikulum yang disusun telah dikembangkan dengan Community Oriented
Nursing Education atau pendidikan keperawatan yang berorientasi kepada masyarakat.
Tujuan dari program diploma tiga keperawatan adalah menghasilkan tenaga perawat
professional pemula yang mendapat sebutan ahli madya keperawatan yang merupakan
manajer menengah dalam keperawatan yang diharapkan mampu sebagai pelaksana,
pengelola, pendidik, dan partisipasi aktif dalam penelitian ilmiah. Peserta yang mengikuti
program diploma terdiri dari peserta umum (lulusan SMU) dan peserta lulusan SPK. Untuk
meningkatkan karier, para lulusan diploma setelah memenuhi persyaratan tertentu dapat
melanjutkan ke program sarjana keperawatan.
Dalam keputusan Menkes Dan Kesejahteraan Sosial RI di atas dijelaskan bahwa pelaksanaan
teknis institusi pendidikan ini tetap di bawah Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial dan pimpinan institusi adalah direktur yang secara administratif bertanggung jawab
kepada Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Program yang
dapat diselenggarakan adalah program diploma I, II, III dan IV.
Program Strata 1 atau Sarjana Keperawatan mulai diselenggarakan pada tahun 1985 oleh
Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang sejak
tahun 1995 menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK UI) berdasarkan SK Mendikbud RI
No. 0332/0/1995 (FIK-UI, 2005). Karena kebutuhan tenaga keperawatan dari lulusan
pendidikan tinggi yang mendesak, kemudian program S1 Keperawatan juga diselenggarakan
oleh berbagai universitas yang lain, misalnya Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998
mendirikan Program Studi Ilmu keperawatan. Salah satu kelebihan dari PSIK UGM adalah
digunakannya Problem Based Learning sebagai metode pembelajaran. Tidak lama kemudian
diselenggarakan program serupa di Universitas Airlangga yang pendiriannya berdasarkan SK
Dirjen Dikti No. 122/Dikti/Kep/1999 tanggal 7 April 1999. Untuk saat ini beberapa
universitas dan juga Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan telah menawarkan program S1
Keperawatan.
Beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan dari penyelenggaraan pendidikan tingkat
sarjana keperawatan adalah bagaimana kita secara tepat mampu mengelola sumber daya
tenaga tingkat sarjana ini setelah mereka menyelesaikan pendidikannya dan hal yang lain
adalah bagaimana kita meningkatkan dan mempertahankan mutu pendidikan dan penelitian.
Untuk mencetak perawat dengan kemampuan kepemimpinan, manajerial dan penelitian yang
andal,, Universitas Indonesia melalui Program Studi Magister Ilmu keperawatan juga telah
menawarkan Program S2 dengan kekhususan kepemimpinan dan manajemen keperawatan.
Lama program ini adalah dua tahun (empat semester). Di masa mendatang kita berharap
bahwa universitas di tanah air juga mampu menyelenggarakan program S2 keperawatan ini
dengan berbagai peminatan termasuk peminatan klinis guna menyiapkan perawat dengan
kompetensi klinis tingkat tinggi (advanced nursing practice) dan perawat peneliti melalui
program S3 keperawatan.
Jenis pendidikan pada jenjang pendidikan ini didasarkan pada tuntutan kebutuhan pelayanan
keperawatan, dan perkembangan ilmu keperawatan, khususnya keperawatan klinis. Dalam
pengembangan jenjang pendidikan ini dicegah terjadinya fragmentasi yang berlebihan yang
dapat merugikan masyarakat dan perkembangan profesi keperawatan. Penetapan jenis
spesialisasi seyogyanya dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bertanggung jawab
terhadap pengembangan pendidikan tinggi keperawatan, pelayanan keperawatan dan
kesehatan, serta organisasi profesi keperawatan.
Program Pendidikan Spesialis bidang keperawatan yang ada saat ini adalah program
pendidikan spesialis maternitas dan kedepan akan dikembangkan program spesialis lain
sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan keperawatan berkelanjutan pada prinsipnya tidak selalu harus ditempuh dengan
pendidikan formal, tetapi dapat pula ditempuh dengan mengikuti kursus jangka pendek atau
pelatihan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan tinggi atau belajar mandiri/informal
dengan mengikuti berbagai kesempatan yang diberikan oleh organisasi profesi atau badan
lain yang berwenang.
Terlepas dari jenjang pendidikan yang ditawarkan, sepertinya ada beberapa hal umum yang
dihadapi oleh semua pendidikan keperawatan baik menengah atau tinggi. Hal ini antara lain
disebabkan oleh berbagai perubahan sosial dan politik yang sama di tanah air kita. Berbagai
persoalan yang kiranya dapat kita pakai sebagai bahan kajian kita bersama adalah:
b. Arah dan kurikulum pendidikan keperawatan. Dalam situasi global saat ini, kita
berharap dapat mencetak tenaga keperawatan yang berkompetensi tinggi. Namun
dampaknya, arah pendidikan sering kali menjadi kabur dan muatan kurikulum
menjadi tidak jelas. Kurikulum seharusnya disusun dengan mendasarkan isi program
pendidikan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan setempat (provinsi/daerah),
nasional dan nternasional.
d. Keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas klinik. Jumlah doktor dan master
keperawatan masih sangat terbatas untuk kebutuhan pengajaran program sarjana
keperawatan. Di pengajaran jenjang diploma, penyediaan jumlah tenaga pengajar
dengan kualifikasi master (S2) dan sarjana keperawatan belum memadai. Hal ini juga
terjadi di jenjang pendidikan SPK. Selain keterbatasan tenaga pengajar, sumber
fasilitas pendidikan belum juga memadai seperti lahan praktik, peralatan
laboratorium, dan buku-buku keperawatan dan akses mahasiswa dalam menggunakan
sarana elektronik (mis., jurnal-jurnal keperawatan).
Menurut Peplau, keperawatan adalah therapeutic yang mempunyai seni penyembuhan dalam
membantu orang yang sakit atau orang yang membutuhkan perawatan kesehatan.
Keperawatan dapat dianggap sebagai proses interpersonal sebab melibatkan interaksi antara 2
atau lebih individu dengan tujuan tertentu.
a. Fase orientasi
Fokusnya adalah fase menentukan atau menemukan masalah. Pertama kali perawat dan
pasien bertemu masih sebagai orang yang asing satu sama lain, pasien dan keluarganya
memiliki perasaan butuh bantuan profesional walaupun kebutuhan ini kadang-kadang
tidak dapat dikenali atau dimengerti oleh mereka. Pada fase ini paling penting adalah
perawat bekerja sama secara kolaborasi dengan pasien dan keluarganya dalam
menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama mengenali, memperjelas dan
menentukan masalah yang ada. Setelah masalahnya diketahui, diambil keputusan
bersama untuk menentukan tipe/jenis bantuan apa yang diperlukan. Perawat sebagai
fasilitator dapat merujuk klien ke ahli lain sesuai dengan kebutuhan.
b. Fase identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang sesuai. Pada fase ini pasien
merespon secara selektif ke orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhannya, setiap
pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase ini. Respons pasien terhadap
keperawatan adalah :
c. Fase ekploitasi
Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan profesional untuk alternatif pemecahan
masalah. Pelayanan yang diberikan berdasarkan minat dan kebutuhan dari pasien, pasien
mulai merasa sebagai bagian integral dari lingkungan pelayanan. Pada fase ini pasien
mulai menerima informasi-informasi yang diberikan padanya tentang penyembuhannya,
mungkin berdiskusi atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada perawat,
mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan
dari perawat dan sebagainya.
d. Fase resolusi
Fokusnya adalah mengakhiri hubungan profesional. Pasien dan perawat dalam fase ini
perlu untuk mengakhiri hubungan therapeutik mereka.
Perhatian utamanya adalah aspek kiat atau aspek praktik dari keperawatan. Menurut
Wiedenbach keperawatan klinik (clinical nursing) mempunyai empat komponen, yaitu
filsafat (philosophy), kemanfaatan/kegunaan (purpose), praktik, dan kiat (art). Pandangan ini
yang melandasi pendapatnya bahwa pada praktik keperawatan terdapat tiga komponen, yaitu:
Teori keperawatan dari Wiedenbach ini kemudian dikenal sebagai “the helping art of clinical
nursing”.
6. Virginia Henderson (1966)
Teori Henderson berfokus pada individu yang berdasarkan pandangannya, yaitu bahwa
jasmani (body) dan rohani (mind) tidak dapat dipisahkan. Menurut pendapat Henderson,
manusia adalah unik dan tidak ada dua manusia yang sama. Kebutuhan dasar individu
tercermin dalam 14 komponen dari asuhan keperawatan dasar (basic nursing care).
a. Bernafas normal
g. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal melalui penyesuaian pakaian dan
memodifikasi lingkungan
n. Belajar menemukan atau memenuhi rasa ingin tahu yang menuju kepada
pertumbuhan normal dan sehat.
Levine melihat individu sebagai makhluk utuh (holistic beings) yang memiliki kemampuan
merespons secara organismik sebagai upaya mengadaptasi diri terhadap lingkungan. Menurut
pandangannya, intervensi keperawatan adalah bantuan terhadap klien secara holistik dan
merupakan pusat kegiatan keperawatan, mempercepat proses adaptasi yang turut berperan
dalam proses penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Pada tahun 1973 ia mengemukakan 4
prinsip konservasi (conservation principles), yaitu:
a. Conservation of energy,
Dasar teori Roger adalah ilmu tentang asal usul manusia dan alam semesta seperti
antropologi, sosiologi, agama, filosofi, perkembangan sejarah dan mitologi. Teori Roger
berfokus pada proses kehidupan manusia secara utuh. Ilmu keperawatan adalah ilmu yang
mempelajari manusia, alam dan perkembangan manusia secara langsung.
a. Manusia adalah kesatuan yang utuh, masing-masing mempunyai sifat dan karakter
yang berbeda serta mempunyai proses hidup yang dinamis.
Orem melihat individu suatu kesatuan utuh yang terdiri atas suatu yang bersifat fisik,
psikologik dan sosial, dengan derajat kemampuan mengasuh diri sendiri (self care ability)
yang berbeda-beda. Berdasarkan pandangan ini, ia berpendapat bahwa kegiatan atau tindakan
keperawatan ditujukan kepada upaya memacu kemampuan mengasuh diri sendiri. Ia
menyatakan bahwa teorinya, yaitu “self-care deficit theory of nursing”, merupakan teori
umum (general theory).
b. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan, tetapi diprediksi untuk masa yang akan
datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
b. Membimbing
e. Mengajarkan
10. Imogene F. King (1971)
King memandang bahwa klien/pasien sebagai sistem perorangan (personal system) di dalam
lingkungan, sebagai makhluk yang mempunyai daya bereaksi (reacting beings), makhluk
yang berorientasi pada waktu (time-oriented beings), dan makhluk sosial (social beings) yang
mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berpikir, memilih, menetapkan tujuan, dan
memiliki kegiatan untuk mencapai tujuan, serta membuat keputusan. Keperawatan dilihat
sebagai aksi, reaksi, interaksi dan transaksi dari proses interpersonal. King mendefinisikan
keperawatan sebagai proses interaksi manusia (process of human interactions) antara perawat
dan klien yang berkomunikasi untuk menentukan tujuan, mengeksplorasi sumber yang
diperlukan untuk mencapai tujuan, mengeksplorasi sumber yang diperlukan untuk mencapai
tujuan, serta menyepakati sumber-sumber yang digunakan dalam mencapai tujuan. Teori
King dikenal sebagai “theory of goal attainment”.
Newman mengemukakan model sistem (system model) dalam pendidikan dan praktik
keperawatan. Newman menggunakan pendekatan manusia utuh (total person approach),
dengan memasukkan konsep holistik, pendekatan sistem terbuka (open system), dan konsep
“stressor”.
Model ini menganalisis interaksi empat variabel penunjang komunitas yang meliputi fisik,
psikologi, sosial kultural dan spiritual. Adapun tujuan keperawatan adalah stabilitas klien dan
keluarga dalam lingkungan yang dinamis.
b. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kekuatan, baik internal dan eksternal yang
dapat memengaruhi hidup dan perkembangan klien atau sistem klien.
c. Keperawatan. Secara umum, keperawatan merupakan profesi yang unik, mencakup
tentang respons manusia terhadap stresor yang merupakan konsep yang utama untuk
mencapai stabilitas pasien. Newman mendefinisikan parameter dari keperawatan
adalah individu, keluarga dan kelompok dalam mempertahankan tingkat yang
maksimal dari sehat dengan intervensi untuk menghilangkan stres dan menciptakan
kondisi yang optimal bagi pasien intervensi keperawatan bertujuan untuk
menurunkan stresor melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
d. Kesehatan. Kesehatan adalah keadaan yang adekuat dalam suatu sistem stabilitas
yang merupakan keadaan yang baik. Sehat adalah kondisi terbebasnya dari gangguan
pemenuhan kebutuhan dan sehat merupakan keseimbangan yang dinamis sebagai
dampak dari keberhasilan menghindari atau mengatasi stresor.
Kontribusi Abdellah dalam teori keperawatan adalah pemanfaatan secara sistematik dari data
riset dalam merumuskan dan memfasilitasi 21 masalah keperawatan. Model keperawatannya
berdasarkan metode pemecahan masalah.
Roy memandang individu sebagai makhluk bio-psiko-sosial yang harus dilihat sebagai suatu
kesatuan utuh yang secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan, berespons terhadap
lingkungan, dan beradaptasi dengan lingkungan. Keperawatan dilihat sebagai kegiatan atau
tindakan yang ditujukan pada upaya menghilangkan stimuli dan memacu kemampuan
adaptasi dari individu. Model keperawatan yang dikembangkannya selanjutnya dikenal
sebagai “adaptation model”.
Leiniger menekankan bahwa mengasuh (caring) adalah tema sentral dari asuhan
keperawatan, serta pengetahuan dan praktik keperawatan. Teorinya tentang keperawatan
berdasarkan antropologi, adalah teori keperawatan lintas-budaya (Transcultural care theory)
yang menekankan bahwa perilaku, nilai dan keyakinan individual dan kelompok berdasarkan
kebutuhan kulturalnya harus diperhatikan, agar asuhan keperawatan yang diberikan
kepadanya efektif dan memuaskan.
Dari uraian sepintas di atas digambarkan teori dalam keperawatan yang terjadi dengan pesat.
Dan hal ini akan terus berlangsung, bahkan mungkin dalam kecepatan yang lebih tinggi,
mengingat bahwa perkembangan ilmu-ilmu yang menopang ilmu keperawatan juga
berkembang dengan pesat.
PERAWAT KE ARAH INDIVIDU
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk
pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga,
dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
c. Aspek komunikasi
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan komunikasi yang baik
dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya komunikasi yang saling berinteraksi antara
pasien dengan perawat, dan adanya hubungan yang baik dengan keluarga pasien.
d. Aspek kerjasama
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan kerjasama yang baik
dengan pasien dan keluarga pasien.
e. Aspek tanggung jawab
Aspek ini meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas, mampu mencurahkan
waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten serta tepat dalam bertindak.
Joewono (2003) menyebutkan adanya delapan aspek yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan yaitu:
a. Kepedulian, seberapa jauh perusahaan memperhatikan emosi atau perasaan konsumen.
b. Lingkungan fisik, aspek ini menunjukkan tingkat kebersihan dari lingkungan yang akan
dinikmati konsumen, ketika mereka menggunakan produk.
c. Cepat tanggap, aspek yang menunjukkan kecepatan perusahaan dalam menanggapi
kebutuhan konsumen.
d. Kemudahan bertransaksi, seberapa mudah konsumen melakukan transaksi dengan
pemberi servis.
e. Kemudahan memperoleh informasi, seberapa besar perhatian perusahaan untuk
menyajikan informasi siap saji.
f. Kemudahan mengakses, seberapa mudah konsumen dapat mengakses penyedia servis
pada saat konsumen memerlukannya.
g. Prosedur, seberapa baik prosedur yang harus dijalankan oleh konsumen saat berurusan
dengan perusahaan.
h. Harga, aspek yang menentukan nilai pengalaman servis yang dirasakan oleh konsumen
saat berinteraksi dengan perusahaan.
Sedangkan Soegiarto (1999) menyebutkan lima aspek yang harus dimiliki Industri jasa
pelayanan, yaitu :
a. Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal sama dengan batas waktu
standar. Merupakan batas waktu kunjung dirumah sakit yang sudah ditentukan waktunya.
b. Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin kepuasan konsumen.
Bagaimana perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien yaitu tepat memberikan
bantuan dengan keluhan-keluhan dari pasien.
c. Aman, rasa aman meliputi aman secara fisik dan psikis selama pengkonsumsian suatu
poduk atau. Dalam memberikan pelayanan jasa yaitu memperhatikan keamanan pasien
dan memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pasien sehingga memberikan rasa
aman kepada pasien.
d. Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan pada saat pelanggan
menyampaikan keluhan. Perawat selalu ramah dalam menerima keluhan tanpa emosi
yang tinggi sehingga pasien akan merasa senang dan menyukai pelayanan dari perawat.
e. Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa adanya. Pasien yang
membutuhkan kenyaman baik dari ruang rawat inap maupun situasi dan kondisi yang
nyaman sehingga pasien akan merasakan kenyamanan dalam proses penyembuhannya.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kualitas
pelayanan keperawatan adalah sebagai berikut :
a. Penerimaan meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang, selalu tersenyum,
menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap orang lain, menerima
pasien tanpa membedakan golongan, pangkat, latar belakang sosial ekonomi dan budaya,
sehingga pribadi utuh. Agar dapat melakukan pelayanan sesuai aspek penerimaan
perawat harus memiliki minat terhadap orang lain dan memiliki wawasan luas.
b. Perhatian, meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
perlu bersikap sabar, murah hati dalam arti bersedia memberikan bantuan dan
pertolongan kepada pasien dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan, memiliki
sensitivitas dan peka terhadap setiap perubahan pasien, mau mengerti terhadap
kecemasan dan ketakutan pasien.
c. Komunikasi, meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan komunikasi yang
baik dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya komunikasi yang saling berinteraksi
antara pasien dengan perawat, dan adanya hubungan yang baik dengan keluarga pasien.
d. Kerjasama, meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan kerjasama yang
baik dengan pasien dan keluarga pasien.
e. Tanggung jawab, meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas, mampu
mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten serta tepat dalam
bertindak.
Pertama, Perawat masih dijadikan warga kelas dua dinegeri sendiri dengan bukti masih
banyaknya tenaga perawat yang menjalani tenaga Honorer atau tenaga kontrak (PKWT).cobalah
anda Check sendiri fakta ini di rumah-rumah sakit, poliklinik, tambang-tambang, pengeboran
minyak, puskesmas dan sarana-sarana Agency penyedia jasa tenaga kerja ( outsourching ) yang
nota bene penyalur perawat di berbagai kota besar di Indonesia.masih saja menjalani praktek –
praktek tak senonoh berbentuk perbudakan moden ( modern slavery ) ini jelas melanggar
konstitusi kita, amanat UU No.13 tahun 2003 dan KepMenakerTrans No.100 tahun 2004
melarang untuk melakukan tindakan kontrak/honor atau bahkan PHL ( Pekerja Harian Lepas ).
Tenaga kontrak sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi buruh yang melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan itu pun hanya berlaku 2 tahun plus satu tahun sedangkan tenaga
harian lepas untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam waktu dan volume pekerjaan
serta upah didasarkan pada kehadiran. Praktek-praktek ini masih banyak menimpa para perawat
Indonesia karena lemahnya posisi tawar (bargaining position ) perlu diketahui bahwa perawat
haram hukumnya untuk dikontrak terlebih menggunakan pihak ketiga, perawat secara tupoksi
mengerjakan pekerjaan tetap dengan frekwensi terus-menerus dan bukan mengerjakan barang
yang sedang diuji cobakan.perawat adalah seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan
formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya telah disyahkan oleh
pemerintah. (AD/ART PPNI/INNA Munas VII manado) ia adalah tenaga professional dibidang
perawatan kesehatan, ia bertanggung jawab atas perawatan, perlindungan dan pemulihan, ia
berperan dalam pemeliharaan pasien gawat darurat yang mengancam nyawa, dan ia terlibat
dalam riset medis dan perawatan sementara keperawatan adalah bentuk pelayanan professional
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat
keperawatan. Ini adalah bentuk bantuan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental dan
bantuan atas ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari.
Kedua, Harga diri perawat kian hari kian diinjak-injak tanpa pengakuan sama sekali, perawat
bekerja secara terus-menerus 24 Jam dengan 2-3 Shift dengan segala resiko yang mengancam,
norma-norma kesehatan dan keselamatan kerja ( UU 13/2003 pasal 85/86 ) tidak dijalankan oleh
pemerintah melalui instansi-instansi yang mempekerjakan perawat hal ini diperparah lagi dengan
sistem jaminan sosial yang tidak pernah merata, antara resiko dan pendapatan tidak berimbang,
penghasilan/financial perawat dari dahulu hingga kini tak banyak mengalami suatu perubahan
yang signifikan. Ini artinya professi perawat Indonesia lagi-lagi termarginalkan. Jika kita ingat
kembali memori lama kita tentang peristiwa bencana alam / korban masal yang silih berganti
menimpa bangsa kita justru tenaga Perawatlah yang dijadikan ujung tombak dalam garda medis
bencana alam, berapa juta kasus yang sudah perawat tangani hinggi kini tak pernah dilihat oleh
pemerintah namun mereka rasakan, mereka merasakan ketika keluarga mereka sedang dirawat,
mereka rasakan ketika suatu beban pekerjaan mereka dapat terselesaikan oleh perawat sehingga
tak jarang karir dan jabatan mereka meroket karena jasa perawat. Berapa banyak pula kasus-
kasus yang diangkat dipermukaan menyangkut kesejahteraan perawat di Rumah-rumah sakit, di
Jakarta sudah terjadi Di RSU UKI, RS HAJI, RS Mata, AGD 118, RS DUREN SAWIT dan
masih banyak lagi ibarat fenomena gunung es, yang menyoalkan masalah kesejahteraan,
kejadian ini akan terus berlanjut sampai kapanpun sebelum nasib perawat dan keluarganya
diperhatikan dan dibuatkan suatu aturan secara definitive untuk kesejahteraan para perawat.suatu
perbandingan perawat Indonesia dengan perawat Kuwait yang mendapat gaji berkisar antara
Rp.10 juta s/d 14 juta perbulan, sedangkan rekan sejawat yang bekerja di Indonesia maksimum
hanya Rp.800.000 s/d 1,5 jt perbulan ( data ketua PPNI yang bekerja dikuwait ),sekarang marilah
kita tengok perbandingan gaji DPR disenayan, mereka sudah seringkali meneriakkan persetaraan
gaji / study dengan DPR di jepang dan korea padahal gaji mereka sudah melebihi dari kebutuhan
hidup, mengapa kita para perawat Indonesia tidak meneriakkan hal yang serupa?? Mungkin ini
salah satu penyebab mengapa profesi lain memandang sebelah mata profesi perawat, selayaknya
sesama tenaga kesehatan dengan standart pendidikan yang setara harus bersanding berdiri sejajar
dengan profesi lain, kalau mereka bisa kenapa perawat tidak? ini tidak boleh dibiarkan berlarut-
larut harus ada upaya kuat dan sama-sama kita perjuangkan dengan beberapa cara diantaranya
dengan menggulirkan Upah Minimum sector Provinsi ( UMSP ) dibidang keperawatan, UU
Ketenangakerjaan nomor 13 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa upah minimum harus
didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Justru pemerintah telah melanggar ketentuan
ini. Melalui Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 PER-17/MEN/VIII/2005, komponen KHL
hampir tidak pernah diterapkan di keperawatan,bahkan masih banyak perawat dengan gaji
dibawah rata-rata UMP/R/S Akhirnya Kepmen 17/2005 menjadikan UPAH LAYAK bagi
perawat, hanyalah omong kosong belaka. Perawat Indonesia harus mendapatkan kesejahteraan
yang sama Seperti halnya upah PNS, TNI dan Polri, Upah Layak ini berlaku secara nasional.
Pengabdian perawat sama dengan mereka bahkan lebih berat dari mereka. Upah Layak perawat
selain memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, Apakah tuntutan ini berlebihan? TIDAK!!.
Kemudian segera bentuk unit-unit organisasi yang efektif untuk melakukan perlawanan yang
serius.selain dari pada itu standart kompetensi melalui pengesahan UU praktik
keperawatan.kemudian dibuka pintu eksodus selebar-lebarnya keluar negeri bagi perawat,
dengan eksodus maka profesi perawat akan dipandang unggul dan dibutuhkan Negara ,
sebagaimana yang telah terjadi di Philipine dimana seorang dokter spesialis, pengacara, arsitek,
profesi lainya berbondong-bondong kuliah keperawatan karena profesi ini pandang unggul dan
terhormat (data PPNI) maka dari itu ayo bangkit dan lawan ketidak adilan ini.
Ketiga, Lemahnya perlindungan Hukum dan persamaan pengakuan profesi dimata Publik. UU
No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan menegaskan bahwa ada pengakuan profesi keperawatan,
ada suatu perbedaan kewenangan profesi antara dokter dan perawat. Hal ini seyogyanya menjadi
acuan dalam penguatan Legal aspek profesi perawat dimata publik, namun rasanya UU dan
keputusan menteri kesehatan tersebut belum lah cukup menjawab semua tantangan global yang
saat ini mengancam sendi kehidupan segenap anak bangsa, perawat memberikan kontribusi yang
begitu besar terhadap bangsa ini,tokoh keperawatan Dunia Florence nightingle dan Siti Rufaidah
telah merubah dunia dengan konsep kasih sayangnya secara holistic ditengah-tengah kecamuk
perang dunia ke II waktu itu. Lemahnya perlindungan Hukum terhadap perawat Indonesia sangat
jelas terlihat ketika para tenaga peawat yang sedang mengalami gugatan Hukum tak terbela,
misalnya perawat AGD Dinkes DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan dini
hari ( 1-6-08 ) di tabrak oleh oknum artis ibukota dan hingga kini kasusnya gantung di
Pengadilan tinggi negeri jaksel tanpa ada advokasi dari pemerintah, itu adalah contoh kecil yang
terjadi dan barangkali masih banyak kasus baik di dalam maupun diluar negri yang tak terungkap
akibat sikap kelalaian pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kualitas-pelayanan-keperawatan/
http://oknurse.wordpress.com/2009/09/02/praktik-mandiri-perawat/
http://te-in.facebook.com/topic.php?uid=52607945966&topic=12634