Professional Documents
Culture Documents
A.Batasan Perkawinan
2.Pengetahuan
3.Pengalaman
4.Kepercayaan
5.Agama
6.Adat
Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir – batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa
Jadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah ; untuk kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan
menegakkan agama dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental.
b. Tujuan menurut hukum adat
Bagi masyarakat hukum adat yang
bersifat kekerabatan tujuan perkawinan
berbeda-beda :
1. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
patrilinial, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan Bapak.
2. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
matrilinial, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan baris keturunan Ibu
3. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
parental, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan Bapak - Ibu
c. Tujuan perkawinan menurut
Hukum agama
Menurut agama Islam, tujuan perkawinan adalah
menuruti perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan
teratur.
Menurut agama kristen tujuan perkawinan adalah
membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal
antara pria danw anita berdasarkan cinta kasih
Menurut agama Hindu, tujuan perkawinan adalah
untuk menebus dosa orang tua
Menurut agama Budha, tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk suatu keluarga (rumah
tangga) bahagia yang diberhaki oelh SangHyang
Adi Budha (Tuhan Yang Maha Esa).
2. Sahnya perkawinan
Sah menurut hukum yang berlaku :
a. Menurut perundang-undangan :
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 : “perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”
Hukum masing-masing agama = hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai, bukan yang dianut oleh masing-masing mempelai.
Perkawinan yang sah = perkawinan intern agama = perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib salah satu agam
Perkawinan yang hanya dilakukan dihadapan pegawai pencatat sipil adalah tidak sah.
b. Sah menurut hukum adat.
Menurut hukum adat perkawinan adalah
sah, bila telah dilaksanakan menurut tata
tertib agama yang dianut masyarakat adat
yang bersangkutan.
c. Sah menurut hukum agama
menurut agama Islam, perkawinan adalah sah dengan telah
diucapkannya ijab kabul dari calon suami dalam suatu majelis
akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah
menurut hukum agama kristen, perkawinan adalah sah, bila
syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan
perkawinanya dilakukan dihadapan pastur/ pendeta dan yang
dihadiri oleh dua orang saksi.
Menurut hukum agama Hindu, perkawinan adalah sah, bila
dilakukan dihadapan Brahmana atau Pendeta atau pejabat
agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan
itu.
Menurut hukum agama Budha, Indonesia, perkawinan adalah
sah bila telah dilaksanakan menurut upacara yang dilakukan
oleh pendeta agama Budha Indonesia di Vihara/ Cetya/
didepan altar Suci sang Budha.
3. Asas Monogami dan Poligami
a. Menurut perundang-undangan
UU No. 1 Tahun 1974 menganut asas perkawinan monogami (Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 : “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 ini menganut asas monogami terbuka ( tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang bersifat tertutup = poligami yang tidak
begitu saja dapat di buka tanpa pengawasan hakim)
Suami yang akan beristri lebih dari seorang isteri wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dengan alasan-alasan :
b. Pasal 41 ayat b :
Urusan pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab
Bapak
Pasal 11 UU No. 1 tahun 1974
menyatakan :
a) Dalam hal perkawinan putus karena kematian, waktu
tunggunya adalah 130 hari, sejak hari kematian
b) Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggunya adalah :
1) Tiga kali suci dan sekurang-kurangnya 90 hari
bagi yang masih datang bulan
2) 90 hari bagi yang tidak berdatang bulan
note :
1) dan 2) dihitung sejak jatuhnya keputusan
pengadilan negeri
3) dalam hal perkawinan putus karena
kematian maupun perceraian sedang seorang
istri masih hamil, maka waktu tunggu
berlangsung sampai ia melahirkan.
4) dalam hal perkawinan putus karena
perceraian, sedangkan dalam masa
perkawinannya tidak/ belum pernah terjadi
hubungan kelamin, wanita tidak terikat pada
suatu waktu tunggu.
Alasan / ratio dari ketentuan dalam
Pasal 39 PP NO. 9 TAHUN 1974
adalah :
Untuk mencegah confasio sangul keturunan
(meragukan/ membinggungkan) keturunan)
yaitu percampuran benih
HARTA BENDA DALAM
PERKAWINAN
I. Istilah lain = harta perkawinan
II. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
A. Pengaturannya
Diatur dalam BAB VII tentang harta benda dalam perkawinan dari Pasal
35 s/d 37
BAB VII tersebut hanya mengatur hal-hal yang pokok saja
B. Kelompok – kelompok harta
dalam perkawinan
Pasal 35 menentukan adanya dua
kelompok harta dalam perkawinan yaitu :
1. Harta bersama Harta yang diperoleh dalam/ selama perkawinan
berlangsung
2. Harta bawaan/ harta pribadi Harta masing-masing suami istri yang di bawa ke dalam
perkawinan dan harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah/ warisan selama/ dalam perkawinan.
Singkatnya harta bawaan terdiri dari :
a. dalam hal calon mempelai laki-laki perempuan telah mencapai umur 18 tahun / sebelumnya telah menikah,
boleh membuat perjanjian kawin sendiri
b. dalam hal calon mempelai perempuan telah mencapai umur untuk menikah tapi belum genap berumur 18
tahun dan sebelumnya belum pernah menikah, harus diwakili paling tidak didampingi oleh orang tua / walinya.
c. Dalam hal colan mempelai laki-laki atau perempuan menikahnya dengan dipesasi zimzir, harus diwakili /
didampingi oleh orang tua/ walinya.
6. Bentuk perjanjian perkawinan
Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus tertulis (akta di bawah tangan maupun akta
otentik)
Kalau dengan akta bawah tangan, perjanjian perkawinan tersebut harus di sahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan.
Note :