You are on page 1of 128

PENGERTIAN

A.Batasan Perkawinan

Perkawinan adalah perilaku makhluk hidup


agar kehidupannya di dunia berkembang biak
terus.
B. Batasan hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah peraturan –
peraturan hukum yang mengatur perbuatan
hukum serta akibat-akibatnya antar seorang
laki-laki dan seorang perempuan dengan
maksud hidup bersama untuk waktu yang
lama.
c. Aturan Tata Tertib Perkawinan
1. Tata tertib perkawinan pada masa lalu

Bagi manusia sejak dulu sudah


ada tata tertib perkawinan.
Tata tertib perkawinan tersebut
dipengaruhi oleh :
1.Kebudayaan

2.Pengetahuan

3.Pengalaman

4.Kepercayaan

5.Agama

6.Adat

Yang dianut oleh masyarakat/ bangsa yang


bersangkutan.
2. Tata tertib perkawinan pada
masa sekarang
Tata tertib perkawinan pada masa
sekarang masih tetap di pengaruhi
oleh tata cara perkawinan menurut :
 Hukum agama/ kepercayaan
 Hukum adat
D. Konsepsi Perkawinan
Konsepsi = cita-cita, rancangan yang telah
diperkirakan/ pendapat.
Masing-masing negara mempunyai konsepsi
perkawinan sendiri. Misalnya :
 Negara Belanda dan Hinda Belanda, menganut konsep
perdata
 Negara Yunani, konsepsi perkawinannya berdasarkan
keagamaan
 Negara Republik Indonesia konsepsi perkawinanya
berdasarkan baik konsepsi perdata maupun agama.
II. SEJARAH PEMBENTUKAN
UU No. 1 tahun 1974
Di Indonesia pernah berlaku dua macam
hukum perkawinan yaitu :
 Hukum perkawinan yang berlaku
sebelum tanggal 2 Januari 1974 dan
 Hukum perkawinan yang berlaku
sesudah tanggal 2 Januari 1974.
Ad.1. hukum perkawinan yang
berlaku sebelum tanggal 2 Januari
1974.
1. Perkawinan bagi orang Indonesia asli yang beragama
Islam
2. Hukum perkawinan bagi orang Indonesia asli yang
tidak beragama Islam dan Kristen
3. Hukum perkawinan bagi orang-orang Indonesia asli
yang beragam Kristen
4. Hukum perkawinan bagi orang timur asing Cina dan
warga negara Indonesia Keturunan Cina
5. Hukum perkawinan bagi orang timur asing bukan Cina
6. Hukum perkawinan bagi orang-orang Eropa
Ad.2. hukum perkawinan yang
berlaku setelah tanggal 2 Januari
1974
 Umumnya negara yang merdeka mempunyai
hukum nasional sendiri
 Indonesia sebagai negara merdeka sampai
sekarang belum mempunyai sepenuhnya
hukum nasional
 Hukum yang kini berlaku di Indonesia masih
bersifat pluralistik/ dualistik
 Sejak kemerdekaanya Indonesia berangsur-
angsur membuat hukum nasionalnya sendiri.
 Bidang hukum nasional yang telah dibuat oleh
Indonesia adalah hukum perkawinan.
Usaha untuk membentuk hukum
perkawinan nasional dimulai antara
lain dari:
 Tahun 1950 dibentuk panitia penyelidik peraturan
hukum perkawinan, talak dan rujuk
 Tahun 1962 diadakan konperensi badan penasehat
perkawinan
 Tahun 1963 LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional) mulai meninjau masalah-masalah UU
Perkawinan.
 Tahun 1966 Departemen Kehakiman menugaskan
kembali LPHN untuk menyusun RUU perkawinan yang
bersifat nasional dengan berlandaskan Pancasila
 Tahun 1974 pemerintah (Presiden) telah mengesahkan
UU No. 1 tahun 1974 tentang pokok perkawinan.
Masa peralihan berlaku nya UU
No.1 tahun 1974
 Setiap ada penggantian/ perubahan,
selalu/ dapat/ sering menimbulkan
permasalahan
 Bagaimana halnya dengan kekuatan
berlakunya perundangan perkawinan
peninggalan zaman Hindia Belanda Sejak/
setelah berlakunya secara efektif UU No. 1
tahun 1974.
 UU No. 1 tahun 1974 tidak mencabut
secara menyeluruh undang-undang
perkawinan peninggalan pemerintahan
Hinda Belanda.
 Penjelasan resmi terhadap Pasal 66 UU
No. 1 tahun 1974 : “Ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang
terdahulu tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam UU Perkawinan"
III. MACAM – MACAM
PENGERTIAN TENTANG
PERKAWINAN.
A. Pengertian perkawinan menurut
perundangan
1. Pengertian perkawinan menurut KUHPerdata
2. Pengertian perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974
Ad.1. Pengertian perkawinan
menurut KUHPerdata.
 Tidak ada perumusan tentang pengertian perkawinan
 Perkawinan hanya dipandang sebagai perikatan perdata
saja (Pasal 26 KUHPerdata)
Pengertian perkawinan menurut ketentuan-ketentuan
di luar perundang-undangan menurut :
1) hukum adat
2) hukum agama

 Perkawinan tidak merupakan perikatan (Pasal 81


KUHPerdata)
 Perkawinan hanya mempunyai unsur lahir saja.
Ad.2. Pengertian perkawinan
menurut UU No. 1 tahun 1974
 Ada rumusannya yaitu yang tercantum dalam
Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 : “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
 Perkawinan merupakan baik ikatan perdata
maupun ikatan keagamaan
 Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita.
Unsur-unsur yang terdapat dalam
perkawinan :
1. Unsur ikatan lahir
Ikatan lahir = Ikatan fisik = ikatan dengan keluarga dan
masyarakat.
2. Unsur ikatan batin
Ikatan batin = niat yang sungguh-sungguh untuk hidup
bersama
3. Unsur seorang pria dengan seorang wanita
Asas perkawinan adalah asas monogami
4. Unsur tujuan membentuk keluarga kekal dan bahagia
Asas perkawinan harus berlangsung seumur hidup
5. Unsur Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
a) Agama dan Kepercayaan diberi peran menentukan
sah/ tidak sahnya perkawinan.
b) Unsur ini dijadikan landasan perkawinan
Persamaan pengertian kedua
undang – undang tersebut :
 keduanya memandang perkawinan sebagai
perikatan.
Perbedaaan pengertian kedua UU
tersebut :
 Perkawinan menurut KUHPer hanya merupakan perikatan perdata
 Perkawinan menurut UU No. th 1974 selain merupakan perikatan
perdata juga merupakan “perikatan keagamaan”
Ad.3. perkawinan menurut hukum adat.
Merupakan :
 Perikatan perdata
 Perikatan adat
 Perikatan kekerabatan dan ketetanggaan

Perikatan perdata menyangkut :


 Hak dan kewajiban suami istri
 Harta bersama
 Kedudukan anak
 Hak dan kewajiban orang tua
Perikatan adat menyangkut :
 adanya pelamaran
 kedudukan suami istri
 kedudukan anak
 pengangkatan anak
Perikatan kekerabatan dan
ketetanggan menyangkut
 Pembinaan dan pemeliharaan kerukunan
 Pembinaan keutuhan dan kelanggengan
kehidupan anak
Menurut hukum adat ada 3 macam
bentuk dan sistem perkawinan
 Perkawinan jujur
 Perkawinan semanda
 Perkawinan bebas
UU No. 1 tahun 1974 tidak mengatur
bagaimana tata tertib adat yang harus
dilakukan dalam melaksanakan
perkawinan menurut bentuk dan sistem
perkawinan.
Ad.4. Perkawinan menurut hukum
agama.
 Merupakan perbuatan suci
 Merupakan perikatan dalam memenuhi

perintah dan anugerah Tuhan Yang Maha


Esa.
Jadi perkawinan menurut hukum agama
merupakan perikatan jasmani dan rokhani.
Pada dasarnya setiap agama tidak dapat
membenarkan perkawinan yang
berlangsung tidak seagama.
Perkawinan menurut agama Islam
 Perkawinan = akad (perikatan) antara wali
calon isteri dengan pria calon suami
 Perikatan (akad – nikah) terdiri dari ijab
dan kabul.
Perikatan perkawinan dalam/ menurut
agama Islam selain merupakan
perikatan lahir batin juga merupakan
perikatan kekerabatan, bukan perikatan
perseorangan.
Perkawinan menurut agama
Katholik
 Persekutuan hidup antara pria dan wanita
atas dasar ikatan cinta kasih dengan
persetujuan bebas dari keduanya dan
tidak dapat ditarik kembali.
 Kedua mempelai harus sudah di batis.
Perkawinan menurut agama Hindu

Perikatan antara Pria dan wanita untuk


mengatur hubungan seks yang layak
guna mendapatkan keturunan anak
pria yang akan menyelamatkan arwah
orang tuanya dari neraka , yang
dilangsungkan dengan upacara
menurut agama Hindu Werda Smrti.
Perkawinan menurut agama Budha
Ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita
sebagai suami – istri yang berdasarkan
pada :
 Metta (Cinta Kasih)
 Karuna (kasih sayang)
 Mudita (rasa sepenanggungan)
Dengan tujuan untuk membentuk satu
rumah tangga yang diberkahi oleh Sang
Hyang Adi Budha, para Budha dan para
Budi Satwa
5. Perkawinan Campuran
Tiga pengertian tentang perkawinan
campuran yaitu :
A. Menurut regeling op de gemeng de huwelziken
“R.G.H” = peraturan tentang perkawinan
campuran (KB No.23 tahun 1890 S. 1890 No.
158) perkawinan antara orang-orang yang ada
di Hindia Belanda (Indonesia) yang tunduk
pada hukum yang berlainan.
b. Menurut pandangan / pengertian
masyarakat sehari-hari :
 Perkawinan karena perbedaan adat/ suku
 Perkawinan karena perbedaan agama.

c. Menurut UU No. 1 tahun 1974 :


Perkawinan campuran antara warga negara yang
berbeda.
Jadi ada 3 perkawinan campuran :
1. Perkawinan antar kewarganegaraan
2. Perkawinan antar adat/ suku
3. Perkawinan antar agama
Ad.1 Perkawinan campuran antar
kewarganegaraan :
UU No. 1 tahun 1974 Pasal 57
 Perkawinan antara 2 orang yang di Indonesia Tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
 Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut UU No. 1 tahun 1974 Pasal 59 (2)
 Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum
yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi
(Pasal 60 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
 Perkawinan campuran harus dicatat oleh pegawai
pencatat yang berwenang.
Ad.2. perkawinan (campuran) antar
adat
 Perkawinan yang terjadi antara suami dan
istri yang adat istiadatnya berlainan.
Pelaksanaan perkawinan antar adat sering
menimbulkan perselisihan yang dapat
mengganggu kerukunan hidup antar
keluarga/ kerabat besan.
Ad.3. perkawinan (campuran) antar
agama
 Perkawinan antara seorang pria dan wanita yang
berbeda agama yang dianutnya dan masing-
masing tetap mempertahankannya.
 Perkawinan macam ini bertentangan dengan
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 dengan
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 yang
berbunyi : “Perkawinan yang sah = perkawinan
yang dilakukan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya”
 Perkawinan campuran antar agama adalah tidak
sah
6. Perkawinan diluar negeri
 Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia
antara dua orang warga negara Indonesia atas
seorang warga negara Indonesia dengan
seorang warga negara asing adalah sah bila
dilakukan menurut hukum yang berlaku di
Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan
dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar UU No. 1 tahun 1974
 Setelah suami istri kembali di Indonesia, dalam
satu tahun surat bukti perkawinan harus
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan
tempat tinggal mereka.
 Perkawinan di luar Indonesia menjadi tidak sah,
bila perkawinan tersebut hanya dilakukan di
kantor/ dihadapan hakim/ pejabat pencatatan
sipil saja Tanpa melakukan upacara
keagamaan)
 Perkawinan semacam ini sama dengan hidup
bersama/ kumpul kebo/ zamen leven.
 Pegawai kantor pencatatan perkawinan RI.
harus menolak pendaftaran perkawinan tersebut
PRINSIP/ DASAR PERKAWINAN
Ada 3 macam :
1. Tujuan perkawinan
a. Tujuan menurut perundang-undangan

 Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir – batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa
 Jadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah ; untuk kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan
menegakkan agama dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental.
b. Tujuan menurut hukum adat
Bagi masyarakat hukum adat yang
bersifat kekerabatan tujuan perkawinan
berbeda-beda :
1. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
patrilinial, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan Bapak.
2. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
matrilinial, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan baris keturunan Ibu
3. Pada masyarakat kekerabatan adat yang
parental, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan Bapak - Ibu
c. Tujuan perkawinan menurut
Hukum agama
 Menurut agama Islam, tujuan perkawinan adalah
menuruti perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan
teratur.
 Menurut agama kristen tujuan perkawinan adalah
membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal
antara pria danw anita berdasarkan cinta kasih
 Menurut agama Hindu, tujuan perkawinan adalah
untuk menebus dosa orang tua
 Menurut agama Budha, tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk suatu keluarga (rumah
tangga) bahagia yang diberhaki oelh SangHyang
Adi Budha (Tuhan Yang Maha Esa).
2. Sahnya perkawinan
Sah menurut hukum yang berlaku :
a. Menurut perundang-undangan :
 Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 : “perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”
 Hukum masing-masing agama = hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai, bukan yang dianut oleh masing-masing mempelai.
 Perkawinan yang sah = perkawinan intern agama = perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib salah satu agam
 Perkawinan yang hanya dilakukan dihadapan pegawai pencatat sipil adalah tidak sah.
b. Sah menurut hukum adat.
Menurut hukum adat perkawinan adalah
sah, bila telah dilaksanakan menurut tata
tertib agama yang dianut masyarakat adat
yang bersangkutan.
c. Sah menurut hukum agama
 menurut agama Islam, perkawinan adalah sah dengan telah
diucapkannya ijab kabul dari calon suami dalam suatu majelis
akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah
 menurut hukum agama kristen, perkawinan adalah sah, bila
syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan
perkawinanya dilakukan dihadapan pastur/ pendeta dan yang
dihadiri oleh dua orang saksi.
 Menurut hukum agama Hindu, perkawinan adalah sah, bila
dilakukan dihadapan Brahmana atau Pendeta atau pejabat
agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan
itu.
 Menurut hukum agama Budha, Indonesia, perkawinan adalah
sah bila telah dilaksanakan menurut upacara yang dilakukan
oleh pendeta agama Budha Indonesia di Vihara/ Cetya/
didepan altar Suci sang Budha.
3. Asas Monogami dan Poligami
a. Menurut perundang-undangan
 UU No. 1 Tahun 1974 menganut asas perkawinan monogami (Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
 Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 : “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
 Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 ini menganut asas monogami terbuka ( tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang bersifat tertutup = poligami yang tidak
begitu saja dapat di buka tanpa pengawasan hakim)
 Suami yang akan beristri lebih dari seorang isteri wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dengan alasan-alasan :

 Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri


 Istri mendapat cacat badan/ penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
 Istri tidak dapat melahirkan keturunan
b. Poligami dalam hukum adat
 Masyarakat hukum adat di Indonesia pada
zamannya mengenal perkawinan seorang suami
dengan banyak istri (poligami) terutama di
kalangan raja-raja dan bangsawan adat.
 Sekarang sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974
poligami sudah jarang sekali terjadi
 Kalau masih ada, sudah disesuaikan dengan UU
No. 1 tahun 1974, yaitu karena keadaan
memaksa.
c. Poligami dalam hukum agama
 Hukum agama Islam dan hukum agama
Hindu memperkenankan poligami
 Hukum agama kristen dan hukum agama
budha tidak memperkenankan poligami.
d. Poligami pegawai negeri
 Menurut UU No. 8 tahun 1974 tentang
pokok-pokok kepegawaian, yang
dimaksud dengan pegawai negeri adalah
pegawai negeri sipil dan pegawai negeri
daerah, termasuk :
 Pegawai Bank milik negara
 Pegawai BUMN
 Pegawai bank milik daerah
 Pegawai BUMN.
Perkawinan bagi pegawai negeri
sipil di atas dalam PP. No. 10 tahun
1983 tentang izin perkawinan dan
perceraian pegawai negeri pada
prinsipnya harus monogami.
 Bila seorang pegawai negeri sipil pria akan
beristri lebih dari seorang, Ia wajib mendapat
izin lebih dulu dari pejabat (Menteri, Jaksa
Agung, Pimpinan Lembaga Non Departemen,
Gubernur, Pimpinan BUMN Dll)
 Izin untuk beristri lebih dari seorang, hanya
dapat diberikan kalau memenuhi sekurang-
kurangnya salah satu syarat alaternatif dan tiga
syarat kumulatif.
Syarat-syarat alternatif :
 Istri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri
 Istri mendapat cacat badan/ penyakit
yang tidak dapat disembuhkan
 Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat-syarat kumulatif :
 Persetujuan tertulis dari istri
 Penghasilan pegawai negeri sipil yang
bersangkutan cukup untuk membiayai
lebih dari seorang istri dan anak-
anaknya.
 Jaminan tertulis dari pegawai negeri
sipil yang bersangkutan bahwa ia akan
berlaku adil terhadap istri dan anak-
anaknya.
Bila seorang pegawai negeri sipil
wanita akan :
 Menjadi istri ke 2 / ke 3/ ke 4 dari pegawai
negeri sipil pria harus dilarang/ tidak diizinkan.
 Menjadi istri ke 2/ ke 3 / ke 4 dari bukan
pegawai negeri sipil pria wajib memperoleh izin
terlebih dahulu dari pejabat (seperti yang
disebut diatas)
 Pejabat yang bersangkutan, tidak memberikan
izin untuk pegawai negeri sipil wanita untuk
menjadi istri ke 2/ ke 3/ ke 4. Bila
perkawinannya bertentangan dengan aturan /
ajaran yang dianut si wanita itu dan bakal
suaminya.
 Pasal 15 PP No. 10 tahun 1983 pegawai
negeri sipil dilarang hidup bersama
dengan wanita atau pria sebagai suami /
istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
 Pegawai negeri sipil pria/ wanita yang
melanggar ketentuan diatas dijatuhi
hukuman disiplin. Berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai pegawai negeri sipil.
IV. Persyaratan perkawinan.
 Menurut UU No. 1 tahun 1974 ada 2
macam syarat perkawinan :
1. Syarat material, yaitu syarat – syarat yang menyangkut pribadi calon suami
dan calon istri.
2. Syarat-syarat formil, yaitu syarat-syarat yang menyangkut formalitas yang
harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.
Ad.1. Syarat – syarat materil di bagi
menjadi :
a. syarat material yang bersifat umum.
b. Syarat material yang bersifat khusus.
Ad.a. Syarat materiil yang bersifat
umum :
1. Persetujuan calon suami dan istri (Pasal 6 ayat 1 UU
No. 1 tahun 1974). Tidak ada / boleh ada
paksaan, ancaman atau salah sangka mengenai diri
suami istri.
2. Pemenuhan syarat-syarat umur minimal (Pasal 7 ayat
1). Batas umur minimal untuk melangsungkan
perkawinan :
a. 19 Tahun untuk pria
b. 16 tahun untuk wanita

Kalau perkawinan akan dilangsungkan sebelum mencapai batas


umur minmal, harus dimintakan dispensasi dari pengadilan/
pejabat yang ditunjuk oleh orang tua kedua calon suami istri.
3. Calon suami dan calon istri harus tidak
terikat dalam tali perkawinan dengan
orang lain (Pasal 9 UU No. 1 tahun 1974)
4. Bagi wanita ada kewajiban memenuhi
suatu jangka waktu tunggu tertentu
untuk melangsungkan perkawinan (Pasal
11 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 39 PP
No. 9 tahun 1975)
Ad.b) syarat-syarat materiil yang
bersifat khusus :
1. Larangan perkawainan
2. Kewajiban bagi calon suami dan istri
yang belum berumur 21 tahun untuk
mendapatkan izin dari orang tua.
Ad.1) larangan perkawinan (Pasal
8 UU No. 1 tahun 1974)
Berdasarkan hubungan darah yang
terlalu dekat seperti :
 Perkawinan antara anggota keluarga
darah dalam garis lurus keatas atau
kebawah (Pasal 8a. UU No. 1tahun 1974)
 Perkawinan antara anggota keluarga
dalam garis keturunan menyamping (Pasal
8b UUNo. 1 tahun 1974)
Berdasarkan hubungan sementara
seperti :
 perkawinan antara seseorang dengan
mertua, anak tiri, menantu, Ibu/ bapak tiri
(Pasal 8 c)
berdasarkan hubungan susuan
seperti
 Perkawinan antara anak susuan, saudara
susuan, orang tua susuan (Pasal 8 d)
Berdasarkan hubungan yang
dilarang oleh agama seperti :
 Perkawinan antara orang-orang yang oleh
agama dilarang (Pasal 8 f)
Berdasarkan hubungan keluarga
 Dalam perkawinan poligami, seperti
perkawinan antara seorang suamoi
dengan saudara, bibi, kemenakan dari istri
(Pasal 8 c)
Berdasarkan keadaan tertentu
pada diri calon suami/ istri, seperti :
 Perkawinan antara seorang pria/ wanita
yang masih terikat pada perkawinan
dengan orang lain
 Perkawinan antara bekas suami dan bekas
istri yang telah 2 x bercerai dengan
pasangan yang sama.
Ad.2) kewajiban calon suami/ istri yang
belum mencapai usia 21 tahun
 Harus mempunyai izin dari kedua orang tua (Pasal 6
ayat 2) atau
 Harus mendapat izin dari orang tua yang masih hidup /
yang mampu menyatakan kehendaknya. Jika salah satu
orang tuanya telah meninggal / tidak mampu
menyatakan kehendak atau
 Harus mendapat izin dari walinya orang yang
memeliharnya atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus keatas, bila ke 2 oarng tuanya
telah meninggal atau
 Harus mendapat izin dari pengadilan di tempat
tinggalnya, bila ada perbedaan pendapat antara orang-
orang tersebut diatas.
Ad. II. Syarat-syarat formil
a. Formalitas perkawinan
b. Pencatatan perkawinan
Ad.a Formalitas yang mendahului
perkawinan
a. Pemberitahuan (Pasal 3s/d 5 PP No. 9
tahun 1975)
1. Setiap orang yang akan kawin wajib memberi tahukan niatnya kepada pegawai pencatat perkawinan (Pasal 3
ayat 1 PP No. 9 tahun 1975)
2. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan/ tertulis/ oleh calon mempelai / orang tua/w akilnya
3. Pemberitahuan harus berisi identitas dari para pihak.
4. Pemberitahuan harus berisi identitas dari para pihak.
b. Penelitian (Pasal 6 s/d 7 PP No. 9 tahun
1975) setelah menerima pemberitahuan
pegawai pencatat perkawinan harus :
1) Meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan sudah dipenuhi
2) Menulis hasil penelitiannya dalam sebuah
daftar yang diperuntukkan untuk itu
3) Segera memberitahukan kepada calon
mempelai bila penelitiannya
menunjukkan adanya halangan/
hambatan perkawinan.
Pengumuman (Pasal 8 dan 9 PP
No. 9 tahun 1975)
Kalau penelitian tidak menunjukkan adanya
halangan maka :
Pegawai pencatat perkawinan harus membuat pengumuman tentang pemberitahuan
niat perkawinan yang ditempelkan ditempat yang mudah di baca oleh umum
Pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada umum untuk

mengetahui dan mengajukan keberatan


d. Pencegahan perkawinan
 Pencegahan perkawinan = pengajuan
keberatan terhadap perkawinan yang akan
dilangsungkan
 Kalau perkawinan yang akan
dilangsungkan tidak memenuhi
persyaratan, pihak – pihak tertentu dapat
mencegah perkawinan tersebut
 Kalau ada pencegahan perkawinan tidak
dapat dilangsungkan.
Pihak-pihak yang berhak
mencegah perkawinan :
1. Keluarga dekat garis keturunan lurus keatas / kebawah.
(Pasal 14 ayat 1 No. 1 Tahun 1974)
2. Saudara (Pasal 14 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
3. Wali nikah (Pasal 14 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974)
4. Pengampu dari salah seorang calon pengantin
5. Pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 15 UU No. 1
tahun 1974) barang siapa karena perkawinan dirinya
masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak.
6. Pejabat yang ditunjuk (Pasal 16 UU No. 1 tahun 1974)
7. Pegawai pencatat pernikahan (Pasal 20 dan 21 UU No.
1 tahun 1974)
Alasan untuk mencegah
perkawinan perkawinan dapat
dicegah, bila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal
13 UU No. 1 tahun 1974).
Procedur pencegahan perkawinan
1. Permohonan pencegahan perkawinan harus
diajukan kepada pengadilan daerah hukum
dimana perkawinan akan dilangsungkan.
2. Permohonan tersebut harus diberitahukan
kepada pegawai pencatat perkawinan
3. Pegawai pencatat perkawinan harus memberi
tahu kepada calin-calon mempelai
4. Pengerahan perkawinan dapat dicabut
dengan :
a. Putusan pengadilan atau
b. Ditarik kembali permohonannya.
TATA CARA PERKAWINAN
1. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara yang
ditentukan dalam hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.
2. Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah hari
kesepuluh sejak pengumuman.
3. Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan pegawai
pencatat perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi.
4. Setelah perkawinan selesai, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan
5. Kedua orang saksinya, pegawai pencatat perkawinan dan
wali nikah juga harus menandatangani akta tersebut
6. Setelah penandatanganan akta perkawinan telah tercatat
secara resmi
Hak dan kewajiban suami istri
dalam rumah tangga
1. Kewajiban suami istri untuk menegakkan rumah tangga
(Pasal 30 Undang-undang No. 1 tahun 1974)
2. Kewajiban suami istri untuk saling cinta mencintai (Pasal 33
Undang-undang No. 1 tahun 1974)
3. Hak dan kewajiban istri seimbang dengan hak dan kedudukan
suami (Pasal 31 Undang-undang No. 1 tahun 1974)
4. Kewajiban suami istri untuk mempunyai tempat kediaman
yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama (Pasal
32 Undang-undang No. 1 tahun 1974)
5. Kewajiban suami untuk melindungi istri dan memberikan
segala sesuai keperluan hidup rumah tangga (Pasal 34 ayat 1
Undang-undang No. 1 tahun 1974)
6. Kewajiban istri untuk mengatur urusan-urusan rumah tangga
sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun
1974)
Hak dan kewajiban antara orang
tua dan anak
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
diatur dalam Pasal 45 s/d 49 Undang-undang No.
1 tahun 1974.
Pasal-Pasal tersebut mengandung prinsip-prinsip :
1. Kekuasaan orang tua berada di tangan dan dilaksankan oleh kedua orang tua
2. Kekuasaan orang tua berlangsung sampai batas-batas waktu yang ditentukan
oleh Undang-undang
3. Kekuasaan orang tua berlaku selama orang tua tersebut menjalankan
tugasnya dengan baik disertai dengan kemungkinan pencabutannya
berdasarkan alasan-alasan yang menyangkut pelaksanaan tugas (Pasal 49
Undang-undang No. 1 tahun 1974)
Sifat kekuasaan orang tua
Sifat kekuasaan orang tua harus
dilaksanakan untuk kepentingan anak
semata-mata pelaksanaannya dibatasi oleh
norma-norma kepantasan. Hal-hal yang
termasuk dalam kekuasaan orang tua.
Kekuasaan orang tua meliputi 2 hal :
1. Hal mengenai pribadi si anak
2. Hal mengenai harta si anak

Ad.1 hal mengenai pribadi si anak


1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(Pasal 45 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974)
2. Kewajiban ini berlangsung sampai anak-anak sudah dapat berdiri sendiri atau kawin

Ad.2. hal yang mengenai harta si anak


1. Kedua orang tua wajib mengurus harta milik si anak dan tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang tetap milik si anak
2. Baru kalau ada kebutuhan yang mendesak bagi si anak orang tua boleh melakukan tindakan diatas.
3. Orang tua memang mewakili si anak mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Berakhirnya kekuasaan orang tua
Kekuasaan orang tua berakhir bila :
1. Si anak telah mencapai usia 18 tahun
(Pasal 47 ayat 1)
2. Si anak telah melangsungkan
perkawinan (Pasal 47 ayat 1)
3. Si anak telah dapat berdiri sendiri (Pasal
45 ayat 2)
4. Kekuasaan orang tua di cabut (Pasal 49)
Alasan-alasan untuk mencabut
kekuasaan orang tua
Tuntutan pencabutan kekuasaan orang
tua harus diajukan kepada pengadilan.
Alasan yang digunakan untuk menuntut :
a. Orang tua sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya
b. Orang tua berkelakuan buruk sekali
Pencabutan kekuasaan orang tua
itu tidak menghapuskan kewajiban
orang tua untuk memberi biaya
pemeliharaan si anak.
Putusnya perkawinan
Pasal 38 Undang-undang No. 1
tahun 1974 menyebut adanya tiga
sebab putusnya perkawinan yaitu :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Keputusan pengadilan
Ad.1. Kematian sebagai sebab
putusnya perkawinan
Suatu kematian diantara suami istri dengan
sendirinya menjadikan perkawinan terputus.
Ad.2. Perceraian sebagai sebab
putusnya perkawinan
 Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan harus
berlangsung kekal
 Apakah perkawinan yang pada asasnya harus kekal, dapat
diputuskan (sepanjang diperbolehkan) karena alasan-alasan lain,
(misalnya perceraian). Kalau diperbolehkan, sampai beberapa jauh ?
 Jawaban
1. Negara-negara yang Undang-undang perkawinannya menganut doktrit
agama katollik tidak diperbolehkan.
2. Sebagian besar negara-negara membolehkan
3. Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974
membolehkan, tapi berusaha mempersempitnya. Caranya : perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang.
 Sesungguhnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak
menghendaki adanya perceraian
Ada 2 macam (buah) ketentuan
tentang alasan perceraian, yaitu :
1. Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 39
2. PP No. 9 Tahun 1975
Ad.1. Pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun
1974 merumuskan alasan-alasan perceraian
hanya secara umum saja
Ad.2. PP No. 9 tahun 1975 Pasal 19
merumuskan alasan perceraian secara rinci
a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, penjudi, pemadat
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun. Atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu melakukan kekejaman atau penganiayaan baerat yang
emmbahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan/ penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri
f. Antar suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

Alasan-alasan tersebut dalam PP No. 9 tahun


1975 harus dianggap sebagai bersifat limitatif
Ad.3. keputusan pengadilan
 Keputusan pengadilan mengenai gugatan
perceraian diucapkan dalam sidang terbuka
 Perceraian sudah dianggap terjadi terhitung
sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan
kantor pencatat
 Bagi mereka yang beragama islam putusnya
putusnya perkawinan terhitung sejak putusan
pengadilan agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Tata cara perceraian
Menurut PP No. 9 tahun1975 Pasal
14 s/d 36 ada 2 macam perceraian
yaitu :
1. Perceraian dengan cara talak
2. Perceraian dengan cara gugatan
Ad.1. Procedure perceraian dengan
cara talak.
Procedure perceraian dengan cara talak ini
hanya berlaku bagi mereka yang beragama
islam.
Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 :
“Seseorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan surat kepada
pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisikan
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu”.
Prosedur ini hanya dapat ditempuh oleh suami.
Prosedurnya :
1. Suami menyampaikan surat pemberitahuan untuk menceraikan
istrinya kepada pengadilan baik secara tertulis maupun lisan
2. Pengadilan setelah menerima surat pemberitahuan lalu
mempelajarinya
3. Pengadilan setelah menerima surat pemberitahuan, dalam
waktu 30 hari (maksimal). Harus memanggil suami istri untuk
meminta penjelasan
4. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa perceraian tidak
dapat dielakkan mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian
5. Pengadilan setelah menyaksikan perrceraian lalu membuat
surat keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat
keputusan)
6. Pengadilan mengirimkan surat keterangan tersebut kepada
pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk
diadakan pencatatan perceraian
7. Perceraian sudah terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.
Ad.1 prosedur perceraian
Prosedur ini diperuntukkan bagi :
a. Istri yang melangsungkan perkawinan
menurut agama islam
b. Istri atau suami yang melangsungkan
perkawinan menurut agamanya atau
kepercayaannya masing-masing (bukan
agama islam)
Tempat mengajukan gugatan cerai :
Alasan-alasan perceraian yang tersebut dalam PP
No. 1 tahun 1975. Membedakan tempat pengajuan
gugatan.
Umum :
Gugatan perceraian yang diajukan oleh suami/ istri
atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukum meliputi tempat kediaman tergugat.
Khusus :
1. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas/
tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, gugatan perceraian kepada
pengadilan di tempat kediaman penggugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kediaman
penggugat. Ketua pengaduan tersebut. Kemudian
menyampaikan permohonan gugatan cerai tersebut
kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat.
3. Dalam hal gugatan perceraian karena salah satu pihak
meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya gugatan diajukan kepada
pengadilan di tempat kediaman penggugat.
4. Dalam hal gugatan perceraian karena alasan bahwa
antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun kembali dalam rumah tangga, gugatan diajukan
kepada pengadilan di tempat kediaman tergugat.
Empat langkah hakim sebelum
jatuhnya perceraian
1. Hakim memanggil baik penggugat
maupun tergugat
2. Hakim memeriksa gugatan perceraian
3. Hakim mengusahakan perdamaian
4. Hakim memutuskan perceraian
Ad.1. Hakim memanggil baik
penggugat maupun tergugat
a. Setiap akan ada sidang, penggugat dan tergugat dipanggil
b. Bagi pengadilan negeri, panggilannya oleh juru sita
pengadilan
c. Bagi pengadilan agama, panggilannya dilakukan oleh petugas
pengadilan agama.
d. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Kalau yang bersangkutan tidak dapat dijumpai panggilan
disampaikan melalui lurah.
e. Panggilan harus disampaikan secara patut dan harus sudah
sampai tiga hari sebelum sidang.
f. Kalau tergugat ada di luar negeri panggilan harus
disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat
g. Kalau tergugat tidak jelas/ tidak mempunyai tempat tinggal
tetap panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di
pengadilan atau diumumkan melalui surat kabar.
Ad.2. Hakim memeriksa gugatan
perceraian (persidangan)
a. Pemeriksaan perkara gugatan di lakukan dalam sidang tertutup
b. Pemeriksaan (sidang) harus sudah di lakukan selambat-lambatnya
tiga puluh hari setelah surat gugatan diterima oleh panitera.
c. Bagi tergugat yang berdiam diluar negeri, persidangan ditetapkan
enam bulan setelah surat gugatan diterima oleh panitera
d. Para pihak yang berperkara, dapat hadir sendiri/ didampingi oleh
kuasanya atau menyerahkan sama sekali kepada kuasanya.
e. Selama berlangsungnya sidang :

 Suami istri dapat diizinkan untuk berpisah berlainan rumah


 Dapat ditentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami bagi istri dan anak-
anaknya.
 Dapat ditentukan tentang harta dalam perkawinan (harta bersama) dan harta
bawaan.
Ad.3. Hakim mengusahakan
perdamaian
a. Hakim yang memeriksa gugatan
perceraian harus berusaha untuk
mendamaikan
b. Usaha mendamaikan dapat berlangsung
pada setiap sidang, sebelum ada
putusan
c. Dalam usaha mendamaikan hakim dapat
minta bantuan kepada orang atau badan
lain yang dianggap perlu.
Ad.4. hakim memutus perkara
a. Putusan hakim harus dilakukan dalam sidang
terbuka
b. Bila pihak tergugat atau kuasanya yang telah
dipanggil secara sah, tetap tidak hadir,
putusan dapat diambil di luar hadirnya
tergugat (By verstek) untuk kemenangan
tergugat
c. Bagi yang menganut agama islam perceraian
dianggap sudah terjadi sejak jatuhnya putusan
pengadilan
d. Bagi yang non islam, perceraian dianggap
sudah terjadi sejak saat pendaftarannya.
Akibat perceraian
Putusnya perceraian sebagai
akibat perceraian membawa akibat
yang menyangkut :
a. Keadaan perkawinannya sendiri
b. Hubungan antara bekas suami istri
c. Hubungan orang tua dengan anak
d. Harta benda bersama
e. Harta bawaan
Ad.1. keadaan perkawinannya
sendiri
Menurut Pasal 38 Undang-undang No. 1
tahun 1974 sebagai akibat perceraian, maka
perkawinannya putus
Ad.2. hubungan antara bekas
suami istri
 Menurut Pasal 41 ayat c “Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi mantan isteri.
 Perkataan “dapat” artinya bukan merupakan keharusan
 Kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah
tergantung dari :
1. Ada/ tidak adanya kebutuhan nafkah kehidupan yang
akan diterima oleh mantan istri
2. Mampu/ tidak mampunya mantan suami untuk
memberi nafkah.
Ad.3. Hubungan orang tua dengan
anak menurut :
a. Pasal 41 ayat :
 Bapak ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya untuk kepentingan anak
 Bila ada perselisihan tentang penguasaan anak, pengadilan yang memberi keputusan.

b. Pasal 41 ayat b :
Urusan pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab
Bapak
Pasal 11 UU No. 1 tahun 1974
menyatakan :
a) Dalam hal perkawinan putus karena kematian, waktu
tunggunya adalah 130 hari, sejak hari kematian
b) Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggunya adalah :
1) Tiga kali suci dan sekurang-kurangnya 90 hari
bagi yang masih datang bulan
2) 90 hari bagi yang tidak berdatang bulan
note :
1) dan 2) dihitung sejak jatuhnya keputusan
pengadilan negeri
3) dalam hal perkawinan putus karena
kematian maupun perceraian sedang seorang
istri masih hamil, maka waktu tunggu
berlangsung sampai ia melahirkan.
4) dalam hal perkawinan putus karena
perceraian, sedangkan dalam masa
perkawinannya tidak/ belum pernah terjadi
hubungan kelamin, wanita tidak terikat pada
suatu waktu tunggu.
Alasan / ratio dari ketentuan dalam
Pasal 39 PP NO. 9 TAHUN 1974
adalah :
Untuk mencegah confasio sangul keturunan
(meragukan/ membinggungkan) keturunan)
yaitu percampuran benih
HARTA BENDA DALAM
PERKAWINAN
I. Istilah lain = harta perkawinan
II. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
A. Pengaturannya
 Diatur dalam BAB VII tentang harta benda dalam perkawinan dari Pasal
35 s/d 37
 BAB VII tersebut hanya mengatur hal-hal yang pokok saja
B. Kelompok – kelompok harta
dalam perkawinan
 Pasal 35 menentukan adanya dua
kelompok harta dalam perkawinan yaitu :
1. Harta bersama Harta yang diperoleh dalam/ selama perkawinan
berlangsung
2. Harta bawaan/ harta pribadi Harta masing-masing suami istri yang di bawa ke dalam
perkawinan dan harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah/ warisan selama/ dalam perkawinan.
Singkatnya harta bawaan terdiri dari :

a. Harta bawaan suami


b. Harta bawaan istri
c. Harta hibahan/ warisan suami
d. Harta hibahan/ warisan istri
Berdasarkan sistem/ asas tersebut,
dalam suatu keluarga (suami istri)
mungkin terdapat lebihd ari sati
kelompok harta perkawinan,
berbeda dengan sistem yang
dianut oleh BW yaitu bahwa dalam
satu keluarha hanya ada satu
kelompok harta yaitu harta
persatuan.
Ad.1 harta bersama
 Meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri
selama/ dalam masa perkawinan
 Ketentuan tersebut tidak menyebutkan dari
mana atau dari siapa harta tersebut berasal,
sehingga yang termasuk dalam harta bersama
adalah :
 Hasil dan pendapatan suami
 Hasil dan pendapatan istri
 Hasil dan pendapatan dari harta bawaan/ harta pribadi suami
maupun istri

Yang kesemuanya diperoleh dalam/ sepanjang perkawinan


 Kalau ada suami-istri bercerai, harta
bersama di bagi dua sama besar
 Kalau suami istri yang bercerai tersebut
menikah kembali (rukun kembali), harta
yang telah di bagi itu tetap merupakan
harta bersama
 Menurut Undang-undang No. 1 tahun
1974 ini, pada saat perkawinan
dilangsungkan, harta bersama adalah No.
1, tidak mungkin dengan saldo/ harta
bersama yang negatif
Ad.2 harta bawaan/ harta pribadi
 Harta bawaan/ harta pribadi adalah harta yang
di bawa oleh suami/ istri ke dalam perkawinan
 Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974,
harta bawaan dipisahkan secara otomatis/ demi
hukum dari harta bersama
 Pemisahan secara otomatis/ demi hukum itu
tidak disertai kewajiban untuk pencatatan pada
saat perkawinan dilangsungkan.
 Pemisahan secara otomatis tanpa adanya
pencatatan tersebut, dikemudian hari dapat
menimbulkan permasalahan dalam pembuktian
asal usul benda-benda tersebut, bila terjadi
pembagian/ pemecahan karena perceraian/
kematian
 Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-
ketentuan tentang harta pribadi hanya dapat
terjadi bila :
1. Penyimpangan tersebut ditentukan dalam perjanjian
perkawinan
2. Ada kata sepakat/ persetujuan bersama, bahwa hibah/
hadiah warisan tersebut akan masuk dalam harta
bersama
III. Wewenang suami istri terhadap
harta perkawinan
A. Wewenang suami istri terhadap/ atas
harta bawaan/ pribadi
 Suami / istri masing-masing/ sendiri-sendiri mempunyai hak milik atas harta pribadinya
 Sepanjang perkawinan suami/ istri masing-masing berwenang mengambil tindakan / perbuatan hukum atas harta pribadinya.
 Atas harta pribadi/ bawaan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum apapun
 Suami/ istri masing-masing/ sendiri-sendiri mempunyai hak pengurusan (Beheer) dan hak pemilikan (beschikking) atas harta
bawaannya.
B. Wewenang suami istri terhadap /
atas harta bersama
 Harta bersama adalah hak bersama suami
istri
 Mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak (Pasal 36 ayat 1) artinya :
suami/ istri dapat bertindak sendiri-sendiri
atas harta bersama asal ada persetujuan’
dari suami atau istri.
 Bila terjadi perceraian, beberapa besar
hak/ bagian suami/ istri atas harta
bersama ?
 Hak atas suami / istri masing-masing
mempunyai hak/ bagian yang sama besar
yaitu masing-masing mendapat
separohnya.
IV. Prinsip / asas tanggung jawab
suami istri atas harta perkawinan.
Ada 2 macam tanggung jawab :
1. Tanggung jawab intern (tanggung jawab
antara suami – istri)
2. Tanggung jawab extren (tanggung
jawab terhadap pihak ketiga)
Ad.1. tanggung jawab intern
 Tanggung jawab Intern = pembagian beban
tanggungan dalam hubungan antara suami dan
isteri
 Terhadap utang-utang pribadi masing-masing
suami/ istri bertanggung jawab sendiri-sendiri
 Terhadap utang/ pengeluaran bersama, suami
dan istri masing-masing memikul setengah-
setengah dari hutang bersama/ pengeluaran
bersama.
Note pengeluaran bersama = pengeluaran –
pengeluaran yang diperlukan untuk hidup
bersama.
Ad.2. Tanggung jawab Extren
Tanggung jawab extren :
a. tanggung jawab terhadap hutang pribadi
b. tanggung jawab terhadap hutang
bersama
ad.a. tanggung jawab terhadap
hutang pribadi
Masing-masing suami/ istri bertanggung
jawab atas hutang pribadinya baik itu
hutang pribadi sebelum maupun
sepanjang perkawinan
ad.b. tanggung jawab terhadap
hutang bersama
Baik suami maupun istri bertanggung
jawab atas hutang bersama yang dibuat
oleh mereka bersama dengan harta
bersama.
Apakah untuk hutang pribadi
suami/ istri pelunasannya dapat
diambilkan dari harta bersama ?
 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak
memberikan pegangan/ penyelesaian
mengenai hal itu. (belum mengaturnya)
 Pasal 66 Undang-undang No. 1 tahun
1974 menyatakan bahwa ketentuan yang
lama “Mengenai hal tersebut masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang Perkawinan.
Pemecahan harta bersama
Mengingat bahwa :
 Harta bersama adalah semua harta yang
diperoleh selama perkawinan
 Kedudukan suami istri dalam perkawinan
adalah seimbang
 Hak dan tanggung jawab suami istri terhadap
harta bersama adalah seimbang/ sama
Maka adalah adil kalau atas harta bersama suami
istri masing-masing mempunyai bagian/ andil yang
sama.
PERJANJIAN PERKAWINAN
1. Obyek perjanjian perkawinan adalah harta
benda perkawinan
2. Tujuan dari perjanjian perkawinan adalah
upaya penyimpangan terhadap ketentuan –
ketentuan harta perkawinan
3. Keberadaan perjanjian perkawinan di
Indonesia ; sampai sekarang ini belum
merupakan lembaga hukum yang populer
4. Pengaturannya di Undang-undang No. 1 tahun
1974 bab V tentang perjanjian perkawinan
5. Yang menang membuat perjanjian
perkawinan
Yang menang membuat perjanjian adalah calon
suami-istri/ kedua belah pihak dengan ketentuan
sebagai berikut :

a. dalam hal calon mempelai laki-laki perempuan telah mencapai umur 18 tahun / sebelumnya telah menikah,
boleh membuat perjanjian kawin sendiri
b. dalam hal calon mempelai perempuan telah mencapai umur untuk menikah tapi belum genap berumur 18
tahun dan sebelumnya belum pernah menikah, harus diwakili paling tidak didampingi oleh orang tua / walinya.
c. Dalam hal colan mempelai laki-laki atau perempuan menikahnya dengan dipesasi zimzir, harus diwakili /
didampingi oleh orang tua/ walinya.
6. Bentuk perjanjian perkawinan
 Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus tertulis (akta di bawah tangan maupun akta
otentik)
 Kalau dengan akta bawah tangan, perjanjian perkawinan tersebut harus di sahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan.
Note :

a. Bolehkan pegawai pencatatan perkawinan menolak untuk mengesahkan perjanjian perkawinan ?


- Boleh.
b. Bolehkah pegawi pencatatan perkawinan membuatkan perjanjian perkawinan ?
- dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak ada larangan.
Mengapa Undang-undang No. 1
tahun 1974 tidak mengharuskan
pembuatan perjanjian perkawinan
dengan akta notaris ?
 pembuktian akta notaris mahal
 notaris adanya hanya dikota-kota saja
7. Saat pembuatan dan perubahan perjanjian
perkawinan
 Saat pembuatan perjanjian perkawinan
Pasal 29 ayat 1 : sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan
 saat perubahan perjanjian perkawinan
Pasal 29 ayat 4 : selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tidak dapat di rumah kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan tidak merubah dan perubahannya tidak merugikan pihak ketiga.
Kesimpulan
1. Perjanjian perkawinan pada asanya bersifat
tetap
2. Dimungkinkan adanya perubahan
(penyimpangan) asal :

 Atas persetujuan kedua belah pihak


 Tidak merugikan pihak ketiga
 Atas persetujuan kedua belah pihak artinya tidak
boleh ada paksaan dari salah satu pihak
 Tidak merugikan pihak ketiga artinya jangan
menyalahgunakan kesempatan (membuat
perubahan) untuk merugikan pihak ketiga.
 Tujuan pencatuman istilah tidak merugikan
pihak ketiga adalah untuk mencegah agar suami
istri tidak dapat menghindari diri dari tanggung
jawab atas hutang-hutang mereka terhadap
pihak ketiga.
Kalau suami istri mengadakan
perubahan perjanjian perkawinan yang
merugikan pihak ketiga apakah
perjanjiannya batal demi hukum atau
relatif batal ?
 Perjanjiannya tidak batal demi hukum
 Perjanjiannya relatif batal
 Perjanjiannya tidak batal seluruhnya, hanya
batal sebagian sebesar yang merugikan pihak
ketiga.
Kalau suami istri semasa/ selama
perkawinan berlangsung
mengadakan perjanjian perkawinan
boleh atau tidak ?
 Perhatikan Pasal 29 ayat 1 dan dan Pasal
29 ayat 4
 Logikanya : kalau boleh merubah nya,
tentu membuatnyapun juga dibolehkan.
8. Saat berlakunya perjanjian perkawinan
 Pasal 29 ayat 3 perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
 Perjanjian perkawinan berlaku bagi :
- Suami – istri
- Pihak - ketiga
 Tidak ada syarat harus diumumkan bagi adanya / dibuatnya perjanjian perkawinan
 Dari mana pihak ketiga mengetahui adanya perjanjian ? : pihak ketiga baru mengetahui nya pada waktu ia menagihnya.

You might also like