You are on page 1of 15

Lembar Tugas Mahasiswa – Pemicu 2 modul Kulit dan Jaringan Penunjang

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


Patofisiologi dan Pathogenesis
Melissa Lenardi, 0906508296

I. Pendahuluan
Apabila terjadi sebuah jejas, dalam hal ini luka, tubuh akan berespon untuk memperbaiki keadaan.
Benteng pertama pertahanan tubuh terhadap jejas adalah inflamasi akut, dan bila berlanjut dan
berkepanjangan, akan terjadi reaksi inflamasi kronis. Mekanisme ini sangat dibutuhkan bagi tubuh
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dan untuk memfasilitasi terjadinya proses repair. Kali ini
akan dibahas apa saja jenis inflamasi, penampakan luar inflamasi, hingga mediator-mediator yang
bekerja pada tiap tahapan inflamasi.

II. Isi
1 Definisi Inflamasi
Inflamasi adalah respons protektif untuk menghilangkan penyebab jejas, dengan mengencerkan,
menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya, serta membuang penyebab awal jejas sehingga
proses penyembuhan dapat dilaksanakan. Inflamasi merupakan sebuah proses kompleks yang
meliputi kerjasama banyak “pemain”. “Pemain” yang berkontribusi ini adalah sel dan protein dan sel
plasma dalam sirkulasi, sel endotel pembuluh darah dan sel serta matriks ekstraseluler jaringan ikat.
Sel dalam sirkulasi meliputi leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit) dan trombosit;
protein dalam sirkulasi meliputi faktor pembekuan, kininogen dan komponen komplemen; sel
endotel sendiri, sel jaringan ikat meliputi sel mast, makrofag, limfosit dan fobroblas; dan yang
terakhir Extraceluler matrix (ECM) meliputi kolagen dan elastin  susun fibrosa, proteoglikan 
bentuk gel, glikoprotein adhesif (fibronektin) sebagai struktur penyambung antar ECM. 1

2 Inflamasi Akut
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas utama eksudasi cairan,
akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa rubor (redness), calor (heat), tumor
(swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of function). Terjadi karena tujuan utama : kirim leukosit
ke tempat jejas bersihkan setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan vaskular
(vasodilatasi, peningkatan permeabilitas) dan perubahan selular (rekrutmen dan aktivasi selular).
Perubahan makroskopik yang dapat diamati berupa hiperemia yang memberikan penampakan
eritema, exudation yang memberikan penampakan edema, dan emigrasi leukosit. 1,2,3

2.1 Proses dan penampakan inflamasi akut


2.1.1 Hyperaemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri lokal (didahului vasokonstriksi
sesaat). Dengan demikianm mikrovaskular pada lokasi jejas melebar, aliran darah mengalami
perlambatan, dan terjadi bendungan darah yang berisi eritrosit pada bagian tersebut, yang disebut
hiperemia seperti terlihat pada Gambar 1. Pelebaran ini lah yang menyebabkan timbulnya warna
merah (eritema) dan hangat. Perlambatan dan bendungan ini terlihat setelah 10-30 menit 1,3

1
Hyperaemia di dalam inflamasi berhubungan dengan perubahan mikrovaskular, yang disebut
Lewis’ triple response – berupa “a FLUSH, a FLARE and a WEAL”. The FLUSH ditandai dengan garis
putih (dikarenakan adanya vasokonstriksi). The FLUSH merupakan garis merah (dikarenakan dilatasi
kapiler). The FLARE merupakan daerah dengan warna merah yang lebih terang di sekitarnya
(dikarenakan dilatasi arteri). 1

Gambar 1. Proses terjadinya hyperemia

Secara jelas, mekanisme yang terjadi ketika sebuah jejas terjadi adalah sesuai dengan Bagan 1.
Jejas sel

Kerusakan sel Reaksi saraf (axon reflex)


Efek langsung pada pembuluh darah

Perantara : kimia

Dilatasi vasular
Bagan 1. Mekanisme terjadinya perubahan vaskulat 3

2.1.2 Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel
leukosit ke daerah extravaskular yang disebut eksudasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah
dalam darah terkonsentrasi, viskositas >>, sirkulasi <<, terutama pada pembuluh darah-pembuluh
darah kecil yang sisebut stasis. 1,3
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam
ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi
protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik
kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit
cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik.
Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton 3
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan
seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan
ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein
plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular
sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang
menyebabkan emigrasinya3

2
Exudasi dapat menjelaskan The WEAL dalam Lewis’ triple response.
 Dengan peningkatan jumlah cairan dalam jaringan interstitial  pengenceran racun
 Dengan peningkatan jumlah protein -- globulin  memproteksi antibodi
-- Deposit fibrin  membatasi penyebaran bakteri
Berperan dalam proses penyembuhan luka 3
Mekanisme :
1. Protein passage
Sinyal kimiawi merangsang kontraksi endotelial  membentuk formasi bercelah untuk
meningkatkan permeabilitas antar endothelial. 3

2. Fluid movement

Gambar 2. Proses fluid movement3

2.1.3 Emigration of leucocyte


Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek
terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing,
termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya
membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti
Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar sel endhotelial dengan
menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.. 2,3
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah
menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut
hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan
sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian
sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel. 3

3
Gambar 3. Proses emigrasi Leukosit 3

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh
darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata 1,3

2.1.4 Kemotaksis
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi
sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi
disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis
dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang
kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi
neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah
putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya
produk bakteri berupa protein maupun polipeptida 1,3

4
Gambar 4. Mekanisme kemotaksis3

Beberapa agen kemotaksis penting:


 Fraksi sistem KOMPLEMEN (terutama C5a)
 Faktor derivat asan arakidonat yang diproduksi neutrophils – LEUKOTRIENS
 Faktor derivat BAKTERI patogen
 Faktor derivat limfosit khusus – LIMFOKIN3

Proses tersebut menjelaskan pergerakan leukosit dan agregatnya secara besar-besaran dan
terprogram dalam proses inflamasi

2.1.5 Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat
melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi
fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam
serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan,
selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan
kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel,
disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-
granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu
proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan
mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun
beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit. 1,3

Gambar 5. Proses Fagositosis 3

Fagositosis merupakan sebuah proses yang efisien, yaitu:


1. OPSONIN – merupakan antibodi natural maupun antibodi spesifik
2. Fraksinasi sistem KOMPLEMEN
3. Nerupakan tahap FISIS dari lingkungan sosial

Aktivitas opsonik dipengaruhi oleh ke-solid-an, dan ke-rigid-an organ maupun medium tempatnya
berada. Dimana kondisi loose dan lebih cair, aktivitasnya terhenti. 3

5
2.2 Sel-sel yang berperan dalam inflamasi akut
2.2.1 Neutrofil
(hidup dalam 1-3 hari)

Gambar 6. Neutrofil, bekerja saat inflamasi 3

2.2.2 Makrofag
(hidup dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun)
a. Berhasil membunuh, misi terselesaikan.
b. Gagal membunuh dan dapat membuat bakteri dapat
menyebar dalam saluran getah bening ke beberapa
organ lain. (menjelaskan peristiwa penyebaran TB
dalam tubuh)
c. Seluruh debris (meliputi sel PMN) yang telah diserna Gambar 7. Makrofag
oleh makrofag akan dibuang secara bertahap dari
tempat terjadinya inflamasi
d. Antigen bakteri telah siap untuk di presentasikan ke dalam sistem imun. 2

3 Peranan Agen kimia pada inflamasi


Terdapat beberapa substansi yang terlibat dalam proses inflamasi, yang terkadang memiliki
beberapa fungsi yang overlapping, baru terdapat beberapa yang berhasil diidentifikasi. Mekanisme
regularisasi dapat mencegah proses inflamasi yang tak terkontrol. 1,3

Beberapa agen yang berkaitan dengan dilatasi vaskular dan dapat meningkatkan permeabilitas :
1. Vaso-active AMINES – muncul pada masa-masa awal, dan berlangsung sesaat.

Gambar 8. Kerja histamin dan serotonin sebagai vaso-active amine pada inflamasi 3

6
2. Vaso-active POLYPEPTIDES yang dibentuk enzim spesifik (breakdown produk berupa protein
dan jaringan)

Gambar 9. Kerja vaso-active polipeptida pada inflamasi3

3. MISCELLANEOUS AGENTS mempengaruhi proses inflamasi, meliputi:


a. Toksik bakteri
b. Faktor komplemen C3a dan C5a
c. Prostalglandins
d. Leukotriens (leukosit)
e. Enzim lisosomal (leukosit)
f. Interleukin (makrofaga)
g. Faktor permeabilitas globukin
h. Faktor permeabilitas kelenjar getah bening
i. Breakdown produk DNA dan RNA
j. Kompleks antigen-antibodi
k. TNF (Tumor Necrosis Factor)
l. Nitric oksida (oleh sel endotelial) 3

Gambar 10. Macam-macam agen infeksi3

7
4 Inflamasi kronis
Inflamasi kronis dianggap perasangan berkepanjangan di mana peradangan aktif, kerusakan
jaringan, dan usaha-usaha perbaikan yang berjalan secara bersamaan. Peradangan kronis terjadi
biasanya sebagai kelanjutan radang akut, infeksi persisten oleh mikroorganisme tertentu, seperti
basil tuberkel, treponema pallidum, beberapa virus dan jamur, dan parasit, terpapat toksik dalam
waktu berkepanjangan (endogen maupun eksogen), dan jika terjadi autoimun, tubuh dikenali
sebagai benda asing, sehingga seakan-akan terdapat benda asing dalam tubbuh secara terus
menerus. 1,2,3

4.1 Ciri-ciri
Inflamasi kronik memiliki beberapa perbedaan dengan peradangan akut, yang dimanifestasikan oleh
peribahan vaskular, edema, dan infiltrasi neutrofil, peradangan kronis dicirikan oleh:
 Infiltrasi sel mononuklear, meliputi makrofag, limfosit, dan sel plasma
 Kehancuran jaringan, yang disebabkan oleh agen yang terus menerus mengganggu atau oleh
sel-sel inflamasi
 Usaha-usaha penyembuhan oleh jaringan penghubung penggantian jaringan yang rusak,
dilakukan dengan poliferasi pembuluh darah kecil (angiogenesis), dan khususnya, fibrosis 1

4.2 Peradangan granulomatosa


Peradangan granulomatosa adalah pola khas reaksi peradangan kronis yang ditandai dengan
akumulasi makrofag teraktivasi, yang sering mengembang seperti epitel (epiteloid). Tuberkulosis
adalah contoh penyakit granulomtosa4
Sebuah granulomatosa adalah dokus peradangan kronis yang terdiri dari agregasi makrofag
mikroskopis yang berubah menjadi sel-sel epitel seperti dikelilingi oleh keling leuokit mononuklear,
terutama limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Dalam pewarnaan HE, sel epiteloid akan terlihat
pink pucat, sitoplasma granular dengan batas sel tidak jelas, sering muncul untuk bergabung ke
dalam satu sama lain. Intinya tidak sepadat limfosit, berbentuk oval atau memanjang, dan dapat
menununjukkan lipat dari membran nuklir. Granulomas dewasa akan mengembangkan tepi dilampiri
fobroblas dan jaringan ikat. Sel ephiteloid sering bergabung untuk membentuk sel raksasa di
pinggiran atau kadang-kadang di tengan granulomas. Sel raksasa ini dapat mencapai diameter 40-50
mikrometer, Mereka memiliki massa besar sitoplasma yang mengandung 20 atau lebih dan dapat
menjadi langerhans-tipe sel raksasa atau yang lain 3,4
Ada 2 jenid granulomatosa, yang berbeda dalam patogenesisnya. Granulomas benda asing
yang terisi benda asing di dalamnya, Biasanya benda asing terbentuk ketika bahan granulomas
seperti bedak (berkaitan dengan penyalahgunaan obat intravenas), jahitan, atau serat lainnya yang
cukup besar untuk menghalangi fagositosis oleh satu makrofah dan tidak menghasut peradangan
atau respon kekebalan tubuh tertentu, Sel epitheloid dan membentuk sel raksasa dan muncul ke
permukaan untuk membungkus benda asing, Bahan asing biasanya dapat diidentifikasi do tengah
Granuloma, terutama jika dilihat dengan cahaya terpolarisasi, di mana tampaknya refractile. 4

4.3 Sel-sel yang berperan


4.3.1 Makrofag
Merupakan monosit yang lama hidupnya kurang lebih 1 hari, akan pergi ke daerah peradangan
dikarenakan molekul adhesi dan faktor kemoatraktan dalam jaringan, monosit akan berubah
menjadi makrofag yang jika bersatu membentuk endotelium. Sinyal-sinual yang berpengaruk saat

8
pengaktifan makrofag adalah IFM-y . sitokin, endotoksin, mediator lain yang diprosuksi saat terjasi
radang akut, dan matrix extraceluler, seperti fibronectin 1,3
Makrofag aktif mampu mengaktifkan zat-zat yang membuat suatu jaringan menjadi nekrosis
atau fibrosis. Contohnya adalah asam dan basa protease, komponen komplemen dan faktor-faktor
pembekuan, oksigen reaktif NO, metabolit asam arakhidonat, sitokin IL-1, TNF san berbagai growth
factor1,3

4.3.2 Limfosit
Limfosit sikerahkan di kedua reaksi imun humoral dan seluler dan bahkan dalam peradangan non
imun. Antigen distimulasi (efektor dan memori) dan berbagai jenis limfosit (T, B) menggunakan
berbagai molekul adhesi pasangan (terutama yang integrins dan ligan) dan kemokin untuk
bermigrasi ke situs peradangan. Sitokin dari makrofag diaktifkan, terutama TNF, IL-1, da kemokin. Sel
ini mempersiapkan proses peradangan
Limfosit dan makrofag berinteraksi dakan cara dua arah, dan reaksi-reaksi ini memainkan
peran penting dalam peradangan kronis. Limfosit T aktif akan mengaktifkan makrofag serta
mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif, dia akan
mengaktifkan limfosit T dan tak lupa mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel
disekitarnya1,3

4.3.3 Eusinofil
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh IgW dan infeksi parasit. Salah satu
kemokin yang terutama penting bagi perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula
yang mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun bagi parasit
tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel mamalis. Itulah sebabnya ia sangat berperan dalam
memerangi infeksi parasit tetapi juga berkontribusi pada kerusakan jaringan dalam reaksi
kekebalan.1,3

4.3.4 Sel Mast


Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan berpartisipasi dalam reaksi peradangan akut
dan kronis. Pada reaksi akut, antibodi IgE yang terikat pada Fc reseptor khusus mengenali antigen,
dan sel-sel degranulate dan melepaskan mediator seperti histamin dan produksi oksidasi AA, Jenis
respon terjadi selama reaksi anafilaksis makanan, racun serangga atau obat-obatanm sering dengan
hasil becana. Bila diatur dengan benar, respon ini dapat bermanfaat bagi tuan rumah. Sel mast juga
hadir dalam reaksi peradangan kronis, dan mungkin menghasilkan sitokin yang berkontribusi
terhadap fibrosis1,3

5 MEDIATOR DALAM PERADANGAN


Mediator adalah caraka atau signal kimia. Mediator dalam inflamasi/radang berperan sangat penting
karena merupakan komponen utama dalam komunikasi sel, amplifikasi inflamasi, ataupun opsonin,
yang ketiganya berguna dalam memfasilitasi eliminasi agen penyebab radang dan juga perbaikan
jaringan. Beberapa hal yang perlu diketahui dari mediator adalah sebagai berikut :
- Mediator dapat berasal dari sel maupun cairan plasma (plasma protein)
Mediator dari sel biasanya diisolasi dengan membentuk granula dalam sel, sedangkan mediator
pada plasma dihasilkan sebagian besar oleh hati dan berada dalam keadaan non-aktif dalam
cairan darah sehingga membutuhkan mekanisme aktivasi tertentu.

9
- Mediator aktif diproduksi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsangan, termasuk
radang
Rangsangan yang dimaksud di sini adalah produk mikroba, substansi dari jaringan yang nekrosis,
dan protein-protein seperti kompelemen, kinin, sistem koagulasi, yang dengan sendirinya
diaktivasi oleh mikroba dan jaringan yang terluka. Mekanisme ini dapat diartikan sebagai
“diaktivasi jika diperlukan, diproduksi jika dibutuhkan”.
- Mediator yang satu dapat merangsang dikeluarkannya mediator yang lain
Misalnya, mediator TNF dan IL-1 dapat menstimulasi dikeluarkannnya protein selektin oleh sel
endotel.
- Mediator bervariasi dalam efek dan jenis sel tempat ia bekerja
- Kebanyakan mediator (terutama yang bersifat hidrofilik) hanya memiliki waktu hidup yang
pendek karena harus segera didegradasi agar tidak menimbulkan respon yang berlebihan. 1,2

Terdapat dua macam mediator yang dibagi berdasarkan tempat ia berasal, yaitu mediator
yang berasal dari sel (cell-derived mediators) dan mediator yang murni dari plasma darah (plasma-
derived mediators). Berikut ini, yang akan dibahas secara mendalam adalah mediator yang berasal
dari sel. Mediator selular dapat dibagi menjadi beberapa macam, sebagai berikut:
1. Amina Vasoaktif: Histamin dan Serotonin
Amina vasoaktif maksudnya adalah berbagai macam mediator kimia yang merupakan turunan dari
amina, yang dapat bekerja langsung pada sistem vaskular. Histamin paling banyak dihasilkan oleh sel
mast yang biasanya terdistribusi dengan normal pada jaringan ikat longgar sebagai sel tetap (fixed
cell). Perhatikan gambar berikut. 1

Gambar 11. sel Mast dan Mekanisme pengeluaran mediator kimia yang terkandung di dalamnya 1

Pada gambar bagan di atas, dapat terlihat bahwa sel mast mengeluarkan histamin sebagai
mediator kimia, yaitu Histamin, salah satu mediator yang paling umum diproduksi dan berguna
untuk vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Selain itu, histamin juga menyebabkan
bronkofasme pada asma dan meningkatkan produksi mukus pada saluran pernafasan. Histamin akan

10
berikatan ada reseptor H1 pada sel endotel. Pengeluaran histamin selain disebabkan oleh pengikatan
antigen dengan reseptor Fc, juga dapat disebabkan oleh (1) trauma, (2) histamine releasing hormone
yang berasal dari leukosit, (3) neuropeptida (misalnya substansi P), dan (4) sitokin tertentu. 1
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan mediator kimia yang sefungsi dengan
histamin, namun tempat asalnya berada di keping darah (platelet) dan beberapa sel pensekresi
neuroendokrin. Serotonin akan dilepaskan ketika terjadi reaksi koagulasi (pembekuan darah), di
mana keping darah akan beragregasi setelah bersentuhan langsung dengan kolagen, thrombin, ADP,
dan komplek antigen-antibodi. Ini merupakan salah satu hubungan antara pembekuan dan
peradangan. 1

2. Metabolit Asam Arakidonat (AA): Prostaglandin, Leukotrien, dan Lipoksin


AA merupakan salah satu turunan asam lemah yang terdiri atas 20 atom C (Karbon) yang diperoleh
dari asupan makanan ataupun konversi dari asam lenoleat. AA juga disebut sebagai eicosanoid, dan
perolehan dari bahan kimia ini tidak terdapat secara bebas pada sel-sel, namun diperlukan
mekanisme tertentu untuk menghasilkannya, yaitu dengan pencernaan membran lipid sel oleh
enzim phospolipase A2. Senyawa eikosanoid berikatan dengan reseptor terkait protein G pada sel-sel
target untuk menghasilkan suatu respon. Perhatikan gambar di bawah ini. 1

Gambar 12. Proses metabolisme yang menghasilkan AA dan turunannya 1

Sebagai tambahan untuk keterangan gambar di atas, Prostaglandin (dan turunannya) terlibat
dalam pemicuan timbulnya rasa sakit dan demam. Prostaglandin diproduksi oleh sel mast dan
mekanisme produksinya mulai dari pencernaan lipid membran sampai kepada produksi asam
arakidonat dapat dilihat pada gambar 2.3 sebelumnya. 1

11
3. Platelet-Activating Factor (PAF)
Merupakan salah satu bentuk mediator yang adalah turunan dari fosfolipid. Diberi nama PAF karena
mediator ini dapat menyebabkan agregasi dari keping-keping darah, namun sekarang ini ditemukan
pula efek dari mediator ini yang dapat memicu terjadinya inflamasi. Dalam kontraksi yang relatif
tinggi, PAF berlaku sebagai vasokonstriktor dan bronkokonstriktor, namun dalam konsentrasi yang
ekstrem kecil, PAF berefek 100 – 10000 kali lebih besar dibanding histamin dalam bertindak sebagai
vasodilator dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Selain itu, PAF juga berperan dalam adhesi
leukosit ke endotel, kemotaksis, degranulasi, dan peristiwa ledakan oksigen, serta stimulasi produksi
berbagai macam mediator lainnya, terutama eikosanoid. 1

4. Reactive Oxygen Species (ROS)


ROS, meskipun terlibat dalam pencernaan mikroba dan eliminasi agen radang, juga dapat dilepaskan
ke lingkungan ekstraselular akibat terjadinya frustated-leukocyte. Apabila dikeluarkan dalam
konsentrasi kecil, ROS dapat merangsang pengeluaran kemokin, sitokin, dan molekul adhesi endotel
yang lebih banyak, sehingga mengamplifikasi respon inflamasi. Namun, tetap saja ROS dapat
menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan yang sehat dalam tubuh, misalnya kerusakan pada sel
endotel dan sel-sel lain, serta inaktivasi antiprotease, seperti α-antitripsin. Untuk itu, dalam plasma
darah, terdapat banyak zat antioksidan, misalnya enzim katalase, glutationin, SOD, ceruloplasmin,
dan transferin. 1

5. Nitrogen Oksida (NO)


NO berperan dalam merelaksasi otot polos vaskular dan mempromosikan terjadinya vasodilatasi.
Namun, pada beberpa keadaan, NO dapat menghambat reaksi inflamasi, misalnya menghambat
agregasi keping darah, inflamasi dengan pemicu sel mast, dan rekruitment dari leukosit ke daerah
inflamasi. Dengan demikian, NO dapat dikatakan sebagai faktor regulator endogenous dari respon
inflamasi. 1

Gambar 13. Kerja NO pada otot polos vaskuler dan makrofage1

12
6. Sitokin dan Kemokin
a. Sitokin
Sitokin yang paling banyak berperan dalam inflamasi akut adalah TNF (α,β,γ) ataupun
Interleukin (IL, dari 1 – 20), selain itu terdapat pula Interferon/IFN (α,β,γ). Perhatikan gambar di
bawah ini untuk memperoleh gambaran dari cara kerja TNF dan IL (dalam hal ini IL-1 yang
berperan dalam inflamasi akut pada masa awal). 1
Produksi dari sitokin IL-1 diatur oleh kompleks protein multipel yang disebut sebagai
inflammasome yang merespon stimuli dari mikroba dan sel-sel atau jaringan yang mati.
Komplek protein ini tergolong dalam protein apoptotik caspase yang berfungsi mengaktifkan
prekursor dari IL-1 menjadi sitokin yang aktif. Mutasi dari gen-gen yang mengkode protein ini
akan menyebabkan penyakit demam Mediterania. 1

Gambar 14. Kerja TNF/IL-1 pada berbagai macam sel dan efek yang dihasilkannya 1

b. Kemokin
Merupakan protein yang bersifat terutama sebagai kemoatraktan untuk leukosit. Terdapat 40
jenis kemokin di dalam tubuh, namun baru 20 yang baru teridentifikasi sampai saat ini. Namun,
secara umum, berdasarkan struktur yang dibentuknya, kemokin dapat digolongkan menjadi 4
kelas, antara lain:
- Kelas C-X-C (α-kemokin) dengan 2 gugus sistein di antara asma amino, misalnya IL-8.
- Kelas C-C (β-kemokin) mencakup protein kemoatraktan untuk monosit (MCP-1), eotaksin
untuk eosinofil, protein inflamasi makrofage (MIP-1 α), dan RANTES (Regulated and Normal
T-Cell Expressed and Secreted). Tidak bekerja pada neutrofil.
- Kelas C yang bersifat spesifik untuk limfosit
- Kelas CX3C, yang hanya meliputi fraktalkin, terdapat dalam dua bentuk yaitu (1) terikat
membran plasma dan (2) turunan dari proteolisis protein terikat membran. 1

7. Kandungan Lisosomal dari Leukosit

13
Kandungan lisosomal dari leukosit yang terdapat dalam granulanya apabila dilepaskan akan
dapat memicu terjadinya respon inflamasi. Misalnya pada neutrofil terdapat enzim kolagenase
pada granula kecil, sedangkan pada granula besar (bersifat azurofil) terdapat neutral protease.
Keseimbangan akan aktivitas dari enzim-enzim berbahaya ini dikontrol oleh antiprotease. 1

8. Neuropeptida
Disekresikan oleh sel-sel neuron (pada sensorik dan beberapa leukosit tertentu) yang berperand
dalam amplifikasi dari respon inflamasi, misalnya substansi P dan neurokinin-A. Susbtansi P
dapat menyebabkan terjadinya rasa peruh, pengaturan tekanan darah, stimulasi sel endokrin,
dan peningkatan permeablitas membran. 1

III. Kesimpulan
Inflamasi merupakan respons protektif sebagai media pertahanan tubuh terhadap jejas. Inflamasi
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu inflamasi akut dan kronis. Inflamasi akut sifatnya singkat, hanya
berkisar beberapa menit hingga beberapa hari, memberikan tanda-tanda umum berupa rubor
(redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of function). Perubahan
yang terjadi meliputi hyperemia, exudating, emigrasi leukosit, kemotaksis dan fagositosis. Pada
inflamasi akut, sel-sel radang yang berperan hanya neutrofil dan makrofag yang sifatnya tidak
spesifik pada proses fagositosis.
Inflamasi kronis terjadi dalam kurun waktu berkepanjangan, berkisar dari dua minggu hingga
beberapa tahun, terjadi sebagai sebagai kelanjutan radang akut, infeksi persisten oleh berbagai
mikroorganisme, terpapar toksik terus menerus dan gangguan autoimun. Pada inflamasi kronik,
telah ditemukan adanya angiogenesis, peradangan granulomatosa (terdiri dari akumulasi makrofag
yang telah berdiferensiasi menjadi epiteloid, keling limfosit, fibroblas dan jaringan ikat yang
dibentuknya), juga ditemukan sel-sel radang menahun, seperti limfosit, eusinofil dan sel Mast.

IV. Keterkaitan Dengan Pemicu


Pada pemeriksaan fisik ditemukan Eritema, Edema, Erosi dan terjadinya pus. Eritema merupakan
pemunculan warna merah di kulit sebagai akibat dilatasi pembuluh darah atau disebut dengan
hyperemia kapiler. Secara umum, eritema dapat terjadi karena kerusakan kulit, infeksi dan
inflamasi. Sedangkan edema / oedema dikenal dengan nama lain dropsy dan hydopsy, yang
merupakan manifestasi dari akumulasi cairan di dalam kulit atau di dalam rongga tubuh. Secara
umum, edema dapat dikarenakan terjadinya reaksi inflammasi, seperti pada pharyngitis, tendonitis,
maupun pancreatitis.
Kemungkinan terbesar Ny. Nita mengalami inflamasi yang diakibatkan luka operasi, sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap jejas seluler, eritema dan edema merupakan tanda inflamasi
akut, namun, karena sudah berlangsung lama, inflamasi sudah mulai bergrak ke arah kronis.

V. Daftar Pustaka
1. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and Cotran’s: Pathologic Basis of Disease. 8 th ed.
Philadelphia: Elsevier. 2007.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 9th ed. (Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso,
A., penerjemah). Jakarta: EGC. 1997 (Buku asli diterbitkan 1996).
3. Mitchell RN, Cotran RS. Robbins Basic Pathology : Acute and chronic inflammation. 7th ed
Philadelphia: Elsevier Saunders.2003.

14
4. Abrams GD. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit: Respon tubuh terhadap cedera.
4th ed. Jakarta: EGC. 1995.

15

You might also like