You are on page 1of 19

c 

oleh Ust. Husein Al-Kaff

Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
  c 

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir,
sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia
sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia
seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia
tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat
berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan "berpikir".

Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui)
dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn)
sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2.
Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu
bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan
yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak
terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai
misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3]
Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya.
Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak
zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2]
Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini
benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam
pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).





Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu
mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek
terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu
diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita
tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat
keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang
sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu".
Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran
itu. Kondisi ini disebut "jahil".

Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari
sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga
[2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan
megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi
tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian
atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin",
atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain
sebagainya.

Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

  

 

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri
adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang
membutuhkan pemikiran.

Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang
dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu
yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa
sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang
kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan
nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang
sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari
adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh:
bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.




Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya
dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa
benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak
orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia
dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur
yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak
saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian
keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4;
Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat
pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering
menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan
juz'i.

    

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli
mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur
kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut
bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat
kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus
Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

1.Y Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa
diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli
yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal:
tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan
afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti
bukan manusia.
2.Y Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad
kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap
manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
3.Y Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada
seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan
tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah
manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup
semua afrad tashawwur manusia.
4.Y Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari
keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak
bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur
kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah
seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.

a


   

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan
fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.

Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik
tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi
menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul
tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian
majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".

Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".

Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa
itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan
yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting
sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan
disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

c  c     

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk
mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah:
[1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens)
dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail
termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

1.Y Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan
bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya
adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir"
adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
2.Y Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah
hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
3.Y Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah
wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak
lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang
eksiden.
4.Y Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia
adalah wujud yang berjalan".

Ë
 ! "#"  

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas
sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain
sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul
("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu
disebut qadhiyyah (proposisi).

c    Ë
 

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan
antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi
menjadi beberapa bagian.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris)


dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).

Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya
sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua
dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya:
"gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah
rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang
pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah
hamliyyah salibah (negatif).

Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan
huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".

Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah
qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah.
Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam
contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh,
bumi akan hancur) disebut tali.

Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah


syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut
muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua
qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan
keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia
bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Ë
 c   
c   

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan


muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan
jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian"
dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar.
Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya,
manusia akan mati, atau manusia itu pintar.

Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai
adalah qadhiyyah mahshurah.

Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang


juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah
(afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat
macam:

1.Y Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan


2.Y Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
3.Y Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
4.Y Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.

Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya


(qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan
mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan
maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq
dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

aaË
 
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah
hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan
terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri
kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min
wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat
qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

1.Y Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan
mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang
satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia
hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah
salibah).
2.Y Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya
kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua
manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia
dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
3.Y Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah
dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu
mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah)
dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
4.Y Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama
kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati"
(kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau
"Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian
manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula

Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu
benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya
benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua
qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).

Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu
benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu
benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.

Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu
dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka
yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah,
tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri.


(Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia)
lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus
dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah
pasti benar.

Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar.
Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B".
Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".
  


Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat
adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan
bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada
beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

1.Y Kesamaan tempat (makan)


2.Y Kesamaan waktu (zaman)
3.Y Kesamaan kondisi (syart)
4.Y Kesamaan korelasi (idhafah)
5.Y Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
6.Y Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)

Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana


pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya
inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka
dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa
macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka
terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

1.Y Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari
sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil
(analogi).
2.Y Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum
(menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra'
(induksi).
3.Y Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus.
Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

c    Ë 

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis).
Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak
dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk
memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan
itulah yang namanya qiyas.

$%Ë  

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah
pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika
dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga
qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu
akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis
minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah
natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua
muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul).
Sedangkan "besi" sebagai had awshat.

Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra
dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus
berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah.
(Lihat contoh, pen).

# &Ë  

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra
dan kubra mempunyai empat bentuk :

1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah
shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu
makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah
teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah
shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.

Syarat-syarat syakl awwal.

Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua
syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.


b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.

2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua
muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu
makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".

Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.

3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua
muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka
"sebagian orang makshum adalah imam".

Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.


b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah
shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)

Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.


b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.

Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah
yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang
keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun
mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Ë    

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah
hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat.
Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika
Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah
yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia
mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai
mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh
karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i:
Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia
mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah".
Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan
hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan
muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai
mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif
dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi
dia binasa, berarti dia bukan Tuhan"

Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon
rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan
kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa
Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan terhipnotis dengan
karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip)
dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan
pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan
tertentu, logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia
pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan µmuntahan ide¶ Plato yang
terabadikan dalam ³dialog´nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas
bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya,
Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai
Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada
zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu
diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika akan terus berkembang dan
mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala perkembangan yang µtidak mutlak¶,
terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu
melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam
semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam
semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan landasan-landasan
logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis.
Dengan µdogma¶ inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik
dan takhayul menuju rasio.

Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara
epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan
tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran.
Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara
manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. ³ Wa Ja¶ala Lakum al-
Sam¶a wa al-Abshâr wa al-Af`idah´ ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata ³af`idah´
bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang
memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah
konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa
petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial.
Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen.
Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu
dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut ³akal
nazhari´. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk
menghasilkan konklusi.

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat harus
mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini
mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka
itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena kekuatan
pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran
tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari
segala kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan µke-independensian¶ logika,
apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai µkacung¶ ilmu
pengetahuan? Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika,
dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung
memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam
bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen
sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa
mantik adalah Ra¶îs al-µUlum yang independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-
platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada
logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.
Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja
yang membuat seakan berbeda.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni-independen (µulûm
maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari¶at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan
kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-
wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai
pengantar ilmu-ilmu syari¶ah, dan mantik sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap
ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu
independen. Karena jika tidak demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari
arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan
panjang lebar terhadap ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf.
Dalam perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai
ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa
dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir
melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.

Logika dan Perkembangannya

Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat diuji
keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar perlu
menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan
logika yang diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan baru yang berupa dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah pernyataan dan
jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan
ditemukan ketika tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari
upaya pencarian kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles
semakin gencar untuk merumuskan perangkat metode berpikir yang rasional.

Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal yang ada
dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir logika
formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan
logika formal modern. Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada awalnya
merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan µthing¶ (sesuatu). Tetapi pakar
modern mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal logika
Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan. Baru sekitar
abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam
dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di Yunani
ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai peninggalan karya-
karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu faktor
berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat, banyak karya
Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan India.
Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat µheboh¶ merasuki hampir di segala cabang
ilmu pengetahuan.

Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu, ³Categoria Seu Praediecamenta´ (al-
Maqqûlât), ³Perihermenias Seu de Interpretatione´ (al-µIbârah), ³Analytica Priora´ (al-
Tahlîlât al-Ulâ), ³Analytica Posteriora´ (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), ³Topica, Seu De Locis
Communis´ (al-Jadal), ³De Sophisticis Elenchis´ (al-Safsathâ¶i). Seiring dengan
perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan, yaitu dari yang
enam menjadi sembilan; µIsagog¶ (madkhal), µRetorika¶ (al- Khithâbah), µPotikia¶ (al- Syi¶r).
Sembilan tema besar itulah yang banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi
dalam bukunya ´ Mafâtîh al-µUlûm´ juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema
tersebut. Lain halnya dengan al-Farabi dalam ³Ihshâ` al-µUlûm´ yang tidak mengkategorikan
µisagog¶ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.

Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede-gedean


yang diprakarsai Khalifah Al-Ma¶mun (masa penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani
dimulai pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma¶mun
bermimpi bertemu dengan Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber
kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma¶mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari
ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah µSang Hero¶ pada masa itu, karena dia telah
berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman
Romawi. Hal yang ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adalah
ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama
Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan kembali pada agama Yunani. Ilmu asing
yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan
mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang
menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya telah diadopsi dari
Madrasah Iskandaria.

Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia


pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan
ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab
sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang
bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan
Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd
(1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu
Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan
ilmu kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah,
lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai pengaruh penting
dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan
cara berpikir baik secara deduktif dan induktif.

Rasionalitas Eropa Klasik-Modern

Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat berbalik arah dengan
perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani
menghasilkan banyak pemikir dan filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua
ordo baru yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Aliran ini
dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin ³scholasticus´ yang berarti ³guru´). Tema-
tema pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan iman-akal budi, eksistensi dan hakekat
Tuhan, antropologi, etika dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman
sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan
di sekolah-sekolah biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat
internasional. Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana pendapat Ibnu
Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan, yaitu sama-sama
melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai tujuan puncak yaitu kebahagiaan
manusia. Dalam tataran ini Siger de Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada
akal, karena betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat melampaui posisi agama.
Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.

Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara periodik terbagi tiga, yaitu
pada permulaan abad Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan
abad (sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M. Yang perlu
ditekankan di sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni
hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik tolak pemikiran.
Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Nah, hal inilah
yang menimbulkan perpecahan dalam gereja. Mulai abad ke-12 M, gereja mulai
menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi
ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika,
astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa¶ karya Ibnu
Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-
Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya
Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus mendapat µrestu¶ dari Raja Philip dan
Agustus. Penyelaman terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan
mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis.
Karena banyak berlawanan dengan hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja
mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M.
Maka, langkah selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung
dari buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam pembaruan
gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat
keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.

Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena µberfilsafat¶ harus
menggunakan akal sehat dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya
adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam
pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang menyatakan tidak
adanya filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani
adalah ³fikratul khallash´, yang menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya
dengan filsafat. Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja.
Berbeda dengan pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan
rasionalitas. Dalam bukunya ³De Civitate Dei´ dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta
akan kebenaran, dan kebenaran merupakan µkalimah¶ yang menyatu dalam tubuh al-Masih.
Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani
adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan
iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-
nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam)
hukumnya wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik
benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan
berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas
(1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan
rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud,
sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika
membahas µrasionalitas agama¶ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari
agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama
akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.

Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang menjembatani


perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M.
dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.).
Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali
dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah ³Antroposentris´ ala mereka,
pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang
manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.

Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis abad pertengahan (1596-1650
M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan filsafat klasik tetapi justru
mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik ³apakah asal-muasal pengetahuan manusia itu?´
diselaraskan dengan pertanyaan ³bagaimana saya tahu?´ adalah hepotesa aktif yang menuntut
akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu. Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes adalah
pemahaman tentang fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia-
bekerja secara mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab
musabab mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul,
yang berarti juga menolak penjelasan teologis. Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan
menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara
matematis. Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.

Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa disebut masa enlightment atau
Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh
utamanya adalah John Locke (1632-1704 M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778
M.) dan di Jerman ada Immanuel Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme, empirisme
dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai banyak aliran filsafat, yang kebanyakan
hanya berkutat pada satu negara dan kebudayaan.

Nalar Arab- Islam

Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari Yunani ke Arab. Ada yang
mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada
juga yang berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik
lebih dulu memasuki wilayah Arab sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad
ke-8 M. Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi
umat Islam ke beberapa wilayah asing. Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan
perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya memang belum butuh atau aksi
pencekalan oleh ulama salaf yang begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah
mengatakan, bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab pada abad ke-7 M
ketika masa penerjemahan Khalifah Ma¶mun.

Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas disebabkan karena hilangnya
beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat
ini banyak disangkal oleh sejarawan lain, karena justru pada masa sebelumnya telah muncul
ilmu nahwu yang banyak berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari Basrah ketika
itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak menggunakan rasio.
Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi sosial politik Basrah yang terus berkecamuk,
sehingga aksi perlawanan dan pertentangan dari tiap kelompok tak dapat dihindari.
Akibatnya, mantik digunakan sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini
sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang cenderung kurang rasionalistik.

Dalam riwayat al-Qadli al-Sha¶id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu
Muqaffa¶ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah
menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica,
serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga berpartisipasi
dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq
juga ikut menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby
dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku Yunani, hingga
wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak membantu proses
penerjemahan.
Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu
juga banyak membantu dalam proses penerjemahan, yang secara tidak langsung pemikiran
Aristoteles berkembang biak tidak hanya dalam kedokteran, astronomi dan matematika
melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan
dalam penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi
pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar
abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis
penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya
madrasah di Jundisapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani
pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi,
bahwa dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan
mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali
dst.

Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai memberanikan diri
untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari Khalifah al-
Ma¶mun (850-873 M). Kemudian mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin
ilmu Islam lainnya, termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan
metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal silogisme. Pada
saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan terus berkembang di tangan
Qadariyah, baru diwariskan ke Mu¶tazilah sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan
umat Kristen dengan logika menuntut cendekiawan muslim untuk lebih giat mempelajari
mantik sebagai upaya dalam menjaga teologi Islam.

Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya Arab kurang lebih satu setengah
abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada masa Imam al-
Asy¶ari abad keempat Hijriah. Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya baru
terjadi pada masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada pertengahan
kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif yang terdapat pada logika Yunani sehingga dapat
diterima di dunia Islam, di antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang
memberikan kontribusi luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog
muslim mempercayai akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah
ketuhanan (metafisika). Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya
mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian mulai
beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam sebagaimana
disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min al-Dhalâl.

Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat Arab,
terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam sistem politik sekalipun. Mantik, pada
masa itu juga digunakan sebagai piranti tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat
membutuhkan sistem baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang diusung
Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam, meskipun kontradiksi
dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga
hal; yaitu sebagai perangkat praktis dan media berargumen yang marak dalam berbagai
perdebatan ideologi. Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu langkah kesuksesan
pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal menjadi primer demi mencapai
tingkat keyakinan. Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk
menyatukan berbagai ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu
sumber kebenaran dan pengetahuan.
Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan
sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka belajar
filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa
mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi¶i banyak
mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya
berbunyi ³akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan
bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles´. Padahal dalam fikih, Imam
Syafi¶i banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum.
Ada pula riwayat yang berbunyi ³barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan
dengan kaum zindiq´. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang
menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh
Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.

Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki
kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani
adalah golongan teolog Asy¶ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M). Perlawanan tersebut
meluas dari wilayah timur hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini
karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan filsafat terus
dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar
Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang
juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles ±selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah
Suhrawardi dengan magnum opusnya ³Hikmat al-Isyraq´, yang berisikan kritikan terhadap
aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme. Meskipun
demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14
M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul
dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.).
Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik,
serta melontarkan predikat µkafir¶ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya ³Majmu¶ah Rasâ`il al-
Kubrâ´ (terbitan Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul
setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap
perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna
membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur¶an dan Hadist.

Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia Arab melalui jalur kedokteran,
dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd
fi al-I¶tiqâd). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak berbicara logika
serta menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali, maka tak heran jika
ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani),
melainkan mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam
lainnya semakin tampak, bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai µmantiknya¶ bahasa, maka
mantik juga merupakan µbahasanya¶ akal. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan
untuk memutuskan yang baik dan buruk.

Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan sebagai pusat peradaban
keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya madrasah Bagdad
menjadikan mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles
melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya sekitar ke-13
dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada karya Aristoteles. Di sisi lain,
sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya di Basrah.
Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada
Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik yang telah
dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan
mantik Yunani dengan pemikiran Arab Islam.

Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia dari abad ke-12 hingga abad ke-13
M. dengan style baru yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik dianggap hanya
dibutuhkan dalam filsafat, Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik
secara perlahan memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial. Karena
logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem teologis dan filsafat
saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk mempelajari logika dalam
kapasitasnya sebagai kewajiban komunal (fardhu kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik
karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian
mantik sekaligus menjadi rujukan bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd
dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.

Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya

Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dengan
logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya harmonisasi
demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan
al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali
teologis, dan mantik ³kasyfi´ yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu
Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari
mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan. Dalam relasinya dengan ilmu kalam,
al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ¶) karena
dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara
dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam yang diusung al-Ghazali bukan dalam
artian harfiahnya (yaitu: pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang
bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.

Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan pada
abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai
masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan rasionalis
sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa¶aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu
selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami
soal-soal akidah, salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al-
Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa
penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad
pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka
standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.

Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam sangat
pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal. Model penalaran al-
Asy¶ari dapat dikategorikan sebagai µorthodox style¶, karena lebih setia dengan teks suci
agama dibandingkan dengan mu¶tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam lingkaran Islam,
tapi penalaran yang dipakai mu¶tazilah dan filsuf kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai
melakukan pendekatan ta¶wil atau interpretasi metaforis terhadap kalam Tuhan, yang mereka
anggap ³mutasyabihât´. Nah, hal ini disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta
dialektika. Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak
hanya mu¶tazilah dan filsuf saja yang mengedepankan nalar, tapi al-Asy¶ari pun
menggunakan argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder. Metodologi
alAsy¶ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan
simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian Al-Ghazali muncul dengan membawa
kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah
dari berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung
dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran
keislaman. Sebagaimana pembahasan dalam teologi, pusat argumentasi kalam al-Asy¶ari
berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad
raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan malaikat. Konsep
µkasb¶ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut al-Asy¶ari, karena pengolahan
argumentasinya dinilai sangat logis.

Kajian fikih berkembang pada saat peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah, yaitu
berdirinya ³school of thought´ oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk dalam
lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil,
terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam setiap ilmu.
Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan pertimbangan kebaikan umum
(istihsan). Kemudian Syafi¶i meneruskan tema aliran pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik
dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran ini, Syafi¶i sangat berjasa dengan teori yang
dirumuskannya, sebagai dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai
metode rasional untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ulama (ijma¶)
juga diterima Syafi¶i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak fikih berkat
Syafi¶i ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma¶ dan qiyas.

Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya sangat berperan penting.
Kecenderungan pemakaian qiyas seiringan dengan munculnya gramatika dan kaedah bahasa,
terutama oleh para ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka lebih memilih mengkiaskan
dengan metode sima¶i terhadap dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath. Ketelitian
dalam mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda halnya dengan ahli nahwu
Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya selektif terhadap dalil-dalil yang
akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak
filsafat Persia yang lebih mengutamakan logika akal dari pada dalil. Adapun faktor lainnya,
yaitu keterbatasan sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh dari pusat
keilmuan dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang digunakan ahlu nahwu dalam
pengambilan hukum, karena ternyata teori illat atau apologi juga banyak difungsikan.

Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang telah
disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi iluminasi
atau intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan
selalu dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya. Tasawuf sebagai
disiplin ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun menggunakan teori dan asas logika.
Politik, sosial, kedokteran, aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti
membutuhkan aturan berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun,
kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah
sebuah kebenaran mutlak.

Epilog

Itulah sekelumit proses berpikir manusia, sebuah perjalanan panjang dalam rangka
merelevansikan diri terhadap peradaban manusia yang tak kunjung usai. Bahwa rasional
sejatinya irasional, karena bertolak dari sebuah pengandaian yang tidak dapat terpenuhi.
Yaitu, segala sesuatu pastinya dapat dimengerti seseorang. Sikap rasionalis mencerminkan
seseorang suka akan tantangan. Dikatakan seperti itu, sebab dia harus benar-benar
memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya. Berbeda dengan irasionalis, yang menolak
tantangan semata- mata karena keyakinan. Lawan rasionalisme adalah fedeisme, yaitu sebuah
sikap yang membatasi diri pada iman, akal dan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap
penggunaan nalar manusia tidaklah perlu. Sekalipun, mereka juga tidak menyadari bahwa
kemampuan manusia untuk bernalar merupakan ciptaan Tuhan.

Dengan sebuah historitas, mungkin kita akan sedikit mengetahui bahwa hantaman dan
pengikisan mantik pada abad pertengahan adalah problematika terbesar, yang bahkan sama
sekali tidak terpikirkan oleh Aristo sendiri sebagai pencetak awal logika. Dan yang patut
dihargai adalah upaya akselarasi-akselarasi oleh ulama Islam sebelum di bawa ke Barat, yang
setidaknya menjadikan metode ini mulai diterima. Bisa jadi perihal tersebut juga sedikit
melegakan Aristoteles, bahwa ternyata masih ada pembela-pembela intelektual terhadap
karyanya yang terseok-seok melawan arus peradaban terutama oleh para agamawan.

Kompleksitas yang dipresentasikan akal akan bertaut kelindan sampai suatu masa yang tak
terbatas, boleh jadi akan menuju pada sebuah kesempurnaan misteri, bahkan sebaliknya.
Tetapi apapun itu, akal tetaplah akal, yang telah menyumbangkan peradaban besar dari
sejengkal langkah manusia.

You might also like