You are on page 1of 9

SEMINAR NASIONAL

Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Melalui Pembinaan Teritorial Dalam


Rangka Pertahanan Negara ♦

Oleh :
Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D.

Dalam komunitas pertahanan Indonesia, salah satu perdebatan


substansial yang masih terus mengemuka adalah mengenai peran
pemberdayaan wilayah pertahanan. Hal ini terutama dikarenakan masih
tingginya kekawatiran terhadap kertelibatan TNI dalam politik praktis melalui
jaringan struktur teritorial TNI. 1 Mengemukanya perdebatan mengenai hal ini
juga dikarenakan beberapa hal lainnya seperti definisi terhadap istilah
pemberdayaan wilayah pertahanan itu sendiri, hubungannya dengan doktrin dan
strategi pertahanan serta kerangka regulasi pertahanan. Berbagai persoalan di
atas kini juga menjadi salah satu hirauan utama para pemerhati pertahanan dan
keamanan nasional. Bagaimana kita memaknakan pemberdayaan wilayah
pertahanan melalui pembinaan teritorial dalam konteks perubahan lingkungan
global dan regional yang kini dihadapi Indonesia?


Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional ”Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Melalui
BINTER Bersama Seluruh Komponen Bangsa Dalam Rangka Mendukung Kepentingan Nasional”,
diselenggarakan oleh KODAM IX/Udayana, 27 Februari 2009, Hotel Kartika Plaza, Bali.
1
Edy Prasetyono (2006). Kajian Kritis Terhadap UU No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam Hari T.Prihartono. Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional. Jakarta: ProPatria Intitute.
Hlm.33-56.
2

Makna mendasar dari perberdayaan wilayah pertahanan adalah konsepsi


tentang pertahanan semesta yang merupakan suatu sistem pertahanan yang
mengatur pengembangan, pembinaan, dan pengerahan potensi atau sumber
daya nasional guna mencapai kepentingan pertahanan. 2 Sementara itu, sistem
pertahanan akan menurunkan doktrin pertahanan yang merupakan panduan bagi
penyusunan strategi pertahanan. Doktrin pada dasarnya merupakan “suatu
ajaran tentang sesuatu hal dan cara-cara terbaik yang diyakini kebenarannya,
atau “the best way that you believe to do”. Sementara itu, NATO mendefinisikan
doktrin militer sebagai “fundamental principles by which military forces guide their
actions in support of objectives. 3 Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah
pemahaman bahwa prinsip-prinsip dasar dalam sebuah doktrin militer akan
menjadi sebuah landasan bagi penyusunan strategi militer. Doktrin juga
merupakan sebuah keinginan untuk mengikat (kohesifitas) seluruh unsur militer
yang terlibat dalam pertahanan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Paling
tidak terdapat dua tipe kohesifitas yang ingin diraih, yakni kohesifitas struktural
dengan doktrin yang bersifat mengatur dan kohesifitas perilaku dimana doktrin
bertujuan untuk mengatur tindakan militer (military action). Dalam konteks ini,
doktrin pertahanan bermakna pula sebagai mekanisme penggunaan kekuatan
militer (how to use the forces).
Persoalan penyusunan doktrin pertahanan memang tidaklah semudah
yang kita bayangkan. Salah satu kerumitan dalam penyusunan pertahanan
dikarenakan adanya berbagai kepentingan dan kebutuhan strategis dan
operasional lainnya. Olehkarenanya, doktrin juga dapat dibagi ke dalam
beberapa tingkatan yang berbeda. Tingkatan terendah dari sebuah doktrin
adalah taktik, teknik dan prosedur unsur tunggal kekuatan pertahanan. Tingkatan
berikutnya adalah doktrin yang mengarah kepada satuan tempur (terdiri dari
beberapa unsur tunggal kekuatan pertahanan). Tingkatan berikutnya adalah
doktrin yang dituangkan dalam gugus tugas tindakan militer terpadu. Tingkatan
tertinggi adalah kebijakan dan strategi pertahanan pada tingkat negara yang
menjadi sumber bagi semua doktrin pada tingkat bawah.

2
Ibid.
3
British Maritime Doctrine. Second edition 1999.
3

Selain itu, doktrin pertahanan/militer juga dapat didekati dari sisi efektivitas
organisasi tempur yang tertuang dalam empat kategori. Pertama adalah doktrin
gabungan untuk melakukan operasi militer gabungan (joint operations). Doktrin
ini digunakan bagi dua atau lebih angkatan bersenjata secara
terkoordinasi.Kedua, doktrin multi angkatan (multi service doctrine), yaitu doktrin
yang digunakan oleh beberapa angkatan bersenjata yang secara khusus
meratifikasinya. Misalnya saja doktrin Darat-Laut (Land-Sea doctrine) yang
berlaku bagi angkata darat dan laut. Ketiga, doktrin angkatan tunggal (Service
Doctrine) yang berlaku bukan saja pada angkatan/matra tertentu saja namun
juga dapat dituangkan secara spesifik dalam bentuk satuan tugas dan gugus
tugas. Doktrin ini ditujukan untuk tugas spesifik yang hanya dapat dilakukan oleh
kekuatan atau satuan tertentu. Keempat, doktrin gabungan antarnegara yang
digunakan beberapa negara sekaligus yang meratifikasinya yang diikat oleh
kepentingan militer yang sama sebagaimana tergambar dalam doktrin militer
NATO, misalnya.

Dalam konteks Indonesia, doktrin pertahanan meliputi berbagai gagasan


konseptual yang dikenal sebagai “pertahanan semesta”. Dalam Keputusan
Menteri Pertahanan Keamanan Nomor : KEP/17/X/1991 tanggal 5 Oktober 1991
dan UU Nomor 3/2002, tentang Pertahanan Negara, dapat dilihat bahwa pokok-
pokok penyelenggaraan pertahanan negara adalah tentang penyelenggaraan
perdamaian atau operasi militer selain perang (OMSP), dan penyelenggaraan
peperangan atau operasi militer perang (OMP). Apabila dilihat pada doktrin
tersebut, maka sistem dijelaskan sebagai hal tentang sesuatu yang berkaitan
dengan Penyiapan Sistem itu sendiri, Penyiapan Kekuatan, Penyiapan Medan
Pertahanan, Penyiapan Dukungan Logistik dan Pelaksanaan Peperangan yang
keseluruhannya ditata sebagai pertahanan semesta.

Konsep pertahanan semesta itu sendiri merupakan mekanisme tentang


masukan, proses dan keluaran dari segala upaya, pekerjaan serta kegiatan
penyelenggaraan pertahanan negara. Masukan (Sumber Daya Nasional),
Proses (subyek, obyek dan metoda penyelenggaraan pertahanan negara sesuai
UU Nomor 3/2002), dan Keluaran (Daya tangkal negara dan bangsa yang
tangguh, dalam bentuk Komponen Utama, Cadangan dan Pendukung). Aturan-
aturan tersebut berbentuk peraturan perundangan (payung hukum), struktur
4

organisasi dan mekanisme kerja, serta pedoman-pedoman bersifat mengatur


(termasuk doktrin), sehingga terlihat subyek, obyek dan metodenya, untuk dapat
mewujudkan tujuan pertahanan negara yang dimaksud oleh UU Nomor 3/2002.
Konsep pertahanan semesta ini masih bersemayam kuat dalam doktrin,
strategi, dan kebijakan pertahanan nasional. Konsep ini juga sangat erat
kaitannya dengan prinsip pertahanan wilayah, dan struktur (komando dan fungsi)
teritorial. Tujuan politik yang hendak dicapai dalam pertahanan semesta itu
adalah kelangsungan hidup (survivability), dan prioritas utama pengembangan
sistem (system advancement) bukan menjadi prioritas pokok dari pertahanan
semesta. Secara kultural, oleh karenanya, pertahanan semesta cenderung
konservatif dan menutup diri terhadap kemungkinan perubahan.
Pertahanan semesta (territorial) sesungguhnya diadopsi oleh hampir
seluruh negara. Konsep ini merupakan turunan (derivat) dari doktrin perang total
(total war) di wilayah sendiri. Prinsip utama dari konsep ini-- yang dirumuskan
oleh Karl von Clauzewits--adalah minimalisasi risiko, bukan maksimalisasi
keuntungan. Dalam pelaksanaannya, prinsip perang teritorial mengambil strategi
bahwa “seluruh sumber daya di wilayah yang diduduki harus dihancurkan agar
tidak memberi keutungan pada musuh”.
Konsep ini mungkin dapat dianggap sebagai benteng terakhir untuk menghadapi
pendudukan. Namun menjadi tanda tanya besar apakah kerangka seperti itu
dapat diandalkan untuk mengamankan dan menyelamatkan kepentingan
nasional Indonesia dari berbagai spektrum ancaman. Pertahanan semesta
hanya cocok untuk menghadapi musuh dari dalam negeri, atau sudah terlanjur
berada, dalam wilayah sendiri. Sulit dibayangkan doktrin ini dapat memberi
ruang gerak yang besar untuk mengantisipasi kemungkinan ancaman militer dari
luar. Bahkan jika diterapkan untuk menghadapi ancaman-ancaman non militer,
tidak mustahil hanta akan cenderung hypochondriac, memandang sesuatu
potensi yang sebenarnya tidak akan, atau kecil kemungkinannya, berubah
menjadi suatu ancaman yang akan menjadi sebuah kondisi nyata/ actual.
Di Indonesia, struktur teritorial menjadi problematik baik karena sejarah
peran politik militer pada masa Orde Baru, karena ketidak-handalannya untuk
menyangga kerawanan Indonesia pada masa yang akan datang. Dengan
mengandalkan pada pendudukan, misalnya, sistem teritorial menjadi kurang
relevan. Perkiraan ancaman untuk masa-masa yang akan datang, Indonesia
5

tidak akan menghadapi pendudukan dari negara lain. Perang modern, dengan
strategi dan sistem persenjataan canggih, mungkin bahkan tidak memerlukan
bentuk pendudukan fisik, yang selain sangat mahal secara politik juga rawan
terhadap adanya kemungkinan serangan balik yang lebih besar.
Problematika ini sebenarnya bermula dari TAP MPR RI No.VI/2000 dan
TAP MPR RI NO.VII tahun 2000 yang sebenarnya hanya bertujuan untuk
memisahkan organisasi Polri dan dari struktur dan garis komando ABRI/TNI
sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pertahanan dan keamanan,
sehingga diharapkan Polri dapat menjadi sebuah institusi sipil (civilian police).
Pemberian tugas pertahanan kepada TNI untuk menghadapi ancaman
dari luar negeri dan tugas keamanan kepada Polri untuk menghadapi ancaman
keamanan dalam negeri dapat dipahami bahwa konseptualisasi masalah
keamanan dan pertahanan hanya didasarkan pada teritorialitas. Tampaknya
pemerintah memahami konsep keamanan sejajar dengan konsep pertahanan.
Padahal seharusnya dimensi pertahanan dengan militer sebagai aktor utamanya
berada bersama dengan aktor di bidang ekonomi, sosial, politik dan bahkan
lingkungan hidup. Tantangan terhadap keamanan nasional tidak dapat dipahami
hanya sebagai persoalan “hitam-putih” antara perang dan damai ataupun antara
“pertahanan”dan “keamanan dan ketertiban masyarakat”.
Selain itu, pasal 30 ayat 2 dalam amandemen UUD 1945 juga telah
menambah keruhnya pemahaman di atas dengan memperkokoh keberadaan
doktrin “sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta” (sishankamrata).
Dengan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung. Pencantuman doktrin ini membawa konsekwensi bahawa fungsi
pertahanan dan fungsi keamanan tidak dapat dipisahkan karena keduanya
merupakan kesatuan integral dalam membentuk sistem pertahanan negara dan
keamanan Nasional.

Ketidakjelasan kewenangan ini juga terlihat pada fungsi penegakan


hukum di wilayah laut dan udara. Dalam UU No.34 tahun 2004 tentang TNI
ditentukan bahwa TNI AL dan TNI AU bertugas untuk menegakkan hukum dan
menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yuridiksi nasional sesuai dengan
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Sementara itu, tugas ini pun juga diemban oleh Polri yang memiliki kesatuan
6

polisi udara dan laut. Namun demikian UU ini tidak memaparkan adanya
pembagian kewenangan atau hak dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Persoalan di atas menjadi lebih kontroversial lagi karena dengan mudah
dapat diindentifikasikan sebagai cara-cara tradisional dalam perang, termasuk
taktik perang gerilya (guerrilla warfare). Indonesia hingga kini masih sering
berpikir dan bertindak dalam kerangka itu. Sebut saja apa yang terjadi dalam
kasus Aceh sejak masa daerah operasi militer maupun masa-masa akhir
pendudukan Indonesia di Timor Timur. Strategi teritorial lebih banyak mempunyai
konotasi “perang politik” (political warfare) dari pada perang yang sesungguhnya
menjadi tanggung jawab profesi kemiliteran (military warfare). Strategi itu
mungkin bermanfaat untuk penyiapan sumber daya pertahanan dan perlawanan.
Namun pada tataran selanjutnya, strategi tersebut tidak memiliki nilai strategis
militer karena seluruh aset yang dipertahankan akan hancur, dan oleh karenanya
mencerminkan adanya kegagalan pertahanan untuk mencapai tujuan nasional.

Di masa depan harus dirumuskan dengan jelas tentang tujuan


pertahanan Indonesia. Seharusnya rumusan itu tertuang dalam berbagai bentuk,
misalnya bagaimana mempertahankan garis batas terluar (di darat, laut dan
udara); bagaimana memperteguh kemampuan penangkalan (denial) di seluruh
perairan, bagaimana cara menguasai teritorial darat, laut dan udara; serta
bagaimana cara terbaik untuk mencegah potensial agresor. Kelemahan pokok
dari hanta adalah irelevansinya dalam menghadapi ancaman masa depan,
terutama ancaman non-tradisional. Dengan mengandalkan pada tujuan
minimalis, yaitu mempertahankan diri, tidak cukup memadai sebagai pilar pokok
doktrin pertahanan negara. Suatu negara bukan semata-mata perlu
mempertahankan eksistensinya tetapi juga harus mengembangkan diri, baik
untuk kesejahteraan warga negaranya maupun perdamaian dunia.
Analisis komprehensif kebijakan pertahanan negara dan berbagai aspek
yang melingkupinya termasuk strategi pemberdayaan wilayah pertahanan terdiri
dari tiga kegiatan utama yaitu: pertama, penetapan agenda (agenda setting)
yang terdiri dari dua komponen utama berupa identifikasi kepentingan keamanan
dan pertahanan dan penilaian ancaman (terutama ancaman militer yang berasal
dari lingkungan eksternal Indonesia). Kedua, perumusan pilihan dan keputusan
yang pada dasarnya merupakan inti dari kebijakan pertahanan negara yang
7

kemudian diterjemahkan ke dalam komponen ketiga, pelaksanaan


(implementation) yang terdiri dari dua elemen, yaitu: strategi diplomasi
pertahanan dan strategi militer/pertahanan (termasuk doktrin pertahanan).
Tentunya tahapan implementasi ini merupakan respon terhadap kepentingan
keamanan nasional dan pertahanan negara dan prioritas ancaman militer dalam
agenda setting.
Dalam konteks ini, konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan sebagai
bagian dari kebijakan pertahanan pun akan dipertanyakan efektifitasnya. Selain
itu tanggungjawab sepenuhnya pemberdayaan wilayah pertahanan berada di
tangan pemerintah pusat yang berhak untuk mengeluarkan dasar kebijakan dan
keputusan politik untuk melakukannya. Dengan denikian, makna pemberdayaan
wilayah pertahanan akan berifat multitafsir dan olehkarenanya masih
membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk perundangan-undangan
lainnya, misalnya UU Perbantuan TNI. Hal ini dikarenakan mekanisme,
persyaratan dan cakupan tugas pokok dan tugas perbantuan memiliki perbedaan
yang sangat tajam.

Penutup.
Pemberdayaan wilayah pertahanan seyogyanya selalu diupayakan
dengan mengikuti dan bahkan mengantisipasi berbagai dimensi, tingkatan, dan
karakteristik persepsi ancaman yang akan dihadapi oleh sebuah negara-bangsa.
Ancaman akan selalu bersifat dinamis dan oleh karenanya sistem keamanan
nasional dan secara lebih spesifik, sistem pertahanan, kebijakan pertahanan dan
berbagai instrumen yang melingkupinya juga akan selalu bersifat dinamis.

Dengan kata lain, pemberdayaan wilayah pertahanan termasuk dengan


mengupayakan pembinaan teritorial akan selalu bersifat sementara sesuai
dengan perkembangan ancaman (militer) itu sendiri. Dengan demikian, adalah
sebuah keharusan bagi kita untuk selalu melakukan reassessment (penilaian
ulang) dan review (kajian ulang) terhadap upaya pemberdayaan wilayah
pertahanan. Untuk itu, kita harus selalu berupaya untuk melakukan threats and
capability assessment secara berkelanjutan dan menyeluruh.
8

DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Anak Agung Banyu Perwita, lahir di Jakarta, 6 Februari 1967, adalah Guru
Besar Ilu Hubungan Internasional. Penulis memperoleh gelar S-1 dari Jurusan
Hubungan Internasional, FISIP UNPAR (1991), MA in International Relations and
Strategic Studies, Lancaster University-Inggris (1994) melalui beasiswa British
Chevening Awards-British Council, dan Ph.D dari Flinders University- Australia
dalam Asian Studies (2002) melalui beasiswa Australian Development
Scholarships (ADS).

Beberapa Awards/fellowships untuk penelitian yang diterima selama ini adalah :

1. Distinguished Alumni Award, Flinders University-Australia (2008)


2. Endeavour Indonesia Research Fellowship, AusAID (2007)
3. DAAD Visiting Fellow, di International Relations and Foreign Policy
Studies, Institute of Political Sciences, Giessen University-Jerman
(November-Desember 2005).
4. Visiting Fellow, di Clingendael Institute of International Relations,
Denhaag-Belanda (Maret 2004).
5. Fullbright fellow di University of Southern Carolina, Columbia-AS (Juni-Juli
2003)
6. Asian Visiting Fellow, di Nordic Institute of Asian Studies (NIAS),
Copenhagen-Denmark (Maret 2003).

Beberapa karya tulis/akademik terakhir (2007-2009) adalah :

1. The Asean Charter and A More People Centric Grouping. Dalam Pavin
Chachavalpongpun ed. The Road to Ratification and Implementation of
the ASEAN Charter. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
2. Politik Luar Negeri Indonesia dan Dunia Muslim. Bandung: UNPAR Press.
ISBN: 978-979-1431-05-7
3. Indonesia and the Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign
Policy of Soeharto and Beyond. Copenhagen: NIAS Press. ISBN 13-978-
87-91114-92-2.
4. Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo Realisme
Kontemporer. Kontributor dalam buku “Transformasi Dalam Studi
Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Editor: Yulius
P.Hermawan. Yogyakarta: PT Graha Ilmu. ISBN: 978-979-756-201-4.

Selain itu juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar/konferensi baik
di dalam dan luar negeri serta menulis di Jurnal Analisis-CSIS dan The
Indonesian Quarterly-CSIS, Jurnal SATRIA: Studi Pertahanan-DepHan RI dan
beberapa media cetak nasional seperti harian KOMPAS, The Jakarta Post,
Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Harian KONTAN, Majalah Mingguan Gatra
dan Sinar Harapan. Aktivitas lainnya adalah:
9

1. anggota Kelompok Kerja Reformasi Sektor Keamanan-Pro Patria,


2. anggota Dewan Pembina, Institute of Defence and Security Studies
(IODAS), Jakarta
3. Overseas Member, Centro Argentino Estudies de Internacionale (CAEI),
Argentina.
4. narasumber pada berbagai pertemuan Kelompok Ahli Politik Luar Negeri
RI, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK),
Departemen Luar Negeri RI, Departemen Pertahanan RI, Dewan
Ketahanan Nasional dan Sekretariat Wakil Presiden RI.

You might also like