Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D.
♦
Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional ”Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Melalui
BINTER Bersama Seluruh Komponen Bangsa Dalam Rangka Mendukung Kepentingan Nasional”,
diselenggarakan oleh KODAM IX/Udayana, 27 Februari 2009, Hotel Kartika Plaza, Bali.
1
Edy Prasetyono (2006). Kajian Kritis Terhadap UU No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam Hari T.Prihartono. Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional. Jakarta: ProPatria Intitute.
Hlm.33-56.
2
2
Ibid.
3
British Maritime Doctrine. Second edition 1999.
3
Selain itu, doktrin pertahanan/militer juga dapat didekati dari sisi efektivitas
organisasi tempur yang tertuang dalam empat kategori. Pertama adalah doktrin
gabungan untuk melakukan operasi militer gabungan (joint operations). Doktrin
ini digunakan bagi dua atau lebih angkatan bersenjata secara
terkoordinasi.Kedua, doktrin multi angkatan (multi service doctrine), yaitu doktrin
yang digunakan oleh beberapa angkatan bersenjata yang secara khusus
meratifikasinya. Misalnya saja doktrin Darat-Laut (Land-Sea doctrine) yang
berlaku bagi angkata darat dan laut. Ketiga, doktrin angkatan tunggal (Service
Doctrine) yang berlaku bukan saja pada angkatan/matra tertentu saja namun
juga dapat dituangkan secara spesifik dalam bentuk satuan tugas dan gugus
tugas. Doktrin ini ditujukan untuk tugas spesifik yang hanya dapat dilakukan oleh
kekuatan atau satuan tertentu. Keempat, doktrin gabungan antarnegara yang
digunakan beberapa negara sekaligus yang meratifikasinya yang diikat oleh
kepentingan militer yang sama sebagaimana tergambar dalam doktrin militer
NATO, misalnya.
tidak akan menghadapi pendudukan dari negara lain. Perang modern, dengan
strategi dan sistem persenjataan canggih, mungkin bahkan tidak memerlukan
bentuk pendudukan fisik, yang selain sangat mahal secara politik juga rawan
terhadap adanya kemungkinan serangan balik yang lebih besar.
Problematika ini sebenarnya bermula dari TAP MPR RI No.VI/2000 dan
TAP MPR RI NO.VII tahun 2000 yang sebenarnya hanya bertujuan untuk
memisahkan organisasi Polri dan dari struktur dan garis komando ABRI/TNI
sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pertahanan dan keamanan,
sehingga diharapkan Polri dapat menjadi sebuah institusi sipil (civilian police).
Pemberian tugas pertahanan kepada TNI untuk menghadapi ancaman
dari luar negeri dan tugas keamanan kepada Polri untuk menghadapi ancaman
keamanan dalam negeri dapat dipahami bahwa konseptualisasi masalah
keamanan dan pertahanan hanya didasarkan pada teritorialitas. Tampaknya
pemerintah memahami konsep keamanan sejajar dengan konsep pertahanan.
Padahal seharusnya dimensi pertahanan dengan militer sebagai aktor utamanya
berada bersama dengan aktor di bidang ekonomi, sosial, politik dan bahkan
lingkungan hidup. Tantangan terhadap keamanan nasional tidak dapat dipahami
hanya sebagai persoalan “hitam-putih” antara perang dan damai ataupun antara
“pertahanan”dan “keamanan dan ketertiban masyarakat”.
Selain itu, pasal 30 ayat 2 dalam amandemen UUD 1945 juga telah
menambah keruhnya pemahaman di atas dengan memperkokoh keberadaan
doktrin “sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta” (sishankamrata).
Dengan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung. Pencantuman doktrin ini membawa konsekwensi bahawa fungsi
pertahanan dan fungsi keamanan tidak dapat dipisahkan karena keduanya
merupakan kesatuan integral dalam membentuk sistem pertahanan negara dan
keamanan Nasional.
polisi udara dan laut. Namun demikian UU ini tidak memaparkan adanya
pembagian kewenangan atau hak dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Persoalan di atas menjadi lebih kontroversial lagi karena dengan mudah
dapat diindentifikasikan sebagai cara-cara tradisional dalam perang, termasuk
taktik perang gerilya (guerrilla warfare). Indonesia hingga kini masih sering
berpikir dan bertindak dalam kerangka itu. Sebut saja apa yang terjadi dalam
kasus Aceh sejak masa daerah operasi militer maupun masa-masa akhir
pendudukan Indonesia di Timor Timur. Strategi teritorial lebih banyak mempunyai
konotasi “perang politik” (political warfare) dari pada perang yang sesungguhnya
menjadi tanggung jawab profesi kemiliteran (military warfare). Strategi itu
mungkin bermanfaat untuk penyiapan sumber daya pertahanan dan perlawanan.
Namun pada tataran selanjutnya, strategi tersebut tidak memiliki nilai strategis
militer karena seluruh aset yang dipertahankan akan hancur, dan oleh karenanya
mencerminkan adanya kegagalan pertahanan untuk mencapai tujuan nasional.
Penutup.
Pemberdayaan wilayah pertahanan seyogyanya selalu diupayakan
dengan mengikuti dan bahkan mengantisipasi berbagai dimensi, tingkatan, dan
karakteristik persepsi ancaman yang akan dihadapi oleh sebuah negara-bangsa.
Ancaman akan selalu bersifat dinamis dan oleh karenanya sistem keamanan
nasional dan secara lebih spesifik, sistem pertahanan, kebijakan pertahanan dan
berbagai instrumen yang melingkupinya juga akan selalu bersifat dinamis.
Anak Agung Banyu Perwita, lahir di Jakarta, 6 Februari 1967, adalah Guru
Besar Ilu Hubungan Internasional. Penulis memperoleh gelar S-1 dari Jurusan
Hubungan Internasional, FISIP UNPAR (1991), MA in International Relations and
Strategic Studies, Lancaster University-Inggris (1994) melalui beasiswa British
Chevening Awards-British Council, dan Ph.D dari Flinders University- Australia
dalam Asian Studies (2002) melalui beasiswa Australian Development
Scholarships (ADS).
1. The Asean Charter and A More People Centric Grouping. Dalam Pavin
Chachavalpongpun ed. The Road to Ratification and Implementation of
the ASEAN Charter. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
2. Politik Luar Negeri Indonesia dan Dunia Muslim. Bandung: UNPAR Press.
ISBN: 978-979-1431-05-7
3. Indonesia and the Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign
Policy of Soeharto and Beyond. Copenhagen: NIAS Press. ISBN 13-978-
87-91114-92-2.
4. Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo Realisme
Kontemporer. Kontributor dalam buku “Transformasi Dalam Studi
Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Editor: Yulius
P.Hermawan. Yogyakarta: PT Graha Ilmu. ISBN: 978-979-756-201-4.
Selain itu juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar/konferensi baik
di dalam dan luar negeri serta menulis di Jurnal Analisis-CSIS dan The
Indonesian Quarterly-CSIS, Jurnal SATRIA: Studi Pertahanan-DepHan RI dan
beberapa media cetak nasional seperti harian KOMPAS, The Jakarta Post,
Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Harian KONTAN, Majalah Mingguan Gatra
dan Sinar Harapan. Aktivitas lainnya adalah:
9